Anda di halaman 1dari 38

RESUME 10 ARTIKEL TENTANG HAK MENGUASAI NEGARA ATAS TANAH

“Ditujukan Untuk Memenuhi Salah Satu Kriteria Penilaian Dalam Mata Kuliah

Hukum Agraria”

PENYUSUN

AGUS SANTOSO

150710101280

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penyusunan
tugas ini dapat terselesaikan. Adapun judul dari tugas ini adalah ”Penguasaan Hak Atas Tanah atas
Negara”. Penyusunan makalah ini ditujukan intuk memenuhi salah satu kriteria penilaian dalam mata
kuliah Hukum Agraria semester ganjil di Universitas Jember.

Makalah ini tidak mungkin dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya dukungan moril dan
materiil dari berbagai pihak. Karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:

1. Kedua orang tua, yang telah memberi dukungan dan membantu dalam pembuatan makalah
ini.
2. Rizal Nugroho S.H,M,Hum selaku dosen Hukum Agraria.
3. Serta semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan makalah ini, yang namanya
tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu.
Penyusunan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. Namun,
makalah ini mungkin memiliki kekurangan. Karena itu, sangat diperlukannya kritik dan saran yang dapat
membangun makalah ini sehingga menjadi lebih baik lagi. Akhir kata, penyusun mengucapkan maaf yang
sebesar-besarnya atas segala kesalahan yang mungkin ada didalam makalah ini.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................................

DAFTAR ISI...........................................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

1.1. KEBERADAAN TANAH ADAT DAN TANAH NEGARA BAGI KEPENTINGAN


MASYARAKAT............................................................................................................

1.2. EKSISTENSI HAK PENGELOLAAN DALAM HUKUM TANAH NASIONAL


....................................................................................................................................... ...
........................................................................................................................

1.3. KRITERIA TANAH TERLANTAR DALAM PERATURAN PERUNDANGAN


INDONESIA.................................................................................................................

1.4. ASAS FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH PADA NEGARA HUKUM (SUATU
TINJAUAN DARI TEORI, YURIDIS DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA)
....................................................................................................................................... .....
..........................................................................................................................

1.5 HAK ATAS TANAH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MINERAL
DAN BATUBARA...............................................................................................

1.6 PERKEMBANGAN HAK NEGARA ATAS TANAH : MENGUASAI ATAU MEMILIKI


?........................................................................................................

1.7 REKONSEPTUALISASI HAK ATAS TANAH DALAM KERANGKA


PEMBAHARUAN HUKUM TANAH NASIONAL ...........................................

1.8 ASPEK HUKUM HAK PAKAI ATAS TANAH NEGARA SEBAGAI OBJEK
JAMINAN ........................................................................................................

1.9 PENGUASAAN TANAH NEGARA OLEH MASYARAKAT SEKITAR BANTARAN


SUNGAI ACEH ...............................................................................................
1.10 ANALISA YURIDIS HAK MENGUASAI DARI NEGARA ATAS TANAH MENURUT
UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN
1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (Lembaran
Negara 1960. Nomor : 104, Tambahan Lembaran Negara
2043 )...........................................................................................................................

BAB II

RESUME ARTIKEL ........................................................................................................................

BAB III

KESIMPULAN.......................................................................................................................................

Daftar Pustaka.........................................................................................................................................
BAB I

1.1. KEBERADAAN TANAH ADAT DAN TANAH NEGARA BAGI KEPENTINGAN


MASYARAKAT
Saat ini dengan semakin meningkatnya kebutuhan akan tanah untuk keperluan
pembangunan, maka masalah tanah menjadi isu menarik untuk dianalisis lebih mendalam.
Apalagi tanah negara dikatakan hampir tidak tersedia lagi, sementara dilain pihak eksistensi
tanah adat sebagai manifestasi dari hak ulayat juga perlu mendapat pemikiran yang
proporsional.1 Paling tidak dapat dikatakan, ada dua pandangan / sikap mengenai isu tersebut,
yakni disatu pihak terdapat kekhawatiran bahwa tanah adat yang semula sudah tidak ada,
kemudian dinyatakan hidup lagi.
Pengakuan eksistensi tanah adat oleh UUPA merupakan hal yang wajar, karena tanah adat
melalui hak ulayat beserta masyarakat hukum adat telah ada sebelum terbentuknya negara
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasal 3 UUPA menegaskan pengakuan
tersebut dengan menyebutkan2 “ dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2
pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat – masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang dan peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi”.
A. Tanah Adat
Walaupun UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat itu. Namun
dengan mengacu pada pengertian – pengertian fundamental tersebut di atas, dapatlah dikatakan,
bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus dilihat pada tiga hal, yakni:
1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu, sebagai subyek hak ulayat;
2. Adanya tuan / wilayah dengan batas – batas tertentu sebagai lebensraum yang merupakan
subyek hak ulayat;
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan – tindakan tertentu
sebagaimana diuraikan di atas.
Di pihak lain, bila memang hak ulayat dinilai masih ada maka harus diberikan pengakuan
atas hak tersebut di samping pembebanan kewajibannya oleh negara. Pengakuan atas hak itu
tampak misalnya, apabila tanah ulayat diberikan untuk pembangunan (sesuai dengan fungsi
sosial yang melekat pada hak ulayat) maka pihak yang memerlukan tanah harus minta izin
pada masyarakat hukum tersebut. Dan apabila diperlukan juga memberikan pemulihan
keseimbangan berupa apapun yang bermanfaat bagi seluruh anggota masyarakat hukum
tersebut maupun masyarakat sekitarnya. Kewajiban yang dibebankan kepada masyarakat
hukum tersebut, antara lain berupa pemeliharaan tanah, penambahan kesuburannya, serta
pelestarian lingkungannya. Kiranya diperlukan pengaturan tentang hak ulayat yang berisi
pokok – pokok pikiran, antara lain mengenai kriteria eksistensi hak ulayat; siapa saja jang
terlibat dan berwenang menentukan hak ulayat; penempatan/kedudukan hak ulayat dalam
sistem hukum tanah nasional hak – hak dan kewajiban yang melekat pada hak ulayat.
B. Tanah Negara
Saat ini tidak mudah untuk menyatakan berapa luas tanah negara. Disatu pihak apabila
pemerintah memerlukan tanah untuk kepentingan umum dengan mengambil tanah yang dipunyai
pemegang hak, alasan yang dikemukakan adalah karena tanah negara jumlahnya tidak memadai
lagi. Namun, dilain pihak, ketika timbul gagasan untuk membentuk lembaga yang berfungsi
menyediakan, mematangkan, dan menyalurkan tanah (land banking), maka diusulkan bahwa
tanah negara dijadikan salah satu alternatif obyeknya.
Klarifikasi tentang pengertian tanah negara menjadi semakin penting mengingat dampak
yang mungkin timbul bila tidak ada kesamaan persepsi mengenai hal ini. Kasus tanah Pertamina
Plumpang yang digugat oleh para penggarapnya merupakan contoh ketidaksamaan persepsi
tentang tanah negara ini. Dalam kasus kedudukan tanah oleh penggarap tersebut, para penggugat
(penggarap) mendalilkan bahwa tanah tersebut adalah tanah negara, sedangkan pihak Pertamina
beranggapan bahwa tanah tersebut merupakan tanah pemerintah. Pengadilan Negeri Jakarta Utara
berpendapat bahwa tanah tersebut merupakan tanah negara, sedangkan PTUN berpendapat bahwa
tanah tersebut merupakan tanah pemerintah.
Penggunaan istilah tanah negara bermula pada zaman Hindia Belanda. Sesuai dengan
konsep hubungan antara penguasa (Pemerintah Hindia Belanda) dengan tanah yang berupa
hubungan kepemilikan, maka dikeluarkanlah suatu pernyataan yang terkenal dengan nama
Domein Verklaring pada tahun 1870, yang secara singkat menyatakan, bahwa semua tanah yang
pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendom-nya, adalah domein (milik) negara.
Akibat hukum pernyataan tersebut ternyata merugikan hak atas tanah yang dipunyai
rakyat sebagai perseorangan serta hak ulayat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat, karena
berbeda dengan tanah-tanah hak Barat/Eropa, di atas tanah – tanah hak adat tersebut pada
umumnya tidak ada alat bukti haknya. Dalam perkembangannya, penguasaan tanah-tanah negara
diatur dalam PP No. 8 Tahun 1953. Karena peraturan pemerintah ini terbit sebelum lahirnya
UUPA pada tahun 1960, maka istilah-istilah yang digunakan masih berdasarkan pada konsep
domein tersebut diatas.
Berbeda dengan konsep domein negara tersebut, maka UUPA menganut konsep negara
“menguasai” dan bukan “memiliki” 19dalam hubungan antara negara dengan tanah. Negara
sebagai personifikasi dari seluruh rakyat mempunyai kewenangan pada tingkatan tertinggi untuk
mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, penyediaan, dan pemeliharaan bumi,
air, dan ruang angkasa, serta menentukan dan mengatur hubungan hukum dan perbuatan hukum
yang berkenaan dengan bumi, air, dan ruang angkasa. Walaupun hak menguasai negara itu
meliputi semua bumi, air, dan ruang angkasa, namun disamping adanya tanah negara, dikenal
pula adanya tanah – tanah hak, baik yang dipunyai perseorangan maupun badan hukum. Dengan
demikian, maka yang disebut tanah negara adalah tanahtanah yang tidak dilekati dengan suatu
hak yakni hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atas tanah negara, hak
pengelolaan, serta tanah ulayat dan tanah wakaf. Adapun ruang lingkup tanah negara meliputi
juga
Dalam kaitan dengan pengertian tanah negara ini, penting untuk diperoleh kejelasan
tentang status tanah pemerintah, apakah termasuk dalam pengertian tanah negara atau bukan.
Menurut hemat saya, apabila definisi tanah negara tersebut diatas diterima , maka tanah (yang
dikuasai oleh) pemerintah tersebut tidak serta merta masuk dalam pengertian tanah negara,
walaupun tanah tersebut merupakan aset / kekayaan negara, karena tanah – tanah negara yang
dikuasai dengan tugas masing-masing diberikan dengan pengelolaan atau hak pakai sesuai
dengan Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1965. Apabila suatu instansi pemerintah
menguasai tanah namun tidak memegang hak pengelolaan atau hak pakai, maka status tanahnya
adalah tanah negara. Sehubungan dengan belum adanya kesamaan persepsi tentang tanah negara,
maka demi tercapainya kepastian hukum, seyogianya mengenai hal ini yang diatur pada PP No. 8
Tahun 1953 perlu dilakukan peninjauan kembali atau diganti, karena konsep yang mendasarinya
sudah tidak berlaku lagi.
Sudah saatnya pengertian tentang status tanah disederhanakan dengan menggunakan
istilah tanah negara dan tanah hak, karena bagi masyarakat awam tidak mudah untuk memahami
istilah “tanah yang langsung dikuasai oleh negara”. Perlu pula ditegaskan, bahwa pengurusan
tanah – tanah negara merupakan kekayaan negara secara yuridis administratif penguasaannya
berada di bawah wewenang Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional, sedangkan
secara fisik penggunaannya berada di bawah pengurusan suatu departemen / lembaga yang
memerlukan koordinasi dalam penanganannya. Terhadap berbagai kasus yang menyangkut
penggarapan masyarakat atas tanah negara, diperlukan ketegasan dalam pengaturannya yang
akan datang dalam kaitannya dengan kemungkinan terjadinya hak milik atas tanah negara. Dalam
peraturan tersebut perlu ditetapkan tentang instansi yang berwenang memberikannya, syarat
pemberiannya, subyek haknya, serta pendaftarannya.

1.2. EKSISTENSI HAK PENGELOLAAN DALAM HUKUM TANAH NASIONAL

Penelantaran tanah di pedesaan dan perkotaan, selain merupakan tindakan yang tidak
bijaksana, tidak ekonomis (hilangnya peluang untuk mewujudnyatakan potensi ekonomi tanah),
dan tidak berkeadilan, serta juga merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang harus
dijalankan para Pemegang Hak atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan tanah.
Penelantaran tanah juga berdampak pada terhambatnya pencapaian berbagai tujuan program
pembangunan, rentannya ketahanan pangan dan ketahanan ekonomi nasional, tertutupnya akses
sosial-ekonomi masyarakat khususnya petani pada tanah, serta terusiknya rasa keadilan dan
harmoni sosial.
Negara memberikan hak atas tanah atau Hak Pengelolaan kepada Pemegang Hak untuk
diusahakan, dipergunakan, dan dimanfaatkan serta dipelihara dengan baik selain untuk
kesejahteraan bagi Pemegang Haknya juga harus ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat,
bangsa dan negara. Ketika Negara memberikan hak kepada orang atau badan hukum selalu
diiringi kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan surat keputusan pemberian haknya. Karena itu
Pemegang Hak dilarang menelantarkan tanahnya, dan jika Pemegang Hak menelantarkan
tanahnya, Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah mengatur akibat hukumnya yaitu hapusnya
hak atas tanah yang bersangkutan dan pemutusan hubungan hukum serta ditegaskan sebagai tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara.
Bagi tanah yang belum ada hak atas tanahnya, tetapi ada dasar penguasaannya,
penggunaan atas tanah tersebut harus dilandasi dengan sesuatu hak atas tanah sesuai Pasal 4
juncto Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria. Oleh karena itu orang atau badan hukum yang telah memperoleh dasar penguasaan atas
tanah, baik dengan pengadaan tanah itu dari hak orang lain, memperoleh penunjukan dari
pemegang Hak Pengelolaan, karena memperoleh izin lokasi, atau memperoleh keputusan
pelepasan kawasan hutan berkewajiban memelihara tanahnya, mengusahakannya dengan baik,
tidak menelantarkannya, serta mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak atas tanah.
Meskipun yang bersangkutan belum mendapat hak atas tanah, apabila menelantarkan tanahnya
maka hubungan hukum yang bersangkutan dengan tanahnya akan dihapuskan dan ditegaskan
sebagai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.
Permasalahan mengenai tanah terlantar ini merupakan problematika mengenai
peruntukan tanah maupun penguasaan atas tanah. Sebagaimana kita ketahui bahwa UUPA belum
menjelaskan secara rinci deskripsi mengenai penelantaran tanah yang dimaksud, bahkan
Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1998 Juncto Peraturan Pemerintah No.11 Tahun 2010 yang
belum juga memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai penetapan suatu tanah yang telah
diberi hak penguasaan atas tanah kepada subyek hukum oleh pemerintah sebagai regulator.
1.3. KRITERIA TANAH TERLANTAR DALAM PERATURAN PERUNDANGAN
INDONESIA

Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum
dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, serta dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Demikian dinyatakan dalam
Pasal 5 UUPA. Hukum adat dijadikan dasar dikarenakan hukum tersebut dianut oleh sebagian
besar rakyat Indonesia sehingga Hukum Adat mempunyai kedudukan yang istimewa dalam
pembentukan Hukum Agraria.6 Memperhatikan ketentuan pasal ini maka untuk itu perlu kiranya
mengetahui batasan tanah terlantar menurut Hukum Adat.
Berdasarkan kajian atas keragaman arti tanah terlantar menurut Hukum Adat maka da-
pat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud tanah terlantar adalah tanah yang pernah dibuka,
dikerjakan oleh pemilik/penggarapnya sampai 1 kali atau 2 kali panen, kemudian ditinggalkan
oleh pemiliknya dalam waktu tertentu sampai menjadi hutan kembali. Secara yuridis kemudian
tanah ini kembali pada hak ulayatnya.Jadi unsur tanah disebut terlantar menurut Hukum Adat :
a. Penggarap pernah membuka tanah ulayat;
b. Penggarap mengerjakan/menggarap sampai 1 kali atau 2 kali panen;
c. Penggarap meninggalkan dalam waktu tertentu sehingga menjadi hutan kembali;
d. Tanah kembali menjadi milik masyarakat hukum adat.

Dari pengertian tanah terlantar menurut Hukum Adat ini maka tanah dikatakan telah
diterlantarkan kalau kriterianya adalah tanah telah dengan sengaja tidak dikerjakan oleh
penggarapnya/pemiliknya dalam waktu tertentu sehingga kemudian menjadi belukar kembali.
Untuk mengukur apakah tanah sudah dapat dikatakan diterlantarkan ataukah belum menurut
Hukum Adat adalah dengan melihat secara nyata/konkrit apakah tanah tersebut dalam
kenyataannya dengan sengaja tidak digarap atau dikerjakan secara aktif oleh penggarap/
pemiliknya. Jadi dalam menentukan sudah diterlantarkan ataukah belum tidak digantungkan pada
jangka waktu tertentu tetapi hanya dengan melihat kenyataan jika tanah dibiarkan membelukar
kembali karena sudah tidak untuk ditanami kembali maka hal ini sudah dapat dikualifikasi
sebagai telah diterlantarkan.
Selanjutnya berdasarkan UUPA maka ada beberapa azas yang perlu diperhatikan dalam
masalah penelantaran tanah. Dinyatakan dalam Pasal 6 UUPA bahwa semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial. Hal ini bermakna bahwa penggunaan tanah harus disesuaikan dengan
keadaannya dan sifat haknya sehingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang
mempunyainya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Untuk itu hak atas tanah apapun
yang dipunyai seseorang/badan hukum tidaklah dapat dibenarkan bahwa tanahnya itu
dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata hanya untuk kepentingan pribadinya apalagi
sampai merugikan kepentingan umum. Pemanfaatan ataupun penggunaan tanah oleh orang/
badan hukum sebenarnya adalah untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Sehubungan dengan hal
ini maka ditentukan dalam Pasal 15 UUPA bahwa :
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta menjegah kerusakannya
adalah kewajiba tiap– tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai
hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memerhatikan pihak yang ekonomis lemah.

Memang seharusnya tanah dipelihara agar baik agar bertambah subur dan di cegah
kerusakannya. Kesuburan tanah mudah berkurang dan tanahpun mudah menjadi rusak jika
pengunaannya tidak teratur, padahal seluruh kehidupan manusia di bumi ini menurut para ahli
tergantung pada lapisan bumi yang tebalnya tidak lebih dari hanya 20 cm saja. Oleh karena itu
ketentuan Pasal 15 tersebut di sertai pula suatu sanksi pidana. Menurut Pasal 52 ayat 1 barang
siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 15 itu pidana dengan hukuman kurangan
selama–lamanya 3 bulan dan/ atau denda setinggi–tingginya Rp 10.000,.-

Melihat rumusan tanah terlantar dalam UUPA yang masih begitu abstrak dan juga
mengingat UUPA adalah merupakan undang-undang pokok serta mencermati fenomena yang
terjadi akan banyaknya tanah-tanah yang terlantar maka tentu saja diperlukan peraturan yang
bersifat operasional. Untuk itu pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 36 Th 1998
tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Dalam Pasal 1 ayat (5) Peraturan
Pemerintah No 36 Th 1998 dinyatakan bahwa Tanah terlantar adalah tanah yang diterlantarkan
oleh pemegang hak atas tanah, pemegang hak pengelolaan atau pihak yang telah memperoleh
dasar penguasaan atas tanah, tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan hal ini sebetulnya juga telah ditentukan
dalamUUPA Pasal 27, 34 dan 40 UUPA yaitu bahwa Hak Milik, HGU, HGB dapat dinyatakan
sebagai tanah terlantar dan jatuh menjadi tanah negara apabila tanah tersebut dengan sengaja
tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan
haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Memperhatikan ketentuan di atas maka dapat
disimpulkan bahwa tanah terlantar terjadi karena ada faktor kesengajaan (kata “diterlantarkan”
awalan di dan akhiran kan) dari pemegang hak atas tanah (Hak Milik, HGU, HGB ataupun Hak
Pakai) atau pemegang Hak Pengelolaan atau hak-hak lain yang terbatas yang diberikan
Pemerintah tidak menggunakan atau berbuat sesuatu terhadap tanah yang bersangkutan. Hal ini
kemudian dipertegas lagi dengan ketentuan Pasal 3 s/d Pasal 8 Peraturan Pemerintah No 36 Th
1998. Pasal 3 menentukan Tanah Hak Milik, HGU, HGB atau Hak Pakai dapat dinyatakan
sebagai tanah terlantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang
haknya sesuai dengan keadaannya, tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik.

1.4. ASAS FUNGSI SOSIAL HAK ATAS TANAH PADA NEGARA HUKUM (SUATU
TINJAUAN DARI TEORI, YURIDIS DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA)

1.4.1 Hakekat Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah dalam Tinjauan Teori
Asas fungsi sosial hak atas tanah berasal dari teori fungsi sosial hak atas tanah yang
dikemukakan oleh ahli hukum Perancis Leon Duguit. Awalnya teori ini muncul akibat adanya
upaya untuk menentang konsep liberal klasik yang berkembang saat itu. Konsep liberal klasik
mendominasi konsep politik dan hukum modern. Menurut Sheila R. Foster dan Daniel Bonilla
dalam artikelnya pada Symposium The Social Function of Property : A Comparative Law
Perspective yang diselenggarakan Fordham University Scholl of Law di New York, pada tanggal
15 November 2011 (Sheila R. Foster dan Daniel Bonilla, 2011:101) menyatakan bahwa, konsepsi
liberal klasik berkaitan dengan kepemilikan properti atau hak kepemilikan tanah mendominasi
pemikiran hukum dan politik modern. Gagasan yang berkembang dari kosenp tersebut bahwa
kepemilikan hak atas tanah adalah hak subyektif dan sifatnya mutlak. Pada umumnya warga
masyarakat, politisi, dan akademisi beranggapan bahwa kepemilikan hak atas tanah sebagai hak
individu yang hanya dibatasi oleh hak orang lain dan kepentingan umum. Oleh karena itu,
pemegang hak dapat menggunakan, memperoleh manfaat, dan menggunakan asetnya tersebut
dengan cara yang tepat, sesuai dengan tatanan hukum dan tidak melanggar kepentingan umum.
Apalagi hak ini sangat penting untuk pelaksanaan otonomi atau kebebasan individu.Kepemilikan
hak atas tanah atau properti memungkinkan dan mencerminkan keputusan yang dibuat oleh
individu sehubungan dengan rencana hidup mereka.Tanah merupakan sarana fisik yang
memungkinkan orang untuk membangun identitas mereka dan mengekspresikan komitmen moral
mereka. Antara hak individu dan tanah saling memiliki hubungan yang berkaitan satu dengan
yang lain. Akibatnya, konsep liberal klasik tentang hak atas tanah membebankan kewajiban
antara negara dan individu .
Konsep liberal klasik ini dikritik oleh perspektif teoritis yang beragam seperti liberalisme
egaliter, sosialisme, dan komunisme. Bahwa konsepsi liberal klasik tidak lengkap atau tidak adil.
Kritik menunjukkan, misalnya, bahwa konsep kepemilikan benda menurut liberal klasik
mengaburkan kewajiban dan hubungan antara subjek sebagai pemilik dengan masyarakat, atau
mereka menekankan konsekuensi negatif bahwa hak ini dikategorikan sebagai bagian dari
kekayaan.Pada tingkat normatif, lawan dari konsep hak atas tanah menurut liberal klasik
menawarkan berbagai alternatif, dari penghapusan kepemilikan pribadi atas alat alat produksi
melalui intervensi pemerintah yang kuat dalam hak atas kekayaan dengan tujuan untuk
tercapainya redistribusi tanah (Foster, Sheila R. & Daniel Bonilla. 2011: 102).
Gagasan tersebut selanjutnya memunculkan konsep alternatif yang paling memberikan
keyakinan dan berpengaruh pada abad ke dua puluh, yakni fungsi sosial hak atas tanah atau
dikenal dengan istilah the social function of property dalam berbagai literatur yang ditemukan
oleh peneliti. Fungsi sosial hak atas tanah didasari teori yang dikembangkan pertama kali oleh
Leon Duguit pada tahun 1922. Duguit berpendapat bahwa properti atau dikenal dengan
kepemilikan hak atas tanah bukan merupakan hak tapi lebih dari itu merupakan fungsi sosial.
Pemilik memiliki kewajiban sehubungan dengan fungsi sosialnya sehingga tidak bisa hanya
melakukan apa yang dia inginkan saja atas properti miliknya. Dijelaskan lagi bahwa pemilik
wajib menjadikan tanah hak miliknya menjadi produktif dan diletakkan demi pelayanan untuk
masyarakat melalui kegiatan ekonomi. Ide fungsi sosial dari properti atau lebih dikenal dengan
fungsi sosial hak atas tanah berdasarkan deskripsi realitas sosial mengakui solidaritas sebagai
salah satu fondasi utamanya. Akibatnya, negara harus melindungi tanah hanya jika memenuhi
fungsi sosialnya. Ketika pemilik tidak bertindak dengan cara yang konsisten dengan
kewajibannya, negara harus melakukan intervensi untuk mendorong atau menghukumnya.
Senada dengan dua konsep teori fungsi sosial tersebut diatas, Notonagoro menegaskan
bahwa hak milik yang memiliki fungsi sosial itu sebenarnya mendasarkan atas diri individu,
mempunyai dasar yang individualistis lalu ditempelkan kepadanya sifat yang sosial, sedangkan
jika berdasarkan Pancasila. hukum kita tidak berdasarkan atau corak individualistis, tetapi
bercorak dwi tunggal. Kepentingan masyarakat dan perseorangan haruslah saling imbang untuk
mengimbangi dwi tunggal. Dengan kata lain, di dalam hak milik tercantum sifat diri dan
disamping itu memiliki sifat kolektif. Jadi, bukan sifat hak milik privat perorangan yang memiliki
sifat kolektif atau melepaskan sifat individunya.
Selanjutnya, berkaitan dengan fungsi hak dapat dirujuk pendapat dari Carl Wellman, yang
menyatakan fungsi suatu hak adalah untuk mengatasi konflik dengan memberikan prioritas
hukum bagi keinginan dan keputusan suatu pihak diatas keinginan dan keputusan pihak lain. Hak
hukum adalah alokasi suatu ruang kebebasan dari kontrol kepada pemilik hak agar leluasa
menentukan keputusan keputusan yang efektif di dalam wilayah yang ditetapkan tersebut.
Selain itu patut dirujuk pula pendapat dari Martin Dixon yang menyatakan, bahwa tanah
merupakan asset fisik dan merupakan hak. Tanah mengandung kekhususan yakni harus
memenuhi kebutuhan dalam kehidupan sosial, yang mengandung makna adanya sistem hukum
tanah yang berfungsi untuk menjamin kemanfaatan tanah untuk kepentingan bersama. Pendapat
tersebut diperkuat MariaS.W. Sumardjono (2007, hlm. 4) yang menegaskan keberadaan tanah
sebagai social asset dan capital asset. Sebagai social asset tanah merupakan sarana pengikat
kesatuan sosial dikalangan masyarakat untuk hidup dan berkehidupan,sedangkan capital asset,
tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan dan telah tumbuh sebagai benda ekonomi
yang sangat penting sekaligus sebagai bahan perniagaan dan obyek spekulasi.
Secara teori, asas fungsi sosial hak atas tanah mengandung pengakuan
adanya kepentingan perorangan, kepentingan sosial, dan kepentingan umum atas tanah. Asas
fungsi sosial hak atas tanah memberi kewenangan kepada pemilik hak untuk mempergunakan
kepemilikan atas tanah dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum, dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat dan negara.Kepemilikan atas tanah bukan hanya merupakan hak tapi
lebih dari itu merupakan fungsi sosial. Kondisi ini memunculkan konsekuensi adanya hak dan
kewajibanpemegang hak atas tanah dalam memanfaatkan tanah. Selain itu negara berkewajiban
untuk melindungi tanah sebagai social asset dan capital asset untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.

1.4.2 Landasan Yuridis Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah di Indonesia
Asas fungsi sosial hak atas tanah merupakan salah satu asas yang menjadi dasar dalam
menerapkan hukum agraria di Indonesia. Secara yuridis asas fungsi sosial hak atas tanah diatur
dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA), pada Pasal 6 yang menyatakan bahwa “Semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial”.
asal 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
menegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, hal ini merupakan
pencerminan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sebagai ketentuan yang
menegaskan pentingnya perlindungan atas bumi, air dan kekayaan alam termasuk didalamnya
pengertian tanah bagi sebesar besar kemakmuran rakyat. Secara yuridis kedua ketentuan tersebut
mengandung makna yang secara eksplisit saling berhubungan, bahwa tanah dalam pemahama
fungsi sosial harus dilindungi keberadaannya agar dapat memberikan kemakmuran bagi seluruh
rakyat. Hal ini mengandung kewajiban bagi seluruh rakyat dalam memanfaatkan tanah tidak
hanya mementingkan kepentingan pribadinya saja namun juga harus memperhatikan kepentingan
masyarakat maupun kepentingan umum. Kewajiban memberikan perlindungan atas tanah
dilakukan oleh negara untuk kepentingan kemakmuran seluruh rakyat. Maka menjadi kewajiban
seluruh rakyat dibawah kekuasaan negara dalam memanfaatkan tanah harus dengan sebaik-
baiknya, tanpa menghilangkan potensi tanah sebagsi sumber daya kehidupan bersama.
Asas fungsi sosial hak atas tanah dalam hukum tanah nasional, mengandung makna
bahwa hak atas tanah apa pun yang ada pada seseorang, tidak dapat dibenarkan bahwa tanahnya
itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya,
apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus
disesuaikan dengan keadaannya dan sifat daripada haknya, sehingga bermanfaat, baik bagi
kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bagi masyarakat dan negara. Akan
tetapi dalam konteks itu, ketentuan tersebut tidak berarti bahwa kepentingan perseorangan akan
terdesak sama sekali oleh kepentingan umum dan kepentingan masyarakat UUPA memperhatikan
pula kepentingan-kepentingan perseorangan.

Penerapan Asas Fungsi Sosial Hak Atas Tanah di Indonesia


Berfungsinya sistem hukum menurut Lawrence M. Friedmann dalam tulisannya berjudul
“ Legal Culture and Social Development” dalam Jurnal Law and Society, ditentukan antara lain “
these are substantive, structure, and cultural
(substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum). Selanjutnya menurut Abdul Manan, yang
dimaksud dengan substantif adalah mencakup segala apa yang merupakan keluaran dari suatu
sistem hukum. Pengertian ini termasuk norma hukum yang berupa peraturan perundang-
undangan, doktrin-doktrin sejauh semuanya itu dipergunakan dalam proses bekerjanya hukum.
Struktural hukum adalah mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum dengan
berbagai fungsinya dalam rangka mendukung bekerjanya sistem hukum. Budaya hukum adalah
keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh tempatnya dalam
masyarakat, sebagai keseluruhan sikap dan sistem nilai yang akan menentukan bagaimana
seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat.
Berdasarkan pendapat tersebut maka untuk mengetahui penerapan asas
fungsi sosial hak atas tanah sangat penting untuk meninjaunya dari perspektif substansi hukum,
struktur hukum dan budaya hukum pada masyarakat. Hasil penelitian diketahui penerapan asas
fungsi sosial hak atas tanah ditinjau dari struktur hukum, diwujudkan dalam berbagai norma
hukum untuk melakukan pengendalian pertanahan dan pemberdayaan masyarakat.

1.5 HAK ATAS TANAH DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MINERAL DAN
BATUBARA

Menurut Undang-undang Pokok Agraria ada beberapa bentuk hak atas tanah, dan jika
dilakukan penambangan diatas hak atas tanah tersebut maka hak tersebut tidak dapat diabaikan,
karena menurut Undang-undang pertambangan bahwa hak atas penambangan bukanlah
merupakan hak atas tanah diatasnya melainkan hak untuk melakukan penambangan yang
biasanya ada ditanah bagian bawah (perut bumi) Jadi penambangan tidak dapat dilakukan apabila
hak atas tanah diatasnya belum diselesaikan. Namun hal ini dapat diselesaikan melalui
kesepakatan antara yang memiliki hak atas tanah dan yang memiliki hak atas pertambangan,
apabila kesepakatan sudah didapat barulah dapat dilakukan usaha pertambangan di wilayah
tersebut. Jadi hak atas pertambangan yang diberikan oleh pemerintah, tidaklah menghapus hak
atas tanah yang ada diatasnya. Konsepsi hukum pertanahan di Indonesia pada prinsipnya
bersumber pada naskah proklamasi dan UUD 1945. Dari naskah proklamasi dan pembukaan
UUD 1945 itu jugalah dapat diambil intisari dan pokok-pokok pikiran sebagi berikut:
1. Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah
Indonesia.
2.Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk memajukan kesejahteraaan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa Indonesia serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
3. berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
4. Kemerdekaan bangsa Indonesia harus disusun dalam suatu Undang-undang dasar.
5. Negara republik Indonesia adalah Negara yang berkedaulatan rakyat yang didasarkan pada
kelima sila dari pancasila.
Perrwujudan pokok-pokok pikiran bahwa kemerdekan bangsa Indonesia harus disusun dalam
suatu Undang-undang dasar sudah terealisasi dengan lahirnya UUD 1945 sebagai hukum dasar
tertulis yang memuat rechtsidee atau cita-cita hukum sebagaimana dimuat dalam bab umum
UUD 1945 yang terbentuk dari pokok-pokok pikiran dalam pembukaan beserta pasal-pasalnya.
Persoalan pertambangan juga tidak dapat dilepaskan dari masalah agraria, karena kegiatan
pertambangan berada didalam tanah dan untuk melaksanakan kegiatan tersebut wajib mendapat
izin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang. Usaha pertambangan dilaksanakan dalam
bentuk Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), Izin Usaha
Pertambangan Khusus (IUPK).maka apabila izin ini didapat oleh seorang pengusaha atau pihak
yang ingin melakukan usaha pertambangan, maka ini merupakan hak-hak atas pertambangan.
Izin Usaha Pertambangan diberikan oleh Bupati/walikota apabila wilayah berada di dalam satu
wilayah kabupaten/kota,jika wilayah usaha pertambangan berada pada lintas wilayah
kabupaten/kota maka izin diberikan oleh gubernur,jika wilayah pertambangan berada pada lintas
wilayah provinsi maka izin diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan rekomendasi dari
gubernur dan bupati/walikota setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Izin Usaha pertambangan dapat diberikan kepada badan usaha,koperasi ataupun perseorangan,
hal ini sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 37 dan Pasal 3812 undangundang Nomor 4
Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan BatuBara.
Dalam Pasal 135 Undang-undang Pertambangan mengatur, bahwa pemegang hak atas
pertambangan hanya dapat melaksanakan kegiatannya setelah mendapat persetujuan dari
pemegang hak atas tanah. Kemudian Pasal 136 Undang-undang Pertambangan menyebutkan:
a. Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan operasi produksi wajib menyelesaikan hak
atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Penyelesaian hak atas tanah tersebut dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK
Jadi pemegang hak atas pertambangan baru melaksanakan kegiatan eksplorasi
pertambangan apabila pemegang hak atas tanah memberikan persetujuannya. Persetujuan tersebut
dapat dalam bentuk lisan atau tertulis lazimnya berupa perjanjian oleh karena latar belakang
kegiatan pertambangan untuk kepentingan bisnis, tidak tertutup pemegang hak atas tanah
meminta imbalan dari pihak pemegang hak atas pertambangan yang besarnya sesuai dengan
kesepakatan mereka dan dimasukkan sebagai salah satu klausula dalam perjanjian. Jika pemegang
hak atas tanah meolak untuk memberikan persetujuan pihak pemegang hak atas pertambangan
tidak dapat memaksanya. Agar haknya tidak hapus atau sia-sia, pemegang hak atas pertambangan
harus dapat menyelesaikan persoalan dengan jalan damai dan mengutamakan keamanan dan
ketentraman masyarakat.
Kemudian apabila pemegang hak atas tanah memberikan persetujuan dan pemegang hak
atas pertambangan dapat melakukan eksplorasi, maka untuk melakukan eksploitasi pemegang hak
atas pertambangan harus sudah menyelesaikan masalah hak atas tanah dengan pemiliknya.
Penyelesaian hak atas tanah tersebut tidak lain dengan cara pembebasan. Pembebasan dilakukan
sesuai dengan kebutuhan luas penambangan, pemegang hak atas pertambangan tidak
membebaskan seluruh hak atas tanah yang dimiliki pemegangnya. Pembebasan hak atas tanah
dengan cara memberikan ganti rugi kepada pemegang haknya karena pada prinsipnya pemegang
hak atas tanah tidak boleh dirugikan dengan adanya kegiatan pertambangan. Biaya pembebasan
hak tersebut menjadi tanggungan pemegang hak atas pertambangan bukan atas biaya Negara
meskipun izin pertambangan dari Negara. Dengan pembebasan itu maka berakibat tanah yang
dibebaskan kembali dikuasai oleh Negara. Lokasi yang dilakukan kegiatan penambangan
statusnya sebagai tanah Negara. Konsekuensi pemegang hak atas pertambangan yang telah
melaksanakan penyelesaian pembebasan terhadap bidang-bidang tanah dapat diberikan hak atas
tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundnag-undangan,yaitu dengan mengajukan
permohonan hak atas tanah kepada kantor pertanahan setempat.

1.6 PERKEMBANGAN HAK NEGARA ATAS TANAH : MENGUASAI ATAU MEMILIKI ?

1.6.1 SEBELUM KEMERDEKAAN DAN SEBELUM REFORMASI

Sebelum kemerdekaan Indonesia, negara Hindia Belanda memiliki hak milik bersifat
privat (domain)atas tanah. Tanah-tanah yang dimiliki secara privat oleh negara Hindia Belanda
dikategorikan sebagai tanah negara. Di tahun 1870-an, pemerintah kolonial Hindia Belanda
mengundangkan beberapa perundangan di bidang agraria (Agrarisch Besluit) yang
mendeklarasikan kepemilikan negara atas tanah atau Domeinverklaring (Agrarisch Besluit
(S.1870-118), S.1875-119a,S.1874- 94f, S.1888-58). Agrarisch Besluit yang berisi
Domeinverklaring ini diundangkan seiring meningkatnya pembukaan usaha perkebunan
komersial Belanda, seperti perkebunan kopi, tembakau, teh, dan sebagainya, di Hindia Belanda.
Dengan adanya Domeinverklaring tersebut, negara Hindia Belanda menjadi pemegang hak milik
atas tanah-tanah yang tidak berada di bawah hak privat menurut hukum Belanda. Dengan kata
lain, tanah yang tidak ada alat bukti haknya menjadi tanah negara, termasuk tanah masyarakat
adat. Agrarisch Besluit yang berisi Domeinverklaring ini jelas melanggar prinsip hukum adat
yang memang tidak memiliki konsep bukti tertulis untuk kepemilikan komunal atas tanah adat
(Sumardjono, 2005: 60; von Benda Beckmann, 2008: 12; Burns, 1989; 38-39).Sebagaiakibatnya,
seluruh tanah adat jatuh menjadi hak milik negara Hindia Belanda sehingga pemerintah Hinda
Belanda dapat menggunakannya untuk kepentingan kolonialisme mereka.
Setelah kemerdekaan, berdasarkan pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945,
pemerintah Indonesia di bawah Presiden Soekarno mengundangkan Undang-undang No. 5/1960
tentang Undang-undang Pokok Agraria untuk mengatur penggunaan dan kepemilikan atas seluruh
jenis tanah, tidak hanya tanah agraris/pertanian, tetapi juga tanah perkotaan, hutan,
sawah,perkebunan, pertambangan, dan juga perairan.Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) ini
menolak konsep staatsdomein atau hak milik negara atas tanah. Dalam Penjelasan Umum Bagian
II (2) UUPA, dijelaskan bahwa pasal 33 ayat (3)UUD 1945 tidak memberikan hak pada negara
untuk memiliki tanah, tetapi hanya memberikan hak menguasai atas tanah. Menurut Penjelasan
Umum tersebut, negara diberi wewenang atau mandat oleh bangsa Indonesia untuk menguasai
bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya.

1.6.2 SETELAH ERA REFORMASI

Setelah jatuhnya pemerintahan Soeharto di tahun 1998, Indonesia memasuki era


pemerintahan Reformasi yang ditandai terutama dengan iklim kebebasan sosial dan
politik,berkurangnya dominasi pemerintah pusat, dan berkembangnya otonomi daerah.
Sudah ada 4 (empat) presiden selama era pemerintahan Reformasi ini.Walaupun telah
banyak peraturan perundang-undangan tentang tanah yang diterbitkan selama era
pemerintahan Reformasi, baik yang baru maupun yang bersifat amandemen, konsep
pemerintah tentang hak negara atas tanah masih serupa dengan konsep pemerintahan
sebelum era Reformasi.
Perbedaannya hanyalah di era pemerintahan Reformasi, yang melaksanakan hak
menguasai negara atas tanah adalah pemerintah-pemerintah daerah (pemda) di Indonesia.
Hal ini sebagai akibat dari pelaksanaan otonomi daerah di bidang pemerintahan dan
keuangan setelah era Reformasi (lihat UU No. 22/1999 yang telah diganti dengan UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU No. 25/1999 yang telah diganti dengan
UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah). Untuk meningkatan pendapatan daerah, sebagian besar pemda di
Indonesia memaksimalkan penggunaan tanah di daerah mereka untuk mengambil sumber
daya alam mereka, seperti mineral, tambang, dan minyak kelapa sawit. Pada umumnya,
pendapatan yang diperoleh dari sumber daya alam tersebut digunakan untuk mendukung
kepentingan politik pemerintah daerah yangsedang berkuasa.

1.6.3 Interpretasi tentang Hak Ulayat untuk Hutan Adat

Mahkamah Konstitusi dalam yudisial reviewnya atas Undang-undang No. 41/1999


tentang Kehutanan (Putusan No. 35/PUU-X/2012), mengingatkan negara bahwa masyarakat
hukum adat diakui dan dilindungi oleh Konstitusi, terutama dalam pasal 18B ayat (2) dan pasal
28I ayat (3). Oleh karena itu masyarakat hukum adat diakui sebagai subyek hukum sebagaimana
subyek hukum lainnya di Indonesia. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak
tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Selanjutnya, pasal 28I
ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional
dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”. Dalam putusannya tersebut,
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa mengklasifikasikan hutan adat sebagai hutan negara
(UU Kehutanan pasal 5 ayat (2) dan penjelasannya) merupakan pelanggaran hak-hak
konstitusional masyarakat hukum adat. Mahkamah Konstitusi juga memutuskan bahwa hutan adat
adalah hutan dengan status hak tersendiri dan terpisah dari hutan negara. Berdasarkan putusan
Mahkmahah Konstitusi tersebut, negara tidak dapat mengambil hutan adat dan memasukkannya
sebagai bagian dari hutan negara. Oleh karena itu, perusahaan- perusahaan swasta yang
mengusahakan hutan-hutan adat tanpa izin masyarakat pemegang hak ulayatnya harus
mengembalikan hutan-hutan adat tersebut kepada pemegang hak ulayatnya.

1.7 REKONSEPTUALISASI HAK ATAS TANAH DALAM KERANGKA PEMBAHARUAN


HUKUM TANAH NASIONAL.

Hak Membuka Tanah Dan Hak Memungut Hasil Hutan


Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan pada dasarnya belum menjadi hak
atas tanah tetapi permulaan perlekatan hubungan hukum yang apabila dilakukan pengusahaan
secara terus menerus sesuai kaedah-kaedah hukum adat potensial untuk menjadi suatu hak atas
tanah berupa hak garap bahkan dapat menjadi hak milik.
Hak-Hak Yang Bersifat Sementara
Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara yang masih dominan dalam praktek
penguasaan tanah selama ini adalah hak gadai dan hak usaha bagi hasil. Hak-hak tersebut telah
ada dalam praktek penguasaan tanah sejak lama. Menurut Teuku Saifuddin, Tokoh Masyarakat
Buloh Blang Ara, Kec. Kuta Makmur Kab. Aceh Utara, wawancara, 28 Juli 2011, bahwa ada dua
model gadai tanah;
(1) gadai tanah yang semua hasil dari tanah tersebut menjadi milik pembeli gadai, dan
tanah tersebut akan dikembalikan kepada pemiliknya ketika ditebus;
(2) gadai tanah yang hasil dari tanah
tersebut akan diperhitungkan sebagai bagian harga gadai sehingga harga tebusan
tidak seperti harga jual gadai tetapi tergantung pada hasil tanah tersebut dan lamanya
waktu gadai berlangsung.
Demikian juga halnya dengan hak usaha bagi hasil yang masih dipraktekkan oleh warga
masyarakat khususnya hak usaha bagi hasil tanah sawah. Walaupun Undang-Undang No. 2 Tahun
1960 telah mengatur mengenai bentuk, imbangan bagi hasil dan jangka waktu namun dalam
prakteknya cenderung dilaksanakan atas dasar kesepakatan para pihak, yang cenderung lebih
menguntungkan pemilik tanah.

PELAKSANAAN HAK – HAK ATAS TANAH


Uraian mengenai pelaksanaan hak-hak atas tanah dikelompokkan menjadi dua golongan,
yaitu hak-hak atas tanah yang terdaftar dan hak-hak atas tanah yang tidak terdaftar pada Kantor
Pertanahan. Hak-hak atas tanah yang terdaftar terdiri atas; hak milik, HGU, HGB, Hak Pakai dan
Hak Pengelolaan. Sedangkan hak-hak atas tanah yang tidak terdaftar terdiri atas; hak membuka
tanah dan hak memungut hasil hutan, hak-hak atas tanah yang, bersifat sementara, dan hak
ulayat.
Hak Guna Bangunan sebagaimana telah disebut terdahulu merupakan hak atas tanah
yang dapat dipunyai oleh orang perorangan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan, demikian juga hak pakai, hanya saja subjek dan
penggunaan tanah dengan status hak pakai lebih luas dibandingkan dengan HGB. Hak pakai
disamping dapat dipunyai WNI dan BHI juga dapat dipunyai oleh WNA dan Badan Hukum Asing
(BHA) yang berkedudukan di Indonesia. Selain dari itu memungkinkan juga dipunyai oleh
institusi publik (pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing dan perwakilan badan
internasional). Apabila ditinjau dari aspek penggunaan tanahnya juga lebih luas dibandingkan
dengan HGB atau sama dengan penggunaan tanah dengan status hak milik, yaitu dapat untuk
penggunaan dibidang pertanian dan juga dapat untuk bidang nonpertanian. Karena itu dapat
dipahami bahwa substansi hak pakai telah mengakomodir substansi HGU dan HGB.
Hak pengelolaan merupakan hak penguasaan atas tanah yang unik. Dikatakan unik
karena penguasaan tanah dengan status hak pengelolaan memungkinkan pemegang haknya untuk
memberikan bagian-bagian tanah hak pengelolaan dengan suatu hak tertentu (HGB dan Hak
Pakai) kepada pihak lain disamping menggunakannya untuk kepentingan pelaksanaan tugas
institusi pemegang hak, namun demikian ketentuan tersebut tidak konsisten dengan prinsip hak
menguasai negara, yang pada dasarnya kewenangan pemberian hak atas tanah berada pada negara
atau pemerintah sebagai pemegang hak menguasai negara bukan sebagai subyek hak atas tanah.

Konsepsi Hak Atas Tanah


Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukan bahwa hak atas tanah yang terdaftar
meliputi; Hak Milik, HGU, HGB, Hak Pakai dan HPL maka pembahasan konsepsi hak atas tanah
dibatasi pada hak-hak yang terdaftar tersebut.
Terkait dengan konsep hak milik, Aslan Noor (2006: 318) membedakan tiga konsep hak
milik, yaitu; (1) konsep hak atas tanah milik individu (perorangan), (2) konsep hak atas tanah
milik badan hukum privat (badan hukum perdata), dan (3) konsep hak atas tanah milik publik
(instansi pemerintah). Dalam perundang-undangan di bidang pertanahan memang dimungkinkan
badan hukum (privat) tertentu untuk mempunyai hak milik bahkan badan-badan sosial
keagamaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 49 UUPA. Terhadap masing-masing jenis hak
milik tersebut diperlukan pengaturan lebih tegas karena mempunyai karakteristik tersendiri.
Hak Guna Usaha dan HGB merupakan konsep hak atas tanah yang tidak bersumberkan
pada hukum adat namun penciptaannya dipandang dapat mengakomodir kebutuhan masyarakat
modern. Namun demikian Herman Soesangobeng (2012: 282) menyebutkan bahwa konsep HGU
dan HGB mirip dengan konsep ”erfpacht” dan ”recht van opstal” yang berkonsepsi keagrarian
Burgerlijke Wetboek/KUH Perdata yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh UUPA. Karena itu
HGU dan HGB harus diubah menjadi hak pakai menurut filosofi, asas dan ajaran hukum
pertanahan adat Indonesia yang diterjemahkan dan ditafsirkan secara kontemporer.
Kenyataan mengindikasikan bahwa penguasaan tanah dengan status HGU cenderung
menimbulkan ketimpangan penguasaan tanah karena diberikan peluang penguasaan tanah dengan
luasan yang relatif tidak terbatas. Karena itu pembatasan luasan maksimum dengan
memperhatikan kebutuhan dan ketersediaan lahan petanian merupakan salah satu alternatif
disamping alternatif mengubah hak tersebut menjadi hak pakai. Pengaturan hak pakai dalam
ketentuan perundang-undanga dipandang masih relefan, disamping bersumberkan pada konsepsi
hukum pertanahan adat juga responsif terhadap kebutuhan tanah bagi institusi publik dan orang
asing yang berada di Indonesia. Hanya saja sebagian pihak masih memandang bahwa hak pakai
merupakan hak atas tanah yang kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan HGU dan
HGB.
Hak Pengelolaan dipandang sebagai suatu hak atas tanah yang unik, mendua antara
sebagai hak atas tanah atau hanya kewenangan yang bersifat publik. Karena itu dipandang perlu
ditinjau kembali. Apabila ingin diposisikan sebagai hak atas tanah maka perlu ditempatkan dalam
struktur hak atas tanah yang mempunyai kesamaan konsep sebagai suatu hak atas tanah dan
sekaligus terdapat perbedaan antara satu hak dengan hak lainnya. Apabila ditetapkan sebagai
kewenanagan yang bersifat publik maka pengaturannya harus konsisten dengan konsep hak
menguasai negara.

1.8 ASPEK HUKUM HAK PAKAI ATAS TANAH NEGARA SEBAGAI OBJEK JAMINAN.

1.8.1 Hak Pakai Sebagai Objek Jaminan


Pengaturan tentang tanah sebagai Jaminan termasuk ke dalam kewenangan negara dalam
menentukan dan mengatur hubungan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Pasal 51 UU No. 5 tahun 1960
telah mengatur tentang bentukbentuk hak atas tanah yang dapat dijadikan objek jaminan berupa
hak tanggungan. Pasal 51 UUPA menyebutkan: “hak tanggungan yang dapat dibebankan pada
hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur
dengan Undangundang”.
Pasal 57 UUPA menyatakan bahwa selama undang-undang mengenai hak tanggungan
tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan
mengenai hipotik dalam KUH Perdata. KUH Perdata menganut asas accessi, yang dapat
diketahui, antara lain, dari benda-benda yang dapat dibebani dengan hipotik menurut Pasal 1164
KUH Perdata:
1. Barang-barang tak bergerak yang dapat diperdagangkan, beserta semua yang
termasuk bagiannya, sejauh hal yang tersebut terakhir ini dianggap sebagai barang tak
bergerak;
2. Hak pakai hasil barang-barang itu dengan segala sesuatu yang termasuk bagiannya;
3. Hak numpang karang dan hak usaha;
4. Bunga tanah yang terutang, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk hasil
tanah;
5. Hak sepersepuluhan;
6. Pasar atau pekan raya, yang diakui oleh pemerintah, beserta hak istimewanya yang
melekat.
Semenjak tahun 1996, ketentuan-ketentuan tentang hipotik berkaitan dengan tanah yang
diatur KUH Perdata tidak berlaku lagi, karena Indonesia telah mempunyai undang-undang yang
mengatur tentang lembaga jaminan berkaitan dengan tanah yaitu UU No. 4 tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Memperhatikan
isi Pasal 51 UUPA, maka hanya 3 (tiga) bentuk hak atas tanah yang dapat dibebani dengan hak
tanggungan. Di dalam UU No. 4 tahun 1996, bentuk hak tersebut diperluas, yaitu dengan
menjadikan hak pakai atas tanah negara sebagai salah satu bentuk hak yang dapat dibebani
dengan hak tanggungan (Pasal 4 ayat (2) UU No. 4 tahun 1996). UUPA tidak menganut asas
accessi tetapi mengenal asas horizontalescheiding. Menurut Sri Soedewi Masjchun Sofwan
(1974: 15) menjadikan hak guna usaha dan hak guna bangunan (Pasal 51 UUPA) sebagai objek
hak hipotik atau credietverband adalah bertentangan dengan asas yang dianut di dalam UUPA.
Tentunya hal itu tidak jauh berbeda dengan menjadikan hak pakai atas tanah negara sebagai objek
hak hipotik.

Pada hak pakai sebagai objek jaminan, maka di sini terlihat adanya pemisahan vertikal
antara tanah dengan bangunan atau tanaman yang ditanam di atas tanah tersebut. Dinyatakan ada
pemisahan vertikal adalah karena isi dari hak pakai atau kewenangan privat yang terdapat pada
hak pakai yaitu hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil. Berdasarkan kewenangan
privat tersebut, maka sudah barang tentu yang dijadikan jaminan adalah semua yang menjadi
kewenangan (hak) privat tersebut, sementara tanahnya sendiri apabila telah habis masa berlaku
hak pakai akan kembali menjadi tanah negara. Dengan menjadikan hak pakai sebagai objek hak
tanggungan, maka terjadi insinkronisasi antara UUPA dengan UU No. 4 tahun 1996 dan PP No.
40 tahun 1996. Berkaitan dengan menjadikan hak pakai sebagai objek jaminan ini, maka hak
pakai yang dapat dijadikan sebagai objek jaminan adalah hak pakai privat. Pembebanan hak pakai
publik dengan hak tanggungan, kiranya akan berarti menjadikan tanah negara sebagai objek
jaminan utang, karena jika tanah tersebut tidak dipakai lagi akan kembali menjadi tanah negara
atau dikembalikan kepada pemerintah.

1.8.2 Aspek-aspek Hukum Hak Pakai Tanah Negara Sebagai Jaminan

 Hukum Benda

Di dalam ketentuan tentang jaminan yang diatur di dalam KUH Perdata, hanya benda
tetap yang dapat dibebani dengan hipotik. Pada mulanya Hak Pakai dikategorikan ke dalam
kelompok benda bergerak. Hal ini antara lain dapat diketahui dan putusan Mahkamah Agung No.
372K/Sip/1972 dalam kasus Lo Ding Siang dan di dalam peraturan perundang-undangan.
Pandangan terhadap hak pakai sebagai benda bergerak ini telah mewarnai polemik dan
mendorong timbulnya pelbagai pendapat. Sri Soedewi Masjchun Sofwan secara implisit
mendukung pendapat Mahkamah Agung tersebut, dengan menyatakan bahwa terhadap hak pakai
hendaknya dapat diadakan fidusia. Pandangan ini kemudian diperkuat oleh Pasal 12 ayat (1) b
UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah susun. Pada Pasal 12 UU No. 16 tahun 1985 secara tegas
dinyatakan bahwa hanya hak milik atau hak guna bangunan yang dapat dibebani dengan hipotik.
Secara lengkap Pasal 12 ayat (1) b berbunyi:

“Rumah susun berikut tanah tempat bangunan itu berdiri serta benda lainnya yang merupakan
satu kesatuan dengan tanah tersebut dapat dijadikan jaminan hutang dengan:

a. dibebani hipotik, jika tanahnyaa adalah tanah hak milik atau hak guna bangunan;

b. dibebani fidusia, jika tanahnya tanah hak pakai atas tanah negara;

Dengan dijadikan hak pakai atas tanah negara menjadi objek fidusia berarti hak pakai termasuk
ke dalam kategori benda bergerak, namun kemudian di dalam UU No. 4 tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (disingkat dengan
UUHT), hak pakai atas tanah negara, dimasukkan ke dalam kategori benda tetap. Hal itu terlihat
dan hak pakai dapat dibebani dengan hak tanggungan (terjemahan atau bahasa Indonesia untuk
terminologi hipotik yang dikenal di dalam KUH Perdata).

 Kewarganegaraan

Pembicaraan tentang kewarganegaraan adalah dalam kaitannya dengan Subjek Hak


Pakai. UUPA menganut adanya pemisahan yang tegas antara warga negara, dari bukan warga
negara di dalam melakukan pemberian dan pengakuan hak atas tanah. Hubungan antara bangsa
Indonesia dengan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
merupakan hubungan yang abadi dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmunan rakyat
dalam anti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dari negara hukum
Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur, sehingga hak menguasai dan negara tidak dapat
dilepaskan kepada bangsa asing atau sebagian diberikan kepada bangsa asing. Asas nasionalitas
yang dianut di dalam UUPA, pada sejarah perjalanan pembangunan dirasakan oleh beberapa
kalangan terutama pebisnis sebagai kendala di dalam mengembangkan usahanya di Indonesia.
Bagi pebisnis Indonesia, terutama dalam bidang properti, dirasakan sebagai hambatan di dalam
memasarkan rumah dan bangunan yang telah dibangun, sementara bagi pebisnis asing dirasakan
sebagai hambatan di dalam mendapatkan tempat tinggal atau tempat usaha. Sebaliknya dengan
adanya asas nasionalitas tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap kepentingan rakyat
dan hangsa Indonesia dalam menikmati kehidupan yang layak di negara dan di antara bangsanya
sendiri.
Sebelum diberlakukan PP No.40 tahun 1996, kendala tersebut sering diterobos dengan
menggunakan pelbagai perangkat hukum bahkan dilakukan dengan penyelundupan hukum.
Penggunaan perangkat hukum di antaranya adalah dalam bentuk Sewa menyewa dengan jangka
waktu yang tidak terbatas dengan harga sewa yang sama dengan harga beli. Penggunaan lembaga
sewa tersebut di antaranya dilakukan dengan menggunakan anjak piutang (factoring).
Penyelundupan hukum kadangkala dilakukan dengan menggunakan stromen dan strowomen, atau
dengan menggunakan lembaga perkawinan, di mana isteri atau suami yang warganegara
Indonesia yang bertindak sebagai pembeli. Dengan diberlakukannya PP No. 40 tahun 1996 yang
memperluas subjek hukum hak pakai, maka permasalahan hukum yang timbul lebih lanjut adalah
“apakah semua subjek hukum hak pakai dapat menjadi suhjek hukum pada hak tanggungan”.
Permasalahan ini tidak hanya dapat dijawab dengan singkat dari pilihan “ya” dan “tidak”, karena
didalamnya terkandung politik hukum pertanahan dan pembangunan ekonomi Indonesia. Bila
mengacu kepada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, maka jelas-jelas dinyatakan bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi Indonesia harus digunakan untuk sebesarbesarnya
kemakmuran rakyat Indonesia. Dengan memperluas berlakunya hak pakai kepada pihak asing, ini
berarti bahwa warga negara Indonesia harus mampu bersaing dengan warga negara asing Untuk
mendapatkan kesempatan memiliki hak pakai atas tanah yang dikuasai langsung oleh negaranya.

 Perumahan

Permasalahan pemukiman terutama di daerah perkotaan merupakan permasalahan yang


sangat dirasakan perlu mendapatkan perhatian serius. Dari proyeksi penduduk perkotaan yang
telah dilakukan, dinyatakan pada akhir abad ke-20 terdapat 51% penduduk dunia akan bermukim
di daerah perkotaan (Philip M. Hauser, 1985). Dari sejumlah permasalahan perkotaan,
permasalahan perumahan merupakan permasalahan yang sangat perlu mendapat perhatian. Untuk
itu pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 35 tahun 1974 telah membentuk
Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional yang kemudian diubah dengan Keputusan Presiden
No. 8 tahun 1985 dan Keputusan Presiden No. 8 tahun 1989. Dengan Peraturan Pemerintah No.
29 tahun 1974 di bentuklah suatu Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional yang
kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1988. Perusahaan Umum
Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas) ini dibentuk dalam rangka penyediaan
perumahan bagi masyarakat terutama golongan ekonomi menengah ke bawah.

 Penanaman Modal
Tanah merupakan faktor modal yang permanen dan sangat diperlukan sebagai tempat
bagi kegiatan usaha perekonomian. Di samping itu, tanah juga dapat dijaminkan untuk
mendapatkan modal lancar. Dalam rangka penyediaan modal bagi pembangunan, khususnya
dalam bidang ekonomi, pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan penanaman modal di
Indonesia berupa Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing. Penanaman
Modal Asing diatur dengan UU No. 1 tahun 1967 dan Penanaman Modal Dalam Negeri diatur
dengan UU No. 6 tahun 1968. Dengan kedua undang-undang, badan hukum asing dimungkinkan
menanamkan modalnya di Indonesia. Terhadap kedua bentuk penanaman modal ini,
ketentuanketentuan baik tentang penanaman modal maupun di dalam ketentuan yang berkaitan
dengan jaminan tentang tanah tidak diatur adanya larangan untuk menjadikan tanah yang dimiliki
oleh orang dan badan hukum asing yang berkedudukan di Indonesia sebagai objek hak
tanggungan. Hal ini berarti bahwa badan hukum dan orang asing dapat membebani hak pakai atas
tanah negara yang dimilikinya dengan hak tanggungan.

 Eksekusi dan Pelelangan

Hak Tanggungan hapus jika hak atas tanah yang dibebaninya hapus. Hapusnya hak pakai
atas tanah negara dapat terjadi karena jangka waktu berlakunya telah berakhir, pencabutan hak,
hak dilepaskan oleh pemegangnya atau tidak digunakan lagi sebagaimana peruntukannya.
Hapusnya hak pakai berarti hilangnya jaminan atas piutang kreditur dan bersamaan dengan
hapttsnya hak pakai debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya karena pailit. Dalam keadaan
demikian eksekusi dan pelelangan tidak dapat dilakukan, karena hak atas benda yang dijadikan
jaminan telah hapus. Mengingat isi dari hak pakai adalah hak memungut hasil dan memanfaatkan
tanah, maka eksekusi hanya dapat dilakukan sebatas hak yang dipunyai oleh subjek hukum hak
pakai yang dijaminkan atau yang dibebani hak tanggungan tersebut (Nemo plus iuris in alium
transfere potest quam ipse habet).

 Hukum Perbankan

Salah satu faktor yang kiranya menjadi penyebab kredit macet adalah besarnya nilai
jaminan yang tidak sebanding dengan pinjaman. Di dunia perbankan umumnya dianut konsep
penilaian terhadap barang jaminan paling tinggi 80% dari nilai jaminan, dari besarnya pinjaman
dapat diberikan adalah 80% dari nilai jaminan. Penetapan nilai jaminan atas benda yang akan
dijadikan objek hak tanggungan belum ada acuan yang jelas dan belum memperhitungkan nilai
dari hak yang dimiliki oleh seorang pemegang hak, sehingga sanksi terhadap pelanggaran
mengenai penetapan nilai jaminan tidak dapat diberikan. UUPA menganut asas pemisahan
horizontal, hal ini berarti bahwa nilai barang jaminan, adalah sebesar hak yang dimiliki oleh
pihak yang menjaminkan. Di dalam hal hak pakai atas tanah negara, dengan adanya batas waktu
penggunaan, maka sudah barang tentu nilai jaminan atas hak pakai tersebut akan berkurang
dengan berjalannya waktu hak. Seharusnya nilai yang dapat diperhitungkan untuk menetapkan
besamya jaminan adalah nilai sepanjang batas sisa waktu hak pakai tersebut bukan berdasarkan
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nilai jual atas tanah tersebut.

Konsep dasar perhitungan tersebut akan sangat mempengaruhi perjalanan bisnis


perbankan. Hal itu dapat diketahui dari berapa banyak kredit macet yang dialami oleh perbankan.
Kalaupun ada jaminan, tetapi karena pada saat pemberian kredit permasalahan jangka waktu dan
nilai riel dari barang jaminan kurang memperhatikan asas pemisahan horizontal yang dianut oleh
UUPA, maka akhirnya kredit tersebut menjadi kredit yang tak tertagih. Walaupun keberadaan hak
tanggungan sebagai salah satu hak yang harus didahulukan, namun bila hal itu dihadapkan kepada
keadaan bahwa objek hak tanggungannya telah hapus dan jatuh menjadi tanah di bawah
penguasaan negara, maka kedudukan kreditur akan tetap berada pada pihak yang Iemah.
Kepentingan negara sehagai pemegang hak menguasai dari tanah tersebut juga harus
diperhatikan, maka tentunya kepentingan negara akan lebih diutamakan dari pada kepentingan
swasta, terutama jika tanah tersebut akan digunakan untuk kegiatan pembangunan tempat-tempat
yang berkaitan dengan kepentingan umum.

 Administrasi

Pengaturan tentang pendaftaran hak tanggungan akan berkaitan erat dengan hak
tanggungan atas hak pakai atas tanah negara. Di dalam Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, pendaftaran hak tanggungan atas hak
pakai atas tanah negara secara inklusif termasuk ke dalam ketentuan tentang pendaftaran Hak
Tanggungan yang objeknya berupa hak atas tanah aan sichi. Hak Pakai atas tanah negara
mempunyai karakter tersendiri, yang apabila dibebani oleh hak tanggungan perlu dikaji secara
jeli. Hal itu menjadi penting apabila kita dihadapkan kepada keadaan “Pailit”, yaitu apabila
debitur yang mengagunkan tanah Hak Pakai Atas Tanah Negara jatuh pailit, maka tanah tersebut
tentu akan menjadi objek sita; sementara itu tanah bukan merupakan kewenangan pnivat dan
pemilik hak pakai. Permasalahan administrasi yang tidak pernah disinggung tersebut dapat
berakibat kehancuran pada pemberi kredit yang umumnya perbankan adalah berkaitan dengan
penetapan nilai agunan atas tanah hak pakai. Nilai agunan umumnya diperhitungkan berdasarkan
NJOP atau nilai jual riel dari hak pakai tersebut, sementara yang menjadi hak dari pemegang hak
pakai atas negara hanyalah benda yang dibangun atau yang ditanam di atas tanah tersebut.

1.9 PENGUASAAN TANAH NEGARA OLEH MASYARAKAT SEKITAR BANTARAN


SUNGAI ACEH (Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Besar)

Hak Menguasai dari Negara meliputi semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia,
baik tanah-tanah yang tidak atau belum maupun yang sudah ada hak di atasnya dengan
hak-hak perorangan. Tanah-tanah yang dimiliki dengan hak perorangan oleh UUPA disebut
tanah-tanah yang kuasai tidak langsung oleh negara. Untuk menyingkat pemakaian kata-kata,
dalam praktik Administrasi digunakan sebutan tanah negara. Sudah barang tentu dalam arti
yang berbeda benar dengan sebutan “tanah negara” dalam arti “landsdomein” atau “milik
negara” dalam rangka domeinverklaring. Tanah- tanah yang sudah dipunyai dengan hak-hak atas
tanah primer, disebut tanah- tanah hak dengan nama sebutan haknya, misalnya tanah Hak Milik,
tanah Hak Guna Usaha dan lain-lainnya. Dengan berkembangnya Hukum Pertanahan Nasional
lingkup pengertian tanah-tanah yang didalam UUPA di sebut tanah-tanah yang dikuasai
langsung oleh negara, yang semula disingkat dengan sebutan tanah- tanah negara itu.. mencakup
semua tanah yang dikuasai oleh negara, diluar apa yang disebut dengan tanah-tanah hak. Dalam
rangka Hak Bangsa dan Hak Menguasai dari Negara, tidak ada tanah yang merupakan “res
nullius”, yang setiap orang dengan leluasa dapat menguasai dan menggunakannya.
Menguasai tanah tanpa ada landasan haknya yang diberikan oleh negara atau tanpa izin pihak
yang mempunyainya tidak dibenarkan, bahkan diancam dengan sangsi pidana.
Tanah negara yang dimohon menjadi tanah hak milik betul-betul merupakan tanah
Negara bebas. Sungai lamnyong merupakan bukan sungai besar, tetapi merupakan drainase
kota banda Aceh dan Aceh Besar sebelah utara. Tanah disekitar sempadan sungai Krueng Aceh
adalah tanah negara yang langsung dibawah penguasaan Pemerintah Kota Banda Aceh , di atas
tanah tersebut tidak ada satupun hak yang dipunyai oleh pihak lain selain Pemerintah Aceh dan
pengelolaannya diserahkan kepada Dinas Pekerjaan Umum. Tanah di sekitar Sungai Aceh yang
masuk wilayah Kelurahan Gilingan tadinya merupakan lereng tanggul yang ditanami pisang dan
rumput kolonjono (rumput gajah). Jadi wilayah tersebut belum terdaftar di Badan Pertanahan
Nasional. Wewenang Pemerintah Aceh berdasarkan Pasal 3, Perment PU No. 63/PRT/1993
Tentang Garis Sempadan Sungai, Daerah Manfaat Sungai, Daerah Penguasaan Sungai dan Bekas
Sungai, bahwa: "Lingkup pengaturan yang tercantum pada Peraturan Menteri ini terdiri dari
a. penetapan garis sempadan sungai termasuk danau dan waduk; b. pengelolaan dan pemanfaatan
lahan pada daerah manfaat sungai; c. pemenfaatan lahan pada daerah penguasaan sungai; dan
pemanfaatan lahan pada bekas sungai." Sehingga penguasaannya dimiliki oleh Pemerintah Aceh.

1.10 ANALISA YURIDIS HAK MENGUASAI DARI NEGARA ATAS TANAH MENURUT
UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960
TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA (Lembaran Negara 1960.
Nomor : 104, Tambahan Lembaran Negara 2043 )

1.10.1 Sejarah Hak Penguasaan Atas Tanah Oleh Negara


Pada zaman dahulu ketika penduduk bumi masih jarang manusia bebas mengusai tanah
yang dianggapnya subur untuk bercocok tanam dan beraktifitas. Seiring dengan perkembangan
zaman, pada masa pemerintahan kerajaankerajaan dahulu di nusantara rakyat juga bebas
membuka lahan dan mengusahai tanahnya atas seizin dari Raja/sultan. Pada masa itu Sultan/raja
memang memilki otoritas yang relatif besar atas tanah. Menurut Soemarsaid Martono
sebagaimana dikutip oleh Soeprijadi, “raja mempunyai dua hak atas tanah. Pertama, berupa hak
politik atau hak publik yang mengatur dan menetapkan masalah luas daerah dan batas-batas
kekuasaannya. Kedua, adalah hak untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat”.
Sebelum diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), pendahulu kita yang
hidup di zaman kerajaan pun sudah mengenal mengenai hak milik atas tanah. Hukum adat
sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia asli mempunyai ciriciri sebagai suatu
sistem hukum dan dapat dibedakan dengan sistem hukum yang lainnya. Sebagai hukum yang
hidup dalam masyarakat, hukum adat cenderung mempunyai pengaruh penting dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, sehingga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan nasional,
sudah seharusnya memperlihatkan hukum adat. Keberagaman hukum adat tidak boleh menjadi
penghambat pembangunan hukum nasional, karena dalam keberagaman tersebut terdapat konsep,
asas dan lembaga hukum yang relatif sama. Sistem hukum adat bersendikan dalam pikiran
bangsa Indonesia, yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum Barat.
Untuk dapat memahami sistem hukum adat, maka harus menyelami dasar-dasar alam pikiran
yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Hukum adat mempunyai sifat dinamis, ia dapat
mengikuti perkembangan masyarakat yang membutuhkan perubahan-perubahan. Disamping itu
hukum adat juga bersifat elastis yang berarti pula bahwa, hukum adat dilaksanakan dengan
memperhatikan hal-hal yang bersifat khusus dalam suatu peristiwa tertentu sebagai suatu masalah
hukum. Hal ini disebabkan karena hukum adat berpangkal pada asas-asas yang menentukan
hukum dalam garis besarnya saja, sehingga ia dapat dipelihara secara elastis. Hukum adat yang
berupa konsep dan asas serta lembaga hukum, akan menjadi sumber utama dalam pembentukan
hukum tanah nasional, sedangkan norma-norma hukum adat dari berbagai daerah akan menjadi
sumber pelengkap, terutama dalam menyelesaikan persoalanpersoalan konkrit. Pengakuan hukum
adat yang beraneka ragam sebagai sumber hukum agraria nasional, telah menempatkan pada
kedudukan istimewa, bahwa hukum adat diterima sebagai dasar hukum agraria nasional tetapi
dengan pembatasan-pembatasan.

1.10.2 Konsep Hak Menguasai Menurut Hukum Adat


Konsepsi yang mendasari hukum tanah nasional adalah konsepsinya hukum adat, yaitu
konsepsi yang religius, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual, dengan hakhak
atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Sifat komunalistik
religius dari konsepsi hukum tanah nasional ditunjukan oleh Pasal 1 ayat (2) UUPA, yang
menyatakan bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan Yang maha
Esa, adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.
Unsur religius konsepsi ini ditunjukan oleh pernyataan Pasal 1 ayat (2) UUPA. Dalam konsepsi
hukum adat sifat keagamaan hak ulayat masih belum jelas benar, dengan rumusan bahwa, tanah
ulayat sebagai tanah bersama adalah peninggalan nenek moyang atau sebagai karunia sesuatu
kekuatan yang ghaib. Dengan adanya sila ketuhanan yang maha esa maka dalam hukum tanah
nasional, tanah yang merupakan tanah bersama bangsa Indonesia, secara tegas dinyatakan sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian sifat religiusnya menjadi jelas benar.29 Dengan
pengertian demikian maka hubungan Bangsa Indonesia dengan bumi air dan ruang angkasa
Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat, yang diangkat pada tingkatan yang paling
atas, yaitu tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara
Dalam rangka membangun hukum tanah nasional, hukum adat merupakan sumber utama
untuk memperoleh bahan-bahannya, yang berupa norma-norma hukum yang dituangkan dalam
peraturan Perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis, merupakan hukum tanah nasional
yang positif yang tertulis. Fungsi hukum adat sebagai sumber yang utama dalam pembangunan
hukum tanah nasional inilah yang dimaksudkan dalam konsideran, bahwa hukum tanah nasional
berdasarkan atas hukum adat. Pernyataan mengenai hukum adat dalam UUPA dapat kita jumpai
dalam penjelasan umum angka III UUPA yang menyatakan bahwa, dengan sendirinya hukum
agraria yang baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum daripada rakyat banyak.Oleh karena
rakyat Indonesia sebagian besar tunduk pada hukum adat, maka hukum agraria baru tersebut akan
didasarkan pula pada ketentuanketentuan hukum adat itu. Selain pada penjelasan umum tersebut
juga disebutkan dalam Pasal 5 UUPA yang menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku atas
bumi, air dan ruang-angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturanperaturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan
perundang-undangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
pada hukum agama.

1.10.3 Pentingnya Pembentukan Undang-undnag pokok agraria


Didalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk
perekonomiannya, terutama masih bercorak agraria, bumi, air dan ruang angkasa, sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat penting untuk membangun masyarakat yang
adil dan makmur sebagai yang kita citacitakan. Dalam pada itu hukum Agraria yang berlaku
sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun
masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata bahkan sebaliknya, dalam banyak hal justru
merupakan penghambat dari pada tercapainya cita-cita diatas. Hal itu disebabkan terutama:
a) karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan
tujuan dan sendir-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi
dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara
didalam melaksanakan pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan
revolusi nasional sekarang ini;
b) karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum agraria
tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan
dari hukum-adat disamping peraturan-peraturan dari dan yang didasarkan atas
hukum barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai masaalah antar golongan
yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan Bangsa;
c) karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian
hukum.
Berhubung dengan itu maka perlu adanya hukum agraria baru yang nasional, yang akan
mengganti hukum yang berlaku sekarang ini, yang tidak lagi bersifat dualisme, yang sederhana
dan yang menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum agraria yang baru itu harus memberi kemungkinan akan tercapainya fungsi bumi,
air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksudkan diatas dan harus sesuai pula dengan
kepentingan rakyat dan Negara serta memenuhi keperluannya menurut permintaan zaman dalam
segala soal agraria. Lain dari itu hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada
azas kerokhanian, Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus
merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara
republic Indonesia dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara yang tercantum didalam
Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan ditegaskan didalam Pidato
Presiden tanggal 17 Agustus 1960. Berhubung dengan segala sesuatu itu maka hukum yang baru
tersebut sendi-sendi dan ketentuan-ketentuan pokoknya perlu disusun didalam bentuk undang-
undang, yang merupakan dasar bagi penyusunan peraturan-peraturan lainnya.
Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin meningkat berpengaruh
terhadap merebaknya angka kemiskinan dan pengangguran di pedesaan tidak terlepas dari faktor
kebijakan pertanahan tiga dekade terakhir ini, yang diorientasikan untuk mendukung kebijakan
makro ekonomi nasional yang lebih mengejar pertumbuhan ekonomi semata. Kebijakan
pertanahan bukannya didasarkan atas penataan aset produksi terlebih dahulu, akan tetapi langsung
diarahkan kepada upaya peningkatan produktivitas. Akibat orientasi pembangunan semacam ini,
maka rakyat kecil pun semakin terpinggirkan, misalnya petani yang tadinya memiliki tanah
berubah menjadi petani penggarap dan akhirnya menjadi buruh tani.
Kesemua permasalahan ini pada intinya dapat dijelaskan dari bagaimana proses
peruntukan, penatagunaan dan alokasi pemanfaatan dari sumber-sumber agraria yang dilakukan
pemerintah. Secara khusus bisa dicatat bahwa pengadaan sumber-sumber agraria ternyata lebih
sering diperuntukkan kepada segolongan masyarakat yang bermodal besar dan untuk jenis
pemanfaatan dengan skala besar. Sementara dipihak lain, komunitas lokal seringkali justru
merasa disingkirkan dan bahkan dihilangkan hakhaknya terhadap penguasaan serta pemanfaatan
sumber-sumber agraria yang selama ini melekat dalam kehidupan mereka. Kebijakan pemerintah
semacam ini didasari asumsi bahwa mereka yang memiliki modal besar diyakini akan mampu
mendorong tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, yang pada gilirannya akan dapat
meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak (trickle down effect); suatu asumsi linier dan naif
yang tidak pernah terbukti.
BAB III
KESIMPULAN
1.1 Dengan tidak diaturnya secara khusus Hak Ulayat sebagai dasar penetapan tanah adat
dalam konsep yang jelas di dalam peraturan perundangundangan organik di bidang
pertanahan, maka kepemilikan tanah adat sangat lemah secara yuridis walaupun eksistensinya
ada. Tidak jelasnya batasan pengertian tanah negara sering mengakibatkan sengketa tanah
yang merugikan masyarakat karena kepemilikan tanah adat yang karena proses perkembangan
wilayah desa menjadi perkotaan dan mempunyai nilai ekonomis sering diserobot institusi kuat
yang berdalih untuk kepentingan umum

SARAN
Kiranya perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan organik di bidang pertanahan
masalah kepemilikan tanah adat agar mempunyai kekuatan kepemilikan sebelum diproses
menurut proses hukum positif pertanahan. Dan Agar dibuat aturan perundangundangan yang
baru mengenai batasan pengertian tanah negara sehingga tidak menimbulkan ketidak pastian
hukum yang sering dimanfaatkan institusi yang kuat untuk memonopoli penguasaan tanah di
suatu wilayah tertentu.

1.2
1.3 Kriteria untuk menentukan tanah atau lahan tanah telah diterlantarkan, baik berdasarkan
Hukum Adat, Hukum Islam, UUPA, PP No 36 Th 1998 maupun juga PP No 11 Th 2010 secara
substansial adalah sama yaitu :
a) Obyek tanah terlantar meliputi hak atas tanah, Hak Pengelolaan dan tanah yang
mempunyai dasar penguasaan atas tanah;
b) Tanah-tanah tersebut tidak diusahakan, tidak dipergunakan atau tidak dimanfaatkan
sesuai dengan keadaannya, atau sifat dan tujuan pemberian haknya atau dasar
penguasaannya;
c) Oleh karena itu tanah harus dipelihara.
Untuk menentukan apakah suatu bidang atau lahan tanah telah dinyatakan terlantar maka
hanya menurut Hukum Adat digunakan kriteria jangka waktu tertentu.

1.4 Secara teori asas fungsi sosial hak atas tanah pada hakekatnya mengandung makna
adanya pengakuan atas kepentingan perorangan, kepentingan sosial dan kepentingan umum atas
tanah berdasarkan prinsip reforma agraria dan hak asasi manusia (HAM). Asas fungsi sosial hak
atas tanah memberi kewenangan kepada pemilik hak untuk mempergunakan kepemilikan atas
tanah dalam batas-batas yang ditentukan oleh hukum, dengan memperhatikan kepentingan
masyarakat dan negara.
Landasan yuridis asas fungsi sosial hak atas tanah, didasarkan pada Pasal 6 UUPA yang
merupakan pencerminan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sebagai
ketentuan yang menegaskan pentingnya perlindungan tanah bagi sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Selain itu juga dilandasi Pasal 28 H ayat(4) UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) pada Pasal 36 ayat (1) dan 37 ayat (1),
serta Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi, Social dan Budaya). Asas fungsi sosial hak atas tanah mengandung prinsip yang
diwujudkan dalam berbagai norma hukum untuk memberikan pengakuan hak atas tanah, yang
menjamim kemanfaatan tanah baik sebagai social asset dan capital asset berdasarkan Pancasila.
Secara substansi hukum asas fungsi sosial hak atas tanah diwujudkan dalam berbagai
norma hukum, walaupun secara khusus tidak ada namun dijabarkan dalam berbagai aturan
tentang landreform, konsolidasi tanah, redistribusi tanah,penertiban tanah-tanah terlantar, dan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum.Secara struktur hukum asas fungsi sosial hak atas
tanah telah diterapkan melalui berbagai kebijakan pemerintah dalam hal ini BPN, untuk
melakukan pengendalian pertanahan yang menjamin keseimbangan antara kepentingan
perorangan, kepentingan sosial, dan kepentingan umum atas tanah melalui. Pengendalian
pertanahan dengan memberikan perlindungan hak-hak warga negara atas tanah, melalui program
reforma agraria, dengan melaksanakan asset reform dan akses reform khususnya bagi rakyat tidak
mampu dan petani. Penerapan asas fungsi sosial dalam tinjauan budaya hukum, telah dilakukan
upaya pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan Pokmasdartibnah (Kelompok Masyarakat
Sadar Tertib Pertanahan) oleh BPN, untuk membentuk kesadaran masyarakat tentang pentingnya
menjaga tanah sebagai fungsi sosial. Selain itu juga adanya partisipasi masyarakat dari
Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) dengan membentuk Desa Damara yang memiliki
kesadaran untuk melakukan usaha atas sumber daya agraria yang berkeadilan. Pembentukan
Pokmasdartibnah maupun Desa Damara merupakan wujud dari penerapan asas fungsi sosial hak
atas tanah yang berorientasi pada pemanfaatan tanah sebagai social asset dan capital asset untuk
sebesar-besar kemakmuran bersama. Penerapan asas fungsi sosial hak atas tanah terwujud apabila
(1) tanah bisa memberikan manfaat bagi rakyat; (2) tercapaianya pemerataan dalam pemanfaatan
tanah; (3) adanya partisipasi rakyat dalam memelihara kemanfaatan tanah; dan (4) perlindungan
hak-hak warga negara atas tanah berdasarkan prinsip hak asasi manusia. Kemanfaatan tanah bagi
sebesar besar kemakmuran rakyat akan terwujud pada negara yang pemerintah dan warga
negaranya memiliki kesadaran hukum untuk mentaati asas fungsi sosial hak atas tanah.

1.5 Menurut Undang-undang Pokok Agraria ada beberapa bentuk hak atas tanah, dan jika
dilakukan penambangan diatas hak atas tanah tersebut maka hak tersebut tidak dapat diabaikan,
karena menurut Undang-undang pertambangan bahwa hak atas penambangan bukanlah
merupakan hak atas tanah diatasnya melainkan hak untuk melakukan penambangan yang
biasanya ada ditanah bagian bawah (perut bumi) Jadi penambangan tidak dapat dilakukan apabila
hak atas tanah diatasnya belum diselesaikan. Namun hal ini dapat diselesaikan melalui
kesepakatan antara yang memiliki hak atas tanah dan yang memiliki hak atas pertambangan,
apabila kesepakatan sudah didapat barulah dapat dilakukan usaha pertambangan di wilayah
tersebut. Jadi hak atas pertambangan yang diberikan oleh pemerintah, tidaklah menghapus hak
atas tanah yang ada diatasnya.

1.6 Dari pembahasan yang sudah dituliskan di atas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi
perkembangan/evolusi konsep hak negara atas tanah di Indonesia. Konstitusi dan
UUPAmemberikan mandat kepada negara untuk menguasai tanah, bukan untuk memiliki tanah.
Akan tetapi dalam perkembangannya ternyata pemerintah Indonesia memperluas kewenangan
negara dari “pemegang hak menguasai” menjadi “pemilik” atas tanah, terutama tanah-tanah yang
tidak ada alat bukti haknya, termasuk tanah-tanah masyarakat adat. ada alat bukti haknya,
termasuk tanah-tanah masyarakat adat.Dari pembahasan di atas, ditemukan bahwa konsep
staatsdomein atas tanah tetap eksis pada pemerintahan Indonesia bahkan setelah era Reformasi,
walaupun mereka selalu berargumen bahwa peraturan pertanahan di Indonesia adalah sesuai
dengan Konstitusi.Dengan pemahaman yang keliru atas konsep hak menguasai negara, maka
konsep hak negara atas tanah di zaman kemerdekaan menjadi serupa dengan konsep yang ada di
zaman pemerintahan Hindia Belanda. Oleh karena itu, muncul konflik pertanahan yang meluas di
antara masyarakat di seluruh Indonesia.
Mahkamah Konstitusi telah meluruskan makna dan pelaksanaan dari hak menguasai
negara dalam putusan yudisial reviewnya atas UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi,
UU No.7/2004 tentang Sumber Daya Air, dan UU No. 20 Tahun 2002 tentang
Ketenagalistrikan.Walaupun putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah tentang minyak dan
gas bumi, sumber daya air, dan ketenagalistrikan, akan tetapi pendapat Mahkamah Konstitusi
tentang hak menguasai negara pada ketiga bidang tersebut juga dapat diterapkan pada tanah.
Demikian pula Mahkamah Konstitusi dalam putusan yudisial reviewnya atas UU No. 41/1999
tentang Kehutanan memerintahkan negara untuk mengakui dan melindungi hak masyarakat adat
atas hutan adat walaupun tidak disertai dengan alat bukti hak milik atau sertifikat.
Oleh karena itu, penulis menyarankan adanya reformasi peraturan perundang-undangan
di bidang-bidang yang terkait dengan tanah, seperti peraturan perundang-undangan di bidang
kehutanan, pertambangan, perkebunan, pertanian, perumahan, tata-ruang, jalan, tanah bagi
pembangunan/kepentingan umum, dan tanah atau hutan milik masyarakat adat. Seluruh peraturan
perundang-undangan tersebut, baik yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun daerah, harus
disinkronkan lagi dengan UUD 1945 dan UUPA sebagai payung hukumnya. Di mana UUD 1945
dan UUPA telah disusun dengan konsep hak menguasai negara atas tanah, untuk digunakan bagi
kemakmuran rakyat, termasuk masyarakat adat Indonesia.

1.7 Paling tidak dalam ketentuan perundang-undangan terdapat 13 (tiga belas) macam hak
atas tanah, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak
Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Sewa
Tanah Pertanian, Hak Menumpang, dan Hak Ulayat serta Hak Pengelolaan. Keberadaan HGU,
HGB dan Hak Pengelolaan perlu ditinjau kembali. Dalam Draf RUU tentang Pertanahan (27
Maret 2013) tidak lagi mengatur hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak
yang bersifat sementara (hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak hak sewa
tanah pertanian).
Ketentuan perundangan-undangan yang memberikan peluang penguasaan tanah HGU
dengan luasan yang relatif tidak terbatas, tidak sejalan dengan prinsip pemerataan penguasaan
tanah. Terjadi penumpukan tanah pertanian pada sebagian kecil subjek sedangkan sebagian besar
subjek lainnya (petani) tidak mempunyai tanah pertanian dengan luasan yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya. Keberadaan hak gadai dan hak usaha bagi hasil masih cenderung
terjadinya penindasan terhadap petani penggarap.
1.8 Jangka waktu perlunasan utang yang dijamin disesuaikan dengan jangka waktu jaminan.
Permasalahan akan muncul apabila jangka waktu tersebut tidak disesuaikan dengan jangka waktu
jaminan. Penetapan batas maksimum nilai jaminan atas tanah hak pakai atas tanah negara
merupakan kewenangan privat (hak) yang dapat dipunyai oleh pemilik hak pakai hanya sebagai
penggunaan bangunan dan/atau memungut hasil dan tanah yang dijadikan objek haknya. Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP) atas tanah hak pakai atas tanah negara tidak dapat dijadikan patokan
dalam menetapkan nilai jaminan, nilai tanah tidak dapat dijadikan jaminan karena tanah
merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara.
Objek hak tanggungan dapat dijaminkan lebih dari satu kali, maka kewenangan privat
yang terdapat pada hak pakai adalah jaminan kenyamanan dan keamanan kreditur untuk
memperoleh haknya kembali dari debitur yang menjaminkan tanah hak pakai atas tanah negara
sebegai jaminan utangnya. Lembaga jaminan yang lebih tepat untuk hak pakai atas tanah negara
adalah fidusia, karena hak pakai hanya memiliki hak untuk mempergunakan dan memungut
hasil atas tanah bukan hak atas tanah. privat. Dengan demikian perlu adanya suatu aturan yang
tegas untuk mengantisipasi persoalan tersebut.

Berdasar PP No. 40 Tahun 1996, tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai Atas Tanah, Pasal 53, maka seharusnya hak pakai atas tanah negara dan tanah hak
pengelolaan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

1.9 Penguasaan tanah negara di bantaran sungai aceh tidak dibenarkan secara hukum baik
dalam pembangunan rumah atau pemanfaatan yang lainnya.karena akan mengakibatkan
permasalahan yang berkelanjutan.seperti pengkamplingan harta warisan dari anak cucu. Tanah
Negara dilarang Masuk dan Memanfaatkannya” secara jelas ini melawan hukum sebagaimana
dalam Pasal 167 (1) KUHP dihukum 8 Bulan Penjara dan Pasal 389 KUHP dihukum 2 Tahun 8
Bulan Penjara dan Pasal 561 KUHP dihukum denda. Bagi yang sudah menguasai tanah Negara di
sekitar bantaran sungai Aceh tanpa izin resiko tanggung jawab sendiri, dalam arti di saat Negara
membutuhkan maka konsekuensinya siap untuk memindahkan sendiri atau akan perusakan paksa
oleh Negara.

1.10 Dari umusan masalah yang dilanjutkan dengan pembahasan diatas maka dapat ditarik
kesimpulan, bahwa:

 Hak menguasai negara adalah kekuasaan atau kewenangan negara yang berdasarkan
hukum untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi. Hakikat hak menguasai negara harus
dilihat pada kekuasaan negara secara umum, yaitu membangun, mengusahakan,
memelihara dan mengatur segala sesuatu mengenai tanah, dan hubungan bangsa
Indonesia dengan bumi, air dan ruang-angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan
Hak Ulayat, yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu tingkatan yang
mengenai seluruh wilayah Negara.

 Bahwa kaitannya dengan politik hukum agraria, bangsa Indonesia yang memberi mandat
kepada pemerintahanya melalui lembaga legeslatif untuk membuat peraturan baru guna
mencegah adanya dualisme hukum seperti yang terjadi sebelum UUPA terbentuk, yang
mana undang-undang baru yang terbetuk itu harus bertujuan sesuai dengan yang
tercantum atau yang berbunyi pada pasal 33 UUD NRI 1945. Dan jika undangundang
baru itu bertentangann dengan pasal tersebut maka undang-undang baru itu dapat
dikatakan menyimpang.
BAB IV
Daftar Pustaka

Undang-undang Negara Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria.

Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar.

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai
Atas Tanah.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah
Terlantar.

Hutagalung.Arie.S, S.H. dkk. 2001. Asas-asas Hukum Agraria. Jakarta.


Ruchiyat, Eddy . 1994, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA (Undang-Undang
Nomor. 5 Tahun 1960). Bandung;

Website Artikel
1. http://jurnal.upgriplk.ac.id/index.php/morality/article/view/33
2. https://journal.ugm.ac.id/jmh/article/view/16130/10676
3. http://dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id/index.php/JDH/article/view/139/90
4. https://jurnal.uns.ac.id/yustisia/article/view/8744/7830
5. https://ejournal.unri.ac.id/index.php/JIH/article/view/2792/2725
6. http://journal.umy.ac.id/index.php/jmh/article/view/267/230
7. http://journal.unpas.ac.id/index.php/litigasi/article/view/91/23
8. https://media.neliti.com/media/publications/148622-ID-none.pdf
9. http://ojs.uscnd.ac.id/index.php/deliberatif/article/view/21/11
10. http://repository.unej.ac.id/handle/123456789/57140

Anda mungkin juga menyukai