Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERLINDUNGAN HUKUM HAK ADAT ATAS TANAH ADAT


KALIMANTAN TENGAH

Disusun Oleh :
Nama : Prawiro Setio Hadi
NPP : 30.1022
Kelas : G-4

PROGRAM STUDI TEKLOGI REKAYASA INFORMASI DAN


KOMUNIKASI
FAKULTAS MANAJEMEN PEMERINTAHAN
INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI
2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia-Nya lah saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita. Saya juga menyadari bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-
kekurangan dan jauh dari apa yang saya harapkan. Untuk itu, saya berharap adanya kritik,
saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu
yang sempurna tanpa sarana yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat
dipahami bagi siapapun yang membacanya.

Akhir kata, saya berharap makalah ini dapat menambah referensi keilmuan masyarakat.

Penulis

Prawiro Setio Hadi

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................II
DAFTAR ISI............................................................................................................................................III
BAB I......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................1
A. Latar Belakang...........................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................................................5
C. Tujuan........................................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.......................................................................................................................................6
A. Landasan Teori..........................................................................................................................6
B. Hasil dan Pembahasan..............................................................................................................8
a) Hak Atas Tanah Adat Di Kalimantan Tengah..............................................................................8
BAB III..................................................................................................................................................11
PENUTUP.............................................................................................................................................11
C. Kesimpulan..............................................................................................................................11
D. Saran.......................................................................................................................................11
Daftar Pustaka.....................................................................................................................................12

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sengketa tanah adalah sengketa yang timbul karena adanya konflik
kepentingan atas tanah. Sengketa tanah tidak dapat dihindari dizaman
sekarang. Hal tersebut menuntut perbaikan dalam bidang penataan dan
penggunaan tanah untuk kesejahteraan masyarakat dan yang terutama
kepastian hukum didalamnya. Berbagai usaha telah dilakukan pemerintah
untuk penyelesaian sengketa tanah dengan cepat guna menghindari
penumpukan sengketa tanah, yang mana dapat merugikan masyarakat karena
tanah tidak dapat digunakan karena tanah tersebut dalam sengketa. Pada
dasarnya pilihan penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan 2 (dua)
proses. Penyelesaian proses melalui litigasi di dalam pengadilan, dan proses
penyelesaian sengketa melalui kerja sama (koopratif) diluar pengadilan.
Proses litigasi biasanya mengasilkan kesepakan yang bersifat advirsial yang
belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menambah
masalah baru, lamban dalam penyelesainnya. Sebaliknya, melalui proses
diluar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win - win
solution”, menyelesaikan koprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga
hubungan baik-baik . Secara ekonomis, sengketa itu telah memaksa pihak
yang terlibat untuk mengeluarkan biaya. Semakin lama proses penyelesaian
sengketa, maka makin besar pula biaya yang harus dikeluarkan dan sering kali
biaya yang dikeluarkan tidak sebanding dengan harga objek tanah yang
disengketakan. Namun oleh sebagian orang atau golongan tertentu tanah
sebagai harga diri yang harus dipegang teguh dan akan dipertahankan sampai
mati.
Berdasarkan fakta yang ada, bahwa tanah masyarakat Dayak yang telah
dimiliki secara turun menurun beralih kepemilikannya kepada para investor
yang menanamkan modalnya, terutama investor perkebunan melalui pola
penjualan dan ganti rugi lahan. Hal ini mengakibatkan hilangnya hak
masyarakat Dayak selaku pemilik tanah atas tanah yang ada di Kalteng, maka

II
untuk menjaga keseimbangan antara kesejahteraan masyarakat adat Dayak dan
kepentingan investor perkebunan sertamengacupadaperaturanperundang-
undangan yang ada, agar dapat dilakukan kerjasama melalui pola kemitraan
yang menguntungkan terhadap tanah masyarakat Adat Dayak yang berada
didalam dan di sekitar perkebunan, pertambangan dan lainnya. Untuk itu
berbagai usaha yang dilakukan pemerintah yaitu mengupayakan penyelesaian
sengketa tanah dengan cepat untuk menghindari penumpukan sengketa tanah,
yang dapat merugikan. Masyarakat misalnya tanah tidak dapat digunakan
karena tanah tersebut dalam sengketa. Pada dasarnya pilihan penyelesaian
sengketa dapat dilakukan dengan 2 (dua) proses. Proses penyelesaian sengketa
melalui litigasi di dalam pengadilan, kemudian berkembang proses
penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar pengadilan.
Gerakan sosial merupakan aktivitas kegiatan masyarakat atau kelompok
untuk mencapai tujuan. Sebagai bentuk kegiatan wajib, dapat diartikan sebagai
serangkaian aksi kolektif dengan fokus konfliktual yang eksplisit terhadap
lawan sosial dan politik tertentu, dilakukan dalam lingkup jejaring lintas
kelembagaan yang erat oleh aktor-aktor yang diikat oleh solidaritas dan
identitas kolektif yang kuat melebihi bentuk-bentuk ikatan dalam koalisi dan
kampanye bersama.
Sebagian besar masalah yang mengemuka berkaitan dengan hak terhadap
tanah masyarakat adat salah satunya adalah Daerah Kalimantan Tengah
dimana masyarakat hukum adat sering berada dalam posisi yang lemah dalam
mempertahankan hak-hak tradisional mereka di tengah kekuatan modal dalam
mengeksploitasi lahan serta sumber daya alam. Pemerintah sudah seharusnya
berpihak kepada kelompok lemah, sembari mencari jalan keluar yang
proporsional dan adil dengan tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan
negara tanpa harus mengorbankan hak masyarakat adat.(Ernis, 2019)
Gerakan sosial merupakan organisasi penggerak, betapa pun cairnya.
Mereka juga seringkali memiliki pemimpin, meskipun sifatnya situasional,
sementara, tanpa melalui proses pembentukan struktur organisasi yang formal
dan baku. Selain studi terhadap mobilisasi diperkaya dengan perkawinannya
dengan prospektif proses politik, aspek-aspek konstruksi budaya secara kental

II
juga terdapat didalam struktur organisasi. Munculnya gerakan-gerakan
lingkungan, gender, dan orientasi seksual dinilai sebagai bagian dari
pentingnya budaya politik dan konstruksi identitas kolektif baru yang
memungkinkan terjadinya aksi-aksi kolektif.
Sejak tahun 1960-an, gerakan sosial dan aksi protes semakin berkembang
dan menjadi komponen yang tidak terpisahkan dalam perjalanan demokrasi di
seluruh dunia. Kekuatan yang mempengaruhi politik tidak lagi didominasi
kekuatan konvensional saja seperti partai politik dan serikat-serikat pekerja,8
Tapi juga gerakan sosial. Pada tahun 1970-an, bentuk-bentuk gerakan sosial
seperti, gerakan Islam fundamental berhasil mengambil kekuasaan dari Shah
Iran; Sandinista menggeser posisi Somoza di Nikaragua, serta; kelompok-
kelompok teroris di Jerman dan Italia berhasil melakukan serangan ke militer,
politisi, dan simbol-simbol lembaga hegemonik lainya. Pada periode 1980-an
hingga 1990-an, perubahan politik dan demokratisasi juga terjadi di negara-
negara lainya seperti Cina, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Malaysia dan
Myanmar. Hal ini akibat dari meluasnya gerakan sosial dengan berbagai
varian, seperti gerakan sosial lama, gerakan sosial baru, LSM, masyarakat
sipil, dan oposisi.
Khususnya di Indonesia, tumbuhnya barisan penentang rezim orde baru
tidak dapat dilepaskan dari peran gerakan sosial.10 Gerakan ini diawali oleh
gerakan pro demokrasi pada tahun 1970-an seperti gerakan petani, buruh,
masyarakat adat, kaum miskin kota, pers, serta kelompok-kelompok
intelektual dan cendekiawan. Dengan kata lain, perlawanan-perlawanan
sporadis dan temporer ini telah diciptakan sebagai prakondisi bagi gerakan
mahasiswa dalam menghancurkan kekuasaan orde baru di tahun 1998. Selain
itu, gerakan sosial juga muncul di ranah lainnya terutama terkait dengan
sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan, termasuk perkebunan
kelapa sawit. Pola hubungan kurang harmonis ini melibatkan masyarakat
lokal, kelompok petani kelapa sawit yang beroperasi suatu daerah dengan
pihak perusahaan, yang seringkali disambut oleh gerakan sosial sebagai
bagian dari gerakan pro-demokrasi.

II
Hal tersebut menyiratkan bahwa wilayah sengketa lahan merupakan
wilayah yang rentan akan lahirnya kekerasan dan perlawanan antara
masyarakat tempatan terhadap korporasi. Perlu dipahami, hubungan tanah dan
tani merupakan hubungan idologis politik. Dimana memisahkan keduanya
sama halnya dengan membunuh kehidupan petani dan keluarganya. Maka
tidak mengherankan bahwa perlawanan atas perampasan tanah dilawan
dengan perjuangan berdarah-darah hidup dan mati oleh petani pasang surut
gerakan petani sering terjadi seiring dengan pola respon negara yang
menggunakan pendekatan kekerasan, baik dalam memaksa program
pembangunan maupun demi kepentingan militer dan para pemilik modal
untuk menjalankan bisnisnya sendiri. Saat rezim orde baru berkuasa,
kekerasan merupakan bagian tak terpisahkan dalam pemenuhan kebutuhan
negara atas nama pembangunan. Berbagai bentuk pembunuhan massal,
penculikan, penganiayaan, pemerkosaan, kriminalisasi maupun pelekatan
stigmatisasi terhadap kaum tani sudah hal yang biasa dilakukan oleh aparatur
pemerintahan pada Orde Baru. Hal ini dilakukan untuk merampas tanah-tanah
dan sumber daya alam lainnya bagi kepentingan sekelompok kecil tertentu
yang memanfaatkan kekuasaan untuk mengembangkan bisnis perkoncoan
dikalang pemegang kekuasaan baik tingkat pusat maupun daerah.

Mediasi sebagai salah satu bentuk dari alternatif penyelesaian sengketa


bagi penyelesaian kasus sengketa pertanahan berdasarkan UU No.30 Tahun
1999, bertujuan untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral dan imparsial. Dalam hal ini dengan
mediasi dapat mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai
yang permanen dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi
menempatkan kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang
dimenangkan atau pihak yang dikalahkan (win – win solution). Dalam
mediasi, para pihak yang bersengketa proaktif dan memiliki kewenangan
penuh dalam pengambilan keputusan. Mediator tidak punya wewenangan
dalam pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam
menjaga proses mediasi guna mewujudkan kesepakatan damai.

II
B. Rumusan Masalah
Masalah tanah adalah masalah yang menyangkut hak rakyat yang paling
dasar. Tanah disamping mempunyai nilai ekonomis juga berfungsi sosial, oleh
karena itulah kepentingan pribadi atas tanah tersebut dikorbankan guna
kepentingan umum. Dari latar belakang di atas, penulis merumuskan masalah
Hak Atas Tanah Ada Dayak Yang Tidak Dapat Jaminan Atas Hukum
yang akan di bahas dalam makalah ini.

C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui bentuk
penyelesaian konflik yang dapat di identifikasi sebagai upaya pemerintah
untuk menyelesaikan konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan-
perusahaan yang menyinggung lahan adat di Kalimantan tengah.

II
BAB II
PEMBAHASAN

A. Landasan Teori
Berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 selanjutnya disingkat UUD NRI 1945, diatur bahwa wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah
provinsi dibagi atas kabupaten/kota yang masing-masing mempunyai
pemerintahan daerah untuk menjalankan otonomi daerah seluas-luasnya.
Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan Perundang-undangan
(HR,2011). Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999,
Indonesia sering disebut dalam era otonomi daerah. Daerah otonomi diberi
kewenangan dengan prinsip luas, nyata dan bertanggung jawab.
Demikian juga setelah Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah
tersebut diganti dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 prinsip luas,
nyata dan bertanggung jawab tetap menjadi prinsip dalam penyelenggaraan
kewenangan daerah otonom. Daerah otonom sendiri mengandung pengertian
keasatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang
berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem NKRI. Berdasarkan rumusan tersebut maka, dalam
daerah otonomi terdapat unsur-unsur yakni (Sunamo, 2012) : a) unsur batas
wilayah. Dapat dinyatakan bahwa suatu daerah harus mempunyai wilayah
dengan batas-batas yang jelas sehingga dapat dibedakan antara daerah yang
satu dengan daerah yang lainnya. b) unsur Pemerintahan. Eksistensi
pemerintahan di daerah didasarkan atas atas legitimasi Undangundang yang
memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah, untuk menjalankan
urusan pemerintahan yang berwenang mengatur berdasarkan kreativitasnya
sendiri. c) unsur masyarakat. Masyarakat sebagai elemen pemerintahan daerah

II
merupakan kesatuan masyarakat hukum baik gemeeinschaft maupun
gesselchaft jelas mempunyai tradisi, kebiasaan, dan adat istiadat yang turut
mewarnai sistem pemerintahan daerah, mulai dari bentuk cara berpikir,
bertindak dan kebiasaan tertentu.
Pada kenyataannya menetukan titik-titik batas fisik dengan mengacu
pada pembentukan Undang-undang pembentukan daerah sering menimbulkan
masalah karena masing-masing pihak tidak dengan mudah sepakat begitu saja
mengenai titik-titik batas fisik yang ditentukan (Toha,2011). Apabila batas
daerah tidak jelas akan menyebabkan kemungkinan-kemungkinan yang
berdampak negatif seperti penyelenggaraan administrasi pemerintah yang
kurang efektif, optimalisasi pelayanan kepada masyarakat yang kurang
maksimal, pembangunan dikawasan yang ada di perbatasan antara kedua
pemerintah daerah (Widjadja,2005).
Penyelesaian sengketa dalam Paraturan Perundang-undangan umumnya
adalah penyelesaian secara litigasi (pengadilan) dan non litigasi (diluar
pengadilan). Pada proses penyelesaian secara litigasi sering memakan waktu
yang lama, diakibatkan karena kemungkinan berperkara sekurang-kurangnya
3 sampai 4 tahap yakni pada tingkat Pengadilan Negeri, yang dalam
prakteknya bisa sampai berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun, pada
tingkat Pengadilan Tinggi dimana perkara sering berlangsung lama dan ada
kekhawatiran pengadilan hanya mementingkan kepentingan dirinya (mafia
peradilan), di tingkat kasasi yang kadang terjadi keterlambatan dalam
pemeriksaan dan pada tahap peninjauan kembali pada tingkat ini waktu yang
diperlukan bisa mencapai 8 sampai 9 tahun (Limbong,2012).
Di samping penyelesaian sengketa melalui pengadilan ada mekanisme
lain yakni penyelesaian diluar pengadilan terlihat pada Pasal 1 angka 10
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatife
Penyelesaian Sengketa menyimpulkan bahwa alternatif penyelesaian sengketa
merupakan suatu cara penyelesaian sengketa yang dilakukan diluar pengadilan
dan pelaksanaan diserahkan sepenuhnya kepada para pihak dengan cara
konsultasi, negosiasi, mediasi dan konsiliasi atau meminta pendapat para ahli.
(Umum, 1999)

II
Masyarakat terutama masyarakat adat memandang bahwa penyelesaian
sengketa secara non litigasi relatif lebih mengutamakan harmonisasi dalam
kehidupan masyarakat, mengedepankan aspek-aspek kekeluargaan dengan
mempertimbangkan aspekaspek kepentingan yang ada dalam masyarakat yang
heterogen (Sentosa,2007).

B. Hasil dan Pembahasan


a) Hak Atas Tanah Adat Di Kalimantan Tengah
Masyarakat hukum Adat Dayak sebagai masyarakat asli
(indigenous peoples), mengalami banyak kesulitan bertahan hidup dalam
konstelasi modernisasi yang cenderung ekstraktif. Masyarakat adat pun
menjadi termarjinalkan (marginalised people), baik secara ekonomi,
politik dan juga budaya. Tergerusnya nilai-nilai kearifan oleh nilainilai
modernitas yang cenderung materialistik dan hedonis seolah ‘mengurung’
masyarakat adat Dayak dalam dilema berkepanjangan. (Tengah, 2013)

Selain itu modernisasi dan pembangunan ekstratif juga membawa


konsekuensi hilangnya Sumber Daya Alam (SDA) komunal masyarakat
hukum adat. Penguasaan turun temurun yang beralas pada kearifan lokal
yang kerap hanya lisan tergerus oleh legalitas sertifikat tanah, dan ijin
konsesi yang dikeluarkan oleh pemerintah baik lokal maupun pusat.13
Salah satu fakta, bahwa pada awal tahun 2004 telah terjadi praktek
penebangan liar (illegal logging) di Kelurahan Kalawa, Kecamatan
Kahayan Hilir. Masyarakat adat Kalawa kemudian melayangkan surat
keberatan terhadap praktek penebangan liar tersebut kepada aparat
pemerintah daerah dan jajaran terkait (Kepala Dishutbun).

Selain itu masyarakat adat Kalawa juga melaporkan praktek penebangan


hutan tersebut kepada aparat penegak hukum.14 Pemerintah daerah
merespon dengan membiayai survei kawasan hutan adat dan melakukan
pengukuran kartografi terhadap wilayah adat Kalawa. Setelah proses
survei dan pengukuran, masyarakat adat Kalawa secara unilateral
mendeklarasikan wilayah hutan adat mereka berdasarkan SK Damang
Kepala Adat.

II
Kahayan Hilir Nomor 04/SK/DKA-KH/VI/2005 pada tanggal 5
Juni 2005. Untuk melindungi aset komunal masyarakat adat di Kalawa,
pertemuan Mantir Adat kerap dilakukan guna mengkonsolidasi status
kawasan hasil registrasi dan identifikasi oleh masyarakat adat. Namun
sampai sekarang masih terjadi tarikmenarik kepentingan antara pihak-
pihak yang berkepentingan. Berdasarkan fakta-fakta diatas, maka disusun
Raperda Pengakuan dan Perlindungan Hak-hak Masyarakat Adat, ini
bertujuan untuk memberi kesempatan-kesempatan strategik bagi
masyarakat hukum Adat Dayak untuk berkembang secara adil dan setara
dalam bingkai modernisasi yang inklusif.

Raperda ini berisi norma-norma pengakuan dan perlindungan,


selain itu juga berisikan tentang tata cara dan proses untuk mendapatkan
pengakuan hukum terhadap eksistensi masyarakat hukum adat dan sumber
daya komunal mereka. Berpedoman pada falsafah negara, Pancasila dan
UUD 1945, maka kemudian disusun Rancangan Peraturan Daerah tentang
Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Dayak
merupakan wujud ikhtiar hadirnya negara (pemerintah) dalam merespon
isu-isu sosial-kontemporer dimasyarakat, khususnya di wilayah
masyarakat adat.

Sebagai produk hukum daerah, maka pelaksanaan atau


implementasi dari peraturan daerah itu sendiri terbatas pada jurisdiksi
wilayah itu sendiri. Apabila Rancangan Peraturan Daerah tentang
Perlindungan Hukum Hak Atas Adat telah disahkan sebagai Peraturan
Daerah tentang Perlindungan Hukum Hak Atas Tanah Adat, maka ruang
lingkup dan jangkauannya hanya terbatas pada wilayah hukum Daerah
Kalimantan Tengah. Kejadian ini (dan beberapa kejadian-kejadian lain
yang terjadi di Kabupaten lain di Kalimantan Tengah) Pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah merespon dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur
Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat atas Tanah
di Provinsi Kalimantan Tengah. Menurut Dewan Adat Dayak (DAD)
bahwa hak ulayat/hak atas tanah adat secara spesifik tidak populer di
masyarakat, masyarakat lebih mengenalnya tanah adat saja. Tanah adat

II
merupakan tanah yang diperoleh berdasarkan pembukaan lahan atau hutan
oleh masyarakat adat.

II
BAB III
PENUTUP

C. Kesimpulan
Perlindungan hukum terhadap hak atas tanah adat di Kalimantan
Tengah selama ini belum optimal mengingat belum adanya regulasi yang
secara jelas mengatur tentang perlindungan terhadap hak atas tanah adat
tersebut. Ketentuan mengenai hak atas tanah adat yang ada saat ini belum
cukup memadai dalam menjamin kepastian hukum. Upaya yang dilakukan
dalam mengatasi kendala tersebut adalah bentuk perlindungan atas tanah
adat harus berdasarkan usulan dari bawah, bukan inisiatif pemerintah.
Kendatipun sudah mempunyai dasar perlindungan hukum baik secara
hukum tidak tertulis (hukum adat) maupun hukum tertulis (hukum positif),
tetapi untuk kedepannya perlu dan penting lebih mendapat pengakuan dan
penguatan oleh negara dalam bentuk hukum yang lex specialis dengan
mengintegrasikan kedua sistemhukumtersebut,sehingga hak atastanah adat
memiliki kepastian, keadilan, dan kemanfaatan

D. Saran
Perlu persamaan persepsi antara pemerintah daerah /pusat, BPN
tentang hak atastanah adat dan perlu perubahan dalam UUPA terkait tanah
ulayat karena hak atau tanah ulayat ini berbeda Peraturan Daerah No.16
Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat dan Peraturan Gubernur No. 13
Tahun 2009 tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah di
Provinsi Kalteng dengan apa yang dimaksud hak ulayat yang ada di
Kalteng.

II
Daftar Pustaka

Dari Jurnal :
Ernis, Y. (2019). Perlindungan Hukum Atas Tanah Adat Kalimantan Tengah.
Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 19(4), 435.
https://doi.org/10.30641/dejure.2019.v19.435-454

Dari Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah :


Tengah, G. K. (2013). Tahun 2008.
Umum, K. (1999). Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. UU No 30 1999, 41–51.

II

Anda mungkin juga menyukai