ETIKA DAN
FILSAFAT
KOMUNIKAS
I
Filsafat Teknologi Dan
Pemanfaatan Media
Komunikasi Bab 2
Fakultas
Ilmu Komunikasi
Program
Studi
Periklanan dan
Komunikasi
Pemasaran
TatapMuk
a
10
Kode MK
DisusunOleh
85009
Abstract
Kompetensi
2. Fenomenologi
Pemikiran Don Ihde berpijak pada Fenomenologi Edmund Husserl, Martin Heidegger, dan
Maurice Merleau-Ponty. Fenomenologi kita kenal melalui Husserl adalah ilmu tentang
penampakan (fenomena) yang berarti semua perbincangan tentang esensi di balik
penampakan dibuang jauh-jauh (Adian, 2010: 5). Fenomenologi Husserl selanjutnya
berhasil menemukan adanya dunia yang dihayati (lebenswelt) oleh subjek atau kesadaran.
Heidegger memandang hubungan manusia dan dunianya secara praktis dalam keseharian
bukan lagi kontekstual. Sedangkan, Maerleau-Ponty melihat aspek relasi diri pada dunia
dalam bentuk intensionalitas persepsi. Intensionalitas berlaku diantara dunia yang dialami
oleh manusia yang bertubuh (Lim, 2008: 28).
Sebelum posfenomenologi, Heidegger telah membuat sains ditarik dan bergantung pada
pengetahuan praktis. Sementara John Dewey memulai pragmatisme dengan memandang
201
6
semua pernyataan dan pencarian manusia sebagai suatu penyelesaian masalah yang mirip
dengan tindakan praktis. Demikianlah filsafat teknologi memasukkan teknologi ke dalam
wilayah praksis.
Pendekatan Don Ihde ialah fenomenologi. Ihde mengkaji fenomena teknologi bukan dampak
teknologi. Latar belakang Ihde ialah lintas interdisipliner dan saintifik. Ihde menggunakan
model persepsi (menurut Husserl dan Merleau Ponty) dan praksis. Ihde bertilik tolak dari
pemikiran Heidegger dan Dewey yang memberikan sifat praksis teknologi.
Fenomenologi Don Ihde telah melampaui fenomenologi klasik, walaupun masih
mengutamakan pengalaman, posfenomenologi tidak lagi merujuk pada ego transenden.
Posfenomenologi juga lebih pragmatis karena meneliti sesuatu yang konkret dan melibatkan
pengalaman kebertubuhan ala Marleau-Ponty dan Husserl akhir. Ihde juga pernah
menyebut pendekatannya sebagai fenomenologi eksperimental karena sifatnya praksis.
Pendekatan Ihde juga bersifat relativistik, tidak melihat subjek dan objek sebagai terpisah.
Subjek dan objek dipandang berhubungan dan berinteraksi satu sama lain. Sebagai contoh,
penggunaan alat teknologi tidak dapat dilihat dari aspek subjektif pengguna ataupun dari
aspek situasi objektif di mana alat diterapkan. Berawal dari pemikiran inilah fenomenologi
menjadi semakin eksploratif dengan menempatkan instrumentasi dalam relasinya dengan
tubuh sebagai manifestasi pembacaan atas realitas. Dengan demikian dapat menemukan
jalan untuk memeriksa dan menganalisa secara empiris per an dari teknologi didalam
kemajemukan hubungan sosial, personal, dan kebudayaan yang diakibatkan oleh relasi
teknologi. (Lim, 2008: 24-26)
A. Relasi Manusia dengan Teknologi
Teknologi sudah menjadi bagian hidup sehari-hari yang menghasilkan suatu relasi baik
disadari kehadirannya maupun tidak disadari. Dalam kenyataannya, keseharian manusia
hidup selalu berdampingan dengan teknologi maka teknologi terletak antara manusia dan
pengalaman kehidupan sebagai mediator.
Manusia yang bertubuh aku adalah tubuhku mempersepsi dunia melalui teknologi.
Sehingga relasinya secara umum dilukiskan demikian:
Ihde menggunakan istilah posfenomenologi untuk menjelaskan bahwa tubuh dan instrumen
teknologi bersifat relasional adalah tubuh memahami dunia secara eksistensial. Dalam hal
ini, bukan lagi aku berada dalam tubuhku, melainkan tubuhku sebagai aku itulah yang
memahami dunia (Hartanto, 2013: 5).
Gagasan pokok posfenomenologi Don Ihde dapat digunakan dalam membagi relasi-relasi
manusia dan teknologi ke dalam empat bentuk relasi yang membentuk horizon duniakehidupan. Keempat hubungan tersebut ialah relasi kebertubuhan (embodiment relations),
relasi hermeneutis (hemeneutical relations), relasi alteritas/keberlainan (alterity relations)
dan relasi latar belakang (background relations) (Ihde, 1979: 4-14).
1. Relasi Kebertubuhan (Embodiment Relations)
Relasi kebertubuhan menjadi keutamaan dalam posfenomenologi, ketika instrumen
dipahami sebagai bagian tubuh. Kemampuan tubuh meluas melampaui potensi-potensi
alamiahnya. Instrumen teknologis menjadi mediator untuk memahami dunia pengalaman,
karena Ihde berpegang pada kesatuan manusia dan instrumen dalam menyingkap secara
intensional-indrawi melalui posfenomenologi yang menyebabkan materialitas teknologi
201
6
dengan kereta kuda. Mobil, sebagaimana kuda, kemudian menjadi berjarak __ia hadir
sebagai yang lain. Bentuk paling kontemporer dari relasi alteritas ini adalah teknologi
robotik, pemesinan, dan juga program komputer/AI (artificial intellegent) (Ihde, 1990:97).
Tanda kurung diletakkan demikian untuk menunjukan bahwa dalam hubungan keberlainan
tidak harus ada atau mungkin ada relasi manusia dengan dunia melalui teknologi. Dunia
dalam kasus ini menjadi latar belakang, sedangkan teknologi muncul sebagai pemegang
peranan utama.
4. Relasi Latar Belakang (Background Relations)
Relasi latar belakang (background) menempatkan teknologi sebagai prakondisi dunia sosial
manusia, di mana terkadang kita tidak menyadari eksistensi artefak teknologi yang
mengondisikan dunia sosial. Contoh dari relasi latar belakang adalah artefak teknologi
otomatis yang berperan dibelakang, seperti lampu, radio, sistem pendingin karena hanya
dibutuhkan penggerak pertama yaitu manusia. Keadaan itu berlaku juga pada mesin semiotomatis seperti mesin cuci atau microwave dengan interverensi manusia secara terusmenerus masih berfungsi sebagai latar belakang.
Teknologi berada di latar belakang atau di pinggir seperti suatu kehadiran yang absen dan
tidak diperhatikan, namun menjadi bagian pengalaman manusia di lingkungan sekitarnya.
Kehadiran yang absen, yaitu kehadiran hanya terletak pada fungsi teknologi dan absennya
teknologi adalah cara kerja alat yang tidak diberi peranan yang penting.
B. Tingkat Kesadaran Keberadaan Teknologi
Tingkat kesadaran akan keberadaan ketika alat sedang digunakan berbeda-beda. Di satu
sisi ialah kesadaran akan wujud alat (opacity) dan di sisi lain adalah ketidakperhatian pada
alat ketika sedang digunakan (transparency). Relasi kebertubuhan mempunyai transparency
tinggi dan opacity rendah. Sedangkan relasi alteritas/keberlainan, teknologi menjadi quasiYang-Lain yang melaluinya saya terhubung memiliki transparency rendah dan opacity tinggi.
Pada hubungan hermeneutis, ketidaksadaran akan wujud alat dapat mewujud dari
penafsiran pada alat. Berbeda dengan relasi yang terakhir, relasi latar belakang tidak
ditandai oleh transparency ataupun opacity.
kecendurungan pada tujuan yang tidak disadari (latent telic). Contohnya pada kasus
penggunaan dua alat yang berbeda, yaitu pulpen dan komputer. Hubungan keduanya
secara kebertubuhan. Pertama, tekait dengan kecepatan menulis, pulpen lebih lambat
dengan komputer. Kecepatan menullis menentukan gaya penulisan. Pengarang yang
menggunakan pulpen lebih membutuhkan waktu yang lama dan hati-hati sebelum
menuangkan pemikirannya pada kertas. Berbeda dengan pengarang yang menggunakan
komputer, sesaat setelah gagasan muncul dirinya akan mengetik. Kedua contoh inilah
mengarahkan kepada gaya kepenulisan yang berlainan. (Francis Lim, 2008: 124-128)
C. Pengaruh dan Dampak Keterkaitan Teknologi
1. Realisme Instrumental
Don Ihde menggunakan istilah realisme fenomenologis berkenaan dengan dunia
termediasi dan terkonstruksi oleh instrumen (Ihde, 1979: 49). Dengan realisme
fenomenologis, fenomena teramplifikasi dan mewujud sebagai pengetahuan melalui
instrumentasi. Ihde menjelaskan lebih jauh realisme ini dalam diskursus filsafat ilmu dengan
istilah realisme instrumental di mana pencapaian ilmu pengetauan selalu bermula dari
praksis eksperimental dan instrumentasi.
Budi Hartanto (2014) dalam Jurnal Diskursus halaman 193-221 menjelaskan bahwa adanya
relevansi praksis dan instrumentasi yang telah membentuk prespektif baru ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan selalu berawal dari kesadaran menumbuh dan
termediasikan oleh teknologi. Semua fase secara intensionalitas dalam praksis ilmu dengan
adanya mediator yakni teknologi. Keterkaitan antara manusia dengan teknologi terletak
secara kebertubuhan dan hermeneutis. Relasi inilah berada dalam korelasi intensional
manusia-dunia.
2. Plurikulturitas
Plurikulturitas merupakan suatu bentuk multikulturitas yang terjadi akibat pengaruh teknologi
(Lim, 2008: 142). Plurikulturitas merupakan pencapaian dunia-kehidupan kontemporer dan
menjadi ciri permanen dari dunia saat ini (Ihde, 1990:158). Plurikulturitas tidaklah netral dan
menghalangi terciptanya monokulturitas. Plurikulturitas lebih menekankan bahwa konsep
budaya fondasi (core culture) sudah tidak ada, artinya plurikulturitas lebih mirip dengan
pascamodernisme di mana perbdaan dan budaya-budaya kecil diangkat. Dalam keadaan ini
pula setiap budaya dihormati, setara, toleran, tidak ada lagi dianggap lebih baik, tinggi,
bahkan unggul (Ihde, 1993: 65-66).
Plurikulturitas ada ketika realitas hadir secara teknologis dalam sebuah medium sehingga
terciptalah imej kultur global (Hartanto, 2013:12). Lahir melalui artefak teknologi cintra
seperti televisi, kamera foto, sinema, dan komputer, imej diproduksi dan direproduksi (Don
Ihde, 1990: 166). Dalam sejarah plurikulturitas, diawali oleh eksplorasi-eksplorasi
kebudayaan dan penelitian ilmiah. Pencapaian dalam sains membentuk cara pandang baru
tentang dunia. Pengetahuan (teks/imaji) yang dihasilkan kemudian menyebar seiring adanya
kolonialisme. Pengetahuan yang awalnya secara inkultural kemudian menjadi terbuka yang
termediasikan melalui sains dan teknologi. Pluralitas kebudayaan lebih dipahami pada
konteks pascamodernisme sebagai budaya populer.
Salah satu bagian dari Plurikulturitas adalah Pluripalate. Pluripalate merupakah kemampuan
untuk dapat memakan masakan yang berlainan jenis cita rasa yang plural (Ihde, 1990:160).
Sebelumnya manusia hanya dapat memakan makanan lokal yang terbatas namun sekarang
dapat memilah-milih makanan yang beragam dengan bantuan teknologi. Fenomena ini
terjadi akibat adanya bentuk dan akibat dari teknologi yang menyebar ke seluruh dunia
terutama teknologi tinggi jaringan informasi dan komunikasi. Pluripalate menjadi metafora
bagi sesuatu yang lebih mendalam, yaitu semacam multikuluralitas unik yang pengaruhnya
semakin besar dalam budaya teknologi kontemporer (Ihde, 1990: 134). Dalam banyak hal
201
6
seperti makanan, literature, moda, filsafat, hingga agama, dapat dipilah-pilih apa yang
disukai kemudian digabungkan dalam satu rangkaian (Ihde, 1990: 134).
3. Multistabilitas Teknologi
Analisis Don Ihde tentang realisme instrumental dan plurikulturalitas yang membentuk
makropersepsi telah membawa pada gagasan tentang dimensi sosial dan kultural dari sains
dan teknologi. Dari hal itulah mengemuka proposisi bahwa teknologi bersifat kontekstual
terhadap kebudayaan, karena teknologi tercipta secara kultural sehingga inheren dengan
kebudayaan. Nilai praktis teknologi dalam setiap kebudayaan tidaklah sama (Budi Hartanto,
2013: 14).
Budaya Barat cenderung menggunakan teknologi sebagai kekuasaan. Teknologi ialah cara
berpikir yang memanipulasi dan mengeksploitasi dunia sebagai persediaan. Misalnya,
penggunaan mesiu yang berbeda di negara-negara Barat dan Cina. Mesiu mulanya
ditemukan di Cina dan digunakan sebagai hiburan dalam acara perayaan kembang api.
Namun di Barat mesiu digunakan dalam perang untuk menaklukan dan menguasai negara
lain.
Dengan demikian, tidak ada teknologi dengan makna universal. Pemakanaan atas teknologi
yang berbeda-beda dalam setiap kebudayaan. Don Ihde menggunakan istilah multistabilitas
teknologi dalam kaitannya dengan perbedaan nilai praktis kultural teknologi. Multistabilitas
perseptual menjadi kondisi yang memungkinkan teknologi dipahami secara berbeda
walaupun memiliki esensi yang sama, namun dalam penggunaannya mempunyai bentuk
yang berbeda. Contoh lain ada pada argumen fenomenologis tentang penggunaan sistem
navigasi suku-suku di Kepulauan Pasifik Selatan dapat membaca arah di laut lewat
pengalaman kebertubuhan berdasar realitas fisik seperti angin, pola ombak, dan bintangbintang. Berbeda dengan teknologi yang berkembang di Barat misal Kompas. Sistem pada
kompas bersifat hermeneutis-representatif, di mana realitas tidak diketahui secara langsung.
Sehingga belum tentu suku-suku di Kepulauan Pasifik Selatan dapat menggunakan kompas
seperti yang berkembang di Barat begitu pula sebaliknya (Budi Hartanto, 2013: 15-16).
Alat teknologi selalu dilibatkan sesuai konteks kegunaannya dalam lingkungan sekitarnya.
Ketika alat itu dipindahkan ke budaya lain, yang dipindahkan bukan hanya alat itu saja
melainkan juga hubungan budaya dan nilai-nilai juga ada. Tidak ada alat pada dirinya
sendiri. Demikian pula tidak ada alat yang tidak termasuk dalam budaya tertentu dengan
nilai dan proses tertentu. Perpindahan teknologi selalu disertai perpindahan nilai dan proses.
Posisi inilah ketika adanya transfer teknologi, pihak penerima teknologi baru terpaksa
beruntung pada pihak yang membuat teknologi tersebut. Secara perlahan-lahan terjadi
penyesuaian di mana nilai dan penggunaan alat yang dipindahkan tadi berubah menurut
konteks budaya yang menerimanya. Pada saat itulah terjadi transformasi nilai-nilai, seperti
contoh penggunaan mesiu di Cina sebagai perayaan kembang api sedangkan di Barat
dapat digunakan untuk tujuan perang. Contoh lainnya ialah roda doa di India. Ketika
dipindahkan ke Barat, diadaptasi menjadi kincir angin. Kincir angin mengandaikan dunia
sebagai persediaan (Heidegger) di mana angin dikumpulkan sebagai cadangan energi.
(Lim, 2008: 136-137)
Multistabilitas dalam pemikiran Don Ihde lebih menjelaskan teknologi pada ranah makna,
yaitu bagaimana fungsi teknologi itu dipahami ketika diaplikasikan (Hartanto, 2013: 17).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa teknologi bersifat netral karena tidak mengandung
tujuan tertentu, dan hanya bergantung pada konteks penggunaannya dalam budaya yang
berbeda (Lim, 2008: 137). Akan tetapi, pendapat ini merupakan abstraksi yang tidak
mempertimbangkan relasi alat dan budaya. Dalam keterkaitannya dengan manusia,
teknologi tetap memiliki kecenderungan untuk mengarahkan ke tujuan tertentu (latent telic)
sehingga dalam penggunaannya secara tidak langsung tetap tidak bebas nilai.
201
6
201
6
Hal itu dapat dilihat dalam kasus masuknya film-film Hollywood maupun franchise makanan
cepat saji yang tersebar diseluruh pelosok dunia melalui transfer teknologi yang diterima
begitu saja tanpa memperhatikan dampaknya atas budaya setempat. Dominasi budaya
tertentu akan mengakibatkan homogenitas budaya. Hal ini terjadi karena tidak ada budaya
yang dibawa oleh teknologi dapat diadaptasi secara penuh dalam budaya yang
menerimanya. Maka teknologi tidak hanya membawa plurikulturalitas karena juga dapat
melahirkan suatu homogenitas budaya.
Keterkaitan teknologi dan manusia yang dipaparkan oleh Don Ihde tidak lagi
mempertanyakan soal etika dalam teknologi sebagaimana filsuf teknologi yang lain seperti
Hans Jonas. Soal etika dan dampak moral dari perpindahan teknologi hanya dibahas
melalui plurikuturitas dan multistabilitas teknologi yang hanya mengarah pada
pengaplikasian teknologi. Don Ihde mengesampingkan saat adanya perpindahan teknologi
beserta nilai-nilai yang menyertainnya dari negara maju ke negara Dunia Ketiga sangat
penting dan patut diberi perhatian dalam pembahasannya mengenai manusia dan duniakehidupan. Ihde juga tidak menguraikan dampak negatif teknologi yang relatif asing
terhadap budaya di mana teknologi itu diterapkan.
Dari beberapa tanggapan singkat di atas mengenai keterkaitan teknologi dengan manusia
berdasarkan pemikiran Don Ihde secara umum. Perkembangan pesat teknologi dapat
membawa manusia terlepas dari keterbatasannya. Namun, pengalaman manusia dan
budaya dapat berubah akibat penerapan teknologi asing tertentu. Oleh karena itu, teknologi
seharusnya tidak serta-merta mudah diterima masuk. Perlu adanya sikap memilih-milih
teknologi yang berguna dan cocok dengan kebudayaan yang ada di suatu tempat.
Penggunaan alat teknologi haruslah secara bijaksana karena bagaimana pun juga nilai dan
fungsi
teknologi
dapat
berubah-ubah
sesuai
dengan
tujuan
pengguna.
KESIMPULAN
Pemikiran Don Ihde melalui posfenomenologi yang mendasarkan jenis-jenis hubungan pada
konsep dunia-kehidupan dan intensionalitas dari Husserl, konsep kebertubuhan dari
Merleau-Ponty dan sifat alat dari Heidegger serta Dewey. Posfenomenologi telah melampaui
fenomenologi sebelumnya. Tubuh manusia mengalami dunia-kehidupan di sekitarnya
melalui cara-cara yang berbeda, lewat perantaraan teknologi. Inilah yang membuktikan
bahwa adanya hubungan antara teknologi dan manusia bersifat eksistensial.
Dengan adanya keempat relasi yakni hubungan kebertubuhan, hermeneutis, keberlainan
serta latar belakang menandai ciri struktur amplifikasi atau reduksi tertentu. Keterkaitan
dengan teknologi membuat manusia dapat dengan cara baru melihat teknologi dari segala
aspek kehidupan. Cara baru melihat teknologi dapat diketahui dari kecenderungan pada
tujuan yang tidak disadari (latent telic) dalam penciptaan alat teknologi yang lebih canggih.
Kita tidak mungkin menghindari keterkaitan teknologi dalam kehidupan kita sehari-hari
terlebih di era globalisasi sekarang. Namun, dengan kehendak bebas kita tetap mempunyai
pilihan untuk tidak membiarkan teknologi mendominasi hubungan yang sudah sejak lama
terbentuk. Karena pada dasarnya manusia sebagai penggerak pertama teknologi dan juga
memiliki kesadaran atas keterkaitan dirinya dengan teknologi serta dunia.
DaftarPustaka
Adian, Donny Gahral. 2010. Pengantar Fenomenologi. Depok: Koekoesan.
Devore, Paul W. 1980. Technology: An Introduction. Davis Publication, Inc. Massachusetts
U.S.A.
201
6
Feenberg, Andrew, and Alastair Hannay. 1995. Technology and the Politic Knowlegde.
Indiana University Press: Bloomington and Indianapolis.
Feenberg, Andrew. 1999. Questioning Technology. Routlegde: London and New York.
Hartanto, Budi. 2013. Dunia Pasca-Manusia: Menjelajahi Tema-tema Kontemporer Filsafat
Teknologi. Depok: Kepik.
Ihde, Don. 1979. Technic and Praxis. Boston, USA: Dordrecht Reidel Publishing Company.
Lim, Francis 2008. Filsafat Teknologi: Don Ihde tentang Manusia dan Alat. Yogyakarta:
Kanisius.
Selinger, Evan (ed.). 2006. Postphenomenology: Critical Companion to Ihde. State
University of New Yoerk Press, 2006.
Artikel Jurnal:
Budi Hartanto. Membaca Materialitas Ilmu Berdasarkan Filsafat Teknologi Don Ihde.
Diskursus: Jurnal Filsafat dan Teologi. Volume 13, Nomor 2, Oktober 2014.
201
6
10