Anda di halaman 1dari 5

TUTORIAL KLINIK

STASE JIWA PERIODE 62


oleh Sintang Damar Apriliastyo (20204010141)
PROBLEM Identitas
Pasien bernama ibu W berusia 61 tahun, tinggal di Borowetan RT 01/03 Banyuurip, beragama
Islam, saat ini tidak bekerja , sudah janda cerai mati.
Keluhan Utama : Sulit tidur
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 1 tahun lalu, Ibu W menarik diri dari tetangga sekitar dan lebih sering di rumah saja
berdua bersama suami. Anak – anak pasien hidup terpisah karena tidak sanggup mendampingi
pasien. Kemudian setelah suami meninggal, pasien mulai sering mengamuk sendiri . Beberapa
bulan SMRS pasien mulai tidak mau keluar kamar, merusak dan membanting barang – barang,
marah, berkata – kata jorok sehingga dibawa ke RSUD dr. Tjitrowardojo Purworejo untuk rawat
inap pada 17 Maret 2021, setelah gejala berkurang serta ADL membaik, pasien dipulangkan pada
25 Maret 2021 untuk rawat jalan. Sekarang sudah bisa melakukan kegiatan rumah sehari – hari dan
tinggal bersama keluarga anak perempuannya seperti menyapu, mencuci piring, makan, namun
mandi masih harus diawasi anak perempuannya. Pada 30 Maret 2021, pasien datang ke poliklinik
Jiwa dengan keluhan sulit tidur memberat sejak ±1 minggu yang lalu, pasien sering membangunkan
anaknya di tengah malam, sering mondar-mandir, tampak bingung, melihat makhluk halus di kamar
sehingga tidak mau tidur sendiri di kamar, tidak mau bicara pada orang lain dan hanya menjawab
pendek tidak jelas pada anak sulungnya
 Faktor Predisposisi : Kepribadian Ny. W yang menutup diri, anak – anaknya telah hidup terpisah
 Faktor Presipitasi : Meninggalnya suami
 Faktor Psikososial : Keluarga saat ini mau mendampingi masa perawatan pasien setelah
sebelumnya tidak suportif terhadap penyakit pasien
Pemeriksaan
S : Sulit tidur memberat 1 minggu SMRS (+), bingung (+), Komunikasi (-).
O : Kesan Umum : tampak bingung, sesuai usia
Kesadaran : CM (GCS 15E4V5M6)
Tanda Vital Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 86 x/menit
RR : 20 x/menit
Suhu : 36,5oC
Status Mental
STL : Kooperatif, hipoaktif
Afek : Appropriate, menyempit
Mood : Tidak dapat dinilai
Bicara : Mutisme
Pikiran : Tidak dapat dinilai
Persepsi : Tidak dapat dinilai
Tilik diri : Baik, rutin minum obat, sadar akan penyakitnya
Sindrom yang ditemukan:
Sindrom kecemasan (Pasien sulit tidur)
Sindrom skizofrenia (Pasien berhalusinasi, antisosial, tantrum)
Sindrom katatonik (mutisme, keterbatasan gerak tubuh)
HIPOTESIS Dx:
F20.2 Skizofrenia katatonik
DD:
F20.5 Skizofrenia Residual
F25.1 Gangguan Skizoafektif Tipe Depresif
MEKANISME

DATA Epidemiologi
TAMBAHAN World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa 7 dari 1000 orang populasi dewasa
adalah pasien Skizofrenia. Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi
gangguan jiwa berat adalah sebanyak 1,7 per 1000 orang. Semakin awal umur terkena penyakit ini,
diprediksikan prognosis menjadi semakin buruk. Skizofrenia biasanya dimulai di usia dewasa awal,
antara usia 15 dan 25 tahun. Pria cenderung menderita Skizofrenia sedikit lebih awal daripada
perempuan, usia puncak onset pada pria 15-25 tahun, sedangkan wanita 25-35 tahun. Insidensi
Skizofrenia pada pria sedikit lebih besar dibandingkan pada wanita. Insiden pada wanita lebih tinggi
setelah usia 30 tahun. Rata-rata usia onset adalah 18 pada pria dan 25 tahun pada wanita. Onset
Skizofrenia cukup langka untuk orang <10 tahun, atau >40 tahun (Sadock & Sadock, 2010).
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat di berbagai daerah. Insiden dan
prevalensi sepanjang hidup hampir sama di seluruh dunia. Insiden skizofrenia lebih besar di daerah
perkotaan daripada pedesaan (Riskesdas, 2013)
Etiologi
1) Faktor GenetikSeorang penyandang skizofrenia beresiko sebesar 10% untuk memiliki
keturunan dengan penyakit serupa. Kedua orang tua yang menderita skizofrenia beresiko lebih
besar untuk memiliki keturunan dengan skizofrenia, yakni sebesar 40%. Kembar zigotik
memiliki resiko sebesar 40-50% (Frankenburg, 2015).
2) Model Diathesis-StressSeseorang mungkin memiliki kerentanan spesifik (diatesis) dimana
pengaruh lingkungan yang dapat menimbulkan stres, memungkinkan timbulnya gejala
skizofrenia. Diatesis dapat berupa stressor yang berasal dari biologis, lingkungan atau
keduanya. Komponen lingkungan dapat bersifat biologis (contoh: infeksi) atau psikologis
(contoh: situasi keluarga yang penuh ketegangan atau kematian kerabat dekat). Dasar biologis
diatesis dapat terbentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stres
psikologis dan trauma (Kaplan & Sadock, 2010).
3) Faktor Perinatal Ibu hamil yang kekurangan gizi atau memiliki penyakit akibat virus tertentu
beresiko lebih tinggi untuk melahirkan anak yang nantinya menderita skizofrenia (Brown &
Derkits, 2010). Seorang individu yang nantinya menderita skizofrenia lebih mungkin dilahirkan
di musim dingin dan awal musim semi dan lebih jarang dilahirkan di akhir musim semi dan
musim panas (Kaplan & Sadock, 2010), karena kerentanan imun ibu hamil terhadap penyakit
akibat virus pada trimester kedua dapat meningkatkan resiko bayi yang nantinya menderita
skizofrenia (Carrion et al, 2006).
4) Faktor PsikososialJika skizofrenia merupakan penyakit otak, maka kemungkinan penyakit ini
sejalan dengan penyakit organ lain yang perjalanan penyakitnya dipengaruhi stres psikososial.
Seperti halnya penyakit kronik lain (contoh: Penyakit paru kongestif kronik), terapi obat sendiri
jarang memperbaiki klinis secara maksimal maka faktor psikososial harus dipertimbangkan
(Kaplan & Sadock, 2010).
5) NeurokimiaSistem limbik, lobus frontalis, serebelum, dan ganglia basalis saling berintegrasi
sehingga disfungsi 1 area dapat mengakibatkan proses patologi primer di area lainnya. Sistem
limbik merupakan lokasi potensial proses patologi primer skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2010).
Hipotesis dopamine sebagai penyebab skizofrenia mengatakan bahwa peningkatan aktivitas
dopaminergik atau sensitivitas abnormal terhadap dopamin menyababkan skizofrenia (Kaplan &
Sadock, 2010). Aktivitas abnormal neurotransmitter telah terdeteksi dalam pasien dengan
skizofrenia, yakni neurotransmitter dopamin dan glutamat (Rao et al, 2012).
Patofisiologi Skizofrenia
Di dalam otak terdapat milyaran sambungan sel saraf berupa sinaps. Setiap sinaps menjadi
tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel yang lain. Sambungan sel
tersebut melepaskan zat kimia yang disebut neurotransmitter yang membawa pesan dari ujung
sambungan sel yang satu ke sel yang lainnya. Di dalam otak yang terserang skizofrenia, terdapat
kesalahan atau kerusakan pada sistem komunikasi tersebut. Pada orang yang normal, sistem switch
seperti dalam sebuah ponsel, akan bekerja secara normal. Sinyal-sinyal persepsi yang datang serta
rangsangan dari lingkungan dan rangsangan psikososial akan dikirim kembali dengan sempurna
tanpa ada gangguan sehingga menghasilkan perasaan, pemikiran, dan akhirnya melakukan tindakan
sesuai kebutuhan yang diperlukan pada saat itu. Pada otak penderita skizofrenia, sinyal-sinyal yang
dikirim mengalami gangguan sehingga tidak berhasil mencapai sambungan sel yang dituju.
Skizofrenia terbentuk secara bertahap dan penderita skizofrenia biasanya tidak menyadari ada
sesuatu yang tidak beres dalam otaknya dalam kurun waktu yang lama. Kerusakan yang terjadi
secara perlahan-lahan ini yang akhirnya menjadi skizofrenia dan sangat tersembunyi serta
berbahaya. Gejala yang timbul secara perlahan ini bisa saja menjadi skizofrenia akut. Periode
skizofrenia akut adalah gangguan yang singkat dan kuat, yang meliputi halusinasi, penyesatan
pikiran atau delusi, dan kegagalan pikiran. Skizofrenia juga dapat menyerang secara tiba-tiba,
perubahan perilaku yang sangat dramatis terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Serangan yang
mendadak memicu terjadinya priode akut. Kebanyakan didapati bahwa mereka didalam sosialnya
dikucilkan, kemudian karena dikucilkan tersebut mereke akan menderita depresi yang berat, dan
tidak dapat berperan sosial seperti orang normal dalam lingkungannya. Skizofrenia juga dapat
menjadi kronis jika dibiarkan saja tanpa tindakan, biasanya saat penderita memasuki fase kronis dia
akan cenderung melakukan tindakan kekerasan atau perilaku kekerasan (PK), kehilangan karakter
sebagai manusia dalam kehidupan sosial, tidak memiliki motivasi sama sekali, depresi berat,
halusinasi, dan tidak memiliki kepekaan tentang perasaannya sendiri.

LEARNING Apa saja pedoman diagnostik Skizofren Katatonik?


OBJECTIVES 1) Memenuhi kriteria umum skizofrenia
2) Perilaku khas yang mendominasi gambaran klinis pasien
Stupor (reaktivitas terhadap lingkungan dan gerakan aktivitas spontan berkurang atau terdapat
mutisme
Command automatism (kepatuhan otomatis terhadap perintah)
Kategori Skizofrenia

KEPUTUSAN Diagnosis Kejiwaan


Axis I : F20.2 Skizofrenia katatonik
Axis II : F60.2 Gangguan kepribadian dissosial
Axis III : -
Axis IV : Masalah lingkungan sosial
Axis V : 70-61 Beberapa gejala ringan & menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, secara umum
masih baik
Manajemen & Intervensi yang dilakukan
Farmakologi
-Haloperidol 3x5mg tabantipsikotik generasi pertama yang menjadi pilihan utama penanganan
skizofrenia dengan efek samping resiko muncul gejala ekstrapiramidal (Parkinson, distonia,
aktisia)
-Trihexylphenidyl 3x2mg tabantimuskarinik untuk mencegah munculnya gejala ekstrapiramidal
penggunaan haloperidol
Clozapine 1x25mg tab  untuk mengurangi gejala psikosis berupa halusinasi yang dimiliki pasien
Non Farmakologi
1. Psikoterapi :
-Terapi psikoterapi suportif
Memberi dukungan untuk mmperkuat kemampuan pasien menghadapi masalah yang dihadapi saat
ini, dengan mendengar aktif pada keluhan yang didapat baik dari pasien atau kerabat,
meningkatkan harga diri individu dan kegembiraan, meyakinkan bahwa ada harapan penyelesaian
dalam masalah
-Terapi Keluarga
Menuntun pasien untuk mengevaluasi dan memahami bagaimana cara pasien menjalin hubungan
dengan orang lain, terutama pada pasien ini yatu keluarga dan tetangga sekitar karena pasien kini
tinggal di rumah anak perempuannya setelah lama tinggal di rumahnya sendiri. Terapi ini
diharapkan membantu pasien menjadi mampu berinteraksi atau menyelesaikan konflik dengan
orang lain.
2. Edukasi keluarga :
-Mengenai gangguan skizofrenia, pembimbingan kepatuhan minum obat rutin yang apabila
pengobatan berhenti, gejala akan kambuh kembali sehingga membahayakan diri pasien serta orang
lain
-Membimbing pasien untuk membiasakan hidup sehat terutama kegemaran pasien mengkonsumsi
kopi dan tetap beraktivitas sehari-hari

Anda mungkin juga menyukai