Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

SENGKETA HAK TANAH DI KOTA MAKASSAR

(Studi Kasus di Kantor Pengadilan Kota Makassar)

Oleh

WAHYU AGUNG HANDIKI


NIM : 03051180061

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PELITA HARAPAN MEDAN
MEDAN
2020

i
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan atas rahmat Allah subhana wata’ala
karena berkat kesehatan dan kekuatan yang diberikan sehingga makalah yang
berjudul “Sengketa Hak Tanah di Kota Makassar” bisa diselesaikan dengan lancar
dan tepat waktu.

Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yang telah


membimbing dalam melaksanakan penulisan makalah ini sehingga penulis
memiliki banyak wawasan baru mengenai kajian teoritis yang telah dilakukan.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang yelag
berkontribusi secara langsung maupun secara tidak langsung dalam pembuatan
makalah ini.

Kami sebagai penulis menyadari bahwa banyak kekurangan pada makalah


ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari seluruh pihak senantiasa kami harapkan
demi kesempurnaan karya kami. Semoga tulisan ini dapat memberikan pemahaman
mengenai sengketa pertanahan khususnya yang ada di Kota Makassar.

Medan, 21 – 04 – 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL…………………………………………………………….i

KATA PENGANTAR .............................................................................................ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 3
C. Tujuan Penulisan .......................................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4

A. Pengertian Sengketa Tanah .......................................................................... 4


B. Faktor-faktor Terjadinya Sengketa Tanah ................................................... 5
C. Penyelesaian Sengketa Tanah ...................................................................... 6
BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................... 12

A. Faktor Penyebab Timbulnya Sengketa Tanah di Kota Makassar .............. 12


B. Proses Penyelesaian Sengketa Tanah di Kota Makassar............................ 13
BAB IV PENUTUP .............................................................................................. 16

A. Kesimpulan ................................................................................................ 16
B. Saran........................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah dianggap sebagai salah satu yang memiliki nilai tinggi dan aset
strategis serta istimewa mendorong seseorang untuk memiliki menjaga serta
merawatnya, bahkan sampai mempertahankan sampai titik darah penghabisan.
Olehnya itu, tanah menjadi kebutuhan pokok bagi setiap manusia sebagai tempat
tinggal. Kepemilikan atas tanah dijamin oleh negara dan diatur dalam konstitusi
negara Republik Indonesia, seperti yang terdapat dalam UUD 1945 yang berbunyi
“Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan seberar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.1

Sebagai jaminan hak kepemilikan tanah, maka negara menerbitkan regulasi


atas jaminan hak kepemilikan dengan memperoleh kepastian ha katas tanah, seperti
memilki surat tanda bukti. Sebagaimana diatur dalam UUPA No. 5 Tahun 1960
yaitu untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran
tanah di seluruh wilayah Indoensia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan Peraturan pemerintah.2

Akan tetapi, dalam kenyataan sehari-hari, permasalahan tanah muncul dan


dialami lapisan seluruh masyarakat. Sengketa pertanahan adalah isu yang selalu
muncul dari masa ke masa. Masalah pertanahan adalah masalah yang cukup rumit
dan sensitif sekali sifatnya, karena menyangkut berbagai aspek kehidupan, baik
sosial, ekonomi, politis, dan sebagainya. Sehingga, dalam proses penyelesaiannya
bukan hanya memperhatikan aspek yuridis, akan tetapi juga harus memperhatikan
berbagai aspek kehidupan lainnya agar tidak menimbulkan keresahan yang dapat
mengganggu stabilitas masyarakat.

1
Harsono, B. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi
dan Pelaksanaannya), Jilid I, Hukum Tanah Nasional. Jakarta: Djambatan, Edisi Revisi 2007. hlm.
22.
2
Yamun, L.M. & Lubis, A.R. Hukum Pendaftaran Tanah. Jakarta: Mandar Maju, 2008. hlm. 207.

1
Munculnya berbagai masalah mengenai tanah menunjukkan bahwa
penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah di negara kita ini masih belum tertib.
Masih banyak penggunaan tanah yang masih tumpang tindih dalam berbagai
kepentingan yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Di samping itu, fakta
membuktikan bahwa penguasaan dan pemilikan tanah masih timpang. Sehingga,
dapat dikatakan bahwa sengketa tanah tidak pernah surut, bahkan cenderung
meningkat di dalam kompleksitas permasalahan.

Pengaduan-pengaduan masalah pertanahan pada dasarnya fenomena yang


kerap mempersoalkan kebenaran suatu hukum yang berkaitan dengan pertanahan.
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006, dikuatkan atas
pembentukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang disusun dengan
memperhatikan sisi dan aspek aspirasi dan peran serta masyarakatguna dapat
menunjang kesejahteraan hidup.

Dari tahun ke tahun, jumlah kasus sengketa di bidang pertanahan di


Indonesia terus meningkat. Dalam kurung waktu dua tahun saja, jumlah kasus
pertanahan yang dilaporkan oleh BPN mencapai peningkatan lima ribu kasus. Kuat
dugaan bahwa, sengketa pertanahan terjadi karena adanya sertifikat ganda yang
disebabkan oleh kurangnya transparansi dalam hal penugasan dan pemilikan tanah.
Kurangnya informasi yang tersedia kepada masyakat juga menjadi salah satu sebab
timbulnya permasalahan sengketa tanah di tengah-tengah masyarakat.

Salah satu, alternatif untuk menyelesaikan sengketa tanah ialah melalui


upaya mediasi. Mediasi merupakan teknik penyelesaian sengketa alternatif yang
menawarkan cara penyelesaian yang khas karena prosesnya yang tidak berbelit-
belit, waktu yang singkat, dan menghemat biaya. Penyelesaian sengketa melalui
mediasi di bidang, harus kerap kali dilakukan oleh BPN, namun di dalam
pembicaraannya masih awam di telinga masyarakat. Hal ini dikarenakan, adanya
pemikiran yang sempit terhadap teknik itu sendiri, serta adanya kekurang percayaan
pada efektivitas pelaksanaan putusan mediasi dan kekhawatiran akan menimbulkan
sesuatu yang tidak diinginkan.

2
Penulis menganggap bahwa persoalan pertanahan, khususnya sengketa hak
tanah menarik untuk dibahas. Sehingga, berdasarkan uraian di atas maka, penulis
tertarik untuk membuat makalah yang berjudul “Sengketa Pertanahan di Kota
Makassar (Studi Kasus Pengadilan Negeri Makassar)”

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah, yaitu:

1. Apa faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya sengketa pertanahan di Kota


Makassar?
2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa pertanahan di Kota Makassar?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini
adalah:

1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya sengketa


pertanahan di Kota Makassar
2. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa pertanahan di Kota Makassar.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Sengketa Tanah
Sengketa adalah pertentangan, perselisihan, atau persekcokan yang terjadi
antara pihak yang satu dengan pihak lainnya dan/atau antara pihak yang satu dengan
berbagai pihak yang berkaitan dengan sesuatu yang bernilai, baik itu berupa uang
maupun benda.3

Sengketa merupakan suatu fenomena sosial yang bersifat universal, dan


menjadi bagian yang integral serta esensial dalam kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu, sengketa tidak perlu dilihat sebagai gejala yang patologis yang
bersumber dari tingkah laku yang abnormal, atau indikasi dari suatu kekacauan
dalam dinamika kehidupan masyarakat, karena setiap komunitas masyarakat
mempunyai kapasitas untuk menciptakan norma-norma dan mekanisme-
mekanisme tersendiri untuk menyelesaikan sengketa yang muncul untuk pergaulan
sosial warga masyarakat, seperti sengketa terkait tanah.4

Sengketa (dispute) dapat terjadi karena konflik mengalami eskalasi berhubung


sebab adanya konflik dikemukakan secara umum. Selanjutnya, suatu sengketa
hanyalah terjadi bila pihak yang mempunyai keluhan (claim) semula atau seorang
atas namanya, telah meningkatkan perselisihan pendapat yang semula dari
perdebatan dua pihak (diadik) menjadi memasuki wilayah publik. Hal ini dilakukan
secara sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada suatu tindakan mengenai
tuntutan yang diinginkan. Dengan demikian, pengertian sengketa paling tidak
melibatkan tiga pihak atau mempunyai ciri triadic, dan pihak ketiga menjadi
terlibat, atas inisiatif sendiri atau ata prakarsa salah satu atau kedua pihak. 5

3
Salim. Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia. Mataram: Pustaka Reka Cipta,
2012. hlm. 221.
4
Maggalatung, S. & Siagian, A. Pengantar Studi Antropologi Hukum Indonesia. Jakarta: Press UIN,
2015. hlm.213.
5
Ihromi, T.O. Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa yang Digunakan dalam
Antropologi Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993). hlm. 210-211.

4
B. Faktor-faktor Terjadinya Sengketa Tanah
Pengertian sengketa pertanahan dirumuskan dalam pasal 1 Peraturan
Menteri Negara Agraris/Kepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 1 tahun 1999
tentang Tata Cara penanganan Sengketa Pertanahan, selanjutnya disebut dengan
PMNA/KBPN 1/1999, yaitu “Perbedaan pendapat antara pihak yang
berkepentingan mengenai keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah, termasuk
peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya serta pihak yang berkepentingan yang
merasa mempunyai hubungan hukum dan pihak lain yang berkepentingan
terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut”.

Adapun beberapa tipologi sengketa di bidang pertanahan yang marak


menjadi perhatian dewasa ini adalah:6

1. Pendudukan tanah perkebunan atau non perkebunan atau tanah kehutanan


dan/atau tanah asset Negara/Pemerintah, yang dianggap tanah terlantar.
2. Tuntutan pengembalian tanah atas dasar ganti rugi yang belum selesai, mengenai
tanah-tanah perkebunan, non perkebunan, tanah bekas tanah partikelir, bekas
tanah hak barat, tanah kelebihan maksimum dan pengakuan hak ulayat.
3. Tumpang tindih status atas dasar klaim bekas eigendom, tanah milik adat dengan
bukti girik, dan atau Verponding Indonesia, tanah obyek landreform dan lain-
lain.
4. Tumpang tindih putusan pengadilan mengenai sengketa tanah.

Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya faktor-faktor yang


sangat dominan dalam setiap sengketa pertanahan dimanapun, adapun faktor-faktor
tersebut antara lain:7

1. Ketidaksesuaian peraturan,
2. Pejabat pertahanan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah tanah
yang tersedia,

6
Ningky, D. Aspek Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Atas Tanah Pasca Kerusuhan di Kec.
Sirimau Kota Ambo. Ppsgmmi, 05 Mei 2008. (Diakses pada 20 April 2020 di laman:
http:/ppsgmmi.blogspot.com/2008/05/skripsi.html)
7
Sumardjono,M. Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(ADR) di Bidang Pertanahan. Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia, 2008. hlm. 38.

5
3. Data yang kurang akurat dan kurang lengkap,
4. Data tanah yang keliru,
5. Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa
tanah,
6. Transaksi tanah yang keliru,
7. Ulah hak pemohon,
8. Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang tindih
kewenangan,
9. Pemindahan/penggeseran tanda batas tanah.

Sengketa pertanahan yang timbul di Indonesia dapat dikelompokkan ke


dalam 4 klasifikasi permasalahan, yaitu permasalahan yang berkaitan dengan: 8

1. Sengketa tanah antar warga


2. Sengketa tanah antar Pemerintah Daerah dengan warga setempat
3. Sengketa tanah yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam

Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu


pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak
atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan
harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan
ketentuan peraturan yang berlaku.9

C. Penyelesaian Sengketa Tanah


Secara teoritis penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui dua cara.
Cara penyelesaian sengketa yang pertama adalah melalui proses litigasi di dalam
pengadilan, kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui
kerjasama (kooperatif) di luar pengadilan.

Sistem nilai, norma politik, ekonomi, dan keyakinan sangat mempengaruhi


pilihan bentuk institusi dan model-model penyelesaian sengketa dalam masyarakat.
Dalam kondisi masayarakat yang masih sederhana dan komplek masih kuat, model-

8
Abdurrahman. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria. Bandung: Alumni, 1995. hlm. 85.
9
Murad, R. Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah. Bandung: Mandar Maju, 1991. hlm. 22-23.

6
model penyelesaian sengketa yang dikenal dalam masyarakat tersebut pada
pokoknya, adalah:

1. Non Litigasi

Non litigasi atau alternative dispute resolution adalah sengketa di luar


mekanisme badan peradilan. Lazimnya, penyelesaian sengketa melalui jalur non
litigasi dapat melalui cara negosiasi, mediasi, arbitrase, konsiliasi, dan penilaian
ahli.

a. Negosiasi

Negosiasi merupakan model penyelesaian sengketa melalui kompromi


antara pihak-pihak yang bersengketa, tanpa mengundang kehadiran pihak ketiga
untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka. Negosiasi merupakan
upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan
komunikasi yang dinamis serta beraneka ragam, dapat lembut dan bernuansa,
sebagaimana manusia itu sendiri. Tindakan ini dilakukan dalam rangka
mempertahankan kepentingan, hak-hak, dan status kekuasaan yang dimiliki para
pihak.

Dalam kaitannya dengan negosiasi, rumusan yang diberikan dalam pasal 6


ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, yang berbunyi “penyelesaian
sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian langsung oleh para
pihak dalam waktu paling lama 14 hari dan hasilnua dituangkan dalam kesepakatan
tertulis.10

b. Mediasi

Secara umum, pengaturan mediasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 30


Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sedangkan
secara khusus terdapat pengaturan mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pasal 1 angka 7

10
Kurniati, N. Hukum Agraria Sengketa Pertahanan Penyelesaian melalui Abitrase dalam teori dan
Praktik. Bandung: Refika Aditama, 2016. hlm. 187-190.

7
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan menegaskan
bahwa mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para
pihak dengan dibantu oleh mediator.

Mediasi merupakan model penyelesaian sengketa melalui kesepakatan


antara pihak-pihak untuk melibatkan pihak ketiga (mediator) dalam menyelesaikan
sengketa walaupun hanya sebatas perantara (go-between) yang bersifat pasif,
karena inisiatif untuk mengambil keputusan sebagai wujud penyelesaian
sengketanya tetap didasarkan pada kesepakatan-kesepakatan pihak yang
bersengketa. Untuk mencapai penyelesaian sengketa dengan prinsip win-win
solution maka upaya yang dapat ditempuh adalah melalui jalur non litigasi yang
mana salah satu caranya adalah dengan melakukan mediasi.11

c. Konsultasi

Sebenarnya, tidak ada rumusan penjelasan yang diberikan dalam Undang-


Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengenai makna ataupun arti dari konsultasi.
Konsultasi adalah suatu bentuk pranata alternatif penyelesaian sengketa. Peran dari
konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang ada tidaklah
dominan sama sekali. Konsultan hanya memberikan pendapat (hukum),
sebagaimana yang diminta oleh kliennya. Kemudian selanjutnya keputusan
mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil oleh para pihak, meskipun
adakalanya pihak konsultasi juga diberikan kesempatan untuk merumuskan bentuk
bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh para pihak yang
bersangkutan.12

d. Konsiliasi

Kata konsiliasi berasal dari bahasa inggris yaitu conciliation yang berarti
perdamaian. Seperti halnya konsultasi, negosiasi, ataupun mediasi UU Nomor 30
Tahun 1999 tidak merumuskan secara eksplisit atas pengertikan atau definisi dari

11
Wulandari, C. Kebijakan Nonpenal dalam Penanggulangan Tindak Pidana Perbankan.
Semarang: Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, 2013. hlml. 8.
12
Kurniati, N. Hukum Agraria Sengketa Pertanahan: Penyelesaian melalui Arbitrase dalam Teori
dan Praktik. Bandung: Refika Aditama, 2016, hlm. 186.

8
konsiliasi ini. Konsiliasi sebagai salah satu lembaga alternatif penyelesaian
sengketa dapat ditemukan dalam ketentuan pasal 1 angka 10 dan alinea ke 9
penjelasan umum Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 yang berbunyi “alternatif
penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli dan arbitrase.

e. Penilaian ahli

Istilah penilaian ahli dikenal dalma Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999


sebagai bagian dari alternatif penyelesaian sengketa, dan bahwa ternyata arbitrase
dalam suatu bentuk kelembagaan, tidak hanya bertugas untuk menyelesaikan
perbedaan atau perselisihan pendapat maupun sengketa yang terjadi diantara para
pihak dalam perjanjian pokok, melainkan juga dapat memberi konsultasi dalam
bentuk opini atau pendapat hukum atas permintaan dari setiap pihak yang
memerlukannya tidak terbatas pada para pihak dalam perjanjian.13

Pemberian pendapat hukum tersebut diberikan atas nama permintaan dari


para pihak secara bersama-sama dengan melalui mekanisme, sebagaimana halnya
suatu penunjukkan lembaga arbitrase dalam menyelesaikan suatu perbedaan
pendapat atau perselisihan paham maupun sengketa yang ada, atau lahir dari suatu
perjanjian, maka pendapat hukum ini pun bersifat akhir (final) bagi pihak yang
meminta pendapatnya pada lembaga arbitrase yang dimaksud. Hal ini kembali
ditegaskan dalam rumusan pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 yang
berbunyi: tidak dapat dilakukan perlawanan dalam bentuk upaya hukum apapun.
Jika memperhatikan sifat pendapat hukum yang diberikan, yang secara hukum
mengikat dan merupakan pendapat pada tingkat akhir, dapat dikemukakakn bahwa
sebenarnya sifat pendapat hukum yang diberikan oleh lembaga arbitrase ini
termasuk dalam pengertian atau bentuk putusan lembaga arbitrase. 14

13
Widjaja, G. Seri Hukum Bisnis Alternative Penyelesaian Sengketa. Jakarta: PT. Raja Garindo,
2001. hlm. 96.
14
Kurniati, N. Hukum Agraria Sengketa Pertanahan: Penyelesaian melalui Arbitrase dalam Teori
dan Praktik. Bandung: Refika Aditama, 2016, hlm. 199-200.

9
f. Arbitrase

Dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, pengertian


arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum
yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang beresengketa. Berdasarkan pengertian di dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 999, hanya perkara perdana saja yang dapat diselesaikan dan diputuskan oleh
lembaga arbitrase. Perjanjian arbitrase yang dimaksud dalam Undang-Undang
adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa atau perjanjian
arbtrase sendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa.

Dalam arbitrase,para pihak menyetujui untuk menyelesaikan sengketanya


kepada pihak netral yang mereka pilih untuk membuat keputusan. Para pihak juga
bisa memilih hakim yang mereka inginkan, berbeda dengan sistem pengadilan yang
telah ditetapkan hakim yang akan berperan dalam mengambil keputusan. Hal ini
dapat menjamin kenetralan dan keahlian yang mereka anggap perlu dalam sengketa
mereka. Arbitrase dapat lebih cepat dan memakan biaya yang relative sedikit
dibandingkan dengan adjukasi public karena para pihak secara efektif dapat
memilih hakim mereka. Mereka juga tidak perlu menunggu antrian untuk
melakukan sidang.

2. Ligitasi

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan (ligitasi) adalah suatu pola


penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa, dimana
dalam penyelesaian sengketa itu diselesaikan oleh pengadilan. Penyelesaian
melalui ligitasi tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu, yakni
menjamin suatu bentuk ketertiban umum, yang tertuang dalam undang-undang
secara eksplisit maupun implisit.

Sengketa perdata yang terjadi antara dua belah pihak, yaitu pihak penggugat
dan pihak tergugat yang bersengketa. Barangsiapa yang merasa hak pribadinya
dilanggar oleh orang lain, maka yang bersangkutan apabila menghendaki

10
penyelesaian melalui pengadilan, menurut pasar 118 HIR/Pasal 142 RBG harus
mengajukan gugatan dengan permohonan agar pengadilan memanggil kedua belah
pihak untuk menghadap di muka sidang pengadilan untuk diperiksa sengketanya
atas dasar gugatan tersebut.

11
BAB III

PEMBAHASAN
A. Faktor Penyebab Timbulnya Sengketa Tanah di Kota Makassar
Tabel 1. Jenis Pekara Pengadilan Negeri Makassar Tahun 2019-April 2020
No Jenis Perkara Jumlah
1 Sengketa waris 4
2 Jual beli kerkali-kali 3
3 Penguasaan tanpa hak 11
4 Akta jual beli palsu 1
5 Sertifikat ganda 4
6 Sengketa batas 2
Sumber: http://sipp.pn-makassar.go.id/

Hasil penelitian mengatakan bahwa jumlah perkara sengketa pertanahan


yang masuk di Pengadilan Tinggi Negeri Makassar pada tahun 2019-April, 2020
sebanyak 24 perkara. Hasil ini menggambarkan bahwa jumlah kasus sengketa
pertanahan pada tahun 2019-April, 2020 adalah kasus sengketa yang menyangkut
sengketa waris sebanyak 4 kasus, jual beli berkali-kali sebanyak 3 perkara,
penguasaan tanpa hak sebanyak 11 perkara, sengketa batas sebanyak 2 perkara,
sertifikat ganda sebanyak 4 perkara, dan akta jual beli palsu sebanyak 1 perkara.

Berdasarkan hasil penelitian di tahun 2019-April, 2020 menjelaskan bahwa


faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya sengketa pertanahan di Kota Makassar
adalah:

1. Penguasaan tanpa hak


2. Sertifikat ganda
3. Sengketa waris
4. Jual beli berkali-kali
5. Sengketa waris
6. Akta jual beli palsu

12
Kasus sengketa tanah 209-April, 2020, jenis kasus yang tertinggi adalah
penguasaan tanpa hak yang umumnya dilakukan oleh kantor-kantor pemerintahan
di Kota Makassar dengan total 11 perkara dan jenis kasus penguasaan tanpa hak
dan yang paling rendah adalah akta jual beli palsu dengan 1 perkara

B. Proses Penyelesaian Sengketa Tanah di Kota Makassar


Umumnya, di Pengadilan Negeri Kota Makassar menunjukkan bahwa
penyelesaian sengketa hak tanah di Kota Makassar ditempuh melalui dua
mekanisme yaitu penyelesaian sengketa secara litigasi dan non litigasi. Umumnya
masyarakat Kota Makassar lebih memilih model penyelesaian sengketa hak atas
tanah melalui lembaga pengadilan (litigation process) karena dinilai lebih memberi
kepastian hukum dalam memperoleh hak-hak para pihak, disbanding penyelesaian
di luar pengadilan (non litigation process). Baik penyelesaina secara litigasi
maupun non litigasi masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan ditinjau
dari segi efektivitasnya. Penyelesaian sengketa tanah melalui jalur litigasi memberi
jaminan kepastian hukumuntuk dijalankan dan ditaati baik oleh penggugat maupun
tergugat. Sedangkan jalur non ligitasi membuka peluang bagi para pihak untuk
mengingkari atau lalai dalam menjalankan kesepakatan-kesepakatan tersebut.
Begitupula sebaliknya, penyelesaian sengketa secara non litigasi memberi efisiensi
bagi para pihak ketiga dari segi biaya, waktu dan tenaga dalam proses penyelesaian
untuk menyelesaikan perkara. Efisiensi penyelesaian sengketa hak atas tanah sangat
tergantung dari segi faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum sengketa
tersebut, antar lain faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas
yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan
hukum masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian di Pengadilan Negeri Makassar dengan contoh


kasus 65/Pdt.Bth/2019/PN Mks. Dengan Penggugat: H. Bado bin Laba dengan
kuasa hukum: St. Fatihah, S.H. serta tergugat: (1) Gartini, (2) Gina Rostina, (3) S.
Dappung, (4) Kepala Kantor Pertahanan Makassar. Sebenarnya, mereka sudah
menempuh jalan non litigasi dengan berbagai tahapan. Akan tetapi, masih belum

13
ditemukan titik terang diantara kedua belah pihak. Jadi, kasus perkara berlanjut
sampai di Pengadilan Kota Makassar dengan amar putusan sebagai berikut.

1. Mengabulkan Perlawanan Pelawan untuk Seluruhnya


2. Menyatakan Pelawan adalah Pelawan yang Jujur
3. Menyatakan Pelawan adalah pemilik sah sebidang tanah yang Dahulu terletak di
Kampung Bung, Kelurahan Tamalanrea Jaya, Kecamatan Biringkanaya
Kotamadya Ujung Pandang, dahulu Desa Tamalanrea, Kecamatan Mandai
kabupaten Maros, dikenal dengan Persil No.23 D.III Kohir 822 C.1 Luas Kurang
Lebih 1 Ha, sebagian telah dijual kepada Drs. Andi Amran Hamid seluas 3.683
m2 dan Ir.Muhammad Said Didu, seluas 2.500 m2 sehingga luasnya tersisa
±3.817 m2 dengan batas-batas sebagai berikut:

Utara : Jl. Perintis Kemerdekaan (poros Ujung Pandang-Maros)


Timur : Jalanan Komp. Perumahan Hartaco sekarang Jl Perintis V.
Selatan : Kompleks eks Akademi Hukum Nasional
Barat : Tanah Milik Said Didu

4. Memerintahkan untuk mengangkat kembali Sita Eksekutorial berdasarkan


Penetapan Eksekusi No. 35 EKS /2017/PN. Mks.
jo.No.150/Pdt.G/1987/PN.Uj.Pdg Tertanggal 18 Januari 2018;
5. Menyatakan bahwa jual beli Terlawan III dengan Abd.Gani Pawawo atas lokasi
tanah Milik Pelawan yang menjadi dasar terbitnya mutasi pada sertipikat hak
Milik Nomor 29/Tamalanrea Biringkanaya tertanggal 12 Agustus 1971 dengan
gambar situasi No.103 tahun 1971 tertanggal 9 agustus 1971 dengan Luas 7.540
M2 atas nama Terlawan III menjadi Abd.Gani Pawawo adalah tidak sah, dan
tidak mengikat Pelawan;
6. Menghukum Turut Terlawan untuk taat dan tunduk pada putusan ini;
7. Menghukum Terlawan I dan Terlawan II /Pemohon Eksekusi untuk membayar
biaya Perkara ini;
8. Menyatakan Keputusan ini dapat dijalankan Lebih dahulu (Uitvoerbaar bij
Voorraad) meskipun timbul upaya Hukum

14
Secara garis besar, kasus sengketa tanah di Kota Makassar sudah menempuh
secara litigasi melalui mediasi oleh kedua belah pihak. Baik tergugat maupun
penggugat dalam mediasi tersebut sudah saling terbuka satu sama lain. Akan tetapi,
perkara tersebut masih belum dapat terselesaikan karena kedua belah pihak merasa
bahwa hasil dari mediasi tersebut masih menemukan titik terang. Akhirnya, jalur
hukum pun ditempuh, walapun telah banyak upaya yang telah dilakukan
sebelumnya.

15
BAB IV

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:

1. Berdasarkan faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya sengketa pertanahan di


Kota Makassar adalah penguasaan tanpa hak, sertifikat ganda, sengketa waris,
jual beli berkali-kali, sengketa waris dan akta jual beli palsu. Berdasarkan jenis-
jenis perkara, penyebab terjadinya sengketa pertanahan, perkara tertinggi pada
penguasaan hak milik dan perkara yang terendah adalah akta jual beli palsu.
2. Proses penyelesaian sengketa tanah melalui dua cara yakni melalui jalur litigasi
dan non litigasi. Dalam hal penyelesaian sengketa, khususnya sengketa hak atas
tanah secara litigasi akan membutuhkan biaya yang lumayan besar dan proses
yang agak lama.

B. Saran
Setelah menguraikan bab-bab sebelumnya, dan kesimpulan yang diperoleh,
maka dapat diberikan beberapa saran berupa:

1. Perlu adanya upaya-upaya yang dilakukan kepada pihak pemerintah agar


lebih menindaklanjuti mengenai sengketa pertanahan yang terjadi di
kalangan masyarakat dan dapat menyelesaikan sengketa pertanahan
tersebut.
2. Dalam menyelesaikan suatu perkara usahakan secara bertahap dan
terstruktur sehingga bisa menekan biaya yang dikeluarkan serta bisa
mempercepat proses penyelesaian perkara.

16
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1995. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria. Bandung:
Alumni.
Harsono, B. 2007. Hukum Agraria Indonesia (Sejarah Pembentukan Undang-
undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jilid I, Hukum Tanah
Nasional. Jakarta: Djambatan.
Ihromi, T.O. 1993. Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa yang
Digunakan dalam Antropologi Hukum. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kurniati, N. 2016. Hukum Agraria Sengketa Pertahanan Penyelesaian melalui
Abitrase dalam teori dan Praktik. Bandung: Refika Aditama.
Maggalatung, S. & Siagian, A. 2015. Pengantar Studi Antropologi Hukum
Indonesia. Jakarta: Press UIN.
Murad, R. 1991. Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah. Bandung: Mandar
Maju.
Ningky, D. Aspek Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Atas Tanah Pasca
Kerusuhan di Kec. Sirimau Kota Ambo. Ppsgmmi, 05 Mei 2008. (Diakses
pada 20 April 2020 di laman:
http:/ppsgmmi.blogspot.com/2008/05/skripsi.html)
Salim. 2012. Hukum Penyelesaian Sengketa Pertambangan di Indonesia. Mataram:
Pustaka Reka Cipta.
Sumardjono, M. 2008. Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan Alternatif
Penyelesaian Sengketa (ADR) di Bidang Pertanahan. Jakarta: Penerbit
Kompas Gramedia.
Wulandari, C. 2013. Kebijakan Nonpenal dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Perbankan. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
Widjaja, G. 2001. Seri Hukum Bisnis Alternative Penyelesaian Sengketa. Jakarta:
PT. Raja Garindo.
Yamun, L.M. & Lubis, A.R. 2008. Hukum Pendaftaran Tanah. Jakarta: Mandar
Maju.

17

Anda mungkin juga menyukai