Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH MATA KULIAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

ANALISIS PERISTIWA YANG MENYANGKUT HAM (HAK ASASI


MANUSIA) DI INDONESIA:
EKSEKUSI MATI TERPIDANA KASUS NARKOBA TAHUN 2015

Disusun oleh:
Kelompok 14 AE
Aji Kurnia Rahman (2AEB - NIM: 214341029)
Ahmad Taufiqurrohman (2AEC- NIM: 214441901)
Muhammad Cakti Abusalam Almaghribi (2AEC - NIM: 214341063)
Teddy Sukma Apriana (2AEC - NIM: 214341070)

TEKNIK OTOMASI MANUFAKTUR DAN MEKATRONIKA

POLITEKNIK MANUFAKTUR NEGERI BANDUNG


Jalan Kanayakan No. 21, Dago 40235, Tromol Pos 851 Bandung 40008 Indonesia
Phone : (022) 2500241 Fax : (022) 2502649 Homepage: http://www.polman-bandung.ac.id

2016
1

DAFTAR ISI
Daftar Isi.........................................................................................................................................

Kata Pengantar...............................................................................................................................

BAB I: PENDAHULUAN
Latar Belakang................................................................................................................................

Perumusan Masalah.........................................................................................................................

BAB II: ISI


Batasan-Batasan dalam Analisis.....................................................................................................

Analisis dari Sisi Pendukung (Pro)..............................................................................................

Analisis dari Sisi Penolak (Kontra)..............................................................................................

10

Analisis dari Sisi Netral...............................................................................................................

12

BAB III: PENUTUP


Kesimpulan ...................................................................................................................................

15

Saran...............................................................................................................................................

15

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................

16

KATA PENGANTAR
Atas berkat dan rahmat Allah SWT, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Analisis Peristiwa Pelanggaran HAM di Indonesia ini sebagai pemenuhan tugas dalam
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Politeknik Manufaktur Negeri Bandung. Kami
mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam terbitnya
makalah ini.
Kami mohon maaf bila ada kesalahan pengetikan ataupun kesalahan lainnya dalam
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat ke depannya, terutama dalam
penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang masih terjadi di Indonesia. Kami cukupkan
sekian dan terima kasih.

Bandung, Februari 2016

Pengantar
3

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Peredaran narkoba di Indonesia semakin merajalela. Indonesia kini sudah dianggap
sebagai negara penghasil narkoba, setelah sebelumnya negara kita lebih sering negara transit
penyaluran narkoba. BNN (Badan Narkotika Nasional) sebagai badan berwenang dalam
menindak pereadaran dan penggunaan narkoba di Indonesia sudah menemukan beberapa
oknum yang menyalurkan narkoba untuk merusak generasi muda bangsa Indonesia. Untuk
memutus peredaran narkoba di Indonesia, Pemerintah sudah menerapkan berbagai cara,
mulai dari pengawasan ekstra ketat di pintu masuk negara Indonesia, seperti bandara,
pelabuhan, dan lain-lain; juga melalui razia di berbagai tempat di Indonesia, membongkar
pabrik narkoba, dan cara lainnya. Salah satu cara yang paling kontroversial adalah hukuman
mati. Indonesia masih menerapkan hukuman mati sebagai hukuman terberat dalam
penegakan hukum di Indonesia, bahkan hal tersebut tercantum dalam KUHP (Kitab UndangUndang Hukum Pidana). Pelaksanaan hukuman mati terhadap pengedar narkoba yang barubaru ini menuai kontroversi adalah pelaksanaan hukuman mati terhadap warga negara asing
yang tertangkap mengedarkan narkoba di Indonesia yang dilaksanakan pada hari Rabu, 29
April 2015, pukul 00.34 WIB, di Pulau Nusakambangan. Diantara para terpidana tersebut
terdapat nama Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, anggota sindikat narkoba yang dikenal
dengan nama Bali Nine. Keduanya dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Bali, pada 2005, bersama
anggota kelompok Bali Nine lainnya. Mereka tertangkap saat hendak menyelundupkan 8,3 kg
heroin dari Bali ke Australia. Di antara terpidana mati tersebut juga terdapat korban human
trafficking, Mary Jane Veloso, warga negara Filipina. Dari semua terpidana mati, hanya Mary
Jane yang ditunda eksekusi matinya karena ada perkembangan terbaru dari kasus human
trafficking di Filipina. Namun, sejak Presiden Jokowi menyatakan sikap untuk tidak memberi
pengampunan (grasi) kepada terpidana mati kasus narkoba, timbul polemik, baik pro dan
kontra. Polemik yang mengarah pada kontroversi semakin keras terdengar, terutama bagi
yang menolak. Pihak yang pro berpendapat bahwa para terpidana mati kasus narkoba pantas
dieksekusi untuk memberikan efek jera, agar dapat mengurangi kejahatan narkoba yang telah
merusak generasi bangsa. Karena akibat narkoba sangat merugikan bagi perkembangan
generasi muda bangsa. Sementara pihak yang kontra berpendapat bahwa eksekusi mati adalah
tindakan yang tidak kalah dari sikap pembunuh karena merampas hak hidup individu yang
merupakan hak asasi setiap orang. Dalam pandangan pihak yang menolak hukuman mati atau
kontra, bahwa perampasan hak hidup adalah sebuah tindakan melanggar HAM dan
konstitusi. Tidak ada seorang pun di dunia yang berhak mengambil kehidupan seseorang,
yang menentukan seseorang dapat atau tidak melanjutkan kehidupannya hanya Sang
Pencipta.
Perumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, perumusan masalah yang ingin kami bahas dalam
makalah ini adalah Bagaimana analisa dari pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana
kasus narkoba ini, jika dilihat dari pihak pendukung (pro), penolak (kontra), dan pihak yang
netral (tidak berpihak)?

BAB II
ISI
Batasan-Batasan dalam Analisis
Dalam menganalisis tujuan pelaksanaan hukuman mati terhadap terpidana kasus
narkoba, kami membatasi analisis kami berdasarkan hal-hal berikut:

Berdasarkan UUD (Undang-Undang Dasar) 1945 Bab XA Pasal 28I ayat 1 yang
berbunyi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan
hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun, maka hak asasi manusia yang dibahas pada analisis kami hanya mencakup
hak-hak yang tertera dalam pasal tersebut, karena hak-hak yang tertera pada pasal
tersebut merupakan hak-hak yang tidak dapat diganggu gugat dalam keadaan apapun.
Berdasarkan UUD (Undang Undang Dasar) 1945 Bab XA Pasal 28J ayat 2 yang
berbunyi: Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang
lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis, maka analisis kami juga berdasarkan undang-undang yang berlaku di
Republik Indonesia. Undang-undang tersebut merupakan undang-undang yang terkait
dengan pelaksanaan eksekusi mati di Indonesia dan harus dipatuhi oleh pihak-pihak
terkait, baik dari pihak eksekutor (atau pengadilan) dan juga dari pihak terpidana
kasus narkoba.
KUHP Pasal 51 ayat 1: Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan
perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
Dari bunyi pasal di atas, tertera bahwa pelaksanaan hukuman mati bisa dilaksanakan
tanpa menyebabkan eksekutor dipidana, karena eksekutor mendapat perintah dari
pengadilan yang berwenang dalam mengeksekusi para terpidana mati kasus narkoba.
Batasan ini sekaligus membantah pasal 338 dan 340 dalam KUHP yang mengatur
tentang tindak pidana pembunuhan, karena eksekusi mati ini dilaksanakan oleh orangorang yang telah mendapat mandat dari Pemerintah, atau lebih tepatnya Kementerian
Hukum dan HAM.

Kesimpulannya, kami hanya menganalisis pelaksanaan eksekusi mati ini dalam


cakupan dasar hukum yang memuat pernyataan mendukung, menolak, dan tidak berpihak
kemanapun. Selain itu, kami juga hanya membahas hak-hak asasi manusia yang tercantum
dalam UUD 1945. Kami juga tidak akan menganalisis suatu pasal dalam undang-undang
yang terbantahkan oleh batasan analisis kami.

Analisa dari Sisi Pendukung (Pro)

Beberapa terpidana mati kasus narkoba, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. (ABC Australia)

Jika kita melihat dari sudut pandang pendukung atau pro, pelaksanaan hukuman mati
terhadap terpidana kasus narkoba ini merupakan bentuk ketegasan dalam memberantas
peredaran narkoba di Indonesia. Untuk menunjukkan ketegasan tersebut, hukum yang berlaku
haruslah ditegakkan. Indonesia memiliki undang-undang yang mengatur tentang
penyalahgunaan narkotika. Untuk masalah hukuman pidana, Indonesia juga memiliki
undang-undang dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Selain itu, mayoritas
masyarakat Indonesia setuju dengan pelaksanaan hukuman mati tersebut. Hal-hal yang
mendasari dukungan terhadap eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba adalah sebagai
berikut:

BNN (Badan Narkotika Nasional) mencatat bahwa pada tahun 2011, jumlah pengguna
narkoba di Indonesia mencapai 4,2 juta orang. Jumlah tersebut menurun di tahun 2014
menjadi 4 juta orang.
Dari data di atas, maka pada tahun 2011, jumlah orang yang meninggal akibat
narkoba mencapai 50 orang per hari, sedangkan pada 2014 ini ada 33 orang yang
meninggal per hari.
Indonesia sekarang telah menjadi salah satu jalur utama dalam perdagangan obat bius
dan narkoba. Banyak obat bius dan narkoba diperdagangkan dan diselundupkan oleh
sindikat internasional yang terorganisasi, terutama karena ada permintaan cukup
tinggi dan Indonesia punya populasi muda yang besar dan menjadi pasar narkoba
yang besar juga. Indonesia sendiri sudah membuat banyak kemajuan dalam beberapa
tahun terakhir dan menyita narkotika dan obat bius ilegal dalam jumlah besar yang
masuk dari luar negeri. Organisasi sindikat obat bius ini sangat rapi dan beroperasi
dari beberapa negara. Mereka memanfaatkan pengawasan perbatasan yang lemah,
karena banyak kapal yang bisa beroperasi melewati laut tanpa pengawasan. Modus
peredarannya pun bermacam-macam, ada yang mengedarkannya pada malam hari,
ada yang disembunyikan dalam barang lain untuk menghindari terdeteksinya narkoba
dari pemeriksaan petugas di bandara, menggunakan jasa Tenaga Kerja Indonesia
6

(TKI) dalam mengantarkan narkoba ke luar negeri, dan modus-modus lainnya. Salah
satu korban dari modus ini adalah salah satu terpidana mati, Mary Jane Veloso, warga
negara Filipina, yang juga merupakan korban human trafficking.

Barang bukti hasil penangkapan 8 tersangka pengedar narkoba selama Januari 2014. (CNN
Indonesia/Yudha Pratomo)

Dari kacamata hukum, pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana narkoba sudah
sesuai dengan undang-undang yang berlaku di Indonesia, yaitu:

UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ada beberapa pasal yang berkaitan
dengan pelaksanaan hukuman mati ini, yaitu:
o Pasal 41: Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pedagang
besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk
kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
o Pasal 113 ayat 1: Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum
memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika
Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
o Pasal 113 ayat 2: Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor,
mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram
atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman
beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).
Dari beberapa pasal di atas, maka para terpidana kasus narkoba tersebut bisa dibilang
tepat untuk diadili dengan cara hukuman mati, karena jenis narkoba yang mereka
seludupkan merupakan heroin yang termasuk dalam jenis narkoba golongan 1. Salah
satu kasus narkoba yang berat dan sesuai dengan pasal di atas adalah kasus terpidana
7

mati, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan, yang tertangkap saat hendak
menyelundupkan 8,3 kg heroin dari Bali ke Australia.

KUHP Pasal 10:


Pidana terdiri atas:
a. pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. pidana kurungan;
4. pidana denda;
5. pidana tutupan.
b. pidana tambahan :
1. pencabutan hak-hak tertentu;
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Dari bunyi pasal di atas, tertera bahwa pidana mati merupakan salah satu pidana
pokok yang dilaksanakan oleh Pengadilan, selain pidana penjara, kurungan, dan
denda.
Dari batasan yang sudah dijelaskan sebelumnya, tepatnya di poin kedua, bahwa
Negara memiliki hak memberikan pembatasan-pembatas dengan undang-undang
terhadap hak asasi manusia, termasuk hak untuk hidup, maka hukuman mati adalah
konstitusional karena tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Berdasarkan UU No. 39 Tahun 2009 tentang HAM Bab III Pasal 28 ayat 2 yang
berbunyi: Hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi mereka
yang melakukan kejahatan nonpolitik atau perbuatan yang bertentangan dengan
tujuan dan prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Selain dari kacamata hukum, beberapa tokoh masyarakat juga ada yang mendukung
pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba. Berikut beberapa pendapat yang
mendukung pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana kasus narkoba:

Pernyataan Wakil Ketua Komisi 3 DPR RI: Eksekusi mati itu sudah sesuai putusan
hukum berkekuatan hukum tetap. Khususnya yang menyangkut warga negara asing.
8

Apa yang diputuskan oleh Jaksa Agung mempertegas kedaulatan hukum & kedaulatan
kita sebagai bangsa. (Kompas.com)
Menanggapi permohonan ampun dan desakan pembatalan yang disampaikan
pemerintah dari negara terpidana mati, Jaksa Agung H.M. Prasetyo mengatakan, hal
itu tak bisa dilakukan. Menurut Prasetyo, tak ada alasan eksekusi mati ini dibatalkan
karena seluruh terpidana yang dieksekusi sudah melewati proses hukum.
Jadi, jika dilihat dari sudut pandang kubu pro, pelaksanaan hukuman mati terhadap
terpidana kasus narkoba di Indonesia sudah sesuai dengan undang-undang, dimana undangundang bertumpuan pada Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar hukum Indonesia.
Terlebih, pengusutan kasus narkoba para terpidana telah diselesaikan melalui pengadilan
dengan hasil putusan hingga putusan pengadilan tertinggi (Mahkamah Agung). Pelaksanaan
eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba juga menunjukkan ketegasan Indonesia
dalam pemberantasan narkoba dan sebagai pernyataan sikap melawan sindikat narkoba
internasional yang merupakan musuh bersama internasional.

Analisa dari Sisi Penolak (Kontra)

Jika kita melihat pelaksanaan eksekusi mati terpidana kasus narkoba dari sisi penolak
atau kontra, maka pengadilan atau pemerintah bisa dikatakan telah melanggar HAM (Hak
Asasi Manusia) dari para terpidana kasus narkoba. Jika melihat landasan falsafah Indonesia
sebagai negara Pancasila, maka pelakksanaan hukuman mati itu bertentangan dengan
perikemanusiaan. Padahal, putusan eksekusi mati bisa diganti dengan hukuman pidana yang
sama beratnya dengan eksekusi mati. Hal-hal yang mendasari argumen tersebut adalah
sebagai berikut:
PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) telah melakukan moratorium pelaksanaan
eksekusi mati. Akibatnya, 140 dari 193 negara tidak lagi menerapkan eksekusi mati.
Dan Indonesia masuk dalam 53 negara yang masih melakukan eksekusi mati.
Seharusnya sebagai negara demokrasi, Indonesia sudah tidak lagi menerapkan
eksekusi mati terhadap narapidana kelas berat.
Sidang Komite HAM PBB yang diselenggarakan pada tanggal 10-11 Juli 2013 di
Geneva, Swiss, menghasilkan rekomendasi kepada Indonesia untuk segera
menerapkan moratorium eksekusi mati. Jika Indonesia menolak untuk menerapkan
moratorium, Indonesia direkomendasikan untuk melakukan evaluasi undang-undang
atau mempertimbangkan jenis kejahatan narkotika yang masuk dalam kategori berat
dengan hukuman mati.
Sila kedua Pancasila yang berbunyi: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,
menandakan bahwa Indonesia menjunjung tinggi kemanusiaan yang berprinsip
keadilan dan dilaksanakan secara beradab.
Dari kacamata hukum, ada beberapa undang-undang yang menyatakan Indonesia
sebagai negara yang menjunjung HAM (Hak Asasi Manusia) dan juga ada beberapan undangundang yang dapat dijadikan dasar untuk menolak pelaksanaan eksekusi mati tersebut.,
diantaranya:
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28A yang berbunyi: Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya, maka para terpidana kasus
narkoba memiliki hak untuk tetap hidup hingga sudah tiba waktu ajalnya. Para
terpidana kasus narkoba juga memiliki hak untuk mempertahankan hidup dan
10

kehidupannya dari ancaman eksekusi mati melalui jalur pengadilan, dan permohonan
grasi.
Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28H ayat 2 yang berbunyi: Setiap orang berhak
mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan, dan UU No. 39 Tahun
1999 Bab III Pasal 17 yang berbunyi: Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak
untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengajuan dan
gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili
melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara
yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar, maka para terpidana kasus narkoba
tersebut memiliki hak untuk memperjuangkan agar mereka tidak sampai harus
dieksekusi mati dan sebagai gantinya, mereka diberi kesempatan untuk menjalani
hukuman penjara yang lamanya ditentukan oleh Pengadilan. Hal tersebut sudah
mereka lakukan, namun Pengadilan tetap memutuskan hukuman mati.
Berdasarkan batasan yang sudah disampaikan di awal, maka hak para terpidana kasus
narkoba untuk hidup diganggu oleh negara dengan cara eksekusi mati.
Berdasarkan UU No. 39 Tahun 2009 tentang HAM Bab III Pasal 28 ayat 1 yang
berbunyi: Setiap orang berhak mencari suaka untuk memperoleh perlindungan
politik dari negara lain., maka para terpidana kasus narkoba berhak untuk mencari
perlindungan politik dari negara lain agar terhindar eksekusi mati. Negara-negara
yang berusaha untuk memberikan suaka kepada para terpidana mati adalah Brazil dan
Australia. Namun, hal tersebut ditolak oleh Negara.
Berdasarkan KUHP Pasal 44 ayat 2:
Jika ternyata perbuatan itu tidak
dapat dipertanggungkan kepada
pelakunya karena pertumbuhan
jiwanya cacat atau terganggu karena
penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu
dimasukkan ke rumah sakit jiwa,
paling lama satu tahun sebagai waktu
percobaan, ada salah satu terpidana
mati kasus narkoba, Rodrigo Gularte
menderita penyakit Schizophrenia.
Sehingga seharusnya Negara
mempertimbangkan rekam medik
penyakit yang masuk dalam kategori
gangguan kejiwaan terpidana mati asal
Brazil tersebut dan memberikan kesempatan kepada Rodrigo untuk direhabilitasi ke
rumah sakit jiwa selama 1 tahun.
Selain dari kacamata hukum, beberapa pendapat yang menolak pelaksanaan hukuman
mati terhadap terpidana narkoba adalah sebagai berikut:
Anggota Divisi Pembelaan Hak Sipil dan Politik Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Putri Kanesia, menilai negara tidak konsisten
dalam membuat ketentuan tentang hukuman mati di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP). Menurut dia, isi Pasal 338 dan 340 KUHP bertentangan
dengan isi Pasal 10 KUHP.
11

Kontras meminta agar Presiden Joko Widodo untuk mempertimbangkan rekam medik
penyakit yang masuk dalam kategori gangguan kejiwaan terpidana mati asal Brazil,
Rodrigo Gularte.
Sepupu Rodrigo, Angelica Muxfeldt mengatakan, orang yang mengidap kelainan jiwa
tidak seharusnya mendapat hukuman mati. Karenanya, dia berharap Presiden Jokowi
kembali mempertimbangkan grasi yang diajukan Rodrigo yang sudah ditolak bersama
59 grasi terpidana mati lainnya.
Direktur Program Imparsial, LSM di bidang pengawasan terhadap HAM, menentang
keras masih dilaksanakannya eksekusi mati di Indonesia. Dan akibatnya, Indonesia
dianggap tidak melindungi hak hidup orang lain. Selain itu, citra kepemimpinan
Jokowi di mata dunia tercoreng dengan ditariknya 2 Duta Besar dari Indonesia, yaitu
Duta Besar Brazil & Belanda.

Jadi, jika dilihat dari sudut pandang kubu kontra, pelaksanaan hukuman mati terhadap
terpidana kasus narkoba di Indonesia bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 Hasil
Amandemen Kedua dan prinsip Indonesia sebagai negara Pancasila, yang menjunjung tinggi
hak asasi manusia. Selain itu, pelaksanaan eksekusi mati juga akan mencoreng nama
Indonesia di mata dunia dan mengancam kerjasama bilateral Indonesia dengan berbagai
negara, terutama negara yang warganya menjadi terpidana mati. Terlebih, PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa) telah merekomendasikan kepada Indonesia untuk melakukan moratorium
eksekusi mati.
Analisa dari Sisi Netral
Jika kita melihat pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana narkoba dari kubu
netral, ada beberapa poin positif dari sudut pandang kubu pro dan kubu kontra dalam
menyikapi pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba. Diantaranya:

Berdasarkan UUD 1945 Pasal 28D ayat 1 yang berbunyi: Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum, maka terpidana kasus narkoba berhak atas
perlindungan dan kepastian hukum yang adil. Namun, para korban dari peredaran
narkoba di Indonesia juga berhak atas pengakuan, jaminan, dan kepastian hukum
yang adil terhadap tersangka kasus narkoba.
Pernyataan Ketua DPR, Setya
Novanto, yang memuji keputusan
Mahkamah Agung untuk menunda
eksekusi mati terhadap Mary Jane
Veloso, warga negara Filipina, karena
adanya temuan fakta baru dalam
penanganan kasus narkoba di Filipina
& juga mendukung tindakan
Kejagung melaksanakan eksekusi
mati terhadap WNA terpidana kasus
narkoba. Hal ini membuktikan bahwa
negara Indonesia menjunjung tinggi hukum di dalam dan menghormati hukum yang
berlaku di luar negeri. Namun, negara lain seharusnya juga menghormati hukum di
Indonesia dimana orang yang merusak bangsa, baik warga negara sendiri dan warga
negara lain, harus diadili seadil-adilnya.
12

Dari batasan yang sudah dibahas sebelumnya, semua orang memiliki hak untuk
menjunjung tinggi hak asasinya sebagai manusia. Namun, semua orang juga memiliki
kewajiban untuk patuh terhadap undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah dalam
menghormati hak asasi orang lain.
Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika, sebenarnya para terpidana
kasus narkoba tersebut bisa diadili dengan hukum pidana lain yang lebih manusiawi
ketimbang hukuman mati. Meskipun demikian, bisa jadi ada beberapa faktor lain
yang menyebabkan pengadilan memutuskan hukuman mati kepada para terpidana
tersebut.

Jadi, jika kita melihat pelaksanaan eksekusi mati terpidana kasus narkoba dari sudut
pandang netral, maka kita bisa berpendapat bahwa pelaksanaan eksekusi mati tersebut sesuai
dengan undang-undang yang berlaku karena pasal-pasal yang dipermasalahkan oleh kubu
Kontra dibantah oleh beberapa pasal lainnya, hanya saja dalam pelaksanaannya harus
disesuaikan dengan keadaan para terpidana tersebut, seperti Mary Jane yang menjadi korban
human trafficking dan harus menjalani saksi dalam pengusutan kasus human trafficking di
negara asalnya, serta harus dilihat opsi pidana alternatif selain eksekusi mati yang diatur
dalam undang-undang.

Pendapat Kelompok
Dalam menanggapi pelaksanaan eksekusi mati ini, kelompok kami juga memiliki
pendapat sendiri. Beberapa pendapat dari kami adalah sebagai berikut:

Dalam masalah diatas, terdakwa eksekusi mati disebut sebagai korban dari kasus hak
asasi manusia. Namun perlu diingat bahwa jika hukuman mati ini dibatalkan, maka
kekuatan hukum pada indonesia perlu dipertanyakan. Para bandar narkoba mengincar
indonesia karena hukum tentang narkoba di indonesia masih lemah. Sebelumnya,
hukuman pada pelaku penyalahgunaan narkoba hanya diancam hukuman penjara.
Sehingga bandar narkoba terkesan tidak takut dan berani dengan hukum indonesia.
Disisi lain, eksekusi terhadap seseorang yang mengidap kelainan jiwa melanggar
HAM. Jika seseorang melakukan kejahatan pada kondisi jiwa maka bisa dibatalkan
hukuman terhadapnya. Selain itu, HAM melarang seorang manusia kehilangan hak
untuk hidupnya, dalam hal ini dieksekusi mati.
Jika dilihat dari pasal yang dipermasalahkan di kubu Kontra pada UU No.39 Tahun
1999 tentang HAM, yaitu pasal 28 ayat 1, pasal tersebut memiliki pengecualian yang
dibahas pada UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM pada pasal 28 ayat 2. Dimana hak
orang untuk mendapat perlindungan suaka dari negara akan dicabut jika orang
tersebut melakukan suatu kejahatan atau perbuatan yang bertentangan dengan PBB.
Maka, pelaksanaan hukuman mati tersebut tidak bisa dicegah dengan Undang-Undang
HAM, dengan catatan terpidana mati tidak mengalami gangguan jiwa atau sedang
menjadi saksi untuk kasus lain.
Pemerintah Indonesia seharusnya mulai menerapkan moratorium eksekusi mati sesuai
rekomendasi dari PBB. Jika masih menolak, pemerintah harus mengevaluasi dan
merevisi undang-undang yang bekaitan dengan kejahatan berat dengan hukuman mati.
13

Jika dilihat dari hubungan bilateral, maka posisi Indonesia akan dipersulit saat
memperjuangkan penundaan eksekusi mati terhadap warganya di negara lain,
terutama warga yang menjadi TKI (Tenaga Kerja Indonesia). Namun, seharusnya
negara yang warganya menjadi terpidana mati memaklumi tindakan Indonesia dalam
menegakkan hukum bagi gembong narkoba internasional, yang juga merupakan
musuh bersama dunia.
Dari beberapa pendapat tersebut, kami merangkumnya menjadi satu pendapat utama,

yaitu:
Pelaksanaan eksekusi mati terpidana narkoba bisa dilaksanakan jika tidak terdapat
hal-hal khusus yang berpotensi melanggar HAM. Sebaiknya pemerintah segera melakukan
evaluasi dan revisi terhadap undang-undang dan mempertimbangkan jenis kejahatan
narkoba yang masuk dalam kategori kejahatan berat dengan eksekusi mati.

14

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari sisi HAM (Hak Asasi Manusia), pelaksanaan eksekusi mati untuk terpidana
narkoba perlu ditinjau kembali. Dalam kacamata hukum, eksekusi perlu dilakukan untuk
mempertegas sistem hukum di indonesia. Tetapi, para terpidana juga memiliki hak untuk
hidup serta mempertahankan hidupnya sehingga pelaksanaan hukuman tetap harus
berdasarkan pada hak asasi manusia. Yang perlu dipertimbangkan dari pelaksanaan eksekusi
mati ini adalah salah satu terpidana mati memiliki kelainan jiwa, sehingga perlu penanganan
terlebih dahulu pada penyakit kejiwaannya.

Saran
Mahasiswa adalah aset bangsa yang mulai mengaplikasikan semua ilmu yang telah
didapatnya kepada masyarakat dan bangsa. Maka, mulai dari sekarang, mahasiswa harus
mulai peduli dengan semua hal yang terjadi di masyarakat, baik itu berpengaruh terhadap
kehidupannya, maupun tidak. Salah satunya dalam memperjuangkan hak asasi manusia
(HAM), karena HAM adalah hak setiap manusia. Walaupun dalam mempedulikan hal
tersebut, kadang juga harus mengorbankan sesuatu dari diri sendiri. Karena hak asasi setiap
manusia adalah sama, mulai dari hak untuk hidup, hak berpendapat, hak bertahan hudup, hak
mencari pekerjaan, dan lain-lain.

15

DAFTAR PUSTAKA
UUD (Undang-Undang Dasar) Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen I, II, III,
& IV
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)
UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Nabilla Tashandra, Negara Dianggap Tak Konsisten dalam Ketentuan Hukuman
Mati di KUHP, 15 Februari 2016,
http://nasional.kompas.com/read/2015/10/10/03423391/Negara.Dianggap.Tak.Konsist
en.dalam.Ketentuan.Hukuman.Mati.di.KUHP
Iffah Nur Afifah, Indonesia Eksekusi Mati 8 Terpidana Mati Kasus Narkoba, 16
Februari 2016, http://www.radioaustralia.net.au/indonesian/2015-04-29/indonesiaeksekusi-mati-8-terpidana-mati-kasus-narkoba/1441300
Burhan, Pro Kontra Pidana Mati di Indonesia, 16 Februari 2016,
http://www.hukumpedia.com/keluarga/pro-kontra-pidana-mati-di-indonesia
DW, PBB: Indonesia Salah Satu Jalur Utama Penyelundupan Narkoba, 16 Februari
2016, http://www.dw.com/id/pbbindonesiasalahsatujalurutamapenyelundupannarkoba/
a18252054
Aulia Bintang Pratama, BNN: Pengguna Berkurang, Indonesia Masih Darurat
Narkotik, 16 Februari 2016,
http://www.cnnindonesia.com/nasional/201502240515351234325/bnnpenggunaberku
rangindonesiamasihdaruratnarkotik/
Aditya Panji Rahmanto, BNN Ingatkan 50 Orang Meninggal Setiap Hari karena
Narkoba, 16 Februari 2016,
http://www.cnnindonesia.com/nasional/201504292022121250148/bnningatkan50oran
gmeninggalsetiapharikarenanarkoba/
Imam Budilaksono, Ketua DPR Dukung Penundaan Eksekusi Mati, 15 Februari
2016, http://www.antaranews.com/berita/494516/ketua-dpr-dukung-penundaaneksekusi-mati
Kompas TV, Pro Kontra Eksekusi Hukuman Mati, 16 Februari 2016,
https://www.youtube.com/watch?v=h78r1pixXVI&feature=youtube_gdata_player

16

Anda mungkin juga menyukai