NIM : 1911031185
No.Absen : 11
Kelas :I
Semester :3
1. Marah Roesli dan Sutan Takdir Alisyahbana merupakan sastrawan Indonesia yang
terkenal. Uraikan perbedaan karakteristik karya sastra mereka!
Jawaban:
Marah Roesli merupakan sastrawan Indonesia angkatan balai pustaka
yakni pada tahun 1908 oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai sarana penerbitan
buku sekolah dan novel atau cerita-cerita daerah Indonesia. Kelompok ini disebut
dengan angkatan balai pustaka karena pada masa tersebut buku-buku sastra pada
umumnya diterbitkan oleh penerbit balai pustaka. Lahirnya angkatan balai pustaka
pada kesusastraan Indonesia dilakukan untuk mengurangi pengaruh buruk
kesusastraan melayu yang dianggap terlalu cabul dan liar pada masa itu. Pada
angkatan balai pustaka ini, karya sastra yang dipublikasikan oleh penerbit merupakan
karya-karya yang amat memelihara perbahasaannya, berbeda dengan karya sastra
lainnya dengan penggunakan bahasa sehari-hari sebagai bahasa pengantar sastranya
dan bahkan tidak jarang di antara karya sastra tersebut yang masih menggunakan
bahasa daerah sebagai bahasa pengantar sastra yang mereka hasilkan.Pada angkatan
balai pustaka, kesusastraan Indonesia lebih bercorak Minangkabau. Hal ini terjadi
karena kebanyakan editor yang ada pada masa balai pustaka memang berasal dari
Sumatra Barat.
Masa ini adalah masa ketika penulis dan editornya lebih banyak berdarah
Sumatra, maka bisa dibilang angkatan ini lebih banyak menghasilkan karya-karya
kesumatraan. Selain disebut sebagai angkatan balai pustaka, karya-karya yang lahir
pada masa angkatan kesusastraan ini juga disebut dengan angkatan dua puluh. Titik
awal angkatan balai pustaka dimulai ketika terbitnya roman Azab dan Sengsara oleh
Merari Siregar, yang disebut juga sebagai awal kebangkitan angkatan balai pustaka.
Karyanya Azab dan Sengsara memang lebih banyak menggunakan Bahasa Melayu
dibandingkan dengan Bahasa Indonesia, karena pada masa itu bahasa Indonesia
masih mengalami perkembangan. Namun, bukan berarti karya Merari ini tidak dapat
diklasifikasikan sebagai karya sastra Indonesia, karena prinsip dasar sastra Indonesia
adalah karya-karya yang dijiwai oleh semangat nasionalisme Indonesia.Karya sastra
di Indonesia sejak tahun 1920 – 1950, yang dipelopori oleh penerbit Balai Pustaka.
Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan
kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia
pada masa ini. Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk mencegah pengaruh
buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang
banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis
(liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-
Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa
Bali, bahasa Batak dan bahasa Madura.
Sedangkan Sutan Takdir Alisyahbana merupakan sastrawan Indonesia
angkatan pujangga baru. Angkatan ini diberi nama Angkatan Pujangga Baru karena
angkatan ini dipublikasikan lewat majalah Pujangga Baru. Angkatan Pujangga Baru
terbentuk tahun 1933. Seiring pelaksanaannya sebagai penerbit, Balai Pustaka
memegang prinsip Nota Rinkes yaitu: netral dari agama, tidak boleh mengandung
politik, dan tidak boleh menyinggung kesusilaan. Namun, Balai Pustaka juga sering
dianggap sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah kolonial mengenai urusan
bacaan yang seharusnya dapat dinikmati secara bebas oleh masyarakat. Prinsip dan
aturan bacaan dari Balai Pustaka tersebut sarat akan legitimasi pemerintah untuk
mengendalikan pemikiran-pemikiran baru yang berpotensi membawa perubahan
atau revolusioner. Prinsip tersebut tentu juga bertentangan dalam penciptaan karya
sastra sebagai bagian dari seni yang mengandung kebebasan dalam mendapatkan
inspirasi serta mengekspresikannya. Hasil dari pertentangan tersebut mengakibatkan
banyak karya sastra dari para pengarang yang ditolak oleh Balai Pustaka.
Para pengarang dengan karyanya yang ditolak tidak sepenuhnya menerima
keputusan tersebut. Beberapa di antaranya tetap berusaha menyebarkan hasil
karyanya, meskipun harus menyandang nama “Bacaan Liar”, “Roman Picisan”, atau
sebutan lainnya yang dianggap lebih rendah dari standar Balai Pustaka. Respon lebih
lanjut dari pertentangan terhadap Balai Pustaka juga dilakukan oleh Sutan Takdir
Alisjahbana. Ia mendirikan majalah Pujangga Baru bersama dengan Armijn Pane dan
Amir Hamzah pada tahun 1933. Semangat mendirikan majalah Pujangga Baru dirasa
membawa perubahan baru dalam sastra Indonesia, khususnya melepaskan diri dari
kekangan Balai Pustaka. Pada akhirnya, istilah Pujangga Baru digunakan sebagai
nama sebuah kelompok sastrawan yang menentang aturan Balai Pustaka dan
dianggap sebagai sebuah angkatan baru dalam periodisasi sastra Indonesia.
Perbedaan karakteristik karya sastra mereka adalah:
Karya Karya
Sitti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka. Dian Tak Kunjung Padam (1932)
1920 mendapat hadiah dari Pemerintah Tebaran Mega - kumpulan sajak (1935)
RI tahun 1969. Layar Terkembang (1936)
Lasmi. Jakarta: Balai Pustaka. 1924. Anak Perawan di Sarang Penyamun
Anak dan Kemenakan. Jakarta: Balai (1940)
Pustaka. 1956.
Sifat Sifat
Bersifat didaktis yaitu lebih cenderung Bersifat dinamis (senantiasa berubah
pada sesuatu khususnya mengenai sesuai dengan perkembangan masyarakat)
permasalahan diatas sehingga terlihat
seolah-olah karyanya hanya itu-itu saja
atau monoton.
Bentuk Bentuk
Bentuknya prosa (roman, cerita pendek, Bentuknya roman, cerpen, novel, kisah,
novel, dan drama) dan puisi yang drama. Berjejak di dunia yang nyata,
menggantikan syair, pantun, gurindam, berdasarkan kebenaran dan kenyataan,
dan hikayat
Masalah yang diangkat dalam karya Masalah yang diangkat dalam karya
sastra sastra
Permasalahan adat, terutama masalah adat Masalahnya bersangkut-paut dengan
kawin paksa, permaduan, dan sebagainya. kehidupan masyarakat kota, seperti
Pertentangan paham antara kaum tua masalah percintaan, masalah individu
dengan kaum muda. Kaum tua manusia, dan sebagainya.
mempertahankan adat lama, sedangkan
kaum muda menghendaki kemajuan
menurut paham kehidupan modern.
Paraphrasa
Sekarang masa depanku sudah jauh dan sulit untuk digapai
Kini masa-masa mudaku sudah pergi jauh tak akan kembali dan tak bisa diulangi
Sekarang hanya penyesalan dan masa depan yang gelap datang membayangi
pikiranku
Yang kini usiaku sudah mulai tua
Analisislah unsur lahiriah dan unsur batiniah yang membentuk puisi tersebut!
Jawaban:
Unsur lahiriah
Struktur lahiriah atau fisik puisi dibagi menjadi 3 yaitu sebagai berikut.
Perwajahan puisi (tipografi)
Tipografi yaitu bentuk puisi yang seperti halaman yang tidak dipenuhi kata-kata
tepi kanan-kiri, pengaturan barisnya hingga baris puisi yang tidak selalu dimulai
dengan huruf kapital dan tidak selalu diakhiri dengan tanda titik. Hal-hal tersebut
sangat menentukan pemaknaan terhadap puisi.
a. Diksi
Diksi yaitu pemilihan kata-kata yang dilakukan oleh penyair dalam puisinya.
Karena puisi adalah bentuk karya sastra yang sedikit kata-kata dapat
mengungkapkan banyak hal, maka kata-katanya harus dipilih secermat
mungkin. Pemilihan kata-kata dalam puisi erat kaitannya dengan makna,
keselarasan bunyi, dan urutan kata. Contoh seperti pada bait: “Menggelepar
tengah malam buta”. Makna dari kata menggelepar tersebut bisa terdengar atau
muncul, dibandingkan dengan kata terdengar ataupun muncul, kata
“Menggelepar” keselarasan bunyinya jauh lebih indah.
b. Imaji
Imaji yaitu kata atau susunan kata-kata yang dapat mengungkapkan
pengalaman indrawi, seperti penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji
dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, medengar, dan merasakan
seperti apa yang dialami penyair. Contohnya pada bait: “Ini muka penuh luka”.
Dari bait tersebut, pembaca seakan melihat luka yang pernah dialami dalam
hidup si penyair.
c. Kata kongkret
Kata kongkret yaitu kata yang dapat ditangkap dengan indera yang
memungkinkan munculnya imaji. Kata-kata ini berhubungan dengan kiasan
atau lambang. Misal kata kongkret “Luka” melambangkan masa lalu yang
buruk yang pernah dialami si penyair.
Bahasa figurative (majas)
Bahasa figuratif yaitu bahasa berkias yang dapat menghidupkan/meningkatkan efek
dan menimbulkan konotasi tertentu. Bahasa figuratif menyebabkan puisi menjadi
prismatis, artinya memancarkan banyak makna atau kaya akan makna.(1)Bahasa
figuratif mampu menghasilkan kesenangan imajinatif, (2)Bahasa figuratif dalah
cara untuk menghasilkan imaji tambahan dalam puisi sehingga yang abstrak
menjadi kongret dan menjadikan puisi lebih nikmat dibaca, (3) Bahasa figuratif
adalah cara menambah intensitas, (4) Bahasa figuratif adalah cara untuk
mengkonsentrasikan makna yang hendak disampaikan dan cara menyampaikan
sesuatu yang banyak dan luas dengan bahasa yang singkat.Bahasa figuratif disebut
juga majas. Contohnya pada bait “Ini muka penuh luka”, majas yang digunakan
adalah majas personifikasi yaitu mengumpamakan benda mati sebagai benda hidup,
dimana “muka” sebagai benda mati diumpamakan sebagai kehidupan seseorang.
Pada puisi diatas penyair menggunakan majas, yaitu majas personifikasi.
Versifikasi
Versifikasi adalah nada, intonasi, atau irama yang amat terasa ketika puisi
disuarakan atau dibaca. Verifikasi terdiri atas rima, ritme, dan metrum. Rima adalah
pengulangan bunyi dalam puisi untuk membentuk musikalisasi atau orkestrasi
sehingga puisi menjadi menarik untuk dibaca. Ritme atau ritma adalah cepat-lambat
irama dalam puisi yang biasanya dibangun melalui kata-kata yang bervokal dua,
tiga, atau empat. Jumlah vokal pada kata selalu menetukan lambat atau cepat irama
puisi. Sedangkan metrum adalah perulangan kata yang tetap; bersifat statis. Rima
mencakup:
a. Onomatope, yaitu tiruan terhadap bunyi, misalnya /ah/ yang memberikan efek
memelas.
b. Bentuk intern pola bunyi, yaitu aliterasi, asonansi, persamaan akhir,
persamaan awal, sajak berselang, sajak berparuh, sajak penuh, repetisi bunyi
[kata], dan sebagainya. Pada puisi di atas banyak menggunakan persamaan
akhir pada bait.
c. Pengulangan kata/ungkapan. Ritma merupakan tinggi rendah, panjang
pendek, keras lemahnya bunyi. Ritma sangat menonjol dalam pembacaan puisi.