MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Islam Dan Budaya Madura yang
dibina oleh
Wasilul Chair, S.H.I., M.S.I.
Oleh:
Kelompok 4
Moh. Alfian Febriyanto 19383041074
Alfiannur Dimas Mahendra 19383041075
Yeni Nor Diana Putri 19383042109
Ririn Triana Sari 19383042112
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk hidup pasti membutuhkan orang lain. Karena
manusia merupakan makhluk sosial yang tidak akan terlepas dari saling bergantung
dengan manusia yang lainnya. Artinya dalam hal ini setiap manusia pasti akan memiliki
hubungan dengan sesama dikarenakan adanya suatu interaksi sosial. Hubungan
tersebut mempunyai maksud dan tujuan tertentu. Berdasarkan hal tersebut menurut
Soekanto, manusia mempunyai naluri untuk selalu hidup dengan orang lain yang
disebut gregariousness, sehingga manusia juga disebut social animal (hewan sosial).1
Antara manusia satu dengan lainnya di setiap wilayah tidak sama. Setiap
Negara memiliki perbedaan yang mendasar sebagai ciri khas suatu Negara tertentu.
Salah satunya di Negara Indonesia. Indonesia memiliki keragaman dalam budaya,
bahasa, dan suku bangsa. Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki
banyak pulau, sehingga dari hal tersebut memicu adanya keragaman suku bangsa. Suku
bangsa dapat diartikan sebagai suatu golongan yang mengidenfikasikan bahwa mereka
masih dalam satu ras atau golongan dalam kelompok tertentu. Suku atau ras tertentu
dapat ditandai dengan adanya persamaan bahasa, budaya, agama, perilaku, dan
karakteristik biologisnya. Salah satu suku bangsa yang ada di negara Indonesia yaitu
suku Madura yang hidup di wilayah sekitar pulau Madura.
Pulau Madura adalah pulau yang terdiri dari empat kabupaten, yaitu
Pamekasan, Sumenep, Sampang, dan Bangkalan. Umumnya masyarakat Madura
memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan, buruh tani, pedagang, dan lainnya.
Sehingga dalam hal ini, menimbulkan adanya stratifikasi atau pelapisan sosial
masyarakat di Madura. Stratifikasi sosial tidak hanya berhubungan dengan urutan kelas
kehidupan masyarakat Madura saja, tetapi juga berhubungan dengan bahasa
1
Diakses dari https://digilib.uinsgd.ac.id pada tanggal 25 September 2021 pukul 18.34 WIB.
1
masyarakat Madura. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas lebih mendalam
dan menganalisis kembali tentang stratifikasi sosial dalam masyarakat Madura.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini, sebagai berikut:
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulisan makalah ini bertujuan sebagai
berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
2
Syarif Moeis, “Struktur Sosial : Stratifikasi Sosial”, (Disertasi: Universitas Pendidikan Indonesia,
2008), hlm. 1.
3
pada suatu lapisan dengan lapisan lainnya. Sistem stratifikasi sosial adalah perbedaan
penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat, yang diwujudkan
dalam kelas tinggi, kelas sedang, dan kelas rendah. Dasar dan inti sistem stratifikasi
masyarakat adalah adanya ketidakseimbangan pembagian hak dan kewajiban, serta
tanggung jawab masing-masing individu atau kelompok dalam suatu sistem sosial.
Penggolongan dalam kelas-kelas tersebut berdasarkan dalam suatu sistem sosial
tertentu ke dalam suatu lapisan-lapisan yang lebih hierarkis menurut dimensi
kekuasaan, privilese dan prestise. Stratifikasi sosial terjadi karena adanya pembagian
(segmentasi) kelas-kelas sosial di masyarakat. Kelas sosial adalah suatu lapisan (strata)
dari orang-orang yang memiliki berkedudukan sama dalam rangkaian kesatuan dari
status sosial.3
3
Binti Maunah, “Stratifikasi Sosial Dan Perjuangan Kelas Dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan”,
Ta’allum 3, no. 1, (Juni, 2015), hlm. 19-20.
4
Cahyono, Model Mediasi Penal Dalam Penanggulangan Konflik Kekerasan (Carok) Masyarakat
Madura Berdasarkan Local Wisdom, (Yogyakarta: Deepublish, 2019), hlm. 48.
5
Ibid.
4
Lapisan sosial menengah merupakan kumpulan para pongghaba (pegawai)
yang mana sekumpulan orang yang bekerja di Instansi Kantor Pemerintahan
atau bekerja sebagai birokrat mulai dari tingkatan jabatan bawah hingga jabatan
tinggi. Secara harfiah, kata pongghaba artinya pegawai atau orang yang bekerja
pada institusi formal, khususnya kantor pemerintah.6
3. Lapisan Sosial Atas
Lapisan sosial paling atas adalah para bangsawan yang tidak hanya orang-orang
yang secara keturunan merupakan keturunan langsung dari raja-raja di Madura
ketika Madura masih berada dalam pengaruh dan menjadi bagian dari kerajaan
besar yang ada di Jawa. Selain itu, lapisan atas juga merupakan para bangsawan
yang memperoleh privilage dari pemerintahan kolonial karena dianggap dapat
berkoloborasi yang akan menguntungkan kepentingan pemerintahan kolonial
pada masa tersebut. Para bangsawan memiliki simbol kebangsawanannya
sebagai pembeda dengan masyarakat lain, mereka memiliki gelar Raden Panji
(RP), Raden Bagus (RB), Raden Ario (RA, untuk laki-laki), Raden Ayu (RA,
untuk perempuan), atau hanya gelar Raden (R) saja. Gelar tersebut digunakan
ketika menyebut namanya dan sebagai pembeda antara keturunan bangsawan
dengan kelompok masyarakat biasa di kehidupan sehari-hari. Seiring
berkembangnya zaman, gelar bangsawan tersebut semakin banyak dilupakan
dan ditinggalkan sebab dianggap sebagai lambang feodalisme.7
6
A. Latief Wiyata, Carok Konflik Kekerasan Dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta: LkiS
Printing Cemerlang, 2006), hlm. 55.
7
Ibid., hlm. 56.
8
Cahyono, Op. Cit., hlm. 48.
5
sebagai pemuka agama atau ulama karena menguasai ilmu agama (Islam).
Peran dan fungsi kiai (kèyaè) selain sebagai pembina umat atau dengan kata
lain disebut sebagai penerus dakwah para Nabi, juga berperan sebagai sosok
yang mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam tersebut kepada para santri dalam
suatu lembaga pondok pesantren. Lingkungan pondok pesantren adalah
lingkungan yang terdapat komunitas kecil dan di dalamnya tersebut sudah
tersedia fasilitas, prasarana dan sarana, baik untuk kehidupan sosial maupun
keagamaan. Kiai (kèyaè) biasanya setiap saat selalu dikunjungi oleh orang-
orang atau lebih dikenal dengan nyabis, baik dari lingkungan wilayah setempat
maupun dari berbagai wilayah kabupaten bahkan termasuk juga dari luar
Madura dengan tujuan meminta berkah untuk keselamatan.9
2. Bhindhara
Bhindhara termasuk dalam lapisan sosial menengah. Bhindhara merupakan
orang-orang yang telah menamatkan pendidikan pondok pesantren sehingga
memiliki pengetahuan keagamaan. Bhindhara berada pada tingkatan di
bawahnya kiai (kèyaè), karena dalam segi pengetahuan religiusitas sudah
melampaui para santri tetapi tidak melebihi taraf kemampuan para kiai (kèyaè).
Biasanya seorang bhindhara di kehidupan masyarakat Madura, sering
diperlakukan juga hampir seperti kiai (kèyaè) dan banyak yang melakukan
nyabis kepada bhindhara.10
3. Santrè
Santrè adalah orang-orang yang sedang menuntut ilmu agama Islam di sebuah
pondok pesantren.11
4. Bannè Santrè
Bannè Santrè adalah orang-orang yang tidak pernah mondok/tidak pernah
menuntut ilmu agama Islam di sebuah pondok pesantren.12
9
Cahyono, Op. Cit., hlm. 50.
10
Ibid.
11
Diakses dari http://www.lontarmadura.com/stratifikasi-sosial-masyarakat-madura/, pada 16 Oktober
2021 pukul 20.47 WIB.
12
Ibid.
6
Stratifikasi sosial masyarakat Madura dapat dikaitkan dengan jenis-jenis
tingkatan bahasa (dhag-ondhagghan bhasa) yang digunakan oleh masyarakat di
Madura, sebagai bentuk penentuan posisi sosial seseorang berdasarkan tingkatan
bahasa yang digunakan. Tingkatan bahasa (dhag-ondhagghan bhasa) dalam bahasa
Madura terdapat lima tingkatan sebagai berikut:13
1. Bahasa Keraton (abdhi – dhalem)
Bahasa Keraton adalah bahasa yang biasa digunakan oleh lingkungan
keluarga Keraton atau Bangsawan.
2. Bahasa Tinggi (abdhina – panjhennengan)
Bahasa Tinggi adalah bahasa yang biasa digunakan oleh para pongghaba
atau dari bawahan kepada atasan, baik itu lingkungan Keraton maupun di
lingkungan pemerintahan dan pensatren antara santrè kepada kèyaè.
3. Bahasa Halus (kaulâ – sampèyan)
Bahasa Halus adalah bahasa yang biasa digunakan oleh masyarakat Madura
yang lebih muda pada yang lebih tua atau kepada orang-orang yang
dihormati.
4. Bahasa Menengah (bulâ – dika)
Bahasa Menengah adalah bahasa yang biasanya digunakan oleh orang-
orang Madura yang lebih tua kepada yang lebih muda tetapi orang yang
lebih muda tersebut dihormati, seperti bahasa yang dipakai oleh mertua
kepada menantunya.
5. Bahasa Kasar atau Mapas (sèngko’ – bâ’na atau kakè - sèda)
Bahasa Kasar atau Mapas biasanya digunakan oleh yang lebih tua kepada
yang lebih muda atau juga digunakan oleh orang yang memiliki posisi yang
lebih tinggi kepada bawahannya dan antara orang sebaya (teman).
13
Ibid., diakses dari http://www.lontarmadura.com/stratifikasi-sosial-masyarakat-madura/.
7
digunakan oleh orang-orang di lingkungan pesantren. Sedangkan para pongghaba
biasanya selalu menggunakan bahasa halus. Kelompok masyarakat sosial bawah atau
rendah lazimnya menggunakan bahasa menengah dan bahasa kasar.
Orang Madura yang berada di posisi sosial rendah dan berusia muda secara
kultural dituntut harus menggunakan bahasa tinggi atau halus atau dikenal dengan
abhasa terhadap orang yang berusia lebih tua dan menempati posisi sosial yang lebih
tinggi. Sebaliknya, orang yang berada di posisi sosial tinggi dan yang berusia lebih tua
selalu menggunakan bahasa kasar (mapas) kepada yang memiliki posisi lebih rendah
dan yang berusia lebih muda. Artinya dalam interaksi sosial setiap orang Madura harus
memperhatikan dan menentukan tingkatan bahasa yang akan digunakan sesuai dengan
posisinya dalam stratifikasi sosial yang ada atau dalam kata lain setiap orang harus
memilih tingkatan bahasa dalam menanggapu peristiwa sosial yang dihadapi.14
14
Latief Wiyata, Op. Cit., hlm. 58.
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Stratifikasi sosial dapat disebut juga dengan sistem pelapisan dalam
masyarakat. Stratifikasi sosial adalah pembedaan individu atau kelompok berdasarkan
tingkatan atau kelas-kelasnya sesuai dengan golongan, keturunan, atau hal lainnya
yang dapat menjadi karakteristik antara individu dengan individu lain atau kelompok
satu dengan kelompok lainnya. Perbedaan kedudukan manusia dalam masyarakatnya
secara langsung menunjuk pada perbedaan pembagian hak-hak dan kewajiban-
kewajiban, tanggung jawab nilai-nilai sosial dan perbedaan pengaruh di antara
anggota-anggota masyarakat.
Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial masyarakat Madura secara garis besar
meliputi tiga lapisan, yaitu orèng kènè atau disebut juga dengan orèng dumè’ sebagai
lapis terbawah, lapisan menengah yaitu pongghaba, dan lapisan atas disebut parjaji
atau dikenal dengan priyayi dalam bahasa Jawa. Selain itu, stratifikasi sosial
masyarakat Madura juga didasarkan pada dimensi agama hanya terdiri dari dua lapisan,
meliputi santrè (santri) dan bannè santrè (bukan santri). Berikut ini lapisan santrè dan
bannè santrè.
B. Saran
Berdasarkan penulisan makalah Stratifikasi Sosial Masyarakat Madura
tersebut, penulis menyarankan bagi setiap masyarakat Madura untuk lebih
memperhatikan dalam penggunaan bahasa Madura yang baik dan sopan. Sebagaimana
9
yang terjadi di lapangan, saat ini telah banyak masyarakat Madura yang tidak
menerapkan abhasa kepada orang yang lebih tua atau sebaliknya. Selain itu, sekalipun
di tengah masyarakat Madura terdapat stratifikasi sosial, tetapi para masyarakat
Madura seharusnya tidak membedakan antara lapisan bawah dengan lapisan atas yang
mana akan berdampak dalam kesenjangan interaksi antara satu dengan yang lainnya.
10
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Cahyono. Model Mediasi Penal Dalam Penanggulangan Konflik Kekerasan (Carok)
Masyarakat Madura Berdasarkan Local Wisdom. Yogyakarta: Deepublish, 2019.
Wiyata, A. Latief. Carok Konflik Kekerasan Dan Harga Diri Orang Madura.
Yogyakarta: LkiS Printing Cemerlang. 2006.
Maunah, Binti. “Stratifikasi Sosial Dan Perjuangan Kelas Dalam Perspektif Sosiologi
Pendidikan”. Ta’allum Vol. 3. No. 1. Juni, 2015.
11