Anda di halaman 1dari 28

3.

Propaganda Politik

Propaganda yang berasal dari kata Latin propagare yang berarti menyemaikan tunas
suatu tanaman, adalah salah satu bentuk seni dan teknik berkomunikasi yang sering kali juga
diaplikasikan dalam kegiatan politik.

Propaganda merupakan kegiatan yang sudah lama dikenal dalam bidang politik,
meskipun pada awalnya (1622) digunakan sebagai bentuk kegiatan keagamaan (Katolik). Pada
tahun 1622, Paus Gregorius XV membentuk suatu komisi kardinal yang bernama Congregatio
de Propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan kristiani di antara bangsa-bangsa.

Secara khusus, para missionaries ditugaskan untuk menyebarkan doktrin kristiani


tersebut, yaitu seorang missionaries harus mampu menggalang beberapa ribu pemeluk baru yang
diharapkan. Dari situlah berasal istilah propaganda dan karakteristik utama kegiatannya, yaitu
satu-kepada-banyak (satu orang propagandis menggalang banyak pengikut).

Propagandis adalah orang yang melaksanakan kegiatan propaganda dan mampu


menjangkau khalayak kolektif yang lebih besar. Propagandis juga dapat diartikan sebagai
politikus atau kader partai politik yang memiliki kemampuan dalam melakukan sugesti kepada
khalayak dan menciptakan suasana yang mudah terkena sugesti (suggestible). Situasi yang
mudah terkena sugesti itu sangat ditentukan oleh kecakapan propagandis dalam menyugestikan
atau menyarankan pada khalayak (suggestivity), dan khalayak itu sendiri diliputi oleh suasana
yang mudah terkena sugesti (suggestibility). Itulah sebabnya, propaganda dipandang negatif
karena menggunakan metode persuasif yang negatif.

Penggunaan propaganda politik secara intensif dalam kegiatan politik dilakukan oleh
Hitler dalam Perang Dunia II, dengan cara melakukan kebohongan dalam menyebarkan ideologi
Nazi (fasisme) untuk memperluas pengaruh dan kekuasaannya. Sejak itu, istilah propaganda
mendapat reaksi negatif di negara-negara demokrasi karena menimbulkan banyak korban jiwa.

Sebaliknya, pada negara komunis seperti Uni Soviet, kegiatan propaganda mendapat
tempat yang positif dan digunakan secara intensif. Menurut Lenin, propaganda adalah
mengemukakan banyak gagasan atau pikiran secara mendalam kepada sedikit orang. Propaganda
dilakukan dalam bentuk pendidikan di kelas atau ceramah yang jumlah khalayaknya sangat
terbatas dan terpilih.

Di negara demokrasi, Leonardo W. Doob (1996), dipahami sebagai suatu usaha individu
atau kelompok yang berkepentingan untuk mengontrol sikap kelompok lainnya dengan jalan
menggunakan sugesti.

Berdasarkan pengertian tersebut, Jacques Ellul (1965) membagi propaganda menjadi dua
tipe, yaitu propaganda politik dan propaganda sosiologi. Propaganda politik adalah kegiatan
yang dilakukan oleh pemerintah, partai politik, dan kelompok kepentingan yang mencapai tujuan
politik (strategis atau taktis) dengan pesan-pesan yang khas dan berjangka pendek. Sedangkan
propaganda sosiologi biasanya kurang terlihat dan lebih berjangka panjang dengan pesan-pesan
suatu cara hidup, yang selanjutnya akan mempengaruhi lembaga-lembaga sosial, ekonomi, dan
politik.

Ada beberapa tipe propaganda yang diperkenalkan oleh para pakar dan penulis. Doob
(1950) membedakan antara propaganda tersembunyi dan propaganda terang-terangan,
propaganda disengaja dan propaganda yang tidak disengaja.

Propaganda tersembunyi terjadi jika propagandis menyelubungi tujuan-tujuannya ketika


berbicara. Sedangkan propaganda terang-terangan menyingkap tujuan politiknya tatkala
berusaha memperoleh dukungan suara. Propaganda yang disengaja adalah propaganda yang
memang dipersiapkan dengan cermat untuk memperoleh dukungan politik. Sedangkan
propaganda yang tidak disengaja adalah propaganda yang terjadi secara spontan, dalam suasana
atau kondisi yang tidak direncanakan pula sebelumnya.

Selain itu, propaganda juga dibedakan menjadi dua jenis, yaitu propaganda vertikal dan
propaganda horizontal. Propaganda vertikal adalah satu-kepada-banyak, terutama mengandalkan
retorika dan penggunaan media sebagai andalannya. Sedangkan propaganda horizontal adalah
kegiatan propaganda yang berlangsung di dalam kelompok (antara warga kelompok) dari
pemimpin kepada anggota kelompoknya, dengan mengandalkan komunikasi antar-individu atau
komunikasi antarpersona yang bersifat dialogis (anjangsana atau diskusi kelompok).
Propaganda juga memiliki teknik, diantaranya ada (1) penjulukan (name calling) yaitu
memberi nama jelek kepada pihak lain; (2) iming-iming (glittering generalities) yaitu
menggunakan kata-kata yang muluk, slogan, dan memutar balikan fakta; (3) transfer, yaitu
melakukan identifikasi dengan lembaga-lembaga otoritas; (4) tertimonial yaitu pengulangan
ucapan orang yang dihormati atau yang dibenci untuk mempromosikan atau meremehkan suatu
maksud; (5) merakyat (plain foks) yaitu menempatkan diri sebagai bagian dari rakyat; (6)
menumpuk kartu (card stacking) yaitu memilih dengan teliti pertanyaan yang akurat dan juga
logis; (7) gerobak music (bandwagon) yaitu mendorong khalayak untuk bersama-sama bergerak
untuk mencapai tujuan atau kemenangan yang pasti.

4. Lobi Politik

Lobi adalah salah satu bentuk dari seni dan teknik berkomunikasi yang banyak sekali
diaplikasikan dalam kegiatan politik. Istilah lobi, sesungguhnya adalah tempat para tamu
menunggu atau berbincang-bincang santai di hotel. Karena tempat itu banyak dipakai oleh para
politikus melakukan pembicaraan politik (political lobbying) secara santai atau informal, istilah
lobi politik itu kemudian melekat sebagai suatu kegiatan politik yang sangat penting.

Partai politik atau tokoh-tokoh politik yang ingin mencari dukungan atau ingin
menyelesaikan konflik politik dengan membangun konsensus politik, biasanya membentuk tim
lobi. Tim ini aktif melakukan pembicaraan politik secara informal di lobi atau tempat lain secara
tertutup. Hasil dari lobi itu kemudian diteruskan kepada anggota yang lain, lalu dibawa ke dalam
forum resmi (rapat dan persidangan).

Dalam usaha untuk menyelesaikan konflik untuk mencari solusi (win-win solution) atau
kompromi, para politikus berusaha mendesain semua yang mungkin, atau membuat yang
tidak mungkin menjadi mungkin. Itulah sebabnya, politik dan komunikasi politik sering juga
disebut sebagai art of possible dan bahkan art of impossible.

Nimmo (1999) berpendapat bahwa karakteristik percakapan politik yang terjadi dalam
lobi politik adalah koorientasi, yaitu orang saling bertukar pandangan atau pendapat tentang
suatu masalah. Dalam pertukaran pandangan itu diperlukan kemampuan negosiasi karena pesan
yang dipersoalkan itu memiliki dimensi isi maupun dimensi hubungan yang memerlukan
kesempatan.
Nimmo juga menyebutkan karakteristik percakapan politik itu sebagai permainan.
Percakapan sebagai permainan adalah saling bertukar informasi di antara orang-orang yang
saling mengenal, yang di dalamnya terdapat permainan wajah, suara, dan sikap. Dalam
percakapan politik itu terdapat transaksi yang di dalamnya para peserta memiliki motif terbuka
dan tersembunyi, serta dalam proses itu memperoleh keuntungan atau menderita kerugian.

Karakteristik lain yang dikenal dalam pembicaraan politik adalah empati, homofili, dan
penyingkapan diri. Semua hal ini telah dibahas dalam bagian terdahulu, namun pada
penyingkapan diri, perlu ditambahkan bahwa untuk melakukan empati dan homofili dengan
orang lain, kepribadian (pola pikir dan lapangan pengalaman) orang lain itu harus dapat
diketahui. Begitu pula sebaliknya.

Penyingkapan diri terjadi bila seseorang mengungkapkan secara transparan atau terbuka
kepada orang lain, tentang pikiran atau gagasan, perasaan, dan motivasinya. Hal itu akan
menjelaskan tentang jatidiri dan dapat memberikan citra yang baik. Meskipun demikian,
keterbukaan tentang hal itu jarang sekali terjadi, apalagi dalam pembicaraan politik.

5. Tindakan Politik

Sesungguhnya lobi politik, retorika politik, dan kampanye politik adalah peristiwa-peristiwa
politik yang dapat diamati dari waktu ke waktu, yang dalam waktu lama membentuk pola.
Politikus yang selalu melakukan lobi politik disebut sebagai pelobi, karena tindakan melobi telah
terpola dalam dirinya.

Dengan demikian, lobi politik, retorika politik, dan kampanye politik dapat juga disebut
sebagai tindakan politik. Jika tindakan politik itu tidak sesuai dengan pola, tindakan tersebut
dapat dapat disebut sebagai kejutan.

Dalam kehidupan sehari-hari, terdapat banyak sekali peristiwa politik dan tindakan
politik, baik oleh pemerintah dan parlemen, maupun oleh partai politik dan masyarakat.
Tindakan yang dilakukan oleh partai politik, misalnya penggunaan seragam, seperti Partai
Golongan Karya menggunakan seragam warna kuning, sedangkan Partai Demokrasi Perjuangan
Indonesia memilih seragam warna merah tua. Dengan kata lain, penggunaan pakaian seragam,
adalah sebuah tindakan politik dalam peristiwa komunikasi politik.
Di Indonesia misalnya dahulu, semua menteri menggunakan mobil merek Volvo
berwarna hitam, dan itu dapat disebut sebagai pola. Jadi, jika ada mobil merek Volvo berwarna
hitam melewati jalan raya, dapat diprediksi bahwa mobil itu kemungkinan digunakan oleh
seorang menteri. Jika ternyata mobil merek Volvo berwarna hitam itu dipakai oleh orang yang
bukan menjabat menteri, peristiwa komunikasi politik itu dinamakan kejutan.

Sesungguhnya, tindakan politik dalam peristiwa komunikasi politik bertujuan untuk


membentuk citra (image) politik bagi khalayak (masyarakat), yaitu gambaran mengenai realitas
politik yang memiliki makna.

B. Organisasi dan Pengelolaan


Pada umumnya aplikasi (penerapan) komunikasi dari suatu lembaga atau organisasi memerlukan
pengorganisasian dan pengelolaan (manajemen) agar komunikasi itu dapat lebih efektif.
Lembaga-lembaga politik baik infrastruktur politik (partai politik, organisasi sosial) maupun
suprastruktur politik (lembaga legislatif dan lembaga eksekutif) memerlukan hubungan yang
harmonis dengan masyarakat, baik ke dalam (internal public) maupun ke luar (external public),
melalui komunikasi politik yang terorganisasi dengan manajemen yang efektif dan efisien.

Organisasi dan manajemen dalam komunikasi politik dapat dilakukan melalui public
relations, karena public relations, bukan hanya merupakan bentuk kegiatan tetapi juga
merupakan bentuk organisasi modern yang mengelola komunikasi secara rasional dan
profesional di negara demokrasi. Studi public relations telah tumbuh pesat di berbagai negara
sebagai bagian dari studi komunikasi. Hal itu dapat diaplikasikan dalam komunikasi politik
dengan sebutan public relations politik.

Selain public relations juga telah dikembangkan aplikasi (penerapan) pemasaran


(marketing) dalam politik yang dahulu hanya dikenal dalam bidang ekonomi, sehingga muncul
studi dan praktik pemasaran politik sebagai salah satu jenis dalam komunikasi politik.

Public relations politik merupakan bentuk kegiatan dalam melakukan hubungan dengan
masyarakat, secara jujur (tidak berbohong), terbuka, rasional (tidak emosional), dan timbal balik
(dua arah). Dengan demikian, dapat terjalin hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan
masyarakat, yang dimulai dengan menciptakan rasa memiliki (sense of belonging) bagi
masyarakat. Tujuannya agar masyarakat memperoleh citra yang baik terhadap pemerintah
sehingga memberikan dukungan yang positif.

Dengan tekanan kepada komunikasi timbal balik itu, kegiatan public relations
menunjukkan ciri demokrasi, yang memberi penghargaan kepada khalayak atau masyarakat.
Dalam hal ini, khalayak tidak dipandang sebagai objek semata, tetapi juga dipandang sebagai
subjek. Maksudnya, public relations, di samping memberikan penerangan-penerangan kepada
publik, juga memerhatikan dan meneliti sikap-sikap dan pendapat publik, yang selanjutnya
disesuaikan dengan kebijakan dan tindakan lembaga atau organisasi.

Dihargainya sikap dan pendapat publik tersebut oleh lembaga yang bersangkutan dapat
menimbulkan saling pengertian dan hubungan yang harmonis di antara keduanya. Jadi, jelaslah
bahwa public relations politik bukan hanya memengaruhi pendapat umum, tetapi juga memupuk
opini publik yang ada. Artinya, memelihara opini publik itu dengan menyesuaikan diri dengan
tindakan-tindakan terhadap pendapat tersebut.

Dalam komunikasi politik, usaha membentuk dan membina citra dan opini publik yang
positif dilakukan dengan persuasif, yaitu dengan metode komunikasi dua arah dalam arti
menghargai pendapat dan keinginan khalayak. Dalam hal itu public relations politik berbeda
dengan kegiatan propaganda politik, agitasi politik, dan penerangan. Public relations politik
menggunakan metode komunikasi dua arah. Sedangkan propaganda, agitasi politik, dan
penerangan hanya menggunakan metode komunikasi satu arah saja.

Untuk menjalankan tugasnya sebagai perantara, seorang pekerja public relations politik
harus memiliki moral dan tingkah laku yang baik agar ia dapat memperoleh kredibilitas dan
menjadi teladan bagi publik. Hal itu sangat penting dalam upaya bekerja dan bertindak tegas,
cermat, akurat dalam menjalankan tugas partai politik, dan sebagai komunikator politik yang
profesional.

2. Pemasaran Politik

Bentuk pengorganisasian dan pengelolaan (manajemen) dalam komunikasi politik yang


juga dikembangkan dewasa ini adalah pemasaran politik. Dalam waktu yang belum terlalu lama
memang telah berkembang juga suatu konsep baru untuk membentuk citra dan opini publik
dengan menerapkan model pemasaran barang dan jasa ke dalam bidang politik.

Istilah pemasaran yang selama ini dikenal dalam bidang ekonomi diterapkan ke dalam
bidang politik dengan sebutan, pemasaran politik atau marketing politik, dipahami sebagai
penyebaran gagasan-gagasan politik dengan menerapkan prinsip-prinsip pemasaran komersial.
Hal itu menunjukkan kecenderungan konvergensi antara dunia politik dengan dunia bisnis,
memang semakin sangat dekat, terutama karena banyak aktor politik yang berasal dari dunia
bisnis. Kemampuan dan pengalaman para pebisnis melakukan lobi, negoisasi dan pemasaran,
dengan mudah diterapkan atau diaplikasikan ke dalam komunikasi politik.

Dalam studi pemasaran politik disebutkan bahwa pemasaran politik adalah konsep
permanen yang harus dilakukan oleh sebuah partai politik atau kontestan dalam membangun
kepercayaan dan citra publik (Butler & Collings, 2001).

Ada kekhawatiran kuat bahwa penggunaan prinsip pemasaran dalam dunia politik tidak
ubahnya seperti dunia bisnis kapitalis beserta implikasinya yang sarat dengan manipulasi politik,
sehingga dapat mereduksi arti berpolitik itu sendiri. Berkembangnya iklan politik melalui media
massa (pers, film, radio, dan televisi), dikhawatirkan akan semakin menjauhkan masyarakat dari
ikatan ideologis sebuah partai dan massanya. Selain itu, aplikasi prinsip pemasaran, juga
dikhawatirkan akan meracuni dunia politik dengan eksploitasi dan manipulasi.

Penerapan pemasaran dalam dunia politik harus mengacu dan mengadaptasi nilai-nilai
yang ada dalam dunia politik, terutama yang berkaitan dengan ideologi politik (OSoughnessy,
2001). Selain itu kehadiran politik menurut Radcliff (2001) dalam sistem sosial ditujukan untuk
memperbaiki kondisi kualitas masyarakat suatu komunitas (negara) melalui kontrak sosial.

Produk politik sangat berbeda dengan produk komersial, karena produk politik adalah
produk yang tidak nyata (intangible product), sangat terkait dengan sistem nilai dan didalamnya
terdapat visi yang bersifat atraktif serta melekat janji dan harapan akan masa depan.
Kompleksitas produk politik membuat para pemilih mengalami kesulitan untuk menilai semua
hal yang menerpanya, termasuk masa lalu politik bersangkutan, sehingga proses pemilihan
politik sangat rawan dengan bias.
OCass (1996) dan Firmanzah (2007:201) menjelaskan bahwa falsafah marketing
memberikan arahan tentang cara menerapkan (pemasaran) dalam dunia politik. Pemasaran
politik yang dimaksudkan sebagai teknik untuk pencitraan politik sebuah partai politik atau
seorang kandidat dengan memelihara hubungan timbal balik dengan publik agar membentuk
citra dan memperoleh dukungan publik. Hal itu sejalan dengan kegiatan public relations.

Pemasaran politik menjadikan calon pemilih sebagai subjek dan mengajarkan agar
kadidat atau partai politik mampu merumuskan secara jelas tentang produk politik melalui
pengembangan simbol, citra, platform, visi, misi dan program yang ditawarkan justru mengacu
kepada ideologi politik masing-masing partai politik. Produk yang bisa dipasarkan adalah partai
politik itu sendiri, tanda gambar, ideologi, visi misi, program dan para kandidat yang akan
menduduki jabatan-jabatan politik. Semuanya itu memberikan citra, simbol, dan kredibilitas
sebuah produk politik (political product).

Produk politik merupakan salah satu elemen, dari lima elemen dalam proses pemasaran
politik. Empat elemen lainnya, ialah tempat, harga, promosi, dan segmentasi.

Produk politik dipasarkan di tempat yang tepat yang dikenal dengan ruangan public
seperti dialog melalui media massa, mengunjungi masyarakat dan melakukan kontak-kontak
pribadi di suatu tempat yang tersedia sampai ke desa-desa, atau menempatkan kantor pantai di
lokasi yang bergengsi dan mudah dijangkau masyarakat. Demikian juga harga, yang dalam
pemasaran politik meliputi harga ekonomi (biaya iklan, rapat akbar, dan promosi), harga
psikologis (persepsi psikologis, seperti rasa nyaman yang berkaitan dengan ideologi, agama,
etnis, atau moralitas kandidat) dan sampai ke citra nasional (berkaitan dengan citra nasional dan
kebanggaan nasional seorang kandidat presiden).

Dalam pemasaran politik, dilaksanakan promosi produk politik diaplikasikan dalam


berbagai cara. Promosi dapat dilakukan dalam bentuk komunikasi antarpersonal dan komunikasi
melalui media format kecil (selebaran, folder, spanduk, baliho, reklame) serta melalui media
massa (pers, film, radio, televisi) dan media sosial atau media interaktif (internet). Promosi
menjadi cara untuk menunjukkan hal-hal domestik ke dunia publik, atau promosi menjadi
jembatan, dari dunia pribadi ke dunia sosial.
Agar dalam pemasaran politik mencapai efektifitas, maka dalam keseluruhan proses
pemasaran politik, dilakukan pemetaan (segmentasi) sasaran. Partai politik dituntut untuk bisa
membuat program yang mampu memuaskan semua kelompok untuk memperoleh citra yang baik
dan opini publik, serta dukungan suara sebanyak mungkin dalam pemilihan umum. Dengan
adanya segmentasi ini, maka diperoleh identifikasi karakteristik yang muncul di setiap
kelompok.

Dari sini dilakukan positioning sebagai upaya untuk menempatkan citra partai dan
produk politik yang sesuai dengan masing-masing kelompok. Positioning tidak dapat dilakukan
tanpa adanya segmentasi politik, karena pasar politik adalah suatu komunitas yang tersusun
oleh komponen yang sangat beragam dan saling berinteraksi satu dengan lainnya. Pendekatan
partai politik atau kontestan pemilu tidak dapat dilakukan dalam tatanan individu karena
biayanya sangat mahal, kecuali si individu itu adalah figur publik yang berpengaruh dan
memiliki reputasi yang baik di bidangnya (Firmanzah, 2007: 212-213).

Pemetaan itu penting bagi pelaksanaan promosi melalui media massa untuk menjangkau
segmen khalayak perkotaan dan kelas menengah ke atas pada umumnya. Promosi melalui
media massa pada umumnya diwujudkan melalui iklan, yang sekaligus menjadi sumber dana
yang menghidupkan bagi media massa. Hubungan iklan dan media merupakan hubungan yang
bersifat fungsional dan saling membutuhkan dan saling menguntungkan (simbiosis mutualistis).
Produk komersial membutuhkan media massa sebagai media promosi dan media massa
membutuhkan biaya untuk mempertahankan eksistensi dan kesejahteraan pengelolanya.

Iklan adalah informasi yang ditempatkan di media massa oleh sponsor yang diketahui,
yang membayar untuk waktu dan ruang. Ini merupakan metode penempatan pesan yang
terkendali di media. Periklanan merupakan komunikasi persuasive yang sifatnya tidak netral.

Periklanan merupakan salah satu perkerjaan dari public relations di perusahaan atau
organisasi. Selain iklan juga digunakan advertorial yang disediakan di media cetak (surat kabar
dan majalah) dan media elektronik (radio dan televisi). Advertorial atau iklan digunakan dengan
tujuan lebih menjelaskan dan meyakinkan publik, ketika pemberitaan media massa tidak
memuaskan.
Iklan bukan hanya sekedar bentuk komunikasi, namun yang terpenting adalah muatan
konsep komunikasi yang terkandung di dalamnya. Meskipun demikian perlu disadari bahwa
pencipta iklan komersial dan iklan politik senantiasa mengemas informasi yang berbeda dari
kenyataannya bahkan sampai memanipulasi informasi yang ditransfer. Dalam hal itu khalayak
diberi informasi menyangkut satu sisi saja yaitu informasi yang semata-mata dimaksudkan untuk
menguntungkan perusahaan atau organisasi, partai politik atau kandidat.

Selain itu iklan dipandang sebagai bagian dari budaya popular, karena iklan
menggunakan kategori yang berbeda dari makna simbolis dari budaya. Sebagai sistem magis,
iklan juga memiliki ideologi, yaitu selalu berpikir tentang pasar yang mengharuskan iklan
memiliki kemampuan menjual. Iklan juga harus mempu mereproduksi pasar menjadi ruang luas
untuk menjual barang yang dipromosikan. Dalam hal itu iklan harus mempu menyampingkan
nilai-nilai negatif sebuah produk, kemudian menggantikannya dengan hal yang efektif sebagai
bagian positif dari produk tersebut.

Realitas tersebut semakin menimbulkan kecemasan sejumlah kalangan bahwa


penggunaan metode pemasaran yang berlebihan dalam kehidupan politik hanya akan melahirkan
komersialisasi politik dan mereduksi arti politik itu sendiri. Masyarakat cenderung lebih
memerhatikan aspek artistik dari sebuah iklan produk ketimbang pesan politik itu sendiri.

Iklan pada umumnya dan terutama iklan politik telah melahirkan budaya instan dan
orientasi pasar yang dapat membahayakan sistem politik yang demokratis. Budaya instan bagi
rakyat itu, melahirkan pasar gelap politik, mejelang pemungutan suara dalam pemilihan
pejabat-pejabat politik. Dalam pasar gelap itu terjadi transaksi politik atau jual-beli suara
yang dikenal sebagai politik uang. Hal itu dapat terwujud mulai dari pemilihan kepala desa
sampai dengan pemilihan kepala negara, yang dapat dilakukan baik oleh elit maupun oleh massa.

Transaksi politik itu dapat terjadi, antara lain karena kurangnya pendidikan politik bagi
aktor politik, pengurus, anggota partai politik dan kandidat maupun rakyat, sehingga mereka
tidak memahami bahwa produk politik itu adalah:

1. Party Platform, yaitu ideologi, visi, misi, dan program,


2. Past Record, yaitu catatan tentang kerja di masa lalu,
3. Personal Characteristics, yaitu kepribadian kandidat atau aktor politik.
Transaksi politik kemudian berkembang menjadi politik transaksional yang dapat juga
terjadi pada semua pihak, karena adanya pemahaman yang sangat keliru tentang formula Laswell
(1936) bahwa politik itu adalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana caranya. Oleh
karena itu, yang banyak terjadi dalam praktek, ialah kandidat mendapat jabatan politik,
pemilih mendapatkan hadiah atau fasilitas (bukan keputusan politik jangka panjang bagi
kesejahteraan rakyat sebagaimana mestinya) pada saat menjelang pemilihan, dengan cara
transaksi di pasar gelap politik. Jika hal itu terlaksana, maka tidak mengherankan jika kandidat
yang terpilih adalah yang bermodal besar serta mampu dan berani membeli suara rakyat,
meskipun tidak memiliki kompetensi. Hal ini terjadi karena pemilih juga mungkin hanya
emahami bahwa memang suara dapat dijual, dengan melakukan transaksi di pasar gelap
yang dapat dikategorikan semacam sogok-menyogok (gratifikasi) di lapangan, yang sangat
sukar dibuktikan secara hukum.

Hal ini memerlukan pendidikan politik atau sosialisasi bagi aktor politik, pengurus, dan
anggota partai politik serta rakyat secara keseluruhan, sehingga kejujuran, moral, dan etika harus
diperhatikan dan dipraktekkan dalam berkomunikasi dan berpolitik.

Meskipun berbagai kekhawatiran dan kenyataan telah muncul dalam penerapan aspek-
aspek pemasaran komersial ke dunia politik, namun pemasaran politik telah banyak
dipraktekkan. Penggunaan iklan politik secara intensif dengan unsur-unsur persuasi yang
melekat dan ditambah dengan kekuatan media massa, serta penampilan, penyiaran, dan
penyangan yang berulang-ulang, telah mampu melahirkan pencitraan dalam membentuk opini
publik.

3. Kampanye Politik

Kegiatan komunikasi politik yang paling semarak dan melibatkan banyak orang adalah
kampanye politik. Kampanye politik adalah sebuah bentuk komunikasi politik yang terorganisasi
dalam waktu tertentu. Kampanye politik dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang atau
organisasi politik untuk memperoleh dukungan politik dari rakyat.

Kampanye politik adalah kegiatan yang bersifat formal dalam sebuah perebutan jabatan-
jabatan politik tertentu. Dalam kampanye politik, biasanya semua bentuk komunikasi politik
dikembangkan seperti agitasi politik, propaganda politik, public relations politik, dan retorika
politik. Namun, harus diingat bahwa di negara demoktrasi penggunaan agitasi politik dan
propaganda politik yang mengabaikan nilai-nilai kebenaran, etika, dan moral harus ditinggalkan.

Istilah kampanye berasal dari bahasa Inggris, yaitu campaign. Secara umum kampanye
diartikan sebagai suatu kegiatan komunikasi verbal dan nonverbal yang persuasif. Rogers dan
Storey (1987) menyatakan bahwa kampanye merupakan serangkaian kegiatan komunikasi antar
organisasi dengan tujuan menciptakan dampak tertentu, terhadap sebagian besar khalayak
sasaran secara berkelanjutan dalam periode tertentu. Leslie B. Snyder (2002) menulis bahwa
kampanye komunikasi merupakan aktivitas komunikasi yang terorganisasi secara langsung
ditujukan kepada khalayak tertentu, pada periode waktu yang telah ditetapkan untuk mencapai
tujuan tertentu.

Jenis kampanye yang sudah lama dikenal adalah product-oriented campaign, yaitu
kampanye yang berorientasi pada produk yang biasanya dilakukan dalam kegiatan komersial.
Selain itu dikenal pula ideological or cause-oriented campaign, yaitu kampanye yang
berorientasi pada perubahan sosial (social change campaigns) misalnya kegiatan kampanye
sosial non-komersial, anti-narkoba, program keluarga berencana, dan sebagainya. Juga dikenal
candidate-oriented campaign, yaitu kegiatan kampanye yang berorientasi pada calon (kandidat)
untuk kepentingan kampanye politik (political campaign), misalnya kampanye pemilu,
pemilukada, dan kampanye pilpres (pemilihan presiden).

Kampanye politik dapat ditemukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:613),
yaitu bahwa kampanye adalah kegiatan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing di
parlemen dan sebagainya untuk mendapatkan dukungan massa pemilih di suatu pemungutan
suara. Steven Chaffee dalam Rice (1981) merumuskan, Political campaigns are aimed at the
mobilization of support for ones cause or candidate.

Selanjutnya, Arifin (2010:244) menguraikan bahwa kampanye politik adalah bentuk


aplikasi komunikasi politik yang dilakukan oleh seseorang, sekeompok orang atau organisasi
politik untuk membentuk dan membina citra dan opini publik yang positif, agar terpilih dalam
suatu pemilihan. Jadi, kampanye politik merupakan kegiatan yang bersifat formal dalam
perebutan jabatan-jabatan politik tertentu.
Dalam kampanye politik, selalu terjadi kompetisi antar kandidat atau partai politik.
Berdasarkan kompetisi itu, Arifin (2010: 245) menyebut empat sasaran kampanye politik sebagai
berikut:

1. Memelihara dan menyegarkan kembali loyalitas para pengikut setia suatu partai politik
atau kandidat, agar tetap memilih sesuai dengan kesetiaan itu, terutama dari anggota
partai politik yang bersangkutan bersama keluarga, kerabat, tetangga, dan teman-
temannya.
2. Membina dan membangkitkan loyalitas para anggota organisasi sosial yang merupakan
organisasi afiliasi partai politik atau organisasi pendukung partai politik, agar tetap
memilih sesuai dengan komitmen politik organisasi sosial tersebut.
3. Melakukan penggalangan secara intensif kepada rakyat (pemilih) yang tidak terikat pada
suatu partai politik atau kandidat tertentu, atau menciptakan pendukung baru dari
golongan independen, terutama kalangan generasi muda atau pemilih pemula, pegawai
negeri sipil, kaum profesional, kaum akademisi dan cendekiawan, serta keluarga tentara
dan keluarga polisi.
4. Meyakinkan rakyat (pemilih) dari pendukung partai politik lain, bahwa kandidat atau
partai politik yang dikampanyekan pantas untuk dipilih karena akan membuat keadaan
lebih baik, dengan member keyakinan tentang keunggulan visi, misi, dan program politik
yang diusungnya.

Dalam upaya mencapai keempat sasaran kampanye di atas, diperlukan manajemen


kampanye yang rapi, sehingga dapat dikembangkan sebuat konsep kampanye total. Penyusunan
gagasan vital atau tema kampanye harus diserahkan kepada pemikir atau konseptor. Kemudian,
pengorganisasiannya diserahkan kepada kaum organisator. Sedang penyebaran gagasan tersebut
harus dilaksanakan oleh para komunikator politik, yang terdiri dari politikus, profesioanl dan
aktivis, yang memiliki kemampuan sebagai orator, public relations officer. Komunikasi politik
pada dasarnya adalah pemimpin karena harus memiliki kepemimpinan, yaitu kemampuan
membawa massa atau pengikut kepada tujuan tertentu.

Dalam kampanye politik, komunikator politik disebut jurkam (juru kampanye), yang
harus didaftarkan pada komisi pemilihan umum. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
jurkam, yaitu:
1. Kredibilitas: tingkat kepercayaan khalayak kepada dirinya
2. Attractive: daya tarik
3. Power: kekuatan

Dalam kampanye politik dikenal beberapa jenis, yaitu kampanye dialogis, kampanye
monologis, dan kampanye organisasi. Kampanye dialogis atau kampanye tatap muka
(antarpersona), yaitu kampanye tanpa media perantara, yang dilakukan secara dialogis. Seorang
kandidat bertemu dan berdialog langsung dengan para calon pemilih, melakukan jabat tangan
(bersalaman) dan bercanda, dan bila mungkin melakukan foto bersama. Hubungan tatap muka
dapat dilakukan dengan penampilan pribadi secara relatif informal, atau melalui dukungan
tokoh-tokoh formal atau informal yang mempunyai nama nasional.

Kampanye dialogis dapat juga dilakukan di dalam suatu gedung atau tempat yang luas,
dan dihadiri oleh puluhan atau ratusan orang. Dalam kegiatan ini selain melakukan pidato
dengan gaya retorik, juga dilakukan, juga dilakukan tanya jawab dengan calon pemilih, sehingga
tercipta suasana dialogis yang baik. Kampanye dialogis juga dilakukan melalui media interaktif
atau internet, radio, dan televisi. Penggunaan radio dan televisi tentu berkaitan dengan
kebijakan redaksi media massa tersebut.

Kampanye monologis yang biasa juga disebut kampanye massa, yaitu kampanye yang
ditujukan kepada massa yang dilakukan di lapangan terbuka. Persuasi kepada massa itu
dilakukan dengan menggunakan retorika, yaitu menampilkan para juru kampanye melakukan
pidato atau orasi politik, secara bergantian. Dalam hal itu komunikasi politik berjalan satu arah
saja (monolog) tanpa dialog. Selain itu kampanye kepada massa ini dapat dilakukan secara
monolog melalui media massa, seperti radio, film, dan televisi dalam bentuk iklan politik yang
mengandung banyak unsur persuasif. Media lain juga dapat digunakan dalam menjangkau massa
yaitu surat kabar, spanduk, baliho, poster, dan selebaran. Penyampaian pesan politik kepada
massa, merupakan bentuk kampanye yang handal.

Kampanye politik yang tidak kalah pentingnya adalah kampanye organisasi atau
kampanye politik dengan mengandalkan dukungan organisasi. Andalan pertama dalam
kampanye politik seperti ini adalah partai politik, kemudian organisasi sosial, dan terakhir adalah
kelompok penyokong. Semua calon atau kandidat yang ingin sukses dalam kampanye politik,
harus memiliki ketiga jenis organisasi tersebut, dan memanfaatkannya untuk memperoleh
dukungan. Tanpa dukungan organisasi, kampanye politik akan kurang efektif dan sangat tidak
efisien. Oleh sebab itu, para kandidat membentuk atau menjadi pemimpin bermacam-macam
orgaisasi sosial, misalnya, organisasi kedaerahan, organisasi keagamaan, organisasi
kemanusiaan, arisan, dan sebagainya.

Akhirnya, keberhasilan sebuah kampanye politik sangat ditentukan oleh kapasitas


individu para calon atau kandidat, yaitu para politikus dalam menampilkan diri, yaitu dengan
menggunakan metakampanye. John Carey menyebut bahwa metakampanye adalah upaya untuk
mendemonstrasikan kecakapannya sebagai organisator, strategi, dan taktik kampanye. Mereka
tidak melakukan kampanye secara langsung, melainkan membuktikan diri kepada khalayak,
bahwa ia adalah calon pejabat yang pantas dan cakap.

C. MEDIA DAN POLITIK

Melalui media, manusia memperoleh informasi tentang benda, orang, dan tempat yang tidak
dialami secara langsung. Media massa datang menyampaikan berbagai pesan tentang lingkungan
sosial dan politik. Semua pesan yang mengandung muatan politik dapat membentuk dan
mempertahankan citra politik dan Opini Publik.

McLuhan menyebut bahwa media atau medium adalah pesan (the medium is the
message). Artinya, medium sudah menjasi pesan. Dalam hal komunikasi politik, pandangan
McLuhan itu akan bermakna bahwa media politik akan merupakan pesan politik yang akan
berguna untuk membentuk citra politik dan opini public.

Meskipun penggunaan media politik dalam proses komunikasi politik dan bentuk aplikasi
komunikasi politik seperti retorika, agitasi, dan propaganda serta organisasi dan manajemen
komunikasi politik seperti PR, pemasaran dan kampanye, tidak secara langsung menimbulkan
perilaku tertentu, namun cenderung mempengaruhi cara manusia mengorganisasikan citra
politik.

1. Kehadiran Media

McLuhan menyebut bahwa media adalah perluasan alat indra manusia. Kehadiran media dalam
berkomunikasi tidak lain dari upaya untuk melakukan perpanjangan dari telinga dan mata.
Contoh Telepon adalah perpanjangan telinga dan TV adalah perpanjangan mata.
Pandangan McLuhan tersebut dikenal sebagai teori perpanjangan alat indra (sense extension
theory).

Media massa datang menyampaikan pesan yang aneka ragam dan aktual tentang
lingkungan sosial dan politik. Misalanya radio dan TV sebagai media elektronik menjadi sebuah
sarana untuk mengikuti berbagai kejadian politik yang sedang terjadi atau baru terjadi yang jauh
dari jangkauan pancaindra. Dengan demikian, media telah hadir sebagai alat menyalurkan
berbagai pesan bagi manusia dalam bermasyarakat.

Media adalah alat untuk mewujudkan gagasan manusia. Dalam hal itu media dapat dibagi
kedalam tiga bentuk:
1. Media yang menyalurkan ucapan (the spoken words) sejak dahulu sudah dikenal
dan dimanfaatkan sebagai medium yang utama dan hanya dapat ditangkap oleh telinga,
dinamakan juga the auditive media (media dengar). Contoh Gendang, kentongan,
telepon, dan radio.

2. Media yang menyalurkan tulisan (the printed writing) hanya dapat ditangkap
oleh mata atau disebut juga the visual media (media pandang). Contoh Prasasti,
selebaran, pamphlet, poster, brosur, baliho, spanduk, surat kabar, majalah, dan buku.

3. Yang menyalurkan gambar hidup yang dapat ditangkap oleh mata dan telinga
sekaligus, disebut the audio visual media (media dengar pandang). Contoh Film,
(termasuk video), dan televisi.

Media dibedakan anatar media antarpesona seperti telepon, surat, telegram, dll dengan
media massa seperti pers, radio, film, dan TV. Kemudian semakin berkembangnya teknologi,
muncul media baru yang dikenal sebagai media interaktif melalui komputer yaitu internet.
Melalui internet, komunikasi politik dapat dilakukan dengan menyertakan jutaan orang dari
seluruh dunia, tanpa adanya hubungan yang bersifat pribadi. Khalayak yang tercipta oleh internet
yaitu masyarakat yang terbentuk oleh jaringan komputer yang disebut sebagai masyarakat maya
atu cyber space.

Kehadiran media massa mendorong retorika, propaganda, agitasi, kampanye dan PR


politik, berkembang lebih pesat lagi. Media massa dipandang memiliki pengaruh yang kuat
dalam membangun opini dan pengetahuan bagi khalayak, maka dari itu kehadiran media massa
dalam komunikasi politik sangat penting karena media massa tersebut memiliki kontribusi yang
besar dalam demokrasi.

Secara singkat komunikasi massa dirumuskan oleh:

Bittner (1980:10) Yaitu pesan yang dikomunikasikan melalui media massa kepada
sejumlah orang.
Meletzke (1963) Komunikasi massa diartikan sebagai setiap bentuk komunikasi yang
menyampaian pernyataan secara terbuka melalui media penyebaran teknis secara tidak
langsung dan satu arah kepada publik tersebar.

Dengan demikan komunikasi massa adalah komunikasi satu-kepada-banyak dan memiliki


ciri yaitu penggunaan media massa dan isinya bersifat terbuka dan umum. Pesan komunikasi
massa bersifat aktual. Itulah sebabnya komunikasi massa sangat erat kaitannya dengan politik
dan komunikasi politik. Media massa bukan hanya sebagai alat menyalurkan pesan, tetapi
merupakan lembaga sosial dan lembaga bisnis.

Fungsi sosial media massa:

1. Fungsi informasi
2. Fungsi mendidik
3. Fungsi hiburan
4. Fungsi menghubungkan
5. Fungsi control sosial
6. Fungsi membentuk pendapat umum

Fungsi bisnis media massa adalah sebagai industri yang melayani konsumen yang membutuhkan
informasi, pendidikan, dan hiburan.
Charles Wright (1985) 4 fungsi media massa dalam masyarakat:

- Fungsi Pengawasan Lingkungan (surveillance)


- Fungsi Hubungan (correlation)
- Fungsi Hiburan (entertainment)
- Fungsi Transmisi Kultural

Lazarsfeld dan Merton (1948) Fungsi media massa yaitu fungsi memberi status yang artinya
orang atau lembaga yang dimuat dan disiarkan nama dan gambarannya oleh media massa
mendadak mendapat reputasi yang tinggi di lingkungannya.

Dengan adanya fungsi sosial dang fungsi ekonomi itu, media massa bukanlah suatu
entitas yang pasif seperti robot yang hanya mendistribusikan pesan, tetapi aktif, selektif, dan
kritis. Aspek penting dari media, selain faktor pesan adalah kemampuan media dalam
membentuk pendapat umum. Adanya opini publik akan sangat mungkin mendorong sikap dan
perilaku khalayak atas suatu isu politik tertentu.

Proses opini publik itu biasanya dimulai dengan pemuatan berita yang memiliki nilai dan
sifatnya kritikan dengan kepentingan masyarakat atau juga kontroversial. Kemudian jika
beritanya dimuat dan dikembangkan topic bahasannya akan sangat mungkin mendorong, tidak
hanya daya tarik khalayak dalam mencermati berita namun juga berkaitan dengan pilihan
khalayak untuk menyikapi isu pilitik tsb. Opini media yang ditawarkan bisa menjadi frame bagi
khalayak untuk menentukan sikapnya atas suatu isu tertentu.

Dengan demikian dalam proses komunikasi politik peranan media penting, tidak hanya
dalam konteks pendistribusian pesan umum, tetapi jauh lebih penting dari itu adalah nilai berita
yang akan diterima oleh khalayak.

2. AGENDA POLITIK MEDIA MASSA

Media massa dapat membuat agenda politik sesuai dengan ideologinya masing-masing yang
dapat menguntungkan atau merugikan kekuatan politik tertentu. Selain itu media massa memiliki
kekuatan mempengaruhi dalam proses komunikasi politik terutama dalam pembentukan citra dan
opini publik, sehingga setiap kelompok termasuk organisasi politik berusaha memiliki,
menguasai, atau mengontrol media massa.
Penguasa otoriter menempatkan media massa dekat dengan kekuasaan melalui izin sensor
dan pemberedelan agar agenda media massa sesuai dengan kehendak penguasa. Sedangkan
pemerintah komunis menguasai dan memiliki media massa melalui partai komunis yang
berkuasa agar agenda politik media massa sejalan dengan agenda politik pemerintah.

Perbedaan hal tersebut, jelas bahwa agenda politik media massa sangat tergantung kepada
siapa yang mengontrol atau memilikinya, sesuai dengan sistem politik setiap negara.

Media massa di Indonesia dikendalikan dan dimiliki oleh penguasa yang bermodal besar,
sesuai dengan sistem politik dan sistem komunikasi politik yang berlaku sejak tahun 1999.
Media massa di Indonesia telah tumbuh dan berkembang sebagai industri jasa. Hal itu
menunjukkan bahwa media massa, tidak terkait lagi secara struktral dengan partai politik seperti
masa lalu.

Pada umumnya agenda politik media massa dan agenda lainnya membentuk citra dirinya
yang disebut citra media, yang berkaitan dengan pola isinya dalam jangka panjang yang
digariskan oleh pemilik atau pemimpinnya. Hal itu akan membentuk citra sekaligus kepribadian
suatu media massa yang berbeda dengan media massa lainnya.

Dengan adanya citra diri dan kepribadian yang dimiliki oleh setiap media massa dalam
melayani informasi masyarakat, telah menjelmakannya sebagai personal atau pribadi. Setiap
institusi media massa memiliki masing-masing keprbadian, yang kemudian melahirkan politik
media massa yang diturunkan menjadi politik redaksi atau kebijakan redaksi. Hal tersebut
selanjutnya menentukan agenda politik sebuah media massa yang dapat menguntungkan atau
merugikan politikus atau partai politik tertentu.

Masalah kekuatan dala pembentukan citra dan opini publik media massa telah dijelaskan
dalam berbagai teori dalam ilmu komunikasi:

1. Teori jarum hipodermik


2. Teori sabuk transmisi
3. Teori peluru ajaib
Teori itu dikembangkan oleh Wilbur Schramm dkk yang menggambarkan keperkasaan
media. Teori keperkasaan media itu dibangun berdasarkan keyakinan bahwa media massa
memiliki kekuatan raksasa yang mendekati gaib sehingga kalau ditembakkan misalnya,
dalam bentuk agitasi dan propaganda, maka khalayaknya tidak berdaya. Sehingga tidak
memiliki pilihan lain kecuali menerima pesan yang disampaikan oleh media massa.
Teori jarum hipodermik dan kembarnya, teori tentang keperkasaan media massa,
kemudian digugat oleh Lazarsfeld, Raymond Bauer, Elihu Katz dkk, yang memandang
bahwa khalayak itu sesungguhnya tidak pasif melainkan sangat aktif dalam menghadapi
terpaan media massa.
Teori khalayak kepala batu (Raymond Bauer 1964) disusul Teori kegunaan dan
kepuasan oleh Elihu Katz, Jay G. Blumler dan Michael Gurevich 1974.
Wilbur Schramm dan Roberts (1974:345) harus mengakui hasil penelitian para pakar
psikologi tsb, bahwa khalayak memang memiliki daya saring, tangkal, dan daya serap
dalam menghadapi terpaan media massa.

Teori jarum hipodermik menguat kembali dengan berkembangnya agenda setting theory
oleh Maxwell E. Mc Comb dan Donald Shaw (1972). Teori ini menjelaskan bahwa besarnya
perhatian media massa terhadap suatu peristiwa dan isu sangat memengaruhi perhatian khalayak.
Banyak bukti menunjukkan bahwa media massa menentukan apa yang dipikirkan dan
didiskusikan oleh khalayaknya.

Teori agenda setting memusatkan perhatian kepada efek kognitif pada khalayak.
Sedangkan teori jarum hipodermik memusatkan perhatian kepada efek afektif dan behavioral
yang timbul pada khalayak. Kajian dan riset tentang agenda setting lebih banyak dilakukan di
ruangan redaksi, sedangkan untuk teori jarum hipodermik harus lebih banyak dipusatkan pada
efek, sehingga medan kajiannya adalah pada khalayak.

Mengacu kepada kekuatan media massa seperti diuraikan di muka dan politik redaksi
yang dimiliki secara otonom, maka setiap media massa menetapkan agenda politik tertetu sesuai
kepribadian dan ideologinya. Dengan begitu, media massa dapat melakukan rekayasa dalam
membentuk citra dan opini publik. ideologi dan politik yang membentuk kepribadian sebuah
jenis dan institusi media massa berkaitan dengan agenda politik. Setiap jenis dan lembaga
penyiaran atau penerbitan pers masing-masing memiliki agenda politik. Hal itu dapat
menimbulkan persaingan atau kerjasama dalam merekayasa opini, citra dan membentuk opini
publik.

Melaksanakan agenda politik dapat mengaplikasikan 3 kegiatan sekaligus:


1. Menggunakan simbol-simbol politik
2.Melaksanakan strategi pengemasan pesan
3. Melakukan fungsi agenda setting
Sehingga realitas politik yang dikonstruksi oleh setiap media massa dengan sendirinya
bukan realitas yang sebenarnya, melainkan hanya merupakan realitas bentukan atau
rekayasa.

Dalam upaya menyaring dan mengemas serta menonjolkan suatu peristiwa politik yang
diolah menjadi berita atau ulasan, media massa melakukan:

Konstruksi & Dekonstruksi untuk menciptakan citra dan persepsi tertentu pada khalayak
sesuai dengan agenda politiknya.
Mengagregasi & Mengartikulasi kepentingan atau tuntutan politik khalayak sesuai
dengan agenda politiknya.
Rekayasa Opini
Wartawan atau pemimpin redaksi memberikan prioritas liputan mengenai peristiwa
politik tertentu atau mengangkat isu tertentu dengan mengabaikan peristiwa politik dan isu
politik yang lain (agenda setting). Hal itu juga merupakan salah satu fungsi redaksi yang dikenal
dengan sebutan fungsi jaga gerbang (gatekeeping) yang berkaitan juga dengan fungsi
pembingkaian (framing).

Tidak semua berita politik dapat ditonjolkan. Wartawan atau pemimpin redaksi dapat
menempatkan sebuah berita dihalaman muka (headline) sebagai berita utama, dan dapat
menempatkan sebuah berita di halaman dalam. Wartawan juga dapat memilih tokoh politik yang
satu dengan menyingkirkan tokoh politik yang lainnya untuk diulas dan ditonjolkan. Penonjolan
tersebut tentu disertai motif dan tujuan serta kepentingan tertentu sebagai upaya merekayasa
opini dan membentuk citra dari opini publik sesuai dengan agenda politik.

Selain itu media massa dalam melakukan agregasi dan artikulasi kepentingan politik
masyarakat melalui wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat atau para pakar yang dipilih,
dapat juga dilakukan dengan penuh motif dan tujuan merekayasa opini dalam rangka
pembentukan opini publik yang diagendakan.

Dalam media massa, posisi wartawan sebgai agenda setter, memberi kekuasaan yang
besar dalam membentuk citra dan persepsi yang benar atau keliru tentang realitas politik yang
dikonstruksinya, untuk mengarahkan atau merekayasa opini masyarakat. Media massa juga
mampu menipu manusia dengan menampilkan dunia pulasan sebagai bentuk rekayasa citra,
persepsi dan opini masyarakat dalam upaya membentuk opini publik sesuai agenda politiknya.

3. Media Massa, Politikus, dan Aktivis

Hal yang paling esensial dalam komunikasi politik adalah bagaimana para politikus dan aktivis
memanfaatkan media massa dalam membentuk citra dan opini publik yang positif bagi partai
politik atau lembaganya serta aktivitasnya dalam masyarakat sebagai pekerja politik atau aktivis
yang peduli politik.

Dalam komunikasi politik mekanistis, politikus dan aktivis disebut sebagai komunikator
politik oleh Dan Nimmo (1999: 30-37). Politikus adalah pekerja politik yang melakukan
aktivitas politik, baik dalam pemerintahan (presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati)
maupun di luar atau di dalam parlemen (DPR dan DPRD). Sedangkan, aktivis adalah para
penggiat atau pemimpin organisasi masyarakat yang memiliki perhatian dan kegiatan yang
berkaitan dengan politik (demokrasi politik).

Politikus dan aktivis harus melaksanakan komunikasi politik untuk memperoleh


dukungan massa atau dukungan pendapat umum.

Jawaban media massa sangat bergantung dari sistem politik dan komunikasi politik suatu
negara-bangsa. Dalam sistem otoriter, media massa dikontrol ketat oleh penguasa. Dalam sistem
liberal, media massa justru dikontrol oleh pemilik modal. Sedangkan dalam sistem Komunis
Soviet dahulu, media massa dikontrol oleh partai komunis yang berkuasa.

Di Negara Pancasila (Indonesia), sejak tahun 1999 media massa dikontrol penuh oleh
masyarakat, terutama oleh pemilik modal. Sebelumnya, penguasa ikut mengontrol media massa,
meskipun tidak persis sama dengan di negara otoritarian. Kini media massa di Indonesia telah
bergeser dari orientasi idealisme pembangunan nasional ke media massa yang berorientasi bisnis
dan kemerdekaan informasi. Hal itu dapat dipahami karena media massa adalah industri yang
padat modal dengan persaingan yang ketat antara satu dengan linnya. Hidup dan matinya sebuah
lembaga media massa, kini tidak lagi ditentukan oleh faktor politik, melainkan sangat ditentukan
oleh pasar (faktor ekonomi).

Dalam sistem media massa yang demikian, para pejabat, birokrat, militer, dan politikus di
Indonesia, tentu tidak dapat lagi mengontrol media massa, yang semakin independen. Justru itu,
pemanfaatan media massa sebagai sarana komunikasi politik sangat ditentukan oleh banyak
faktor yang berkaitan dengan kepentingan masing-masing media massa.

Tiap-tiap lembaga media massa memiliki politik redaksi atau kepribadian masing-masing
yang menjadi kerangka acuan para pekerja media, dalam meliput, menyaring, dan memproduksi
pesan. Itulah sebabnya media massa bukanlah institusi yang pasif seperti robot, melainkan
sebuah institusi yang aktif, bahkan kepala batu karena memiliki filter konseptual (kesadaran
Aku).

Dengan demikian media massa tidak mudah dipengaruhi oleh siapapun untuk
kepentingannya sendiri. Justru itu, para politikus, pejabat, atau siapa saja yang ingin
memanfaatkan media massa sebagai media komunikasi politik, harus mempunyai kemampuan
yang prima dalam menciptakan berita, yaitu peristiwa (fakta dan opini) yang aktual. Dalam
jurnalistik, aktual diartikan sebagai baru terjadi dari segi waktu dan baru terjadi dari segi
substansi, serta menarik minat banyak orang.

Media massa sebagai industri informasi (pesan) bekerja berdasarkan peristiwa yang
terjadi dalam masyarakat. Kemudian peristiwa itu diliput dan diolah oleh pekerja redaksi
(wartawan dan redaktur), lalu diproduksi dan didistribusikan kepada khalayak (pembaca,
pendengar, dan pemirsa). Namun tidak semua peristiwa dapat diliput, diolah, diproduksi, dan
didistribusikan oleh media massa, selain karena keterbatasan ruang dan waktu, juga terutama
karena urgensi dan kualitasnya.

Di sinilah terjadi proses penyaringan yang dalam istilah jurnalistik disebut fungsi
gatekeeping (jaga gerbang) yang dilakukan oleh wartawan dan redaktur dengan mengacu pada
politik redaksi masing-masing media. Para wartawan dan redaktur yang menjalankan fungsi ini
disebut gatekeepers (penjaga gerbang).
Dengan adanya penyaringan dan seleksi tersebut, realitas yang ditampilkan oleh media
massa adalah realitas yang sudah diseleksi oleh wartawan atau redaktur, yang dinamakan sebagai
realitas tangan kedua (second hand reality). Realitas tangan kedua terlihat jelas dalam sajian
media sehari-hari di mana suatu peristiwa diberi bobot yang berbeda oleh setiap media, sesuai
dengan kepribadian media dan perspektif masing-masing. Selain itu, realitas yang ditampilkan
oleh media massa, disebut juga realitas buatan atau realitas media. Artinya, realitas yang
ditampilkan oleh media massa adalah karya para wartawan dan redaktur, yang tidak selamanya
persis sama dengan realitas yang sesungguhnya. Terkadang realitas yang ditampilkan oleh media
massa itu lebih indah atau lebih buruk dari realitas sesungguhnya. Media massa juga memilih
dan menonjolkan tokoh-tokoh ataupun peristiwa tertentu serta menyingkirkan ataupun
mengabaikan tokoh-tokoh serta peristiwa yang lain.

Meskipun realitas media itu tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya, tetapi banyak
kalangan dalam masyarakat (khalayak) cenderung menerima begitu saja informasi dari media
massa. Mereka tentu tidak mempunyai banyak waktu untuk melakukan pengecekan sehingga
banyak orang terkecoh oleh pemberitaan media.

Sesungguhnya para kritikus sosial telah lama mengingatkan bahwa media massa bukan
hanya menyajikan realitas tangan kedua, tetapi juga media massa menipu manusia, yaitu
memberikan citra yang keliru. Menurut C. Wright Mills (1968), media massa menyajikan dunia
pulasan (pseudoworld) yang tidak serasi dengan perkembangan harkat kemanusiaan.

Dengan demikian, pekerjaan sebagai wartawan dan redaktur bukanlah pekerjaan teknis
semata, melainkan juga pekerjaan intelektual yang memerlukan kompetensi. Wartawan dan
redaktur bukanlah robot yang pasif, melainkan manusia yang aktif dan harus memiliki
kualifikasi: (1) cerdas, menguasai ilmu dan filsafat jurnalistik; (2) berakhlak mulia; dan (3)
memiliki keterampilan juranlistik yang prima.

Dengan kualifikasi seperti itu, wartawan dan redaktur dapat melakukan seleksi dan
penyaringan berita secara bijak dengan menampilkan berita yang pantas. Seorang wartawan atau
redaktur harus dapat memperkirakan akibat yang ditimbulkan oleh sebuah berita sebelum
ditampilkan dalam media. Itulah sebabnya profesi wartawan dilengkapi dengan kode etik profesi
(kode etik jurnalistik) sebagai rem bagi wartawan dalam menjalankan profesinya.
Sesungguhnya dalam komunikasi politik mekanistis, wartawan dan redaktur, menurut
Dan Nimmo (1999:33) adalah sebagai komunikator politik dalam kelompok profesional.
Komunikator yang lain adalah politikus dan aktivis (misalnya pemimpin mahasiswa, pemimpin
pemuda, dan pemimpin buruh).

Sebagai profesional dalam komunikasi politik, wartawan dan redaktur harus bekerja
berdasarkan prinsip-prinsip profesi dan kode etik jurnalistik. Hal ini harus dipahami oleh para
politikus, pejabat, dan aktivis dalam membangun komunikasi politik yang efektif. Meskipun
demikian, komunikasi politik antara kaum profesional dengan politikus dan aktivis tetap dapat
dijalin.

Wartawan dan redaktur sebagai warga masyarakat juga memerlukan relasi-relasi sosial,
termasuk dengan politikus dan aktivis. Dalam usaha membangun relasi tersebut, kaum politikus
melaksanakan komunikasi politik interaksional dengan kaum profesional (wartawan dan
redaktur) dan kaum aktivis dengan menggunakan model-model komunikasi antar pribadi seperti:
hubungan manusiawi, empati, dan homofili. Hal ini dapat dilakukan dalam bentuk silaturahmi,
lobi, dan dialog.

Dengan demikian, upaya politikus, pejabat, dan aktivis untuk menggunakan media massa
dalam membangun komunikasi politik dengan khalayak massa secara terus-menerus, harus
memiliki sejumlah kemampuan. Pertama, mampu menciptakan berita aktual, baik dalam bentuk
fakta maupun opini. Kedua, mampu dan cakap dalam menanggapi peristiwa-peristiwa yang
terjadi dalam masyarakat sehingga harus rajin mengikuti berita dari media massa. Ketiga,
mampu menjalin hubungan sosial yang baik dengan wartawan dan redaktur sebagai komunikator
politik yang profesional.

Selain itu, hubungan media massa dengan politikus memang bersfiat mutual-simbiosis
(saling memerlukan). Media memerlukan berita politik dan politikus dapat menjadi objek berita
(factual news) atau narasumber berita (talking news). Politikus, baik sebagai manusia (human
interest) maupun sebagai pekerja politik dengan seluruh aktivitasnya (komentar dan
perilakunya), memang merupakan objek berita yang menarik sehingga mereka selalu menjadi
objek dan subjek berita yang aktual bagi media massa. Hal ini dapat dipahami karena di tangan
para politikus tersebut akan lahir banyak keputusan politik yang menyangkut hajat hidup orang
banyak.

Sebaliknya, sebagai pengambil keputusan politik, para politikus juga menganggap media
massa sebagai sumber informasi yang sangat penting. Informasi dari media massa, terutama
pendapat-pendapat yang disalurkan oleh aktivis dan masyarakat, selalu menjadi masukan yang
berharga dalam proses pengambilan keputusan plitik, termasuk dalam penyusunan peraturan dan
perundang-undangan. Hal-hal inilah yang membuat politikus dan media massa memiliki
hubungan yang bersifat saling ketergantungan dan saling membutuhkan.

4. Peranan Politik Media Sosial

Dalam kemajuan ilmu dan teknologi, muncul pula media baru yang dikenal sebagai media sosial
atau media interaktif melalui komputer yang disebut dengan nama internet (international
networking). Internet merupakan ciri dari era globalisasi, sebagai akibat dari kemajuan teknologi
informasi.

Dalam abad ke-21 ini media sosial atau media interaktif tersebut telah terbukti efektif
dalam komunikasi sosial dan komunikasi politik. Efektifitas pesan singkat melalui telepon
seluler (SMS), twitter, facebook, dan blog memang luar biasa. Peran strategis media sosial itu
dalam komunikasi politik telah ditunjukkan keberhasilan dan kemampuannya dalam menggalang
kekuatan dan dukungan terhadap gerakan pro-demokrasi di berbagai negara seperti Tunisia
(2011) dan Mesir (2011). Pada akhir abad ke-20 yang lalu beberapa negara telah mengalami
gerakan politik yang didorong juga oleh media sosial itu seperti Indonesia (1998), Filipina
(2001), dan Malaysia (2008).

Cikal bakal penggunaan internet dalam aktivitas yang berkaitan dengan politik di
Indonesia dimulai pada tahun 1994, ketika sejumlah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)
mulai menggunakan komunikasi online untuk kegiatan advokasi spesifik mereka dan mailing list
terbuka. Hal itu kemudian semakin berkembanga menjadi sumber informasi peristiwa politik
bagi 13.000 penerima di kota-kota besar. Pada pertengahan tahun 1997, telah lebih dari 20
organisasi pro-demokrasi memiliki situs web sendiri yang banyak memuat informasi tentang
politik di Indonesia. Kelompok pro-demokrasi itu kemudian berhasil menggalang gerakan yang
menggulingkan kekuasaan Orde Baru pada tanggal 21 Mei 1998. Dalam tahun 1998 itu,
penetrasi pengguna internet di Indonesia telah mencapai sekitar 10% penduduk atau sekitar 25
juta pengguna dari 237 juta penduduknya. Dalam tahun 2007, parta-partai politik dan sejumlah
politikus di Indonesia telah memiliki web sendiri, terutama untuk menghadapi pemilu tahun 2009
(Heufers, 2008).

Tampaknya media sosial atau media interaktif itu telah ditakdirkan menjadi wahana
penegakan politik terbuka dan demokratis dengan dampak positif dan negatifnya. Justru itu
rakyat di mana saja di dunia ini akan memahami bahwa akses internet itu semakin diterima
sebagai bagian dari hak asasi manusia dan semakin menjadi komponen penting dalam
komunikasi politik.

Globalisasi, yang salah satunya diakibatkan oleh berkembangnya teknologi internet,


berkaitan erat dengan lahirnya masyarakat baru, yaitu masyarakat informasi yang juga dikenal
dengan istilah: gelombang ketiga (Alvin Toffler), revolusi industri kedua (National Academy of
Science),atau masyarakat pasca-industri (Daniel Bell). Salah satu unsur yang penting dalam
masyarakat informasi itu adalah komunikasi dan pemrosesan data (informasi). Hal itu
menimbulkan pengaruh yang besar, terutama dalam komunikasi antar manusia yang meliputi: (1)
pengumpulan informasi, (2) penyimpanan informasi, (3) pengolahan informasi, (4) penyebaran
informasi, dan (5) balikan informasi (umpan balik).

Setiap perubahan dari kelima komponen tersebut para manusia selalu memengaruhi
struktur dan cara masyarakat berfungsi. Arti penting dan fundamental dari revolusi informasi
ialah manusia dapat melakukan kegiatan dalam bentuk jarak jauh, yang salah satunya juga
melahirkan masyarakat yang dapat berkomunikasi politik jarak jauh.

Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa penggunaan internet dalam komunikasi politik
telah dimungkinkan dan sangat urgen serta strategis dalam masyarakat informasi. Melalui
internet, kegiatan komunikasi politik dapat terlaksana dengan menyertakan jutaan orang di
seluruh dunia, tanpa adanya hubungan yang bersifat pribadi. Jika internet digunakan untuk
komunikasi politik, maka penerima komunikasi politik yang dapat tercipta oleh internet tersebut
sangat khas, yaitu jutaan individu yang terhubung oleh jaringan komputer, yang disebut sebagai
dunia maya (cyberspace).
Internet sebagai media sosial atau media interaktif kemudian melahirkan juga sebuah
praktik jurnalistik baru, yang disebut jurnalistik internet atau dotcom journalism, yang dikenal
juga sebagai media online, website, atau situs dalam cyberspace. Jika penerbitan pers
konvensional dilengkapi dengan nama dan alamat para pengelolanya (mashead), maka tidak
demikian halnya dengan pers dotcom. Para penerbitnya dapat menggunakan situs-situs yang
bersifat anonim (tanpa nama) disamping wartawan-wartawan, penulis-penulis, dan fotografer-
fotografer yang juga anonim, sehingga mirip dengan selebaran gelap (A. Muis, 2001:4). Hal
tersebut tentu memiliki implikasi sosial, politik, dan hukum, dengan segala dampak positif dan
negatifnya.

Media sosial atau media interaktif berbeda dengan media massa, meskipun sasaran yang
disentuh jumlahnya besar, namun tidak bersifat massal. Media massa mendorong terjadinya
massifikasi sebagai ciri masyarakat industri. Sebaliknya, media interaktif itu lebih banyak
bersifat individual, sehingga terjadi individuasi dan demassifikasi, sebagai ciri masyarakat
informasi.

Anda mungkin juga menyukai