TIM PENELITI :
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DESEMBER 2023
i
RINGKASAN
Kegiatan penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian riset dalam upaya
pengembangan disiplin ilmu Sastra Arab yang dipandang mampu menyelesaikan
masalah hubungan interaksional budaya lokal sehingga hasilnya benar-benar dapat
dirasakan oleh masyarakat, khususnya di Indonesia. Dengan kata lain, kegiatan ini
pada dasarnya merupakan bentuk kegelisahan peneliti dalam memandang fenomena
“Arabisasi”. Dalam pandangan peneliti, belajar Sastra Arab tidak harus menjadi
orang Arab, melainkan mampu membangun bangsa sendiri, dengan keragamannya
yang khas, berbekal keilmuan tersebut.
Salah satu upaya yang telah dicapai peneliti pada penelitian sebelumnya adalah
penemuan indikasi adanya pula khas yang terdapat di dalam produk syair di Indonesia,
khususnya syi’iran. Penelitian ini merupakan upaya lebih lanjut dalam rangka
mengidentifikasi kasus-kasus lisensia puitika sekaligus memverifikasi hasil temuan
mengenai pola syi’iran. Identifikasi rumus-rumus metrum dan rima serta kasus-kasus
penyimpangan gramatikal merupakan prasyarat utama sebelum para filolog mampu
menangani manuskrip melalui kegiatan kritik teks. Saat ini, pola syair Arab, pola
kakawin Jawa-Bali, serta pola tembang / pupuh Sunda-Jawa telah terumuskan dan
sangat esensial penggunaannya dalam kegiatan kritik teks manuskrip, tetapi tidak
demikian halnya dalam kasus syi’iran. Pola syi’iran belum teridentifikasi, bahkan
belum disadari keberadaannya kecuali melalui rangkaian penelitian ini.
Penelitian dirancang secara kualitatif melalui metode grounded research, dengan
langkah-langkah meliputi: (1) pengumpulan produk-produk kearifan lokal bidang syair
lokal (syi’iran, pujian, dsb) pada kalangan pesantren Jawa Barat, (2) analisis pola
metrum dan rima syi’iran, (3) identifikasi kasus-kasus penyimpangan gramatikal
syi’iran, pada tahap pertama (tahun ke-1). Sedangkan pada tahap kedua (tahun ke-2)
penelitian dilanjutkan dengan (4) kategorisasi dan klasifikasi lisensia puitika, (5)
perumusan akhir prosodi syi’iran, dan (6) perumusan mekanisme penggunaannya
dalam kritik teks manuskrip.
Penelitian menargetkan dihasilkannya luaran berupa artikel jurnal Internasional
bereputasi, buku referensi nasional tentang pola prosodi dan lisensia puitika syi’iran,
serta hak cipta (HaKI). Penelitian pada tahap pertama masih bersifat eksploratif dengan
tingkat ketersiapan teknologi berstatus prinsip dasar riset telah diobservasi dan
dilaporkan (TKT 1), hal ini penting untuk menghindari penarikan simpulan
(generalisasi) yang terburu-buru. Hasil proses eksplorasi tahap pertama tersebut
menjadi dasar untuk penarikan hipotesis (asumsi ilmiah) serta desain dan prosedur
litbang (TKT 2 dan 3) yang akan diuji pada penelitian tahap kedua.
ii
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji milik Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, berkat limpahan karunia dan nikmat-Nya kami dapat
melaksanakan kegiatan penelitian berjudul Kontribusi Pola Syair Arab dalam
Kasus Penyimpangan Gramatika Syi’iran (Upaya Penemuan Parameter Dalam
Kritik Teks Manuskrip), dengan fokus kali ini pada kasus-kasus syiiran di
Kabupaten Tasikmalaya.
Kegiatan ini tidak lepas dari arahan, dukungan, serta bantuan dari
berbagai pihak. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada
seluruh pihak yang telah membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan,
khususnya Rektor Universitas Padjadjaran beserta jajaran, Dekan Fakultas
Ilmu Budaya beserta jajaran, Masyarakat Pesantren di Kabupaten
Tasikmalaya, khususnya Pondok Pesantren Al-Fadhliyah dan Cibantarsari
di Kecapamatan Bojonggambir, yang telah menerima dan mempersilahkan
kami untuk melaksanakan penelitian. Semoga penelitian ini dapat memberikan
sumbangsih positif terhadap proses pembentukan karakter dan penanaman nilai-
nilai kearifan lokal yang terus digalakkan oleh masyarakat Pesantren.
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
BAB 1
PENDAHULUAN
Berdasarkan hasil kajian selama ini (Ma’mun, 1992, 2015; Ikhwan, 2010;
Ma’mun dan Ikhwan, 2014, 2016), direkomendasikan bahwa penelitian tentang
syair Nusantara dalam hubungannya dengan Sastra Arab perlu diteliti secara khusus
dan mendalam. Khusus dalam arti tidak tercampur dengan tujuan atau misi lain,
sedangkan mendalam berarti dilaksanakan secara komprehensif. Dengan kata lain,
dibutuhkan sumber dana yang dapat membiayai keberlangsungan gagasan itu
secara terencana, terprogram, dan berkelanjutan.
Syair Nusantara, baik dalam bahasa Sunda, Jawa, maupun Melayu, memiliki
prosodi yang khas. Hingga kini, pembatasan dan identifikasi atas jenis syair tersebut
masih sangat terbatas, yaitu terdiri atas empat baris dan terdiri atas 9-12 suku kata
dengan pola persajakan a-a-a-a, a-b-a-b, a-a-b-b. Definisi dan identifikasi ini jauh
lebih terbatas dibandingkan beberapa hasil kajian awal kami yang telah meliputi
pola potongan irama di dalam metrum serta ruang lingkup dan cakupan rimanya
yang dapat meliputi hingga tiga pola suku kata.
Di tengah tiadanya teori mengenai hal itu, perdebatan mengenai apakah syair
Melayu merupakan produk asli masyarakat Nusantara atau “perpanjangan tangan”
dari puisi Arab (ada juga yang mengatakan Persia) masih terus terjadi. Hal itu
ditambah lagi dengan permasalahan, apakah pupujian Sunda dan syi’iran Jawa
termasuk bagian dari genre syair atau bukan? Itu semua sama sekali belum dibahas
oleh para peneliti. Jika ahli Sastra Arab tidak dilibatkan dalam masalah ini, tentu
akan sulit ditemukan jawabannya. Kalaupun ditemukan jawaban, kemungkinan itu
hanya berupa dugaan.
Beberapa kalangan ahli kerap mendasarkan pengaruh Arab dalam syair
Nusantara melalui hasil kajian terhadap syair-syair karya Hamzah Fansuri (wafat
pada tahun 1590 M?) yang mayoritas terdiri atas empat baris dalam satu bait.
Kenyataan itulah yang membuat sebagian ahli menduga kuat bahwa Hamzah
Fansuri terpengaruh oleh syair-syair karya Ibnu Arabi dan al-‘Iraqi yang notabene
mengusung gaya puisi Arab (Teeuw, 1966: 446; Al-Attas, 1968: 58).
1
2
diperbaiki agar dapat dipahami maksudnya oleh pembaca atau dibiarkan apa adanya
agar aspek-aspek arkais di dalam teks dapat dipertahankan dan lestari. Kedua
pilihan tersebut tentunya memerlukan parameter ilmiah. Dalam kasus syi’iran
setidaknya ada tiga aspek yang perlu dipertimbangkan: (1) pola metrum, (2) pola
rima, dan (3) kemungkinan adanya kasus lisensia puitika. Ketiga aspek tersebut
dipandang mendesak diteliti.
Penelitian ini mendukung Rencana Induk Riset (RIR) Universitas Padjadjaran
di bidang budaya, khususnya dalam hal dokumentasi budaya dan bahasa, di
samping peningkatan kualitas budaya itu sendiri. Proses pengumpulan karya-karya
syi’iran meniscayakan pendokumentasian produk budaya masyarakat. Selanjutnya,
terumuskannya karakteristik khas pola puisi tradisional Nusantara akan
memunculkan penghargaan terhadap budaya tersebut. Sementara hasilnya dapat
digunakan sebagai parameter produksi syair berikutnya di samping sangat
menunjang penelitian ilmiah di bidang tersebut.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
masih mengaku sebagai keturunan murid atau bahkan keturunan dari Syekh Abdul
Muhyi.
Oleh karena itu, sejarah penyebaran agama Islam di daerah Tasikmalaya tidak
dapt dilepaskan dari tokoh Syekh Abdul Muhyi. Keberaadaan Syekh Abdul Muhyi
yang arif dan bijaksana sangat dihormati oleh penduduk dan penguasa setempat
termasuk oleh Bupati Sukapura (Ekajati, 1971:147-157). Syekh Abdul Muhyi
sebenarnya masih keturunan Mataram. Ayahnya bernama Raden Pamekel
Pertempuh adalah Putera Sultan Mataram dan ibunya Nyi Gdeng Kudrat adalah
puteri Bupati Timbanganten. Raden Pamekel Pertempuh sangat senang
mengembara dan dalam pengembaraanya dia menetap cukup lama di Timbanganten
hingga menikah dengan putri penguasa Timbanganten. Pengembaraan Raden
Pamekel Partempuh bersama istri dilanjutkan ke daerah Cikelet. Raden Pamekel
Partempuh meninggal di Cikelet dengan meninggalkan seorang istri dan seorang
putera berusia sekitar 6 tahun yang kemudian diberi nama Syekh Abdul Muhyi
Sumber lain mengatakan Syekh Abdul Muhyi lahir di Mataram, Lombok, 1071
H 1650 dan wafat di Pamijahan, Bantarkalong, Tasikmalaya, Jawa Barat pada tahun
1151 H/1730 M. Syekh Abdul Muhyi masih keturunan bangsawan. Ayahnya,
Sembah Lebe Warta Kusumah adalah keturunan Raja Galuh (Pajajaran). Syekh
Abdul Muhyi dibersarkan di Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Pendidikan agama
Islam pertama kali diterimanya dari ayahnya sendiri dan kemudian dari para ulama
yang berada di ampel dalam usia 19 tahun, ia berangkat ke Kuala, Aceh untuk
melanjutkan pendidikannya dan berguru kepada Syekh Abdurrauf Singkel, seorang
ulama sufi dan berguru tarekat Syattariyah. Setelah menamatkan pendidikan di
Aceh Syekh Abdul Muhyi yang berusia 27 tahun pergi berziarah ke makam Syekh
Abdul Qadir Jaelani di Baghdad dan melaksanakan ibadah haji ke Mekah, Arab
Saudi.
Perjalanan dakwah Syekh Abdul Muhyi dimulai setelah ibadah haji di Mekah.
Syekh Abdul Muhyi berniat menyebarkan agama Islam ke daerah pedalaman Jawa
Barat. Daerah yang menjadi tujuan Syekh Abdul Muhyi adalah sebuah kampung
yang berada disebuah lembah yang diberi nama Mujarrad. Pada daerah lembah ini,
6
Syekh Abdul Muhyi menemukan sebuah gua yang cocok untuk tempat
mengkonsentrasikan diri dan mendekatkan diri kepada Allah serta mengajarkan
agama Islam. Ditempat inilah Syekh Abdul Muhyi mendirikan pesantren, pesantren
inilah yang sering dianggap sebagai pesantren tertua di wilayah Priangan (Ekajati,
1971). Salah satu tempat belajar mengaji adalah ruang gua. Sebuah tempat yang
cukup tersembunyi dan dapat terhindar dari gangguan orang-orang jahat. Gua ini
dikenal sampai sekarang dengan sebutan Gua Safarwadi.
Menurut salah satu tradisi lisan kehadirannya di Gua Safarwadi atas undangan
bupati Sukapura yang meminta bantuannya untuk menumpas aji-aji hitam Batara
Karang di Pamijahan. Disana terdapat sebuah gua yang menjadi tempat pertapaan
orang-orang yang menuntut aji-aji hitam itu. Syekh Abdul Muhyi memenangkan
pertarungan melawan orang-orang tersebut hingga ia dapat menguasai gua itu.
Menurut foklore setempat, Syekh Abdul Muhyi tiba di Safarwadi pada tanggal 12
Maulud tahun 854 H.
Penyebaran Islam yang dilakukan oleh Syekh Abdul Muhyi dengan cara damai
dan menggunakan pendekatan kemasyarakatan dan kemanusiaan. Syekh Abdul
Muhyi sangat sabar, baik budi, dan suka menolong hingga disenangi dan sangat
dekat dengan masyarakat. Selain itu, Syek Abdul Muhyi memiliki kecakapan dalam
mengobati orang sakit dan tempat bertanya atau pemberi nasehat bagi orang-orang
yang sedang mengalami kesulitan. Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang
bersimpati sehingga secara sukarela menyatakan memeluk Islam.
Seluruh ajarah Syekh Abdul Muhyi telah dituliskan oleh seorang santrinya yang
bernama Syekh Nurhuda. Dalam kitab Syekh Nurhuda ditulis tentang daftar silsilah
keguruan, yaitu sebuah pelajaran pertama yang harus dikenal dan dikuasai oleh
setiap santri. Penulisan silsilah keguruan ini dimaksudkan agar menguatkan batin
para santri pengikutnya sehingga mereka tidak ragu dengan kebenaran ajaran yang
dibawanya setelah keraguan hilang, kemudian diajarkan tentang ketauhidan.
Syekh Abdul Muhyi mengajar para santrinya di dalam gua, terutama pelajaran
yang menyangkut masalah yang sangat prinsipil. Penggunaan gua ini dimaksudkan
agar para santri lebih serius, konsentrasi, dan mudah dalam menyerap pelajaran
dengan tidak terganggu oleh situasi alam yang ada di luar.
Syekh Abdul Muhyi menetap di Pamijahan selama sekitar 40 tahun dari tahun
854 sampai dengan 894 Hijriyah. Syekh Abdul Muhyi meninggal dalam usia 80
tahun dan meninggalkan santri cukup banyak. Mereka bukan hanya berasal dari
daerah Tasikmalaya, melainkan dari seluruh daerah di Jawa Barat, seperti
Indramayu, Cirebon, Ciamis, Cibaduyut (Bandung), dan Cianjur bahkan dari
Jember, Jawa Timur.
karena sama-sama ditulis dengan huruf akhir wawu, ﺃﻭ (Teeuw, 1966: 43, Fang,
1993: 201).
Dengan berbekal pada kajian terhadap syair-syair Hamzah Fansuri para ahli
sastra Melayu berpendapat bahwa syair Melayu yang berbaris empat merupakan
bentuk syair yang terpengaruh oleh gaya puisi Arab (lihat Teeuw, 1966: 446; Al-
Attas, 1968: 58). Amin Sweeney tidak setuju dengan pendapat tersebut. Ia
mengungkapkan bahwa syair Melayu telah berkembang lama dan Hamzah Fansuri
mendapat pengaruh kuat dari gaya puisi atau pantun sebagaimana di dalam Sejarah
Melayu. Menurutnya, irama syair sama dengan pantun, di samping pantun juga
biasanya muncul di dalam syair. Demikian pula dari sisi rima, rima syair merupakan
pengembangan dari rima pantun. Pola sajak a-a-a-a, menurutnya, jarang terdapat
di dalam syair Arab. Demikian pula bait yang terdiri atas empat larik tidak dikenal
dalam puisi Arab (Roolvink, 1966: 255-7). Hooykaas (1947: 72) kemudian
menyimpulkan bahwa syair Hamzah Fansuri dan syair-syair Melayu lainnya
bukanlah tiruan dari gaya puisi Arab. Pengaruh gaya pantun lebih kental di dalam
puisi Melayu dibandingkan dengan gaya Arab meskipun istilah-istilah dalam syair
menggunakan banyak istilah bahasa Arab.
Perdebatan mengenai apakah syair Melayu merupakan “perpanjangan” dari
puisi Arab atau bukan masih terus menggantung cukup lama, sebelum akhirnya
Ma’mun dan Ikhwan (2016: 245) menunjukkan pola dubait atau ruba’iyat dari
Persia. Akan tetapi, hasil penelitian ini masih terus perlu disosialisasikan.
Di Nusantara, syair tidak hanya dikenal di kalangan masyarakat Melayu.
Ikhwan (2010), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa naskah kuna Cirebon
Pengeling-elinge Wong Urip mengekspresikan bentuk puisi tradisional yang serupa
dengan genre syair Melayu. Ia menunjukkan bahwa gaya tersebut terpengaruh oleh
pola puisi Arab. Sayangnya, penelitian tersebut memiliki keterbatasan objek
penelitian. Meskipun demikian, penelitian ini merupakan titik tolok perspektif
dalam memandang produk syair dihubungkan dengan penelitian-penelitian
sebelumnya dan mendorong beberapa penelitian selanjutnya hinga terbitnya artikel
berjudul “Jejak Pola Syair Arab dalam Syi’iran Sunda dan Jawa” (2014), dengan
mengangkat objek pada syi’iran Sunda dan Jawa yang dapat dijangkau.
11
awalnya, kata tersebut diucapkan mirip dengan aslinya: syi’ir (dialek Cirebon) atau
singir (dialek Jawa). Selanjutnya, mendapatkan akhiran -an bermakna
‘bersenandung’. Saat ini masyarakat Cirebon menggunakan kata syi’iran semakna
dengan syi’ir. Baik kata syi’ir maupun syi’iran keduanya belum masuk ke dalam
KBBI. Berbeda dengan kata syi’ir atau syi’iran, kata syair telah dikenal dalam
KBBI sejak terbitan pertama meskipun pola penyerapannya dari bahasa Arab
dengan disertai perubahan bunyi. Dalam bahasa Arab kata sya’ir berarti ‘penyair’,
penyerapan kata sya’ir menjadi syair terjadi dengan pergeseran makna. Hubungan
antara kata syair dengan syi’r dan sya’ir menunjukkan adanya jarak budaya yang
perlu diteliti lebih lanjut.
Jika dari sisi eksistensi kata, baik syair maupun syi’iran, diakui berasal dari
bahasa Arab, maka bagaimana keberadaan prosodi genre tersebut? Apakah sama
dengan puisi Arab? Jika sama, sejauh mana persamaannya? Jika berbeda, sejauh
mana keunikannya. Persoalan inilah yang diangkat melalui artikel ini.
Selain syi’iran, dikenal pula genre setipe yang disebut pujian (Sunda:
pupujian) dan nadoman. Pujian berasal dari kata puji yang dalam bahasa Jawa
Kuno berarti ‘sembahyang’ atau ‘memuji’. Secara istilah, merupakan kata yang
merujuk pada bentuk yang sama dengan syi’iran, hanya dibedakan dari sisi isinya
(Ma’mun dan Ikhwan, 2014); sedangkan nadoman berasal dari kata bahasa Arab
naẓm yang menunjuk pada teks keilmuan yang digubah dalam bentuk bermetrum
seperti syi’r tetapi dengan persajakan yang khas. Fenomena syi’iran (termasuk
pupujian, dan nadoman) merupakan buah dari “perkawinan” budaya Arab yang
berkembang bersama masuknya Islam di Nusantara dengan kecenderungan dan
harapan masyarakat lokal tentang seni religius. Hubungan antara syi’iran dan
budaya Arab lebih/kurang sama dengan hubungan antara kakawin dengan budaya
India. Sebagaimana aspek lokalitas kakawin dari prosodi (aturan puisi) India,
syi’iran juga memiliki kekhasannya sendiri (Ma’mun dan Ikhwan, 2014).
Sebagai sebuah istilah, syi’r, syi’iran, syair, pupujian, dan nadoman, masing-
masing memiliki eksistensinya masing-masing. Untuk mengurai hal ini tinjauan
mengenai persamaan dan perbedaan di antara genre-genre tersebut penting dilihat
13
dari empat hal: (1) jumlah larik dalam satu bait, (2) cakupan isi, (3) metrum, dan
(4) rima. Masing-masing perlu dibahas secara khusus dan mendalam.
Penelitian ini difokuskan untuk membahas mengenai hubungan antara
syi’iran dengan syair Arab ditinjau dari prosodi dan lisensia puitika. Objek syair
yang dikumpulkan dari kalangan pesantren di Jawa Barat, baik yang berbahasa
Sunda maupun Jawa, untuk dicermati pola metrum dan rimanya serta kasus-kasus
penyimpangan gramatikal yang terdapat di dalamnya. Penelitian ini memberikan
manfaat positif dalam menjelaskan eksistensi syi’iran di antara genre syair lainnya,
serta hubungan dan karakteristik khasnya dibandingkan syair Arab. Secara teoretis,
hasil penelitian ini dapat digunakan untuk beberapa bidang keilmuan utamanya
sastra dan seni; secara praktis, pola-pola syi’iran yang teridentifikasi dapat
dimanfaatkan sebagai salah satu parameter kritik teks dalam bidang filologi.
14
BAB 3
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Manfaat Praktis:
(1) Produk-produk kearifan lokal bidang syair lokal (syi’iran, pujian, dsb) yang
tersebar di Jawa Barat, khususnya Tasikmalaya dapat terakses melalui satu
pintu
(2) Fisik teks syi’iran, khususnya teks yang berwujud manuskrip (naskah
kuna) maupun rekaman suara dapat terselamatkan, baik fisik aslinya
dan/atau dalam bentuk file digital
(3) Teks syi’iran yang ditulis dalam aksara daerah (pegon/cacarakan) dapat
dibaca oleh publik dalam aksara latin
Manfaat Teoretis :
(1) Pola syi’iran, sebagai produk budaya lokal yang telah berkembang lama
di Jawa Barat dapat teridentifikasi dan terumuskan polanya
(2) Identifikasi dan klasifikasi kasus-kasus penyimpangan gramatikal yang
terdapat di dalam syi’iran dapat mempengaruhi persepsi ilmiah tentang
bolehnya para penggubah syi’iran menggunakan bahasa yang
menyimpang dari gramatikal
(3) Ditemukannya prosidi syi’iran beserta kasus-kasus lisensia puitika yang
terdapat di dalamnya dapat berguna / bermanfaat dalam kritik teks
manuskrip di dunia ilmu sastra, khususnya filologi.
(4) Hasil publikasi artikel jurnal ilmiah dan/atau buku referensi nasional
dapat dijadikan rujukan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
budaya.
(5) Dalam jangka panjang, kegiatan penelitian ini dapat mengubah pola pikir
masyarakat tentang karya sastra tradisional, bahwa segala sesuatu
yang tradisional tidak selamanya usang atau termakan zaman. Justru
dari akar tradisional itu identitas kita terbangun.
17
BAB 4
METODE PENELITIAN
Objek penelitian adalah syi’iran berbahasa Jawa dan Sunda dari kalangan
masyarakat Pesantren di Jawa Barat. Data-data penelitian yang kemudian dipilih
sampelnya dengan teknik purposive sampling, yaitu teknik sampling dengan
kriteria (inklusi dan ekslusi) yang dipilih untuk tujuan mendapatkan gambaran
mengenai polanya sekaligus membuktikan hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya.
Penelitian didesain secara kualitatif dengan pendekatan abduktif. Pendekatan
abduktif merupakan pendekatan melalui penggabungan metode deduktif dengan
metode induktif. Penelitian induktif menggerakkan penelitian untuk menemukan
sesuatu yang baru, sedangkan melalui penelitian deduktif dapat dilakukan
pengembangan hipotesis (Hardiman, 2009: 148-150).
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
“grounded research”. Metode ini mengasumsikan bahwa analisis harus berdasarkan
data yang ada dan bukan berdasarkan berbagai ide yang ditetapkan sebelumnya.
Hasil yang diperoleh dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan data yang baru
diperoleh. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam metode grounded research
adalah: (1) Pengkategorian data berdasarkan persamaan dan perbedaannya, (2)
Pengklasifikasian data berdasarkan ciri-ciri penting dan sifat-sifat dari
setiap kategori data, (3) Penarikan hubungan antarkategori-kategori utama sehingga
menghasilkan hipotesis atau asumsi sementara, (4) Verifikasi data untuk menguji
hipotesis atau asumsi dasar, (5) Pengambilan keputusan dan pendeskripsian data
berdasarkan proses pembandingan data dan uji hipotesis atau asumsi dasar.
Data penelitian diperoleh dengan cara mendapatkan dan mengumpulkan
syi’iran, baik dalam bentuk teks maupun rekaman suara dari beberapa daerah Di
Jawa Barat. Mengingat data syi’iran dari Kabupaten/Kota Cirebon telah terkumpul
dalam penelitian sebelumnya (2020-2021), pada penelitian ini akan difokuskan di
dua wilayah, yaitu Tasikmalaya, sebagai kota di Jawa Barat yang erat kaitannya
dengan tradisi pesantren, komunitas pendukung syi’iran.
18
BAB 5
HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI
Melalui pengumpulan sumber data tersebut diperolah tidak kurang dari total
114 judul syiiran dalam penelitian ini. Sebagian besar syiiran saat ini telah dialih
media, ditranskripsi, dialih aksara, dan/atau ditulis ulang ke dalam aksara latin
dalam bentuk file dokumen (doc), sisanya masih dalam proses penyelesaian.
Syi’iran yang telah ditulis ulang ke dalam file komputer langsung
diidentifikasi polanya. Hangga saat laporan ini ditulis, di dalam syiiran terdapat
pola sebagai berikut:
No Luaran Capaian
1 Digitalisasi Manuskrip 100%
2 Transkripsi Audio 100%
3 Alihaksara Teks/Manuskrip 100%
4 Publikasi:
- Draft Artikel Jurnal Ilmiah 100%
- Draft Buku Referensi 100%
“Kumpulan Syiiran Sunda-Tasikmalaya”
- Draft Buku Referensi 90%
“Prosodi Syi’iran Sunda-Tasikmalaya”
23
BAB 6
RENCANA TAHAPAN SELANJUTNYA
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Hingga laporan akhir tahun ini disusun, penelitian ini telah berhasil
mengidentifikasi 114 syiiran dari Kabupaten Tasikmalaya. Selain itu penelitian ini
juga telah berhasil mengalih media 2 teks audio syiiran, digitalisasi dan alihaksara
5 manuskrip syiiran, alih aksara, serta penyalinan 3 buku kumpulan syiiran
beraksara pegon ke dalam aksara latin. Melalui laporan kemajuan ini, dapat
dinyatakan bahwa 100% dari 114 syiiran yang terkumpul telah dialih media,
ditranskripsi, dialih aksara, ditulis ulang ke dalam aksara latin dalam bentuk file
dokumen (doc), serta dikatahui pola metrum dan rimanya. Meskipun demikian,
penelitian ini belumlah dipandang cukup karena hasil-hasil yang ada belum dapat
disistematisasikan untuk menjawab pertanyaan atau tujuan penelitian, khususnya
dalam hal kasus-kasus khusus yang terdapat di dalam prosodi syi’iran, sehingga
perlu ditindaklanjuti pada tahap penelitian selanjutnya di tahun ke-2.
7. 2 Saran
Hasil penelitian tahap pertama ini belum cukup untuk memperoleh hasil
penelitian secara maksimal, khususnya dari segi rumusan teori yang dapat
diterapkan untuk menguji syair Nusantara. Oleh sebab itu perlu dilakukan
penelitian lanjutan. Penelitian selanjutnya yang perlu dilakukan adalah:
1) Hasil penelitian yang telah disusun secara sistematis perlu dirumuskan lebih
lanjut polanya,
2) Menguji syair Nusantara dengan hasil-hasil penelitian ini.
3) Penelitian ini mengkombinasikan penelitian lapangan dengan penelitian dua
bidang ilmu, yakni ilmu sastra tentang prosodi genre puisi serta ilmu khusus
filologi tentang penyelamatan naskah, edisi teks dan kritik teks mauskrip. Oleh
karenanya diperlukan dukungan serius khususnya secara materil (penbiayaan).
25
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sanah, M. Ibrahim (1982). Dirasat fi Syi’r al-‘Araby. Kairo: Dar al-Ma’arif.
Al-Attas, Syed Naguib (1968). The Origin of the Malay Shair. Kuala Lumpur.
‘Anani, Musţafa & al-Iskandari, Ahmad (t.t). al-Washith fi al-Adab al-‘Arabi wa
Tarikhihi. Mesir: Dar al-Ma’arif.
’Atiq, Abd ’Aziz (1983). ’Ilm al-’Arudh wa al-Qawafi. Beirut: Daar an-Nahdhah.
Atsari, Abu Sa’id Sa’ban Muhammad al-Qursyi al- (1998). al-Wajh al-Jamil fi ‘Ilm
al-Khalil, Tahqiq oleh Hilal Naji. Bairut: ’Alam al-Kutub.
Damanhuri, Muhammad (t.t.). al-Irsyad as-Syafi. Surabaya: Syirkah Bungkul
Indah.
Dayim, Shabir ‘Abd al- (1993). Musyiq as-Syi’r al-‘Araby bain as-Tsabat wa at-
Tathawur. Kairo: Maktabah al-Khanaji.
Depdikbud (1991). Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PPPB Dekdikbud.
Dhaif, Syauqi (1987). al-Fan wa Madzahibahu fi as-Syi’r al-‘Araby. Kairo: Dar al-
Ma’arif.
Fang, Liaw Yock (1993). Sejarah kesusastraan Melayu Klasik. Jakarta: Erlangga.
Fara, ‘Umar al- (t.t). Diwan Syi’r Badwi; Hadits al-Hail.
Fuad, Na’amat A. (1980). Khashaish as-Syi’r al-Hadits. Kairo: Dar al-Fikr al-
‘Araby.
Husein, Thaha (1997). Fi as-Syi’r al-Jahili. Tunis: Dar al-Ma’arif.
Haqi, ‘Adnan (1987). al-Mufasshal fi al-‘Arudl wa al-Qafiyah wa funun as-Syi’r.
Bairut: Dar ar-Rasyid.
Ibn Abi Sanab, Muhammad (1990). Tuhfah al-Adab fi Mizan Asy’ar al-Arab.
Beirut: Dar al-Gharb al-Islami.
Ikhwan (2010). Pengeling-elinge Wong Urip: Kajian Filologis Terhadap Teks
Klasik Untuk Memahami Fenomena Keberagaman. Tesis Program
Pascasarjana Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Isa, Fauzi Sa’d (1998). al-‘Arudl al-‘Araby wa Muhawalat at-Tathawur wa at-
Tajdid Fihi. Dar al-Ma’rifah al-Jami‘iyah.
Lathif, Muhamad Humasah ‘Abd (1996). Lughah as-Syi’r Dirasah fi Dirasah as-
Syi’riyah. Kairo: Dar as-Syuruq.
Ma’mun, Titin Nurhayati (1982). Sawareh Barzanji: Sebuah Kajian Filologis.
Tesis. Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran.
26
________ (2011). Pola Rima Syi’iran dalam Naskah di Tatar Sunda dan
Hubungannya dengan Pola Rima Syair Arab. Jurnal Manassa, vol.1, no.1 tahun
2011., h. 147-159.
Ma’mun, Titin Nurhayati & Ikhwan (2014). “Jejak Pola Syair Arab dalam Syi’iran
Sunda dan Jawa” dalam The Arabic Culture Identity: Fact and Challenges.
Yogyakarta: IDEA Press.
________ (2015). Ilmu al-Arudl: dari Teori ke Praktik. Bandung: Unpad Press.
________ (2014). Modul Ajar Ilmu al-Arudl. Bandung: Unpad Press.
Muhammad al-Ghaddzami, Abdullah (1991). as-Shaut al-Qadim al-Jadid. Riyadl:
Dar al-Ardl.
Qadli, Nu’man Abd al-Muta’ali al- (2005). Syi’r al-Futuh al-Islami fi Shadr al-
Islam. Riyadl: Maktabah as-Tsaqafah ad-Diniyah.
Qana’i, Syihabuddin Abu al-Abas al- (2006). al-Kafi fi ’Ilmai al-’Arudl wa al-
Qawafi. Kairo: Maktabah as-Tsaqafah ad-Diniyah
Roolvink, R (1966). “Five-line song in the Sejarah Melayu, BKI, 122 p.455-7
Syarif, Muhammad Abu al-Futuh (1984). al-‘Arudh, Dirasat Tathbiqiyyah wa
ma’ahu Kitab al-Qawafi. Maktabah as-Syabab.
Tawab, Ramadlan ‘Abd al- (1985). Dlarurah as-Syi’r li Abi Sa’id as-Sirafi. Bairut:
Dar an-Nahdlah al-‘Arabiyah.
Teeuw, A (1966). “The Malay Sha’ir: Problems of Origin and Tradition”. BKI, 122
p.429-6.
Zayyat, Ahmad Hasan al- (t.t). Tarikh al-Adab al-’Arabi. Kairo: Daar an-Nahdlah.