Tapi fokus saya saat ini akan membahas mengenai konflik sampitnya saja, lalu apa
sebetulnya penyebab dari konflik sampit ini? Dari berita yang saya lihat konflik ini terjadi
semakin parah karena adanya perbedaan nilai-nilai kebudayaan, antara suku Dayak dan Madura.
Terjadi kesalahpahaman antara orang Madura dan Dayak, karena kebiasaan dari orang Madura
sendiri adalah dengan membawa celurit kemanapun, membuat orang Dayak menganggap hal
tersebut sebagai siap untuk berkelahi. Padahal bukan seperti itu maksud dari orang Madura,
seperti makna konotasi yaitu dalam tradisi celurit adalah simbol kejantanan laki-laki dan dalam
artian lain bentuk celurit mirip seperti tulang rusuk manusia. Agar kejantanan laki-laki tidak
berkurang mereka menggantinya dengan celurit yang diselipkan di punggung bagian kiri.
Konflik ini semakin menjadi kala seorang etnis Dayak bernama Sandong, tewas akibat luka
perkelahian yang dia dapat dan membuat masyarakat Dayak sangat marah. Lalu berakhir dengan
saling serang yang membuat sekitar 1.335 orang Madura mengungsi.
Jika saya sambungkan dengan kategori konflik itu sendiri, berdasarkan penampakannya
konflik Madura dan Dayak ini termasuk ke dalam konflik permukaan, dimana konflik yang
memiliki akar dangkal atau tidak berakar dan muncul karena kesalahpahaman dan sifatnya lebih
mudah untuk diatasi melalui komunikasi. Seperti kesalahpahaman yang tadi saya bicarakan di
atas, mengenai celurit yang selalu dibawa oleh orang Madura dan dimaknai berbeda oleh orang
Dayak. Dan teori yang menurut saya juga cocok adalah teori kesalahpahaman sosial-budaya,
dimana menganggap konflik disebabkan oleh ketidakcocokan dalam cara-cara berkomunikasi
karena perbedaan latar belakang sosial budaya di antara orang Madura dan Dayak.
Agar kejantanan laki-laki tidak berkurang mereka menggantinya dengan celurit yang
diselipkan di punggung bagian kiri. Konflik ini semakin menjadi kala seorang etnis Dayak
bernama Sandong, tewas akibat luka perkelahian yang dia dapat dan membuat masyarakat Dayak
sangat marah. Lalu berakhir dengan saling serang yang membuat sekitar 1.335 orang Madura
mengungsi. Jika saya sambungkan dengan kategori konflik itu sendiri, berdasarkan
penampakannya konflik Madura dan Dayak ini termasuk ke dalam konflik permukaan, dimana
konflik yang memiliki akar dangkal atau tidak berakar dan muncul karena kesalahpahaman dan
sifatnya lebih mudah untuk diatasi melalui komunikasi.
Situasi kericuhan antara suku Dayak dengan Madura diperparah dengan kebiasaan dan
nilai-nilai berbeda yang dimiliki keduanya. Seperti adat orang Madura yang membawa parang
atau celurit ke mana pun, membuat orang Dayak berpikiran bahwa tamunya ini siap untuk
berkelahi. Konflik Sampit sendiri diawali dengan perselisihan antara dua etnis ini sejak akhir
2000. Pertengahan Desember 2000, bentrokan antara etnis Dayak dan Madura terjadi di Desa
Kereng Pangi, membuat hubungan keduanya menjadi bersitegang. Ketegangan semakin
memuncak setelah terjadi perkelahian di sebuah tempat hiburan di desa pertambangan emas
Ampalit. Seorang etnis Dayak bernama Sandong, tewas akibat luka bacok yang ia dapat.
Kejadian ini kemudian membuat keluarga dan tetangga Sandong merasa sangat marah.
Dua hari setelah peristiwa tersebut, 300 warga Dayak mendatangi lokasi tewasnya
Sandong untuk mencari sang pelaku. Tak berhasil menemukan pelakunya, kelompok warga
Dayak melampiaskan kemarahannya dengan merusak sembilan rumah, dua mobil, lima motor,
dan dua tempat karaoke, milik warga Madura. Penyerangan ini lantas membuat 1.335 orang
Madura mengungsi.
Pada 18 Februari 2001 suku Dayak berhasil menguasai Sampit. Polisi menahan seorang
pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu dalang di balik serangan ini. Orang yang ditahan
tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi kerusuhan di Sampit. Kemudian,
ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya sembari meminta pembebasan
para tahanan. Permintaan mereka dikabulkan oleh polisi pada 28 Februari 2001, militer berhasil
membubarkan massa Dayak dari jalanan. Dari Konflik Sampit ini sedikitnya 100 warga Madura
dipenggal kepalanya oleh suku Dayak. Konflik Sampit sendiri mulai mereda setelah pemerintah
meningkatkan keamanan, mengevakuasi warga, dan menangkap provokator. Untuk
memperingati akhir konflik ini, dibuatlah perjanjian damai antara suku Dayak dan Madura.
Guna memperingati perjanjian damai tersebut, maka dibentuk sebuah tugu perdamaian di
Sampit.