Anda di halaman 1dari 2

Tugas Rangkuman Buku

Mata Kuliah Pembangunan dan Permukiman Perkotaan


Nama: Akbar Rizky Pratama
NIK: 1806173071

Buku Cars, Conduits, Kampongs


Oleh Rosemarijn Hoefte, Henk Schulte Nordholt
Chapter 7: “From Autonomous Village to ‘Informal Slum’, Kampong Development and State Control in Bandung
(1930-1936)”

Jurnal karya Gustaaf Reerink yang berjudul “From Autonomous Village to ‘Informal Slum’, Kampong
Development and State Control in Bandung (1930-1936)” ini menggarisbawahi kegagalan dari
pemerintah kolonial hingga pemerintah Indonesia terhadap pengendalian permukiman di kampung-
kampung yang pada akhirnya tidak dapat berkembang, tersandarisasi, dan teregulasi sesuai dengan
kebijakan yang ada. Pada masa kolonial, kurangnya kendali negara membuat kampung memiliki
otoritas sendiri dan membentuk desa otonomi. Hak otonomi ini masih dipertahankan oleh desa-desa
tersebut pasca kemerdekaan. Hal ini membuat kampung dan desa-desa tersebut dikategorikan
informal oleh pemerintah.

Kampung pada Masa Pemerintahan Kolonial

Sejak akhir abad ke-19 hingga akhir masa kolonial, Bandung berkembang dari kawasan permukiman
berpenduduk sekitar 10.000 jiwa, menjadi kota dengan populasi sekitar 200.000 jiwa. Wilayah
Bandung sendiri memiliki iklim yang sangat cocok untuk perkebunan seperti teh dan kopi. Pada
akhirnya, perkebunan teh menjadi tulang punggung ekonomi dan berkontribusi pada pembangunan
Kota Bandung. Setelah berkembang menjadi Kota Besar, Bandung menarik banyak pendatang baru,
termasuk warga dari wilayah Eropa.

Kota ini kemudian terbagi secara etnis. Wilayah yang dingin di bagian utara rel kereta, menjadi wilayah
hunian kaum Eropa yang tinggal di rumah-rumah bergaya ‘Indies’. Namun populasi warga Eropa hanya
sekitar 12%. Wilayah utara Bandung menjadi kawasan hunian dengan kepadatan rendah. Berbeda
halnya dengan wilayah di Selatan rel kereta, sekitar 77% warga lokal tinggal di daerah ini, namun hanya
40% yang memiliki akses terhadap kepemilikan hak tanah. Permukiman-permukiman di kawasan ini
kemudian berkembang menjadi kawasan kampung kota, mempertahankan karakter pedesaan namun
fungsi ekonomi-sosialnya berkembang, sehingga menjadi kawasan permukiman dengan sistem
infrastruktur tradisional, namun kepadatan penduduknya tinggi. Kampung-kampun ini kemudian
diberi hak otonomi dengan memperbolehkan penerapan hukum adatnya sendiri. Pada awal abad 20,
terdpat sekitar 17 kampung adat, dan kemudian berkembang hingga mencapai 44 kampung adat pada
tahun 1942. Perkembangan otonomi ini kemudian membuat pemerintah kolonial kesulitan untuk
mengintegrasikan kampung dengan rencana kota.

Kampung pada Masa Pendudukan Jepang hingga Revolusi

Pada masa kependuduka Jepang, pekerjaan-pekerjaan di perkebunan menjadi hilang. Petani dipaksa
menghasilkan beras dalam jumlah banyak, sementara warga desa menjadi buruh paksa (romusha).
Jumlah pengungsi yang besar membuat munculnya banyak permukima baru di kampung-kampung.
Populasi meningkat hampir dua kali lipat. Jepang kemudian mengenalkan sistem Tonarigumi pada
tahun 1943, dimana pengontrolan kependudukan dilakukan sdalam skala tetangga (kini bertahan
dalam sistem RT/RW) Pada masa revolusi tahun 1946, Bandung kembali terbagi 2 dengan batas rel
kereta. Bagian Utara menjadi wilayah kekuasaan tentara Inggris, dan wilayah selatan dikuasai prajurit
Indonesia. Pada Maret 1946, menanggapi keinginan Inggris untuk mengakhiri pembagian wilayah,
pasukan Indonesia kemudian mengungsikan warga-warga Bandung dan membakar habis permukiman
(dikenal dengan peristiwa Bandung Lautan Api). Diperkirakan setengah juta orang meninggalkan
wilayah Bandung. Selama satu setengah tahun wilayah ini menjadi kota mati.

Kampung Pada Masa Kemerdekaan Indonesia

Bandung mengalami lonjakan populasi pada masa revolusi. Menurut data sensus 1961, Bandung
menjadi kota dengan pertumbuhan populasi tercepat. Dalam masa 10 tahun pertama setelah
kemerdekaan, populasi meningkat dari sekitar 200.000 menjadi lebih dari 1.000.000 penduduk.
Nasionalisasi perusahaan Belanda menyebabkan warga-warga Eropa harus mengosongkan properti
mereka, dan kemudian diambil alih oleh pemerintah serta militer Indonesia. Beberapa diantaranya
ada yang dijual ke etnis Tionghoa. Peristiwa Darul Islam hingga tahun 1962 mempengaruhi
perkembangan Bandung. Banyak warga pinggiran kota mengungsi ke pusat kota. Masa ini juga
bersamaan dengan perkembangan industri di Kota Bandung yang menyebabkan pertumbuhan
populasi. Beberapa migran akhirnya tingal di kampung-kampung. Kondisi ini mengantar Bandung
menuju masa backlog perumahan. Para migran akhirnya memilih membangun sendiri tempat tinggal
mereka secara informal. Pada tahun 1964, diperkirakan jumlah rumah liar sudah mencapai 11.000.
Partai Komunis Indonesia (PKI) sendiri saat itu mendukung kegiatan penguasaan lahan-lahan kosong
yang dilakukan oleh para migran. Melihat perkembangan yang tidak terkendali, Pemerintah pun
kemudian menghapus sistem Kampung otonomi pada tahun 1964.

Penghapusan kampung otonomi tidak diikuti dengan pembuatan kebijakan yang mendukung.
Berdasarkan UU Agraria 1960, sistem tanah adat masih dipertahankan, sehingga mempersulit
pengintegrasian dengan rencana pusat. Di wilayah kota, banyaknya migran yang datang membuat
pemerintah kota mengizinkan mereka tinggal, meski tanpa hak kepemilikan. Pemerintah Indonesia
pun mengakui telah gagal mengendalikan pertumbuhan kampung di Bandung, dan mengklasifikasikan
permukiman kampung sebagai permukiman kumuh ilegal.

Anda mungkin juga menyukai