Anda di halaman 1dari 16

2

Masalah Agraria di Indonesia


Masa Kolonial

Ahmadin*

* Lahir di Bumi Tanadoang Abstract


Selayar, 24 Februari 1972.
Menyelesaikan Studi S2 Condition of agrarian in colonial era period with the policy
Jurusan Sejarah Program manner representing foundation to elaborate the agrarian
Pascasarjana Universitas
Negeri Makassar (UNM)
problem in Indonesia until now. Entry of colonialist with the
Makassar (2001). Sedang status model ownership of land by west style, when rub up
menempuh studi pada against the system of land ownership in Indonesia that
Program Doktor (S3) konventional trigger to born of difference. Nevertheless,
Universitas Hasanuddin arrival of colonialist accompanied by attendance of
Makassar. Dosen Tetap
Jurusan Pendidikan Sejarah
agricultural expert, on the other side considered to be base
UNM ini adalah penulis and bacground will born the agriculture modernize (garden)
dan editor buku-buku in Indonesia.
sejarah.
Keywords: colonialism and agrarian problem
56 Ahmadin

A. Pendahuluan ditentukan oleh tanah tersebut, demikian

S
pula masa depan generasi mereka
epanjang perjalanan sejarah
tergantung pada tanah yang dimilikinya
manusia dari pola hidup yang
(Scott, 1976).
paling sederhana hingga
Perbedaan persepsi dan kepenting-
kehidupan yang modern, tanah sering
an mengenai kepemilikan tanah antara
merupakan penyebab terjadinya konflik
penguasa (pemerintah) dan rakyat
antar golongan yang satu dengan lainnya
(petani), kelihatannya mewarnai dan
yang berbeda persepsi dan kepentingan.
memberikan suatu corak khas bagi
Dalam konteks kehidupan dunia
lembaran sejarah Indonesia khususnya
modern, tampaknya ada dua hal yang
sektor agraria. Fenomena sosial seperti itu
kerapkali menjadi pemicu lahirnya
tampak sejak masa VOC dan tanam
konflik antara penguasa (pemerintah)
paksa (cultuur stelsel) hingga masa
dengan rakyat dalam hal kepemilikan
pemerintahan orde baru, bahkan masa
tanah; (1) perbedaan persepsi mengenai
sekarang ini masih tetap menggejala
konsep penguasaan dan pemanfaatan
meski dalam wujud yang berbeda. Men-
tanah. Pemerintah di satu sisi dengan
cermati fenomena konflik kepentingan
berbagai program pembangunannya ber-
antara penguasa dengan rakyat dengan
anggapan bahwa bumi (atau tanah), air,
menggunakan hampiran teori sosial dan
dan segala kekayaan yang terkandung di
ekonomi, akan diperoleh suatu ke-
dalamnya dikuasai oleh negara, karena
terangan bahwa masalah agraria tersebut
itu mereka berhak melakukan perubahan
merupakan hal yang wajar. H.D. Evers
atas setiap tanah untuk kepentingan
bersama. Di sisi lain masyarakat terutama (1991: 4) dalam buah penanya “Shadow
yang masih berhaluan konvensional Economy, Subsistence Production and
menganggap bahwa tanah merupakan Informal Sector: Economic Activity Outside of
hak milik dan alat produksi, sehingga Market and State”, menjelaskan bahwa
wajar jika mereka rela mempertaruhkan produksi subsistensi adalah aktivitas
nyawanya sekalipun demi mempertahan- ekonomi yang tidak berorientasi komersil
kan tanah miliknya tersebut; (2) Kedua, tetapi bernilai konsumsi pribadi
menyangkut perbedaan kepentingan (keluarga).
antara penguasa (ekonomi dan politik) Produksi model inilah yang dimiliki
dengan rakyat. Penguasa atau pemerintah oleh sebagian besar petani di Indonesia
menganggap bahwa tanah merupakan untuk mempertahankan hidup tanpa
sarana untuk mencapai tujuan akumulasi modal. Pada kondisi ekonomi
pembangunan. Sebaliknya rakyat (atau subsistensi petani yang non profit oriented
petani) memiliki persepsi bahwa tanah tersebut, lalu muncul pihak luar yang
adalah segala sesuatu yang diusahakan hendak membangun struktur ekonomi
untuk kehidupan mereka. Hidup dan berhaluan bisnis atau mengejar ke-
matinya keluarga mereka sedikit banyak untungan (profit oriented) melalui modal
yang disediakan pada masyarakat yang

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


Ahmadin 57

sama, akan terjadi krisis subsistensi negara di Eropa pada abad XVI dan XVII
seperti kata James Scott (1976). Bukan mulai menemukan bentuk dan identitas
hanya itu, implikasi sosial yang ditimbul- nasionalnya. Salah satu prasyarat bagi
kan juga mengarah pada terjadinya tegaknya identitas nasional suatu negara
dualisme ekonomi seperti kata J.H. Boeke (bangsa), adalah memperkuat kedudu-
dalam “Dualism Colonial Societies-nya kannya di dalam negeri yang diwujudkan
(1980)”. Lalu bagaimana sesungguhnya serta sedikit banyak ditentukan oleh
masalah agraria di Indonesia berdasarkan hubungannya dengan luar negeri atau
sejarah perkembangannya?. negara lain. Senada dengan itu, pada
Mubyarto, dkk (1992) dengan abad yang sama rute perdagangan
hampiran teori sosial ekonominya, mem- internasional pindah dari laut Tengah ke
bagi sejarah pertanahan Indonesia dalam samudra Atlantik dan yang pertama
tiga periode yakni: (1) periode per- mendapat kesempatan untuk itu yakni
kebunan besar asing yang ditandai oleh Spanyol, Belanda dan Inggris. Raja-raja
munculnya konflik antara pemilik kebun penganut paham merkantilisme yakni
asing dengan petani, (2) periode pasca Karel V (Spanyol), Ratu Elizabet (Inggris),
kemerdekaan dengan penciri berupa Prins Maurits (Wali negara Belanda) dan
reformasi agraria, menciptakan Undang- disusul Louis XIV (Prancis). Tampillah
undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun mereka sebagai mercu suar pada masanya,
1960, mengatasi penyakit lapar tanah yang ditandai dengan mengalirnya
melalui program transmigrasi, dan (3) kekayaan logam mulia ke Eropa.
periode pemerintahan orde baru yang Belanda yang pada saat itu terlibat
ditandai oleh suksesnya program trans- dalam kompetisi perdagangan inter-
migrasi, berhasilnya land reform dalam nasional dituntut untuk tetap eksis, dan
wujud pembangunan Program Perusaha- ekspansi serta imperialisme merupakan
an Inti Rakyat (PIR). syarat mutlak yang mereka harus tempuh.
Untuk memperoleh gambaran Singkat cerita, ekspansi barat sejak abad
secara kronologis mengenai kondisi ke-15 memunculkan Belanda dengan
agraria (sektor pertanian) pada masa VOC-nya sebagai pemegang hegemoni
kolonial, maka pembahasan berikut akan politik di Nusantara (Kartodirdjo, 1993).
diuraikan tentang berbagai masalah yang Kehadiran VOC inilah yang telah
muncul mulai dari zaman Belanda hingga menimbulkan berbagai problema, serta
Jepang dengan orientasi kepentingan merusak sendi-sendi hukum agraria di
yang berbeda sekaligus mewarnai bentuk Indonesia (Parlindungan, 1993: 56).
kebijakannya di sektor ini. Verenidge Oost Indisch Compagnie
(VOC) yang didirikan sejak 1602 sebagai
B. Masa Penjajahan Belanda sindikat dagang Timur Jauh, inilah yang
berfungsi sebagai wadah yang diberi
Sebagaimana yang dilansir oleh wewenang untuk mengatur perekonomi-
para sejarawan pada umumnya, banyak an dalam persaingan di pasar inter-

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


58 Ahmadin

nasional (Eropa). Berbagai kebijakan 1. Masa Kekuasaan VOC


segera muncul untuk mengatur roda
Masuknya penjajah Belanda dengan
perekonomian di tanah jajahan, sehingga
sistem perkebunan barunya berciri usaha
sindikat dagang ini seakan tampil sebagai
pertanian besar dan kompleks, padat
“state in state” (negara dalam negara).
modal, teknologi modern dan ber-
Pada awalnya mereka hanya tertarik
orientasi komersil, membutuhkan jumlah
untuk berdagang, sehingga sasaran
tenaga kerja yang relatif banyak. Melalui
utamanya hanya terbatas pada kota-kota
VOC-nya sebagai suatu sindikat dagang,
pelabuhan (daerah pantai). Pada tahun
pemerintah Belanda menerapkan sistem
1660 Maluku berhasil dikuasai, sehingga
monopoli dan pungutan paksa.
raja-raja diwajibkan membayar upeti.
Meningkatnya permintaan akan bahan
Namun demikian, permintaan pasar
rempah-rempah di pasar internasional
dunia yang semakin meningkat, men-
menyebabkan kolonial Belanda
dorong mereka untuk mengembangkan
mengadakan perluasan kebun dan tidak
sektor pertanian dan akhirnya daerah
hanya sebatas rempah-rempah, tetapi juga
Jawa, Madura Sumatra Timurlah yang
kopi di Priyangan dan perkebunan tebu
menjadi sasaran dan perioritas untuk
di Jawa Tengah serta Jawa Timur
mengembangkan usaha perkebunan.
(Mubyarto, dkk., 1992).
Ricklefs dalam bukunya “A History of
Dalam menjalankan pemerintahan
Modern Indonesia (1981: 119)” men- di tanah jajahan, kolonial Belanda
jelaskan bahwa pada tahun 1859, memberlakukan politik monopoli dan
terdapat sekitar 17.285 orang Eropa di pungutan paksa melalui dua cara.
Indonesia, dan pada tahun 1900 Pertama, Contingenten yakni pajak yang
melonjak menjadi 62.477 orang.
harus dibayar secara innatura dengan hasil
Data tersebut menunjukkan bahwa
bumi. Kedua, Verplicte leverentien yakni
dalam aktivitas perekonomian masa itu,
hasil bumi yang disetorkan sesuai dengan
peranan orang-orang Eropa di Hindia
kontrak yang ditetapkan oleh VOC
Belanda (Indonesia) menjadi sangat
(Mubyarto, Dkk., 1992: 30). Pola-pola
penting. Bahkan keterlibatan dan inter-
pemilikan tanah dan penguasaan tenaga
vensi lebih jauh dalam aktivitas per-
kerja, pun tampak menjadi bagian
ekonomian (perdagangan), semakin nyata
integral yang menyatu dalam pelaksanaan
tatkala sindikat perdagangan bernama
program-program VOC. Karena itu, demi
VOC mendukungnya. Mengetahui peran
eksisnya pertahanan VOC di Indonesia,
penting VOC dalam aktivitas per-
maka ia mulai membuat prasarana yang
dagangan, sangat penting karena melalui
diperlukan seperti berupaya membangun
peran itulah juga menjadi dasar
benteng-benteng, loji, gudang penyimpa-
penetapan berbagai kebijakan politik
nan hasil bumi, pabrik dan juga rumah
dalam bidang agraria.
tempat tinggal (Djuliati, 1991: 143).

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


Ahmadin 59

Dalam merealisasi keinginannya, kan kuota berikut harga ditetapkan oleh


untuk pertama kali VOC menuntut VOC; (3) di tanah pegunungan Priangan
pengerahan tenaga rakyat dari para dibuka kebun-kebun kopi dengan
Bupati. Tenaga rakyat ini digunakan menggunakan bangsawan sebagai
untuk menebang dan mengumpulkan kontraktor untuk menyediakan buruh;
kayu dari hutan jati. Blandbong adalah (4) di daerah Jakarta dan sekitarnya
istilah yang dipergunakan untuk termasuk daerah-daerah pantai, terdapat
menyebut kerja wajib umum ini. Kerja hampir 100 buah tanah sewaan yang
sebagai blandbong hanya mendapat upah dikelola oleh pegawai setempat (yang
relatif kecil yang tidak sesuai dengan kerja diangkat oleh VOC); (5) pemilik
yang harus mereka lakukan. Kerja wajib perkebunan hampir semua perkebunan
umum selalu dituntut oleh penguasa yang punya hak istimewa sebagai tuan
pribumi terhadap para sikep. Bahkan di besar atas penduduk desa; (6) di Jawa
beberapa wilayah, tuntutan terhadap Tengah yang baru setengah takluk oleh
tenaga kerja wajib tanam tidak saja VOC, mengenakan pajak sederhana
didasarkan pada pemilikan tanah tetapi berupa padi, kayu, katun, benang,
juga bagi mereka yang hanya memiliki kacang-kacangan, dan uang (Ahmadin,
rumah (numpang karang atau indung 2001: 23; Mubyarto, dkk, 1992).
tempel) (Djuliati, 1991: 263). Kebijakan Perluasan areal perkebunan beserta
politik ini dalam versi Geertz (1963: 48- variasi tanamannya inilah yang menjadi
49) disebutnya “menumpangkan”, karena awal pemicu lahirnya dualisme ekonomi.
alasan bahwa yang dilakukan oleh Kalangan petani dengan paradigma
Belanda dari tahun 1619 hingga masuk- konvensionalnya (ketentuan kepemilikan
nya Jepang tahun 1942 adalah mencari tanah berdasarkan adat) di satu sisi,
produk pertanian di Indonesia khususnya dengan pemerintah kolonial yang
Jawa untuk dijual di pasaran dunia tanpa modern (model Eropa). Kubu pertama
mengubah stuktur ekonomi pribumi (petani) dengan ciri ekonomi subsis-
secara asasi. tensinya tidak setuju dengan masuknya
Untuk memperoleh sebuah cinema- pihak luar (Belanda) dengan ciri ekonomi
tografi mengenai kebijakan kolonial di berorientasi pasar (komersil). Kubu kedua
sektor agraria, berikut diuraikan kondisi yang berhaluan ekonomi liberal me-
perkebunan pada beberapa wilayah di maksakan kehendak kepada rakyat untuk
Indonesia: (1) di Maluku sumber cengkeh menyiapkan tanahnya guna kepentingan
dan pala dibatasi serta diberikan penjajah.
hukuman kolektif bagi penyelundup dan Clifford Geertz dalam bukunya
diharuskan kerja rodi; (2) di daerah lada “Involusi Pertanian” (1963), membagi
seperti Banten, Lampung dan Sumatra pandangan mengenai pemilikan tanah
Tengah diadakan perjanjian dengan raja menjadi dua bagian. Wilayah Jawa dan
di kota-kota pelabuhan untuk menetap- Madura yang disebutnya sebagai
“Indonesia dalam”, beranggapan bahwa

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


60 Ahmadin

tanah adalah hak milik dan alat produksi, melarang pungutan paksa. Berbagai
dan demi tanah setiap orang bersedia kebijakan pemerintah kolonial tersebut,
mempertaruhnya nyawa untuk memper- rupanya mengalami kegagalan dan tidak
tahankan tanah tersebut. Di sisi lain, mencapai target yang diharapkan.
beliau istilahkan dengan “Indonesia luar” Penyebab kegagalan tersebut disebabkan
(di luar Jawa dan Madura) yakni kolonial oleh terbatasnya pegawai yang cakap,
beranggapan bahwa kepemilikan tanah perekonomian desa yang belum
tidak jelas dan ditentukan oleh jenis memungkinkan untuk sistem penyewa-
tanaman tertentu. Dalam pengertian han berupa uang, dan masih banyaknya
bahwa tanah adalah milik umum, kepemilikan tanah didasarkan pada
sehingga siapa yang mengolah ketentuan hukum adat.
(menanami) itulah pemiliknya.
Perbedaan persepsi mengenai 2. Masa Tanam Paksa
kepemilikan tanah inilah yang di kelak
Kegagalan pemerintah kolonial
kemudian hari menjadi bom waktu yang
dengan sindikat dagang VOC-nya dan
siap meledak, seperti aksi protes berupa
kebijakan pungutan paksa bagi hasil
pemberontakan Ratu Adil, Perang
pertanian, menstimulasi mereka untuk
Diponegoro, Pemberontakan Petani
segera menemukan modus baru dalam
Banten, sampai kepada aksi protes
upaya menstabilkan roda perekonomian.
dengan organisasi modern seperti
Masa tanam paksa berlangsung selama
pemogokan di Keresidenan Madiun,
kurun waktu antara tahun 1830 hingga
Keresidenan Yogyakarta, Keresidenan
tahun 1870.
Pasuruan, dan lain-lain. Herman Willem
Sistem tanam paksa (cultuurstelsel)
Daendels (1808-1811) menetapkan ber-
oleh Belanda, yang menyebabkan
bagai kebijakan sebagai berikut: (1)
perkebunan-perkebunan negara meng-
meletakkan dasar pemerintahan dengan
hasilkan bahan-bahan ekspor harus
sistem barat, (2) pusat pemerintahan di
membuat Jawa menjadi sebuah jajahan
Batavia, (3) di pulau Jawa dibentuk 9
yang menguntungkan. Pada tahun 1870
keresidenan, (4) membentuk pengadilan
perkebunan-perkebunan ini diambil oleh
keliling, (5) Kesultanan Banten dan
penanam-penanam modal swasta Belanda
Cirebon dijadikan daerah Gubernemen
(Onghokham dalam Sediono dan
(Mubyarto, 1992).
Gunawan Wiradi, 1983: 4; Onghokham,
Selanjutnya, pada masa
1979).
pemerintahan Thomas Stamford Rafles
Kebijakan baru kolonial yakni
yang menjabat selaku Gubernur Jenderal
sistem tanam paksa yang memuat
di Jawa dan sekitarnya pun menetapkan
beberapa ketentuan: (1) penduduk desa
kebijakan berbeda yakni: (1) membagi
diharuskan menyediakan 1/5 tanahnya
Jawa menjadi 18 keresidenan, (2) para
untuk ditanami, (2) tanah yang disedia-
bupati dijadikan pegawai negeri dan gaji
kan untuk tanaman dagangan dibebas-
ditetapkan oleh pemerintah kolonial, (3)

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


Ahmadin 61

kan dari pajak tanah, (3) tanaman dengan kepentingan warga desa dan
dagangan diserahkan kepada pemerintah lingkungan desa pada umumnya
Hindia Belanda, (4) wajib tanam dapat (Djuliati, 1991: 98; Suhartono, 1991: 41).
diganti dengan penyerahan tenaga untuk Upaya penerapan implementatif
pengangkutan ke pabrik, (5) penggarap- sistem tanam paksa oleh pemerintah
an tanah diawasi langsung oleh kepala- kolonial, mereka menggunakan ketiga
kepala pribumi (Ahmadin, 2001: 32). (1,2,3) jenis kerja tersebut. Mengenai
Tanaman yang dipaksakan meliputi mekanisme dari kerja wajib yang
2 kategori besar, yakni tanaman tahunan digalakkan tersebut, dapat dihubungkan
seperti tebu, nila dan tembakau yang dengan pola kepemilikan tanah. Sekadar
ditanami secara bergiliran dengan padi diketahui bahwa pada masa itu, tanah di
dan tanaman keras (berumur panjang) seluruh wilayah kerajaan adalah milik
yakni jenis tanaman yang tidak dapat raja. Karena itu, dalam menjalankan
digilirkan dengan padi (kopi, teh dan pemerintahannya raja akan mengangkat
lada). Ketidakteraturan penanaman, me- sentana dan narapraja (priyayi) untuk
nyebabkan 2 jenis tanaman mengembang- membantunya (Suhartono, 1991 :27).
kan dua gaya yang saling berpengaruh Imbalan atas tugas yang dibeban-
dan bertentangan dengan komunitas kan tersebut, yakni mereka akan mem-
biotis yang sudah mapan. Karena, itu peroleh lungguh. Pada saat itu belum
kesuburan tanah tidak dapat diper- terdapat kejelasan pada pola pemilikan
tahankan dan produksi hasil pertanian tanah. Ketentuan luas lungguh masih
menurun. didasarkan pada jumlah penduduk
Dalam sumber lain, juga (cacah) (Tjonronegoro, 1984 :5). Adapun
dijelaskan mengenai ketentuan kerja pengelolaan lungguh diserahkan sepenuh-
wajib yang diterapkan pada masa nya pada para sikep. Seorang sikep
kolonial. Adapun mengenai jenis-jenisnya disamping mempunyai kewajiban untuk
dapat dibedakan dalam 4 kategori: (1) membayar pajak juga harus menjalankan
kerja wajib umum (heerendiensten) kerja wajib untuk kerajaan dan
meliputi kerja dalam pekerajaan umum, kepentingan bersama di desanya (Djuliati,
pelayanan umum dan penjagaan 1991 :98).
keamanan; (2) kerja wajib pancen Keberadaaan seorang sikep dalam
(pancendiensten) khusus untuk melayani sistem ekonomi ini, yakni merupakan
rumah tangga pejabat; (3) kerja wajib tulang punggung perekonomian desa.
tanam (cultuurdiensten) tediri dari berbagai Karena itu, seorang bekel atau kepala
jenis kerja dibidang penanaman, sikep, akan bertindak sebagai penghubung
pengolahan dan pengangkutan tanaman antar sikep dengan para priyayi. Tugas
wajib; (4) kerja wajib desa (desadiensten, seorang bekel antara lain mengumpulkan
gemeentediensten) meliputi jenis kerja penyerahan hasil lungguh dan menarik
untuk kepentingan kepala desa dan ber- pajak. Bekel menerima imbalan berupa
macam-macam pekerjaan yang berkaitan

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


62 Ahmadin

hak mepergunakan 1/5 bagian dari sawah berubah saat berpapasan dengan
lungguh yang pada tahap selanjutnya semangat dinamisme barat, melainkan
menjadi sawah bengkok (Breman, 1986). tumbuh dari wujud politik penjajahan
Jenis kewajiban lainnnya disamping yang memberi tekanan secara politis pada
keharusan membayar pajak, yakni ke- pola pertanian tradisional Indonesia…”.
wajiban menjalankan krigaji. Dalam Kedua, Clifford Geertz dalam buah
konteks ini diartikan sebagai pekerjaan penanya “Agricultural Involution: The
yang dilakukan bersama-sama untuk Processes of Ecological Change in Indonesia
kepentingan raja (Djuliati, 1991: 105). (1963: 97) menjelaskan bahwa : “… di
Jenis kerja wajib ini, dilakukan 5 (lima) bawah tekanan jumlah penduduk yang
hari sekali selama 5 (lima) jam. Dalam bertambah dan sumber daya alam ter-
menjalankan kerja wajib, mereka disuruh batas, masyarakat Jawa tidak terbelah dua
membuat atau memperbaiki jalan dan seperti yang banyak terjadi di negara-
jembatan, penjagaan rumah pembesar negara sedang berkembang lainnya, yakni
(kemit) yang dilakukan selama 2 minggu golongan tuan tanah besar dan golongan
sekali, pekerjaan rumah tangga (ayeran), tertindas hampir seperti budak.
kerja membawa dan mengangkut barang Melainkan mempertahankan homo-
dan orang (gladhag). Selain itu, ada pula genitas sosial dan ekonominya yang
gugur gunung yaitu pengerahan tenaga cukup tinggi, dengan cara membagikan
dari semua laki-laki dewasa untuk kue ekonomi yang ada, sehingga lambat
mengatasi keadaan bahaya/musibah yang laun jumlah yang mereka terima oleh
diperkirakan dilakukan sebulan sekali. masyarakat. Proses seperti ini oleh Geertz
Jika upah harian diperhitungkan sebesar disebut sebagai kemiskinan ditanggung
25 sen maka wajib kerja selama tahun bersama (shared poverty). Masyarakat desa
bernilai f 18,50 (Suhartono, 1991 :40). sebaiknya tidak dibagi dalam the have not
Mengenai dampak sosial dan dan the haves, tetapi golongan kecukupan
ekonomi yang ditimbulkan oleh sistem dan kekurangan.
tanam paksa 1830-1870, dikemukakan Ketiga, Margo Liyon “Basis of
secara bervariasi oleh para peneliti. Hal Conflict in Rural Java” (1970: 13)
ini berangkat dari pemahaman dan sudut menjelaskan bahwa: “…adalah mungkin
pandang yang berbeda sehingga hasilnya bahwa rakyat umumnya mempunyai
pun bervariasi. sedikit tempat (niche) dalam sistem itu
Pertama, Boeke (1980) menjelas- dan bahwa suatu keadaan kemiskinan yang
kan bahwa: “… apa yang dianggap sebagai ditanggung bersama itu memang umum,
suatu ciri khas yang intrinsik dan tetap namun kemiskinan dan kesulitan yang
dari kehidupan ekonomi Indonesia semakin meningkat pun menekankan
(Timur) merupakan gejala yang pada perbedaan-perbedaan yang relatif kecil
dasarnya bersifat spiritual. Kondisi ini dalam tingkat sosial ekonomi desa”.
tercipta secara historis; ia tidak tumbuh
dari hakekat jiwa timur yang tidak dapat

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


Ahmadin 63

Pada perkembangan selanjutnya, sudah saatnya para petani memperoleh


penderitaan rakyat Indonesia diiringi kebebasan menanam atau menggunakan
oleh munculnya kecaman berbagai pihak hasil tanamannya. Dalam pengertian lain
terutama bagi penganut faham liberal. bahwa, sekarang sudah tiba masanya
Sistem monopoli dan kerja paksa diadakan perubahan sistem cara
dianggap tidak efektif tetapi sebaliknya penyerahan paksa.
menyengsarakan rakyat. Karena itu, Hal ini relevan dengan cita-cita
berdasarkan ketentuan yang termaktub Raflles yang mencoba untuk menghapus
dalam konsep kapitalisme liberal yang penyerahan paksa hasil tanah, peng-
berkembang di Eropa, para petani diberi hapusan kerja rodi, mengurangi peng-
kebebasan menentukan usaha taninya awasan yang dilakukan oleh Bupati, serta
dan pihak swasta diberi kelonggaran langsung mengawasi penyewaan tanah-
untuk berkembang di Indonesia. tanah, tidak dapat dijalankan dengan
Tuntutan seperti inilah yang baik bahkan mengalami kegagalan.
kemudian menjadi isi dari Undang- Penggantian sistem penyerahan wajib
Undang Agraria (Agrarishe Wet) Tahun menjadi pajak tanah masih mengalami
1870, dengan berusaha melindungi hak- berbagai hambatan seperti masih kuatnya
hak rakyat. Namun demikian, realitas hukum adat, belum terdapatnya peng-
justeru sebaliknya membawa pada ukuran tanah dan belum dikenalnya
kerugian masyarakat yang ditandai oleh ekonomi uang oleh penduduk
penyalahgunaan lahan. Berdasarkan (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991 :10).
catatan Geertz bahwa banyak di antara Dalam perkembangan selanjutnya,
tanah-tanah subur yang seharusnya memasuki tahun 1870 dalam sejarah
ditanami padi, justru digunakan untuk kolonial dikenal sebagai “zaman liberal”
perkebunan tebu yang pada gilirannya yang ditandai oleh ditetapkannya
tidak menghasilkan produksi secara Undang-undang Agraria yang berisi
optimal. Proses peningkatan tanpa meng- larangan mengambil tanah penduduk
alami kemajuan pada masa pemerintahan dan membebaskan para pengusaha asing
Belanda inilah yang oleh Geertz untuk menyewa tanah di Indonesia.
dinamakan sebagai “Involusi Pertanian” Peraturan ini dimaksudkan sebagai upaya
dan Boeke menamakannya sebagai preventif bagi timbulnya kekuasaan
“Ekonomi Statis”. merampas hak milik atas tanah secara
sewenang-wenang sekaligus merupakan
3. Masa Faham Liberal awal lahirnya ide humaniter. Selain itu,
ditetapkan pula bahwa tanah yang
Seiring dengan makin meningkat-
dibiarkan menganggur tanpa ditanami
nya kebutuhan akan hasil dari negeri
atau tidak digarap secara konstitusi
jajahan, beberapa penganut aliran liberal
adalah milik negara.
rupanya sudah mulai memikirkan modus
Ketentuan mengenai pernyataan
baru yang ditopang oleh premis bahwa
tanah negara ditetapkan dalam "Agrarisch

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


64 Ahmadin

Besluit” atau “Domein Verklaring” sebagai liberal, mempunyai tujuan sebagai


berikut: “semua tanah yang tidak dapat berikut: (1) memberikan pengakuan
dibuktikan oleh seseorang adalah tanah kepada hak pemilik tanah oleh pribumi
negara berdasarkan pasal 21 ayat 2 IS sebagai “hak milik mutlak” (eigendom),
(Indische Staatsregeling). Peraturan ini sehingga memungkinkan penjualan dan
berlaku untuk daerah gubernemen, persewaan, (2) asas domein yang men-
sedangkan daerah swapraja berlaku dasari undang-undang agraria itu, peng-
hukum adat. Daerah swapraja yang usaha swasta diberi kesempatan untuk
dimaksudkan adalah Maluku, Sulawesi, dapat menyewa tanah dalam jangka
dan Sunda Kecil. Status tanah negara panjang dan murah. Karena itu, ber-
dibedakan atas dua macam berdasarkan dasarkan perjalanan sejarahnya, berbagai
“Domein Verklaring” yakni: (1) tanah kebijakan yang termaktub dalam undang-
negara bebas (vrij staatsdomein) yaitu tanah undang agraria (1870) pada tataran
yang tidak sama sekali dibebani hak praktisnya hanya merupakan peraturan
seorang menurut hukum Belanda, (2) untuk melayani kepentingan pengusaha
Tanah negara yang tidak bebas (orvrij besar.
staatsdomein) yaitu tanah yang dibebani Mengenai kondisi tanah selama 3/4
suatu hak menurut hukum Belanda. abad, digambarkan Hardjosudarmono
Peraturan mengenai penggunaan (1970) sebagai berikut: (1) dari segi
tanah juga dikeluarkan oleh pemerintah pemilikan tanah, dapat digolongkan:
kolonial yang tercantum melalui Agrarisch tuan tanah (pemilik tanah besar), pemilik
Wet (pasal 21) Indische Staatregeling sebagai tanah sedang, pemilik tanah kecil, dan
berikut: (1) Gubernur Jenderal tidak golongan petani tak bertanah, (2) dari
diperbolehkan menjual tanah, (2) dalam keadaan itu penggunaan tanahnya
larangan tersebut tidak termasuk tanah- didapatkan: petani besar (tuan tanah yang
tanah kecil untuk perluasan kota dan mengerjakan tanahnya sendiri yang luas
desa serta untuk mendirikan perusahaan- atau melepaskan pada orang lain untuk
perusahaan, (3) Gubernur Jenderal disewa tau membiarkan kosong), pemilik
menyewa tanah menurut undang-undang sawah sedang yang menjadi petani
(tidak termasuk tanah penduduk asli yang sedang, pemilik tanah kecil, petani yang
telah digarap atau tempat ternak, (4) tak punya sawah.
melalui peraturan tersebut dibuat tanah Meningkatnya perkebunan parti-
hak paling lama 75 tahun, (5) Gubernur kulir pada masa pemerintahan kolonial
Jenderal menjaga jangan sampai Belanda itu, melahirkan berbagai macam
penggunaan tanah melanggar hak-hak kebijakan. Ada 3 cara yang ditempuh
rakyat, (6) persewaan tanah rakyat asli oleh para pengusaha perkebunan untuk
diatur dalam undang-undang. memperoleh tanah, yaitu: (1) dibebaskan
Ditetapkannya Undang-undang dari segala biaya untuk keperluan
Agraria (1870) sebagai tuntutan gerakan pengukuran, biaya administrasi dan
sebagainya, (2) diberikan 3 macam

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


Ahmadin 65

pinjaman tanah, perumahan dari baru kolonial Belanda ini, dalam sejarah
perusahaan. Pinjaman untuk membayar penjajahan Indonesia dikenal sebagai
tanah harga tanah besarnya 3/4 dari “politik etis”. Dalam perkembangan
taksiran harga tanah, (3) diberikan selajutnya, realitas menunjukkan bahwa
bimbingan di bidang teknik, manajemen politik etis ini justru dinikmati oleh
perusahaan, pemasaran hasil dan pihak-pihak tertentu saja seperti fasilitas
sebagainya oleh para ahli yang tergabung perumahan oleh para pengusaha per-
dalam komisi “kolonisasi”. kebunan. Sebaliknya, penduduk desa
Pada bulan Agustus 1899, Conrad tetap hidup di bawah garis kemiskinan
Theodor van Deventer menulis artikel dan kelaparan. Timbulnya image negatif
“Een Eereschlud” (Hutang Budi) dalam di kalangan masyarakat mengenai
majalah De Gids yang isinya menuntut penyalahgunaan Undang-undang Agraria,
agar kolonial Belanda memberikan ganti pada gilirannya melahirkan aksi
rugi terhadap kekayaan alam yang telah pemogokan pada berbagai pabrik gula di
dieksploitasi sejak sistem tanam paksa Jawa. Aksi pemogokan mencapai titik
(1867). Negeri jajahan menurutnya telah kulminasinya pada tahun 1920.
memperoleh keuntungan kira-kira sebesar Bukan hanya di negeri jajahan
200 gulden. Pengakuan jujur atas hal ini Belanda (Indonesia), pada tahun 1878-
merupakan suatu kehormatan, karena itu 1895 pun terjadi aksi pemogokan di
utang kehormatan hanya dapat dibayar sebuah provinsi bernama Friesland dan
dengan cara memperbaiki dan mem- sekitarnya di negeri Belanda bagian utara
perhatikan nasib negeri jajahan. Krisis yang mayoritas kristen. Aksi ini oleh
ekonomi sejak 1885 menyebabkan sejarawan dianggapnya sebagai pengaruh
kemiskinan dan penderitaan rakyat, Marxisme yang berkembang di Eropa
karena itu sudah tiba saatnya untuk mem- seperti Inggris, Jerman dan Perancis.
bayar hutang budi tersebut. Menurut van Faham marxisme muncul sebagai reaksi
Deventer bahwa pendidikan dan pem- atas praktek-praktek ekonomi liberal,
bangunan ekonomi merupakan conditio karena kapitalisme dan ekonomi pasar
sine qua non untuk peningkatan dianggap menciptakan perbedaan
kesejahteraan rakyat, karena melalui ekstrem yakni kekayaan untuk kapitalis
pendidikan Indonesia akan mampu dan kemiskinan untuk buruh.
mengurus kepentingan dirinya sendiri Pada bulan September 1901 per-
(Sulityo, 1995: 36). juangan golongan sosialis rupanya
Tuntutan ini rupanya mendapat berhasil yang ditandai oleh munculnya
respon positif dari berbagai pihak, pidato Ratu Belanda Wilhelm tentang
sehingga pada gilirannya melahirkan “kewajiban luhur dan tanggung jawab
kebijakan baru berupa pengadaan fasilitas moral untuk rakyat Hindia Belanda”.
umum seperti irigasi, edukasi (lembaga Seruan ini paralel dengan konsep Marxis
pendidikan), perumahan, rumah sakit bahwa sebagian keuntungan kapitalis
(poliklinik), dan sebagainya. Kebijakan adalah hak buruh, demikian pula kaum

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


66 Ahmadin

buruh yang telah banyak terlibat dalam Ketiga, depresi ekonomi juga
proses produksi seharusnya memiliki hak diakibatkan oleh curah hujan yang tidak
yang lebih banyak. Munculnya ber- teratur sehingga tidak dapat memenuhi
bagai pemogokan buruh sebagai gerakan kebutuhan irigasi. Meskipun Tahun
sosialis, disebabkan oleh beberapa faktor 1916-1917 curah hujan cukup, namun
yang berhubungan dengan kondisi sosial- hujan terlambat sehingga praktis petani
ekonomi pada saat itu. tidak dapat menanami tanahnya. Setelah
Pertama, Perang dunia I (1914- menerima kembali tanahnya pada bulan
1918) meski tidak meluas di seluruh Asia, Mei dari pabrik gula, petani di
namun akibatnya terasa di seluruh dunia Yogyakarta tidak dapat menggarap tanah-
karena faktor-faktor produksi seperti nya karena 6 bulan kemudian baru turun
barang, tenaga kerja dan modal banyak hujan. Meski tahun 1917-1918 terjadi
digunakan untuk kepentingan perang. hujan sepanjang tahun, namun debit
Akibatnya, barang produksi untuk airnya sangat sedikit sehingga menimbul-
kepentingan sehari-hari berkurang kan konflik antara petani dan pemilik
sehingga terjadilah depresi ekonomi yang pabrik dalam hal pembagian air.
ditandai oleh mahalnya tekstil dan obat- Depresi ekonomi tersebut
obatan. Bila penawaran semakin ber- menyebabkan penderitaan rakyat
kembang dibandingkan jumlah per- semakin meningkat yang ditandai oleh
mintaan, dalam teori ekonomi harga terjadinya kelaparan di mana-mana yang
akan mahal. Karena itu, para petani dan diiringi oleh berjangkitnya aneka
pedagang yang hendak mendapatkan penyakit. Melalui sebuah Jurnal “Sri
produksi dari Eropa terpaksa menaikkan Mataram” sebagaimana dikutip oleh
harga barangnya. Kondisi ini pada Sulityo (1995) dijelaskan mengenai
gilirannya melahirkan inflasi yang laporan dokter di Jawa bahwa pada tahun
semakin lama semakin tinggi. 1919 sebanyak 1.197.000 jiwa meninggal
Kedua, makin banyaknya usaha- karena terserang penyakit beri-beri, TBC
usaha Barat di bidang perkebunan dan influensa. Reaksi dari berbagai
menambah berat beban petani pemilik tempat pun kemudian muncul seperti
tanah. Fenomena ini juga diiringi oleh pemogokan Keresidenan Madiun,
berakhirnya masa kontrak jangka panjang Pasuruan, Surakarta, Yogyakarta,
sejak 1891 (selama 30 tahun) pada tahun Surabaya, dan beberapa tempat lainnya.
1921 dan kontrak (25 tahun) sejak 1870 Terjadilah pemogokan umum pada
pada tahun 1920. Menjelang berakhirnya seluruh pabrik yang berjumlah 72 buah
masa kontrak inilah, terjadi berbagai di Jawa, dan barulah kemudian
tuntutan hak kepada pemerintah yang berangsur-angsur surut setelah kondisi
melindungi para pengusaha pabrik atas sosial ekonomi mulai sinkronis.
perlakuan tidak adil dalam perjanjian
sewa-menyewa tanah.

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


Ahmadin 67

C. Masa Pendudukan Jepang tanah dan menyebabkan menurunnya


produksi perkebunan.
Seperti kata pepatah lama “keluar
Melalui sumber yang sama dijelaskan
dari mulut harimau, masuk ke mulut
bahwa tanah partikulir pada masa Jepang
buaya”, penderitaan rakyat akibat
tidak ada yang dibeli kembali. Badan
penyalahgunaan tanah pertanian oleh
khusus segera dibentuk untuk mengatur
pemerintah Jepang kian menjadi-jadi.
dan menentukan status tanah
Sebagaimana telah dijelaskan pada
peninggalan penjajah Belanda. Kantor
permulaan tulisan ini, bahwa kondisi
yang menangani masalah tanah dinama-
politik sangat menentukan bagi keadaan
kan “Syiichi Kanri Kosha” (Kantor Urusan
tanah. Penjajah Jepang dengan ke-
Tanah Partikulir). Dalam menjalankan
pentingan berbeda, memperioritaskan
fungsinya, kantor ini seolah-olah ber-
tanaman pada komoditi yang berbeda
fungsi mewakili kekuasaan pemerintah
pula. Jika penjajah Belanda memusatkan
sehingga tampak tanah partikulir dikuasai
pada penanaman tembakau, rempah-
oleh pemerintah, sedangkan tuan tanah
rempah, kopi, tebu karena permintaan
tidak berkuasa lagi (Mubyarto, 1992: 50)
pasar, Jepang sebagai penguasa baru
Walaupun demikian, dapat dipasti-
dengan kepentingan baru pula mem-
kan bahwa kebijakan penjajah Jepang
perioritaskan pada penanaman bahan
seperti halnya Belanda bermuara pada
pangan dan tanaman jarak. Hal ini
upaya menarik keuntungan sepihak.
dimaksudkan untuk keperluan bahan
Kantor yang dibentuknya sebagai sarana
makanan saat perang melawan sekutu.
untuk mengatur perekonomian, pada
Berdasarkan keterangan Tauchid
dasarnya merupakan topeng siluman
dalam Mubyarto (1992), bahwa petani
untuk melindungi wajah sebenarnya dari
harus melipatgandakan hasil bumi dan
niat jahat mereka. Hal ini dapat
menyerahkan 20% hasil panennya
dibandingkan dengan kantor dagang
kepada pemerintah Jepang untuk
VOC milik Belanda, Undang-undang
keperluan bekal perang. Namun dalam
Agraria (Agrariche Wet) Tahun 1870 yang
prakteknya, rakyat bukannya dituntut
dijanjikan akan memperbaiki kondisi
bekerja giat untuk setoran hasil
ekonomi petani, justru melahirkan
pertanian, tetapi dituntut untuk
keuntungan sepihak (penjajah).
membantu Jepang dalam kerja paksa
Dalam sumber lain dijelaskan
(romusha) dan usaha pembangunan
bahwa pada bulan Mei 1943, Kolonel
perlengkapan perang. Dalam usahanya
Namura (Panglima Militer Jepang di
menambah hasil bumi tanah pertanian
Sumatera Timur), pernah menyerukan
rakyat diperluas berupa pembongkaran
kepada sekelompok kecil administratur
hutan dan tanah-tanah onderneming untuk
ordeneming terkemuka supaya memberi-
keperluan peningkatan hasil pangan.
kan laporan mengenai berbagai industri
Kondisi ini membawa bagi rusaknya
mereka. Hal ini dimaksudkan sebagai
bahan untuk merencanakan manajemen

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


68 Ahmadin

perkebunan, selama masa pendudukan pada tahun 1943, tanah tembakau itu kembali
Jepang di Indonesia. Adapun tanggung digunakan untuk penanaman sepanjang
tahun, bukan hanya untukpadi, jagung dan
jawab ini dilimpahkan kepada Noyen tanaman pangan lain melainkan juga untuk
Renggo Kai yakni sebuah badan yang serat, kacang-kacangan, jarak dan tanaman-
didirikan pada pertengahan tahun 1942. tanaman industri lainnya yang berguna bagi
Badan ini mempunyai kantor besar di Jepang. Ini tentu saja menghancurkan sistem
penggiliran penanaman yang sebelumnya telah
Medan dengan suatu staf kecil Jepang
dirawat dengan penuh ketelatenan, dan juga
yang dibantu oleh penasihat-penasihat menyebabkan kerusakan tanah yang berat
Barat (Pelzer, 1977: 152). pada semua perkebunan terutama
Dalam perkembangan selanjutnya, perkebunan-perkebunan di tanah rencah
pada penghujung tahun 1942 Noyen dekat pantai.
Renggo Kai digantikan oleh suatu badan Uraian tersebut menunjukkan
administratif baru yakni Shonan Gomu bahwa perubahan fundamental yang
Kumiai dengan kantor besarnya di terjadi di bidang agraria pada masa
Singapura. Perubahan fundamental pun pendudukan Jepang, yakni rusaknya
terjadi, yakni para penghubung Barat lalu beberapa jenis tanah perkebunan yang
digantikan oleh suatu group manajer sebelumnya tergolong subur. Hal ini
Jepang yang masing-masing diberi tentu saja disebabkan oleh kecen-
tanggung jawab untuk beberapa per- derungan penggunaan jenis tanaman
kebunan (Pelzer, 1977: 153). pada lahan tertentu tanpa mereka mem-
Meskipun demikian, perubahan pertimbangkan aspek yang berhubungan
mendasar terkait dengan kondisi tanah dengan pemeliharaan kesuburan.
pertanian kemudian menjadi ciri masa Suatu kenyataan historis yang
pendudukan Jepang. Banyak di antara menarik untuk dicermati, yakni per-
tanah subur yang mendapat perawatan bedaan mendasar dari kedua penguasa
intensif pada masa pemerintah kolonial yakni Belanda dan Jepang dalam hal
Belanda menjadi rusak. Betapa tidak, kebijakan di bidang agraria. Dalam
pada akhir tahun 1943 beberapa kebun pengertian bahwa kondisi agraria dapat
digunakan sebagai lahan untuk menanam berubah secara signifikan, tidak hanya
jenis tanaman padi, jagung, kacang- disebabkan oleh sebuah gejala alam atau
kacangan, dan jenis tanaman industri natural factors. Akan tetapi, peran
yang diperlukan Jepang (Ahmadin, 2001: penguasa dengan jenis kebijakan yang
35). Dalam catatan Pelzer (1977) juga diterapkan dapat menentukan seperti apa
dikemukakan bahwa: kondisi agraria pada lingkungan atau
Selama orang-orang Eropa tetap tinggal wilayah tertentu.
diperkebunan-perkebunan itu meskipun
mereka sedikit, selalu dapat ditemukan cara- D. Penutup
cara untuk memelihara setidak-tidaknya
beberapa bidang tanah yang paling terpilih. Masalah agraria di Indonesia
Tetapi setelah orang-orang terakhir ditawan sesungguhnya tidak bermula sejak masa

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


Ahmadin 69

kolonial, akan tetapi jauh sebelum itu


telah banyak persoalan terkait dengan
sektor yang maha vital dalam kehidupan
manusia ini. Tulisan ini menitikberatkan
kajian pada masa kolonial dimaksudkan
untuk memberi gambaran betapa sebuah
kekuasaan politik sangat dominan
pengaruhnya terhadap dunia agraris
(sektor pertanian). Akibatnya, kekuasaan
Belanda dan Jepang telah menjadikan
rakyat dan tanah Indonesia sebagai
tumbal ambisi kekuasaan.
Meskipun demikian, di balik porak-
porandanya sendi kehidupan ekonomi
rakyat karena ulah kaum kolonial, di sisi
lain justru membawa efek positif. Sebut
saja kedatangan kaum kolonialis yang
diiringi oleh kehadiran para ahli
pertanian, kemudian dianggap sebagai
dasar dan cikal bakal lahirnya modernisasi
pertanian (perkebunan) di Indonesia.

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007


70 Ahmadin

Daftar Pustaka

Ahmadin. 2001. Masalah Agraria Pelzer, Karl J. 1991. Sengketa Agraria:


Indonesia: Konsepsi dan Sejarahnya. Pengusaha Perkebunana Melawan
Makassar: Bahan Mata Kuliah Petani. Pustaka Sinar Harapan.
Jurusan Sejarah UNM. Scott, James C. 1976. The Moral Economi
Ahmadin. “Ironi Negara Agraris” dalam of the Peasant. New Haven dan
Harian Tribun Timur Edisi 12 London: Yale University Press, Ltd.
September 2006. Sulistyo, Bambang. 1995. Pemogokan
Breman, Jan. 1982. Penguasaan Tanah dan Buruh: Sebuah Kajian Sejarah.
Tenaga Kerja Jawa di Masa Kolonial. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Jakarta: LP3ES. Tjondronegoro, Sediono MP. 1984. Dua
Geertz, Clifford. 1960. Abangan, Santri, Abad Penguasaan Tanah: Pola
dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa
Dari Masa Ke Masa. Jakarta:
Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Gramedia dan Yayasan Obor
Geertz, Clifford. 1983. Involusi Pertanian. Indonesia.
Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Mubyarto, dkk. 1992. Tanah dan Tenaga
Kerja Perkebunan. Yogyakarta: Aditya
Media.
Onghokham. 1979. Perubahan Sosial di
Madiun selama Abad XIX. Makalah
disajikan dalam Lokakarya Sejarah
Sosial Ekonomi Pedesaan
diselenggarakan atas Kerja Sama IPB-
SAE-Erasmus Universiteit.
Palindungan, A.P. 1983. Beberapa
Masalah dalam UUPA. Bandung:
Mandar Maju.
Palindungan, A.P. 1986. Aneka Hukum
Agraria. Bandung: Alumni.
Pelzer, Karl J. 1977. Toean Keboen dan
Petani. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

ATTORIOLONG Vol. IV, No. 1 Januari-Juni 2007

Anda mungkin juga menyukai