Anda di halaman 1dari 3

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Madura, Dayak, Melayu dan Keterlibatannya di konflik Sampit


"Orang Madura itu bau sapi, orang Dayak bau ular"
Kekuatan-kekuatan masyarakat seperti lembaga swadaya masyarakat, tokoh-tokoh
masyarakat, dan para pakar, akan berkumpul di Sampit mulai 23 Mei 2001 dalam "Kongres
Rakyat Kalimantan". Tujuannya adalah mencari solusi persoalan konflik antaretnis di Sampit,
juga di daerah Kalimantan lainnya, atau bahkan di berbagai daerah di Indonesia. Dalam
perhelatan itu, Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Ph.D., 63 tahun, seorang ahli antropologi dari
Universitas Indonesia (UI), dipastikan mampu memberi sumbangan penting dalam mencari
penyelesaian konflik secara permanen. Ia adalah pengajar S2 dan S3 di Jurusan Antropologi UI
yang punya pengalaman lapangan matang di daerah konflik antaretnis di Kalimantan sejak
peristiwa Sambas dua tahun lalu. Ia mewawancarai penduduk lokal untuk mendengar suara
mereka. "Orang Dayak itu sebenarnya cinta damai," kata beliau. Lalu, ia menjelaskan mengapa
orang Dayak bisa menjadi pembunuh kepada Endah W.S. dan Bernard Chaniago dari TEMPO,
di Kompleks Dosen UI, Ciputat, Kamis malam lalu.
Kebanyakan analisis pakar menyatakan, konflik antaretnis di Sampit adalah benturan
budaya. Menurutnya, konflik sampit merupakan konflik antarsuku bangsa dalam hubungan sosial
yang menyangkut jati diri suku bangsa di dalam masyarakat setempat. Jadi, masalahnya adalah
benturan antarsuku bangsa yang menggunakan acuan kebudayaan menurut stereotip atau
keyakinan masing-masing, bukan menggunakan acuan kebudayaan secara obyektif. Sebab, bila
pangkal persoalannya adalah benturan kebudayaan maka yang harus diteliti adalah akulturasi. Hal
ini sama sekali tidak relevan dengan kejadian di Sampit. Sebagian kecil orang Madura merupakan
preman yang cepat mencabut parang untuk membunuh. Lalu, orang-orang Dayak bereaksi sesuai
dengan keyakinan dasar mereka, yaitu Kaharingan. Mereka percaya adanya dewa-dewa dan
kekuatan roh-roh yang menjaga kehidupan kesejahteraan hidup manusia. Akhirnya, orang-orang
Dayak menyerahkan masalah ini kepada leluhur untuk minta keadilan dan minta petunjuk, yang
disebut manenung atau meramal. Dalam kegiatan itu, dilakukan upacara memanggil roh-roh atau
Ngayu untuk membasmi orang-orang Madura yang preman tadi. Masalahnya, roh-roh ini tidak
bisa membedakan yang mana preman dan yang bukan. Begitu nayau masuk ke badan, orang itu
melakukan pembantaian. Akhirnya orang asal Madura yang preman atau tidak pun dibantai.
Menurut informasi masyarakat setempat, awalnya orang Dayak memang pasukan kecil
sekitar 80-an orang. Namun, orang Dayak itu memang membantai orang Madura dengan cara
mengerikan. Saat itu orang Dayak masih kerasukan roh sehingga anggota pasukan memenggal
kepala orang Madura. Ia mengenali orang Madura dengan perasaannya bahwa Orang Madura itu
bau sapi, orang Dayak bau ular, dan orang Jawa itu bau manusia. Hal ini menarik karena bila
Ngayau ini tidak segera dikembalikan, mereka akan terus minta darah serta bisa memakan banyak
korban. Sehingga diadakan upacara mengembalikan Ngayau ke langit dengan menyembelih tiga
ekor kerbau atau sapi di bukit batu, daerah keramat di selatan Palangkaraya. Orang-orang yang
dipakai membunuh ini diberi tanda bahwa mereka sudah bersih dan menjadi orang normal lagi.
Artinya, mereka sudah tidak lagi melakukan pembantaian dan pertumpahan darah. Setelah
kelompok kecil itu menang, orang-orang Dayak yang semula tidak berani jadi ikut-ikutan. Semua
menganggap dirinya pahlawan sehingga semuanya ingin menyerbu. Sebenarnya sudah ada
perjanjian damai di Sampit tapi yang melanggar itu orang Dayak juga. Penyebabbya adalah setelah
perjanjian damai di Sampit tidak ada ancaman bagi orang-orang Dayak, baik di Sampit maupun di
Palangkaraya, Kualakapuas, dan Pangkalanbun.
Sebelum tahun 1894, orang Dayak itu tukang mengayau, tukang membunuh. Setelah itu
keluar perjanjian di Tumbang-anoi yang berbunyi setiap pelaku kejahatan harus membayar denda
melalui sebuah upacara, bukan nyawa dibayar nyawa. Setelah ada perjanjian tersebuta orang
Dayak di Kalimantan Tengah itu cinta damai dan mereka selalu mengalah. Sebenarnya akar
konflik di Sampit dan daerah lain adalah hubungan sosial yang ada aturan main dan harus ditaati,
yang bisa berupa konvensi sosial, aturan adat, dan yang berdasar hukum. Tapi aturan main itu
tidak berjalan dengan baik. Dalam menyelesaikan konflik ini pemerintah tidak berpihak ke salah
satu etnis. Yang menarik, orang Madura menganggap pemerintah berpihak pada Dayak, dan
orang Dayak menganggap sebaliknya. Namun tidak semua aparat kepolisian terbiasa menangani
masalah suku bangsa seperti ini dan menangani gejala konflik etnis. Akhirnya kedua etnis itu
memusuhi polisi.
Pada masa itu terkadang, ada laporan media massa yang menyatakan terjadi serangan ke
orang Dayak. Setelah diperiksa tidak terjadi apa-apa. Hal ini menimbulkan meluasnya konflik
salah satunya karena memang ada tukang kipasnya, yang merasa ikut andil ingin memenangkan
orang Dayak. Bila ada provokasi, bisa terjadi konflik lagi dan yang digempur bukan Madura, tapi
pemerintah. Maka tujuan kongres ini untuk mengembalikan prinsip negara Indonesia sebagai
negara kesatuan. Orang asli Kalimantan kembali bersatu dengan suku bangsa yang ada. Karena
itu, orang-orang Madura harus diterima kembali. Tapi orang-orang Madura yang diterima bukan
yang preman. Kesepakatan yang dihasilkan dalam kongres ini nantinya akan menjadi payung bagi
masyarakat lokal, hingga peringkat kelurahan, RW, RT.
Untuk meminimalisir terjadinya konflik terulang, maka setiap orang Madura yang
diterima tinggal di Sampit adalah orang Madura yang sudah punya dua hingga tiga generasi.
Pendatang baru harus diperiksa latar belakangnya. Ide menerima kembali orang Madura itu jauh
lebih maju daripada yang di Sambas. Di Sambas, orang Melayu sama sekali tidak mau menerima
orang Madura, meskipun orang Madura sudah tinggal selama tiga generasi. Menariknya solusi di
Sampit itu bukan suara pemerintah, tapi suara orang Dayak sendiri. Ide screening ini bisa
direalisasi dengan ikrar orang Madura di Pangkalanbun yang menyatakan akan mematuhi dan
memagari mereka sendiri dari penyusupan para preman. Misalnya, mereka tidak mau menerima
orang yang tidak memiliki indentitas jelas. Malam hari setelah ikrar ini dibuat, penduduk Melayu,
Dayak, Banjar, dan Jawa, diberikan pilihan ingin perang atau damai. 50 persen mengatakan
perang, sisanya damai. Ternyata yang paling bersemangat untuk berperang adalah orang Melayu
dan Banjar. Alasannya, orang Madura tidak bisa beradaptasi, tidak bisa menghargai namun ada
beberapa yang bisa beradaptasi yaitu orang-orang Madura yang sudah tinggal di Kalimantan
selama dua atau tiga generasi. Saat ini masih ada sekitar 20 ribu orang Madura yang masih tinggal
dan dilindungi di Sampit.
Sumber:::::http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/05/14/WAW/mbm.20010514.WAW792
69.id.html



KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Hari ini 18 Februari : Kekerasan Antaretnis Dayak dan Madura Pecah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- 12 tahun lalu, 18 Februari 2001, konflik Sampit
pecah. Ini adalah tragedi berdarah yang menelan banyak korban di masa orde reformasi dimulai.
Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan Tengah dan meluas ke seluruh provinsi, termasuk
ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku Dayak asli dan warga migran Madura dari
pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang
oleh sejumlah warga Dayak. Konflik Sampit pada 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena
telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar
terakhir terjadi pada Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas
Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program
transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh
pemerintah Indonesia. Tahun 2000, transmigran membentuk 21 persen populasi Kalimantan
Tengah. Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura
yang semakin agresif. Aturan-aturan baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh
kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, pertambangan dan
perkebunan.
Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi
mengklaim bahwa ini disebabkan serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor
mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok
anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman Madura. Sedikitnya 100
warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak selama konflik ini. Suku Dayak memiliki
sejarah praktik ritual pemburuan kepala (Ngayau), meski praktik ini dianggap musnah pada awal
abad ke-20.
SUMBER
http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/13/02/18/mif18e-hari-ini-18-februari-
kekerasan-antaretnis-dayak-dan-madura-pecah.

Anda mungkin juga menyukai