Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

SEJARAH LAHIRNYA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

Dosen Pengampu : Dr. Rofi Wahanisa S.H., M.H

Disusun oleh:

Kelompok 4

Mochammad Rizky Maulana 8111422509


Hidayat Muhamad Sugiharto 8111422541
Yehezkiel Hasiholan Simamora 8111422518
Nova Arini Stevia Yusuf 8111422513
Rana Tatsbita Noer 8111422499

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2023
Nova Arini Stevia Yusuf 8111422541
Rana Tatsbisa Noer

i
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul: “Sejarah Lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
tahun 1960.

Penulis menyadari bahwa di dalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan
Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, khususnya kepada
Ibu Dr. Rofi Wahanisa, S. H., M. H. selaku dosen dalam mata kuliah Hukum Agraria
yang telah membimbing kami. untuk itu dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa
hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang membantu
dalam pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah
berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat
selesai dengan baik dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati menerima masukan,
saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada
umumya

Semarang, 24 Maret 2023

Penyusun

ii
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
BAB I................................................................................................................................ 1
PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................... 2
1.3 Tujuan ..................................................................................................................... 2
BAB II .............................................................................................................................. 3
PEMBAHASAN............................................................................................................... 3
2.1 Proses Pembentukan UUPA ................................................................................... 3
2.2 Isi dan Ketuntuan Pokok Undang-Undang Agraria ................................................ 6
2.3 Dampak Undang-Undang PA terhadap penyelenggaraan hukum Agraria di
Indonesia ....................................................................................................................... 8
BAB II ............................................................................................................................ 10
PENUTUP ...................................................................................................................... 10
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................... 10

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 adalah sebuah Undang-


Undang yang sangat penting bagi sejarah Indonesia. UUPA ini dibuat pada masa
pemerintahan Presiden Soekarno, yang pada saat itu menghadapi berbagai
masalah sosial, politik, dan ekonomi. Salah satu masalah utama adalah masalah
agraria, yaitu masalah yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya tanah di Indonesia.

Sebelum UUPA 1960, sistem agraria di Indonesia masih menggunakan


hukum tanah Hindia Belanda yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan
nasional. Hukum tanah tersebut lebih mengutamakan hak milik individu dan
perusahaan, sehingga menyebabkan terjadinya ketidakadilan dalam pemilikan
tanah, pemanfaatan tanah yang tidak efektif, dan konflik-konflik agraria yang
sering terjadi. Terdapat perbedaan pandangan mengenai hak atas tanah antara
pihak pemerintah dengan rakyat, terutama di kalangan petani yang sebagian besar
masih miskin dan tidak memiliki akses yang memadai terhadap tanah.

Oleh karena itu, pada tahun 1957 pemerintah Indonesia membentuk


Komisi Agraria Nasional yang bertugas untuk mempersiapkan rancangan
Undang-Undang agraria yang baru. Komisi ini terdiri dari berbagai kalangan,
termasuk ahli hukum agraria, petani, pekerja, dan organisasi sosial. Mereka
bekerja selama beberapa tahun untuk menyusun draf UUPA, dengan
memperhatikan kepentingan nasional, keadilan sosial, dan hak-hak asasi manusia.
Setelah melalui berbagai tahap pembahasan dan perdebatan, akhirnya pada
tanggal 24 Maret 1960, UUPA disahkan dan diundangkan oleh pemerintah
Indonesia. UUPA ini berisi 107 pasal yang mengatur berbagai aspek agraria,
seperti hak atas tanah, pemilikan, pemanfaatan, pengelolaan, dan pembebasan
tanah. UUPA juga mengatur mengenai hak-hak rakyat adat dan kepentingan
umum dalam penggunaan tanah.

1
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang menjadi Latar belakang lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria ?


2. Bagaimana proses pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria 1960 ?
3. Apa Isi Undang-Undang Pokok Agraria 1960 ?
4. Bagaimana dampak Undang-Undang Pokok Agraria 1960 dalam penyelenggaraan
hukum agraria di indonesia ?

1.3 Tujuan

Dari rumusan masalah diatas maka tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah sebagi
berikut :

1. Mengetahui bagaimana latar belakang urgensi pembentukan Undang-Undang


Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960
2. Menjelaskan proses dibentuknya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun
1960
3. Mengetahui isi dari Undang-Undang Pokok Agraria
4. Menjelaskan dampak dan konsekuensi hukum dari lahirnya Undang-Undang
Pokok Agraria
5. Memenuhi tugas matakuliah Hukum Agraria

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Proses Pembentukan UUPA

Sejarah peraturan pertanahan di Indonesia dimulai setelah Indonesia


merdeka, Presiden soekarno mengeluarkan surat ketetapan mengenai pertanahan.
Tertuliskan pada surat ketetapan Presiden No.16 pada tanggal 12 mei 1948.
Sejarah pembentukan Undang Undang Pokok Agraria ini melalui proses yang
cukup panjang. Dalam isi surat edaran presiden tertulis bahwa akan dibentuknya
Panitia Agraria di Yogyakarta. Tujuan dari pembentukan panitia tersebut adalah
untuk menyusun hukum agraria yang baru serta penetapan kebijaksanaan politik
agraria negara.

Sarimin Reksodiharjo memimpin kepanitiaan yang bertugas menyusun


hukum dan politik agraria. Anggotanya terdiri dari utusan kementerian dan
berbagai jawatan, wakil organisasi petani, wakil Serikat Buruh Perkebunan, dan
ahli hukum terutama hukum adat yang juga tergabung sebagai anggota KNIP.
Setelah lima tahun, Panitia Agraria Yogyakarta hanya berhasil menghasilkan
laporan. Hasilnya kemudian disampaikan kepada Presiden pada tanggal 3
Februari 1950. Namun, ketika kekuasaan negara dipindahkan ke Jakarta, PAY
resmi dibubarkan pada tanggal 9 Maret 1951 oleh Soekarno melalui SK Presiden
No. 36 tahun 1951. Meski begitu, pembubaran PAY hanya bertujuan mengganti
nama menjadi Panitia Agraria Jakarta (PAJ). Tugas utama dari PAJ sama dengan
PAY dan masih dipimpin oleh Sarimin Reksodiharjo. Kemudian, pada tanggal 29
Maret 1955, berdasarkan Keputusan Presiden No. 55, Kementerian Agraria
dibentuk pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo I. Tugas utama kementerian ini
adalah membentuk Undang-Undang agraria nasional yang sesuai dengan pasal 25
ayat 1, pasal 37 ayat 1, dan pasal 38 ayat 3 dari Undang-Undang Dasar Sementara.

UUPA 1960 kemudian menjadi dasar bagi pengaturan sistem agraria di


Indonesia, dengan tujuan untuk menjamin keadilan dalam pemilikan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun,
implementasi UUPA 1960 tidak selalu berjalan lancar. Masih terjadi masalah-
masalah agraria seperti konflik agraria, ketidakadilan dalam pemilikan tanah, dan
pembebasan tanah yang tidak menghargai hak-hak rakyat. Oleh karena itu, UUPA
telah beberapa kali mengalami perubahan dan amandemen, seperti UU No. 5

3
tahun 1967, UU No. 20 tahun 1969, dan UU No. 4 tahun 1996. Meskipun
demikian, hingga saat ini UUPA 1960 masih menjadi landasan utama dalam
hukum agraria Indonesia. UUPA 1960 memberikan dasar hukum bagi pengaturan
tanah.

Meskipun ketuanya telah berganti menjadi Singgih Praptodihardjo,


Kepanitiaan Agraria Jakarta tetap berjalan dan bekerja semestinya. Namun,
kepanitiaan ini akhirnya dibubarkan karena dianggap tidak dapat menyusun
Rancangan Undang-Undang Agraria. Maka, berdasarkan Keputusan Presiden
Republik Indonesia No. 1 tahun 1956 tanggal 14 Januari 1956, dibentuklah
kembali Panitia Negara Urusan Agraria dengan ketua Soewahjo Soemodilogo,
yang juga merupakan Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria. Anggota
kepanitiaan terdiri dari pejabat dari Kementerian dan Jawatan, para ahli hukum
adat, serta wakil dari beberapa organisasi petani.

Panitia Negara Urusan Agraria, yang juga dikenal sebagai Panitia


Soewahjo, memanfaatkan semua bahan yang sudah disusun oleh kedua panitia
agraria sebelumnya. Akhirnya, pada tanggal 6 Februari 1958, Panitia Soewahjo
berhasil membuat rancangan Undang-Undang yang diserahkan kepada Menteri
Agraria. Pokok dari RUU hasil Panitia Soewahjo adalah:

1. Asas domein dihapuskan dan diganti dengan asas hak menguasai oleh
negara sesuai dengan ketentuan pasal 38 ayat 3 Undang-Undang Dasar
Sementara.

2. Asas bawah tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh


pemiliknya. (Tidak disampaikan kepada DPR)

Beberapa pasal pada rancangan Undang-Undang yang dihasilkan Panitia


Soewahjo kemudian dirumuskan ulang dan beberapa sistematika juga mengalami
perubahan. Akhirnya, rancangan tersebut menjadi suatu dokumen yang dikenal
sebagai Rancangan Soenarjo. Rancangan ini selanjutnya diajukan oleh Menteri
Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada tanggal 15 M.

Setelah Dekrit Presiden 1 Juli 1959 dikeluarkan untuk memulai kembali


penerapan Undang-Undang Dasar 1945, Rancangan Undang-Undang Pokok
Agraria Soenarjo ditarik. Penarikan resmi dilakukan setelah Surat Pejabat
Presiden tanggal 23 Mei 1960 No. 1532/HK/1960 dikeluarkan. Rancangan
Undang-Undang Agraria tersebut dianggap tidak sesuai, karena masih
menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara sebagai acuan. Meskipun

4
Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria ditarik, tetapi dalam kenyataannya
tetap berlangsung. Rancangan tersebut kemudian disesuaikan dengan Undang-
Undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Indonesia, termasuk pidato Presiden
Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959. Setelah proses penyesuaian dan
perbaikan, Menteri Agraria Sadjarwo mengajukan Rancangan Undang-Undang
Pokok Agraria yang kemudian dikenal sebagai Rancangan Sadjarwo.

Rancangan tersebut disetujui oleh Kabinet Inti pada tanggal 22 Juli 1960
dan Kabinet Pleno pada tanggal 1 Agustus 1960. Pada tanggal tersebut, Amanat
Presiden tanggal 1 Agustus 1960 No. 2584/HK/60 dikeluarkan untuk mengajukan
rancangan tersebut kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong atau DPR-
GR. Setelah pengajuan Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria, dilakukan
berbagai tahap, mulai dari pemeriksaan pendahuluan, pembahasan dalam sidang-
sidang komisi tertutup, pemandangan umum, hingga sidang-sidang pleno yang
diadakan pada tanggal 14 September 1960. Akhirnya, DPR-GR menerima
rancangan tersebut dengan suara bulat. Bahkan semua golongan yang tergabung
dalam DPR-GR, termasuk Golongan Islam, Golongan Nasionalis, Golongan
Komunis, dan Golongan Karya setuju.

Pada akhirnya, pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960, Peraturan


Dasar Pokok-Pokok Agraria yang sebelumnya telah mendapat persetujuan dari
DPR-GR, resmi disahkan oleh Presiden Soekarno dan dikenal sebagai Undang-
Undang Pokok Agraria atau UUPA. Dengan penetapan UUPA, sistem hukum
agraria yang terkait dengan masa kolonial dihapuskan. Nilai yang terkandung
dalam UUPA sebenarnya merupakan hasil dari penjabaran pasal 33 ayat 2 UUD
1945. Meskipun Undang-Undang ini terdiri dari 70 pasal, 4 bab, dan 5 bagian
yang terbilang singkat, UUPA tetap menjadi dasar hukum tertinggi tentang hukum
agraria. Hukum adat juga diterapkan dalam Undang-Undang ini. Oleh karena itu,
dibutuhkan Undang-Undang untuk menjelaskannya secara lebih rinci.

5
2.2 Isi dan Ketuntuan Pokok Undang-Undang Agraria

Sistem dan dasar hukum pemanfaatan lahan telah diatur dalam UU No 5


Tahun 1960 atau disebut juga UU Agraria. Undang-Undang ini secara resmi diberi
nama UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang
mengatur mengenai tentang hak-hak atas tanah, air, dan udara. Hal tersebut juga
meliputi aturan dasar dan ketentuan penguasaan, pemilikan, penggunaan atau
pemanfaatan sumber daya agraria nasional di Indonesia, pendaftaran tanah,
ketentuan-ketentuan pidana dan ketentuan peralihan. Lebih lanjut, UU No 5
Tahun 1960 adalah penegasan bahwa penguasaan dan pemanfaatan atas tanah, air,
dan udara harus dilakukan berdasarkan asas keadilan dan kemakmuran bagi
pembangunan masyarakat yang adil dan makmur.

Dalam proses pembaharuan UU No 5 tahun 1960, terdapat beberapa


pertimbangan yang menjadi acuan atau dasar peresmian Undang-Undang agraria.
Salah satunya adalah dengan memperhatikan kondisi dan karakteristik
pemanfaatan lahan oleh masyarakat Indonesia. Berikut ini merupakan dasar dan
ketentuan pokok yang melahirkan UU No 5 tahun 1960 :

1. Kondisi masyarakat Indonesia dimana kontribusi perekonomian Indonesia


yang berciri khas agraria meliputi pemanfaatan bumi, air, dan udara
sebagai anugerah Tuhan YME, perlu dijaga kelestariannya untuk
kepentingan bersama dan membentuk masyarakat yang adil dan makmur.
2. Hukum agraria yang sebelumnya berlaku, disusun dan dipengaruhi dari
peninggalan hukum-hukum penjajah yang tidak sesuai dengan pandangan
bangsa dan bertentangan dengan kepentingan rakyat secara luas.
3. Terdapatnya unsur dualisme pada Undang-Undang sebelum UU No 5,
yang meliputi hukum adat dan hukum agraria.
4. Tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat luas.

Dasar-dasar dan ketentuan-ketentuan pokok berdasarkan Undang-Undang No.5


tahun 1960 mengenai peraturan dasar pokok-pokok agraria presiden republik
Indonesia pada bab 1 pasal 1, sebagai berikut :

1. Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh rakyat


Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
2. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa
Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

6
3. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa
termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.

4. Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh


bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
5. Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut
wilayah Indonesia.
6. Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air
tersebut pada ayat (4) dan (5) pasal ini .

UU No 5 atau undang undang Agraria mengatur sumber daya alam agraria


secara umum juga mengatur jenis-jenis hak atas tanah. Hal ini seperti yang
termaktub dalam pasal 16 ayat 1 bahwa jenis-jenis itu antara lain hak milik, hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak
memungut hasil hutan, dan hak-hak lain. Sebagai berikut :

1. Hak milik : Hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk Bangunan, Hak
Membuka Tanah, dan Hak Memungut Hasil Hutan.
2. Hak sementara : Hak atas tanah yang bersifat sementara, yakni Hak Gadai
(Gadai Tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (Perjanjian Bagi Hasil), Hak
Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
3. Hak dengan status Undang-Undang : Hak atas tanah yang statusnya
mengikuti Undang-Undang, maksudnya adalah hak atas tanah bisa
berubah disebabkan perubahan Undang-Undang yang akan lahir
kemudian.

Melalui peresmian UU No 5 tahun 1960, terdapat dasar hukum kuat yang


mengatur tentang hal-hal pemanfaatan tanah. Hak-hak atas tanah yang diatur pada
UU No 5 meliputi hak milik tanah, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai,
hak sewa, hak pembukaan tanah, dan hak memungut hasil hutan. Melalui aturan
hak pemanfaatan tanah tersebut, seluruh tanah yang dimanfaatkan wajib memiliki
sertifikat sebagai bukti sah pemanfaatannya. Dalam proses pendaftaran
pemanfaatan atas tanah, secara umum harus melalui tiga proses. Proses tersebut
meliputi pengukuran dan pembukuan tanah, pendaftaran hak-hak, dan pemberian
bukti hak yang biasanya berbentuk sertifikat sebagai bukti sah. Seluruh proses
pengurusan pemanfaatan tanah sebagian besar dilakukan terpusat di Badan
Pertanahan Nasional (BPN).

7
2.3 Dampak Undang-Undang PA terhadap penyelenggaraan hukum Agraria
di Indonesia

ndang-Undang Pokok Agraria atau nama resminya Undang-Undang No.5 tahun 1960
memiliki dampak yang signifikan dalam mengurangi ketidakadilan dan konflik agraria di
Indonesia. Namun, Undang-Undang Pokok Agraria juga dianggap belum sepenuhnya
berhasil dalam menyelesaikan masalah agraria, terutama terkait dengan pengakuan
dan perlindungan hak-hak masyarakat adat. Undang-Undang Pokok Agraria juga
mengalami beberapa perubahan dan revisi selama beberapa tahun terakhir untuk
mengakomodir perkembangan sosial dan ekonomi di Indonesia.
Lamanya Negara Belanda melakukan penjajahan di Indonesia sangat
mempengaruhi kondisi di berbagai bidang, salah satunya yaitu hukum dan politik
pertanahan atau hukum agraria Indonesia. Sebelum diresmikan-nya Undang-
Undang Pokok Agraria/ Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960, hukum agraria di
Indonesia bersifat dualistik karena terdapat nya pembagian golongan penduduk,
sesuai dengan yang ada pada Pasal 131 IS yang menyebutkan masyarakat yang
berada di Indonesia/Hindia Belanda dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
a. Golongan Eropa yang terdiri dari semua orang Belanda, Jepang, Semua
orang dari berbagai negara yang tunduk pada hukum Belanda.
b. Golongan Bumi Putera yang terdiri dari semua orang Indonesia asli dan
mereka yang membaurkan diri dalam kehidupan rakyat Indonesia asli.
c. Golongan Timur Asing yang terdiri dari semua orang yang bukan
termasuk golongan Eropa dan golongan Timur Asing.

Ini berarti terdapat perbedaan bagi masing-masing golongan seperti


perbedaan berlakunya ketentuan agraria/pertanahan, sehingga tidak adanya
unifikasi/keseragaman dalam hukum pertanahannya. Bagi golongan Eropa
berlaku hukum pertanahan yang dibuat oleh pemerintahan Belanda di Indonesia
seperti Buku II KUH Perdata, sedangkan bagi golongan Bumi Putera berlaku
ketentuan pertanahan sesuai dengan hukum adat yang berlaku di masing-masing
daerahnya. Sedangkan untuk golongan Timur Asing menyesuaikan dengan
kondisi dan kebutuhannya, golongan ini dapat tunduk terhadap hukum Eropa atau
seringkali mereka juga harus mengikuti hukum adat setempat.

Setelah diberlakukannya UUPA atau Undang - Undang Nomor 5 Tahun


1960, politik pertanahan di Indonesia mengalami perubahan, pada saat itu
pembagian golongan dihapuskan dan diupayakannya unifikasi atau keseragaman
dalam hukum pertanahan di Indonesia, semua ketentuan hukum agraria yang
terdapat dalam Buku II KUH Perdata sudah tidak berlaku lagi dan seluruh
kehidupan bangsa di Indonesia harus mengacu pada nilai-nilai pancasila. Ada
beberapa ketentuan di dalam UU Pokok Agraria yang membedakan dengan

8
ketentuan pertanahan yang sebelumnya, antara lain ketentuan Pasal 2 ayat 1
UUPA tentang Hak Menguasai dari Negara yang menyatakan bahwa Atas dasar
ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 dan hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 yaitu bumi, air dan ruang angkasa termasuk
tanah beserta kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Pernyataan tersebut telah memberikan interpretasi politik mengenai kata


“dikuasai” dalam hal ini mengandung arti bukan memiliki, tetap tujuan utamanya
yaitu kesejahteraan masyarakat Indonesia, dan yang tak kalah pentingnya yaitu
mengenai “asas tanah memiliki fungsi sosial” sebagaimana tertuang dalam
ketentuan Pasal 6 UUPA, sehingga hak atas tanah apapun yang ada pada
seseorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanah tersebut dipergunakan semata-
mata untuk kepentingan pribadi, maksudnya bahwa apabila suatu saat
kepentingan umum menghendakinya, maka tanah tersebut harus diserahkan
kepada negara untuk kepentingan umum yang tentu saja disertai dengan
pemberian sejumlah kompensasi terhadap pemiliknya atau dengan kata lain
penggunaan sebidang tanah oleh pemilik nya tidak boleh bertentangan dengan
Undang-Undang, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan hukum orang
lain.

9
BAB II

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Undang-Undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960) adalah salah satu
Undang-Undang yang sangat penting bagi masyarakat Indonesia. UU ini
bertujuan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan tanah, serta menjaga
keadilan dan kepastian hukum dalam pemilikan dan pemanfaatan tanah di
Indonesia.

Undang-Undang ini dilahirkan setelah melalui proses panjang dan penuh


perjuangan, termasuk perjuangan para petani dan kelompok masyarakat yang
terdampak oleh kebijakan agraria pada masa itu. UU ini menjadi titik tolak
penting bagi perbaikan sistem agraria di Indonesia, meskipun dalam kenyataannya
masih banyak masalah yang perlu diatasi dalam pelaksanaannya.

Secara umum, UU Pokok Agraria adalah sebuah tonggak sejarah bagi


pembangunan agraria di Indonesia, karena memberikan dasar hukum yang kuat
untuk pengelolaan tanah yang adil dan berkelanjutan. Namun, masih ada
tantangan dan masalah yang harus diatasi dalam upaya menjaga kepastian hukum
dan keadilan dalam penguasaan dan pengelolaan tanah di Indonesia seiring
dengan perubahan zaman dan kondisi sosial-politik di Indonesia, UU Pokok
Agraria mengalami beberapa kali perubahan dan revisi. Beberapa revisi dilakukan
dalam upaya memperkuat aspek keadilan, keterbukaan akses informasi, dan
perlindungan hak-hak masyarakat dalam pemilikan dan pengelolaan tanah.
Namun, di sisi lain, masih banyak masalah yang terkait dengan penerapan
UU Pokok Agraria. Masalah tersebut antara lain meliputi ketimpangan akses
terhadap tanah, konflik agraria, kebijakan pembangunan yang mengabaikan hak-
hak masyarakat, serta kurangnya kebijakan dan mekanisme perlindungan bagi
para petani dan masyarakat adat.

Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, diperlukan kerja sama dan


komitmen dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan dunia
akademis. Perlu juga diadakan upaya-upaya peningkatan kesadaran dan
pengetahuan mengenai hak-hak dan perlindungan dalam pemilikan dan
pengelolaan tanah, serta perluasan akses terhadap informasi terkait dengan
regulasi agraria.

10
Dalam hal ini, UU Pokok Agraria masih menjadi instrumen hukum
penting yang harus dipertahankan, sekaligus terus dikembangkan dalam upaya
menciptakan sistem agraria yang lebih adil dan berkelanjutan bagi masyarakat
Indonesia. Secara keseluruhan, Undang-Undang Pokok Agraria merupakan
sebuah tonggak sejarah penting dalam pembangunan agraria di Indonesia.
Namun, masih banyak tantangan yang harus diatasi dalam menjaga kepastian
hukum dan keadilan dalam penguasaan dan pengelolaan tanah di Indonesia. Oleh
karena itu, dibutuhkan upaya-upaya yang terus-menerus untuk meningkatkan
kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai hak-hak dan perlindungan
dalam pemilikan dan pengelolaan tanah, serta memperkuat mekanisme
perlindungan bagi para petani dan masyarakat adat.

11
Daftar Pustaka

Agustiwi, A. (2018t). HUKUM DAN KEBIJAKAN HUKUM AGRARIA DI


INDONESIA .
Agustiwi, A. (n.d.). HUKUM DAN KEBIJAKAN HUKUM AGRARIA DI
INDONESIA .
B, D. (2018). QUO VADIS UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA? Suatu
Tinjauan Terhadap Permasalahan Pertanahan di Usia Undang-Undang
Pokok Agraria yang ke Lima Puluh Delapan Tahun.
M, N. (2014). PENGARUH PEMBAHARUAN HUKUM AGRARIA NASIONAL
TERHADAP POLITIK HUKUM DI INDONESIA. JURNAL THENGKYANG
(2014) 2(1) 51-69.
Notonagoro. (1984). Politik Hukum dan Pembangunan Agraria Di Indonesia.
Jakarta: Bina Aksara.
Nurjannah, S. (2014). Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Sebagai Induk
Landreform.
Tunardy, W. T. (2012). Sejarah Hukum Agraria.
Urip Santoso. (2009). Hukum Agraria & Hak-hak Atas Tanah. Jakarta: PT Fajar
Interpratama Offse.

12

Anda mungkin juga menyukai