Anda di halaman 1dari 12

MANAJEMEN LINTAS BUDAYA

“Perbedaan Aspek Budaya dan Pengaruhnya Terhadap Gaya


Negosiasi China, Amerika dan Korea”

NAMA KELOMPOK 2:

Ni Putu Natalia (1807521094)


I Putu Aditya Mahardika (1807521168)
I Made Adhi Nugraha Sadukari (1807521191)
Pipit Puji Pratiwi (1807521222)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan
rahmat-Nyalah kami akhirnya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “ Perbedaan Aspek
Budaya dan Pengaruhnya Terhadap Gaya Negosiasi China, Amerika dan Korea” ini
dengan baik tepat pada waktunya.

Tidak lupa kami menyampaikan rasa terima kasih kepada dosen pengampu yang telah
memberikan banyak bimbingan. Rasa terima kasih juga hendak kami ucapkan kepada rekan-
rekan kelompok 2 yang telah memberikan kontribusinya baik secara langsung maupun tidak
langsung sehingga makalah ini bisa selesai pada waktu yang telah ditentukan.

Meskipun kami sudah mengumpulkan banyak referensi untuk menunjang penyusunan


makalah ini, namun kami menyadari bahwa di dalam makalah yang telah kami susun ini masih
terdapat banyak kesalahan serta kekurangan. Sehingga kami mengharapkan saran serta masukan
dari para pembaca demi tersusunnya makalah lain yang lebih lagi. Akhir kata, kami berharap
agar makalah ini bisa memberikan banyak manfaat.

Denpasar, 12 April 2021Tim


Penyusun

(Kelompok 2)

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................................................. ii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................................. 1
1.3 Tujuan ................................................................................................................................... 1
BAB II ............................................................................................................................................ 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 2
2.1 Negosiasi ............................................................................................................................... 2
2.2 Perbedaan Budaya Dan Perbedaan Gaya Negosiasi Di Lingkungan Global ........................ 2
2.3 Gaya Negosiasi China, Amerika, dan Korea ........................................................................ 4
2.4 Contoh Kasus Elemen Budaya yang Mempengaruhi Perbedaan Gaya Negosiasi................ 5
BAB II ............................................................................................................................................ 8
PENUTUP ...................................................................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan............................................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... 9

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komunikasi merupakan suatu proses dua arah yang menghasilkan pertukaran informasi
dan pengertian antara masing-masing individu yang terlibat. Komunikasi merupakan dasar dari
seluruh interaksi antar manusia. Komunikasi merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan
manusia untuk saling tukar menukar informasi. Manusia memerlukan hubungan dan relasi sosial
dalam kehidupan bermasyarakat. Sebagian besar interaksi manusia berlangsung dalam situasi
komunikasi interpersonal (komunikasi antar pribadi). Dalam perkspektif lain, seperti dalam
aplikasi bisnis terdapat bentuk komunikasi yang umumnya dinamakan negosiasi. Jadi negosiasi
merupakan salah satu bentuk komunikasi, dimana negosiasi dalam konteks komunikasi dapat
dijelaskan sebagai sebuah bentuk interaksi sosial saat pihak-pihak yang terlibat berusaha untuk
saling menyelesaikan tujuan yang berbeda dan bertentangan.

Negosiasi merupakan salah satu keterampilan dalam berkomunikasi yang sering kita
gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Secara sederhana negosiasi merupakan kegiatan antara
dua pihak atau lebih untuk mencapai kesepakatan bersama. Secara definisi negosiasi dapat
diartikan sebagai sebuah proses yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk menyelesaikan
masalah, melakukan perundingan untuk mencapai suatu keputusan bersama, melakukan kegiatan
tawar menawar untuk mendapatkan keuntungan tertetntu, dan atau berusaha menyelesaikan
permasalahan untuk keutungan tertentu.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud negosiasi ?
1.2.2 Bagaimana perbedaan budaya dan perbedaan gaya negosiasi di lingkungan global ?
1.2.3 Bagaimana gaya negosiasi China, Amerika, dan Korea ?
1.2.4 Apa contoh kasus elemen budaya yang mempengaruhi perbedaan gaya negosiasi China,
Korea dan Amerika ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mengetahui pengertian negosiasi
1.3.2 Mengetahui perbedaan budaya dan perbedaan gaya negosiasi di lingkungan global
1.3.3 Mengetahui gaya negosiasi China, Amerika, dan Korea
1.3.4 Mengetahui contoh kasus elemen budaya yang mempengaruhi perbedaan gaya negosiasi

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Negosiasi
Negosiasi merupakan salah satu keterampilan dalam berkomunikasi yang sering kita
gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Secara sederhana negosiasi merupakan kegiatan antara
dua pihak atau lebih untuk mencapai kesepakatan bersama. Secara definisi negosiasi dapat
diartikan sebagai sebuah proses yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk menyelesaikan
masalah, melakukan perundingan untuk mencapai suatu keputusan bersama, melakukan kegiatan
tawar menawar untuk mendapatkan keuntungan tertetntu, dan atau berusaha menyelesaikan
permasalahan untuk keutungan tertentu. Negosiasi pada perspektif umumnya dikenal sebagai
salah satu bentuk alternative dispute resulation. Alternative dispute resulation merupakan
alternatif penyelesaian sengketa, contohnya adalah mediasi atau negosiasi.

2.2 Perbedaan Budaya Dan Perbedaan Gaya Negosiasi Di Lingkungan Global


Konsep budaya dapat dijelaskan sebagai fenomena pada tingkat grup, seperti berbagi
keyakinan, nilai-nilai, ekspektasi perilaku, keyakinan budaya, dan harapan perilaku yang berbeda
pada setiap negara. Kesalahan atribusi budaya juga dapat terjadi pada proses negosiasi dimana
terdapat kecenderungan untuk mengabaikan faktor situasional mendukung dalam penjelasan
budaya. Kebudayaan adalah nilai-nilai bersama serta perbandingan lintas budaya yang dibentuk
dengan menetapkan norma-norma penting dan nilai-nilai yang membedakan satu budaya dari
yang lain dan kemudian memahami bagaimana perbedaanperbedaan ini akan mempengaruhi
negosiasi internasional. Terdapat empat dimensi yang jelaskan perbedaan antar budaya:

1. Power Distance

Merupakan dimensi budaya yang menunjukkan adanya ketidaksejajaran (inequality) dari


anggota yang tidak mempunyai kekuatan dalam suatu institusi (keluarga, sekolah, dan
masyarakat) atau organisasi (tempat bekerja).Perbedaan kekuasaan ini berbeda-beda tergantung
dari tingkatan sosial, tingkat pendidikan, dan jabatan. Misalnya politisi dapat menyukai status
dan kekuasaan, pebisnis menyukai kesejahteraan dan kekuasaan, dan sebagainya. Ketidak
sejajaran ini dapat terjadi dalam masyarakat (perbedaan dalam karakteristik mental dan fisik,
status sosial, kesejahteraan, kekuasaan, aturan, hukum, dan hak), keluarga, sekolah, dan ditempat
kerja/organisasi (nampak pada struktur organisasi dan hubungan antara boss-subordinate).

Menurut Hofstede, “power distance” adalah suatu tingkat kepercayaan atau penerimaan
dari suatu power yang tidak seimbang di antara orang. Budaya di mana beberapa orang dianggap
lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras, umur, pendidikan,
kelahiran, pencapaian, latar belakang atau faktor lainnya merupakan bentuk power distance yang
tinggi. Pada negara yang memiliki power distance yang tinggi, masyarakat menerima hubungan
kekuasaan yang lebih autokratik dan patrenalistik. Sementara itu budaya dengan power distance

2
yang rendah cenderung untuk melihat persamaan di antara orang dan lebih fokus kepada status
yang dicapai daripada yang disandang oleh seseorang.

2. Uncertainty Avoidance

Merupakan salah satu dimensi dari Hofstede mengenai bagaimana budaya nasional
berkaitan dengan ketidakpastian dan ambiguitas, kemudian bagaimana mereka beradaptasi
terhadap perubahan. Pada negara-negara yang mempunyai uncertainty avoidance yang besar,
cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan, menghindari risiko dan mengandalkan
peraturan formal dan juga ritual. Kepercayaan hanyalah diberikan kepada keluarga dan teman
yang terdekat. Akan sulit bagi seorang negotiator dari luar untuk menjalin hubungan dan
memperoleh kepercayaan dari mereka. Pada negara dengan uncertainty avoidance yang rendah,
atau memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk ketidakpastian, mereka cenderung lebih bisa
menerima resiko, dapat memecahkan masalah, memiliki struktur organisasi yang flat, dan
memilki toleransi terhadap ambiguitas. Bagi orang dari masyarakat luar, akan lebih mudah untuk
menjalin hubungan dan memperoleh kepercayaan.Ketidak pastian dalam suatu organisasi
berkaitan dengan konsep dari lingkungan yang selalu dikaitkan dengan sesuatu yang diluar
kendali perusahaan.

3. Individualitas vs Kolektivitas

Merupakan dimensi kebudayaan yang menunjukkan adanya sikap yang memandang


kepentingan pribadi dan keluarga sebagai kepentingan utama ataukah sebagai kepentingan
bersama di dalam suatu kelompok. Dimensi ini juga dapat terjadi di masyarakat dan organisasi.
Dalam organisasi yang masyarakatnya mempunyai dimensi Collectivism memerlukan
ketergantungan emosional yang lebih besar dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki
dimensi Individualism (Hofstede: 1980 217). Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat
individualisme diantaranya adalah: tingkat pendidikan, sejarah organisasi, besarnya organisasi,
teknologi yang digunakan dalam organisasi, dan subkultur yang dianut oleh o rganisasi yang
bersangkutan.

4. Maskulinitas vs Femininitas

Merupakan dimensi kebudayaan yangmenunjukkan bahwa dalam tiap masyarakat


terdapat peran yangberbeda-beda tergantung jenis kelaminpara anggotanya. Padamasyarakat
maskulin, menganggap pria harus lebih berambisi,suka bersaing, dan berani menyatakan
pendapatnya, dan cenderung berusaha mencapai keberhasilan material. Dalam
masyarakatfeminin, kaum pria diharapkan untuk lebih memperhatikan kualitaskehidupan
dibandingkan dengan keberhasilan materialitas. Lebihjauh dijelaskan bahwa masyarakat dari
sudut pandang maskulinitasadalah masyarakat yang lebih menggambarkan sifat kelaki-
lakian,sedangkan masyarakat femininitas lebih menggambarkan sifat kewanitaan.

3
2.3 Gaya Negosiasi China, Amerika, dan Korea
1. Gaya China
Untuk melakukan pendekatan bisnis di China, jauhkan ego Anda untuk sementara. Tidak
seperti Amerika, China sangat mementingkan kelompok dan konsensus. Orang di China
melakukan negosiasi dengan proses yang panjang sehingga cukup lama. Bertemu secara f ace to
face sangat penting di China, terlebih lagi jika memiliki penerjemah akan dapat membantu
memuluskan negosiasi. Namun hal ini belum tentu memperpendek jumlah waktu yang
dihabiskan untuk negosiasi. Memiliki gagasan tentang apa yang ingin Anda capai dan bagaimana
Anda berencana untuk sampai ke sana menjadi sangat penting sebelum melakukan proses
negosiasi. Simpanlah catatan pada setiap putaran negosiasi dan berbagilah dengan rekan -rekan
Anda yang terlibat pada negosiasi tersebut. Dengan begitu, Anda akan meminimalisir
kesalahpahaman yang mungkin terjadi.

2. Gaya Amerika
Koen Hindriks menyatakan bahwa hasil negosiasi sangat ditentukan oleh pertukaran
tawaran yang berturut-turut dari agen yang bernegosiasi, maka menjadi perlu untuk menganalisis
pola dinamika tawar-menawar yang disebut Raiffa sebagai “negotiation dance”. Pola pada
pertukaran itu dapat memberikan pengetahuan tambahan terhadap strategi-strategi
yangdigunakan agen. Untuk mengevaluasi strategi negosiasi, harus focus pada aspek kualitas
dankeadilan agreement. Dalam analisis strategi negosiasi, hasil negosiasi bukanlah satu-satunya
hal yang relevan, tapi proses penawaran dalam negosiasi itu sendiri juga sangat penting, hal
inilah yang disebut sebgai dinamika negosiasi (negotiation dynamics) atau proses berjalannya
negosiasi. Ketika terjadi kesalahan dalam proses tawar menawar, akan berdampak besar pada
kedua belah pihak negosiator. Meskipun para negosiator yang berpengalaman dan para peneliti
telah membenarkan hal ini, tetapi hipotesis ini masih sulit diukur.
Menurut Casse, seorang negosiator Amerika yang sukses bertindak sebagai berikut:
a. Mereka penuh hormat, sopan, dan jujur dalam negosiasi tetapi beroperasi dari pendirian yang
tegas sejak awal, tanpa mengungkapkan pilihan yang terbuka untuk negosiasi.
b. Mereka umumnya berpengalaman dalam masalah yang dihadapi dan bagaimana mengatur
waktu interaksi dan menunggu pihak lain untuk mengambil langkah pertama dalam
negosiasi.
c. Mereka secara eksplisit tentang posisi mereka dan hanya akan mengungkapka n kompromi
mereka ketika negosiasi menemui jalan buntu.

3. Gaya Korea
Gaya negosiasi korea sangat mementingkan kelompok dan consensus atau meemiliki
tingkat individualism yang rendah. Gaya negosiasi korea lebih tidak menerima ketidakpastian
sehingga Memiliki gagasan tentang apa yang ingin Anda capai dan bagaimana Anda berencana
untuk sampai ke sana menjadi sangat penting sebelum melakukan proses negosiasi. Serta

4
memiliki power distance yang tinggi, diaman masyarakat menerima hubungan kekuasaan yang
lebih autokratik dan patrenalistik.

2.4 Contoh Kasus Elemen Budaya yang Mempengaruhi Perbedaan Gaya Negosiasi
1. Gaya Amerika dan Gaya China

Studi kasus yang dipaparkan oleh Markus Pudelko dalam artikel “ Cross-Cultural
Negotiation: Americans Negotiating A Contract in China” merupakan contoh dua pendekatan
budaya negosiasi bisnis antara Amerika (Mr. Jones) dan China (Mr. Wang). Di bagian ini,
penulis berusaha menjawab pertanyaan diskusi di akhir halaman artikel tersebut.

• Perbedaan Pendekatan Budaya Negosiasi Bisnis Antara Amerika dan Cina

Dalam paparan yang dikemukakan pihak Amerika (dalam hal ini direpresentasikan oleh
Mr. Jones), terlihat bahwa budaya negosiasi bisnis di Amerika adalah:

1. Langsung pada inti masalah bisnis (straight to the point), dalam artian mereka enggan
untuk berlama-lama dalam ‘ritual’ penyambutan dan acara kekeluargaan lainnya yang
dipersiapkan oleh pihak Cina;
2. Budaya Amerika lebih menyukai hal-hal detail/rinci tentang segala hal yang menyangkut
kontrak bisnis;
3. Mitra bisnis adalah mitra bisnis, bukan teman apalagi keluarga, jadi komunikasi pun
hanya sebatas bisnis, tidak perlu membicarakan hal-hal pribadi di luar bisnis;
4. Kesepakatan bisnis harus diupayakan secepat mungkin, dalam artian tidak mau
membuang-buang waktu untuk hal-hal lain di luar bisnis;
5. Kontrak bisnis tidak perlu melalui birokrasi yang panjang, apalagi melibatkan urusan
politik (pengurus partai komunis atau partai pemerintah lainnya);
6. Lebih menyukai mitra bisnis yang menerangkan secara rinci tentang perusahaan mereka,
namun tetap menganggap mereka hanya sebatas rekan bisnis, bukan teman atau keluarga;
7. Jika terjadi kesalahan yang melanggar kesepakatan bisnis yang tercantum di dalam
kontrak, maka pengadilan adalah tempat penyelesaian terbaik;
8. Tidak mau mencampuradukkan antara bisnis dengan politik/birokrasi, karena itu
dianggap sebagai ‘korupsi’;
9. Lebih bisa menerima kritik yang membangun; dan
10. Dalam pengambilan keputusan, seorang negosiator bisa langsung mengambil keputusan
sejauh tidak menyimpang dari kebijakan umum perusahaan.

Adapun budaya negosiasi di Cina (yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Mr. Wang)
adalah sebagai berikut:

1. Sesuai dengan adat ketimuran dalam penyambutan tamu, maka rekan bisnis juga adalah
tamu yang harus disambut dengan kehangatan dan tidak perlu terburu-buru dengan
pembicaraan kontrak bisnis;

5
2. Orang Cina lebih menyukai pembahasan prinsip-prinsip umum (general principles) yang
akan menjadi tata nilai dalam semua kesepakatan bisnis, adapun rincian kontrak kerja
bisa dibicarakan setelah selesai pembahasan prinsip-prinsip umum tersebut;
3. Mitra bisnis adalah teman yang hubungannya bisa berlanjut setelah kontrak kerja selesai,
dan diperlukan pembicaraan masalah keluarga atau pribadi sebagai selingan pembicaraan
bisnis agar timbul keakraban;
4. Kesepakatan bisnis adalah kesepakatan antara orang dengan orang, bukan benda mati,
jadi adalah penting untuk memperlakukan rekan bisnis sebagai seorang manusia yang
harus diketahui sifat-sifatnya. Perlakuan tersebut perlu waktu, tidak bisa dilakukan
sesingkat mungkin;
5. Negara Cina dikuasai sepenuhnya oleh partai komunis, sehingga semua keputusan bisnis
harus melewati birokrasi partai;
6. Dalam pergaulan sehari-hari, kejujuran adalah penting, namun dalam urusan bisnis ada
hal-hal yang harus dikemukakan dan ada yang tidak perlu diungkapkan secara rinci, dan
itulah yang disebut strategi bisnis;
7. Jika terjadi kesalahan yang melanggar kesepakatan bisnis yang tercantum di dalam
kontrak, maka harus dicari arbitrase dengan memanggil pihak ketiga sebagai penengah
dan bukan langsung ke pengadilan;
8. Dalam bisnis, ada yang dinamakan jaringan bisnis (guanxi) dimana orang-orang yang
berada dalam jaringan tersebut bis saling mendukung dan mendapatkan kemudahan, dan
itu bukanlah nepotisme atau korupsi;
9. Urusan yang menyangkut negara atau budaya tidak perlu diukur oleh budaya lain,
sehingga dengan mudah bisa mengkritik aspek-aspek kehidupan di Cina; dan
10. Semua keputusan bisnis, harus dikonsultasikan terlebih dahulu dengan atasan (superiors).

• Kesalahan Dalam Negosiasi Bisnis Lintas Budaya

Dalam kasus kesalahpahaman antara Mr. Jones (pihak Amerika) dan Mr. Wang (pihak
Cina), kesalahan terletak di kedua pihak., yakni:

1. Kedua pihak tidak saling memahami budaya masing-masing;


2. Kedua pihak merasa paling benar, terutama pihak Amerika yang merasa lebih superior
dan memaksakan agar pihak Cina mau mengikuti aturannya karena merasa sebagai pihak
yang akan memberikan kontrak kerja;
3. Jika sebuah perusahaan akan melakukan negosiasi lintas budaya, maka negosiator yang
harus dikirim adalah orang yang etnis nya sama, sehingga tidak diperlukan seorang
penterjemah dan mereka akan salingmenghargai satu sama lain karena kesamaan etnis.

• Hal-hal yang Harus Dipersiapkan Ketika Memulai Negosiasi Bisnis Lintas Budaya
1. Kedua belah pihak harus mempelajari budaya dan keunikan lingkungan masing-masing;

6
2. Negosiator harus bisa melihat dari sudut pandang rekan bisnis, sehingga ia bisa mengerti
jalan pikiran calon rekannya tersebut;
3. Negosiator harus mengerti sistem bisnis yang dijalankan di negara rekan bisnis, sehingga
jika terjadi masalah, maka penyelesaiannya bisa menguntungkan kedua belah pihak (wi -
win solution), tanpa ada pihak yang merasa tertipu.

2. Gaya Amerika dan Korea

Contoh nyata lain dari perbedaan budaya dan negosiasi, bisa diperhatikan contoh berikut
ini. John Denver, seorang GM berasal dari Amerika Serikat, baru saja dipindahtugaskan ke
Korea Selatan. Guna mempelajari perbedaan budaya kerja di Korea Selatan, John Denver dapat
menggunakan hasil studi Hofstede yang membandingkan berbagai negara pada dimensi Power
Distance, Uncertainty Avoidance dan Individualism.

Kajian Hofstede yang secara ringkas membandingan Amerika Serikat dan Korea Selatan
(dan Thailand) dalam Framework berikut ini. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa Korea Selatan
(dan Thailand) disandingkan dengan Amerika Serikat memiliki sejumlah perbedaan dimensi
budaya, dimana Korea Selatan :

• Lebih tidak dapat menerima ketidakpastian


• Power distance tinggi dan
• Tingkat individualisme rendah.

Dengan demikian, sebagaimana disampaikan oleh Hofstede, seorang John Denver yang
berasal dari Amerika Serikat, ketika ditugaskan di Korea Selatan haruslah dapat:

• Memahami perilaku masyarakat/komunitas Korea Selatan yang menganggap beberapa orang


lebih superior dibandingkan dengan yang lain karena status sosial, gender, ras, umur,
pendidikan, kelahiran, pencapaian, latar belakang dan lainnya.
• Menyesuaikan dengan budaya Korea Selatan yang cenderung menjunjung tinggi konformitas
dan keamanan
• Memahami bahwa kebanyakan orang Korea Selatan lebih suka menghindari risiko
• Memiliki kemampuan untuk mengikuti peraturan formal dan juga ritual yang berlaku di
Korea Selatan
• Memahami bahwa di Korea Selatan, kepercayaan hanyalah diberikan kepada keluarga dan
teman yang terdekat
• Memahami bahwa masyarakat Korea Selatan menerima hubungan kekuasaan yang lebih
autokratik dan patrenalistik. Bawahan mengenal kekuasaan orang lain melalui forma litas,
misalnya posisi hierarki

7
BAB II

PENUTUP
3.1 Kesimpulan :

Berdasarkan pemaparan ini kita bisa menyimpulkan bahwa budaya memegang peranan
penting dalam suatu negosiasi, apalagi negosiasi yang terjadi lintas budaya dan lintas negara.
Priut mencatat bahwa negosiasi yang mempertemukan dua kepentingan yang berbeda ini bisa
jadi menemukan titik temu yang win win solution (integratif), win lose solution (distributif), atau
sama sekali tidak menemukan kesepakatan. Berhasil atau tidaknya proses negosiasi ini
ditentukan oleh perbedaan budaya antara pihak-pihak yang terlibat dalam negosiasi.
Sebagaimana disebutkan oleh Hofstede, power distance, masculinity-feminimity, uncerrtainty
avoidance, dan individualist-collectivist akan menjadi penentu keberhasilan dalam proses
negosiasi budaya. Dari sinilah Lax dan Siberius menawarkan solusi bahwa dalam negosiasi yang
terjadi dengan dua budaya dan dua kepentingan yang berbeda, dapat dijembatani dengan melihat
latar belakang dan perbedaan dimensi budaya antara kedua pihak tersebut. Sehingga, negosiasi
bisa disiasati dan menghasilkan titik temu yang proporsional.

8
DAFTAR PUSTAKA
Deresky, Helen. 2017. International Management: Managing Across Borders and Cultures, Text
and Cases, Global edition, 9th edition. England: Pearson Education Limited.

Marie-Joelle Browaeys, Roger Price - Understanding Cross-Cultural Management-Pearson


(2016)

http://kerangkapustaka.blogspot.com/2017/06/budaya-negosiasi-bisnis-studi-kasus.html

https://muftipages.wordpress.com/2010/08/17/cross-curltural-negotiation/

Anda mungkin juga menyukai