Anda di halaman 1dari 9

ZILZIA FAHREZA FAZRIN

213507048
Politik Lokal Dan Otonomi Daerah C
BUKU 1
Potret Oligarki Politik di Madura
Oleh : Romel Masykuri
(Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga Surabaya)
Judul Buku : Islam, Oligarki Politik, dan Perlawanan Sosial
Penulis : Abdur Rozaki
Penerbit : SUKA Press dan Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Cetakan : I, 2016
Halaman : xvi + 271 hlm
ISBN : 978-602-72176-2-1

Pengantar
Perkembangan politik lokal setelah implementasi decentralisasi dan otonomi regional di
Indonesia belum sepenuhnya membawa nafas segar untuk kemajuan demokrasi dan kesejahteraan
masyarakat. Sebaliknya, decentralisasi dan otonomi regional telah menjadi tanah yang subur bagi
beberapa elit untuk mendapatkan manfaat, baik dalam hal mendapatkan akses mudah ke kekuasaan
dan memperoleh kekayaan instan. Sesungguhnya, dengan munculnya reformasi, sistem politik dan
pemerintahan di Indonesia semakin terbuka dan telah memberikan akses bagi kemakmuran
demokrasi. Namun, seperti yang dijelaskan oleh Vedi R. Hadiz, liberalisasi politik yang terjadi
selama era reformasi tidak secara otomatis mengubah hubungan ekonomi-politik yang tidak
seimbang dari era New Order. Bahkan, elit-elit ini telah berhasil membangun jaringan patroli baru
yang terdesentralisasi, lebih lancar, dan kompetitif satu sama lain. Aktor-aktor yang terlibat
semakin beragam, mulai dari broker ambisius dan pedagang politik, birokrat negara yang ceroboh,
kelompok bisnis baru yang berambisi, serta berbagai gangster politik dan penjahat. Tidak
mengherankan bahwa di era reformasi, penyalahgunaan kekuasaan terus terjadi, seperti korupsi
pejabat. Menurut data yang dilaporkan oleh Kementerian Dalam Negeri, jumlah pemimpin daerah
yang terlibat dalam kasus korupsi meningkat dari tahun ke tahun. Ini menunjukkan bahwa
pembangunan demokrasi ideal pasca-reformasi menghadapi hambatan yang signifikan, sejauh
agenda reformasi yang bertujuan untuk membangun pemerintahan yang baik dan pemerintahan
bersih dicuri oleh elit regional. Buku "Islam, Oligarki Politik, dan Resistensi Sosial" yang ditulis
oleh Abdur Rozaki bertujuan untuk menangkap bagaimana reformasi yang terjadi di Indonesia
setelah runtuhnya Suharto telah mendorong semangat desentralisasi tetapi juga menghasilkan elit
lokal yang kadang-kadang berperilaku seperti raja-raja kecil yang kuat dengan mendirikan oligarki
politik dan dinasti politik yang diperkuat oleh juara lokal (blater) dan tokoh agama di Madura.
Secara khusus, studi ini bertujuan untuk menganalisis variasi baru dalam oligarki politik lokal di
Madura, yang melibatkan aktor politik yang membangun perwakilan mereka berdasarkan dasar
sosial-budaya dan agama yang dominan.
Pembabakan Buku
Buku ini dibagi menjadi enam bagian. Bab pertama berfungsi sebagai pengantar, mencakup
latar belakang masalah, formulasi masalah, ulasan literatur, teori, dan metodologi penelitian. Bab
kedua membahas agama, budaya, dan tokoh lokal di Madura. Bab ketiga membahas budaya agama
dan oligarki politik dan dinasti politik yang ada di Regency Bangkok. Bab keempat secara khusus
membahas oligarki politik yang telah berkembang di Bangkalan Regency dan hubungannya dengan
pembangunan pasca-pembangunan Jembatan Surabaya-Madura. (Suramadu). Pasal lima membahas
resistensi sosial yang dilakukan oleh kelompok aktivis, mahasiswa, dan lingkaran keluarga yang
tidak sejalan dengan kepemimpinan Fuad Amin Imron. (FAI). Bab ini juga membahas praktik teror
dan kekerasan yang dialami oleh kelompok oposisi. Bab enam berfungsi sebagai kesimpulan yang
memberikan ringkasan dan rekomendasi berdasarkan temuan penelitian.
Kondisi alam dan social budaya Madura
Pulau Madura meliputi sekitar 190 kilometer panjang dan memiliki lebar maksimum 40 km,
mencakup area sekitar 5.304 km2. Madura telah dikenal sebagai wilayah kepulauan karena lokasi
geografisnya yang dikelilingi oleh laut. Pulau Madura terletak di bagian utara, menghadap perairan
pulau Kalimantan, sementara di bagian selatan menghadap ke perairan Pulau Jawa. Karena sifat
kepulauan, tidak mengherankan bahwa sumber hidup utama penduduk pesisir adalah petani garam
dan nelayan. Oleh karena itu, Madura juga dikenal sebagai Pulau garam. Selain area laut yang
berfungsi sebagai sumber hidup bagi penduduk, sumber hidup lainnya adalah pertanian. Hal ini
jelas, sebagai penduduk yang tinggal di dan terletak di daerah daratan yang cukup jauh dari pantai.
Sistem pertanian yang berlaku adalah penanaman lahan kering melalui pemukiman permanen.
(tegal). Dibandingkan dengan sistem pertanian di Jawa, sistem peternakan organik di tegal kurang
produktif. Salah satu alasan adalah bahwa konformasi tanah di Madura adalah daerah batu kapur
dengan kondisi tanah kering, kering, dan tidak memiliki kondisi tanah vulkanik, menghasilkan
musim kering yang lebih lama (disebut "nambere" dalam bahasa Madura) dibandingkan dengan
musim hujan. Karena kondisi alam yang berlaku, selama musim kering, cuaca di Madura menjadi
sangat panas, menyebabkan kekurangan air. Halaman 58
Mengingat kondisi lingkungan saat ini, seperti tanah kering, akses terbatas ke air, pasokan
makanan yang tidak mencukupi, dan infrastruktur publik yang terhad untuk mendukung
kesejahteraan masyarakat, banyak tekanan kehidupan muncul untuk masyarakat. Dampak dari
tekanan kehidupan telah menyebabkan praktik perampokan di desa, di mana kelangsungan hidup
sering membutuhkan cara yang berisiko seperti pencurian, perjudian, terorisme, dan kegiatan
kekerasan lainnya. Halaman 63 Oleh karena itu, munculnya individu-individu terampil (disebut
sebagai "angko" dalam bahasa Madurese) yang dimanifestasikan dalam bentuk lumpur tidak dapat
dipisahkan dari struktur geografis yang tidak produktif dan kondisi alam. Mereka, pembuat
masalah, menggunakan pendekatan melalui kekerasan untuk mencapai kehidupan yang makmur,
meskipun dengan cara yang mengganggu masyarakat. Dari sini, Blater mendapatkan rasa hormat,
atau lebih tepatnya, ditakuti oleh masyarakat karena keterampilan seni bela diri yang luar biasa dan
asosiasi dengan kekerasan.
Di sisi lain, komunitas Madura juga dikenal sebagai masyarakat yang setia yang
menunjukkan tingkat kepatuhan agama yang tinggi terhadap Islam. Dalam sejarahnya, Islamisasi di
Madura terjadi melalui dua jalur, yaitu dari pihak kerajaan dan melalui jaringan ulama’ atau kiai,
serta melalui pengaruh untuk saudagar yang menyebarkan kesadaran keislaman di kalangan
masyarakat. Oleh karena itu, pemimpin agama Islam, dalam hal ini ulama atau kiai, menerima
penghormatan tinggi dari komunitas Madura karena kedekatan mereka yang dirasakan dengan
Tuhan. Itulah sebabnya dalam kehidupan sosial komunitas Madurese, kiai memegang posisi sentral
sebagai sumber referensi agama. Tidak mengherankan bahwa kegiatan sehari-hari komunitas,
seperti ritual dan pertemuan sosial, selalu melibatkan pemimpin agama, mulai dari ritual kelahiran,
slametan (pesta ucapan terima kasih), hingga pemakaman. Halaman 62
Dari penjelasan di atas, singkatnya, ada dua kelompok sosial yang menerima penghormatan
tinggi dari komunitas Madurese: yang pertama adalah blater, mewakili mereka yang memiliki
pengaruh melalui kekerasan, dan yang kedua adalah kiai, melambangkan individu yang diyakini
memiliki hubungan dekat dengan Tuhan. Karisma blater, yang menghasilkan otoritas sosial
informal dalam sebuah komunitas, didasarkan pada kapasitas pribadi seseorang sebagai individu
yang terampil, serta penggunaan sarana kekerasan dan jaringan dengan individu terampil lainnya.
Sementara itu, kiai menetapkan dasar-dasar kebajikan moral melalui pembentukan akhlakul
karimah, sehingga menciptakan hegemoni pemikiran yang menghasilkan banyak bentuk rasa
hormat dalam komunitas Madurese.
Munculnya oligarki di Madura
Kemunculan oligarki politik di Madura tidak dapat dipisahkan dari kehadiran budaya agama
yang dominan. Menurut Rozaki, posisi karismatik dan berpengaruh dari kiai secara tidak langsung
menyebabkan komunitas menjadi bergantung pada mereka, tidak hanya dalam hal agama tetapi
juga dalam hal politik, karena komunitas "menyerahkan" kepada bimbingan kiai. Salah satu kiai
yang berpengaruh di Madura yang pengaruhnya melampaui wilayah Madura adalah Syaikhonan
Kholil.
Pengaruh dan karisma kaum muda kemudian dimanfaatkan oleh keturunan mereka untuk
membangun legitimasi di kalangan masyarakat, seperti contohnya oleh Fuad Amin Imron. (FAI).
FAI berhasil mengubah komoditas simbolik menjadi kekuatan simbolik dengan
menggunakan modal budaya, mendefinisikan pengaruh Syaikhona Kholil dalam masyarakat
sebagai alat politik untuk merebut kekuasaan. Ibukota budaya ini pada akhirnya memfasilitasi
akuisisi modal ekonomi dan sosial. Halaman 116
Bagaimana Mereka menguasai oligarki dalam bentuk dominasi. Pertama, menetapkan
representasi singular sebagai tokoh yang paling berwenang dalam menggunakan ikon sebagai garis
keturunan Bani Kholil dibandingkan dengan garis keturunannya lainnya. Dari sini, FAI
menghasilkan genealogi yang mengacu pada satu garis keturunan laki-laki dari garis Bani Kholil.
Karena kehadiran budaya patriarkal yang kuat di Madura, upaya FAI berhasil. Kedua, mendirikan
dan merangkul pemimpin desa (dikenal sebagai Klebun dalam bahasa Madura) untuk selalu
tergantung pada FAI. FAI menetapkan ketergantungan ini secara sistematis dengan memungkinkan
status kepala desa untuk tetap sebagai pejabat sementara (PJS) tanpa mengadakan pemilihan apa
pun. Di sisi lain, FAI juga merangkul kepala desa dengan mendistribusikan tugas-tugas proyek
pembangunan yang memasuki desa. Selain mendistribusikan proyek, FAI juga memungkinkan
untuk praktek penyimpangan yang dilakukan oleh kepala desa, seperti distribusi beras untuk orang
miskin (raskin) dan proyek desa lainnya. Di sini, kepala desa juga memiliki latar belakang dalam
politik. Ketiga, membangun aliansi politik dengan oligarki lain, khususnya di tingkat nasional.
Keempat, merangkul semua pejabat partai politik dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) demi mempertahankan kekuasaan mereka sendiri. Kelima, mengawasi berbagai alat
pengatur pemilihan umum, mulai dari tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara, Panitia
Pemilihan Kecamatan, dan Komisi Pemilihan Umum Daerah. Bupati, Wakil Bupati dihapuskan
dengan menguasai birokrasi melalui pembersihan rezim lama yang tidak mau bekerja sama dengan
kepentingannya. Ketujuh, membangun “harmoni” dengan lembaga penegak hukum seperti jaksa
dan polisi. Strategi kedelapan adalah untuk membangun hegemoni di dalam domain lembaga
pendidikan tinggi (HEI) atau kampus. Halaman 118-143
Bangunan oligarki politik yang dikembangkan oleh FAI akhirnya mengarah pada
perpanjangan dinasti politik, di mana setelah ia tidak dapat bersaing untuk pemilihan kembali
sebagai regent karena pembatasan hukum untuk melayani dua periode sebagai pemimpin (2003-
2008 dan 2008-2012), ia mentransfer posisi ke putranya, Makmun Ibnu Fiad. (MIF). FAI
melakukan segala upaya untuk memastikan bahwa dinastinya dapat dilanjutkan oleh keturunannya,
termasuk menekan lawan politik, bahkan jika mereka berasal dari dalam keluarganya sendiri,
seperti yang dialami oleh Imam Buchori Kholil (IBK). Bahkan, MIF terpilih dalam Pemilu Daerah
Bangkok pada tahun 2012, dan FAI juga dipilih sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(2014-2019) dari Fraksi Gerindra. Angka FAI kemudian disebutkan oleh Rozaki sebagai oligarki
Kleptocratic dan Repressive. Halaman 279

Perlawanan social dan Tindakan represif


Kepemimpinan FAI dalam mengendalikan struktur pemerintah lokal dan kelompok sosial
dalam masyarakat tidak mampu mengembangkan berbagai elemen modal sosial positif yang
dimiliki. Sebaliknya, tindakan FAI melibatkan pengembangan modal sosial negatif dengan
menggunakan jaringan sosial budaya dan agama semata-mata untuk memperkuat struktur
kekuasaan oligarki. Dari ini, resistensi sosial muncul, didorong oleh banyak elemen masyarakat dan
pemuda, termasuk anggota lain dari keluarga Bani Kholil yang tidak setuju dengan arogansi dan
kepemimpinan otoriter FAI.
Perlawanan sosial dilakukan oleh masyarakat sipil, NGO, aktivis, dan berbagai elemen lain
dari komunitas sosial. Sayangnya, resistensi sosial ini tidak mendorong FAI untuk mengevaluasi
kepemimpinannya. Sebaliknya, kelompok sosial yang mengkritik kebijakan FAI dihadapkan
dengan tindakan represif, seperti teror dan kekerasan.

Penutup
Studi yang dilakukan oleh Abdur Rozaki, yang berasal dari disertasi doktoralnya di UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, memberikan gambaran yang komprehensif tentang munculnya oligarki
politik di tingkat lokal, khususnya di Bangkalan Regency, Madura. Ada beberapa catatan penting
tentang buku ini. (1) Narasi dalam buku ini disusun dengan argumentasi dan data yang kuat,
terutama melalui wawancara mendalam (deep interview). Hal ini memberikan pengalaman kepada
pembaca sebagai sebuah petualangan ilmiah untuk memahami kontestasi dan dinamika konflik
politik yang terjadi di Kabupaten Bangkalan. (2) Memberikan penjelasan yang tegas tentang
bagaimana oligarki politik di tingkat lokal berkembang karena adanya legitimasi budaya yang
didominasi oleh agama dan dukungan politik dari para pemimpin.

BUKU 2
Judul : Iklan Politik Televisi Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru
Penulis : Akhmad Danial
Tebal Buku : xxxiv + 264 halaman
Ukuran : 14,5 x 21 cm
Penerbit : LKiS, 2009
Perayaan demokrasi yang dinamis di negara ini tampaknya telah mencapai puncaknya pada
tahun 2009. Ini karena terjadi dua peristiwa besar di negara ini tahun ini: pemilihan legislatif dan
eksekutif. Terjadinya pemilihan umum legislatif dan eksekutif telah mengakibatkan hampir semua
perhatian publik terfokus pada prosedur peristiwa ini.
Partai-partai politik berusaha melalui banyak cara untuk mendapatkan simpati publik. Salah
satu fenomena yang muncul dalam proses mendekati masyarakat adalah munculnya iklan politik.
Iklan politik ini muncul di berbagai media, termasuk media cetak dan elektronik.
Iklan politik di televisi adalah fenomena yang relatif baru di lanskap politik Indonesia. Fenomena
ini muncul mulai tahun 1999, bersamaan dengan pemilihan pasca-reformasi pertama. Ini berfungsi
sebagai media baru bagi partai politik dan kandidat pemilihan untuk kampanye. Dalam konteks
membahas iklan televisi politik sebagai media kampanye bagi partai politik, menarik untuk
membahas buku "Iklan Politik TV: Modernisasi Kampanye Politik Pasca Orde Baru" (LkiS, 2009,
Akhmad Danial).
Buku ini mengungkapkan tentang perkembangan kampanye di Indonesia dan fenomena
iklan politik di televisi. Danial telah melacak perkembangan kampanye politik di Indonesia sejak
era New Order mengambil tahap tengah. Presentasi perkembangan politik dalam buku ini
menggunakan perspektif komunikasi. Bagaimana partai politik dan kontestan politik berusaha
mendekati pemilih potensial. Awalnya pendekatan politik dilakukan melalui metode tradisional.
Partai politik dan kontestan politik memobilisasi massa berdasarkan ideologi bersama, agama,
kelompok sosial, dan faktor lainnya.
Kebangkitan kandidat baru dari partai Golongan Karya dalam pemilihan Indonesia tahun
1969 membawa perubahan gaya kampanye di Indonesia. Golkar menggunakan strategi kampanye
yang dikenal sebagai "Tur Safari", yang melibatkan membawa seniman terkenal di setiap acara
kampanye dan telah menarik perhatian publik. Golkar muncul sebagai pendatang baru yang dipilih
oleh komunitas.
Dalam pemilu yang akan datang, Golkar, dengan strategis kampanye Emil Salim, yang
menjabat sebagai Menteri Lingkungan Hidup, mengadopsi pendekatan baru untuk kampanye
politik di Indonesia. Golkar mempekerjakan sejumlah staf PR dan pakar iklan profesional. Tim
yang ditunjuk Golkar melakukan penelitian di Riau untuk mengumpulkan materi untuk isu-isu yang
akan dikembangkan dalam kampanye 1981. Emil Salim akhirnya berhasil membangun koneksi
dengan orang-orang. Meskipun ia adalah seorang pejabat yang tinggal di Jakarta, ia sangat akrab
dengan semua masalah yang ada di masyarakat setempat di Riau. Ini telah menyentuh komunitas
Riau.
Selama kampanye politik yang dilakukan oleh partai-partai politik dan peserta pemilu di era
New Order, beberapa bentuk kelalaian pemerintah diamati. Pada berita televisi, misalnya, Golkar
mendapat manfaat dari jumlah dan durasi berita kampanye yang lebih besar dibandingkan dengan
kontestan lainnya.
Kampanye politik di Indonesia mengalami perubahan dengan munculnya televisi swasta
tanpa dekoder. Hal ini memungkinkan akses informasi yang lebih mudah bagi masyarakat. Ini
didukung oleh runtuhnya rezim New Order. Pada bulan November 1998, sebuah iklan politik dari
Partai Kebangkitan Nasional (PKB) disiarkan di TPI, menandai awal fase baru dalam kampanye
partai politik. Mulai dari pemilu 1999, partai politik dan peserta pemilu mulai melakukan berbagai
kampanye melalui iklan televisi politik dan berbagai media elektronik dan cetak. Berbagai peserta
Pemilu merilis iklan politik.
dengan dana yang berlebihan. Ini telah menyebabkan transformasi dalam gaya kampanye politik di
Indonesia. Kampanye dapat dilaksanakan dengan efisiensi tinggi dan mampu mencapai seluruh
lapisan masyarakat.
Partai politik terus meningkatkan pengembangan iklan politik yang semakin menarik dan
emosional bagi masyarakat. Dengan demikian, partai politik tidak akan kehilangan pemilih mereka.
Partai politik menggunakan berbagai strategi, mulai dari mempekerjakan konsultan asing
terkemuka hingga menghabiskan miliaran atau bahkan ratusan miliar, untuk membangun citra
partai mereka dan menarik perhatian publik umum selama pemilihan.
Banyak upaya yang dilakukan oleh partai-partai politik dan peserta pemilu dianggap
mengarah ke fenomena Americanisasi oleh berbagai kelompok. Ini didasarkan pada asumsi bahwa
iklan politik di banyak negara non-Amerika cenderung mengadopsi gaya iklan politik Amerika,
begitu juga dengan gaya kampanye yang digunakan. Danial menandai fenomena ini sebagai
Americanization. Istilah Amerika dianggap sebagai singkatan untuk menggambarkan serangkaian
perubahan transformatif di bidang sosial, politik, dan ekonomi Barat... yang menyediakan platform
untuk penerapan praktik yang ada di Amerika. (Nadine & Papthanassopoulos in Danial, 2009:83).
Swanson dan Mancini (Danial, 2009: 65) mengungkapkan bahwa ada setidaknya empat karakter
gaya Amerika yang diimpor ke berbagai negara (including Indonesia). Yang pertama adalah
personalisasi politik, yang terjadi ketika pemimpin karismatik dan populer menggantikan pemimpin
sebelumnya yang memiliki koneksi simbolis dengan partai politik, ikatan ideologis, atau ikatan
tradisional lainnya dengan masyarakat. Kedua, ilmu politik mengacu pada kemampuan para ahli,
teknisi, dan ilmuwan untuk mengendalikan produksi, kepemilikan, atau pemahaman pesan politik
yang diperlukan untuk pengambilan keputusan politik yang rasional oleh pemilih. Proses
pengudusan terutama bertujuan untuk mencapai kemenangan dalam pemilihan, bukannya
menemukan langkah-langkah kebijakan alternatif. Ketiga, pemisahan partai politik dari warga
merujuk pada hilangnya ikatan tradisional antara partai dan pemilih ketika partai-partai beralih dari
kekuasaan yang didorong oleh ideologi ke pengambilan keputusan berdasarkan opini publik.
Keempat adalah struktur otonom komunikasi, di mana media memegang kekuasaan yang signifikan
dan beroperasi secara otonom. Ini berarti bahwa politisi saat ini harus mematuhi konvensi yang ada
di media komersial.
Namun, setelah diperiksa lebih dekat, perubahan dalam strategi kampanye di Indonesia
tidak terutama disebabkan oleh faktor eksternal seperti Americanization, melainkan oleh faktor
politik internal di dalam Indonesia. Faktor-faktor ini termasuk peraturan pemerintah tentang
keamanan dan ketertiban, kepentingan partai politik dalam menemukan metode kampanye yang
paling efektif di tengah waktu terbatas untuk pembentukan partai dan persiapan pemilu,
peningkatan kepercayaan partai dalam efektivitas membentuk opini publik melalui media massa,
dan faktor-faktor serupa lainnya.
Pada akhirnya, membahas perkembangan kampanye politik di Indonesia sangat menarik,
dan buku ini secara efektif menggambarkan evolusi gaya kampanye politis di Indonesia dari
perspektif yang sama menarik.

Anda mungkin juga menyukai