Anda di halaman 1dari 51

STRUKTUR DAN NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA RAKYAT

DI KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS

Proposal Penelitian

diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar


Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

oleh

ROIDANIS
NIM 140388201023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
TANJUNGPINANG
2018
KATA PENGANTAR

Peneliti mengucapkan puji syukur kepada Allah Swt. yang telah

melimpahkan taufik, rahmat, serta hidayah-Nya. Sehingga peneliti dapat

menyelesaikan Proposal Skripsi dengan judul “Struktur dan Nilai Pendidikan

dalam Cerita Rakyat di Kabupaten Kepulauan Anambas” dengan tepat waktu.

Dalam penyelesaian proposal ini, peneliti telah mendapatkan bantuan dari

berbagai Pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu,

peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Syafsir Akhlus, M.Sc., selaku rektor Universitas Maritim Raja

Ali Haji Tanjungpinang yang telah memberikan kesempetan kepada

peneliti untuk kuliah;

2. Drs. H. Abdul Malik, M. Pd., selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji yang telah menyediakan

fasilitas dan memberikan kemudahan peneliti untuk menjalankan proses

perkuliahan;

3. Ahada Wahyusari, M. Pd., selaku Ketua Prodi Pendidikan Bahasa dan

Sastra Indonesia, sekaligus dosen pembimbing II, yang telah banyak

memberikan ilmu pengetahuan, saran, serta arahan untuk peneliti

menyelesaikan proposal ini;

i
4. Tessa Dwi Leoni, M. Pd., selaku dosen pembimbing I, yang telah

banyak membantu peneliti baik ilmu pengetahuan maupun saran yang

sangat berguna dalam menyelesaikan proposal ini;

5. Drs. H. Said Barakbah Ali, M.M., selaku Penasehat Akademik yang

selalu memberikan arahan dan nasihat dalam penulisan proposal;

6. dosen Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan yang selama ini telah

menyumbangkan ilmu pengetahuannya kepada peneliti;

7. orang tua, paman, dan keluarga peneliti yang telah banyak memberikan

doa, bantuan, motivasi, dan dana kepada peneliti; dan

8. sahabat dan teman-teman seperjuangan yang peneliti banggakan.

Peneliti telah membuat proposal ini dengan sebaik-baiknya. Namun,

manusia tidak terlepas dari kekurangan dan kekhilafan, untuk itu kritik dan saran

yang bersifat membangun sangat peneliti harapkan demi perbaikan dan

kesempurnaan dimasa yang akan datang. Peneliti juga berharap proposal

penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Tanjungpinang, Maret 2018

Peneliti

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii

DAFTAR TABEL ................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1

B. Fokus Penelitian.............................................................................................. 4

C. Rumusan Masalah ........................................................................................... 5

D. Tujuan Penelitian ............................................................................................ 6

E. Manfaat Penelitian .......................................................................................... 6

F. Definisi Istilah ................................................................................................. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 10

A. Landasan Teori ............................................................................................. 10

1. Hakikat Sastra ............................................................................................ 10

2. Hakikat Sastra Lisan .................................................................................. 12

3. Cerita Rakyat ............................................................................................. 14

a. Mite atau Mitos ...................................................................................... 15

b. Legenda .................................................................................................. 16

c. Dongeng ................................................................................................. 17

4. Struktur Cerita Rakyat ............................................................................... 18

a. Plot atau Alur.......................................................................................... 20

b. Tokoh dan Penokohan ............................................................................ 21

c. Latar........................................................................................................ 22

d. Tema ....................................................................................................... 23

5. Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra ........................................................ 24

iii
a. Nilai Pendidikan Religius....................................................................... 26

b. Nilai Pendidikan Moral .......................................................................... 26

c. Nilai Pendidikan Sosial .......................................................................... 27

d. Nilai Pendidikan budaya ........................................................................ 27

B. Penelitian Relevan ........................................................................................ 28

C. Kerangka Berpikir ........................................................................................ 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 31

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian ................................................................... 31

B. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................... 31

C. Instrumen Penelitian ..................................................................................... 32

D. Data dan Sumber Data .................................................................................. 35

E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................................ 36

F. Teknik Analisis Data ..................................................................................... 37

G. Pengecekan Keabsahan Data ........................................................................ 38

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 43

iv
DAFTAR TABEL

Tabel.1 Rencana Pelaksanaan Penelitian .............................................................. 32

Tabel.2 Instrumen Struktur dalam Cerita Rakyat ................................................. 33

Tabel.3 Instrumen Nilai Pendidikan Religius dalam Cerita Rakyat ..................... 33

Tabel. 4 Instrumen Nilai Pendidikan Moral dalam Cerita Rakyat ........................ 34

Tabel. 5 Instrumen Nilai Pendidikan Sosial dalam Cerita Rakyat ....................... 34

Tabel. 6 Instrumen Nilai Pendidikan Budaya dalam Cerita Rakyat .................... 35

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia begitu kaya dengan keberagaman kebudayaan Nusantara.

Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan manusia yang berperan sebagai

penggeraknya. Budaya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari diri manusia

sehingga banyak orang cenderung menganggap sebuah kebudayaan diwariskan

secara genetis. Kebudayaan yang diturunkan dari generasi ke generasi

menciptakan perkembangan dikalangan masyarakat yang menjalankannya. Dalam

perkembangan kebudayaan terdapat perkembangan sastra yang juga sama-sama

berkembang di masyarakat itu sendiri.

Budaya memiliki unsur bahasa dan kesenian. Unsur kesenian termasuk

unsur sastra. Sastra merupakan bagian dari kebudayaan yang tumbuh dan

berkembang di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu sastra banyak

memberikan manfaat terhadap masyarakat pendukungnya.

Sastra terbagi dua, yaitu sastra lisan (unwritten literature) dan sastra

tulisan (written literature). Sastra lisan adalah jenis atau kelas karya tertentu yang

dituturkan dari mulut ke mulut tersebar secara lisan (Hutomo dalam Jupri, 2015:

2). Sastra tulisan (written literature) yaitu sastra yang merupakan media tulisan

atau literal yang cara penyebarannya melalui media tulisan. Sastra lisan ada yang

murni dan ada yang tidak murni. Sastra lisan murni berupa dongeng, legenda, dan

1
2

cerita yang tersebar secara lisan di masyarakat. Sastra lisan tidak murni, biasanya

berbaur dengan tradisi lisan. Sastra lisan yang berbaur ini hanya berupa

pengalaman sakral. Berbagai sastra lisan (cerita rakyat) yang berkembang di

Indonesia, memiliki struktur dan kandungan nilai-nilai pendidikan. Struktur

adalah hubungan antara unsur-unsur pembentuk dalam susunan keseluruhan.

Dalam hal ini, hubungan antara unsur tersebut dapat berupa hubungan dramatik,

logika, maupun waktu.

Berbagai nilai yang terkandung dalam sastra khususnya cerita rakyat bisa

menjadi panutan dalam kehidupan masyarakat. Walaupun nilai-nilai pendidikan

yang terdapat di dalam ceritanya tidak didapat secara langsung (tersirat), tetap saja

nilainya bisa dipahami jika mendengar ceritanya. Sastra lisan (cerita rakyat)

berperan sebagai pemerkaya budaya. Dengan sastra lisan, seseorang dapat

mengetahui sejarah, pengalaman, pandangan hidup, adat-istiadat, cita-cita dan

berbagai kegiatan lain yang terdapat disekitar kehidupan sastra itu. Selain itu juga

seseorang dapat mengetahui tata kehidupan dimasa lampau.

Sastra lisan (cerita rakyat) berperan penting untuk pembelajaran dalam

masyarakat lewat pesan-pesan yang tersirat di dalam ceritanya. Namun, sekarang

ini cerita rakyat semakin berkurang peminatnya dan terkesan semakin menghilang

dari kehidupan masyarakat itu sendiri. Hal ini dikarenakan cerita rakyat sudah

jarang sekali bahkan hampir tidak pernah lagi diceritakan orang tua kepada anak-

anak mereka atau kepada generasi muda sekarang. Banyaknya orang tua yang

melupakan cerita rakyat ini, maka lama-kelamaan budaya sastra lisan akan punah
3

begitu saja. Jika hal itu terus dibiarkan maka sastra lisan (cerita rakyat) tidak akan

dirasakan lagi dikalangan penikmatnya.

Indonesia memiliki 34 Provinsi satu diantaranya Provinsi Kepulauan Riau.

Provinsi Kepulauan Riau merupakan Provinsi yang terdiri dari pulau-pulau.

Secara keseluruhan Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari empat kabupaten, dan

dua kota. Provinsi Kepulauan Riau tidak kalah dengan Provinsi-provinsi lainnya,

kebudayaan yang dimiliki masyarakatnya sangatlah beragam. Keragaman tersebut

tentunya dapat memberikan dan memperkaya corak maupun karakteristik

kepribadian bangsa. Provinsi Kepulauan Riau khususnya Kota Tanjungpinang

sangat terkenal dengan sebutan Kota Gurindam Negeri Pantun. Hal itu

menunjukan Provinsi Kepualuan Riau kaya dengan kebudayaan khususnya sastra,

baik sastra lisan maupun tulisan.

Kabupaten Kepulauan Anambas merupakan satu diantaranya Kabupaten

yang berada di Provinsi Kepulauan Riau. Kabupaten Kepulauan Anambas

memiliki banyak cerita rakyat satu diantaranya Legenda. Dahulu cerita rakyat

berkembang pesat dikalangan masyarakat. Orang tua bercerita diberbagai situasi,

seperti disaat menidurkan anak-anak atau hanya ingin menghiburkan anak-anak

mereka.

Namun, perkembangan cerita rakyat sekarang ini tidaklah sama seperti

dahulu. Hal ini dikarenakan perkembangan zaman semakin modern sehingga lupa

dengan kearifan lokal khususnya cerita rakyat. Terpengaruh dengan

perkembangan teknologi sehingga generasi muda tidak memperdulikan lagi


4

tentang cerita rakyat di tempat tinggalnya sendiri. Hal ini yang menjadi perhatian

peneliti untuk melakukan penelitian tentang cerita rakyat di Kabupaten Kepulauan

Anambas. Kabupaten Kepulauan Anambas banyak memiliki cerita rakyat satu

diantaranya legenda. Namun, cerita rakyat berjenis legenda sudah semakin

menghilang. Hal itu terjadi karena orang tua tidak lagi menceritakan kepada

anaknya, sehingga anak-anak atau generasi penerus tidak mengetahui cerita rakyat

berjenis legenda yang ada di tempat tinggalnya sendiri.

Generasi penerus sekarang ini lebih mengenal budaya luar dibandingkan

budaya lokalnya sendiri. Hal itulah yang terjadi di Kabupaten Kepulauan

Anambas. Kurangnya kesadaran dari masyarakat Kabupaten Kepulauan Anambas

untuk mewujudkan kembali cerita rakyat berjenis legenda yang ada ditempatnya

masing-masing, sehingga lama-kelamaan legenda itu akan menghilang tanpa jejak

lagi. Di Kabupaten Kepulauan Anambas juga belum ada orang yang meneliti

tentang cerita rakyat berbentuk legenda secara struktur dan nilai pendidikan.

Padahal makna yang terkandung di dalam cerita rakyat khususnya legenda yang

ada di Kabupaten Kepulauan Anambas sangatlah banyak mengandung unsur

intrinsik dan ekstrinsik. Berdasarkan uraian temuan di atas peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian Struktur dan Nilai Pendidikan dalam Cerita Rakyat di

Kabupaten Kepulauan Anambas.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi fokus

utama penelitian ini adalah analisis struktur dan nilai pendidikan dalam cerita

rakyat di Kabupaten Kepulauan Anambas.


5

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus masalah penelitian yang

dikemukakan di atas, masalah peneliti ini dapat dirumuskan dalam bentuk

pertanyaan berikut.

1. Bagaimanakah struktur cerita rakyat di Kabupaten Kepulauan Anambas?

2. Bagaimanakah nilai pendidikan religius dalam cerita rakyat di Kabupaten

Kepulauan Anambas?

3. Bagaimanakah nilai pendidikan moral dalam cerita rakyat di Kabupaten

Kepulauan Anambas?

4. Bagaimanakah nilai pendidikan sosial dalam cerita rakyat di Kabupaten

Kepulauan Anambas?

5. Bagaimanakah nilai pendidikan budaya dalam cerita rakyat di Kabupaten

Kepulauan Anambas?
6

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah dan pertanyaan peneliti di atas, penelitian

ini bertujuan untuk menggambarkan dan menjelaskan hal-hal berikut.

1. Mendeskripsikan struktur dalam cerita rakyat di Kabupaten Kepulauan

Anambas.

2. Mendeskripsikan nilai pendidikan religius dalam cerita rakyat di Kabupaten

Kepulauan Anambas.

3. Mendeskripsikan nilai pendidikan moral dalam cerita rakyat di Kabupaten

Kepulauan Anambas

4. Mendeskripsikan nilai pendidikan sosial dalam cerita rakyat di Kabupaten

Kepulauan Anambas

5. Mendeskripsikan nilai pendidikan budaya dalam cerita rakyat di Kabupaten

Kepulauan Anambas

E. Manfaat Penelitian

Berdasarkan manfaat maka penelitian yang peneliti lakukan ini dapat

bermanfaat secara teoretis dan secara praktis.

1. Teoretis

Secara teoretis, penelitian yang peneliti lakukan dapat memperkaya

khazanah ilmu pengetahuan terutama dibidang sastra, khususnya cerita rakyat

yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Anambas.


7

2. Praktis

Secara praktis, penelitian yang peneliti lakukan ini tentunya bermanfaat,

bagi diri peneliti sendiri, bagi pendidikan, bagi guru, bagi siswa, bagi peneliti lain,

dan bagi masyarakat.

a. Bagi Peneliti

Hasil dari penelitian ini dapat menambah pengalaman dan pengetahuan

tentang cerita rakyat yaitu legenda khususnya struktur dan nilai pendidikan.

b. Bagi Pendidikan

Hasil dari penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap sekolah

maupun kurikulum.

c. Bagi Guru

Hasil penelitian ini guru-guru Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

dapat mendidik peserta didik dengan baik yaitu mengajarkan nilai-nilai

pendidikan.

d. Bagi Siswa

Hasil penelitian ini siswa dapat menerapkan nilai-nilai pendidikan yang

terkandung di dalam cerita rakyat yaitu legenda.


8

e. Bagi Peneliti Lain

Hasil dari penelitian ini dapat menambah pengetahuan atau acuan untuk

melakukan penelitian lanjutan.

f. Bagi Masyarakat

Dapat memberikan pemahaman betapa pentingnya mempelajari dan

menerapkan nilai pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat.

F. Definisi Istilah

Pada bagian definisi istilah ini, perlu perlu dijelaskan beberapa istilah yang
dipakai dalam proses penulisan. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahan
penafsiran kepada pembaca. Istilah itu adalah sebagai berikut.

1. Struktur merupakan hubungan antar unsur-unsur dalam karya sastra,

dalam hal ini prosa fiksi, yang menganggap objek studinya bukan hanya

sekumpulan unsur yang terpisah-pisah, melainkan sebagai suatu gabungan

kepada unsur yang lain. Antara unsur-usnsur tersebut terdapat jalinan yang

erat (koherensi).

2. Nilai pendidikan merupakan batasan segala sesuatu yang mendidik

kearah kedewasaan, yang bersifat baik maupun buruk sehingga

membentuk karakter seseorang agar lebih baik dan berguna bagi

kehidupannya, yang diperoleh melalui proses pendidikan.


9

3. Cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari masyarakat dan

berkembang di dalam masyarakat secara turun temurun dari mulut ke

mulut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

Landasan teori diperlukan agar penelitian ini terarah dan ilmiah. Dalam hal

ini peneliti memaparkan beberapa teori yang berkaitan dengan stuktur dan nilai-

nilai pendidikan yang dikutip dari beberapa para ahli, sebagai berikut.

1. Hakikat Sastra

Sastra merupakan kata serapan dari bahasa sanskerta ‘Sastra’, yang berarti

“teks yang mengandung intruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar ‘Sas’ yang

berarti “intruksi” atau “ajaran” dan ‘Tra’ yang berarti “Alat” atau “sarana”. Dalam

bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan”

atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu.

Menurut Esten (Suhardi, 2011: 3) “Sastra adalah cipta seni”. Sebagai

sebuah cipta seni sastra memiliki keindahan yang tinggi. Jika dilihat dari medium

yang digunakannya, Sastra dapat diklasifikasikan atas 2 kelompok, yaitu (1) sastra

lisan dan (2) sastra tulisan. Sastra lisan adalah sastra yang sistem penyajiannya

menggunakan media komunikasi lisan (tuturan). Sementara sastra tulis adalah

cipta sastra yang disajikan dengan menggunakan medium tulisan. Walaupun

keduanya memiliki perbedaan dari sudut media yang digunakan akan tetapi

10
11

keduanya memiliki misi yang sama, yaitu memperkaya khazanah sastra para

peminatnya. Bentuk-bentuk sastra tulis diantaranya sastra yang dimuat dalam

surat kabar setiap hari Minggu, buku-buku sastra, jurnal sastra, dan sebagainya.

Sementara sastra lisan adalah cipta sastra yang disampaikan secara lisan (dari

mulut ke mulut), seperti dongeng, legenda, dan mitos (Suhardi, 2011: 3).

Hakikat kajian sastra tidak lepas dari unsur estetik bagian penting

membangun karya sastra itu dari dalam. Bersama-sama dengan unsur intrinsik dan

ekstrinsik membentuk kesatuan dan memancarkan sinarnya pada para

penikmatnya sehingga penikmatnya terasa. Rien T Seger dalam Evaluasi Teks

Sastra mengatakan hampir setiap obyek dan tindakan mempunyai fungsi estetik.

Segala aktivitas yang dilakukan dikehidupan berkaitan erat dengan estetik. Mulai

berkomunikasi berpakaian, duduk, makan, dan bergaul. Unsur estetik tidak

terpisah dari kehidupan. Karya sastra sebagai estetika ditinjau dari karya sastra

sebagai seni berbahasa dan karya sastra sebagai bentuk seni (Suhardi, 2011: 8).

Sastra merupakan bahasa yang indah baik dalam seni maupun budaya.

Sastra lahir tentunya ada bahasa hal ini sejalan dengan pendapat Suhardi (2011: 8)

mengemukakan bahwa “medium sastra adalah bahasa. Mustahil sastra lahir tanpa

bahasa. Sastra tumbuh dan berkembang melalui proses perkembangan manusia,

karena bahasa itu lahir dari manusia”. Jadi, sastra lahir dari bahasa sedangkan

bahasa lahir dari manusia.


12

2. Hakikat Sastra Lisan

Menurut Endraswara (2011: 151) “sastra lisan adalah yang penyebarannya

disampaikan dari mulut secara turun-temurun”. Ciri-ciri mengenai sastra lisan,

yaitu (a) penyebaran melalui mulut, maksudnya, ekspresi budaya yang disebarkan,

baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut, (b) lahir di dalam masyarakat

yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum

mengenal huruf, (c) menggambarkan ciri-ciri budaya suatu masyarakat, sebab

sastra lisan itu merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau,

tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan sosial), (d) tidak

diketahui siapa pengarangnya, dan karena itu menjadi milik masyarakat, (e)

bercorak puitis, teratur dan berulang-ulang, (f) tidak mementingkan fakta dan

kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan/fantasi yang tidak diterima

oleh masyarakat modern, tetapi sastra lisan itu mempunyai fungsi penting di

dalam masyarakatnya, (g) terdiri dari berbagai versi, (h) menggunakan gaya

bahasa lisan (sehari-hari), mengandung dialek, kadang-kadang tidak lengkap

Hutomo (Sudikan, 2015: 4).

Sementara itu, Danandjaya (1991: 22) mengatakan bahwa sastra lisan

secara umum mencakup: (a) bahasa rakyat seperti logat, peribahasa, pepatah dan

pemeo, (b) ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah dan pameo, (c)

pertanyaan tradisional seperti teka-teki, (d) puisi rakyat seperti pantun, gurindam,

dan syair, (e) nyanyian rakyat, dan (f) cerita prosa rakyat seperti mite, legenda,

dan dongeng.
13

Menurut Bascom (Sudikan, 2015: 151-152) sastra lisan mempunyai empat

fungsi, yaitu (a) sebagai sebuah bentuk hiburan, (b) sebagai alat pengesahan

pernata-pernata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan

anak-anak, dan (d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma

masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

Hutomo (Suhartono, 2010: 1) menyatakan bahwa sastra lisan berciri: (1)

anonim; (2) materi cerita kolektif, tradisional, dan berfungsi khas bagi

masyarakatnya; (3) mempunyai bentuk tertentu dan varian; (4) berkaitan dengan

kepercayaan; dan (5) hidup pada masyarakat yang belum mengenal tulisan.

Supratno (Suhartono, 2010: 1) menyatakan bahwa sastra lisan berciri: (1) anonim;

(2) berversi atau bervariasi; (3) memunyai bentuk tertentu; (4) berguna bagi

kehidupan bersama; (5) bersifat polos atau lugu; (6) milik kolektif; dan (7)

tradisional. Ciri lain dikemukakan oleh Sastrowardoyo (Suhartono, 2010: 1)

bahwa sastra lisan berciri bersahaja dan lugas dalam bentuk lahir.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas, dapat di simpulkan

bahwa sastra lisan merupakan sastra yang berkembang dengan lisan di dalam

masyarakat secara turun-temurun. Sastra lisan berkembang mengalir begitu saja

dari mulut ke mulut tanpa ada yang mengetahui siapa pengarangnya, sehingga

sastra lisan menjadi milik bersama di dalam masyarakat tersebut.


14

3. Cerita Rakyat

Menurut Hutomo dan Sundari (Sumayana, 2017: 24) “cerita rakyat adalah

ekspresi budaya suatu masyarakat melalui bahasa tutur yang berhubungan

langsung dengan berbagai aspek budaya dan susunan nilai sosial masyarakat

tersebut. Dahulu cerita rakyat diwariskan secara turun temurun dari satu generasi

berikutnya secara lisan”. Oleh karena itu, sebuah cerita rakyat merupakan

gambaran lingkungan kemasyarakatan yang erat kaitannya dengan kebudayaan

dan nilai sosial di masyarakat tertentu.

Menurut KBBI (2012: 263) ”cerita rakyat adalah cerita dari zaman dahulu

yang hidup dikalangan rakyat dan diwariskan secara lisan”. Cerita rakyat

berkembang di masa lalu ketika bahasa tulis belum berkembang atau bahasa tulis

belum dikenal. Cerita rakyat itu diwariskan secara lisan, penyebarannya secara

dari mulut ke mulut sehingga seringkali ceritanya mendapatkan suatu variasi atau

tambahan tergantung pada kemampuan dan kemahiran tukang cerita/pawang

cerita. Jadi, cerita rakyat yang sama kemungkinan besar akan diceritakan dalam

versi atau cara yang berbeda meskipun isi ceritanya tetap sama, tidak mengubah

garis besar inti ceritanya.

Danandjaya (1991: 2) menyatakan bahwa “cerita rakyat atau folklor adalah

sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun,

di antaranya kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda,

baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau

alat pembantu pengingat”.


15

Bascom (Danandjaya, 1991:50) membagi cerita rakyat atau cerita prosa

rakyat (folk literature) ke dalam tiga kelompok, yaitu (1) mite atau mitos (2)

legenda, dan (3) dongeng. Berikut akan diuraikan mengenai penjelasan jenis-jenis

cerita rakyat diantaranya:

a. Mite atau Mitos

Mite atau Mitos berasal dari perkataan Yunani ‘mythos’ yang berarti

cerita. Mite atau biasa juga disebut mitos, yakni cerita tentang dewa-dewa dan

pahlawan-pahlawan yang diagungkan. Menurut Danandjaya (1991: 50), mite atau

mitos adalah cerita suci yang mendukung sistem kepercayaan atau agama. Mite

atau mitos adalah prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap

suci oleh yang empunya cerita. Mite atau mitos di dalamnya termasuk kejadian

alam , manusia, binatang.

Pada mulanya, mitos merupakan satu bentuk kepercayaan yang memenuhi

keinginan manusia untuk mengetahui asal-usul sesuatu kejadian. Mite ditokohi

oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau

di dunia yang bukan kita kenal sekarang,dan terjadi pada masa lampau. Mite pada

umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama,

terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, dan gejala alam.

Mitos pada umumnya menceritakan tentang terjadinya alam semesta,

dunia, bentuk khas binatang, bentuk topografi, petualangan para dewa, kisah

percintaan mereka dan sebagainya. Mitos itu sendiri, ada yang berasal dari

indonesia dan ada juga yang berasal dari luar negeri. Mite juga mengisahkan
16

petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka,

kisah perang mereka, dan sebagainya.

b. Legenda

Menurut Danandjaya (1991: 66) mengatakan “legenda adalah cerita prosa

rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai sesuatu yang benar-benar

terjadi”. Hal ini sejalan dengan KBBI (2012, 803) menyebutkan bahwa “legenda

adalah cerita rakyat zaman dahulu yang ada hubungannya dengan peristiwa

sejarah”. Oleh karena itu, legenda sering kali dianggap sebagai "sejarah" kolektif

(folk history). Walaupun demikian, karena tidak tertulis, maka kisah tersebut telah

mengalami distorsi sehingga sering kali jauh berbeda dengan kisah aslinya. Dalam

kaitannya dengan sejarah, ditegaskan bahwa legenda seringkali dipandang sebagai

“sejarah” kolektif (Folk history) walaupun “sejarah” itu telah mengalami distorsi

sehingga seringkali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. Jadi, dapat dikatakan

bahwa legenda memang erat dengan sejarah kehidupan masa lampau meskipun

tingkat kebenarannya seringkali tidak bersifat murni.

Kemudian Danandjaya (1991:67) menambahkan pemaparan bahwa

legenda bersifat semihistoris. Legenda dapat mengandung rincian-rincian

mitologis, khususnya kalau berkaitan dengan masalah supra natural dan oleh

karena itu tidak selalu dapat dibedakan dengan mitos. Secara lebih terperinci,

legenda dapat digolongkan ke dalam empat kelompok, yaitu: (I) legenda

keagamaan (religious legend), (2) legenda alam gaib (supernatural legend), (3)

legenda perseorangan (personal legend), dan (4) legenda setempat (local legend).
17

Legenda memiliki kandungan nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi

kehidupan masyarakat. Mengingat begitu besar makna legenda bagi masyarakat

pendukungnya, maka perlu diadakan suatu kajian mengenai legenda-legenda yang

masih dikenal dan hidup pada masyarakat tertentu (Prisma dkk, 2013: 2).

c. Dongeng

Dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan

kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang

mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya.

Dongeng juga merupakan dunia hayalan dan imajinasi dari pemikiran seseorang

yang kemudian diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.

Kadang-kadang kisah dongeng bisa membawa pendengarnya terhanyut ke dalam

dunia fantasi, tergantung cara penyampaian dongeng tersebut dan pesan moral

yang disampaikan.

Menurut Bascom (Danandjaya, 1991:50) menyatakan bahwa “dongeng

adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang

mempunyai cerita,dan dongeng tidak terikat waktu maupun tempat”. Dongeng

merupakan cerita yang tidak benar-benarterjadi (terutama tentang kejadian zaman

dahulu yang dianggap aneh). Dongeng adalah cerita yang secara lisan turun

temurun disampaikan kepada kita, danpengarangnya tidak dikenal.

Legenda (legend) sebagai salah satu bentuk folklor bukan lisan dan

menurut Bascom adalah prosa rakyat yang memiliki ciri-ciri yang mirip dengan

mite, yaitu dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci, ditokohi

manusia, walaupun terkadang punya sifat-sifat luar biasa dan kadang dibantu
18

makhluk-makhluk ajaib, tempat terjadinya di dunia (Danandjaya 1991 :50).

Apabila dikaitkan dengan pendapat Bascom, cerita legenda sebagai sebuah karya

sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial sebab langsung berkaitan

dengan norma-norma dan adat istiadat masyarakat pada kurun waktu tertentu

Luxemburg (Yayu, 2015: 19). Maka pendapat Bascom ini dapat dimaknai bahwa

legenda merupakan karya sastra yang berasal dari rakyat dengan ciri yang hampir

mirip dengan mitos.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, dapat diketahui pengertian

dongeng dan legenda secara umum. Secara generalisasi, dongeng dapat diartikan

sebagai bentuk prosa khususnya cerita rakyat. Sedangkan legenda jenis prosa

rakyat yang ceritanya mirip dengan mite. Hal ini dipahami oleh masyarakat

sebagai bagian dari sesuatu yang tidak benar-benar terjadi tetapi berwujud cerita

yang ada di masyarakat. Dengan demikian, baik dongeng maupun legenda sama-

sama prosa rakyat. Yang terpenting dalam legenda adalah kandungan pesan-pesan

dan nilai-nilai kehidupan yang terdapat di dalamnya.

4. Struktur Cerita Rakyat

Menurut Sudikan (2015: 35) “struktur adalah hubungan antar unsur-unsur

pembentuk dalam susunan keseluruhan”. Hal ini sejalan dengan pendapat

Endraswara (2011: 49) mengasumsikan “karya sastra sebagai fenomena yang

memiliki struktur yang saling terkait satu sama lain”. Kodrat struktur itu akan

bermakna apabila dihubungkan dengan struktur lain. Struktur tersebut memiliki

bagian yang kompleks, sehingga pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan

antarunsur secara keseluruhan. Unsur-unsur dalam cerita terdiri atas: tema, plot,
19

tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang (point of view), bahasa, dan moral. Hal

ini juga sesuai dengan pendapat Teeuw (2015: 106) “bahwa analisis struktural

bertujuan untuk membongkar, dan memaparkan secermat, seteliti, mendetail, dan

mendalam mungkin keterkaitan, dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya

sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh”. Maka, keduanya

berpandangan bahwa analisis struktural merupakan penganalisisan secara

menyeluruh pembangun sebuah karya sastra.

Stanton (Nurgiyantoro, 2012: 25) mengemukakan tiga unsur pembentuk

cerita yaitu fakta, tema, dan sarana penceritan. Yang dimaksud fakta sebuah cerita

adalah karakter (tokoh dan penokohan), alur, dan latar. Ketiganya merupakan

struktur faktual sebuah cerita. Tema adalah suatu yang menjadi dasar cerita.

Mengenai tema sebuah cerita ada kesamaan dengan makna pengalaman seseorang

yaitu suatu yang menjadikan pengalaman itu berkesan. Sedangkan sarana

penceritaan adalah cara pengarang untuk memilih dan menyusun antara lain

berupa sudut pandang, gaya (bahasa) dan nada, simbolisme, dan ironi.

Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2013:57) “Struktur karya sastra dapat

diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian

yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang

indah”. Nurgiyantoro (2013:57) mengatakan “dipihak lain, struktur karya sastra

menunjukan pada pengertian adanya hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat

timbal balik, saling menentukan saling memengaruhi, yang secara bersama

membentuk satu kesatuan yang utuh”.


20

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

unsur pembangun dalam cerita tidak terlepas dari unsur intrinsik dan unsur

ekstrinsik. Menurut Nurgiyantoro (wahyudin , 2016: 5) “bahwa unsur intrinsik

adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri”. Unsur-unsur inilah

yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang

secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Mengenai

pengertian struktur faktual (alur, tokoh dan penokohan, latar) dan tema dijelaskan

sebagai berikut.

a. Plot atau Alur

Stanton (Nurgiyantoro, 2013: 167) mengemukakan bahwa “plot adalah

cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan

secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan

terjadinya peristiwa yang lain”. Kenny (Nurgiyantoro, 2013: 167)

mengemukakan “plot sebagai peristiwa-peristiwa yang ditampilkan dalam

cerita yang tidak bersifat sederhana karena pengarang menyusun peristiwa-

peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat”.

Montage dan Hanshaw (Wahyuddin, 2016: 6) menjelaskan bahwa tahapan

peristiwa dalam plot suatu cerita dapat tersusun dalam tahapan awal

(exposition), yakni tahapan awal yan berisi penjelasan tentang tempat

terjadinya peristiwa perkenalan dari setiap pelaku yang mendukung cerita;

tahap inciting force, yakni tahap ketika timbul kekuatan, kehendak maupun

perilaku yang bertentangan dari pelaku; tahap rising action, yakni situasi

panas karena pelaku-pelaku dalam cerita berkonflik; tahap crisis, yakni situasi
21

semakin panas dan para pelaku sudah diberi gambaran nasib oleh

pengarangnya; climax, situasi puncak ketika konflik berada pada kadar yang

paling tiggi sehingga para pelaku itu mendapatkan kadar nasibnya sendiri-diri;

tahap falling action, kadar konflik sudah menurun sehingga ketegangan dalam

cerita sudah mulai mereda sampai menuju conclucion atau penyelsaian cerita.

Aristoteles (Nurgiyantoro, 2013: 201) mengemukakan bahwa “sebuah plot

harus terdiri dari tahap awal (beginning), tahap tengah (middle), tahap akhir (

end)”. Nurgiyantoro (2013: 201-205) menjelaskan bahwa tahap awal sebuah

cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada

umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai

hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Tahap tengah cerita

yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian menampilkan pertentangan

dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya,

menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Tahap akhir sebuah

cerita atau dapat juga disebut tahap perlarian, menampilkan adegan tertentu

sebagai akibat klimaks. Jadi, bagian ini misalnya (antara lain) berisi

bagaimana kesudahan cerita, atau menyarankan pada hal bagaimana akhir

sebuah cerita.

b. Tokoh dan Penokohan

Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2013: 247) menjelaskan bahwa “tokoh

adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedangkan

penokohan (characterization) adalah penghadiran tokoh dalam cerita fiksi


22

atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang

pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya”.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tokoh adalah

pelaku yang mengemban pristiwa dalam cerita rekaan sehingga cerita itu

mampu menjalin suatu cerita. Penokohan yaitu penyajian watak tokoh dan

penciptaan citra tokoh yang membedakan dengan tokoh lain.

c. Latar

Menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2013: 302) bahwa “latar merupakan

landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan

lingkunga sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan”.

Nurgiyantoro (2013: 314-32) menjelaskan bahwa unsur latar sendiri terdiri

dari latar tempat, waktu, dan sosial-budaya. (1) Latar tempat menunjuk pada

lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. (2)

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. (3) Latar sosial-budaya

menunjuk pada hal-hal yag berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial

masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara

kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang

cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi,

keyakinan, pandangan hidup, cara brpikir dan bersikap, dan lain-lain yang

tergolong latar spiritual seperti dikemukakan sebelumnya.


23

Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa

latar merupakan tempat yang merujuk pada lokasi, waktu, dan suasana sebuah

cerita berlangsung.

d. Tema

Menurut Stanton dan Kenny (Nurgiyantoro, 2013: 114) mengemukakan

bahwa “tema adalah makna yang di kandung oleh sebuah cerita”.

Nurgiyantoro menambahkan ada banyak makna yang dikandung dan

ditawarkan oleh cerita fiksi itu, maka masalahnya adalah makna khusus yang

mana dapat dinyatakan sebagai tema itu. Tema merupakan gagasan dasar

umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks

sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau

perbedaan-perbedaan (Hartoko dan Rahmanto dalam Nurgiyantoro, 2013:

115).

Jadi, dapat disimpulka bahwa tema merupakan suatu dimensional yang

amat penting dari suatu cerita, karena dengan dasar itu, pengarang dapat

membayangkan dalam fantasinya tentang cerita yang akan dibuat. Pengarang

sendiri tidak asal menyebutkan apa yang menjadi latar belakang atau tema

ceritanya, tetapi dapat kita ketahui setelah kita membaca cerita ini dengan

keseluruhan.
24

5. Nilai Pendidikan dalam Karya Sastra

Nilai merupakan suatu yang kita iyakan atau aminkan. “Nilai selalu

mempunyai konotasi posititif”, Hans Jonas (Jupri, 2013: 13). Menurut Bertens

(Yusuf, 2011) “Nilai merupakan suatu yang menarik bagi manusia, sesuatu

yang dicari manusia, sesuatu yang menyenangkan sesuatu yang disukai dan

diinginkan, singkatnya sesuatu yang baik”. Pada umumnya nilai diartikan

sebagai suatu yang berharga bagi kita atau manusia itu sendiri.

Menurut Hasbullah (Jupri, 2015: 14) “pendidikan atau paedagogie berarti

bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja oleh orang dewasa

agar ia menjadi dewasa”. “Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata

seorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia upaya

pengajaran dan pelatihan” Departemen Pendidikan Nasional (Jupri, 2015: 14).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai

pendidikan merupakan batasan segala sesuatu yang mendidik kearah kedewasaan,

yang bersifat baik atau buruk sehingga membentuk karakter seseorang agar

bersifat baik sehingga berguna bagi kehidupannya yang diperoleh melalui proses

pendidikan. Proses pendidikan bukan berarti dapat dilaku disatu tempat dan suatu

waktu. Dihubungkan dengan eksistensi dan kehidupan manusia, nilai-nilai

pendidikan diarahkan pada pembentukan pribadi manusia sebagai makhluk

individu, sosial, religius, dan budaya.

Nilai-nilai edukatif (pendidikan) tersebut menurut Sukamto (Daulay, 2013:

84) meliputi: (1) kejujuran, (2) loyalitas dan dapat diandalkan, (3) hormat, (4)
25

cinta, (5) ketidak egoisan dan sensitifitas, (6) baik hati dan pertemanan, (7)

keberanian, (8) mandiri dan potensial, (10) disiplin diri dan moderasi, (11)

kesetiaan dan kemurnian, dan (12) keadilan dan kasih sayang.

Jadi, penempatan nilai pendidikan melalui sastra memberikan pengajaran

yang posoitif bagi penikmat sastra itu sendiri. Nilai pendidikan dapat diambil dari

setiap karya sastra yang didengarkan, khususnya sastra lisan.

Menurut Tarigan (2011: 194-195) nilai-nilai dalam karya sastra dapat

dibagi menjadi sebagai berkut.

1. Nilai hedonik yaitu karya sastra yang memberikan kesenangan secara

langsung.

2. Nilai artistik yaitu nilai yang memanifestasikan suatu seni atau

keterampilan dalam melakukan suatu pekerjaan.

3. Nilai kultural yaitu nilai yang dapat memberikan atau mengandung

hubungan yang menadalam dengan suatu masyarakat, peradaban atau

kebudayaan.

4. Nilai etis, moral, dan agama yaitu nilai yang dapat memberikan atau

memancarkan petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, moral,

dan agama.

5. Nilai praktis yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai bagian dari kebudayaan, sastra lisan (cerita rakyat) memiliki nilai-

nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai yang baik-baik yang tertuang di


26

dalam setiap cerita merupakan tauladan atau contoh bagi pendengarnya. Adapun

nilai-nilai pendidikan dalam sastra lisan, khususnya cerita rakyat adalah sebagai

berikut.

a. Nilai Pendidikan Religius

Nilai relegius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta

bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia. Menurut Nurgiyantoro

(Jupri, 2015: 15) “kelahiran unsur religi dalam sastra sebuah keberadaan sastra itu

sendiri”. religius adalah bersifat religi, bersifat keagamaan, yang bersangkut paut

dengan religi. Nilai religi yang terkandung dalam sastra khususnya cerita rakyat

dimaksudkan menjadi renungan bagi penikmat sastra atau pendengar sastra itu

sendiri. Selain itu, nilai religi diharapkan mampu memberikan dampak lebih

bersyukur dan mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa.

b. Nilai Pendidikan Moral

Nilai pendidikan moral menunjukan peraturan-peraturan tingkah laku dan

adat istiadat dari seorang individu, dari satu kelompok yang meliputi perilaku.

Menurut Nurgiantoro (Jupri, 2015:17) “moral berurusan dengan masalah baik dan

buruk, namun masalah moral itu selalu dikonotasikan dengan hal yang baik-

baik”.

Moral merupakan petunjuk tentang berbagai hal dalam masalah

kehidupan, Seperti: sikap, tingkah laku, dan sopan santun dalam pergaulan.

Ajaran tentang nilai moral memperlihatkan kebaikan dan nilai ditampilkan lewat

tingkah laku ataupun perbuatan seorang.


27

Dalam karya sastra selalu memperlihatkan pesan-pesan moral yang

disampaikan lewat sifat-sifat luhur manusia yang meyakini hal yang baik-baik.

Jika dalam karya sastra ditampilkan hal-hal sebaliknya itu artinya kita dituntun

untuk mempelajari hikmah dari berbuat hal yang buruk atau tidak baik. Tujuannya

agar merubah dan menghindari diri dari berbuat yang buruk tersebut. Nilai-niali

seperti ini perlu digali dan diajarkan kepada generasi yang akan datang.

c. Nilai Pendidikan Sosial

Hasbullah (Jupri, 2015: 18) mengatakan “pendidikan sosial merupakan

proses yang diusahakan dengan sengaja di dalam masyarakat untuk mendidik

individu dalam lingkungan sosial, supaya bebas dan bertanggung jawab menjadi

pendorong kearah perubahan dan kemajuan”. Dalam kehidupan bersosial yang

saling berdampingan antar manusia menjadi nilai pendidikan sosial sangat

dibutuhkan.

Hal ini dikarenakan manusia selalu bersinggung dan berintraksi dengan

manusia lainnya dengan kata lain manusia tidak hidup sendiri melainkan saling

membutuhkan. Dengan demikian nilai pendidikan sosial diperlukan untuk

memberikan batasan-batasan perlakuan yang baik anatar sesama manusia.

d. Nilai Pendidikan budaya

Nilai pendidikan budaya merupakan nilai yang menempati posisi sentral

dan penting dalam kerangka suatu kebudayaan yang sifatnya abstrak dan hanya

dapat diungkapkan atau dinyatakan melalui pengamatan pada gejala-gejala yang


28

lebih nyata seperti tingkah laku dan benda-benda material sebagai hasil dari

penuangan konsep-konsep nilai melalui tindakan berpola.

Menurut KBBI (2012:214) budaya merupakan pikiran atau akal budi.

Kebudayaan merupakan hasil pikiran manusia yang menjadi kebiasaan disuatu

kalangan atau kelompok manusia. Pentingnya nilai pendidikan budaya pada

zaman sekarang ini karena di dalam tertuang adat istiadat dan kebudayaan yang

dapat digunakan dalam kehidupan. Semua itu akan bermanfaat jika diajarkan

untuk generasi muda.

B. Penelitian Relevan

Penelitian ini menitik beratkan pada nilai-nilai dan sastra, peneliti

menemukan beberapa penelitian yan relevan terhadap penelitian ini, yakni:

1. Jupri, 2015. Analisis Nilai Edukatif dalam Cerita Rakyat Melayu

Kabupaten Karimun. Universitas Maritim Raja Ali Haji tanjungpinang.

Hasil penelitiannya menganalisis nilai yang terkandung di dalam cerita

melayu berupa legenda mengenai nilai-nilai pendidikan. Persamaan yang

dilakukan peneliti dengan penelitian di atas, sama-sama mengkaji tentang

cerita rakyat berupa legenda dan nilai-nilai pendidikan yang terkandung di

dalamnya. Perbedaannya ialah terletak pada objek kajian dan jenis cerita

rakyat berupa legendanya.

2. Meta Trisia. 2014. Proses Struktur dan Fungsi Mantra Pada Msyarakat

Tarempa Kecamatan Siantan Kabupaten Kepulauan Anambas. Universitas


29

Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang. Dalam penelitian ini, peneliti

menemukan struktur dan fungsi mantra. Dengan demikian pembaca

menjadi tahu bahwa mantra memilki struktur dan fungsi tersendiri.

Persamaan yang dilakukan peneliti dengan peneliti di atas, sama

menganalisis sastra lisan, sedangkan perbedaannya ialah objek kajian,

jenis sastra lisan, jenis kajian yang dianalisis.

3. Sitiatun. Analisis tema dan Amanat kumpulan Legenda Cerita Rakyat

Nusantara 33 Provinsi Karya Dea Rosa. Universitas Maritim Raja Ali Haji

Tanjungpinang. Dalam penelitiannya menemukan tema dan amanat yang

terkandung dalam kumpulan legenda cerita rakyat nusantara 33 provinsi

karya Dea Rosa. Tentunya memberikan manfaat bagi pembaca sehingga

menjadi tahu legenda tersebut mempunyai tema dan amanat yang belum

diketahui pembaca sebelumnya. Persamaaan yang dilakukan peneliti

dengan penelitian di atas, sama-sama meneliti tentang legenda, sedangkan

perbedaannya objek kajian, legenda berbentuk tulisan bukan lisan, dan

jenis legenda.

C. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir diperlukan agar peneliti lebih terarah dan teratur. Selain

itu kerangka berpikir juga mempermudah peneliti dalam menguraikan

permasalahan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat berjenis


30

legenda di Kabupaten Kepulauan Anambas. Berikut bagan konseptual dalam

Penelitian ini.

Teoritis : Kajian Stuktural dan Nilai Pendidikan

Konseptual : Struktur dan Nilai Pendidikan dalam Cerita Rakyat

Berjenis Legenda di Kabupaten Kepulauan Anambas

Operasional : Struktur dan Nilai Pendidikan Religius, Nilai

Pendidikan Moral, Nilai Pendidikan Sosial, dan Nilai

Pendidikan Buadaya dalam Cerita Rakyat Berjenis

Legenda di Kabupaten Kepulauan Anambas


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif dan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian ini berbentuk

deskriptif kualitatif, karena data-data yang terkumpul berbentuk kata-kata

sehingga tidak menekankan pada angka-angka. Hal ini sejalan dengan pendapat

(Moleong, 2015:11) bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu data

yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka.

Dengan kata lain menguraikan setiap hasil yang didapat melalui proses penelitian.

Jadi, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian ini

berbentuk deskriptif kulitatif.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kepulauan Anambas. Penelitian ini

dilakukan mulai April sampai dengan Mei 2018. Kegiatan yang peneliti lakukan

observasi, pengumpulan data, dan analisis data. Untuk lebih jelas mengenai waktu

penelitian dapat dilihat pada tabel berikut.

31
32

TABEL.1 RENCANA PELAKSANAAN PENELITIAN

Bulan
No. Nama Kegiatan
Februari Maret April Mei Juni Juli

1
Pengajuan judul
2 Penulisan proposal

3 Revisi proposal

Pengesahan dan
4
penyerahan
proposal
5 Seminar proposal

6 Perbaikan proposal

7 Pelaksanaan
Penelitian
8 Penyusunan Skripsi

9 Sidang skripsi

C. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian menurut Sugiyono (2014: 222) “dalam peneltitian

kualitatif yang menjadi instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri”.

Dalam penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain dari pada menjadikan manusia

sebagai instrumen penelitian utama. Untuk melaksanakan penelitian maka

digunakan alat pendukung sebagai berikut.

a. Instrument struktur: instrumen ini digunakan sebagai acuan dalam

penganalisisan struktur setiap cerita rakyat.


33

b. Instrumen nilai pendidikan: Instrumen ini digunakan sebagai acuan untuk

menganalisis nilai pendidikan relegius, moral, sosial, dan budaya dalam

cerita rakyat.

TABEL.2 INSTRUMEN STRUKTUR DALAM CERITA RAKYAT

Struktur Cerita Rakyat


Kutipan Teks Tokoh dan Keterangan
Alur Latar Tema
Penokohan

TABEL.3 INSTRUMEN NILAI PENDIDIKAN RELIGIUS DALAM


CERITA RAKYAT

Nilai Pendidikan Religius


Kutipan Teks Keterangan
Keyakinan Ibadah Akhlak
34

TABEL. 4 INSTRUMEN NILAI PENDIDIKAN MORAL DALAM CERITA


RAKYAT

Nilai Pendidikan Moral


Kutipan Teks Keterangan
Sikap Sifat

TABEL. 5 INSTRUMEN NILAI PENDIDIKAN SOSIAL DALAM CERITA


RAKYAT

Nilai Pendidikan Sosial


Kutipan Teks Keterangan
Interaksi Kerja Sama Tolong
Menolong
35

TABEL. 6 INSTRUMEN NILAI PENDIDIKAN BUDAYA DALAM


CERITA RAKYAT

Nilai Pendidikan Budaya


Kutipan Teks Keterangan
Adat Kreatifitas kepercayaan

D. Data dan Sumber Data

Data dari penelitian ini berupa data kualitatif. Data yang ada lebih banyak

berupa kata-kata. Data yang diperoleh dalam penelitian ini melalui informasi

lisan dari para infoman legenda di Kabupaten Kepulauan Anambas. Sumber

data dalam penelitian ini adalah informan untuk peneliti mendapatkan informasi.

Untuk menjadi informan seseorang harus memenuhi kriteria agar informan

dapat akurat. Menurut Djajasudarma (2010: 25) kriteria informan harus

memenuhi antara lain. (a) informan merupakan orang asli daerah tersebut atau

orang yang sudah lama tinggal di daerah tersebut yang mengetahui informasi

yang dibutuhkan, (b) informan berusia 40-80 tahun, (c) memiliki sedikit

pendidikan formal, dan (d) tidak memiliki kelainan dalam pelafalan.


36

E. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Sudikan (2015: 232). “Teknik pengumpulan data merupakan cara

kerja, terkait dengan apa yang harus diperbuat dan bagaimana berbuat dalam

rangka mencapai tujuan penelitian”. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik

observasi, perekaman, dan wawancara sebagai berikut.

a. Observasi

Penelitian ini menggunakan teknik observasi tidak langsusng karena

peneliti tidak mewawancara secara terstruktur melainkan menanyakan atau

minta diceritakan cerita rakyat tersebut kepada informan. Namun, peneliti

langsung mengamati mengenai tempat yang diteliti.

b. Perekaman

Pengumpulan data sastra lisan dapat diawali dengan langkah

perekaman. Rekaman sastra lisan dapat menggunakan foto, alat rekaman,

kamera video, dan catatan. Selama perekaman dilakukan pencatatan

mengenai suasana bercerita, reaksi pendengar, peralatan yang digunakan

suatu bercerita, serta mencatat istilah-istilah yang digunakan pencerita

yang perlu ditanyakan kepada pencerita setelah yang bersangkutan selesai

menyampaikan ceritanya.

c. Wawancara

Wawancara pada penelitian sastra lisan dapat terarah dan tak terarah.

Wawancara yang terarah, biasanya dilakukan dengan mempersiapkan

fokus pertanyaan. Sedangkan wawancara yang tak terarah, biasanya lebih


37

natural dan dapat dilakukan dimana saja. Peneliti lebih bebas menanyakan

apa saja yang berkaitan dengan sastra lisan kepada informan. Pada

penelitian ini peneliti lebih memfokuskan pada wawancara tak terarah,

karena peneliti lebih bebas menanyakan kepada informan tentang sastra

lisan atau cerita rakyat.

F. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisis data, analisis data adalah

proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh. Dalam

menganalisis data diperlukan tahapan-tahapan yang hasilnya akan memperoleh

data yang aktual. Dalam menganalisis struktur dan nilai-nilai pendidikan dalam

cerita rakyat berjenis legenda di Kabupaten Kepulauan Anambas diperlukan

langkah-langkah sebagai berikut.

Hutomo (Sudikan, 2015: 253) memberikan petunjuk dalam mentranskripsi dari

wacana lisan teks tulis, antaranya.

1. Transkripsi secara kasar, artinya semua suara dalam rekaman dipindah

ke tulisan tanpa mengindahkan tanda baca.

2. Transkripsi kasar tersebut selanjutnya di sempurnakan.

3. Setelah transkripsi disempurnakan, mulailah si peneliti menekuni hasil

transkripsinya.
38

4. Setelah hasil transripsi diberi tanda-tanda baca dan perwajahan yang

sempurna, selanjutnya diketik (manual atau computer).

Setelah data lisan sudah berbentuk tulisan maka peneliti melakukan

langkah-langkah sebagai berikut.

1. Mengidentifikasi data-data yang sudah berbentuk tulisan dengan

masalah-masalah yang diteliti, yaitu tentang struktur dan nilai-nilai

pendidikan apa saja yang terdapat dalam cerita rakyat berjenis legenda

yang peneliti dapatkan.

2. Pengklasifikasikan nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam cerita

rakyat berjenis legenda tersebut.

3. Menyimpulkan data yang sudah diperoleh dengan cara mendeskripsikan

dengan jelas.

G. Pengecekan Keabsahan Data

Lincoln dan Guba (Sudikan, 2015: 237) yang mengemukakan ada empat
kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu: derajat
kepercayaan (credibility), keteralihan (tranfaribility), ketergantungan
(dependability), dan kepastian (comfirmability). Empat kriteria tersebut diuraikan
sebagai berikut.
39

1. Derajat kepercayaan (credibility)

Sebagai instrumen penelitian dalam penelitian kualitatif adalah

peneliti sendiri, sehingga sangat dimungkinkan dalam pelaksanaan di

lapangan terjadi kecondongan purbasangka (bias), untuk menghindari

hal tersebut, data yang diperoleh perlu diuji derajat kepercayaannya.

Pengecekkan derajat kepercayaan data perlu dilakukan untuk

membuktikan apakah yang diamati oleh peneliti benar-benar sesuai

dengan apa yang sesungguhnya terjadi secara wajar di lapangan.

Derajat kepercayaan data (kesahihan data) dalam penelitian kualitatif

digunakan untuk memenuhi kriteria (nilai) kebenaran yang bersifat

sebagaimana yang terjadi di lapangan, yang dialami, dirasakan dan

dipikirkan oleh partisipan/sumber data.

2. Keteralihan (tranfaribility)

Keteralihan (tranfaribility) dalam penelitian kualitatif dapat dicapai

dengan cara “uraian rinci”. Untuk kepentingan ini peneliti berusaha

melaporkan hasil penelitian secara rinci. Uraian laporan diusahakan

dapat mengungkapkan secara khusus segala sesuatu yang diperlukan

oleh pembaca, agar para pembaca dapat memahami temuan-temuan

yang diperoleh. Penemuan itu sendiri bukan bagian dari uraian rinci

melainkan penafsirannya diuraikan secara rinci dengan penuh

tanggung jawab berdasarkan kejadian-kejadian nyata.


40

3. Ketergantungan (dependability)

Ketergantungan (dependability) dilakukan untuk menanggulangi

kesalahan-kesalahan dalam konseptualisasi rencana peneliti,

pengumpulan data, interpretasi temuan, dan pelaporan hasil peneliti.

Untuk diperlukan dependent auditor. Sebagai dependent auditor dalam

penelitian ini adalah pembimbing.

4. Kepastian (comfirmability)

Pengauditan kepastian (comfirmability audit) dalam penelitian ini

dilakukan bersama-sama dengan pengauditan ketergantungan

(dependability audit). Perbedaannya pengauditan kepastian

(comfirmability audit) digunakan untuk menilai hasil lapangan

(product) penelitian. Sedangkan pengauditan ketergantungan

(dependability audit) digunakan untuk menilai proses yang dilalui

peneliti di lapangan. Inti pertanyaan pada comfirmability adalah

apakah keterkaitan antara data, informasi, dan data interpretasi yang

dituangkan dalam organisasi pelaporan didukung oleh materi-materi

yang tersedia atau digunakan dalam audit trial.

Sudikan (2015: 237-239) menjelaskan untuk memeriksa keabsahan data

dalam kajian ini dilakukan kegiatan sebagai berikut: (a) melakukan triangulasi,

(b) melakukan peer debriefing, (c) member check dan audit trial.
41

Langkah-langkah triangulasi, yaitu (1) triangulasi sumber data, yang

dilakukan dengan cara mencari data dari banyak sumber informan, yaitu orang

yang terlibat langsung dengan objek kajian, (2) triangulasi pengumpulan data

(investigator) dilakukan dengan mencari data dari banyak informan, (3)

triangulasi metode pengumpulan data (observasi, interview, studi dokumentasi

maupun kelompok terpumpun (focus group) dan (4) triangulasi teori, dilakukan

dengan cara mengkaji berbagai teori yang relevan, sehingga dalam hal ini tidak

digunakan teori tunggal tetapi dengan teori yang jamak.

audit trial juga dilaksanakan untuk menguji keakuratan data melalui

pemeriksaan data mentah (catatan lapangan, hasil rekaman dokumentasi, dan

foto), hasil analisis data (rangkuman dan konsep-konsep), hasil sintesis data

(tafsiran, simpulan, definisi, tema, interelasi tema, pola, hubungan dengan

literature, dan laporan akhir), dan catatan proses yang digunakan (metodologi,

desain, strategi, prosedur, usaha keabsahan kredibilitas, dependabilitas,

kofirmabilitas, dan audit trial itu sendiri).

Selanjutnya, member check penulis lakukan dengan para informan untuk

menarik simpulan dari informasi dan data yang berhasil dikumpulkan dengan cara

menjelaskan hasil interpretasi kepada para informan. Informasi dan data yang

diperoleh dari lapangan dikaji dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data

dan informasi yang tersebut selalu didiskusikan dengan teori yang relevan,

terutama yang bersumber dari tulisan pada jurnal mutakhir yang membahas teori

hegemoni kaitannya dengan seni.


42

Diskusi analitik dengan sekelompok teman (peer group) para pakar ilmu

sosial dan pakar metode penelitian mengenai hasil sementara maupun hasil akhir,

dilakukan secara terus-menerus sehingga kualitas analisis dapat

dipertanggungjawabkan sekaligus untuk menutup kelemahan temuan apabila

tanpa perdebatan dengan orang lain.

Peneliti melakukan pengecekan keabsahan data merujuk pada pendapat di

atas, yaitu (1) sumber data lebih dari satu informan, (2) pengumpulan data lebih

dari satu informan, (3) melakukan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi,

(4) mengkaji dengan berbagai teori yang relevan, (5) pemeriksaan data mentah

(catatan lapangan, hasil rekaman dokumen, dan foto), (6) mengecek kembali hasil

informasi dan data yang dikumpulkan kepada informan yang bersangkutan, dan

(7) melakukan diskusi analisis kepada pembimbing atau yang ahli sesuai dengan

bidang ilmunya.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, I., Syahrul, R., dan Ermanto,. 2013. Cerita Rakyat Penamaan Desa di
Kerinci: Kategori dan Fungsi Sosial Teks. Jurnal Pendidikan
bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang: diunduh 06
Februari 2018

Annisa, Mamay Ayu. 2015. Kajian Struktur Legenda Sasakala Sagalaherang


dan Nilai Kearifan Lokal yang Dikandungnya Serta Pemanfaatannya
Sebagai Bahan dan Kegiatan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Smp.
Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia Repository.Upi.Edu
Perpustakaan.Upi.Ed: diunduh 06 Februari 2018

Attas, Siti Gomo. 2013. Mengusung Pembelajaran Sastra Lisan Gambang


Rancag Betawi Menuju Pembelajaran Inovatif. Jurnal Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas Negeri Malang: diunduh 06 Februari
2018

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS

Departemen Pendidikan Nasional. 2012. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:


PT Gramedia Pustaka Utama

Djajasudarma, Fatimah. 2010. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian


dan Kajian. Bandung: PT Refika Aditama

Danandjaya, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Temprint

Daulay, Ismail Rahmad., WS, Hasanuddin., Abdul, Manaf Ngusman. 2013. Nilai
nilai Edukatif dalam Lirik Nyanyian Onang-onang pada Acara
Pernikahan Suku Batak Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan
Provinsi Sumatera Utara. Jurnal Program Studi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang: diunduh 20
Maret 2018

Hasansadili. 2009. Pengertian Sastra Secara Umum dan Menurut Para Ahli.
https://asemmanis.wordpress.com/2009/10/03/pengertian-sastra-
secara-umum-dan-menurut-para-ahli/
19 Maret 2018

Jabrohim. 2015. Teori Penelitan Sastra. Yogyakarta: Pustaka Belajar

43
44

Jupri. 2015. Analisis Nilai Edukatif Cerita Rakayat Melayu Kabupaten Karimun.
Pada Skripsi FKIP UMRAH Tanjungpinang: tidak diterbitkan

Lestari, S., Rakhmawati, A., dan Rohmadi, M,. 2016. Analisis Unsur Intrinsik
dan Ekstrinsik Pada Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2014 Serta
Relevansinya Sebagai Materi Pembelajaran Sastra di Sekolah
Menengah Atas. Jurnal FKIP Universitas Sebelas Maret: diunduh
25 Februari 2018

Meta Trisia. 2014. Proses Struktur dan Fungsi Mantra Pada Msyarakat Tarempa
Kecamatan Siantan Kabupaten Kepulauan Anambas. Skripsi
FKIP UMRAH Tanjungpinang: tidak diterbitkan

Moleong, Lexy j. 2015. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya Offset

Nurgiyantoro, Burhan. 2012. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press

Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press

Prisma, Arlynda Mahardini., Djoko Saryono., Suherjanto, Indra,. 2013. Legenda


Dam Bagong Desa Ngantru Trenggalek Jawa Timur: Telaah Kajian
Folklor. Jurnal Universitas Negeri Malang: diunduh 15 Februari
2018

Rafiek, M. 2015. Teori Sastra. Bandung: PT Refika Aditama

Rully dan Poppy. 2014. Metodologi Penelitian. Bandung: Refiak Aditama

Sudikan, Setya Yuwana. 2015. Metode Penelitian Sastra Lisan. - : CV. Pustaka
Ilalang Group

Sitiatun. 2014. Analisis Tema dan Amanat Kumpulan Legenda Cerita Rakyat
Nusantara 33 Provinsi Karya Dea Rosa. Proposal Penelitian
FKIP UMRAH Tanjungpinang: tidak diterbitkan

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung:


Alfabeta

Suhardi. 2011. Sastra Kita, Kritik, dan Lokalitas. Depok: Komodo Books

Suhartono., Yulianto, B., dan Ahmadi, A,. 2010. Cerita Rakyat di Pulau
Mandangin: Kajian Struktural Antropologi Claude Lévi Strauss.
45

Jurnal Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya:


Vol 23, Nomor 4, Hal: 304-311

Sumayana, Yena. 2017. Pembelajaran Sastra Di Sekolah Dasar Berbasis


Kearifan Lokal (Cerita Rakyat). Jurnal Program Studi PGSD
STKIP Sebelas April Sumedang: diunduh 06 Februari 2018

Teeuw, A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya

Wahyuddin, Wisrawati. 2016. Kemampuan menentukan Isi Cerita Rakyat Siswa


Kelas X SMA Negeri 1 Raha. Jurnal Bastra: diunduh 25 Februari 2018

Wellek, R., dan Warren, A,. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama

Yayu, Mama. 2015. Pemanfaatan struktur dan nilai kearifan lokal dalam legenda
di kecamatan sagalaherang Sebagai teks bahan ajar di SMP.
Proposal penelitian: diunduh 08 Maret 2018

Yusuf. 2011. Nilai dan Norma.


Http://yusup-doank.blogspot.co.id/2011/05/nilai-dan-norma.html,
8 Maret 2018

Anda mungkin juga menyukai