Dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Sosiologi
Dosen Pengampu:
Oleh Kelompok 2:
(180310180040)
ILMU SEJARAH
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2021
BAB I
PENDAHULUAN
lahan pertanian yang subur, iklim yang baik, serta sumber air yang cukup di atas
ketinggian 153 meter, sehingga cocok dijadikan sebagai lahan perkebunan (BPS
Klaten, 1986: 11). Pada 1905, terdapat 44.400 penduduk di Distrik Delanggu
dengan 60 penduduk Eropa dan Cina dalam jumlah yang sama. Kedudukan
pemerintah Hindia Belanda, baik sumber daya manusianya maupun sumber daya
alamnya. Masyarakat Delanggu biasa bekerja sebagai buruh tanam, buruh panen,
buruh angkut, dan juga pekerja di pabrik gula. Letak Delanggu yang strategis,
yakni berada di sepanjang jalur kereta api serta jalanan utama Yogyakarta-
Pada akhir abad ke-19 Delanggu menjadi salah satu penghasil padi sekaligus tebu
Ikaningtyas, 2013).
mumpuni, Delanggu juga dikenal sebagai daerah penghasil karung goni, sebuah
wadah yang biasa digunakan sebagai tempat hasil panen yang terbuat dari kain
sebuah pabrik bekas pabrik gula. Lembaran demi lembaran karung goni yang
Pemogokan yang terjadi ini didasari pada aspek kesenjangan sosial yang terjadi
yang berkembang di kalangan masyarakat dan relatif baru. Perilaku ini terjadi
apabila cara pengerjaan sesuatu yang telah dikukuhkan secara tradisional tidak
tidak terstruktur dan bersifat temporer tanpa adanya pembagian peranan atau
hierarki kekuasaan secara formal. Perilaku kolektif menjadi ciri khas dari
pernyataan bahwa individu yang terlibat dalam perilaku kolektif dapat berbentuk
kolektif sendiri terdiri atas perilaku kerumunan, perilaku massa, dan gerakan
sosial.
menyesuaikan diri yang menyebabkan orang bersikap mudah terlibat dalam suatu
dimana harapan orang terbukti lebih tinggi daripada kenyataan yang terjadi
(Horton, 1894:2).
Faktor yang menyebabkan terjadinya gerakan sosial adalah deprivasi
ekonomi yaitu orang yang melibatkan diri dalam gerakan perubahan sosial karena
akan tetapi antara harapan masyarakat dengan keadaan nyata yang dihadapi terjadi
tertentu sehingga menimbulkan gerakan sosial, dapat dilihat dalam kasus yang
pernah terjadi di Delanggu pada 1948. Peristiwa pemogokan buruh pabrik goni
kekuatan semakin besar dari para buruh, gerakan sosial yang bersifat merusak-pun
tidak dapat dicegah. Untuk memahami bagaimana peristiwa ini dapat terjadi dapat
PEMBAHASAN
gerakan yang biasanya melibatkan golongan bawah ini tidak lain dan tidak bukan
terjadi karena masalah kesejahteraan dan perut. Gerakan sosial yang terjadi pun
yang beragam. Di daerah Jawa sendiri yang notabene merupakan daerah subur,
otomatis menjadi daerah tujuan perusahaan perkebunan dan pertanian baik negara
maupun swasta. Hal ini menimbulkan terserapnya tenaga buruh dan petani yang
banyak. Keikutsertaan para buruh dan tani memicu terjadinya gerakan sosial
seperti yang pada gerakan Makuwijoyo tahun 1865 di desa Merbung, Klaten.
Gerombolan kecu yang menyerang para bekel dan penyewa tanah tahun 1867-
1875 terjadi di daerah Klaten, Boyolali, Sragen dan sekitarnya (Suhartono, 1991:
142-144).
Setelah Indonesia merdeka, protes para buruh dan tani semakin beralasan.
Indonesia yang baru saja merdeka, menitih rumah tangganya dan membangun
puing-puing yang hancur secara material dan immaterial memang sangat jauh dari
kata sejahtera, khususnya bagi golongan “bawah”. Sehingga gerakan sosial masih
banyak terjadi, salah satunya di daerah Delanggu, yang notabene merupakan tanah
Vorstenlanden atau tanah kantong milik raja Surakarta menyerap banyak tenaga
disini.
sosial buruh dan tani khususnya di daerah Delanggu. Pergolakan sering terjadi
Indonesia (STII). Organisasi itu memberikan sokongan ide, gagasan dan dasar
kesejahteraan yang berorientasi tidak lain dan tidak bukan kepada masalah perut.
yang ramai akan perkebunan hingga terjadinya gerakan sosial didaerah tersebut.
pengusaha dimana mereka mendapat hak-hak istimewa seperti menyewa dari raja
a. Faktor Sosial-Ekonomi
(pengawas kerja) dan para sinder (kepala pengawas tanaman). Golongan kedua
merupakan buruh yang bekerja di perkebunan terdiri dari pekerja harian tetap,
pekerja borongan tetap, pekerja harian dan borongan lepas (seizon arbeiders), dan
buruh maro (deelbouweers) (Arsip Kementrian Penerangan No. 46, dan No. 242).
Dua golongan ini tentunya memiliki perbedaan secara jam kerja, fasilitas
dan upah yang didapatkan serta hak-hak yang didapatkan. Perbedaan yang nyata
yang lebih diistimewakan, sehingga banyak terjadi clash atau keberpihakan yang
harian sebesar Rp. 1,5-Rp.2 dengan kupon beras yang harus dibelinya Rp. 1,5 per
kg. Sedangkan upah buruh administrasi sebesar Rp. 10-Rp.15 (Arsip Kementrian
Penerangan No. 46: 8). Tentunya kondisi ini menjadi beban berat bagi para buruh
lapangan.
sokongan yang kuat dalam melancarkan aksi-aksi buruh yang berorientasi kepada
kesejahteraan kaum mereka, apalagi organisasi ini sangat bisa memengaruhi para
buruh dengan janji-janji tentang hak-hak buruh yang lebih baik, sehingga para
buruh pun mudah tergerak. Organisasi ini juga berperan sebagai wadah yang
buruh disini pun bisa dikatakan maju. Salah satu gagasan yang timbul dari
organisasi ini adalah aksi pemogokan buruh yang pastinya akan sangat merugikan
terealisasi.
b. Faktor Politik
belenggu penjajahan. Pada saat itu kaum buruh mendirikan Sarekat Buruh
Magelang, Malang, Medan, Sukabumi, Solo dan Delanggu, termasuk juga Sarekat
Lalu di Jakarta juga dibentuk Barisan Buruh Indonesia (BBI), namun Sarekat ini
tidak memberikan hasil yang baik bagi kesejahteraan kaum buruh, maka pada 7
November 1945 di Solo, kongres pertama dilaksanakan dan salah satu hasilnya
adalah membubarkan BBI dan membentuk Partai Buruh Indonesia (PBI) yang
dipimpin oleh Sjamsu Harya Udara. Namun beberapa anggota menghendaki tetap
Gabungan Sarekat Buruh Indonesia (Gasbi). Dalam cakupan daerah mulai banyak
No.4-5, Februari 1951: 3-4). Kedua organisasi yaitu SOBSI dan SARBUPRI
inilah yang akan menjadi salah satu dalang dibalik peristiwa gerakan buruh di
penduduknya dan menimbulkan kekurangan pasokan beras, keaadan serba sulit ini
sekitar 6 juta pengungsi ke daerah tersebut. Pada Februari 1948, koalisi sayap kiri
dengan cara membentuk organisasi-organisasi petani dan buruh. Pada bulan Mei
front atau organisasi buruh lebih aktif dan masih di cakupan yang lebih kecil
Lalu hal yang lebih penting dan berpengaruh adalah bahwa keterlibatan
Sarbupri, Sobsi dan FDR dalam menyokong kaum buruh di belakang untuk
slogan PKI pada umumnya. Dan pada akhirnya peristiwa di Delanggu juga
adalah Sarekat Tani Islam Indonesia (STII) dengan kaum pemogok yang
tergabung dalam SOBSI-FDR (PKI). Pertentangan dengan sarekat tani ini juga
tidak lain dan tidak bukan karena kondisi Indonesia pada saat itu yang sedang
mengalami inflasi, dimana kaum tani di untungkan karena penjualan mereka naik
ataupun suatu kelompok atau organisasi, selain itu gerakan sosial juga
tersebut untuk melakukan perubahan serta membutuhkan suatu proses atau waktu
Delanggu pada mei 1948 merupakan suatu bentuk dari gerakan sosial yang
Delanggu adalah daerah pabrik gula, yang mana pada 1930 ketika Hindia Belanda
terkena malaise, hampir 84 persen perkebunan tebu di pulau Jawa di tutup, hingga
akhirnya pada 1933 terpaksa pabrik gula di Delanggu harus ditutup. Sejak zaman
setelah perkebunan Tebu tidak beroperasi akibat pabrik gula ditutup, penduduk
setempat mulai menanami rosella dan kapas untuk memperoduksi karung goni.
Sejak saat itu sudah terjadi perbedaan kelas yang mencolok antara pegawai
administratif pabrik dan buruh lapangan, baik itu dari segi upah maupun
tunjangan. Hal ini terus berlanjut hingga setelah kemerdekaan, ketika pemerintah
Indonesia sudah mengambil alih pabrik Delanggu. Jika dilihat secara umum gaji
menghimbau rakyat agar membantu pemogok, b). petani yang tidak mau ikut
mogok akan diberi tindakan keras, c). dan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi
personil buruh dari daerah lain yaitu sekitar 5000 buruh, dengan tuntutan
pemenuhan sandang dan papan. Akan tetapi tuntutan mereka ditolak oleh
1948 dengan mogok kerja selama 2 jam, dan hal itu berlanjut dari 27 Juni 1948- 3
Juli 1948. Ternyata setelah diteliti oleh pemerintah, pemogokan ini bukan hanya
masalah ekonomi saja, melainkan ada kepentingan politik dari pihak lain.
tidak terjadi pemogokan lagi, diantaranya adalah membatasi gerak buruh agar
tidak terjadi pemberontakan yang lebih besar selain itu setelah pemberontakan
kaum buruh dan petani yang pro dan kontra dalam aksi ini, kaum buruh dan petani
yang kontra dalam aksi pemogokan tersebut mendapat dukungan dari partai
Masyumi, ketika pemogokan berlangsung para kaum buruh dan petani yang
ancaman dari kaum buruh yang pro terhadap aksi pemogokan tersebut yang pada
akhirnya situasi di Delenggu menjadi tidak aman. Sementara kaum buruh dan
petani yang pro dalam aksi pemogokan mendapatkan dukungan dari partai PKI
yang sangat besar, akibat adanya pemogokan buruh secara besar-besaran, semua
kegiatan produktivitas tersebut terhenti, salah satunya adalah pabrik karung goni
di Delenggu, selain itu para petani rosela (bahan serat karung goni) juga
mengalami kerugian dimana hasil panen yang mereka kerjakan tidak mendapatkan
masalah Belanda.
Buruh musiman rata-rata hanya mendapatkan upah sebesar Rp 1,5 - 2 per hari
dengan kupon beras 200 gram yang harus dibeli sejumlah Rp 1,5 per kg.
beras setiap hari sebanyak 400 gram untuk buruh yang masuk kerja dan 200 gram
yang tidak masuk kerja. Dengan ketentuan tersebut menjadi pelanggaran salah
satu hak buruh. Selain itu pemberontak ini dilatar belakangi oleh kepentingan
politik karena pada masa itu FDR ingin menggoyahkan pemerintahan hatta
buruh yang didukung oleh SOBSI, Pesindo, dan Divisi Senopati. Pertikaian
pimpinan pemogokan tersebut diambil alih oleh FDR dari SOBSI, Perdana
Adanya perundingan antara kedua belah pihak selesai tanpa adanya pertentangan
Sutarto dilakukan oleh Pasukan Siliwangi yang selalu gagal dalam usaha
penculikan. Tuduhan ini dibalik oleh Pasukan Siliwangi sebagai provokasi yang
pertempuran. Ketika situasi semakin "panas" karena kedua belah pihak saling
pimpinan Kolonel Yadau dan empat perwira staf marinir yang dipimpin oleh
kabar- surat kabar ikut memberikan berita yang memicu kekerasan. Pasca
mengambil-alih Surakarta dari tangan golongan kiri dan Senopati. Maka Hatta
Golongan kiri yang terdesak oleh pasukan Siliwangi mundur ke arah Madiun.
Penculikan dan pembunuhan tidak berhenti. Golongan kiri di Madiun segera
saling menuduh dan mencurigai satu sama lain. Selain itu juga pemberontakan ini
bukan hanya didasari faktor ekonomi yang tidak terpenuhinya hak buruh, tetapi
dibalik itu semua ada faktor politik yang melatar belakanginya sehingga golongan
buruh menjadi objek untuk menyuarakan hal yang menurut golongan kiri tidak
suatu peristiwa seperti penggunaan pendekatan ilmu sosial yang beririsan atau
teori yang bersesuaian dengan bahasan. Salah satu pendekatan yang bisa menjadi
di Delanggu yang terjadi pada 1948. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa perilaku
kolektif yang dilakukan oleh penduduk mampu menggerakkan banyak pihak, serta
membangun kekuatan baru untuk merealisasikan visi dan misi yang bersesuaian.
gerakan sosial yang lebih luas lagi. Gerakan sosial sendiri merupakan bagian dari
hakikatnya akan bermuara pada terjadinya gerakan sosial baik dalam rangka
dapat terjadi akibat adanya persamaan dorongan, maksud, dan kebutuhan (Harton
dan faktor lingkungan dalam proses perkembangan tingkah laku. Dari definisi ini
konvergensi ini. Pertama karakter, apakah ada pahlawan yang harus dirusak atau
penjahat yang harus dihina? Kedua alur cerita, apakah karakter bertindak dengan
cara yang konsisten dengan visi retoris? Ketiga adegan, bagaimana deskripsi
waktu dan tempat meningkatkan dampak drama? Dan terakhir agen penentu, siapa
atau apa yang melegitimasi visi retoris? (Erine, 2019). Keempat hal tersebut dapat
dipaparkan pada bab sebelumnya terjadi karena adanya persamaan visi dan misi
kaum buruh untuk mensejahterakan diri. Hal ini ditandai dengan munculnya
banyak serikat buruh di Delanggu. Permasalahan yang dialami kaum buruh tidak
berupa sandang dan pangan. Suburnya tanah di Delanggu tidak serta merta
membawa masyarakat Delanggu berada pada garis perekonomian menengah
keatas. Hampir seluruh tanah Delanggu dimiliki oleh perusahaan swasta (asing),
sebagai buruh pabrik dan buruh tani di tanah kelahiran mereka sendiri.
kekayaan.
Gap antara penduduk lokal dengan pemilik lahan semakin terasa, di mana
buruh semakin menderita. Keadaan sulit para buruh ini dengan mudah dimasuki
dengan para buruh, kemudian mengajak para buruh untuk melakukan pemogokan
kerja. Pemogokan buruh kemudian dilakukan pada tanggal 26 mei 1948 – 3 juni
1948. Mereka menuntut agar buruh tetap dan buruh musiman diberi gaji in natuna
yang artinya diberikan 3 m kain dan 20 kg beras kepada setiap satu keluarga
disamping gaji berupa uang. Akibat dari pemogokan ini, perusahaan mengalami
Jika ditinjau dari teori konvergensi yang dikemukakan oleh Harton dan
Hunt, peristiwa pemogokan buruh yang terjadi di Delanggu pada 1948 ini terjadi
karena terdapat seorang atau sekelompok inisiator yang mendominasi para buruh.
Berdasarkan teori konvergensi ini kita dapat melihat peluang terjadinya suatu
peristiwa berdasarkan daya imajinasi yang dimiliki. Seperti yang terjadi pada
menjadi sebuah variabel dalam bayangan para buruh. Buruh yang mengalami
sekat yang signifikan antara kaum buruh dengan pemilik modal. Sekat inilah yang
sosial yang dilakukan masyarakat lokal dengan mudah terjadi (Fuente, 200: 3-4).
dapat terjadi. Perencanaan dan pemikiran yang matang mampu menggiring para
lahan baik nasional maupun swasta) (Huffman & Huffman, 2018: 16-18).
BAB IV
SIMPULAN
propaganda dari berbagai sudut, khususnya dari kaum kiri (Komunis). Sejak
disetujuinya perjanjian Renville dengan isi yang tidak sesuai keinginan rakyat,
mapan dan sejahtera merasa tergerak hatinya untuk mengikuti seruan kaum
Komunis. Tanpa pikir panjang, kaum buruh yang notabene bekerja dibawah
yang berkaitan dengan perilaku kolektif dalam gerakan sosial. Dengan memahami
yang terjadi di masa lalu dapat menjadi pembelajaran untuk masa yang akan
datang. Konvergensi dapat memicu gerakan sosial yang positif maupun negatif,
perilaku kolektif dapat mempengaruhi masa yang luas untuk bergerak dan
Davis, C.A. (2003). Peristiwa Madiun 1948: Kudeta atau Konflik Internal
Angkasa.
Fuente, A. d.l. (2000). Convergence Across Countries and Regions: Theory and
35.
Budaya.
Harahap, F. (2019). Gerakan Sosial dalam Perubahan Sosial dalam Power Point
Balai Pustaka.
Semesta.