DATA Epidemiologi
TAMBAHAN World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa 7 dari 1000 orang populasi dewasa
adalah pasien Skizofrenia. Di Indonesia, menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi
gangguan jiwa berat adalah sebanyak 1,7 per 1000 orang. Semakin awal umur terkena penyakit ini,
diprediksikan prognosis menjadi semakin buruk. Skizofrenia biasanya dimulai di usia dewasa awal,
antara usia 15 dan 25 tahun. Pria cenderung menderita Skizofrenia sedikit lebih awal daripada
perempuan, usia puncak onset pada pria 15-25 tahun, sedangkan wanita 25-35 tahun. Insidensi
Skizofrenia pada pria sedikit lebih besar dibandingkan pada wanita. Insiden pada wanita lebih tinggi
setelah usia 30 tahun. Rata-rata usia onset adalah 18 pada pria dan 25 tahun pada wanita. Onset
Skizofrenia cukup langka untuk orang <10 tahun, atau >40 tahun (Sadock & Sadock, 2010).
Skizofrenia dapat ditemukan pada semua kelompok masyarakat di berbagai daerah. Insiden dan
prevalensi sepanjang hidup hampir sama di seluruh dunia. Insiden skizofrenia lebih besar di daerah
perkotaan daripada pedesaan (Riskesdas, 2013)
Etiologi
1) Faktor GenetikSeorang penyandang skizofrenia beresiko sebesar 10% untuk memiliki
keturunan dengan penyakit serupa. Kedua orang tua yang menderita skizofrenia beresiko lebih
besar untuk memiliki keturunan dengan skizofrenia, yakni sebesar 40%. Kembar zigotik
memiliki resiko sebesar 40-50% (Frankenburg, 2015).
2) Model Diathesis-StressSeseorang mungkin memiliki kerentanan spesifik (diatesis) dimana
pengaruh lingkungan yang dapat menimbulkan stres, memungkinkan timbulnya gejala
skizofrenia. Diatesis dapat berupa stressor yang berasal dari biologis, lingkungan atau
keduanya. Komponen lingkungan dapat bersifat biologis (contoh: infeksi) atau psikologis
(contoh: situasi keluarga yang penuh ketegangan atau kematian kerabat dekat). Dasar biologis
diatesis dapat terbentuk lebih lanjut oleh pengaruh epigenetik, seperti penyalahgunaan zat, stres
psikologis dan trauma (Kaplan & Sadock, 2010).
3) Faktor Perinatal Ibu hamil yang kekurangan gizi atau memiliki penyakit akibat virus tertentu
beresiko lebih tinggi untuk melahirkan anak yang nantinya menderita skizofrenia (Brown &
Derkits, 2010). Seorang individu yang nantinya menderita skizofrenia lebih mungkin dilahirkan
di musim dingin dan awal musim semi dan lebih jarang dilahirkan di akhir musim semi dan
musim panas (Kaplan & Sadock, 2010), karena kerentanan imun ibu hamil terhadap penyakit
akibat virus pada trimester kedua dapat meningkatkan resiko bayi yang nantinya menderita
skizofrenia (Carrion et al, 2006).
4) Faktor PsikososialJika skizofrenia merupakan penyakit otak, maka kemungkinan penyakit ini
sejalan dengan penyakit organ lain yang perjalanan penyakitnya dipengaruhi stres psikososial.
Seperti halnya penyakit kronik lain (contoh: Penyakit paru kongestif kronik), terapi obat sendiri
jarang memperbaiki klinis secara maksimal maka faktor psikososial harus dipertimbangkan
(Kaplan & Sadock, 2010).
5) NeurokimiaSistem limbik, lobus frontalis, serebelum, dan ganglia basalis saling berintegrasi
sehingga disfungsi 1 area dapat mengakibatkan proses patologi primer di area lainnya. Sistem
limbik merupakan lokasi potensial proses patologi primer skizofrenia (Kaplan & Sadock, 2010).
Hipotesis dopamine sebagai penyebab skizofrenia mengatakan bahwa peningkatan aktivitas
dopaminergik atau sensitivitas abnormal terhadap dopamin menyababkan skizofrenia (Kaplan &
Sadock, 2010). Aktivitas abnormal neurotransmitter telah terdeteksi dalam pasien dengan
skizofrenia, yakni neurotransmitter dopamin dan glutamat (Rao et al, 2012).
Patofisiologi Skizofrenia
Di dalam otak terdapat milyaran sambungan sel saraf berupa sinaps. Setiap sinaps menjadi
tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel yang lain. Sambungan sel
tersebut melepaskan zat kimia yang disebut neurotransmitter yang membawa pesan dari ujung
sambungan sel yang satu ke sel yang lainnya. Di dalam otak yang terserang skizofrenia, terdapat
kesalahan atau kerusakan pada sistem komunikasi tersebut. Pada orang yang normal, sistem switch
seperti dalam sebuah ponsel, akan bekerja secara normal. Sinyal-sinyal persepsi yang datang serta
rangsangan dari lingkungan dan rangsangan psikososial akan dikirim kembali dengan sempurna
tanpa ada gangguan sehingga menghasilkan perasaan, pemikiran, dan akhirnya melakukan tindakan
sesuai kebutuhan yang diperlukan pada saat itu. Pada otak penderita skizofrenia, sinyal-sinyal yang
dikirim mengalami gangguan sehingga tidak berhasil mencapai sambungan sel yang dituju.
Skizofrenia terbentuk secara bertahap dan penderita skizofrenia biasanya tidak menyadari ada
sesuatu yang tidak beres dalam otaknya dalam kurun waktu yang lama. Kerusakan yang terjadi
secara perlahan-lahan ini yang akhirnya menjadi skizofrenia dan sangat tersembunyi serta
berbahaya. Gejala yang timbul secara perlahan ini bisa saja menjadi skizofrenia akut. Periode
skizofrenia akut adalah gangguan yang singkat dan kuat, yang meliputi halusinasi, penyesatan
pikiran atau delusi, dan kegagalan pikiran. Skizofrenia juga dapat menyerang secara tiba-tiba,
perubahan perilaku yang sangat dramatis terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Serangan yang
mendadak memicu terjadinya priode akut. Kebanyakan didapati bahwa mereka didalam sosialnya
dikucilkan, kemudian karena dikucilkan tersebut mereke akan menderita depresi yang berat, dan
tidak dapat berperan sosial seperti orang normal dalam lingkungannya. Skizofrenia juga dapat
menjadi kronis jika dibiarkan saja tanpa tindakan, biasanya saat penderita memasuki fase kronis dia
akan cenderung melakukan tindakan kekerasan atau perilaku kekerasan (PK), kehilangan karakter
sebagai manusia dalam kehidupan sosial, tidak memiliki motivasi sama sekali, depresi berat,
halusinasi, dan tidak memiliki kepekaan tentang perasaannya sendiri.