“Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Kriteria Penilaian Dalam Mata Kuliah
Hukum Agraria”
PENYUSUN
AGUS SANTOSO
150710101280
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penyusunan
tugas ini dapat terselesaikan. Adapun judul dari tugas ini adalah ”Penguasaan Hak Atas Tanah atas
Negara”. Penyusunan makalah ini ditujukan intuk memenuhi salah satu kriteria penilaian dalam mata
kuliah Hukum Agraria semester ganjil di Universitas Jember.
Makalah ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya dukungan moril dan
materiil dari berbagai pihak. Karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Kedua orang tua, yang telah memberi dukungan dan membantu dalam pembuatan makalah
ini.
2. Rizal Nugroho S.H,M,Hum selaku dosen Hukum Agraria.
3. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan makalah ini, yang namanya
tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Namun,
makalah ini mungkin memiliki kekurangan. Karena itu, sangat diperlukannya kritik dan saran yang dapat
membangun makalah ini sehingga menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penyusun mengucapkan maaf yang
sebesar-besarnya atas segala kesalahan yang mungkin ada didalam makalah ini.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................................
DAFTAR ISI...........................................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.4. ASAS FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH PADA NEGARA HUKUM (SUATU
TINJAUAN DARI TEORI, YURIDIS DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA)
....................................................................................................................................... .....
..........................................................................................................................
1.5 HAK ATAS TANAH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MINERAL
DAN BATUBARA...............................................................................................
1.8 ASPEK HUKUM HAK PAKAI ATAS TANAH NEGARA SEBAGAI OBJEK
JAMINAN ........................................................................................................
BAB II
BAB III
KESIMPULAN.......................................................................................................................................
Daftar Pustaka.........................................................................................................................................
BAB I
Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang tidak
bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah),
dan tidak berkeadilan, serta juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus
dijalankan para Pemegang Hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.
Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program
pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses
sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan
harmoni sosial.
Negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada Pemegang Hak untuk
diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik selain untuk
kesejahteraan bagi Pemegang Haknya juga harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat,
bangsa dan negara. Ketika Negara memberikan hak kepada orang atau badan hukum selalu
diiringi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan surat keputusan pemberian haknya. Karena itu
Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya, dan jika Pemegang Hak menelantarkan
tanahnya, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah mengatur akibat hukumnya yaitu hapusnya
hak atas tanah yang bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara.
Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar penguasaannya,
penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan sesuatu hak atas tanah sesuai Pasal 4
juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Oleh karena itu orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas
tanah, baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang lain, memperoleh penunjukan dari
pemegang Hak Pengelolaan, karena memperoleh izin lokasi, atau memperoleh keputusan
pelepasan kawasan hutan berkewajiban memelihara tanahnya, mengusahakannya dengan baik,
tidak menelantarkannya, serta mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah.
Meskipun yang bersangkutan belum mendapat hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya
maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan ditegaskan
sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Permasalahan mengenai tanah terlantar ini merupakan problematika mengenai
peruntukan tanah maupun penguasaan atas tanah. Sebagaimana kita ketahui bahwa UUPA belum
menjelaskan secara rinci deskripsi mengenai penelantaran tanah yang dimaksud, bahkan
Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1998 Juncto Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2010 yang
belum juga memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai penetapan suatu tanah yang telah
diberi hak penguasaan atas tanah kepada subyek hukum oleh pemerintah sebagai regulator.
1.3. KRITERIA TANAH TERLANTAR DALAM PERATURAN PERUNDANGAN
INDONESIA
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, serta dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Demikian dinyatakan dalam
Pasal 5 UUPA. Hukum adat dijadikan dasar dikarenakan hukum tersebut dianut oleh sebagian
besar rakyat Indonesia sehingga Hukum Adat mempunyai kedudukan yang istimewa dalam
pembentukan Hukum Agraria.6 Memperhatikan ketentuan pasal ini maka untuk itu perlu kiranya
mengetahui batasan tanah terlantar menurut Hukum Adat.
Berdasarkan kajian atas keragaman arti tanah terlantar menurut Hukum Adat maka da-
pat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud tanah terlantar adalah tanah yang pernah dibuka,
dikerjakan oleh pemilik/penggarapnya sampai 1 kali atau 2 kali panen, kemudian ditinggalkan
oleh pemiliknya dalam waktu tertentu sampai menjadi hutan kembali. Secara yuridis kemudian
tanah ini kembali pada hak ulayatnya.Jadi unsur tanah disebut terlantar menurut Hukum Adat :
a. Penggarap pernah membuka tanah ulayat;
b. Penggarap mengerjakan/menggarap sampai 1 kali atau 2 kali panen;
c. Penggarap meninggalkan dalam waktu tertentu sehingga menjadi hutan kembali;
d. Tanah kembali menjadi milik masyarakat hukum adat.
Dari pengertian tanah terlantar menurut Hukum Adat ini maka tanah dikatakan telah
diterlantarkan kalau kriterianya adalah tanah telah dengan sengaja tidak dikerjakan oleh
penggarapnya/pemiliknya dalam waktu tertentu sehingga kemudian menjadi belukar kembali.
Untuk mengukur apakah tanah sudah dapat dikatakan diterlantarkan ataukah belum menurut
Hukum Adat adalah dengan melihat secara nyata/konkrit apakah tanah tersebut dalam
kenyataannya dengan sengaja tidak digarap atau dikerjakan secara aktif oleh penggarap/
pemiliknya. Jadi dalam menentukan sudah diterlantarkan ataukah belum tidak digantungkan pada
jangka waktu tertentu tetapi hanya dengan melihat kenyataan jika tanah dibiarkan membelukar
kembali karena sudah tidak untuk ditanami kembali maka hal ini sudah dapat dikualifikasi
sebagai telah diterlantarkan.
Selanjutnya berdasarkan UUPA maka ada beberapa azas yang perlu diperhatikan dalam
masalah penelantaran tanah. Dinyatakan dalam Pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial. Hal ini bermakna bahwa penggunaan tanah harus disesuaikan dengan
keadaannya dan sifat haknya sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Untuk itu hak atas tanah apapun
yang dipunyai seseorang/badan hukum tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu
dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata hanya untuk kepentingan pribadinya apalagi
sampai merugikan kepentingan umum. Pemanfaatan ataupun penggunaan tanah oleh orang/
badan hukum sebenarnya adalah untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Sehubungan dengan hal
ini maka ditentukan dalam Pasal 15 UUPA bahwa :
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta menjegah kerusakannya
adalah kewajiba tiap– tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai
hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memerhatikan pihak yang ekonomis lemah.
Memang seharusnya tanah dipelihara agar baik agar bertambah subur dan di cegah
kerusakannya. Kesuburan tanah mudah berkurang dan tanahpun mudah menjadi rusak jika
pengunaannya tidak teratur, padahal seluruh kehidupan manusia di bumi ini menurut para ahli
tergantung pada lapisan bumi yang tebalnya tidak lebih dari hanya 20 cm saja. Oleh karena itu
ketentuan Pasal 15 tersebut di sertai pula suatu sanksi pidana. Menurut Pasal 52 ayat 1 barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 15 itu pidana dengan hukuman kurangan
selama–lamanya 3 bulan dan/ atau denda setinggi–tingginya Rp 10.000,.-
Melihat rumusan tanah terlantar dalam UUPA yang masih begitu abstrak dan juga
mengingat UUPA adalah merupakan undang-undang pokok serta mencermati fenomena yang
terjadi akan banyaknya tanah-tanah yang terlantar maka tentu saja diperlukan peraturan yang
bersifat operasional. Untuk itu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 36 Th 1998
tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Dalam Pasal 1 ayat (5) Peraturan
Pemerintah No 36 Th 1998 dinyatakan bahwa Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan
oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh
dasar penguasaan atas tanah, tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan hal ini sebetulnya juga telah ditentukan
dalamUUPA Pasal 27, 34 dan 40 UUPA yaitu bahwa Hak Milik, HGU, HGB dapat dinyatakan
sebagai tanah terlantar dan jatuh menjadi tanah negara apabila tanah tersebut dengan sengaja
tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Memperhatikan ketentuan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa tanah terlantar terjadi karena ada faktor kesengajaan (kata “diterlantarkan”
awalan di dan akhiran kan) dari pemegang hak atas tanah (Hak Milik, HGU, HGB ataupun Hak
Pakai) atau pemegang Hak Pengelolaan atau hak-hak lain yang terbatas yang diberikan
Pemerintah tidak menggunakan atau berbuat sesuatu terhadap tanah yang bersangkutan. Hal ini
kemudian dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 3 s/d Pasal 8 Peraturan Pemerintah No 36 Th
1998. Pasal 3 menentukan Tanah Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai dapat dinyatakan
sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang
haknya sesuai dengan keadaannya, tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.
1.4. ASAS FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH PADA NEGARA HUKUM (SUATU
TINJAUAN DARI TEORI, YURIDIS DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA)
1.4.1 Hakekat Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dalam Tinjauan Teori
Asas fungsi sosial hak atas tanah berasal dari teori fungsi sosial hak atas tanah yang
dikemukakan oleh ahli hukum Perancis Leon Duguit. Awalnya teori ini muncul akibat adanya
upaya untuk menentang konsep liberal klasik yang berkembang saat itu. Konsep liberal klasik
mendominasi konsep politik dan hukum modern. Menurut Sheila R. Foster dan Daniel Bonilla
dalam artikelnya pada Symposium The Social Function of Property : A Comparative Law
Perspective yang diselenggarakan Fordham University Scholl of Law di New York, pada tanggal
15 November 2011 (Sheila R. Foster dan Daniel Bonilla, 2011:101) menyatakan bahwa, konsepsi
liberal klasik berkaitan dengan kepemilikan properti atau hak kepemilikan tanah mendominasi
pemikiran hukum dan politik modern. Gagasan yang berkembang dari kosenp tersebut bahwa
kepemilikan hak atas tanah adalah hak subyektif dan sifatnya mutlak. Pada umumnya warga
masyarakat, politisi, dan akademisi beranggapan bahwa kepemilikan hak atas tanah sebagai hak
individu yang hanya dibatasi oleh hak orang lain dan kepentingan umum. Oleh karena itu,
pemegang hak dapat menggunakan, memperoleh manfaat, dan menggunakan asetnya tersebut
dengan cara yang tepat, sesuai dengan tatanan hukum dan tidak melanggar kepentingan umum.
Apalagi hak ini sangat penting untuk pelaksanaan otonomi atau kebebasan individu.Kepemilikan
hak atas tanah atau properti memungkinkan dan mencerminkan keputusan yang dibuat oleh
individu sehubungan dengan rencana hidup mereka.Tanah merupakan sarana fisik yang
memungkinkan orang untuk membangun identitas mereka dan mengekspresikan komitmen moral
mereka. Antara hak individu dan tanah saling memiliki hubungan yang berkaitan satu dengan
yang lain. Akibatnya, konsep liberal klasik tentang hak atas tanah membebankan kewajiban
antara negara dan individu .
Konsep liberal klasik ini dikritik oleh perspektif teoritis yang beragam seperti liberalisme
egaliter, sosialisme, dan komunisme. Bahwa konsepsi liberal klasik tidak lengkap atau tidak adil.
Kritik menunjukkan, misalnya, bahwa konsep kepemilikan benda menurut liberal klasik
mengaburkan kewajiban dan hubungan antara subjek sebagai pemilik dengan masyarakat, atau
mereka menekankan konsekuensi negatif bahwa hak ini dikategorikan sebagai bagian dari
kekayaan.Pada tingkat normatif, lawan dari konsep hak atas tanah menurut liberal klasik
menawarkan berbagai alternatif, dari penghapusan kepemilikan pribadi atas alat alat produksi
melalui intervensi pemerintah yang kuat dalam hak atas kekayaan dengan tujuan untuk
tercapainya redistribusi tanah (Foster, Sheila R. & Daniel Bonilla. 2011: 102).
Gagasan tersebut selanjutnya memunculkan konsep alternatif yang paling memberikan
keyakinan dan berpengaruh pada abad ke dua puluh, yakni fungsi sosial hak atas tanah atau
dikenal dengan istilah the social function of property dalam berbagai literatur yang ditemukan
oleh peneliti. Fungsi sosial hak atas tanah didasari teori yang dikembangkan pertama kali oleh
Leon Duguit pada tahun 1922. Duguit berpendapat bahwa properti atau dikenal dengan
kepemilikan hak atas tanah bukan merupakan hak tapi lebih dari itu merupakan fungsi sosial.
Pemilik memiliki kewajiban sehubungan dengan fungsi sosialnya sehingga tidak bisa hanya
melakukan apa yang dia inginkan saja atas properti miliknya. Dijelaskan lagi bahwa pemilik
wajib menjadikan tanah hak miliknya menjadi produktif dan diletakkan demi pelayanan untuk
masyarakat melalui kegiatan ekonomi. Ide fungsi sosial dari properti atau lebih dikenal dengan
fungsi sosial hak atas tanah berdasarkan deskripsi realitas sosial mengakui solidaritas sebagai
salah satu fondasi utamanya. Akibatnya, negara harus melindungi tanah hanya jika memenuhi
fungsi sosialnya. Ketika pemilik tidak bertindak dengan cara yang konsisten dengan
kewajibannya, negara harus melakukan intervensi untuk mendorong atau menghukumnya.
Senada dengan dua konsep teori fungsi sosial tersebut diatas, Notonagoro menegaskan
bahwa hak milik yang memiliki fungsi sosial itu sebenarnya mendasarkan atas diri individu,
mempunyai dasar yang individualistis lalu ditempelkan kepadanya sifat yang sosial, sedangkan
jika berdasarkan Pancasila. hukum kita tidak berdasarkan atau corak individualistis, tetapi
bercorak dwi tunggal. Kepentingan masyarakat dan perseorangan haruslah saling imbang untuk
mengimbangi dwi tunggal. Dengan kata lain, di dalam hak milik tercantum sifat diri dan
disamping itu memiliki sifat kolektif. Jadi, bukan sifat hak milik privat perorangan yang memiliki
sifat kolektif atau melepaskan sifat individunya.
Selanjutnya, berkaitan dengan fungsi hak dapat dirujuk pendapat dari Carl Wellman, yang
menyatakan fungsi suatu hak adalah untuk mengatasi konflik dengan memberikan prioritas
hukum bagi keinginan dan keputusan suatu pihak diatas keinginan dan keputusan pihak lain. Hak
hukum adalah alokasi suatu ruang kebebasan dari kontrol kepada pemilik hak agar leluasa
menentukan keputusan keputusan yang efektif di dalam wilayah yang ditetapkan tersebut.
Selain itu patut dirujuk pula pendapat dari Martin Dixon yang menyatakan, bahwa tanah
merupakan asset fisik dan merupakan hak. Tanah mengandung kekhususan yakni harus
memenuhi kebutuhan dalam kehidupan sosial, yang mengandung makna adanya sistem hukum
tanah yang berfungsi untuk menjamin kemanfaatan tanah untuk kepentingan bersama. Pendapat
tersebut diperkuat MariaS.W. Sumardjono (2007, hlm. 4) yang menegaskan keberadaan tanah
sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat
kesatuan sosial dikalangan masyarakat untuk hidup dan berkehidupan,sedangkan capital asset,
tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi
yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan obyek spekulasi.
Secara teori, asas fungsi sosial hak atas tanah mengandung pengakuan
adanya kepentingan perorangan, kepentingan sosial, dan kepentingan umum atas tanah. Asas
fungsi sosial hak atas tanah memberi kewenangan kepada pemilik hak untuk mempergunakan
kepemilikan atas tanah dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum, dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat dan negara.Kepemilikan atas tanah bukan hanya merupakan hak tapi
lebih dari itu merupakan fungsi sosial. Kondisi ini memunculkan konsekuensi adanya hak dan
kewajibanpemegang hak atas tanah dalam memanfaatkan tanah. Selain itu negara berkewajiban
untuk melindungi tanah sebagai social asset dan capital asset untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
1.4.2 Landasan Yuridis Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah di Indonesia
Asas fungsi sosial hak atas tanah merupakan salah satu asas yang menjadi dasar dalam
menerapkan hukum agraria di Indonesia. Secara yuridis asas fungsi sosial hak atas tanah diatur
dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA), pada Pasal 6 yang menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial”.
asal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, hal ini merupakan
pencerminan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sebagai ketentuan yang
menegaskan pentingnya perlindungan atas bumi, air dan kekayaan alam termasuk didalamnya
pengertian tanah bagi sebesar besar kemakmuran rakyat. Secara yuridis kedua ketentuan tersebut
mengandung makna yang secara eksplisit saling berhubungan, bahwa tanah dalam pemahama
fungsi sosial harus dilindungi keberadaannya agar dapat memberikan kemakmuran bagi seluruh
rakyat. Hal ini mengandung kewajiban bagi seluruh rakyat dalam memanfaatkan tanah tidak
hanya mementingkan kepentingan pribadinya saja namun juga harus memperhatikan kepentingan
masyarakat maupun kepentingan umum. Kewajiban memberikan perlindungan atas tanah
dilakukan oleh negara untuk kepentingan kemakmuran seluruh rakyat. Maka menjadi kewajiban
seluruh rakyat dibawah kekuasaan negara dalam memanfaatkan tanah harus dengan sebaik-
baiknya, tanpa menghilangkan potensi tanah sebagsi sumber daya kehidupan bersama.
Asas fungsi sosial hak atas tanah dalam hukum tanah nasional, mengandung makna
bahwa hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan bahwa tanahnya
itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya,
apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, sehingga bermanfaat, baik bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bagi masyarakat dan negara. Akan
tetapi dalam konteks itu, ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan
terdesak sama sekali oleh kepentingan umum dan kepentingan masyarakat UUPA memperhatikan
pula kepentingan-kepentingan perseorangan.
1.5 HAK ATAS TANAH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MINERAL DAN
BATUBARA
Menurut Undang-undang Pokok Agraria ada beberapa bentuk hak atas tanah, dan jika
dilakukan penambangan diatas hak atas tanah tersebut maka hak tersebut tidak dapat diabaikan,
karena menurut Undang-undang pertambangan bahwa hak atas penambangan bukanlah
merupakan hak atas tanah diatasnya melainkan hak untuk melakukan penambangan yang
biasanya ada ditanah bagian bawah (perut bumi) Jadi penambangan tidak dapat dilakukan apabila
hak atas tanah diatasnya belum diselesaikan. Namun hal ini dapat diselesaikan melalui
kesepakatan antara yang memiliki hak atas tanah dan yang memiliki hak atas pertambangan,
apabila kesepakatan sudah didapat barulah dapat dilakukan usaha pertambangan di wilayah
tersebut. Jadi hak atas pertambangan yang diberikan oleh pemerintah, tidaklah menghapus hak
atas tanah yang ada diatasnya. Konsepsi hukum pertanahan di Indonesia pada prinsipnya
bersumber pada naskah proklamasi dan UUD 1945. Dari naskah proklamasi dan pembukaan
UUD 1945 itu jugalah dapat diambil intisari dan pokok-pokok pikiran sebagi berikut:
1. Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah
Indonesia.
2.Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa Indonesia serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
3. berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
4. Kemerdekaan bangsa Indonesia harus disusun dalam suatu Undang-undang dasar.
5. Negara republik Indonesia adalah Negara yang berkedaulatan rakyat yang didasarkan pada
kelima sila dari pancasila.
Perrwujudan pokok-pokok pikiran bahwa kemerdekan bangsa Indonesia harus disusun dalam
suatu Undang-undang dasar sudah terealisasi dengan lahirnya UUD 1945 sebagai hukum dasar
tertulis yang memuat rechtsidee atau cita-cita hukum sebagaimana dimuat dalam bab umum
UUD 1945 yang terbentuk dari pokok-pokok pikiran dalam pembukaan beserta pasal-pasalnya.
Persoalan pertambangan juga tidak dapat dilepaskan dari masalah agraria, karena kegiatan
pertambangan berada didalam tanah dan untuk melaksanakan kegiatan tersebut wajib mendapat
izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang. Usaha pertambangan dilaksanakan dalam
bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK).maka apabila izin ini didapat oleh seorang pengusaha atau pihak
yang ingin melakukan usaha pertambangan, maka ini merupakan hak-hak atas pertambangan.
Izin Usaha Pertambangan diberikan oleh Bupati/walikota apabila wilayah berada di dalam satu
wilayah kabupaten/kota,jika wilayah usaha pertambangan berada pada lintas wilayah
kabupaten/kota maka izin diberikan oleh gubernur,jika wilayah pertambangan berada pada lintas
wilayah provinsi maka izin diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari
gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Izin Usaha pertambangan dapat diberikan kepada badan usaha,koperasi ataupun perseorangan,
hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 37 dan Pasal 3812 undangundang Nomor 4
Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan BatuBara.
Dalam Pasal 135 Undang-undang Pertambangan mengatur, bahwa pemegang hak atas
pertambangan hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari
pemegang hak atas tanah. Kemudian Pasal 136 Undang-undang Pertambangan menyebutkan:
a. Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan operasi produksi wajib menyelesaikan hak
atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Penyelesaian hak atas tanah tersebut dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK
Jadi pemegang hak atas pertambangan baru melaksanakan kegiatan eksplorasi
pertambangan apabila pemegang hak atas tanah memberikan persetujuannya. Persetujuan tersebut
dapat dalam bentuk lisan atau tertulis lazimnya berupa perjanjian oleh karena latar belakang
kegiatan pertambangan untuk kepentingan bisnis, tidak tertutup pemegang hak atas tanah
meminta imbalan dari pihak pemegang hak atas pertambangan yang besarnya sesuai dengan
kesepakatan mereka dan dimasukkan sebagai salah satu klausula dalam perjanjian. Jika pemegang
hak atas tanah meolak untuk memberikan persetujuan pihak pemegang hak atas pertambangan
tidak dapat memaksanya. Agar haknya tidak hapus atau sia-sia, pemegang hak atas pertambangan
harus dapat menyelesaikan persoalan dengan jalan damai dan mengutamakan keamanan dan
ketentraman masyarakat.
Kemudian apabila pemegang hak atas tanah memberikan persetujuan dan pemegang hak
atas pertambangan dapat melakukan eksplorasi, maka untuk melakukan eksploitasi pemegang hak
atas pertambangan harus sudah menyelesaikan masalah hak atas tanah dengan pemiliknya.
Penyelesaian hak atas tanah tersebut tidak lain dengan cara pembebasan. Pembebasan dilakukan
sesuai dengan kebutuhan luas penambangan, pemegang hak atas pertambangan tidak
membebaskan seluruh hak atas tanah yang dimiliki pemegangnya. Pembebasan hak atas tanah
dengan cara memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya karena pada prinsipnya pemegang
hak atas tanah tidak boleh dirugikan dengan adanya kegiatan pertambangan. Biaya pembebasan
hak tersebut menjadi tanggungan pemegang hak atas pertambangan bukan atas biaya Negara
meskipun izin pertambangan dari Negara. Dengan pembebasan itu maka berakibat tanah yang
dibebaskan kembali dikuasai oleh Negara. Lokasi yang dilakukan kegiatan penambangan
statusnya sebagai tanah Negara. Konsekuensi pemegang hak atas pertambangan yang telah
melaksanakan penyelesaian pembebasan terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas
tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundnag-undangan,yaitu dengan mengajukan
permohonan hak atas tanah kepada kantor pertanahan setempat.
Sebelum kemerdekaan Indonesia, negara Hindia Belanda memiliki hak milik bersifat
privat (domain)atas tanah. Tanah-tanah yang dimiliki secara privat oleh negara Hindia Belanda
dikategorikan sebagai tanah negara. Di tahun 1870-an, pemerintah kolonial Hindia Belanda
mengundangkan beberapa perundangan di bidang agraria (Agrarisch Besluit) yang
mendeklarasikan kepemilikan negara atas tanah atau Domeinverklaring (Agrarisch Besluit
(S.1870-118), S.1875-119a,S.1874- 94f, S.1888-58). Agrarisch Besluit yang berisi
Domeinverklaring ini diundangkan seiring meningkatnya pembukaan usaha perkebunan
komersial Belanda, seperti perkebunan kopi, tembakau, teh, dan sebagainya, di Hindia Belanda.
Dengan adanya Domeinverklaring tersebut, negara Hindia Belanda menjadi pemegang hak milik
atas tanah-tanah yang tidak berada di bawah hak privat menurut hukum Belanda. Dengan kata
lain, tanah yang tidak ada alat bukti haknya menjadi tanah negara, termasuk tanah masyarakat
adat. Agrarisch Besluit yang berisi Domeinverklaring ini jelas melanggar prinsip hukum adat
yang memang tidak memiliki konsep bukti tertulis untuk kepemilikan komunal atas tanah adat
(Sumardjono, 2005: 60; von Benda Beckmann, 2008: 12; Burns, 1989; 38-39).Sebagaiakibatnya,
seluruh tanah adat jatuh menjadi hak milik negara Hindia Belanda sehingga pemerintah Hinda
Belanda dapat menggunakannya untuk kepentingan kolonialisme mereka.
Setelah kemerdekaan, berdasarkan pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945,
pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno mengundangkan Undang-undang No. 5/1960
tentang Undang-undang Pokok Agraria untuk mengatur penggunaan dan kepemilikan atas seluruh
jenis tanah, tidak hanya tanah agraris/pertanian, tetapi juga tanah perkotaan, hutan,
sawah,perkebunan, pertambangan, dan juga perairan.Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) ini
menolak konsep staatsdomein atau hak milik negara atas tanah. Dalam Penjelasan Umum Bagian
II (2) UUPA, dijelaskan bahwa pasal 33 ayat (3)UUD 1945 tidak memberikan hak pada negara
untuk memiliki tanah, tetapi hanya memberikan hak menguasai atas tanah. Menurut Penjelasan
Umum tersebut, negara diberi wewenang atau mandat oleh bangsa Indonesia untuk menguasai
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
1.8 ASPEK HUKUM HAK PAKAI ATAS TANAH NEGARA SEBAGAI OBJEK JAMINAN.
Pada hak pakai sebagai objek jaminan, maka di sini terlihat adanya pemisahan vertikal
antara tanah dengan bangunan atau tanaman yang ditanam di atas tanah tersebut. Dinyatakan ada
pemisahan vertikal adalah karena isi dari hak pakai atau kewenangan privat yang terdapat pada
hak pakai yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil. Berdasarkan kewenangan
privat tersebut, maka sudah barang tentu yang dijadikan jaminan adalah semua yang menjadi
kewenangan (hak) privat tersebut, sementara tanahnya sendiri apabila telah habis masa berlaku
hak pakai akan kembali menjadi tanah negara. Dengan menjadikan hak pakai sebagai objek hak
tanggungan, maka terjadi insinkronisasi antara UUPA dengan UU No. 4 tahun 1996 dan PP No.
40 tahun 1996. Berkaitan dengan menjadikan hak pakai sebagai objek jaminan ini, maka hak
pakai yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan adalah hak pakai privat. Pembebanan hak pakai
publik dengan hak tanggungan, kiranya akan berarti menjadikan tanah negara sebagai objek
jaminan utang, karena jika tanah tersebut tidak dipakai lagi akan kembali menjadi tanah negara
atau dikembalikan kepada pemerintah.
Hukum Benda
Di dalam ketentuan tentang jaminan yang diatur di dalam KUH Perdata, hanya benda
tetap yang dapat dibebani dengan hipotik. Pada mulanya Hak Pakai dikategorikan ke dalam
kelompok benda bergerak. Hal ini antara lain dapat diketahui dan putusan Mahkamah Agung No.
372K/Sip/1972 dalam kasus Lo Ding Siang dan di dalam peraturan perundang-undangan.
Pandangan terhadap hak pakai sebagai benda bergerak ini telah mewarnai polemik dan
mendorong timbulnya pelbagai pendapat. Sri Soedewi Masjchun Sofwan secara implisit
mendukung pendapat Mahkamah Agung tersebut, dengan menyatakan bahwa terhadap hak pakai
hendaknya dapat diadakan fidusia. Pandangan ini kemudian diperkuat oleh Pasal 12 ayat (1) b
UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah susun. Pada Pasal 12 UU No. 16 tahun 1985 secara tegas
dinyatakan bahwa hanya hak milik atau hak guna bangunan yang dapat dibebani dengan hipotik.
Secara lengkap Pasal 12 ayat (1) b berbunyi:
“Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan:
a. dibebani hipotik, jika tanahnyaa adalah tanah hak milik atau hak guna bangunan;
b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara;
Dengan dijadikan hak pakai atas tanah negara menjadi objek fidusia berarti hak pakai termasuk
ke dalam kategori benda bergerak, namun kemudian di dalam UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (disingkat dengan
UUHT), hak pakai atas tanah negara, dimasukkan ke dalam kategori benda tetap. Hal itu terlihat
dan hak pakai dapat dibebani dengan hak tanggungan (terjemahan atau bahasa Indonesia untuk
terminologi hipotik yang dikenal di dalam KUH Perdata).
Kewarganegaraan
Perumahan
Penanaman Modal
Tanah merupakan faktor modal yang permanen dan sangat diperlukan sebagai tempat
bagi kegiatan usaha perekonomian. Di samping itu, tanah juga dapat dijaminkan untuk
mendapatkan modal lancar. Dalam rangka penyediaan modal bagi pembangunan, khususnya
dalam bidang ekonomi, pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan penanaman modal di
Indonesia berupa Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing. Penanaman
Modal Asing diatur dengan UU No. 1 tahun 1967 dan Penanaman Modal Dalam Negeri diatur
dengan UU No. 6 tahun 1968. Dengan kedua undang-undang, badan hukum asing dimungkinkan
menanamkan modalnya di Indonesia. Terhadap kedua bentuk penanaman modal ini,
ketentuanketentuan baik tentang penanaman modal maupun di dalam ketentuan yang berkaitan
dengan jaminan tentang tanah tidak diatur adanya larangan untuk menjadikan tanah yang dimiliki
oleh orang dan badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia sebagai objek hak
tanggungan. Hal ini berarti bahwa badan hukum dan orang asing dapat membebani hak pakai atas
tanah negara yang dimilikinya dengan hak tanggungan.
Hak Tanggungan hapus jika hak atas tanah yang dibebaninya hapus. Hapusnya hak pakai
atas tanah negara dapat terjadi karena jangka waktu berlakunya telah berakhir, pencabutan hak,
hak dilepaskan oleh pemegangnya atau tidak digunakan lagi sebagaimana peruntukannya.
Hapusnya hak pakai berarti hilangnya jaminan atas piutang kreditur dan bersamaan dengan
hapttsnya hak pakai debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya karena pailit. Dalam keadaan
demikian eksekusi dan pelelangan tidak dapat dilakukan, karena hak atas benda yang dijadikan
jaminan telah hapus. Mengingat isi dari hak pakai adalah hak memungut hasil dan memanfaatkan
tanah, maka eksekusi hanya dapat dilakukan sebatas hak yang dipunyai oleh subjek hukum hak
pakai yang dijaminkan atau yang dibebani hak tanggungan tersebut (Nemo plus iuris in alium
transfere potest quam ipse habet).
Hukum Perbankan
Salah satu faktor yang kiranya menjadi penyebab kredit macet adalah besarnya nilai
jaminan yang tidak sebanding dengan pinjaman. Di dunia perbankan umumnya dianut konsep
penilaian terhadap barang jaminan paling tinggi 80% dari nilai jaminan, dari besarnya pinjaman
dapat diberikan adalah 80% dari nilai jaminan. Penetapan nilai jaminan atas benda yang akan
dijadikan objek hak tanggungan belum ada acuan yang jelas dan belum memperhitungkan nilai
dari hak yang dimiliki oleh seorang pemegang hak, sehingga sanksi terhadap pelanggaran
mengenai penetapan nilai jaminan tidak dapat diberikan. UUPA menganut asas pemisahan
horizontal, hal ini berarti bahwa nilai barang jaminan, adalah sebesar hak yang dimiliki oleh
pihak yang menjaminkan. Di dalam hal hak pakai atas tanah negara, dengan adanya batas waktu
penggunaan, maka sudah barang tentu nilai jaminan atas hak pakai tersebut akan berkurang
dengan berjalannya waktu hak. Seharusnya nilai yang dapat diperhitungkan untuk menetapkan
besamya jaminan adalah nilai sepanjang batas sisa waktu hak pakai tersebut bukan berdasarkan
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nilai jual atas tanah tersebut.
Administrasi
Pengaturan tentang pendaftaran hak tanggungan akan berkaitan erat dengan hak
tanggungan atas hak pakai atas tanah negara. Di dalam Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pendaftaran hak tanggungan atas hak
pakai atas tanah negara secara inklusif termasuk ke dalam ketentuan tentang pendaftaran Hak
Tanggungan yang objeknya berupa hak atas tanah aan sichi. Hak Pakai atas tanah negara
mempunyai karakter tersendiri, yang apabila dibebani oleh hak tanggungan perlu dikaji secara
jeli. Hal itu menjadi penting apabila kita dihadapkan kepada keadaan “Pailit”, yaitu apabila
debitur yang mengagunkan tanah Hak Pakai Atas Tanah Negara jatuh pailit, maka tanah tersebut
tentu akan menjadi objek sita; sementara itu tanah bukan merupakan kewenangan pnivat dan
pemilik hak pakai. Permasalahan administrasi yang tidak pernah disinggung tersebut dapat
berakibat kehancuran pada pemberi kredit yang umumnya perbankan adalah berkaitan dengan
penetapan nilai agunan atas tanah hak pakai. Nilai agunan umumnya diperhitungkan berdasarkan
NJOP atau nilai jual riel dari hak pakai tersebut, sementara yang menjadi hak dari pemegang hak
pakai atas negara hanyalah benda yang dibangun atau yang ditanam di atas tanah tersebut.
Hak Menguasai dari Negara meliputi semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia,
baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah ada hak di atasnya dengan
hak-hak perorangan. Tanah-tanah yang dimiliki dengan hak perorangan oleh UUPA disebut
tanah-tanah yang kuasai tidak langsung oleh negara. Untuk menyingkat pemakaian kata-kata,
dalam praktik Administrasi digunakan sebutan tanah negara. Sudah barang tentu dalam arti
yang berbeda benar dengan sebutan “tanah negara” dalam arti “landsdomein” atau “milik
negara” dalam rangka domeinverklaring. Tanah- tanah yang sudah dipunyai dengan hak-hak atas
tanah primer, disebut tanah- tanah hak dengan nama sebutan haknya, misalnya tanah Hak Milik,
tanah Hak Guna Usaha dan lain-lainnya. Dengan berkembangnya Hukum Pertanahan Nasional
lingkup pengertian tanah-tanah yang didalam UUPA di sebut tanah-tanah yang dikuasai
langsung oleh negara, yang semula disingkat dengan sebutan tanah- tanah negara itu.. mencakup
semua tanah yang dikuasai oleh negara, diluar apa yang disebut dengan tanah-tanah hak. Dalam
rangka Hak Bangsa dan Hak Menguasai dari Negara, tidak ada tanah yang merupakan “res
nullius”, yang setiap orang dengan leluasa dapat menguasai dan menggunakannya.
Menguasai tanah tanpa ada landasan haknya yang diberikan oleh negara atau tanpa izin pihak
yang mempunyainya tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sangsi pidana.
Tanah negara yang dimohon menjadi tanah hak milik betul-betul merupakan tanah
Negara bebas. Sungai lamnyong merupakan bukan sungai besar, tetapi merupakan drainase
kota banda Aceh dan Aceh Besar sebelah utara. Tanah disekitar sempadan sungai Krueng Aceh
adalah tanah negara yang langsung dibawah penguasaan Pemerintah Kota Banda Aceh , di atas
tanah tersebut tidak ada satupun hak yang dipunyai oleh pihak lain selain Pemerintah Aceh dan
pengelolaannya diserahkan kepada Dinas Pekerjaan Umum. Tanah di sekitar Sungai Aceh yang
masuk wilayah Kelurahan Gilingan tadinya merupakan lereng tanggul yang ditanami pisang dan
rumput kolonjono (rumput gajah). Jadi wilayah tersebut belum terdaftar di Badan Pertanahan
Nasional. Wewenang Pemerintah Aceh berdasarkan Pasal 3, Perment PU No. 63/PRT/1993
Tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas
Sungai, bahwa: "Lingkup pengaturan yang tercantum pada Peraturan Menteri ini terdiri dari
a. penetapan garis sempadan sungai termasuk danau dan waduk; b. pengelolaan dan pemanfaatan
lahan pada daerah manfaat sungai; c. pemenfaatan lahan pada daerah penguasaan sungai; dan
pemanfaatan lahan pada bekas sungai." Sehingga penguasaannya dimiliki oleh Pemerintah Aceh.
1.10 ANALISA YURIDIS HAK MENGUASAI DARI NEGARA ATAS TANAH MENURUT
UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960
TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (Lembaran Negara 1960.
Nomor : 104, Tambahan Lembaran Negara 2043 )
SARAN
Kiranya perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan organik di bidang pertanahan
masalah kepemilikan tanah adat agar mempunyai kekuatan kepemilikan sebelum diproses
menurut proses hukum positif pertanahan. Dan Agar dibuat aturan perundangundangan yang
baru mengenai batasan pengertian tanah negara sehingga tidak menimbulkan ketidak pastian
hukum yang sering dimanfaatkan institusi yang kuat untuk memonopoli penguasaan tanah di
suatu wilayah tertentu.
1.2
1.3 Kriteria untuk menentukan tanah atau lahan tanah telah diterlantarkan, baik berdasarkan
Hukum Adat, Hukum Islam, UUPA, PP No 36 Th 1998 maupun juga PP No 11 Th 2010 secara
substansial adalah sama yaitu :
a) Obyek tanah terlantar meliputi hak atas tanah, Hak Pengelolaan dan tanah yang
mempunyai dasar penguasaan atas tanah;
b) Tanah-tanah tersebut tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan
sesuai dengan keadaannya, atau sifat dan tujuan pemberian haknya atau dasar
penguasaannya;
c) Oleh karena itu tanah harus dipelihara.
Untuk menentukan apakah suatu bidang atau lahan tanah telah dinyatakan terlantar maka
hanya menurut Hukum Adat digunakan kriteria jangka waktu tertentu.
1.4 Secara teori asas fungsi sosial hak atas tanah pada hakekatnya mengandung makna
adanya pengakuan atas kepentingan perorangan, kepentingan sosial dan kepentingan umum atas
tanah berdasarkan prinsip reforma agraria dan hak asasi manusia (HAM). Asas fungsi sosial hak
atas tanah memberi kewenangan kepada pemilik hak untuk mempergunakan kepemilikan atas
tanah dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum, dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat dan negara.
Landasan yuridis asas fungsi sosial hak atas tanah, didasarkan pada Pasal 6 UUPA yang
merupakan pencerminan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sebagai
ketentuan yang menegaskan pentingnya perlindungan tanah bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Selain itu juga dilandasi Pasal 28 H ayat(4) UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada Pasal 36 ayat (1) dan 37 ayat (1),
serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Social dan Budaya). Asas fungsi sosial hak atas tanah mengandung prinsip yang
diwujudkan dalam berbagai norma hukum untuk memberikan pengakuan hak atas tanah, yang
menjamim kemanfaatan tanah baik sebagai social asset dan capital asset berdasarkan Pancasila.
Secara substansi hukum asas fungsi sosial hak atas tanah diwujudkan dalam berbagai
norma hukum, walaupun secara khusus tidak ada namun dijabarkan dalam berbagai aturan
tentang landreform, konsolidasi tanah, redistribusi tanah,penertiban tanah-tanah terlantar, dan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.Secara struktur hukum asas fungsi sosial hak atas
tanah telah diterapkan melalui berbagai kebijakan pemerintah dalam hal ini BPN, untuk
melakukan pengendalian pertanahan yang menjamin keseimbangan antara kepentingan
perorangan, kepentingan sosial, dan kepentingan umum atas tanah melalui. Pengendalian
pertanahan dengan memberikan perlindungan hak-hak warga negara atas tanah, melalui program
reforma agraria, dengan melaksanakan asset reform dan akses reform khususnya bagi rakyat tidak
mampu dan petani. Penerapan asas fungsi sosial dalam tinjauan budaya hukum, telah dilakukan
upaya pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan Pokmasdartibnah (Kelompok Masyarakat
Sadar Tertib Pertanahan) oleh BPN, untuk membentuk kesadaran masyarakat tentang pentingnya
menjaga tanah sebagai fungsi sosial. Selain itu juga adanya partisipasi masyarakat dari
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dengan membentuk Desa Damara yang memiliki
kesadaran untuk melakukan usaha atas sumber daya agraria yang berkeadilan. Pembentukan
Pokmasdartibnah maupun Desa Damara merupakan wujud dari penerapan asas fungsi sosial hak
atas tanah yang berorientasi pada pemanfaatan tanah sebagai social asset dan capital asset untuk
sebesar-besar kemakmuran bersama. Penerapan asas fungsi sosial hak atas tanah terwujud apabila
(1) tanah bisa memberikan manfaat bagi rakyat; (2) tercapaianya pemerataan dalam pemanfaatan
tanah; (3) adanya partisipasi rakyat dalam memelihara kemanfaatan tanah; dan (4) perlindungan
hak-hak warga negara atas tanah berdasarkan prinsip hak asasi manusia. Kemanfaatan tanah bagi
sebesar besar kemakmuran rakyat akan terwujud pada negara yang pemerintah dan warga
negaranya memiliki kesadaran hukum untuk mentaati asas fungsi sosial hak atas tanah.
1.5 Menurut Undang-undang Pokok Agraria ada beberapa bentuk hak atas tanah, dan jika
dilakukan penambangan diatas hak atas tanah tersebut maka hak tersebut tidak dapat diabaikan,
karena menurut Undang-undang pertambangan bahwa hak atas penambangan bukanlah
merupakan hak atas tanah diatasnya melainkan hak untuk melakukan penambangan yang
biasanya ada ditanah bagian bawah (perut bumi) Jadi penambangan tidak dapat dilakukan apabila
hak atas tanah diatasnya belum diselesaikan. Namun hal ini dapat diselesaikan melalui
kesepakatan antara yang memiliki hak atas tanah dan yang memiliki hak atas pertambangan,
apabila kesepakatan sudah didapat barulah dapat dilakukan usaha pertambangan di wilayah
tersebut. Jadi hak atas pertambangan yang diberikan oleh pemerintah, tidaklah menghapus hak
atas tanah yang ada diatasnya.
1.6 Dari pembahasan yang sudah dituliskan di atas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
perkembangan/evolusi konsep hak negara atas tanah di Indonesia. Konstitusi dan
UUPAmemberikan mandat kepada negara untuk menguasai tanah, bukan untuk memiliki tanah.
Akan tetapi dalam perkembangannya ternyata pemerintah Indonesia memperluas kewenangan
negara dari “pemegang hak menguasai” menjadi “pemilik” atas tanah, terutama tanah-tanah yang
tidak ada alat bukti haknya, termasuk tanah-tanah masyarakat adat. ada alat bukti haknya,
termasuk tanah-tanah masyarakat adat.Dari pembahasan di atas, ditemukan bahwa konsep
staatsdomein atas tanah tetap eksis pada pemerintahan Indonesia bahkan setelah era Reformasi,
walaupun mereka selalu berargumen bahwa peraturan pertanahan di Indonesia adalah sesuai
dengan Konstitusi.Dengan pemahaman yang keliru atas konsep hak menguasai negara, maka
konsep hak negara atas tanah di zaman kemerdekaan menjadi serupa dengan konsep yang ada di
zaman pemerintahan Hindia Belanda. Oleh karena itu, muncul konflik pertanahan yang meluas di
antara masyarakat di seluruh Indonesia.
Mahkamah Konstitusi telah meluruskan makna dan pelaksanaan dari hak menguasai
negara dalam putusan yudisial reviewnya atas UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air, dan UU No. 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan.Walaupun putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah tentang minyak dan
gas bumi, sumber daya air, dan ketenagalistrikan, akan tetapi pendapat Mahkamah Konstitusi
tentang hak menguasai negara pada ketiga bidang tersebut juga dapat diterapkan pada tanah.
Demikian pula Mahkamah Konstitusi dalam putusan yudisial reviewnya atas UU No. 41/1999
tentang Kehutanan memerintahkan negara untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat adat
atas hutan adat walaupun tidak disertai dengan alat bukti hak milik atau sertifikat.
Oleh karena itu, penulis menyarankan adanya reformasi peraturan perundang-undangan
di bidang-bidang yang terkait dengan tanah, seperti peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan, pertambangan, perkebunan, pertanian, perumahan, tata-ruang, jalan, tanah bagi
pembangunan/kepentingan umum, dan tanah atau hutan milik masyarakat adat. Seluruh peraturan
perundang-undangan tersebut, baik yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah, harus
disinkronkan lagi dengan UUD 1945 dan UUPA sebagai payung hukumnya. Di mana UUD 1945
dan UUPA telah disusun dengan konsep hak menguasai negara atas tanah, untuk digunakan bagi
kemakmuran rakyat, termasuk masyarakat adat Indonesia.
1.7 Paling tidak dalam ketentuan perundang-undangan terdapat 13 (tiga belas) macam hak
atas tanah, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak
Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Sewa
Tanah Pertanian, Hak Menumpang, dan Hak Ulayat serta Hak Pengelolaan. Keberadaan HGU,
HGB dan Hak Pengelolaan perlu ditinjau kembali. Dalam Draf RUU tentang Pertanahan (27
Maret 2013) tidak lagi mengatur hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak
yang bersifat sementara (hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak hak sewa
tanah pertanian).
Ketentuan perundangan-undangan yang memberikan peluang penguasaan tanah HGU
dengan luasan yang relatif tidak terbatas, tidak sejalan dengan prinsip pemerataan penguasaan
tanah. Terjadi penumpukan tanah pertanian pada sebagian kecil subjek sedangkan sebagian besar
subjek lainnya (petani) tidak mempunyai tanah pertanian dengan luasan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberadaan hak gadai dan hak usaha bagi hasil masih cenderung
terjadinya penindasan terhadap petani penggarap.
1.8 Jangka waktu perlunasan utang yang dijamin disesuaikan dengan jangka waktu jaminan.
Permasalahan akan muncul apabila jangka waktu tersebut tidak disesuaikan dengan jangka waktu
jaminan. Penetapan batas maksimum nilai jaminan atas tanah hak pakai atas tanah negara
merupakan kewenangan privat (hak) yang dapat dipunyai oleh pemilik hak pakai hanya sebagai
penggunaan bangunan dan/atau memungut hasil dan tanah yang dijadikan objek haknya. Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP) atas tanah hak pakai atas tanah negara tidak dapat dijadikan patokan
dalam menetapkan nilai jaminan, nilai tanah tidak dapat dijadikan jaminan karena tanah
merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Objek hak tanggungan dapat dijaminkan lebih dari satu kali, maka kewenangan privat
yang terdapat pada hak pakai adalah jaminan kenyamanan dan keamanan kreditur untuk
memperoleh haknya kembali dari debitur yang menjaminkan tanah hak pakai atas tanah negara
sebegai jaminan utangnya. Lembaga jaminan yang lebih tepat untuk hak pakai atas tanah negara
adalah fidusia, karena hak pakai hanya memiliki hak untuk mempergunakan dan memungut
hasil atas tanah bukan hak atas tanah. privat. Dengan demikian perlu adanya suatu aturan yang
tegas untuk mengantisipasi persoalan tersebut.
Berdasar PP No. 40 Tahun 1996, tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah, Pasal 53, maka seharusnya hak pakai atas tanah negara dan tanah hak
pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
1.9 Penguasaan tanah negara di bantaran sungai aceh tidak dibenarkan secara hukum baik
dalam pembangunan rumah atau pemanfaatan yang lainnya.karena akan mengakibatkan
permasalahan yang berkelanjutan.seperti pengkamplingan harta warisan dari anak cucu. Tanah
Negara dilarang Masuk dan Memanfaatkannya” secara jelas ini melawan hukum sebagaimana
dalam Pasal 167 (1) KUHP dihukum 8 Bulan Penjara dan Pasal 389 KUHP dihukum 2 Tahun 8
Bulan Penjara dan Pasal 561 KUHP dihukum denda. Bagi yang sudah menguasai tanah Negara di
sekitar bantaran sungai Aceh tanpa izin resiko tanggung jawab sendiri, dalam arti di saat Negara
membutuhkan maka konsekuensinya siap untuk memindahkan sendiri atau akan perusakan paksa
oleh Negara.
1.10 Dari umusan masalah yang dilanjutkan dengan pembahasan diatas maka dapat ditarik
kesimpulan, bahwa:
Hak menguasai negara adalah kekuasaan atau kewenangan negara yang berdasarkan
hukum untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi. Hakikat hak menguasai negara harus
dilihat pada kekuasaan negara secara umum, yaitu membangun, mengusahakan,
memelihara dan mengatur segala sesuatu mengenai tanah, dan hubungan bangsa
Indonesia dengan bumi, air dan ruang-angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan
Hak Ulayat, yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu tingkatan yang
mengenai seluruh wilayah Negara.
Bahwa kaitannya dengan politik hukum agraria, bangsa Indonesia yang memberi mandat
kepada pemerintahanya melalui lembaga legeslatif untuk membuat peraturan baru guna
mencegah adanya dualisme hukum seperti yang terjadi sebelum UUPA terbentuk, yang
mana undang-undang baru yang terbetuk itu harus bertujuan sesuai dengan yang
tercantum atau yang berbunyi pada pasal 33 UUD NRI 1945. Dan jika undangundang
baru itu bertentangann dengan pasal tersebut maka undang-undang baru itu dapat
dikatakan menyimpang.
BAB IV
Daftar Pustaka
Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria.
Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.
Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
Atas Tanah.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah
Terlantar.
Website Artikel
1. http://jurnal.upgriplk.ac.id/index.php/morality/article/view/33
2. https://journal.ugm.ac.id/jmh/article/view/16130/10676
3. http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/139/90
4. https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/view/8744/7830
5. https://ejournal.unri.ac.id/index.php/JIH/article/view/2792/2725
6. http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/267/230
7. http://journal.unpas.ac.id/index.php/litigasi/article/view/91/23
8. https://media.neliti.com/media/publications/148622-ID-none.pdf
9. http://ojs.uscnd.ac.id/index.php/deliberatif/article/view/21/11
10. http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/57140