Oleh
Kelompok :
Dosen Pengampu :
PRODI SOSIOLOGI
Etnis Madura mengacu pada kelompok etnis yang berasal dari pulau Madura,
sebelah timur Jawa, Indonesia. Suku Madura memiliki budaya yang kaya dan unik,
termasuk bahasa, adat istiadat, seni, dan agama. Mereka dikenal sebagai kelompok yang
gigih, ulet dan memiliki semangat yang kuat menghadapi tantangan hidup. Asal daerah
tidak selalu berdampak positif terhadap kerjasama, persatuan atau integrasi, tetapi juga
dapat menimbulkan persaingan, konflik atau konflik sosial.
Puspa dan Prajarto (2008) mengungkapkan ada tiga belas stereotip Madura yang
melekat di benak warga etnis Dayak dan Melayu, yaitu: (1) senang berkelompok; (2)
ikatan kekeluargaan yang kuat; (3) suka membawa senjata tajam; (4) kasar dan arogan;
(5) agresif dan tidak tahu adat; (6) mudah tersinggung dan pendendam; (7) suka
mencuri; (8) suka membunuh; (9) pengecut; (10) suka ingkar janji; (11) berpendidikan
rendah; (12) ulet dan suka bekerja keras; dan (13) rajin menabung. Selanjutnya,
prasangka terhadap Madura diekspresikan dalam berbagai wujud, yaitu: (1) antilokasi;
(2) penghindaran; (3) diskriminasi; (4) serangan fisik; dan (5) pemusnahan.
Pada kehidupan sosial orang Madura, mereka sangat terikat dengan masyarakat
sesama etnis Madura yang walaupun bukan termasuk keluarga atau kerabat mereka.
Didalam kehidupan sosial, sudah menjadi kewajiban mereka untuk menolong dan
membantu orang sedaerah asalnya seperti bersedia menerima pendatang musiman dari
Madura sekaligus mencarikan mereka pekerjaan. (Achadiyat, 1989)
Pembahasan
Etnik Madura di Kalimantan Barat adalah pendatang yang datang dari
Bangkalan Madura pada akhir abad ke-19 dan menetap di daerah tersebut baru sekitar
tahun 1920. Tujuannya untuk mencari tanah yang lebih subur dari pulau asalnya di
pulau tersebut. Kedatangan etnik Madura di Kalimantan Barat berlangsung selama dua
periode. Pada periode pertama, orang Madura tiba di Kalimantan Barat diperkirakan
antara tahun 1902 dan 1942 dari Bangkalan dengan perahu layar tradisional, mendarat
di Kerajaan Sukadana (Kabupaten Ketapang) pada tahun 1902, kemudian Kota
Pontianak pada tahun 1910 dan Kabupaten Sambas pada tahun 1930.
Ketiga daerah ini mudah diakses karena dapat dinavigasi langsung dari Pulau
Madura. Motivasi utama mereka untuk datang adalah bisnis dan mencari pekerjaan.
Periode kedua terjadi sebelum dan sesudah kemerdekaan, yaitu sekitar tahun 1942-
1950. Masa ini merupakan masa peralihan, perekonomian juga tidak menentu, sehingga
masyarakat Madura cenderung mengikuti langkah awal para perintisnya untuk mencoba
peruntungan dan bersedia melakukan pekerjaan apa saja tergantung wilayah yang
mereka tuju.
Masa ini pemerintah juga sedang merancang program migrasi yang lebih
permanen dan menjanjikan, namun di sisi lain Pulau Madura yang terus menerus
kelebihan beban tidak bisa menerima semua orang Madura. Pada masa ini, orang
Madura yang tiba di wilayah Kalimantan Barat tidak hanya dimotivasi oleh pencarian
pekerjaan, tetapi juga oleh harapan akan kehidupan baru yang lebih manusiawi. Orang
Madura tiba di Kalimantan Barat secara besar-besaran antara tahun 1980 dan 1998.
Bahkan terkadang pada masa orde baru, kehadiran Madura sangat berperan
penting dalam perpolitikan Kalbar, dengan anggota DPRD Tingkat I dan II bahkan ada
yang menjabat sebagai penguasa di beberapa daerah Kalbar. Pola pemukiman etnik ini
mengelompok. Secara fisik, perumahannya berbeda dari etnik lainnya dan biasanya
berbentuk rumah tunggal yang dicat dengan berwarna-warni dan ditempati oleh
beberapa kepala keluarga yang satu sama lainnya masih memiliki hubungan
kekarabatan. Jika tidak berkerabat, biasanya mereka berasal dari satu wilayah yang
sama di Pulau Madura. Anak perempuan yang telah mencapai usia pubertas, rata-rata
langsung menikah meskipun secara pedagogis belum dewasa untuk usianya.
Di antara pemukiman etnis Madura, biasanya terdapat surau atau rumah ibadah
yang berbentuk langgar. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Madura sangat dekat
dengan sesama warganya, meski bukan kerabat, namun daerah asal penting bagi
mereka. Dalam kondisi seperti ini, anggota masyarakat harus mau menerima pendatang
musiman dari Madura sambil mencari peluang kerja yang berbeda. Mereka memiliki
kewajiban untuk membantu orang-orang dari tempat asalnya, dalam berbagai kehidupan
sosial. Hubungan sosial antar suku bangsa ini terwujud dalam berbagai kegiatan sosial
dan keagamaan dalam bentuk lembaga sosial dan keagamaan. Lembaga sosial yang ada
dan dikembangkan oleh masyarakat Madura di Kalimantan Barat adalah arisan berupa
uang atau barang. Lembaga lain yang dikembangkan antara lain kesenian Kasidangan
atau rebana, Serakal atau Marhaban yaitu kesenian dan Majlis Taklim atau pengajian
Al Quran. Karakter dan kepribadian etnis ini meliputi keberanian, kekuatan fisik, kerja
keras, tekad, percaya diri, kesederhanaan, berhemat, tidak memilih jenis pekerjaan, upah
rendah, dan kepatuhan kepada pemimpin adat dan agama.
Pekerjaan suku ini antara lain menjadi supir angkot, supir perahu/sampan (jasa
transportasi), tukang kayu/tukang batu, membeli emas dan menjual sayuran. Masyarakat
yang tinggal di pedesaan biasanya bekerja sebagai petani selain beternak sapi atau
kambing. Selain karakter dan kepribadian yang positif, masih banyak karakter yang
menyimpang dan berbagai perilaku negatif lainnya seperti keras kepala, keinginan
untuk menang sendiri, kecenderungan untuk memaksakan kehendak, kesombongan,
menyelesaikan masalah dengan kekerasan, bangga dengan tradisi dan budaya seseorang,
kurang tertarik dengan tradisi dan adat istiadat setempat, kepribadian yang tidak
seimbang.
Pada masa sebelum konflik etnik di Kalimantan Barat, etnik Madura tidak hanya
berada di Pontianak tetapi tersebar di berbagai desa di daerah seperti Sambas,
Bengkayang, Sanggau, Sintang, Ketapang serta Kabupaten Pontianak. Namun setelah
konflik, mereka diusir dari daerahnya dan kini konsentrasi pemukiman mereka saat ini
kecuali Kota Pontianak, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Pontianak khususnya di
Desa Tembang Kacang, tempat pemerintah bersiap untuk memukimkan kembali
pengungsi etnis Madura yang menjadi korban konflik etnis di Kalimantan Barat.
Kesimpulan
Konflik yang terjadi antara etnik Dayak dan Madura di Kalimantan Barat, pada
umumnya, lebih disebabkan oleh masalah perbedaan sosial budaya, sementara masalah
ekonomi, politik dan Hamkamnas merupakan faktor pembenaran. Artinya, bukan
merupakan penyebab utama. Seandainya faktor budaya sebagai akar penyebab tidak
muncul, maka masalah ekonomi, politik dan hamkamnas tidak akan nampak ke
permukaan. Budaya dan masyarakat yang berbeda antara satu dengan yang lain terdapat
cara-cara yang saling berbeda dalam menyelesaian konflik, dan merumuskan solusi
penyelesaian konflik perlu mempertimbangkan budaya komunitas yang sedang
mengalami konflik.
Daftar Pustaka
Arkanudin. (2006). Menelusuri Akar Konflik Antaretnik di Kalimantan Barat.
MEDIATOR, Vol. 7 No.2, 185-193.
Arkanudin. 2010. Kebudayaan Dayak Dulu dan Sekarang. Diakses melalui
http://arkandien.blogspot.com/2010/ pada tanggal 14 juni 2023.
D Aju. 2021. Otonomi Khusus di Pulau Kalimantan Wilayah Indonesia. Diakses
melalui https://www.dio-tv.com/international/pr-5043567359/otonomi-khusus-
di-pulau-kalimantan-wilayah-indonesia pada tanggal 12 Maret 2023.
Arkanudin. 2005. Menelusuri Akar Konflik Antaretnik di Kalimantan Barat. Diakses
melalui https://123dok.com/document/zlr140lz-menelusuri-akar-konflik-
antaretnik-arkanudin-mediator-jurnal-komunikasi.html pada tanggal 12 Maret
2023.
F Sumaya. 2020. Identitas Dalam Konflik Di Kalimantan Barat (Sebuah Pemetaan
Konflik). Diakses melalui
http://jurnal.unpad.ac.id/jkrk/article/download/28149/13923 pada tanggal 14
Maret 2023.
Nagara, Dhian Puspa, Nunung Prajarto. 2008. Strereotip dan prasangka dalam
komunikasi antarbudaya :: Studi komunikasi antarbudaya antar etnis Dayak dan
Melayu terhadap etnis Madura di Singkawang Kalimantan Barat. Diakses
melalui http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/40406 pada tanggal 14
Maret 2023