Anda di halaman 1dari 25

Analisis Perilaku Kolektif Pemogokan Buruh di Delanggu pada 1948 ditinjau

dari Teori Konvergensi

Dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Sosiologi

Dosen Pengampu:

Dra. Rina Adyawardhina, M. Si.

Oleh Kelompok 2:

Yuntika (180310180015); Shelfie Froshella (180310180019); Yogi Liandri

Nurahman (180310180021); Fadhila Khoirul Tsania Armedi (180310180023); Elsa

Pebrianti (180310180024); Ummi Aulia Khotimati Sa’adah (180310180025);

Siti Lilik Nur Rohmah (180310180027); Hervina (180310180034); Rama Daini

(180310180040)

ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Delanggu merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Klaten dengan

lahan pertanian yang subur, iklim yang baik, serta sumber air yang cukup di atas

ketinggian 153 meter, sehingga cocok dijadikan sebagai lahan perkebunan (BPS

Klaten, 1986: 11). Pada 1905, terdapat 44.400 penduduk di Distrik Delanggu

dengan 60 penduduk Eropa dan Cina dalam jumlah yang sama. Kedudukan

masyarakat Eropa di Perkebunan Delanggu berada di kelas atas, kemudian di

bawahnya diduduki oleh orang-orang Cina yang bekerja sebagai kontrolir.

Sedangkan masyarakat asli Delanggu menduduki kelas paling rendah dengan

jabatan sebagai buruh.

Eksistensi Delanggu sebagai daerah perkebunan telah dimanfaatkan oleh

pemerintah Hindia Belanda, baik sumber daya manusianya maupun sumber daya

alamnya. Masyarakat Delanggu biasa bekerja sebagai buruh tanam, buruh panen,

buruh angkut, dan juga pekerja di pabrik gula. Letak Delanggu yang strategis,

yakni berada di sepanjang jalur kereta api serta jalanan utama Yogyakarta-

Surakarta memudahkan mobilisasi hasil perkebunan dari maupun ke Delanggu.

Pada akhir abad ke-19 Delanggu menjadi salah satu penghasil padi sekaligus tebu

yang potensial. Perkebunan yang dijalankan di Delanggu menghasilkan tebu yang

kemudian didistribusikan ke berbagai daerah seperti Klaten. Jauh setelah itu


Delanggu baru memiliki pabrik tebu pada 1917 (Sarjana Sigit Wahyudi dalam

Ikaningtyas, 2013).

Selain menjadi salah satu daerah perkebunan dan pertanian yang

mumpuni, Delanggu juga dikenal sebagai daerah penghasil karung goni, sebuah

wadah yang biasa digunakan sebagai tempat hasil panen yang terbuat dari kain

goni (serat tumbuh-tumbuhan). Karung goni di Delanggu menyimpan sejarah

yang panjang. Bukan hanya sebatas media dalam kegiatan perekonomian

(pertanian dan perkebunan), melainkan juga menjadi salah satu indikator

dinamika sosial masyarakat Delanggu. Karung goni di Delanggu di produksi di

sebuah pabrik bekas pabrik gula. Lembaran demi lembaran karung goni yang

sering luput oleh pengawasan masyarakat khususnya di Delanggu, menyimpan

kisah yang panjang mengenai pemogokan buruh di Delanggu pada 1948.

Pemogokan yang terjadi ini didasari pada aspek kesenjangan sosial yang terjadi

antar sesama pekerja pabrik sehingga memicu terjadinya perilaku kolektif

masyarakat Delanggu, yang pada akhirnya menimbulkan gerakan sosial di

Delanggu pada 1948.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mengetahui mengenai permasalahan yang akan dibahas, maka

diperlukan adanya rumusan masalah sebagai pedoman dalam pembahasan.

Dengan demikian, berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, penulis

merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana peristiwa pemogokan buruh di Delanggu itu bisa terjadi?


2. Faktor apa saja yang menyebabkan pemogokan buruh di Delanggu terjadi?

3. Bagaimana kajian sosiologi mengenai perilaku kolektif pada peristiwa

pemogokan buruh di Delanggu ditinjau dari teori konvergensi?

1.3 Kajian Teori

Perilaku kolektif merupakan suatu cara berpikir, merasa serta bertindak,

yang berkembang di kalangan masyarakat dan relatif baru. Perilaku ini terjadi

apabila cara pengerjaan sesuatu yang telah dikukuhkan secara tradisional tidak

lagi memadai. Kelompok yang berperilaku kolektif merupakan kolektivitas yang

tidak terstruktur dan bersifat temporer tanpa adanya pembagian peranan atau

hierarki kekuasaan secara formal. Perilaku kolektif menjadi ciri khas dari

kelompok masyarakat yang kompleks atau heterogen. Perilaku demikian tidak

terlihat dalam masyarakat sederhana. Sementara itu, dalam sosiologi ada

pernyataan bahwa individu yang terlibat dalam perilaku kolektif dapat berbentuk

kerusuhan, kebrutalan, maupun tindakan-tindakan menyimpang lainnya. Perilaku

kolektif sendiri terdiri atas perilaku kerumunan, perilaku massa, dan gerakan

sosial.

Teori psikologi menghubungkan kegiatan gerakan sosial dengan

ketidakpuasan pribadi (personal disconten) suatu gerakan atau ketidakmampuan

menyesuaikan diri yang menyebabkan orang bersikap mudah terlibat dalam suatu

gerakan. Teori sosiologi menekankan bahwa depresiasi relatif, yakni situasi

dimana harapan orang terbukti lebih tinggi daripada kenyataan yang terjadi

(Horton, 1894:2).
Faktor yang menyebabkan terjadinya gerakan sosial adalah deprivasi

ekonomi yaitu orang yang melibatkan diri dalam gerakan perubahan sosial karena

menderita deprivasi (kehilangan, kekurangan, dan penderitaan) misalnya kenaikan

harga-harga bahan kebutuhan pokok. Di samping itu ada faktor kenikmatan

kemajuan ekonomi (teori deprivasi relatif), meskipun tingkat kepuasan meningkat,

akan tetapi antara harapan masyarakat dengan keadaan nyata yang dihadapi terjadi

kesenjangan. Apabila kesenjangan itu semakin melebar melewati batas toleransi,

seperti krisis ekonomi, maka akan berakibat pada tercetusnya revolusi.

Perilaku kolektif yang dilakukan oleh sekelompok manusia dalam lingkup

tertentu sehingga menimbulkan gerakan sosial, dapat dilihat dalam kasus yang

pernah terjadi di Delanggu pada 1948. Peristiwa pemogokan buruh pabrik goni

yang beroperasi di Delanggu merupakan dampak adanya ketidakpuasan serta

ketidakselarasan pedoman atau institusi yang bersangkutan (dalam hal ini

pemerintah) terhadap buruh pabrik. Kondisi ini dimanfaatkan oleh beberapa

oknum yang berkepentingan (seperti komunis) untuk menanamkan ideologinya di

tengah pusaran kemarahan buruh. Ketika berhasil mendapat simpati buruh,

peristiwa yang awalnya hanya diinisiasi oleh pihak-pihak terlibat mendapat

kekuatan semakin besar dari para buruh, gerakan sosial yang bersifat merusak-pun

tidak dapat dicegah. Untuk memahami bagaimana peristiwa ini dapat terjadi dapat

ditinjau dengan pendekatan teori konvergensi, keadaan menuju satu titik

pertemuan atau pemusatan.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 LATAR BELAKANG PERISTIWA

Gerakan sosial sudah terjadi di Indonesia sejak abad ke-19, dimana

gerakan yang biasanya melibatkan golongan bawah ini tidak lain dan tidak bukan

terjadi karena masalah kesejahteraan dan perut. Gerakan sosial yang terjadi pun

dari masa ke masa semakin terorganisir, memiliki tujuan-tujuan, dan faktor-faktor

yang beragam. Di daerah Jawa sendiri yang notabene merupakan daerah subur,

otomatis menjadi daerah tujuan perusahaan perkebunan dan pertanian baik negara

maupun swasta. Hal ini menimbulkan terserapnya tenaga buruh dan petani yang

banyak. Keikutsertaan para buruh dan tani memicu terjadinya gerakan sosial

seperti yang pada gerakan Makuwijoyo tahun 1865 di desa Merbung, Klaten.

Gerombolan kecu yang menyerang para bekel dan penyewa tanah tahun 1867-

1875 terjadi di daerah Klaten, Boyolali, Sragen dan sekitarnya (Suhartono, 1991:

142-144).

Setelah Indonesia merdeka, protes para buruh dan tani semakin beralasan.

Indonesia yang baru saja merdeka, menitih rumah tangganya dan membangun

puing-puing yang hancur secara material dan immaterial memang sangat jauh dari

kata sejahtera, khususnya bagi golongan “bawah”. Sehingga gerakan sosial masih

banyak terjadi, salah satunya di daerah Delanggu, yang notabene merupakan tanah

Vorstenlanden atau tanah kantong milik raja Surakarta menyerap banyak tenaga

kerja. Didaerah ini banyak sekali perkebunan-perkebunan, didukung oleh


daerahnya yang subur, sehingga buruh dan tani menjadi mata pencaharian utama

disini.

Semakin masifnya gerakan komunis yang memiliki tujuan kesamaan kelas

dan kesejahteraan kaum-kaum bawah pun semakin membakar semangat gerakan

sosial buruh dan tani khususnya di daerah Delanggu. Pergolakan sering terjadi

antara tahun 1945-1950, dan menghasilkan berdirinya organisasi buruh Sarekat

Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SARBUPRI) dan Sarekat Tani Islam

Indonesia (STII). Organisasi itu memberikan sokongan ide, gagasan dan dasar

dalam melakukan protes kepada pemilik modal apabila ketidak-adilan menimpa

mereka (Suyatno, 1984:67).

Uraian diatas merupakan sedikit gambaran umum perihal keadaan buruh

dan tani beserta gerakan-gerakan yang dilakukan untuk mencapai suatu

kesejahteraan yang berorientasi tidak lain dan tidak bukan kepada masalah perut.

Selanjutnya kita perlu memahami bagaimana kondisi Delanggu sebagai daerah

yang ramai akan perkebunan hingga terjadinya gerakan sosial didaerah tersebut.

Secara administratif Delanggu merupakan daerah yang berada dibawah

Karesidenan Surakarta, yaitu merupakan sebuah kawedanaan dari Kabupaten

Klaten. Singkatnya, sejak keluarnya Vorstenlandsch Grondhuur Reglement (VGR)

pada tahun 1948, pengusaha perkebunan memperoleh jaminan usaha di daerah

Karesidenan Surakarta. Reglement ini tentunya sangat menguntungkan bagi para

pengusaha dimana mereka mendapat hak-hak istimewa seperti menyewa dari raja

dan menyewa dari rakyat (Harsono, 2008: 93). Faktor-faktor yang


melatarbelakangi terjadinya gerakan buruh di Delanggu meliputi faktor sosial-

ekonomi dan politik.

a. Faktor Sosial-Ekonomi

Kaum buruh di Delanggu terdiri dari dua golongan, golongan pertama

meliputi para pegawai administrasi yang bekerja di kantor sebagai mandor

(pengawas kerja) dan para sinder (kepala pengawas tanaman). Golongan kedua

merupakan buruh yang bekerja di perkebunan terdiri dari pekerja harian tetap,

pekerja borongan tetap, pekerja harian dan borongan lepas (seizon arbeiders), dan

buruh maro (deelbouweers) (Arsip Kementrian Penerangan No. 46, dan No. 242).

Dua golongan ini tentunya memiliki perbedaan secara jam kerja, fasilitas

dan upah yang didapatkan serta hak-hak yang didapatkan. Perbedaan yang nyata

terjadi sangatlah mencolok dan menimbulkan kecemburuan terhadap golongan

yang lebih diistimewakan, sehingga banyak terjadi clash atau keberpihakan yang

dilakukan golongan atas dan bawah di lingkungan kerja perkebunan. Kondisi

ekonomi buruh lapangan sangat memprihatinkan karena hanya mendapatkan upah

harian sebesar Rp. 1,5-Rp.2 dengan kupon beras yang harus dibelinya Rp. 1,5 per

kg. Sedangkan upah buruh administrasi sebesar Rp. 10-Rp.15 (Arsip Kementrian

Penerangan No. 46: 8). Tentunya kondisi ini menjadi beban berat bagi para buruh

lapangan.

Kondisi yang memperihatinkan tersebut, organisasi Sarbupri menjadi

sokongan yang kuat dalam melancarkan aksi-aksi buruh yang berorientasi kepada

kesejahteraan kaum mereka, apalagi organisasi ini sangat bisa memengaruhi para
buruh dengan janji-janji tentang hak-hak buruh yang lebih baik, sehingga para

buruh pun mudah tergerak. Organisasi ini juga berperan sebagai wadah yang

mengedukasi para buruh-buruh khususnya di Delanggu, sehingga pemikiran

buruh disini pun bisa dikatakan maju. Salah satu gagasan yang timbul dari

organisasi ini adalah aksi pemogokan buruh yang pastinya akan sangat merugikan

majikan mereka, sehingga perundingan atas tuntutan-tuntutan buruh mudah

terealisasi.

b. Faktor Politik

Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 menjadi momentum

untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat yang telah porak poranda akibat

belenggu penjajahan. Pada saat itu kaum buruh mendirikan Sarekat Buruh

Perkebunan (S.B.P) ditiap-tiap daerah di Indonesia seperti di Banjar-Ciamis,

Magelang, Malang, Medan, Sukabumi, Solo dan Delanggu, termasuk juga Sarekat

secara nasional yaitu Perbupri (Persatuan Buruh Perkebunan Republik Indonesia).

Lalu di Jakarta juga dibentuk Barisan Buruh Indonesia (BBI), namun Sarekat ini

tidak memberikan hasil yang baik bagi kesejahteraan kaum buruh, maka pada 7

November 1945 di Solo, kongres pertama dilaksanakan dan salah satu hasilnya

adalah membubarkan BBI dan membentuk Partai Buruh Indonesia (PBI) yang

dipimpin oleh Sjamsu Harya Udara. Namun beberapa anggota menghendaki tetap

adanya BBI dengan perbaikan-perbaikan yang dilakukan, sehingga terbentuklah

Gabungan Sarekat Buruh Indonesia (Gasbi). Dalam cakupan daerah mulai banyak

terbentuk sarekat buruh, akhirnya pada November 1946 terbentuklah Sentral

Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), 17 Februari 1947 terbentuk juga


Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indoensia (SARBUPRI) (“Warta Sarbupri”,

No.4-5, Februari 1951: 3-4). Kedua organisasi yaitu SOBSI dan SARBUPRI

inilah yang akan menjadi salah satu dalang dibalik peristiwa gerakan buruh di

Delanggu dalam bentuk aksi massa dan pemogokan besar-besaran.

Peristiwa Delanggu yang terjadi pada 1948 bertepatan dengan terdesaknya

pemerintah Indonesia ke wilayah pedalaman Jawa Tengah yang sangat padat

penduduknya dan menimbulkan kekurangan pasokan beras, keaadan serba sulit ini

diakibatkan blokade yang dilakukan pemerintah Belanda yang menimbulkan pula

sekitar 6 juta pengungsi ke daerah tersebut. Pada Februari 1948, koalisi sayap kiri

yang bernama FDR (Forn Demokrasi Rakyat) mencela perjanjian Renville,

dengan cara membentuk organisasi-organisasi petani dan buruh. Pada bulan Mei

1948 dimulailah suatu gerakan pemogokan di pabrik karung Delanggu (Jawa

Tengah), hal ini memberikan gambaran bahwa pergerakan-pergerakan sarekat,

front atau organisasi buruh lebih aktif dan masih di cakupan yang lebih kecil

(Ricklefs, 1991: 341-342).

Lalu hal yang lebih penting dan berpengaruh adalah bahwa keterlibatan

Sarbupri, Sobsi dan FDR dalam menyokong kaum buruh di belakang untuk

melakukan pemogokan didukung oleh PKI dimana perjuangan kelas menjadi

slogan PKI pada umumnya. Dan pada akhirnya peristiwa di Delanggu juga

merupakan pertarungan politik yang sangat kontras, dimana yang bertentangan

adalah Sarekat Tani Islam Indonesia (STII) dengan kaum pemogok yang

tergabung dalam SOBSI-FDR (PKI). Pertentangan dengan sarekat tani ini juga

tidak lain dan tidak bukan karena kondisi Indonesia pada saat itu yang sedang
mengalami inflasi, dimana kaum tani di untungkan karena penjualan mereka naik

drastis sehingga dapat melunasi hutang-hutang mereka, sedangkan kaum buruh

pada saat itu sangat dirugikan.

2.2 JALANNYA PERISTIWA

Gerakan sosial sering dikaitkan dengan kepentingan politik suatu individu

ataupun suatu kelompok atau organisasi, selain itu gerakan sosial juga

merupakan bentuk kolektivitas dari orang–orang yang terlibat dalam peristiwa

tersebut untuk melakukan perubahan serta membutuhkan suatu proses atau waktu

untuk mencapai perubahan tersebut. Peristiwa pemogokan kerja buruh tani di

Delanggu pada mei 1948 merupakan suatu bentuk dari gerakan sosial yang

terstruktur, dimana ternyata tidak hanya masalah ekomomi yang melatarbelakangi

peristiwa ini melainkan adanya kepentingan politik dari Partai Komunis.

Diketahui bahwa sebelum menjadi daerah pabrik karung goni, sebelumnya

Delanggu adalah daerah pabrik gula, yang mana pada 1930 ketika Hindia Belanda

terkena malaise, hampir 84 persen perkebunan tebu di pulau Jawa di tutup, hingga

akhirnya pada 1933 terpaksa pabrik gula di Delanggu harus ditutup. Sejak zaman

penjajahan, Delanggu memang dikenal sebagai daerah yang subur. Terbukti

setelah perkebunan Tebu tidak beroperasi akibat pabrik gula ditutup, penduduk

setempat mulai menanami rosella dan kapas untuk memperoduksi karung goni.

Akhirnya pada 1938 hadirlah pabrik karung goni pertama di Delanggu.

Sejak saat itu sudah terjadi perbedaan kelas yang mencolok antara pegawai

administratif pabrik dan buruh lapangan, baik itu dari segi upah maupun

tunjangan. Hal ini terus berlanjut hingga setelah kemerdekaan, ketika pemerintah
Indonesia sudah mengambil alih pabrik Delanggu. Jika dilihat secara umum gaji

buruh pabrik berkisar Rp 1,5 – Rp 2 perbulan, sedangkan pegawai administrasi

terendah gajinya berkisar Rp 10 – Rp 15 perbulan. Hal tersebut dimanfaatkan oleh

Partai Komunis Indonesia, untuk mempengaruhi buruh agar melakukan

pemogokan kerja, dengan dalih telah terjadi ketimpangan kesejahteraan antara

sesama pegawai pabrik.

Sebagian besar buruh di pabrik karung goni Delanggu masuk ke dalam

Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (SABUPRI) yang ternyata sarekat

ini mendukung buruh untuk melakukan pemogokan demi kesejahteraan mereka.

Komite Kesatuan dan Aksi yang notabene adalah kelompok pemogok

mengeluarkan 3 syarat yang harus dipenuhi oleh rakyat Delanggu: a).

menghimbau rakyat agar membantu pemogok, b). petani yang tidak mau ikut

mogok akan diberi tindakan keras, c). dan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi

di Delanggu harus dilaporkan.

Pemogokan itu terjadi dalam 3 tahap yaitu:

1. 19 Mei – 25 Mei 1948 : tahap prapemogokan

2. 2 Juni 1948 : Tahap pemogokan

3. 23 Juni -18 Juli 1948 : tahap penasionalisasian pemogokan

Pada pemberontakan pertama terjadi dikota Solo, dengan penambahan

personil buruh dari daerah lain yaitu sekitar 5000 buruh, dengan tuntutan

pemenuhan sandang dan papan. Akan tetapi tuntutan mereka ditolak oleh

pemerintah. Para buruh akhirnya melakukan pemogokan kembali pada 26 Juni

1948 dengan mogok kerja selama 2 jam, dan hal itu berlanjut dari 27 Juni 1948- 3
Juli 1948. Ternyata setelah diteliti oleh pemerintah, pemogokan ini bukan hanya

masalah ekonomi saja, melainkan ada kepentingan politik dari pihak lain.

Akhirnya pada 18 Juli 1948 pemogokan berakhir dimana pemerintah memenuhi

tuntutan para pemogok dengan mempertimbangkan loyalitas buruh kepada pabrik.

Setelah pemogokan berakhir, pemerintah mengambil langkah konkret agar

tidak terjadi pemogokan lagi, diantaranya adalah membatasi gerak buruh agar

tidak terjadi pemberontakan yang lebih besar selain itu setelah pemberontakan

selesai di Delanggu setiap harinya diadakann patroli MBK (Mobiele Brigade

Kepolisian) yang bertujuan untuk menghindari Delanggu dari pemogokan lagi.

2.3 DAMPAK SOSIAL PEMOGOKAN BURUH

Dari aspek sosial aksi pemogokan ini mengakibatkan perpecahan dari

kaum buruh dan petani yang pro dan kontra dalam aksi ini, kaum buruh dan petani

yang kontra dalam aksi pemogokan tersebut mendapat dukungan dari partai

Masyumi, ketika pemogokan berlangsung para kaum buruh dan petani yang

kontra melakukan pekerjaan sebagai mestinya meskipun sering mengalami

ancaman dari kaum buruh yang pro terhadap aksi pemogokan tersebut yang pada

akhirnya situasi di Delenggu menjadi tidak aman. Sementara kaum buruh dan

petani yang pro dalam aksi pemogokan mendapatkan dukungan dari partai PKI

(Partai Komunis Indonesia), (Ikaningtiyas, 2013 : 6)

Dalam aspek ekonomi pabrik-pabrik di Delenggu mengalami kerugian

yang sangat besar, akibat adanya pemogokan buruh secara besar-besaran, semua

kegiatan produktivitas tersebut terhenti, salah satunya adalah pabrik karung goni

di Delenggu, selain itu para petani rosela (bahan serat karung goni) juga
mengalami kerugian dimana hasil panen yang mereka kerjakan tidak mendapatkan

penghasilan. Lalu dalam aspek politik pemerintah mengalami kerugian salah

satunya dalam aspek ekonomi politik, hingga pada akhirnya muncul

pemberontakan PKI di Madiun menjadi tugas berat pemerintah disamping

masalah Belanda.

Keadaan ekonomi buruh musiman pada saat itu sangat memprihatinkan.

Buruh musiman rata-rata hanya mendapatkan upah sebesar Rp 1,5 - 2 per hari

dengan kupon beras 200 gram yang harus dibeli sejumlah Rp 1,5 per kg.

Sedangkan upah buruh bulanan dan harian sebesar Rp 10 - 15 dengan jaminan

beras setiap hari sebanyak 400 gram untuk buruh yang masuk kerja dan 200 gram

yang tidak masuk kerja. Dengan ketentuan tersebut menjadi pelanggaran salah

satu hak buruh. Selain itu pemberontak ini dilatar belakangi oleh kepentingan

politik karena pada masa itu FDR ingin menggoyahkan pemerintahan hatta

(Notosusanto & Marwati, 1993).

Pemberontakan ini hampir mengakibatkan perang saudara antara pihak

buruh yang didukung oleh SOBSI, Pesindo, dan Divisi Senopati. Pertikaian

tersebut diberhentikan terlebih dahulu oleh Letnan Jendral Sudirman. Saat

pimpinan pemogokan tersebut diambil alih oleh FDR dari SOBSI, Perdana

Menteri Hatta langsung turun tangan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Adanya perundingan antara kedua belah pihak selesai tanpa adanya pertentangan

lebih lanjut (Disjarah, 1979: 142).


Dampak dari pemberontakan di Delanggu ini bisa diambil dari beberapa

pihak yang terlibat, tetapi secara keseluruhan bersamaan dengan berlangsungnya

pemogokan buruh di Delanggu, pada tanggal 2 Juli 1948 terjadi penembakan di

daerah Srambatan, Surakarta. Dalam peristiwa itu Mayor Jenderal Sutarto.

Sayangnya, penembak pemimpin PPS (Pertempuran Panembahan Senopati)

tersebut tidak diketahui. Pihak kiri menuduh penembakan terhadap Mayjend.

Sutarto dilakukan oleh Pasukan Siliwangi yang selalu gagal dalam usaha

penculikan. Tuduhan ini dibalik oleh Pasukan Siliwangi sebagai provokasi yang

dilakukan golongan kiri. Setelah terbunuhnya Mayjen. Sutarto, Surakarta

"diselimuti asap" kecurigaan yang sewaktu-waktu dapat mengakibatkan

pertempuran. Ketika situasi semakin "panas" karena kedua belah pihak saling

menuding, muncul penculikan terhadap seluruh perwira dan beberapa prajurit

pimpinan Kolonel Yadau dan empat perwira staf marinir yang dipimpin oleh

Kolonel Suyoto (Davis, 2003: 18).

Panasnya situasi antara Yogyakarta-Madiun membuat semua pihak saling

curiga. Pamflet-pamflet bernada provokatif bersebaran di mana-mana. Surat

kabar- surat kabar ikut memberikan berita yang memicu kekerasan. Pasca

pemogokan buruh di Delanggu suasana di Surakarta semakin mencekam.

Tertembaknya Mayor Jenderal Sutarto seperti membunyikan genderang perang.

Situasi yang bertambah rumit membuat Hatta mengambil inisiatif untuk

mengambil-alih Surakarta dari tangan golongan kiri dan Senopati. Maka Hatta

mengutus Divisi Siliwangi untuk menyelesaikan perang saudara tersebut.

Golongan kiri yang terdesak oleh pasukan Siliwangi mundur ke arah Madiun.
Penculikan dan pembunuhan tidak berhenti. Golongan kiri di Madiun segera

membuat pemerintah darurat yang kemudian disalah artikan oleh pemerintah di

Yogyakarta sebagai pemberontakan (Gie, 1997: 196).

Banyaknya kejadian tersebut membuat satu golongan dengan golongan lainnya

saling menuduh dan mencurigai satu sama lain. Selain itu juga pemberontakan ini

bukan hanya didasari faktor ekonomi yang tidak terpenuhinya hak buruh, tetapi

dibalik itu semua ada faktor politik yang melatar belakanginya sehingga golongan

buruh menjadi objek untuk menyuarakan hal yang menurut golongan kiri tidak

sejalan dengan program Rasionalisasi.


BAB III

KETERKAITAN PERILAKU KOLEKTIF DAN GERAKAN SOSIAL

TERHADAP PEMOGOKAN BURUH DI DELANGGU PADA 1948

DENGAN PENDEKATAN TEORI KONVERGENSI

3.1 DEFINISI TEORI KONVERGENSI

Dalam penelitian sejarah perlu adanya sebuah alat untuk menganalisis

suatu peristiwa seperti penggunaan pendekatan ilmu sosial yang beririsan atau

teori yang bersesuaian dengan bahasan. Salah satu pendekatan yang bisa menjadi

pilihan adalah pendekatan sosiologi khususnya dalam peristiwa pemogokan buruh

di Delanggu yang terjadi pada 1948. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa perilaku

kolektif yang dilakukan oleh penduduk mampu menggerakkan banyak pihak, serta

membangun kekuatan baru untuk merealisasikan visi dan misi yang bersesuaian.

Akibat dari adanya perilaku kolektif di masyarakat ini menimbulkan terjadinya

gerakan sosial yang lebih luas lagi. Gerakan sosial sendiri merupakan bagian dari

perilaku kolektif, sehingga dapat ditarik pemahaman bahwa perilaku kolektif

hakikatnya akan bermuara pada terjadinya gerakan sosial baik dalam rangka

membangun maupun merusak.

Untuk dapat memahami bagaimana perilaku kolektif yang akhirnya

memicu terjadinya gerakan sosial dapat ditinjau dengan menggunakan teori

konvergensi. Teori konvergensi (Convergence Theory) pertama kali

diperkenalkan oleh Harton dan Hunt, yang mengemukakan bahwa kerumunan

dapat terjadi akibat adanya persamaan dorongan, maksud, dan kebutuhan (Harton

& Hunt, 1984). Sedangkan menurut istilah, konvergensi memiliki makna


pertemuan dua variabel yang berbeda ke dalam satu titik yang sama. Dalam

kamus psikologi, konvergensi dimaknai sebagai interaksi antara faktor hereditas

dan faktor lingkungan dalam proses perkembangan tingkah laku. Dari definisi ini

dapat ditarik kesimpulan bahwa aliran konvergensi mempertemukan dua aliran

yang berlawanan yaitu antara nativisme (alamiah) dengan empirisme (nyata) ke

dalam satu ikatan yang sama (Miftahuddin, 2019: 55-56).

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan teori

konvergensi ini. Pertama karakter, apakah ada pahlawan yang harus dirusak atau

penjahat yang harus dihina? Kedua alur cerita, apakah karakter bertindak dengan

cara yang konsisten dengan visi retoris? Ketiga adegan, bagaimana deskripsi

waktu dan tempat meningkatkan dampak drama? Dan terakhir agen penentu, siapa

atau apa yang melegitimasi visi retoris? (Erine, 2019). Keempat hal tersebut dapat

memberikan gambaran bagaimana konvergensi mempengaruhi tindakan suatu

kelompok. Lantas bagaimana kaitan antara teori konvergensi dengan peristiwa

pemogokan buruh yang terjadi di Delanggu pada 1948?

3.2 KETERKAITAN TEORI KONVERGENSI DENGAN

PEMOGOKAN BURUH DI DELANGGU PADA 1948

Pemogokan kerja yang terjadi di Delanggu pada 1948 yang telah

dipaparkan pada bab sebelumnya terjadi karena adanya persamaan visi dan misi

kaum buruh untuk mensejahterakan diri. Hal ini ditandai dengan munculnya

banyak serikat buruh di Delanggu. Permasalahan yang dialami kaum buruh tidak

lepas dari persoalan ekonomi khususnya dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari

berupa sandang dan pangan. Suburnya tanah di Delanggu tidak serta merta
membawa masyarakat Delanggu berada pada garis perekonomian menengah

keatas. Hampir seluruh tanah Delanggu dimiliki oleh perusahaan swasta (asing),

sehingga perekonomian Delanggu tidak merata karena masyarakat hanya bekerja

sebagai buruh pabrik dan buruh tani di tanah kelahiran mereka sendiri.

Masyarakat lokal semakin kelaparan dan pemilik lahan semakin menumpuk

kekayaan.

Gap antara penduduk lokal dengan pemilik lahan semakin terasa, di mana

pada 1948 perekonomian Indonesia tengah memburuk, sehingga tenaga kerja

buruh semakin menderita. Keadaan sulit para buruh ini dengan mudah dimasuki

oleh SARBUPRI (Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia), mereka

memanfaatkan situasi yang tengah memanas antara hubungan pemilik modal

dengan para buruh, kemudian mengajak para buruh untuk melakukan pemogokan

kerja. Pemogokan buruh kemudian dilakukan pada tanggal 26 mei 1948 – 3 juni

1948. Mereka menuntut agar buruh tetap dan buruh musiman diberi gaji in natuna

yang artinya diberikan 3 m kain dan 20 kg beras kepada setiap satu keluarga

disamping gaji berupa uang. Akibat dari pemogokan ini, perusahaan mengalami

kerugian yang sangat besar (Normalasari, 2005:64).

Jika ditinjau dari teori konvergensi yang dikemukakan oleh Harton dan

Hunt, peristiwa pemogokan buruh yang terjadi di Delanggu pada 1948 ini terjadi

karena terdapat seorang atau sekelompok inisiator yang mendominasi para buruh.

Berdasarkan teori konvergensi ini kita dapat melihat peluang terjadinya suatu

peristiwa berdasarkan daya imajinasi yang dimiliki. Seperti yang terjadi pada

pemogokan buruh di Delanggu, para pemangku kepentingan merefleksikan


kemarahan dan kecemasan kaum buruh dalam memenuhi kebutuhan hidup

menjadi sebuah variabel dalam bayangan para buruh. Buruh yang mengalami

penderitaan dan kekurangan semakin mudah dipropaganda. Iming-iming

“kesejahteraan dan kesetaraan” yang dilakukan (khususnya oleh komunis) seakan

memberikan harapan baru para buruh di Delanggu.

Faktor ekonomi menjadi pendorong timbulnya konvergensi kelompok, hal

ini karena konvergensi melihat sebuah peristiwa sebagai peluang untuk

menanamkan pemikiran atau faham yang bersesuaian sehingga mencapai tujuan.

Pemogokan buruh di Delanggu pada 1948 memberi gambaran bahwa terdapat

sekat yang signifikan antara kaum buruh dengan pemilik modal. Sekat inilah yang

kemudian dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk

mewujudkan apa yang dicita-citakan. Konvergensi memberi gambaran adanya

perubahan struktural mendasar yang dirasa oleh pihak-pihak yang

berkepentingan. Dengan melakukan beragam olah data dan observasi, perlahan

pemahaman baru dapat disalurkan pada buruh di Delanggu sehingga gerakan

sosial yang dilakukan masyarakat lokal dengan mudah terjadi (Fuente, 200: 3-4).

Kemiskinan menjadi faktor pendorong masyarakat kecil, khususnya kaum

buruh dalam berangan-angan untuk mendapatkan kehidupan yang layak.

Kenaikan angka kemiskinan yang berbanding lurus dengan peningkatan

demografi masyarakat Delanggu semakin memberi dampak yang luas pada

kondisi perekonomiannya. Melalui konvergensi, pihak-pihak yang bersangkutan

menarik dukungan masyarakat kemudian memicu terjadinya perilaku kolektif

berupa munculnya gerakan sosial, pemogokan buruh yang merugikan pemerintah.


Adanya pemimpin yang tangguh juga memengaruhi bagaimana gerakan sosial ini

dapat terjadi. Perencanaan dan pemikiran yang matang mampu menggiring para

buruh melancarkan aksi pemogokan massal di Delanggu hingga tuntutan yang

diajukan disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan (pemerintah dan/ pemilik

lahan baik nasional maupun swasta) (Huffman & Huffman, 2018: 16-18).
BAB IV

SIMPULAN

Keberpihakan merupakan salah satu hal mendasar yang melahirkan

konvergensi (penyatuan) dalam kehidupan sosial masyarakat, khususnya

masyarakat pedesaan. Delanggu, menjadi objek yang cukup mudah mendapatkan

propaganda dari berbagai sudut, khususnya dari kaum kiri (Komunis). Sejak

disetujuinya perjanjian Renville dengan isi yang tidak sesuai keinginan rakyat,

kekecewaan menjadi pupuk untuk menumbuhkan benih-benih kebencian terhadap

kolonial. Perasaan direndahkan, diremehkan, dan diabaikan oleh pemerintah

membuat para buruh mengambil tindakan masif untuk melumpuhkan

perekonomian negara maupun swasta. Peristiwa pemogokan ini diinisiasi oleh

seorang Komunis yang menyuarakan berbagai janji kesetaraan dan kesejahteraan

kaum buruh di Delanggu.

Masyarakat yang mengimpi-impikan (mengimajinasikan) kehidupan

mapan dan sejahtera merasa tergerak hatinya untuk mengikuti seruan kaum

Komunis. Tanpa pikir panjang, kaum buruh yang notabene bekerja dibawah

pemerintahan dengan gaji rendah ini saling mengukuhkan keinginannya serta

membuat sebuah gerakan pemogokan untuk merugikan pemilik lahan.

Pemogokan yang dilakukan oleh kaum buruh menandakan adanya perilaku

kolektif yang dilakukan oleh masyarakat sehingga menimbulkan gerakan sosial

berskala besar yang terjadi di kawasan Delanggu. Melalui pendekatan teori

konvergensi dapat ditarik kesimpulan bahwa buruh pabrik melakukan pemogokan

karena merasa memiliki persamaan nasib dan sepenanggungan.


Pendekatan sosiologi yang digunakan dalam menganalisis peristiwa

Delanggu ini dapat memberikan gambaran pada penelitian sejarah khususnya

yang berkaitan dengan perilaku kolektif dalam gerakan sosial. Dengan memahami

bagaimana teori konvergensi bekerja, peneliti dapat memetakan beragam argumen

yang mungkin memicu terjadinya gerakan sosial. Pengetahuan mengenai peristiwa

yang terjadi di masa lalu dapat menjadi pembelajaran untuk masa yang akan

datang. Konvergensi dapat memicu gerakan sosial yang positif maupun negatif,

sehingga tulisan ini diharapkan dapat memberi gambaran umum bagaimana

perilaku kolektif dapat mempengaruhi masa yang luas untuk bergerak dan

melakukan berbagai upaya untuk mencapai tujuan.


DAFTAR SUMBER

ANRI. Arsip Kementrian Penerangan No. 46, dan No. 242.

ANRI. Arsip Kementrian Penerangan No. 46: 8.

Davis, C.A. (2003). Peristiwa Madiun 1948: Kudeta atau Konflik Internal

Tentara?. Yogyakarta: Media Pressindo.

Disjarahdam VI/ Siliwangi. (1979). Siliwangi dari masa ke masa. Bandung:

Angkasa.

Fuente, A. d.l. (2000). Convergence Across Countries and Regions: Theory and

Empirics dalam jurnal Instituto de Análisis Económico (CSIC) hal: 1-

35.

Gie, S. H. (1997). Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan: Kisah

Pemberontakan Madiun September 1948. Yogyakarta: Bentang

Budaya.

Harahap, F. (2019). Gerakan Sosial dalam Perubahan Sosial dalam Power Point

Materi 10. Medan: Universitas Medan Area.

Harsono, B. (2012). Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.

Horton, P. B. dan Hunt, C. L. (1984). Sosiologi. Jakarta: Gelora Aksara Pramata.

Huffman, W. dan Huffman N. (2018). Convergence Theory and Conditional

Convergence in Countries of Sub Saharan African from 1990-2015

dalam jurnal Agricultural Economics Hal. 1-21.


Ikaningtyas, D.A.A. (2013). Gambaran Kepentingan Politik Kelompok Komunis

di Indonesia: Pemogokan Buruh di Delanggu 1948 dalam Jurnal

SOSIA Vol. 10 No. 1 Hal. 1-9.

Miftahuddin. (2019). Konsep Konvergensi dalam Pendidikan Islam (Menakar

Peran Manusia dalam Pendidikan Islam) dalam jurnal Studi Islam

dan Peradaban Vol. 14 No. 1 Hal. 45-64.

Normalasari, P. D. (2005). Kemelut Di Tanah Kaum Merah : Pemogokan Buruh

Delanggu dan Penumpasan Gerakan Kiri Tahun 1948 dalam Skripsi.

Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

Nugroho, D. D. (2009). Perjuangan Kaum Kiri Di Madiun 1948 dalam Skripsi.

Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Poesponegoro, M. D. dan Nugroho, N. (1993). Sejarah Nasional Indonesia VI

Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia 1942-1998. Jakarta:

Balai Pustaka.

Ricklefs, M. (2007). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu

Semesta.

Soekonto, S. (2009). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.

Suhartono. (1991). Apanage dan bekel: perubahan sosial di pedesaan Surakarta

(1830-1920). Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Suyatno. (1984). Masyarakat Daerah Dalam Revolusi Indonesia dalam Jurnal

Prisma No. 8. Jakarta: LP3ES.

Anda mungkin juga menyukai