Anda di halaman 1dari 11

POLEWALI

MANDAR
DIAN PUSPITA RAHMADANI
210306502017
Kabupaten Polewali Mandar merupakan salah satu daerah tingkat II di
provinsi Sulawesi Barat.
Polewali Mandar sendiri dulunya bernama Polmas atau Polewali Mamasa
Setelah Mamasa pemekaran dan menjadi kabupaten tersendiri, Polmas lalu
berubah nama jadi Polewali Mandar.

Secara sosio-antropologis, masyarakat Kabupaten Polewali Mandar terdiri


dari berbagai macam etnis, agama dan Budaya antara lain; Mandar sebagai
etnis mayoritas, Bugis, Jawa, Makassar, Toraja,  Mamasa dan lain-lain, serta
sub etnis Pitu Ulunnna Salu (PUS), Pattae’, Palili, Pannei, Pattinjo dan lain-
lain. Keanekaragaman etnis dan sub etnis ikut mewarnai konfigurasi budaya
masarakat Polewali Mandar yang sangat kaya dengan nilai budaya, seni,
tradisi , dan berbagai kearifan lokal lainnya.  Tidak kalah pentingnya, bahwa
keanekaragaman tersebut bukan merupakan potensi yang dapat
menimbulkan dis-integrasi, namun justru menjadi perekat terjalinnya
kebersamaan, persatuan, dan kesatuan rakyat Polewali Mandar sebagai
modal utama dalam memacu pembangunan Kabupaten Polewali Mandar
menjadi  masyarakat yang sejahtera, aman, damai, tertib dan makmur, serta
memiliki daya saing dan tetap dalam bingkai  Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang ber Bhineka Tunggal Ika
SUKU MANDAR

Mandar ialah suatu kesatuan etnis yang berada di Sulawesi Barat. Dulunya, sebelum terjadi pemekaran wilayah,
Mandar bersama dengan etnis Bugis, Makassar, dan Toraja mewarnai keberagaman di Sulawesi Selatan.
Meskipun secara politis Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan diberi sekat, secara historis dan kultural Mandar
tetap terikat dengan “sepupu-sepupu” serumpunnya di Sulawesi Selatan. Istilah Mandar merupakan ikatan
persatuan antara tujuh kerajaan di pesisir (Pitu Ba’ba’na Binanga) dan tujuh kerajaan di gunung (Pitu Ulunna
Salu). Keempat belas kekuatan ini saling melengkapi, “Sipamandar” (menguatkan) sebagai satu bangsa melalui
perjanjian yang disumpahkan oleh leluhur mereka di Allewuang Batu di Luyo.
Tradisi suku mandar

-Massorong Lopi

upacara tradisional yang senantiasa masih dipertahankan sampai sekarang oleh masyarakat etnik Mandar
khususnya masyarakat di polewali mandar adalah tradisi ritual massorong lopi (mendorong perahu ke sungai).
Dalam ritual tradisi massorong lopi tersebut mengandung makna simbolik yang dijadikan oleh mesyarakat
pendukungnya,.Karena makna simbolik yang terkandung dalam suatu tradisi tersebut, merupakan suatu acuan
sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk individual yang tidak terlepas dari kaitannya pada kehidupan
masyarakat dengan orientasi kebudayaannya yang khas. Pada masyarakat sulawesi barat sangat takut untuk
tidak melaksanakan dan meninggalkan tradisi ritual massorong lopi dalam kehidupan mereka. Mereka rela untuk
berkorban materi dan tenaga demi terlaksananya tradisi tersebut. Kegiatan ini juga berdampak pada berbagai
aspek kehidupan masyarakat, mulai dari aspek sosial, religi, budaya dan lain sebagainya.
Ritual massorong lopi ini merupakan tradisi warisan nenek moyang terdahulu yang diyakini sebagai pencucian
diri atau penolak bala dari berbagai gangguan bencana alam dan gangguan wabah penyakit yang dapat
membahayakan kehidupan masyarakat. Keyakinan tersebut, dilatarbelakangi oleh pengalaman nenek moyang
yaitu berupa kemarau yang panjang, angin yang kencang, dan terjadinya wabah penyakit yang menimpah
seluruh masyarakat pendukungnya. Kejadian-kejadian seperti itu dampaknya bukan hanya merupakan hasil
pertanian atau nelayan yang tidak menghasilkan ikan, akan tetapi juga membahayakan keselamatan
masyarakat itu sendiri.
 
Untuk mengatasi kondisi seperti tersebut di atas, maka
diadakanlah pertemuan (sitammu uju) antara para tokoh dan
pemangku adat pada waktu itu untuk membicarakan solusi terbaik,
agar kondisi seperti itu dapat kembali normal atau dapat terhindar
dari berbagai bencana dan penyakit. Dalam acara sitammu uju itu,
disepakatilah agar para pendukung ritual ini dianjurkan untuk
membuat perahu (lopi) yang di dalamnya diisi berbagai macam
makanan dan sesajian lainnya, kemudian lopi tersebut didorong ke
muara sungai. Mereka percaya bahwa dengan dilaksanakannya
ritual massorong lopi, maka segala bencana alam dan wabah
penyakit yang dihadapi akan dapat teratasi, dan bahkan rezekinya
berlimpah baik sebagai petani maupun sebagai nelayan. Atas
dasar itulah, maka masyarakat Tapango hingga saat ini, masih
melakukan tradisi tersebut, bahkan pendukung tradisi ritual ini
telah mengagendakan pelaksanaannya apakah setiap tahun atau
dua tahun, tepatanya sebelum atau sesudah bulan Syafar.
Marroma merupakan upacara yang diselenggarakan ketika
-upacara maromma oleh sando meanaq masa kehamilan telah memasuki usia bulan kedua atau
ketiga, terdiri atas kata romak dan diawali dengan imbuhan
Suku Mandar memiliki tradisi yang kuat terkait dengan ma. Kata romak sendiri berarti menjemput bayi dalam perut
masa kehamilan dan pasca persalinan. Hal ini dapat ibu atau acara pemeriksaan ibu hamil. Sedangkan awalan
dilihat dari adanya upacara yang dilaksanakan oleh ma menunjukkan kegiatan yang dilakukan oleh seorang
sando meanaq (dukun bayi) seperti marroma (menjemput dukun beranak (sando meanaq). Pada upacara ini hanya
bayi) mappadai toyang (menaikkan ke ayung)  dilakukan dalam lingkungan keluarga terdekat saja dan tidak
mengundang orang lain,
-Peran sando meanaq pada saat persalinan

sando meanaq (dukun beranak/bersalin) sangat berperan untuk membantu melahirkan sosok bayi dari perut ibunya. Karena itu jika
seorang ibu yang akan melahirkan, maka tidak saja kedua pasangan suami isteri itu yang sibuk melainkan seluruh kerabat dekat,
terutama mertua dari kedua belah pihak. Pada saat-saat akan melahirkan biasanya didampingi oleh orang tuanya (perempuan)
sendiri. Ketika sang bayi telah lahir maka secara serentak ditumbukkan alu (antan) dan bunyi bambu dibelah secara keras. Kegiatan
yang dilakukan di bawah kolong rumah ini dimaksudkan agar sang bayi kelak bila dewasa tidak mudah terkejut bila mendengar
suara letusan yang keras. Selanjutnya sando meanaq memotong belarang (tali tembuni/ari-ari), dengan menggunakan sebuah
sembilu peralatan yang terbuat dari irisan bambu yang mereka sebut banni’ yang telah disiapkan terlebih dahulu. Apabila bayi yang
dilahirkan itu adalah laki-laki maka belarang itu beralaskan dayung perahu, sedangkan bila anak yang lahir itu adalah perempuan
maka belarangnya dialaskan pada panette, yakni berupa alat pertenunan. Kedua jenis alas tersebut dimaksudkan agar kelak bila
dewasa bagi yang laki-laki mampu merantau ke negeri lain, sedangkan bila anak perempuan maka kelak nanti bila telah dewasa
dapat menenun kain.
-Fungsi Upacara maromma

Penyelenggaraan upacara kehamilan maupun kelahiran dalam keluarga orang Mandar mempunyai fungsi
untuk senantiasa menjaga kesehatan tubuh sang ibu, agar tetap dalam kondisi yang prima terutama dapat
terhindar dari adanya roh-roh jahat. Demikian pula pada saat proses kelahiran anaknya dapat berjalan lancar
serta tidak mendapat gangguan yang berarti. Fungsi lain dari upacara kehamilan dan kelahiran ini, terutama
pada hari ketujuh lahirnya seorang anak dari rahim ibunya dengan mengadakan upacara aqikah, merupakan
perwujudan pelaksanaan anjuran agama Islam berdasarkan sunnah Nabi Muhammad saw. Bagi seorang anak
yang lahir sampai masa kanakkanak dan belum diupacarakan (aqikah), maka anak tersebut masih dianggap
kurang sempurna. Bagi keluarga, penyelenggaraan suatu upacara dapat dijadikan sebagai ajang silaturrahmi
antar sesama kerabat, tetangga maupun terhadap handai taulan lainnya dan juga sebagai alat komunikasi
simbolik bagi sesame pendukung upacara.
Kalau pada masa lalu seorang ibu yang ingin mengetahui dirinya bahwa apakah ia sudah hamil atau
tidak, selain dapat diketahuinya dengan melalui dinamika sikap psikologi, yakni merasa selalu mual-
mual atau muntahmuntah yang juga ditandai dengan keinginan mengkonsumsi buah-buahan terasa
kecut. Untuk lebih meyakinkan sang calon ibu itu melalui suaminya mencari seorang sando meanaq
(dukun beranak) untuk memastikan kehamilannya. Lalu diselenggarakanlah berbagai kegiatan sampai
dengan masa menanti kelahiran sang calon bayi. Bagi sebagian kecil masyarakat Mandar yang berdiam
di pelosok pedalaman, maka pengalaman seperti di atas masih mewarnai kehidupan mereka.
Akan tetapi bagi mereka yang saat ini sudah ditinggal diibukota perkotaan, seperti halnya di lokasi
penelitian ini berlangsung maka sebagian besar dari ibu-ibu rumah tangga datang memeriksakan diri ke
Puskesmas yang terdekat, bahkan ke Rumah Sakit Umum yang berada di tingkat kabupaten dan tidak
jarang yang memanfaatkan jasa dokter-dokter praktek ahli atau spesialis kebidanan, untuk
memeriksakan kehamilannya.
-Penutup

Masyarakat Polewali Mandar merupakan satu kesatuan sosial budaya dengan latar belakang etnik suku
Bangsa Mandar. Sebagai satu kesatuan sosial budaya maka masyarakat tersebut telah sejak lama
memiliki seperangkat upacara tradisional berkaitan dengan daur hidup. Sampai saat ini mereka masih
tetap mempertahankan nilai-nilai yang terkandung dalam upacara daur hidup tersebut, yang salah
satunya meliputi upacara kehamilan/kelahiran. Dalam penyelenggaraan setiap upacara daur hidup
tersebut, tidak saja diselenggarakan karena merupakan kewajiban ritual semata, melainkan mengandung
unsur-unsur kebersamaan, serta didasari oleh nilai kekeluargaan dan gotong royong.Meskipun pada
pelaksanaan setiap upacara daur hidup ini, nampaknya masih merupakan percampuran antara nilai-nilai
yang bersumber dari adat istiadat masyarakat setempat dengan ajaran yang Islam, namun menurut
pandangan mereka perpaduan antara aturan agama (Islam) dan aturan adat tidaklah
bertentangan.Karena itu kekuatan nilai-nilai kepercayaan yang terkandung dalam system upacara
lingkaran hidup diwujudkan oleh masyarakat pada sikap, perilaku dan tata cara berfikirnya dalam setiap
berinteraksi. Unsur-unsur dalam system upacara lingkaran hidup merupakan hal yang sangat penting
untuk dilakukan, sebab meraka yakin bahwa semakin terlaksananya dengan baik upacara daur hidup
yang mereka selenggarakan, maka diharapkan akan memberi keseimbangan yang dinamis dalam
kehidupannya
THANKS
YOU!

Anda mungkin juga menyukai