Anda di halaman 1dari 10

KEPEMIMPINAN POLITIK ORANG SUNDA

123
KEPEMIMPINAN POLITIK ORANG SUNDA

DEWI KURNIASIH

Jurusan Ilmu Pemerintahan
Universitas Komputer Indonesia
Setiap bangsa harus mengetahui dengan jelas kemana arah tujuan yang ingin
dicapainya. Oleh karena itulah diperlukan adanya sebuah pandangan hidup.
Pandangan hidup yang jelas akan menjadi sebuah pegangan dan pedoman dalam
memecahkan masalah-masalah ekonomi, sosial, budaya termasuk masalah politik.
Makna Politik dalam pandangan hidup orang Sunda sebagai pribadi tercermin
dalam beberapa babasan. Tulisan ini hanya mengupas sedikit dari begitu
banyaknya babasan sebagai deskripsi nilai lokal orang Sunda.

Politik, orang Sunda.
Istilah Sunda digunakan dalam konotasi
manusia atau sekelompok manusia, yaitu
dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda).
Menurut kajian budaya, terdapat beberapa
definisi mengenai siapa orang Sunda itu.
Pertama, definisi orang Sunda berdasarkan
darah atau hubungan darah. Seseorang disebut
orang Sunda, apabila secara darah mempunyai
hubungan kesundaan. Contohnya si A
mempunyai adik si B dan mempunyai kakak
si C, sehingga A, B, dan C mempunyai satu
hubungan darah karena berasal dari orang tua
yang sama.

Kedua, orang Sunda karena keturunan.
Seseorang disebut orang Sunda apabila orang
tuanya adalah orang Sunda. Maksudnya,
orang tua setelah menikah kemudian
mempunyai keturunan (anak), nah anaknya
dikatakan keturunan Sunda. Menurut definisi
ini bisa saja ayah ibunya orang Sunda, atau
hanya salah satu yang orang Sunda. Namun,
dalam kaitan ini memang definisi yang kuat
adalah apabila ayahnya orang Sunda, tetapi
lebih kuat lagi apabila dua-duanya orang
Sunda. Antara hubungan darah dan keturunan
memang sedikit berhimpitan, tetapi keduanya
masih dapat dibedakan berdasarkan sistem
kekerabatannya.

Ketiga, orang Sunda karena budaya
(culture). Maksudnya adalah seseorang yang
disebut orang Sunda apabila ia dilahirkan dan
atau dibesarkan dalam lingkungan budaya
Sunda sert a dal am kehi dupannya
melaksanakan atau menggunakan norma atau
nilai-nilai budaya Sunda, misalnya dalam
berbicara atau seseorang yang hade tata hade
basa yang artinya seseorang yang perilakunya
mencerminkan orang Sunda dan paham serta
bangga menggunakan bahasa Sunda dan lain
sebagainya. Contohnya ada orang Padang
yang lahir di tatar Sunda kemudian sehari-hari
menggunakan bahasa Sunda, maka ia dapat
disebut orang Sunda berdasarkan definisi
ketiga. Orang Sunda menurut definisi ini
sering pula disebut nyunda. Hal ini telah
dibuktikan melalui salah satu karya
sastra/bahasa (sastrawan) yaitu seorang guru
bahasa Sunda yaitu Daeng Kangguruan
Adiwinata. Ayahnya adalah orang Bugis, dan
ibunya orang Sunda. Beliau pun turut
Alamat korespondensi pada Dewi Kurniasih, Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Komputer Indonesia, Jalan Dipati
Ukur 114, Bandung 40132. Email: dekur010575@yahoo.com
Bidang Humaniora
Majalah Ilmiah Unikom, Vol.5, hlm. 123132
DEWI KURNIASIH
124
mendirikan Paguyuban Pasundan, dan pernah
menjadi ketuanya bahkan pernah dituakan
oleh orang Sunda itu sendiri. Ada dua definisi
yang melekat dalam pribadi dirinya yaitu
keturunan ibu dan menggunakan bahasa
Sunda dan norma-norma budaya Sunda dalam
kehidupan sehari-harinya. Tidak pernah beliau
hidup menggunakan siri yaitu budaya dari
Bugis, bahkan mungkin ke Bugis pun beliau
belum pernah.

Dengan demikian, orang Sunda jelas-jelas
secara genetik dalam tubuhnya itu mengalir
darah etnis Sunda atau mereka yang mengaku
dirinya dan diakui oleh orang lain sebagai
orang Sunda. Orang lain itu bisa berupa dari
kalangan orang-orang Sunda sendiri maupun
orang-orang non Sunda. Hal ini tentu kita
bicarakan dalam pengertian sejak dikenal
adanya sejarah. Secara geografis mereka
tinggal di tatar Sunda, walaupun tentu dalam
pengertian, bahwa banyak orang Sunda yang
tinggal di daerah lain. Kemudian ada yang
disebut penduduk Pasundan yang akhirnya
mereka pun disebut orang Sunda.

Sejak jaman Belanda banyak penduduk
pendatang yang tinggal di Bandung. Namun,
walaupun mereka tinggal di tatar Sunda tetapi
tidak dapat dikatakan orang Sunda. Seperti
saat ini pun ada kurang lebih 38,2 juta jumlah
penduduk Jawa Barat pastilah tidak semuanya
orang Sunda. Kalaupun ada orang yang
berasal dari daerah lain yang mengaku-ngaku
orang Sunda, karena sehari-hari menggunakan
bahasa Sunda dan tinggal di tatar Sunda tetap
tidak bisa dikatakan orang Sunda, tetapi
mungkin dapat diistilahkan nyunda dalam
penampilan dan budayanya itu tadi. Hal ini
merupakan sikap yang baik karena
mencerminkan orang yang mampu
menempatkan diri secara baik sesuai dengan
istilah dimana bumi dipijak, disitulah langit
dijunjung (anu bisa mihapekeun maneh).
Ada juga istilah sing bisa titip diri sangsang
badan, sing bisa pindah cai pindah tampian
(filosofis Sunda) yang bermakna bahwa orang
Sunda apabila tinggal di tempat lain tidak
akan merasa diri paling Sunda atau tidak akan
membuat kerusuhan dan lain-lain.

Namun, terkadang orang masih bingung
menentukan siapa orang Sunda, karena
dewasa ini pencampuran antaretnis dalam
kehidupan masyarakat sangat dinamis sekali
melalui proses akulturasi atau asimilasi.
Dalam kajian politik ini, penulis tidak akan
mempermasalahkan identitas kesundaannya,
artinya yang dimaksud orang Sunda dalam
tulisan ini mencakup ketiga definisi di atas.

Makna Politik Bagi Orang Sunda

Setiap bangsa harus mengetahui dengan jelas
kemana arah tujuan yang ingin dicapainya.
Oleh karena itulah diperlukan adanya sebuah
pandangan hidup. Pandangan hidup adalah
konsep yang dimiliki seseorang atau
golongan dalam suatu masyarakat yang
bermaksud menanggapi dan menerangkan
segala masalah kehidupan di dunia. Dengan
pandangan hidup inilah suatu bangsa akan
mel i hat persoal an-persoal an yang
dihadapinya dan menentukan arah serta cara
memecahkan persoalan-persoalan tadi.

Pandangan hidup yang jelas akan menjadi
sebuah pegangan dan pedoman dalam
memecahkan masalah-masalah ekonomi,
sosial, budaya termasuk masalah politik. Arti
pandangan tersebut bagi suatu bangsa
berlaku pula bagi bangsa Indonesia sebagai
satu keseluruhan maupun bagi setiap suku
bangsanya dalam hal ini suku Sunda.
Semakin luas pengetahuan yang dimiliki
tentang pandangan hidup setiap suku bangsa,
maka orang-orang Indonesia diharapkan
akan menjadi semakin mantap dalam
mewujudkan pandangan hidup bangsanya.

Mempelajari pandangan hidup orang Sunda
sedikitnya mengandung dua kepentingan,
pertama kepentingan dalam rangka nasional,
dan kedua kepentingan untuk suku Sunda itu
sendiri. Orang Sunda tumbuh sepanjang per-
jalanan sejarahnya dari dulu hingga sekarang
dalam rangka lemah cai (tanah air)-nya yang
kini dikenal sebagai Jawa Barat (tatar
KEPEMIMPINAN POLITIK ORANG SUNDA
125
Sunda). Dalam perjalanan sejarah itu mereka
mengalami kontak dengan masyarakat dan
budaya lainnya, hal ini tampak dalam ke-
hidupan orang Sunda itu sendiri. Kiranya itu-
lah yang membuktikan bahwa masyarakat
Sunda memiliki pandangan hidup sendiri se-
hingga dapat hidup dalam kemandiriannya
ditengah-tengah masyarakat dan budaya lain-
nya. Namun demikian, tentulah pandangan
hidup mereka itu mengalami perubahan sesuai
dengan keadaan, tetapi masih ada yang bersi-
fat tetap dan tidak berubah.

Dalam masalah politik pun khususnya budaya
politik, juga tidak terlepas dari pandangan
hidup orang Sunda. Pandangan hidup orang
Sunda sebagai pribadi tercermin dalam
beberapa babasan seperti kudu hade gogog
hade tagog yaitu harus baik budi bahasa dan
baik tingkah lakunya. Segala perkataan harus
dipertimbangkan sebelum diucapkan sebagai
salah satu upaya mengendalikan diri. Hal ini
terbukti ketika terjadinya perseteruan politik
pada akhir masa Orde Baru, kota Bandung
tetap aman dan terkendali.

Proses politik yang mengantarkan seseorang
memperoleh kekuasaan, bagi orang Sunda
dianggap sebagai sebuah amanah yang harus
dijalankan dan dijaga. Jangan berubah adat
kebiasaan karena telah menjadi orang kaya
atau mempunyai pangkat dan jabatan, apalagi
menjadi sombong dan angkuh. Untuk
menghindari sifat jelek itu, orang Sunda sadar
bahwa dirinya hanyalah bagian kecil dari alam
semesta. Hal ini terdapat dalam babasan ulah
lali ka purwadaksina. Sopan, sederhana, jujur,
berani dan teguh pendirian dalam kebenaran
dan keadilan, bisa dipercaya, menghormati
dan menghargai orang lain, waspada, adil dan
berpikiran luas, mencintai tanah air (lemah
cai) serta baik hati adalah sebagian dari sifat-
sifat positif lain yang ada pada orang Sunda.
Sifat-sifat ini kemudian yang akan menjadi
landasan filosofis untuk hidup berbangsa dan
bernegara.

Hubungan antar manusia bagi orang Sunda
harus dilandasi oleh sikap silih asah silih
asuh. Sikap inilah yang menjadi dasar
terciptanya suasana kehidupan masyarakat
yang akrab, rukun, damai, tentram dalam
suasana kekeluargaan. Dalam konteks politik,
me me n t i n g k a n k e r j a s a ma d e mi
keberlangsungan kesejahteraan rakyat,
menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran
serta taat dan patuh nampaknya sebagian telah
melandasi pandangan hidup para pemimpin
Sunda.

Pandangan hidup orang Sunda cenderung
untuk mengambil pilihan bijaksana dalam
hidupnya atau mengutamakan kebijaksanaan
bukan kekuasaan (power), bukan pula
kemegahan keduniawian. Sehingga orang
Sunda dipandang lebih bijaksana dan tidak
mengagungkan kekuasaan secara duniawiah.
Tetapi hal ini kalau dilihat dari segi politik
dalam arti kekuasaan itu sendiri justru
dianggap lemah, sehingga orang Sunda itu
tidak akan pernah berkuasa atau berusaha
sekuat tenaga mencapai kekuasaan tertinggi
karena kebijaksanaan yang lebih dominan
bukan materi. Tetapi apabila dilihat dalam
masalah ketentraman sosial, justru orang
Sunda suka menjadi juru damai, menjadi
penengah sehingga ada ungkapan
siger(sineger) tengah.

Istilah tersebut diartikan sebagai tingkah laku
atau tindakan yang seimbang dan
berkecukupan, tidak kekurangan ataupun
tidak berlebihan. Istilah ini pun akan
menempatkan orang Sunda pada kedudukan
bahwa yang di tengah-tengah itu paling baik
karena tidak memihak pada salah satu.
Namun, pandangan ini mengandung aspek
positif sekaligus aspek negatif. Positifnya,
pandangan hidup ini menyebabkan orang
Sunda tidak menonjolkan diri. Negatifnya,
lagi-lagi dalam kancah politik ada yang
mengatakan bahwa orang Sunda tidak tegas,
tidak punya pendirian, tidak berani
mengambil resiko dalam mempertahankan
sesuatu dan lain-lain.

Dalam naskah Pancasila pun, misalnya saja
Keadilan Sosial, Ketuhanan Yang Maha Esa,
DEWI KURNIASIH
126
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab secara
idealis, orang Sunda sudah cukup ideal, tetapi
dilihat dalam kehidupan politik itu adalah
sebuah sikap yang lemah. Namun, hal ini akan
berubah tergantung kepada perubahan sejarah
terutama dalam tantangannya. Contohnya
pada tahun limapuluhan tokoh-tokoh orang
Sunda itu pernah dibuat sakit hati
(dimarginalkan). Sehingga ada sekelompok
tertentu orang Sunda yang mengubah
pandangan hidupnya ini.

Jika kita bandingkan antara etika Sunda masa
lalu dan masa kini, terutama mengenai filosofi
Sunda ada yang masih relevan sampai kapan
pun, tetapi ada juga karena perubahan jaman
sudah tidak relevan lagi. Masyarakat dari
berbagai suku bangsa di Indonesia termasuk
didalamnya etnis Sunda saat ini sedang
merasakan lepas dari akar budayanya.
Masyarakat Sunda dengan jati diri Sunda
Sawawa perlahan-lahan diserang budaya baru
yang cenderung egosentris, materialistis dan
ambisius. Hal ini telah ikut menodai sifat
bersahabat, ramah dan terbuka dalam
pergaulan masyarakat Sunda yang terkenal
someah hade ka semah atau dalam arti ramah
dan baik terhadap tamu.

Walaupun demikian, apabila kita cermati
sebenarnya kondisi ini tidak terlalu salah. Hal
ini tergantung dari sudut pandang mana kita
melihatnya, misalnya prinsip banyak anak
banyak rejeki yang ada benarnya apabila kita
melihatnya hanya dari kepasrahan kita, atau
kalau kita memandang bahwa anak itu adalah
kehendak Tuhan. Tetapi karena orang tuanya
bekerja, si anak banyak diasuh oleh
pembantunya, padahal mencari seorang
pembantu itu sekarang ini sangat sulit, karena
mengganggap bahwa pekerjaan itu statusnya
lebih rendah daripada bekerja di pabrik. Maka
anggapan memiliki anak cukup merepotkan.
Namun sebenarnya, apabila orang tuanya
secara finansial cukup dan lain sebagainya
mungkin punya banyak anak tidak jadi
masalah.

Kemudian juga ada babasan kumaha gulutuk
batuna, kecebur caina yang menggambarkan
kepasrahan kita. Padahal dalam Islam
dikatakan bahwa ikhtiar (usaha) itu wajib,
yang sebenarnya juga ada dalam filosofi orang
Sunda yaitu mun ngakal moal ngakeul, mun
teu ngarah moal ngarih artinya harus usaha
jangan kumaha engke (bagaimana nanti),
tetapi harus dibalik engke kumaha (nanti
bagaimana).

Dalam sistem budaya Sunda, kedudukan laki-
laki dan perempuan (ayah dan ibu) hampir
sama meskipun kepala keluarga tetap di
tangan laki-laki. Keduanya dapat memperoleh
hak waris dari ibu maupun ayahnya. Berbeda
dengan budaya Padang (ibu) atau Batak
misalnya. Keistimewaan orang Sunda lainnya
lagi adalah melalui filosofis someah hade ka
semah (keramahan orang Sunda pada tamu).
Tetapi filosofis ini harus sedikit berubah,
karena tergantung perilaku tamu (semah)-nya
itu sendiri. Masa pada tamu yang akan berbuat
jahat kita pun harus someah.

Pada akhirnya, kondisi perubahan nilai atau
melemahnya nilai lokal dalam diri orang
Sunda dipandang sebagai bagian penting dari
perubahan sosial dalam masyarakat. Hal ini
dikarenakan bahwa syarat utama dalam
perubahan sosial adalah sistem sosial dalam
pergaulan hidup yang menyangkut nilai-nilai
sosial dalam budaya masyarakat.

Selanjutnya, nilai politik lokal ini akan
berkaitan dengan kekuasaan dan atau pola
hubungan pemerintahan yang menjadi
kerangka acuan warga terhadap pilihan
tindakan, berdasarkan permasalahan yang
dihadapi. Nilai politik lokal selain memiliki
kaitan dengan kekuasaan, terkait juga dengan
dimensi kultural yang mengatur perilaku
manusianya.

Nilai kultural tersebut dapat melandasi
perilaku politik warga. Perilaku politik itu
merupakan hasil internalisasi pemikiran dari
nilai yang terdapat dalam falsafah hidup
masyarakat. Dengan demikian, nilai dalam
falsafah itu berhimpitan antara nilai kultural
KEPEMIMPINAN POLITIK ORANG SUNDA
127
dengan nilai politik, atau malah keduanya
memiliki makna yang sama. Dalam kaitan ini,
nilai-nilai seperti nilai religi, ekonomi dan
sosial dapat juga menjadi landasan bagi
tindakan politik warga, ketika pertimbangan
nilai itu mulai memasuki nuansa kekuasaan
khususnya dalam rangka penyelenggaraan
negara.

Pada diri orang Sunda terdapat watak yang
bersifat positif dan negatif. Diantara sifat-sifat
tersebut kita dapat ketahui bahwa orang Sunda
itu heunteu ngagaduhan hasrat nandjung
yaitu keinginan atau tekad untuk jadi nomor
satu dalam segala bidang, ingin menduduki
tempat paling depan dimana saja, dapat
memegang kekuasaan dalam keadaan apapun
atau dapat menjadi pemimpin dalam segala
urusan dan lain sebagainya. Dengan kata lain,
orang Sunda itu tidak mempunyai sifat gila
hormat dalam arti sehat dan tepat dalam
menunjukkan harga dirinya. Masih banyak
orang Sunda yang salah mengartikan sifat
tersebut dan menganggap sifat seperti itu
buruk dalam kebiasaan orang Sunda.
Misalnya saja sejak kecil anak-anak dididik
untuk selalu rendah hati (handap asor),
jangan sok tau (peupeuleukeuk) karena
dianggap kurang sopan bahkan kurang ajar.
Padahal dalam kancah politik sifat ini
diperlukan (positif), agar kita bisa menjadi
seorang pemimpin (penguasa).

Berbicara kekuasaan (politik) dalam perspek-
tif lama budaya Sunda seolah berhadapan
dengan unsur ketabuan. Kekuasaan ini diper-
sepsikan sebagai simbol keserakahan dan am-
bisi, yang niscaya akan menumbuhkan kon-
flik, apalagi bila diraih di luar tatanan yang
sudah ada. Dinamika budaya selama ini belum
memposisikan kekuasaan sebagai resources.
Ini mengandung makna, kekuasaan belum
dilihat sebagai bagian penting dalam
mengembangkan martabat budaya dan
masyarakat Sunda di tengah semangat ke-
bangsaan dan kenegaraan.

Sementara itu, sinyal masa depan mempredik-
sikan bahwa tidak akan ada eksistensi budaya
lokal tanpa kekuasaan yang signifikan dari
para pendukung budayanya. Hal ini sudah
terdeskripsi ketika kita lihat mereka meraih
kekuasaan dalam berpolitik. Paham budaya
yang mengidentikkan kekuasaan sebagai
sumber konflik, dan politik yang ditabukan itu
telah menghasilkan realitas budaya berpolitik
imperior pada etnis dengan populasi kedua
terbesar di Indonesia ini (Permana, 2003).

Di jaman modern seperti sekarang, kebiasaan
lama tersebut sudah kurang relevan lagi.
Gambaran diri masyarakat umumnya pada
masa sekarang didasarkan pada: (1) nafsu atau
keinginan mempunyai kekuasaan atau jadi
pemimpin. (2) nafsu atau keinginan menjadi
orang kaya di dunia. Dalam dunia politik
kekuatan lahiriahlah yang menentukan,
perilaku dan sifat yang halus seperti
kesusilaan, keagamaan, kemanusiaan dan
lainnya sudah tidak dipedulikan lagi. Rendah
diri jaman sekarang sudah tidak tepat lagi.
Apabila sifat ini tetap dipertahankan sebagai
tanda kehalusan perilakunya, maka tidak
heran apabila dalam kehidupannya penuh
dengan penyesalan dan kerugian baik untuk
dirinya maupun untuk keluarga bahkan tanah
airnya sendiri.

Namun demikian, sifat seperti di atas jangan
serta merta diubah 360
0
, setidaknya dapat
menunjukkan jati dirinya sehingga dapat
diterima dan diakui di lingkungan masyarakat
sert a sel al u membawa kemaj uan.
Menunjukkan jati diri bukan perbuatan buruk
(sombong), oleh karena itu perlu diiringi
dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman
yang cukup.

Di masa mendatang, hendaknya sifat orang
Sunda yang selalu merendahkan diri harus
segera dihilangkan, agar Ki Sunda (sebutan
orang Sunda yang terjun ke kancah politik
atau elit politik Sunda) tidak terus menerus
menjadi pesuruh atau bawahan saja. Salah
satu cara yang dapat ditempuh adalah harus
selalu membiasakan diri memiliki rasa ingin
dihormati sewajarnya (asal tidak gila
hormat) dan rasa percaya diri (jati diri) yang
DEWI KURNIASIH
128
harus lebih ditingkatkan. Dengan cara itu
niscaya akan timbul keyakinan bahwa orang
Sunda juga mampu menjalankan segala
macam pekerjaan. Dengan demikian, rasa
percaya diri dan profesionalisme kerja dapat
melekat pada dirinya.

Sifat lainnya adalah rasa malu (eraan) yang
harus segera dihilangkan dan diubah menjadi
sifat kukuh pada pendirian yang sewajarnya.
Apabi l a si fat -si fat t ersebut t et ap
dipertahankan di jaman sekarang, maka dalam
kehidupan ini kita selalu berada dalam barisan
terbelakang. Sifat rendah diri akan mematikan
inisiatif, rasa hormat yang sehat dan daya
karya yang tinggi bahkan akan memunculkan
watak yang lemah yang mudah menerima apa
adanya walaupun sedikit. Rasa hormat dan jati
diri hanya diperlukan di permukaan saja.
Kebiasaan tersebut tidak akan merubah nasib
diri pribadinya, keluarganya apalagi untuk
mengangkat harkat derajat bangsanya dan
tanah air (lemah cai)-nya.

Refleksi sifat-sifat di atas dalam kehidupan
politik dapat memberikan bayangan kepada
kita bagaimana nasib Ki Sunda ini kelak. Jadi
jelaslah kesadaran akan makna persaingan
dalam politik dalam budaya Sunda
nampaknya masih kurang dan ini hendaknya
harus mulai ditingkatkan. Hal ini tentu
merupakan perjuangan yang sangat berat.
Oleh karena itu, orang Sunda harus sanggup
berjuang dan bisa berjuang. Sanggup berjuang
berarti harus mempunyai inisiatif dan daya
karya. Sedangkan bisa berjuang berarti
memiliki ilmu pengetahuan, cerdas, berani,
penuh semangat, percaya diri dan tidak cepat
bosan (bosenan).

Selanjutnya, ada juga sifat yang harus
dibangun oleh orang Sunda yaitu sifat teguh
untuk menggapai cita-cita. Hal ini diperlukan
karena ada sifat negatif orang Sunda yang
cenderung kurang gigih (ulet), mudah cepat
bosan, tidak punya kemauan dalam
melakukan sebuah pekerjaan. Sifat-sifat
tersebut lama kelamaan akan menimbulkan
sikap pemalas, sulit berfikir realistis dan tidak
dapat berfikir panjang, mudah beralih kepada
pekerjaan baru padahal pekerjaan lama belum
tuntas (setengah jalan).

Sifat-sifat tadi yang sudah menjadi kebiasaan
akan mengakibatkan segala pekerjaan yang
dilakukan tidak akan berhasil dengan baik,
bahkan berkesan menghambur-hamburkan
waktu dan tenaga. Hal ini tentu tidak dapat
dibiarkan terus menerus, mungkin pendidikan
tinggi yang diraih setidak-tidaknya dapat
merubah dan mengikis sifat-sifat tadi secara
perlahan-lahan sebagai wujud upaya koreksi
terhadap kepribadian dan profesionalisme
orang Sunda.

Orang Sunda adalah manusia-manusia yang
sangat supel, fleksibel sehingga mudah
diterima dengan baik di lingkungan orang
lain. Pada saat kita dijajah oleh Mataram,
datang pupuh. Dengan supelnya Cianjuran
yang tadinya tidak mengenal pupuh, dimixkan
menjadi seni yang manis sekali, sekarang
seolah-olah pupuh itu adalah milik orang
Sunda. Termasuk juga kesenian wayang golek
yang sebenarnya merupakan kebudayaan dari
India, kini menjadi salah satu ciri khas
kesenian Sunda.

Budaya Sunda diakui sebagai budaya religius.
Hal itu merupakan konsekuensi logis dari
pandangan hidupnya yang mendasarkan pada
ajaran agama, yaitu Islam. Dalam perspektif
ini, berkembang sebuah sistem nilai pada ling-
kungan elit politik Sunda mengenai realitas
guna memahami dan menafsirkan dunia seki-
tar (alam). Disinilah terbukti bahwa agama
memiliki signifikansi dalam pengembangan,
pembentukan, pengisian, dan pengayaan bu-
daya.

Beberapa elit Sunda yang kita ketahui, dalam
kepemimpinannya juga mendasarkan diri pada
ajaran Islam yang diyakininya. Misalnya saja
dalam pengertian tentang kekuasaan. Berbi-
cara mengenai kekuasaan pasti mengakar
kepada asal mula atau sumber kekuasaan itu
sendiri. Oleh karena itu, kekuasaan seringkali
diibaratkan dengan jabatan atau kekayaan.
KEPEMIMPINAN POLITIK ORANG SUNDA
129
Menurut ajaran Islam jabatan dan kekayaan
itu adalah amanah atau titipan dari Allah
SWT. Inilah salah satu bukti pengaruh Islam
dalam konteks kepemimpinan elit politik
orang Sunda, yang tercermin dalam perilaku
dan kepribadiannya. Pandangan hidup orang
Sunda terhadap kekuasaan, adalah bagian
yang tidak terpisahkan dengan pandangan
hidup orang Sunda dalam mengejar lahir
batin.

Kenyataan lain menunjukkan, banyak elit-
elit Sunda yang Islami yang berada dalam
st r ukt ur pemeri nt ahan ( bi r okr at )
menjalankan kepemimpinannya berpatokan
pada amar makruf. Hal ini dinilai sangat
relevan, karena menurut ajaran Islam
pemerintah negara hanya melindungi
perbuatan-perbuatan yang baik dan benar
(amar makruf). Sedangkan untuk perbuatan
yang buruk (nahi mungkar), pemerintah
harus mengantisipasinya.

Tipologi Kepemimpinan Politik Sunda

Dalam budaya Sunda pemimpin diartikan
sebagai pusat yang dikelilingi oleh para
pengikut. Hubungan pengikut dan pemimpin
di sini adalah hubungan dependen atau
saling berkaitan (hubungan ketergantungan
kepada sang pusat, yaitu pemimpin). Pusat,
atau pemimpin dalam konteks ini memiliki
posisi lebih tinggi daripada para
pengikutnya. Sehingga dapat dikatakan
bahwa posisi pemimpin di atas dan pengikut
di bawah. Pemimpin diposisi atas, karena
memang mempunyai kelebihan-kelebihan.
Karena kel ebi han-kel ebi han yang
dimilikinya tersebut, maka setiap pemimpin
dikatakan memiliki isi, sedangkan para
pengikutnya adalah wadah atau tempat.
Pada mulanya si pemimpin sendiri juga
merupakan sebuah wadah, tetapi karena
bakat dan usahanya, maka wadah itu penuh
isi.

Robert Wessing yang pernah melakukan
penelitian terhadap elit Sunda di Bandung
tahun 1970-an menggambarkan bahwa sifat
hubungan pemimpin dan pengikut sebagai
hubungan guru-murid. Hal ini didasari
oleh pemikiran bahwa untuk mengetahui
tujuan hidup yang baik dan cara
mencapainya, menurut orang Sunda
diperlukan seorang guru. Fungsi guru adalah
menuntun agar kita berada dalam kebenaran.
Dalam budaya Sunda istilah gu-ru
diterjemahkan sebagai seseorang yang dapat
digugu dan ditiru. Seseorang dapat berguru
kepada siapapun tanpa menghiraukan usia,
kekayaan dan jabatan. Yang jelas guru
adalah seseorang yang dapat dijadikan
tempat bertanya.

Mutu kepemimpinan Sunda berdasarkan
deskripsi di atas jelas terletak pada mutu si
pemimpinnya. Pemimpin yang berisi akan
mengalirkan isi tersebut, sesuai dengan
potensi wadah-wadah itu sendiri. Namun,
tidak setiap pengikut berkembang sama
seperti isinya, tetapi pengikut itu diberi
kesempatan untuk mengembangkan diri
menjadi pusat baru dengan membentuk
lingkungan pengikut sendiri. Penyebaran
isi-pusat ini dilakukan secara bebas dan
sukarela oleh para pengikut, sesuai dengan
potensi masing-masing.

Masyarakat Sunda mengakui bahwa pemim-
pin Sunda yang disegani, artinya pemimpin
yang penuh dengan isi. Pemimpin seperti ini
pasti akan mempunyai para pengikut yang
tersebar di mana-mana. Mereka kemudian
lama kelamaam dapat berdiri secara inde-
pendent sebagai pusat-pusat baru yang mer-
deka, dalam arti bahwa para murid hanya
punya ikatan dengan guru-pusat, tetapi tidak
punya ikatan apapun antara sesama murid
atau pengikut.

Seperti yang kita ketahui kepemimpinan
merupakan salah satu faktor penting dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini
didasarkan atas asumsi bahwa faktor
kepemimpinan akan turut menentukan
tercapai atau tidaknya tujuan negara yang
terwujud dalam sebuah pembangunan.
Dalam usaha memahami pola kepemimpinan
DEWI KURNIASIH
130
dalam budaya Sunda, sebenarnya ada dua
konsep pendekatan yang dapat digunakan.
Pertama, konsep strategic elite dari
Suzanna Keller (1963) dan kedua, konsep
solidaririty makers dan administrator dari
Herbert Feith (1962) (Kusnaka, 1986).

Suzanna Keller bertitik tolak dari anggapan
bahwa dalam setiap sektor kehidupan dalam
masyarakat itu terdapat sekelompok orang
yang dianggap elitnya. Tetapi, tidak semua
anggota kelompok elit itu berpengaruh
terhadap kehidupan masyarakat. Di antara
kelompok elit yang memiliki pengaruh
kepada masyarakat itu, disebut strate elite.
Sedangkan Herbert Feith mengemukakan
bahwa ada tipe kepemimpinan lain yang
disebut tipe administror yang mengutamakan
pembangunan ekonomi, kesejahteraan sosial
dan organisasi negara pada umumnya. Tipe
kepemimpinan administrator itu dapat kita
lihat dalam diri mantan Wakil Presiden RI,
Bung Hatta dan juga Juanda (yang notabene
orang Sunda).

Figur pemimpin ideal yang diharapkan orang
Sunda adalah seorang pemimpin yang dapat
membawa fungsi atau peranan untuk
menguasai, mengatur dan mengawasi agar
tujuan kolektif dapat tercapai dengan tetap
menjaga nilai sosial kultural Sunda. Hal
inilah yang seringkali menjadi dasar bahwa
otoritas tradisional dapat diterima
masyarakat t anpa memper soal kan
legitimasinya, begitu pula dalam hal
kepemimpinan Sunda.

Pendekatan di atas, setidaknya dapat
menerangkan peranan pemimpin Sunda
dalam situasi institusional atau konteks
sosial kulturalnya. Hal ini sangat relevan
dengan studi perbandingan tentang pelbagai
tipe kepemimpinan dalam berbagai situasi
kultural. Kepemimpinan Sunda masih
memerlukan citra kepemimpinan yang
bersifat kharismatis disamping mitos-mitos
yang diciptakan disekitarnya.

Namun demikian, apabila kita lihat
kepemimpinan politik Sunda menurut teori
leadership dari Mc. Gregor Burns dari
prosesnya, maka akan tergolong kepada tipe
kepemimpinan transending totaliter. Hal ini
ditandai dengan tidak adanya dialog dalam
proses peleburan nilai-nilai dan harapan
mel al ui i ndokt r i nasi . Masyar akat
digambarkan berada di tengah situasi darurat
yang memerlukan keputusan segera tetapi
masyarakat masi h berada dal am
kebingungan. Sehingga hirarkhi prioritas
nilai ditentukan oleh pemimpin tanpa
kompromi dengan pengikut. Ditambah lagi
kurangnya partisipasi aktif orang Sunda
dalam posisi tawar-menawar nilai yang
melibatkan sebanyak mungkin elemen
masyarakat dalam proses transaksi.

Kondisi inilah mungkin yang menjadi salah
satu alasan mengapa salah seorang elit
politik Sunda yang menjadi calon wakil
presiden pada pemilihan presiden tahun
2004, kemudian tidak terlalu banyak
mendapat dukungan dari orang Sunda itu
sendiri. Padahal entitas kultural lokal Sunda
ini adalah entitas kultural lokal terbesar
kedua setelah Jawa.

Sedangkan jika kita lihat dari hasilnya, maka
kepemimpinan elit politik Sunda termasuk
kedalam kategori tipe kepemimpinan
transforming enterpreneurship. Hal ini dapat
kita temukan pada elemen-elemen yang
dipimpin oleh sebagian elit politik Sunda
berada dalam situasi yang cukup kompetitif
s e h i n g g a p e m i m p i n p e r l u
mentransformasikan nilai-nilai yang dapat
digunakan dalam persaingan tersebut.
K e mu d i a n , n i l a i - n i l a i y a n g
ditransformasikan pemimpin menciptakan
kemandirian bagi pengikutnya.

Kondisi ini pula yang tergambar dalam
proses pemilihan Walikota Bandung
beberapa waktu yang lalu. Hal ini
menunjukkan terjadinya transformasi nilai-
nilai otonomi yang berarti kemandirian bagi
pemerintah daerah dan masyarakat lokal.

KEPEMIMPINAN POLITIK ORANG SUNDA
131
Dan akhirnya berdasarkan sumber
kekuasaan, kepemimpinan elit politik Sunda
termasuk tipe kepemimpinan transaksional
kharismatis. Dalam tipe kepemimpinan
seperti ini penyampaian ide, gagasan dan
nilai disertai dengan dimensi citra diri atau
pesona pemimpin menanamkan unsur
emosional antara pemimpin dan pengikut.
Oleh karenanya, figur pemimpin adalah
sebagai orang yang berjasa atau memiliki
kelebihan dibandingkan pengikutnya. Untuk
beberapa kondisi hal ini dapat
mempermudah pemimpin menawarkan
gagasannya dan pengikut lebih mudah
percaya pada figur pemimpinnya.

Tipe kepemimpinan seperti ini secara
konkret dapat dilihat dalam bentuk-bentuk
kampanye pemilihan umum legislatif tahun
2004 di Jawa Barat khususnya untuk
pemilihan anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Masing-masing kandidat
memunculkan figur-figur yang mempunyai
citra diri atau pesona pribadi yang dapat
mempengaruhi persepsi bawah sadar
pemilih, untuk memperoleh dukungan
(suara) sebanyak mungkin.

Hasil yang diperoleh adalah terbentuknya
ikatan emosional, sehingga pengikut akan
lebih mudah percaya pada gagasan yang
disampaikan oleh figur tersebut. Pada
umumnya figur-figur yang dimunculkan
adalah orang yang berjasa atau memiliki
kelebihan atau keturunan dari orang yang
dianggap kharismatis sehingga dipandang
mewarisi kharisma orang tuanya.

Akhir kata, harapan penulis mudah-mudahan
tipe dan sosok kepemimpinan elit Sunda
yang lebih visioner, memiliki integritas,
memahami budaya lokal, penuh inisiatif,
tegas, berani ambil resiko dan introspektif
baik di tingkat lokal maupun di tingkat
nasional dapat tercapai di kemudian hari.
Amin.



REFERENSI

Adimihardja, K. (1986). Kepemimpinan
dalam Kebudayaan Sunda. Makalah.
Depdikbud.
Antlov, H. (2003). Negara dalam desa;
patronase kepemimpinan lokal.
Yogyakarta: LAPPERA Pustaka Utama.
Burns, J. M. (1979). Leadership. New York
& London: Harper & Row Publisher.
Ekadjati, Edi. S. 1995. Kebudayaan Sunda
(suatu pendekatan sejarah). Jakarta:
Pustaka Jaya.
Geertz, C. (1992). Kebudayaan dan agama.
Yogyakarta: Kanisius.
Hatch, E. (1973). Theoris of man and
culture. New York & London:Columbia
University Press.
Kavanagh, D. (1982). Kebudayaan politik.
Jakarta: Bina Aksara.
Koentjaraningrat. (1985). Manusia dan ke-
budayaan di Indonesia. Jakarta: Djam-
batan.
Liddle, W.R. (1996). Leadership and culture
in Indonesia. Sydney: Allen & Unwin.
Lubis, N.H. (1998). Kehidupan kaum Menak
Priangan 1800-1942. Bandung:Pusat
Informasi Kebudayaan Sunda.
Mulder, N. (2001). Mistisisme Jawa;
ideologi di Indonesia. Yogyakarta: LkiS.
Permana, S. (2003). Politik Indonesia:
konspirasi elit dan perlawanan rakyat
(kumpulan tulisan). Bandung: CEPLAS.
Rusli, K.M. & Fauzi, R. (et.al). (1991).
Dinamika budaya dan politik dalam
pembangunan. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Rosidi, A. (1984). Manusia Sunda; sebuah
esai tentang tokoh-tokoh sastra dan
sejarah. Jakarta: Inti Idayu Press.
(2002). Sejarah dan budaya politik.
Bandung: Satya Historika.
(2003). Sejarah Tatar Sunda jilid I dan II.
Bandung: Satya Historika.
Sumardjo, J. (2003). Simbol-simbol artefak
Budaya Sunda; tafsir-tafsir pantun
Sunda. Bandung: Kelir.
Warnaen, S. (1986). Pandangan hidup
Orang Sunda satu hasil studi awal.
DEWI KURNIASIH
132
Makalah Depdikbud.

Anda mungkin juga menyukai