Anda di halaman 1dari 3

TEORI KOMUNIKASI

REVIEW CHAPTER 22 GRIFFIN


THE RHETORIC of ARISTOTLE
Cahyo Wibowo / @cwibo - 218121035
Komunikasi Korporat
Magister Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina
___________________________________________________________________________

MENANAMKAN KEBENARAN MELALUI RETORIKA

“…by using these justly one would do the greatest good, and unjustly, the greatest
harm”. Menurut Aristoteles, retorika bersifat netral, tidak baik ataupun tidak buruk. Dengan
retorika, seorang pembicara (orator) bisa mendatangkan kebaikan, atau pembicara tersebut
malah mendatangkan hal buruk dengan menyebarkan kebohongan ke banyak orang.
Aristoteles percaya, kebenaran memiliki kekuatan moral, sehingga kebenaran akan lebih
mudah diterima dibandingkan dengan kepalsuan. Orator yang menggunakan seni retorika
untuk kebaikan dan berpegang pada kebenaran, akan menyalahkan diri sendiri saat audience
(khalayak / pendengar) lebih memilih mengikuti kebohongan dibanding dirinya.
Aristoteles membangun kajian retorika dengan sistematis. Ia mengulas tentang efek
dari speaker, the speech, dan audience. Aristoteles memahami penggunaan retorika oleh
orator sebagai sebuah seni.
Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai komunikasi persuasi, meskipun dia tidak
menyebutkan hal ini secara tegas. Menurutnya, retorika lebih menekankan pada komunikasi
yang sangat menghindari metode koersi (sistem komunikasi yang menggunakan paksaan dan
kekerasan).
Menurut Aristoteles, retorika merupakan kebalikan dari dialektika. Hal ini ia tekankan
berdasar kebiasaan murid-muridnya memakai metode tanya jawab (dialektika) dari Socrates.
Dialektika merupakan one-on-one discussion, sedangkan retorika adalah diskusi dari satu ke
banyak orang. Jika dialektika merupakan upaya untuk mencari kebenaran, retorika lebih ke
mencoba menunjukkan kebenaran yang telah ditemukan sebelumnya. Dialektika menjawab
pertanyaan filosofis yang umum, retorika hanya fokus pada satu hal saja. Dialektika
memberikan kepastian, sedangkan retorika terlibat dengan kemungkinan. Menurut
1
Aristoteles, retorika merupakan seni untuk mengungkapkan suatu kebenaran kepada
khalayak yang belum yakin sepenuhnya terhadap kebenaran tersebut.
Aristoteles berpendapat, makna dari persuasi bisa artistic dan inartistic. Inartistic
atau pembuktian dari luar merupakan pembuktian yang tidak dibuat oleh orator, seperti
kesaksian atau dokumen. Sedangkan artistic atau pembuktian dari dalam merupakan
pembuktian yang dibuat oleh orator. Ada tiga macam pembuktian yang bisa dibuat oleh
orator, yakni Logos (logical), Pathos (emotional), dan Ethos (ethical).
Pembuktian logis (logos) berangkat dari argumentasi orator, pembuktian emosional
(pathos) dapat dirasakan dari bagaimana perasaan dari orator tersampaikan saat berbicara
di depan khalayak, sedangkan pembuktian etis (ethos) dilihat dari bagaimana karakter dari
orator terungkap melalui pesan-pesan yang disampaikannya selama orasi.
Ada dua konsep pembuktian logis (logical proof), yakni enthymeme dan example
(contoh). Enthymeme adalah silogisme yang belum sempurna. Entymeme digunakan dengan
tujuan agar khalayak menggunakan kerangka logika tertentu, sehingga mereka menafsirkan
premis yang digunakan dalam silogisme yang dimaksud oleh orator. Jika logika diterima oleh
pendengar, maka kebenaran pun akan diterima. Enthymeme kemudian diperkuat dengan
example atau contoh. Jika enthymeme digunakan sebagai pembentuk logika atau kerangka
berpikir, maka contoh dipakai untuk memperkuat pembuktian dengan detail contoh-contoh
dari pemikiran yang dimaksudkan sebelumnya.
Dalam pathos atau pembuktian emosional (emotional proof), orator seharusnya
mampu mengendalikan suasana emosi seperti apa yang ia inginkan, bukan memanfaatkan
emosi yang tengah tumbuh di tengah khalayak.
Menurut Aristoteles, tidak cukup sebuah pidato hanya berisi argumen yang masuk
akal. Orator harus kredibel (ethos / ethical proofs). Kesan yang timbul dari khalayak bisa
muncul bahkan sebelum orator berbicara. Persepsi khalayak atas seorang orator terbentuk
dari apa yang diucapkan dan tidak diucapkan.
Dalam retorika, Aristoteles menyebutkan tentang tiga sumber kredibilitas yang baik,
yaitu kecerdasan, karakter, dan niat baik.
Walaupun banyak ilmuwan menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran Aristoteles
tentang retorika itu rumit, mereka kemudian menyederhanakan pemikiran tersebut ke
dalam empat konsep tentang bagaimana mengukur kualitas seorang orator yang baik.
Keempat hal tersebut adalah bagaimana menciptakan argumentasi (invention), menyusun
2
materi argumentasi (arrangement), pemilihan bahasa (style), dan bagaimana teknik
penyampaiannya (tecniques of delivery).
Para pengkritik mengatakan bahwa kesalahan terbesar dari Retorika - Aristoteles
adalah khalayak dianggap pasif. Aristoteles menganggap orator akan selalu mampu
menyampaikan apa yang dimaksud kepada khalayak, sejauh mereka mengikuti anjuran-
anjuran yang telah disebutkan Aristoteles. Ada faktor yang penting yang terlupa oleh
Aristoteles, yaitu situasi. Padahal faktor ini adalah salah satu aspek penting yang perlu
diperhatikan dalam praktek retorika.
Di luar itu, teori retorika Aristoteles banyak dinilai memadai jika dilihat sebagai
landasan dalam studi dan praktek retorika. Tentunya, seiring perkembangan zaman, perlu
dilakukan beragam penyesuaian. Akan tetapi yang terpenting dari semua ini adalah, retorika
atau komunikasi secara umum pada dasarnya adalah seni, sehingga tidak akan mampu untuk
terbakukan dalam bentuk-bentuk aturan apapun. Semuanya berpulang kepada masing-
masing individu.

Anda mungkin juga menyukai