Anda di halaman 1dari 189

Hafis Mu’addab

MEMBANGUN GERAKAN
MORAL DI SEKOLAH

Penerbit
ElHaf Publishing

2
MEMBANGUN GERAKAN
MORAL DI SEKOLAH

Oleh: Hafis Mu‘addab

Copyright © 2011 by Hafis Mu‘addab

Penerbit
ElHaf Publishing
afaradhita@gmail.com

Desain Sampul:
Khudrotun Nafisah

Diterbitkan melalui:
www.nulisbuku.com

3
Sweet love is for you Allah the Almighty
And the shalawat flows to you Kanjeng Nabi
Muhammad El Mustafa

So I can love the beautiful khudrotun nafisah


Like never been depire when auliyaaut thoif remind
me to write this book for

4
DAFTAR ISI

Titik Awal ................................................................ 6


Daftar isi ................................................................ 4
Memaknai Dunia Pendidikan
1. Refleksi Hari Pendidikan: Pendidikan Karakter 10
2. Guru, Sekolah dan Kaderisasi Bangsa .............. 33
3. Witing Tresno Jalaran Soko Kulino .................. 37
4. Belajar Dari Punta Dewa .................................... 43
5. Mengajarkan Konsistensi.................................... 50
6. Manajemen Tutur dan Kapur ............................ 57

Memulai Perubahan
1. Memaknai Pendidikan Sebagai Sistem Organik 66
2. Membangun Gerakan Moral Di Sekolah ......... 76
3. Pembelajaran Tanpa Verbalisme ....................... 84
4. Membangun Budaya Membaca Disekolah....... 90
5. Otak dan Pembelajaran ....................................... 103
6. Mencari Solusi Pengadaan Buku Pendidikan... 115
7. Buku SMK Masih Langka .................................. 139
8. UNAS Tahun 2011 .............................................. 153

5
Menjadi Seorang Guru
1. Profesi Genetik .................................................... 160
2. Menjadi Guru Berpredikat Profesional ............ 167
3. Mengapa Guru Harus Menulis .......................... 174
4. Membahagiakan Diri ........................................... 182

6
Titik Awal

Menjadi pemberdayan atau dalam istilah kerennya


―community organizer‖ ternyata memiliki perbedaan
yang nyata dengan berprofesi sebagai guru. Seorang
teman bahkan dengan tegas menyatakan bahwa ketika
kita menjadi pelaku pemberdayaan, kita begitu mudah
untuk memberikan keteladanan, begitu mudah kita
menampilkan idealisme. Begitu mudahnya sehingga
tokoh pemberdayaan mampu menjadi ―rule of models‖
dari seorang pribadi dikomunitas yang dia dampingi.
Membuktikan bagaimana kemanusiaan itu berbicara
dalam menghadapi konteks problematika masyarakat,
dan membicarakan solusi praktis dengan mudahnya
semua mampu ditampilkan seorang pelaku
pemberdayaan dengan mudahnya.

Namun, semua itu sungguh berbeda ketika kita menjadi


seorang guru., dimana disaat yang sama kita kita harus
berperan dalam banyak karakter. Sebagai guru yang
sekaligus seorang bawahan, seorang guru yang sekaligus

7
pegawai dinas pendidikan, hingga sebagai penjual
faham atau bahkan pedagang yang mencoba mencari
keuntungan ditengah kebutuhan siswanya. Dalam
semua fakta ini, disinilah konsistensi profesi guru
menjadi dipertanyakan, sebab guru tidak lagi terfokus
untuk bagaimana membuat siswanya pintar, tetapi juga
terperangkap dalam hal-hal ―pragmatis‖. Dan inilah
yang membedakan guru ―dulu‖ dan guru ―hari ini‖.

Bagi Anda yang pernah mengenyam pendidikan dengan


guru-guru yang tegas, yang tidak jarang menghukum
fisik anak-anak yang nyata-nyata tidak disiplin. Tentu
Anda dapat banyak bercerita bahwa betapa itu semua
memberikan nilai pembelajaran tersendiri yang tanpa
kita sadari telah membentuk kepribadian kita. Fakta
inilah yang menunjukkan betapa pentingnya, bagi
seorang guru untuk tetap menjaga ―marwahnya‖
sebagai seorang agen moral di sekolah. Namun
tentunya semuanya tidak mungkin berhasil, jika ini
hanya dimulai dari seorang guru disatu sekolah, disatu
kabupaten, disatu propinsi hingga disatu negara.

8
Diperlukan kebersamaan dan selanjutnya kesadaran
semua ―civitas akademika‖ hingga menjadikan
bangunan sekolah menjadi gerakan moral yang ideal
bagi siapapun yang mengenyam pendidikan. Dalam
peran inilah tulisan-tulisan dalam buku ini hadir untuk
mengingatkan kita semua, bahwa profesi guru bukanlah
akhir dari tujuan kita setelah meraih gelar sarjana. Akan
tetapi adalah awal dari tugas besar, yang tidak hanya
berhenti pada keberhasilan menempuh UNAS belaka.
Sebab ada tiga hal yang tidak bisa kita pisahkan di dunia
pendidikan yaitu guru, sekolah dan perannya dalam
kaderisasi bangsa. Profesi guru adalah profesi
kemanusiaan, tentang bagaimana memanusiakan setiap
anak dengan keteladanan moral yang baik. Disinilah
makna sebenarnya profesi seorang guru, sekarang
bagaimana keputusan Anda?

Jombang, in the second week of ramadhan


07.08.11 / 22.40
Hafis Mu’addab

9
Memberi Makna Dunia
Pendidikan

10
Refleksi Hari Pendidikan:
Pendidikan Karakter

“TANAH air kita meminta korban. Dari di sinilah kita,


siap sedia memberi korban yang sesuci-sucinya… sungguh,
korban dengan ragamu sendiri adalah korban yang paling
ringan… memang awan tebal dan hitam menggantung di atas
kita. Akan tetapi percayalah di baliknya masih ada matahari
yang bersembunyi… kapan hujan turun dan udara menjadi
bersih karenanya?”
(Ki Hadjar Dewantara).

Ki Hajar Dewantara Diantara Tokoh Pendidikan


Siapa yang gak kenal sosok tokoh pendidikan Bapak Ki
Hadjar Dewantara, tokoh yang berjasa memajukan
pendidikan di Indonesia. Ki Hadjar yang bernama asli
R.M. Suwardi Suryaningrat merupakan tokoh
pendidikan nasional. Aktivitasnya dimulai sebagai
jurnalis pada beberapa surat kabar dan bersama EFE
Douwes Dekker, mengelola De Expres. Ki Hadjar pun

11
aktif menjadi pengurus Boedi Oetomo dan Sarikat
Islam. Selanjutnya bersama Cipto Mangun Kusumo dan
EFE Douwes Dekker — dijuluki ‖Tiga Serangkai‖ —
ia mendirikan Indische Partij, sebuah organisasi politik
pertama di Indonesia yang dengan tegas menuntut
Indonesia merdeka. Pada zaman Jepang, peran Ki
Hadjar tetap menonjol. Bersama Soekarno, Hatta, dan
Mas Mansur, mereka dijuluki ―Empat Serangkai‖,
memimpin organisasi Putera. Ketika merdeka, Ki
Hadjar menjadi Menteri Pengajaran Pertama.

Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hajar Dewantara tidak


seperti Ivan Illich atau Rabrindranath Tagore yang
sempat menganggap sekolah sebagai siksaan yang harus
segera dihindari. Ki Hajar berpandangan bahwa melalui
pendidikan akan terbentuk kader yang berpikir,
berperasaan, dan berjasad merdeka serta percaya akan
kemampuan sendiri. Arah pendidikannya bernafaskan
kebangsaan dan berlanggam kebudayaan.

12
Seorang tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar
masyarakat bebas dari sekolah. Niat deschooling tersebut
berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak
ubahnya pabrik yang mencetak anak didik dalam paket-
paket yang sudah pasti. ―…bagi banyak orang, hak
belajar sudah digerus menjadi kewajiban menghadiri
sekolah‖, kata Illich. Demikian pula halnya dengan
Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah
seakan-akan sebuah penjara. Yang kemudian ia sebut
sebagai ―siksaan yang tertahankan‖.

Ada benarnya ketika setiap pendidikan harus mampu


mengarah dan mengubah status quo. Dan ini tidak
berarti benar ketika menganggap sekolah tidak penting.
Anak-anak dengan senang hati, umumnya masih
berangkat ke sana. Kita, dan mereka, tahu; bukan mata
pelajaran serta ruang kelas itu yang membikin mereka
betah. Melainkan teman dan pertemuan. Bisa saja, Illich
dan Tagore keliru. Sekolah juga keliru bila ia tidak tahu
diri bahwa peranannya tidak seperti yang diduga selama
ini. Ia bukan penentu gagal tidaknya seorang anak. Ia

13
tak berhak menjadi perumus masa depan. Namun,
banyak kalangan sering menyejajarkan Ki Hajar
Dewantara dengan Rabindranath Tagore, seorang
pemikir, pendidik, dan pujangga besar kelas dunia yang
telah berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan
nasional India, karena mereka bersahabat dan memang
memiliki kesamaan visi dan misi dalam perjuangannya
memerdekakan bangsanya dari keterbelakangan.

Tagore dan Ki Hajar sama-sama dekat dengan rakyat,


cinta kemerdekaan dan bangga atas budaya bangsanya
sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar
kebangsawanan (Sir) pada raja Inggris sebagai protes
atas keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar
Affair. Tindakan Tagore itu dilatarbelakangi
kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya dengan
ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas)
oleh Ki Hajar. Tindakan ini dilatarbelakangi keinginan
untuk lebih dekat dengan rakyat dari segala lapisan.
Antara Ki Hajar dengan Tagore juga merupakan sosok
yang sama-sama cinta kemerdekaan dan budaya

14
bangsanya sendiri. Dipilihnya bidang pendidikan dan
kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas
dari ―strategi‖ untuk melepaskan diri dari belenggu
penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif sederhana;
apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai maka
wawasannya semakin luas, dengan demikian keinginan
untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin
tinggi.

Di barat, Paulo Freire hadir dengan konsep pendidikan


pembebasan. Di sini, Ki Hajar Dewantara menjadi
pahlawan pendidikan nasional karena pendidikan
sistem among yang ia kembangkan di taman siswa.
Ungkapannya sangat terkenal; ―tut wuri handayani‖,
―ing madya mangun karsa‖, dan ―ing ngarsa sung
tulada‖. Istilah inipun tak hanya populer di kalangan
pendidikan, tetapi juga pada berbagai aspek kehidupan
lain.

15
Konsepsi Pendidikan Menurut Ki Hajar
Dewantara
Dalam berbagai sumber tulisan tentang pendidikan Ki
Hadjar Dewantara, Pendidikan harus dimulai dari
persamaan persepsi pemangku pendidikan tentang
mendidik itu sendiri. Menurut Kihajar dewantara
mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses
memanusiakan manusia (humanisasi), yakni
pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam
mendidik ada pembelajaran yang merupakan
komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada
manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan
disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah
usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar
dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-
transenden dari sifat alami manusia (humanis).

Menurut Ki Hajar Dewantara tujuan pendidikan adalah


―penguasaan diri‖ sebab di sinilah pendidikan
memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan
diri merupakan langkah yang harus dituju untuk

16
tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia.
Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya,
mereka akan mampu juga menentukan sikapnya.
Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan
dewasa.

Dalam konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara ada 2


hal yang harus dibedakan yaitu sistem ―Pengajaran‖ dan
―Pendidikan‖ yang harus bersinergis satu sama lain.
Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek
hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan
pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek
hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil
keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
Keinginan yang kuat dari Ki Hajar Dewantara untuk
generasi bangsa ini dan mengingat pentingnya guru
yang memiliki kelimpahan mentalitas, moralitas dan
spiritualitas. Beliau sendiri untuk kepentingan
mendidik, meneladani dan pendidikan generasi bangsa
ini telah mengubah namanya dari ningratnya sebagai
Raden Mas soewardi Suryaningrat menjadi Ki hajar

17
dewantara. Menurut tulisan Theo Riyanto, perubahan
nama tersebut dapat dimakna bahwa beliau ingin
menunjukkan perubahan sikap ningratnya menjadi
pendidik, yaitu dari satria pinandita ke pinandita
satria yaitu dari pahlawan yang berwatak guru spiritual
ke guru spiritual yang berjiwa ksatria, yang
mempersiapkan diri dan peserta didik untuk melindungi
bangsa dan Negara ini. Bagi Ki Hajar Dewantara, para
guru hendaknya menjadi pribadi yang bermutu dalam
kepribadian dan spiritualitas, baru kemudian
menyediakan diri untuk menjadi pahlawan dan juga
menyiapkan para peserta didik untuk menjadi pembela
nusa dan bangsa. Yang utama sebagai pendidik adalah
fungsinya sebagai model keteladanan dan sebagai
fasilitator kelas.

Nama Hajar Dewantara sendiri memiliki makna sebagai


guru yang mengajarkan kebaikan, keluhuran,
keutamaan. Pendidik atau Sang Hajar adalah seseorang
yang memiliki kelebihan di bidang keagamaan dan
keimanan, sekaligus masalah-masalah sosial

18
kemasyarakatan. Modelnya adalah Kyai Semar (menjadi
perantara antara Tuhan dan manusia, mewujudkan
kehendak Tuhan di dunia ini). Sebagai pendidik yang
merupakan perantara Tuhan maka guru sejati
sebenarnya adalah berwatak pandita juga, yaitu mampu
menyampaikan kehendak Tuhan dan membawa
keselamatan.

Menerjemahkan dari konsep pendidikan Ki Hajar


Dewantara tersebut, maka banyak pakar menyepakati
bahwa pendidikan di Indonesia haruslah memiliki 3
Landasan filosofis, yaitu nasionalistik, universalistic dan
spiritualistic. Nasionalistik maksudnya adalah budaya
nasional, bangsa yang merdeka dan independen baik
secara politis, ekonomis, maupun spiritual. Universal
artinya berdasarkan pada hukum alam (natural law),
segala sesuatu merupakan perwujudan dari kehendak
Tuhan. Prinsip dasarnya adalah kemerdekaan, merdeka
dari segala hambatan cinta, kebahagiaan, keadilan, dan
kedamaian tumbuh dalam diri (hati) manusia. Suasana
yang dibutuhkan dalam dunia pendidikan adalah

19
suasana yang berprinsip pada kekeluargaan, kebaikan
hati, empati, cintakasih dan penghargaan terhadap
masing-masing anggotanya. Maka hak setiap individu
hendaknya dihormati; pendidikan hendaknya
membantu peserta didik untuk menjadi merdeka dan
independen secara fisik, mental dan spiritual;
pendidikan hendaknya tidak hanya mengembangkan
aspek intelektual sebab akan memisahkan dari orang
kebanyakan; pendidikan hendaknya memperkaya setiap
individu tetapi perbedaan antara masing-masing pribadi
harus tetap dipertimbangkan; pendidikan hendaknya
memperkuat rasa percaya diri, mengembangkan harga
diri; setiap orang harus hidup sederhana dan guru
hendaknya rela mengorbankan kepentingan-
kepentingan pribadinya demi kebahagiaan para peserta
didiknya.

Output pendidikan yang dihasilkan adalah peserta didik


yang berkepribadian merdeka, sehat fisik, sehat mental,
cerdas, menjadi anggota masyarakat yang berguna, dan
bertanggungjawab atas kebahagiaan dirinya dan

20
kesejahteraan orang lain. Dalam pemikiran kihajar
dewantara, metode yang yang sesuai dengan sistem
pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode
pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada
asih, asah dan asuh. Metode ini secara teknik
pengajaran meliputi ‗kepala, hati dan panca indera‘
(educate the head, the heart, and the hand).
Teladan sesungguhnya memiliki makna sesuatu dari
proses mengajar, hubungan dan interaksi selama proses
pendidikan yang kemudian pada hari ini atau masa
depan peserta didik menjadi contoh yang selalu di tiru
dan di gugu. Jadi guru teladan tidak ada hubungannya
dengan sosok guru yang senantiasa menjaga wibawa,
menjaga ‗image‘ dengan selalu menampilkan dirinya
‗ferfect‘ dan ‗penuh aturan‘ dan kaku di hadapan
peserta didiknya.

Dalam sebuah proses belajar, sadar atau tidak maka


‗perilaku‘ seorang guru akan menjadi komunikasi
(penyampaian pesan) paling efektif dan pengaruhnya
sangat besar (90%) pada peserta didik. Perilaku inilah

21
yang akan menjadi ‗teladan‘ bagi kehidupan social
peserta didik. Secara psikologis pengaruh ‗perilaku‘
tersebut adalah pengaruh bawah sadar peserta didik,
yang akan muncul kembali saat ia melakukan aktifitas
dalam ‗bersikap‘, ‗bertindak‘ atau ‗menilai sesuatu‘ pada
dirinya maupun orang lain.

Jika merefleksikan pada motivasi pendidikan Ki hajar


Dewantara maka seorang guru yang ingin diteladani
haruslah melepaskan ‗trompah‘ dari jiwa, sikap, dan
perilaku mengajarnya. Guru tidak berangkat dari
‗kepahlawanan‘ untuk kemudian ‗mendidik‘ tetapi dari
mendidiklah kemudian dia layak menjadi ‗pahlawan‘
pada hati setiap manusia lain. Bagaimana agar
ketadanan seorang guru berbuah hal yang baik pada
jiwa, sikap dan perilaku peserta didiknya dimasa akan
datang, maka seorang guru haruslah ‗profesional‘ dalam
pengajaran dan hubungan social. Bukan professional ‗to
have‘ tetapi professional ‗to be‘. Bukan professional
disebabkan kebendaan (materi) tetapi professional
bersumber dari ‗penguasaan diri‘, ‗pengabdian‘ dan

22
‗kehormatan‘ diri dan bangsanya. Sehingga dalam
prosesnya ‗mengajar‘ akan menjadi cara hidup seorang
guru untuk mencapai kemanfaatan sebanyak-banyaknya
melalui ‗pengabdiannya‘ dan proses menebarkan
‗kehormatan‘ tersebut pada hati, kepala dan
pancaindera peserta didiknya.

Proses memindahkan segala keteladanan diri


pengetahuan diri dan perilaku professional seorang
guru kepada peserta didik dibutuhkan teknik yang oleh
Ki hajar dewantara disebuat ‗among‘ mendidik dengan
sikap asih, asah dan asuh, dibutuhkan guru yang tidak
hanya mampu ‗mengajar‘ tetapi juga mampu
‗mendidik‘. Pada posisi inilah guru juga harus mampu
menjadi motivator dikelasnya. Mengapa motivator?
Karena Motivator memiliki kekuatan sinergis antara
mengajar dan mendidik seperti motivasi dari
pendidikan Ki Hajar itu sendiri.

23
Urgensitas Pendidikan Karakter dan Revitalisasi
Pemikiran Ki Hajar Dewantara
Tema Hardiknas tahun ini adalah ―Pendidikan Karakter
sebagai Pilar Kebangkitan Bangsa‖ dengan subtema
―Raih Prestasi Junjung Tinggi Budi Pekerti‖. Tema ini,
kata Menteri Nuh, mengingatkan kembali pada hakikat
pendidikan yang telah ditekankan oleh Bapak
Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantoro. ―Karakter
yang ingin kita bangun bukan hanya kesantunan, tetapi
secara bersamaan kita bangun karakter yang mampu
menumbuhkan kepenasaranan intelektual sebagai
modal untuk membangun kreativitas dan daya inovasi,‖
katanya. Seolah pernyataan menunjukkan isyarat bahwa
sudah saatnya kita kembali merefleksi konsepsi
pendidikan kita saat ini berjalan. Sebab konsepsi
pendidikan karakter sebenarnya merupakan hasil
pemikiran luhur dari Bapak Pendidikan Nasional kita,
Ki Hajar Dewantara.

Ki Hadjar mengartikan pendidikan sebagai daya upaya


memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak,

24
agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu
hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan
alam dan masyarakatnya. Salah satu nilai luhur bangsa
Indonesia yang merupakan falsafah peninggalan Ki
Hadjar Dewantara yang dapat diterapkan yakni tringa
yang meliputi ngerti, ngrasa, dan nglakoni . Ki Hadjar
mengingatkan, bahwa terhadap segala ajaran hidup,
cita-cita hidup yang kita anut diperlukan pengertian,
kesadaran dan kesungguhan pelaksanaannya. Tahu dan
mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan
menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak
melaksanakan dan tidak memperjuangkannya. Merasa
saja dengan tidak pengertian dan tidak melaksanakan,
menjalankan tanpa kesadaran dan tanpa pengertian
tidak akan membawa hasil. Sebab itu prasyarat bagi
peserta tiap perjuangan cita-cita, ia harus tahu, mengerti
apa maksudnya, apa tujuannya. Ia harus merasa dan
sadar akan arti dan cita-cita itu dan merasa pula
perlunya bagi dirinya dan bagi masyarakat, dan harus
mengamalkan perjuangan itu. ―Ilmu tanpa amal
seperti pohon kayu yang tidak berbuah‖, ―Ngelmu

25
tanpa laku kothong‖, laku tanpa ngelmu cupet‖. Ilmu
tanpa perbuatan adalah kosong, perbuatan tanpa ilmu
pincang. Oleh sebab itu, agar tidak kosong ilmu harus
dengan perbuatan, agar tidak pincang perbuatan harus
dengan ilmu.

Berkenaan dengan pendidikan karakter ini lebih lanjut


Suyanto (2010) menjelaskan bahwa pendidikan karakter
adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang
melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan
(feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas
Lickona tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan
karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter
yang diterapakan secara sistematis, dan berkelanjutan,
seorang anak akan menjadi cerdas emosinya, seorang
anak akan menjadi cerdas emosinya. Sebab kecerdasan
emosi ini menjadi bekal penting dalam mempersiapkan
anak masa depan dan mampu menghadapi segala
macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil
secara akademis.

26
Ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai
luhur universal, yaitu (1) karakter cinta Tuhan dan
segenap ciptaan-Nya; (2) kemandirian dan tanggung
jawab; (3) kejujuran/amanah, diplomatis; (4) hormat
dan santun; (5) dermawan, suka tolong menolong dan
gotong royong/kerjasama; (6) percaya diri dan pekerja
keras; (7) kepemimpinan dan keadilan; (8) baik dan
rendah hati; (9) karakter toleransi, kedamaian, dan
kesatuan. Kesembilan karakter itu, perlu ditanamkan
dalam pendidikan holistik dengan menggunakan
metode knowing the good, feeling the good, dan acting
the good. Hal tersebut diperlukan agar anak mampu
memahami, merasakan/mencintai dan sekaligus
melaksanakan nilai-nilai kebajikan. Bisa dimengerti, jika
penyebab ketidakmampuan seseorang untuk
berperilaku baik, walaupun secara kognitif anak
mengetahui, karena anak tidak terlatih atau terjadi
pembiasaan untuk melakukan kebajikan.

27
Pemikiran Ki Hajar Dewantara dan Tantangan
Guru Hari ini
Lembaga pendidikan dan guru dewasa ini dihadapkan
pada tuntutan yang semakin berat, terutama untuk
mempersiapkan siswa agar mampu menghadapi
berbagai dinamika perubahan yang berkembang pesat.
Perubahan yang terjadi bukan saja berkaitan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saja,
tetapi juga menyentuh perubahan dan pergeseran aspek
nilai moral yang terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat. Beberapa contoh penyimpangan-
penyimpangan perilaku amoral saat ini diantaranya
maraknya tawuran antar pelajar, perampokan,
pembunuhan diserta mutilasi, korupsi, dan isu-isu
moralitas yang terjadi di kalangan remaja, seperti
penggunaan narkotika, perkosaan, pornografi sudah
sangat merugikan dan akan berujung pada keterpurukan
suatu bangsa.

Disinilah kunci dari urgensi dilaksanakannya


pendidikan karakter untuk membentengi dari krisis

28
multidimensi pada era globalisasi ini. Krisis
multidimensi dan keterpurukan bangsa, pada
hakekatnya bersumber dari jati diri, dan kegagalan
dalam mengembangkan pendidikan karakter bangsa.
Dalam konteks pendidikan formal di sekolah, salah satu
penyebabnya karena pendidikan di Indonesia lebih
menitikberatkan pada pengembangan intelektual atau
kognitif dan kurang memperhatikan aspek afektif,
sehingga hanya tercetak generasi yang pintar, tetapi
tidak memiliki karakter yang dibutuhkan bangsa. Selain
itu, sistem pendidikan yang top-down, dengan
menempatkan guru untuk mentransfer bahan ajar ke
subjek didik, dan subjek didik hanya menampung apa
yang disampaikan guru tanpa mencoba berpikir lebih
jauh, minimal terjadi proses seleksi secara kritis
(Hamengkubuwon, 2010:3). Russell dan Ratna (2010)
mengemukakan bahwa pada taraf jenjang sekolah dasar,
mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan
karakter pun semisal Pendidikan Pancasila dan
kewarganegaraan pada prakteknya masih sebatas teori
dan, belum menyentuh pada tataran aplikatif. Praktik

29
pendidikan yang cenderung kognitif-intelektualistik,
perlu direvitalisasi sebagai wahana pengembangangan
pendidikan karakter bangsa, pembangunan kecerdasan,
akhlak dan kepribadian peserta didik secara utuh sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional (Sardiman, 2010.
Kedaulatan Rakyat)

Upaya untuk mewujudkan peradaban bangsa melalui


pendidikan karakter, budaya dan moral, tentulah sosok
Ki Hadjar Dewantara menjadi rujukan utama. Bapak
pendidikan bangsa Indonesia ini telah merintis tentang
konsep tri pusat pendidikan yang menyebutkan bahwa
wilayah pendidikan guna membangun konstruksi fisik,
mental, dan spiritual yang handal dan tangguh dimulai
dari; (i) lingkungan keluarga; (ii) lingkungan sekolah;
dan (iii) lingkungan masyarakat. Ketika pendidikan di
lingkungan keluarga mulai sedikit diabaikan dan
dipercayakan pada lingkungan sekolah, serta lingkungan
social yang semakin kehilangan kesadaran bahwa aksi
mereka pada dasarnya memberikan pengaruh yang
cukup besar pada pendidikan seorang individu. Maka

30
lingkungan sekolah dalam hal ini guru menjadi
frontliner dalam peningkatan mutu pendidikan
karakter, budaya dan moral. Sebagai sosok atau peran
guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu dan
ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak
di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta
didik. Guru adalah model bagi anak, sehingga setiap
anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi model
atau contoh baginya. Seorang guru harus selalu
memikirkan perilakunya, karena segala hal yang
dilakukannya akan dijadikan teladan murid-muridnya
dan masyarakat.

Peran guru tidak sekedar sebagai pengajar semata,


pendidik akademis tetapi juga merupakan pendidik
karakter, moral dan budaya bagi siswanya. Guru
haruslah menjadi teladan, seorang model sekaligus
mentor dari anak/siswa di dalam mewujudkan perilaku
yang berkarakter yang meliputi olah pikir, olah hati dan
olah rasa. Masyarakat masih berharap para guru dapat
menampilkan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai

31
moral seperti kejujuran, keadilan, dan mematuhi kode
etik profesional. Lickona (1991), sekolah dan guru
harus mendidik karakter, khususnya melalui pengajaran
yang dapat mengembangkan rasa hormat dan tanggung
jawab. Penanaman dan pengembangan pendidikan
karakter di sekolah menjadi tanggung jawab bersama.
Pendidikan karakter dapat dintegrasikan dalam
pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Setiap mata
pelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai
pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan,
dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan
sehari-hari. Pembelajaran nilai-nilai karakter ini tidak
berhenti pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada
tataran internalisasi, dan pengamalan nyata dalam
kehidupan anak didik sehari-hari di masyarakat. Hal
tersebut sesuai dengan ajaran hidup Ki Hadjar
Dewantara, ―Tringa‖ yang meliputi ngerti, ngrasa, dan
nglakoni, mengingatkan terhadap segala ajaran, cita-cita
hidup yang kita anut diperlukan pengertian, kesadaran
dan kesungguhan dalam pelaksanaanya. Tahu dan
mengerti saja tidak cukup, kalau tidak merasakan,

32
menyadari, dan tidak ada artinya kalau tidak
melaksanakan dan tidak memperjuangkan. Diibaratkan
ilmu tanpa amal seperti pohon kayu yang tidak
berbuah.

Selamat hari Pendidikan Nasional semoga kita mampu


menjadi inspirasi bagi peserta didik kita untuk terus
maju.

33
Guru, Sekolah
dan Kaderisasi Bangsa

Satu hal jarang dan hampir dilupakan oleh guru adalah


peran jangka panjangnya dalam dinamika kehidupan.
Padahal proses pendidikan merupakan proses yang kita
sepakati sebagai bagian membuat bangunan sebuah
negara. Pendidikan merupakan bagian integral dari
penanaman nilai, pembentukan watak diluar tugas
pokoknya sebagai transfer pengetahuan dan teknologi.
Diakui atau tidak sebagian dari kita masih bertanya
tentang ―hak‖ daripada ―kewajiban‖. Meski tidak bisa
kita pungkiri bahwa guru juga merupakan sumber
penghasilan kita.

Namun tentunya kita tidak ingin memperdebatkan hal


tersebut dalam tulisan ini, memaksimalkan peran guru
bagi saya masih belum pernah dilakukan oleh
kebanyakan dari kita. Maksud dari maksimalisasi peran
guru disini adalah bagaimana guru tidak hanya puas

34
dengan capaian pembelajarannya, akan tetapi lebih pada
―bagaimana perilaku siswa yang sudah terbentuk‖.
Sebab pembelajaran adalah sebuah proses perubahan
perilaku, tanpanya pembelajaran hanyalah proses yang
tidak bermakna.

Tanpa melihat kekurangannya pembelajaran yang


terjadi pada era yang lalu telah mampu melahirkan
pemimpin-pemimpin bangsa yang hingga kini mampu
kita teladani. siapakah mereka ? Sebut saja, Bung
Karno, siapakah dia, sejauh ini kita hanya mengenal
beliau sebagai presiden pertama Indonesia, tokoh
proklamasi, tapi jarang diantara kita menilai Bung
Karno sebagai capaian yang luar biasa dari sebuah
proses pendidikan atau pembelajaran.

Ini merupakan kondisi nyata bahwa persepsi kita semua


tentang hasil sebuah proses pembelajaran hanya sebatas
nilai atau prestasi belum sebuah perilaku. Sebuah hal
yang tidak mudah memang, namun bukan berarti

35
mustahil untuk dilakukan bukan? Disinilah pokok
persoalan yang kemudian ingin kita bahas.

Coba kita kaji sebuah konsep sederhana, arti ―kader‖


kader adalah individu yang percaya terhadap teori dan
nilai yang selanjutnya diwujudkan dalam tindakan atau
perilaku. Bayangkan jika seorang siswa mampu bersikap
demikian, tentu sekolah akan lebih dari hari ini
kondisinya. Siapa yang tidak tahu bahwa tugas guru itu
―sulit dan berat‖ tapi apa dengan itu seorang guru harus
―dikasihani‖ dan berkeluh kesah. Beratnya tugas guru
sebenarnya akan lebih mudah jika seorang guru itu
mampu berbagi peran dengan siswanya.

Hal baru yang patut dicoba adalah memberi peran dan


ruang yang lebih besar bagi siswa kita. Perlu kita
memberikan kepada mereka kemampuan untuk mampu
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Menanamkan kepada mereka kecerdasan untuk berfikir
dan bersikap terhadap apa yang dihadapi. Hal ini
pernah ditulis oleh Prof. Zainuddin Maliki sebagai

36
resilent behaviour, individu yang aktif dan mandiri.
Untuk mewujudkan hal tersebut maka seorang guru
perlu membangun sekolahnya sebagai ruang kaderisasi.
Untuk mewujudkan hal tersebut ada beberapa hal yang
harus dilakukan oleh seorang guru. Dalam hal ini guru
harus mampu menjadi pendamping belajar, teladan
yang baik bagi anak didiknya, dan fasilitator sekaligus
terapis terhadap permasalahan anak disekolah.

Melihat kondisi sekarang sejauh ini semua masih


merupakan konsep dan adalah tugas kita untuk
membuktikan sejauhmana peran kita sebagai guru
untuk mewarnai dan menciptakan kader bangsa dari
siswa yang kita tempa dalam pembelajaran di kelas dan
sekolah. Bukan sebuah hal yang mustahil jika hal yang
sulit dapat kita wujudkan sebab tugas yang besar selalu
dimulai dari sebuah langkah. Mari melangkah untuk
sebuah perubahan.

37
Witing Tresno Jalaran Soko
Kulino

Sungguh hingga hari ini saya masih ingat betul betapa


Bu Johana, guru matematika kami saya waktu SMA
memaksa saya dan teman satu kelas untuk mengerjakan
soal matematika dari buku yang menjadi pegangan
waktu itu. Tidak peduli kami suka atau tidak dengan
matematika, semua diperlakukan sama oleh beliau.
Setiap anak harus menyediakan buku tersendiri untuk
mengerjakan semua tugas matematika. Sehingga selain
dari rumus-rumus matematika, kami harus pula
mengingat buku tugas dan catatan yang sewaktu-waktu
akan diperiksa oleh beliau.

Akhirnya saat itu pun tiba, ketika Bu Johana harus


memeriksa setiap catatan dan buku tugas. Tegas,
disiplin dan tanpa kompromistis, adalah tiga kata yang
demikian melekat untuk menjelaskan bagaimana
seorang Bu Johana sebagai guru matematika.

38
Disediakannya waktu satu jam pelajaran penuh, untuk
memeriksa buku catatan dan tugas siswa. Setiap anak
akan dipanggil berdasarkan nomor absensi masing-
masing, untuk mempertanggung jawabkan tugasnya.
Seperti seorang jaksa yang sedang memeriksa, dengan
teliti beliau memeriksa lembar demi lembar buku tugas
kami. Jangan harap ada yang terlewat saat buku tugas
diperiksa Bu Johana, urut tidaknya nomor soal yang
dikerjakan, benar atau salah pekerjaan siswa hingga
nama kode soal dan jumlah soal yang ada dibuku
dengan apa yang ada dibuku tugas siswa tidak akan ada
yang luput untuk diperiksa.

Jika ternyata ada yang tidak lengkap, cubitan yang keras


dibagian perut pasti tidak lupa dihadiahkan oleh Bu
Johana. Namun entah mengapa kami semua bersedia
bertahan tanpa syarat dalam pembelajaran beliau selama
1 tahun. Satu hal yang membanggakan saat itu adalah
untuk pelajaran sesulit matematika, nyaris tidak ada
satupun dari kami yang mendapat nilai jelek.

39
Hari ini saya memahami bahwa pelajaran berharga yang
sebenarnya ingin diajarkan oleh Bu Johana pada kami
adalah tentang pentingnya pendisiplinan diri.
Pemaksaan untuk mengerjakan setiap tugas matematika
yang tidak jarang jumlahnya puluhan, ternyata mampu
membuat kami lebih mudah memahami. Konsep
―learning by doing‖ memang tidak bisa ditinggalkan
begitu saja bagi para guru. Terlebih bagi mereka yang
mengajarkan pelajaran ilmu pasti yang sarat dengan
deretan rumus-rumus. Tanpa latihan yang teratur
deretan rumus itu akan mudah lenyap bergitu saja
ditengah rekaman kognitif yang harus diingat siswa
sehari-hari.

Membiasakan diri
Pepatah jawa pernah mengatakan bahwa ―witing tresno
jalaran soko kulino‖, betapa rasa suka atau minat
seseorang akan muncul dengan sendirinya melalui
sebuah pembiasaan. Prinsip inilah hari ini yang jarang
sekali kita temukan diterapkan oleh guru-guru kita pada
pembelajaran dikelas. Padahal manifestasi falsafah ini

40
lahir dan telah teruji beratus juta tahun sebelum guru-
guru itu lahir. Seorang anak akan cinta dengan buku
saat dia dikenalkan dengan buku sejak dini. Karena
sudah terbiasa maka seorang petani akan dengan rela
bangun dipagi yang dingin untuk berangkat ke sawah
bersua dengan padi yang ditanamnya.

Tentunya membangkitkan minat siswa pada hal yang


bersifat kongkret lebih mudah dari pada kita
mengenalkan konsep materi yang cenderung bersifat
abstrak. Betapa kita tahu bahwa dengan mudahnya anak
kita memintai video game hingga terkadang lupa waktu,
hingga beralamat pada turunnya prestasi belajar si anak
di sekolah. Sungguh kita menyaksikan betapa
persaingan dunia sekolah dengan dunia televisi, yang
selalu mengalahkan dunia sekolah lantaran dunia
sekolah yang membosankan. Anak-anak kita pun akan
menyatakan hal yang sama saat ditanya lebih
membosankan mana antara sekolah dan televisi.

41
Dalam era seperti ini terasa penting sekali
membangkitkan pembelajaran seperti yang diterapkan
Bu Johana diatas. Disini guru tidak perlu memaksa
siswa untuk menerima mentah-mentah materi
pelajaran. Tetapi lebih merupakan upaya guru untuk
membiasakan siswa pada kondisi yang dapat
menstimulus potensi yang dimilikinya. Melalui
pembelajaran yang diterapkan oleh Bu Johana kita
dapat peroleh sebuah pelajaran berharga bahwa tanpa
pemaksaan kedisiplinan tidak akan lahir. Setelah
kedisiplinan terbentuk maka akan terbentuk kebiasaan
dan pada akhirnya kebiasaan akan melahirkan
kebutuhan. Membentuk siswa-siswa yang ―butuh‖
pelajaran bukankah itu tujuan setiap guru, agar siswa
menjadi pribadi yang senantiasa ―haus‖ akan
pengetahuan.

Pembiasaan (habituation) yang dilakukan oleh guru


merupakan proses pembentukan sikap dan perilaku
yang relatif menetap dan otomatis melalui proses
pembelajaran yang berulang-ulang. Menurut Champbell

42
dan Champbell selain bertujuan mengubah perilaku
negatif menjadi positif, pola pembelajaran ini mampu
melahirkan perilaku yang semula tidak dimiliki oleh
seseorang. Disinilah guru berperan untuk memberikan
penguatan- penguatan (reinforcement) kepada siswa
melalui sebuah keteladanan. Sebuah penelitian
membuktikan bahwa, 25% anak memperhatikan
nasihat, 18% melakukan yang sebaliknya, dan 57%
tidak melakukan apa pun. Dari penelitian itu hanya 1
dari 4 anak yang memperhatikan nasihat orangtua dan
guru. Sungguh disini menjadi demikian jelas betapa arti
keteladan seorang guru berperan besar dalam
pembentukan kepribadian siswa.

43
Belajar Dari Puntadewa

Dikisahkan bahwa Prabu Puntadewa didatangi seekor


burung emprit yang meminta perlindungan kepadanya
karena hendak dimakan oleh burung elang yang lebih
perkasa. Si burung emprit yang ketakutan bersembunyi
di balik punggung Prabu Puntadewa ketika burung
elang datang. Elang pun menagih agar diberi burung
emprit pada Prabu Puntadewa. Namun karena sudah
berjanji untuk melindungi si burung emprit, Prabu
Puntadewa menawarkan dirinya untuk dimakan oleh
sang burung elang. Untuk mengganti emprit Prabu
Puntadewa rela dipotong daging tubuhnya oleh burung
elang. hingga seberat burung emprit. Hingga akhirnya
setelah semua bagian tubuh Prabu Puntadewa hingga
hanya tersisa tubuh dan kepalanya, belum juga berat
dagingnya menyamai burung emprit. Hingga akhirnya
Prabu Puntadewa pun berniat memotong kepalanya
agar tubuhnya bisa dimakan burung elang. Namun,
tidak dinyana ternyata burung emprit adalah jelmaan

44
Dewa Indra dan burung elang adalah jelmaan Bathara
Guru yang ingin menguji Prabu Puntadewa.

Dari kisah diatas kita disuguhkan betapa komitmen


seringkali diuji dengan beragam hal. Dalam dunia nyata
dapat kita lihat betapa mudahnya persahabatan putus
karena penghianatan, betapa mudahnya terjadi
perceraian saat perselingkuhan terjadi, betapa
mudahnya pertengkaran saat tidak dipenuhinya sebuah
janji atau hal-hal sepele lainnya. Semua ini lahir dan
disebabkan lantaran satu kata yakni ―komitmen‖.
Betapa kita diajarkan bahwa sosok yang berintegritas
adalah pribadi yang memegang teguh komitmen
kemanusiaannya.

Pada jaman dahulu, ―resi‖ digunakan untuk mengganti


sebutan ―guru‖, namun tidak jauh beda dengan
sekarang sosok resi dan guru kerapkali dianggap sebagai
sosok yang serba tahu, pinunjul dan kaya ilmu. Namun
berbeda dengan guru, resi merupakan manifestasi guru
yang mampu menampilkan citra diri kemanusiaan

45
dalam perilaku dan tutur kata. Hingga apa yang
disabdakan seorang resi tidak terbantahkan dan harus
dilaksanakan. Untuk menampilkan citra diri yang
mencerminkan kemanusiaannya maka setiap orang
harus mengakui hakekat dirinya di dalam masyarakat.
Atau lebih tepatnya, tentang bagaimana peran fungsi
yang harus dijalankan seseorang dimasyarakat, itulah
arti hakekat diri. Seperti kita tahu, seorang pemain bola
tidak akan bermain hebat, jika ia tidak mengakui bahwa
dirinya memang dilahirkan untuk bermain bola. Disini
kita belajar tentang pentingnya penerimaan diri sebelum
melaksanakan sesuatu.

Hakekat Guru
Mengenal hakekat guru tidak jauh beda dengan
mengenal hakekat pemain bola. Untuk menampilkan
kemanusiaannya maka seorang guru harus mengakui
terlebih dahulu keberadaannya sebagai ―pelayan
pendidikan‖ atau ―abdi pendidikan‖. Sebagai seseorang
yang sangat akrab dengan dengan kehidupan siswanya.
mengenal siswanya sebagai pribadi yang haus akan

46
sentuhan nilai-nilai kearifan, kejujuran, kesabaran dan
motivasi diri. Disini profesi guru tidak boleh dianggap
sebagai pilihan kedua, tetapi sebagai panggilan diri
untuk melawan ketidaktahuan siswa. Persoalan
pendidikan tidak hanya seputar anak bodoh dan tidak
bodoh, tetapi lebih pada akar ketidak tahuan setiap
pribadi siswa tersebut tentang model kemanusiaan itu
sendiri.
Untuk itu seorang guru hanya perlu meningkatkan
kepeduliannya terhadap siswa saat ingin menampilkan
model kemanusiaan tersebut. Sekolah dan kelas harus
dimaknai sebagai ruang pertemuan yang ―intens‖,
bukan terkesan ―formalistik‖ seperti hari ini. Betapa
banyak guru yang kemudian tidak mengenal siswanya
satu persatu dan hanya sebatas nomor absennya belaka.
Guru tidak boleh hanya menuntut siswa dengan
tumpukan tugas, namun juga memberi ruang
penghargaan dengan mengkoreksi tugasnya dengan
benar. Dan sesekali memberikan kata-kata magis
pembakar semangat disetiap lembar tugas yang
dikerjakan. Tidak boleh hanya memarahi siswa saat dia

47
melakukan pelanggaran terhadap aturan yang disepakati
bersama, namun juga membangun kepercayaan dan
tanggung jawab diri untuk bertindak berdasarkan nilai-
nilai yang baik. Tidak hanya menutup gerbang dan
komunikasi saat siswa datang terlambat atau mengalami
masalah tetapi juga menjadi teman terbaik bagi siswa
yang mampu memberikannya inspirasi. Tidak semata-
mata egois dengan urusannya sendiri namun lupa
memberikan penjelasan yang cukup atas ketidak tahuan
siswa. Ingatlah bahwa bagaimanapun pintarnya
muridmu, dia tetapkan anak-anak yang butuh
bimbingan guru disampingnya.

Dalam bukunya, Masyarakat yang Sehat, Fromm


menulis, bahaya-bahaya zaman ini adalah perang dan
robotisme. Dimana kebahagiaan menjadi identik
dengan mengkonsumsi barang-barang dengan model
keluaran terakhir, menikmati musik, film-film,
kesenangan seks, minuman keras, rokok, dst, lalu teler.
Untuk itu guru perlu memberikan arti kebahagiaan bagi
para siswanya. Arti harapan yang ditawarkan oleh guru

48
tersebut tidak lain adalah untuk belajar dan terus belajar
untuk menghargai hidup dan kehidupan.

Dari kisah Prabu Puntadewa dan burung emprit


sebenarnya kita belajar untuk berkomitmen pada
kemanusiaan kita sendiri. Betapa ucapan yang sudah
diucapkan merupakan komitmen yang sepadan dengan
nyawa diri, hingga tidak ada artinya apa yang dimiliki
apabila tidak mampu untuk berkomitmen dengan
sebenar-benarnya. Betapa kebahagiaan pribadi itu hadir
saat pribadi itu mampu membahagiakan orang lain,
dengan peduli kita membahagiakan diri sendiri. Konsep
ini tampak relevan sekali dengan apa yang coba kita
terapkan disekolah kita hari ini sebagai pelayan prima
kepada anak didik.

Dalam konsep ini ―kepedulian‖ yang diwujudkan dalam


tindakan, menjadi kata kunci pelayanan pendidikan
yang baik bagi siswa. Seorang guru harus mampu
mengedepankan perhatian (attention) yang ditunjang
oleh kemampuan melayani (service ability) dan tampilan

49
layanan (service appearance) yang baik kepada siswanya.
Disinilah peran guru untuk memanusiakan siswanya,
sebab pendidikan hanya akan bermuara pada satu hal
yakni pada kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan
disekolah ditandai oleh relasi yang hidup diantara guru
dan siswa, diwarnai dengan keceriaan dan kegembiraan
yang tidak berkesudahan. Seperti diawal tahun saat
perjumpaan dengan siswa, mereka berkata pada
gurunya: ‖ Bapak, boleh aku minta tolong
diajari…bantu aku memahami karena bapak kan
katanya guru paling pandai seantero negeri.

50
Mengajarkan Konsistensi

Tempo hari saya menerima keluhan dari siswa karena


tugas yang dikerjakannya dibuku hanya dikembalikan
dalam kondisi ditandatangani saja oleh guru. Sepontan
saja waktu itu saya jawab, ―mungkin pekerjaan kalian
sama semua alias ―contekan‖ karena itu guru hanya
memberikan tanda tangan‖. Siswa hanya menggerutu
saja mendengar jawaban saya. Tentu ada alasan
mengapa guru bertindak demikian, enggan mengkoreksi
pekerjaan siswa dengan dalih jawaban yang seragam.
Tetapi apakah semua siswa akan berlaku hal yang sama,
padahal kita tahu praktek kecurangan biasanya hanya
dilakukan oleh beberapa siswa, sedangkan siswa yang
lain belum tentu berbuat yang sama. Apakah guru harus
memberikan perlakukan yang sama kepada mereka ?
coba kita runtut kejadian ini dari aktivitas sekolah setiap
hari untuk menjawabnya.
Sebagai guru, saya juga merasakan betapa
menumpuknya tugas-tugas administratif hingga

51
tanggung jawab koreksi tugas siswa yang tidak jarang
menumpuk dengan tanggung jawab lainnya diluar tugas
sebagai guru di sekolah. Pemberian tugas sering terjadi
karena guru memiliki kesibukan lain sehingga tidak bisa
hadir dikelas secara langsung. Berharap siswa berlatih
mandiri melalui tugas yang diberikan merupakan tujuan
lain yang ingin dilakukan guru selain tujuan diatas.
Guru sungguh tidak dapat kompromistis untuk urusan
tugas, kapan tugas harus dikumpulkan adalah deadline
yang berarti ―harga mati‖. Tidak jarang keterlambatan
sering diartikan sebagai ―pengurangan nilai‖. Siswa yang
mengeluh karena guru yang lain juga memberikan tugas
yang demikian banyaknya, dicap sebagai siswa yang
terlalu ―banyak omong‖. Dan pasti akan dicatat guru
sebagai kandidat peraih hadiah ―nobel‖ (nomor belek
atau nilai jelek).
Bias penilaian oleh guru kepada siswa memang sering
terjadi, terkesan tidak adil bagi siswa jika prestasi siswa
diukur dari kesan baik buruk komunikasi siswa dengan
guru. Menghukum siswa yang kritis dengan nilai yang
buruk sama artinya dengan menutup ruang kebebasan

52
atau demokrasi yang kita sepakati harus ada dan hidup
didunia pendidikan. Setidaknya sekolah mampu
menjadi media penanaman nialai-nilai demokrasi dalam
diri siswa sejak dini. Mengajarkan siswa sesuatu tentu
akan lebih mudah dengan mendidik siswa akan sesuatu.
Guru sering lupa bahwa pendidikan tidak hanya sebatas
tugas dan koreksi saja, tetapi juga berkaitan dengan
penanaman nilai-nilai kepribadian. Kita tahu betapa
mudahnya memberikan ancaman dibandingkan
memberikan sebuah pembelajaran. Melalui tugas
sebenarnya terdapat ruang bagi guru untuk
berkomunikasi dengan siswa secara tidak langsung.
coretan beserta catatan adalah bentuk dari komunikasi
tersebut. Melalui catatan dan coretan pada tugas yang
telah dikumpulkan siswa seorang guru telah memberi
bukti bahwa ia telah melakukan konsistensi akan tugas
dan tanggung jawabnya. Konsistensi sendiri tidak hanya
sebatas perilaku, tetapi ia merupakan kata kunci
keberhasilan bangsa Jepang yang telah diterapkan
selama bertahun-tahun yang lalu. Dan menurut Max
Weber konsistensi ini lahir dari nilai-nilai ajaran sintho

53
yang dipegang teguh masyarakat Jepang. Oleh sebab
itu, guru perlu memegang teguh nilai-nilai pedagogik,
yang mensyaratkan komunikasi yang manusiawi antara
guru dan siswa.

Problem Konsistensi
Konsistensi memang tidak akan muncul tiba-tiba, perlu
waktu dan pembiasaan sehingga seseorang dapat
berlaku konsisten. Semangat inilah yang sebenarnya
harus dibangun disekolah dan dimulai oleh guru.
Konsistensi yang berarti tanpa perbedaan atau
kontradiksi ini hanya bisa diajarkan dari sebuah
keteladanan. Saat kita ingin agar siswa kita mampu
belajar tentang tanggung jawab, maka akan dirasa perlu
adanya ―reward‖ dan ―punishment‖. Tentu kita akan
mengatakan tidak adil, jika sesorang yang tidak
melakukan apa-apa akan diberikan ―reward‖. Setiap
tindakan yang dilakukan sesorang akan berdampak baik
bagi dirinya maupun orang lain terlepas apa yang
dilakukan itu baik atau buruk. Dalam hal ini sungguh
perilaku guru yang konsisten atas apa yang

54
disampaikannya, akan membentuk pribadi siswa yang
dididiknya menjadi konsisten pula. Tentunya perilaku
untuk memperlakukan tugas siswa dengan sebagaimana
mestinya.

Untuk semua tugas siswa, guru harus meluangkan


waktu untuk memeriksanya, tidak peduli sesibuk
apapun guru itu. Kesediaan meluangkan waktu untuk
sekedar memeriksa pekerjaan siswa adalah bentuk
kejujuran guru dalam mengartikan pentingnya
keberadaan siswa disekolah. Guru tidak akan berarti
apa-apa tanpa adanya siswa, demikian sebaliknya siswa
tidak akan bisa melakukan yang benar apabila tidak
dididik oleh guru dengan konsisten. Kita tahu betapa
pentingnya sebuah penghargaan kepada terhadap
potensi seseorang, hingga dia mampu mengembangkan
semua potensi yang dia miliki.

Kembali pada topik tentang tugas siswa yang ada diawal


tulisan ini, kesediaan guru untuk memeriksa tugas siswa
tanpa kita sadari memiliki dampak pedagogik yang

55
besar. Betapa dengan meluangkan waktu untuk
memeriksa lembar demi lembar tugas siswa, guru telah
memberikan penghargaan yang besar atas kerja keras
yang lahir dari potensi siswa itu sendiri. Urusan
men‖copy‖ pekerjaan teman adalah permasalahan yang
dapat disampaikan guru secara terbuka dikelas.

Kehidupan sering mengajarkan pada kita bahwa apa


yang kita lakukan adalah cermin pribadi kita sendiri.
Seringkali kita ingin dihargai orang lain tetapi engan
menghargai orang lain. Padahal saat kita memberikan
penghargaan kepada seseorang tidak jarang
penghormatan ibarat pasukan kepada jenderal kita
terima. Tentunya sebagai guru hal inilah yang ingin kita
ajarkan. Bahwa penghargaan akan datang pada diri
seseorang manakala seseorang mampu konsisten atas
apa yang dilakukannya. Jujur dalam menyelesaikan
tugas dalam arti ―mengerjakan sendiri‖ tugas itu, adalah
yang kemudian harus dibangun oleh guru pada diri
siswa jika terbukti mereka melakukan tindakan tidak
―sportif‖. Namun sebelum itu semua dilakukan, setiap

56
pribadi guru harus mengajar dirinya untuk konsisten
atas tugas yang menjadi tanggung jawabnya.

57
Manajemen Tutur dan Kapur

Isyarat tentang perlunya guru menjadi profesional,


kerapkali ditanggapi guru dengan setengah hati. Mulai
dari praktek yang serba boleh alias ―jalan pintas‖,
menjadi hal yang wajar untuk diterapkan guru hari ini.
Mulai dari pembuatan perangkat pembelajaran,
portofolio sertifikasi hingga karya tulis kenaikan
pangkat, semua diberikan pada ―penjahit‖. Anda
sebagai guru tentu tahu siapa yang saya maksud dengan
―penjahit‖ disini, mereka yang membantu membuatkan
guru apa-apa yang mereka butuhkan terkait
kepentingan tertentu. Tidak jarang, bahkan sering
mereka adalah ―oknum guru‖ itu sendiri. Cukup ironis
memang, semangat solidaritas sesama profesi sering
menjadi ―justifikasi‖, perilaku yang sebenarnya jauh dari
semangat seorang pendidikan. Padahal setiap hari kita
mengkampanyekan kejujuran dikelas-kelas didepan
anak didik kita tetapi mengapa kita tidak mau
―menerapkannya‖ ?

58
Menjadi profesional sendiri bukan hal yang sulit, tetapi
juga tidak mudah untuk dilaksanakan butuh
―perjuangan‖. WS Rendra pun mengatakan bahwa
perjuangan sendiri adalah pelaksanaan dari kata-kata.
Dengan semua potensi yang sudah dimilikinya,
sebenarnya cukup bagi guru untuk menjadi
―profesional‖. Upaya yang harus dilakukan oleh guru
hanyalah bagaimana mengelola semua potensi yang ada
tersebut dengan baik. Istilah ―‗mengelola‖ kerapkali
disebut orang sebagai ―manage‖ atau manajemen, seni
mengelola. Lalu apa yang harus dikelola oleh guru
untuk menjadi profesional ?

Manajemen ―tutur dan kapur‖, setidaknya dua hal ini


yang harus dikuasai seorang guru profesional.
Manajemen tutur, terkait dengan penguasaan materi
dan bagaimana ―mentransfernya‖ dalam bahasa siswa.
Dan ―manajemen kapur‖, tentang bagaimana
mengilustrasikannya dalam tulisan guru dipapan tulis
dan atau media-media lain yang digunakan guru saat
mengajar di kelas.

59
Manajemen Tutur
Aspek pertama yang dikuasai dalam manajemen tutur
adalah keterampilan lisan menjelaskan materi. Untuk
dapat menguasai materi tentu tidak lain kecuali guru
harus rajin membaca. Membaca tidak hanya sebatas
pada buku, tetapi juga dinamika siswa. Mengenali
pribadi setiap siswa dan bagaimana berkomunikasi
dengan mereka, apa yang membuat siswa bersemangat,
apa yang membuat mereka bosan, apa yang membuat
mereka sedih. Rentetan kegiatan ini tentu tidak akan
dapat dilakukan oleh seorang guru, kecuali guru telah
mampu membangun komunikasi atau proses
pendidikan yang manusiawi dengan siswanya.
Memanusiakan manusia bukankah itu tujuan
sebenarnya dari sebuah proses pendidikan dimanapun
juga.

Proses pendidikan yang manusiawi tentu tidak akan


terjadi jika guru menakuti-menakuti siswanya dengan
tugas, nilai, ulangan dadakan, hanya untuk menjinakkan
siswanya. Jamak kita lihat, banya guru merasa senang

60
apabila memiliki siswa yang patuh, yang disuruh ke
kanan ke kanan, disuruh ke kiri ke kiri kita. Jika
demikian, apakah sebagai guru kita sudah berhasil ?
Padahal sebenarnya kita sudah mematikan bakat
terbesar anak kita, yakni ―kreativitas‖. Sedangkan
―kreativitas‘ adalah modal dasar seseorang untuk hidup
ditengah masyarakat beserta permasalahannya.

Komunikasi memang menempati porsi yang besar


dalam proses pendidikan, sehingga ―manajemen tutur‖
harus benar-benar dikuasai guru. Proses ―tutur‖ oleh
guru sendiri, juga merupakan proses penanaman nilai-
nilai kemanusian pada diri siswa sebagai proses menjadi
manusia sempurna. Siapa yang akan menyangkal
bahwa, ―tutur‖ mampu menjadi pembangkit semangat
nasionalisme dan solidaritas bangsa ini, sehingga
bersatu padu untuk berjuang bersama. Bung Tomo,
hanya berpidato melalui radio untuk membangkitkan
semangat juang arek-arek suroboyo, hingga terjadi
perobekan Hotel Yamato dan kini kita peringati sebagai
hari Pahlawan 10 November 1945. Seandainya guru

61
mampu, memiliki hal yang sama maka tentu akan lahir
pribadi-pribadi siswa yang penuh semangat pantang
menyerah demi meraih cita-citanya.

Manajemen Kapur
Ilustrasi materi melalui media dan tulisan merupakan
penguatan dari apa yang telah dijelaskan oleh guru
kepada siswa. Jika suatu ketika siswa lupa, maka tulisan-
tulisan ini akan menuntun siswa menemukan jawaban
dari pertanyaan yang ada dibenaknya. Kapur tulis,
merupakan alat didunia pendidikan yang telah menjadi
saksi hidup perjalanan pendidikan bangsa ini, hingga
kemudian tergeser oleh teknologi yang lebih canggih
yang mampu menampilkan beragam materi dengan
lebih jelas. Namun tetaplah apapun itu, mau kapur atau
teknologi canggih semua butuh guru sebagai operator
untuk menjalankannya. Disini jelas, pentingnya guru
untuk belajar sedikit hal tentang teknologi, hingga dapat
menjangkau siswanya yang mungkin telah jauh mahir
dari padanya untuk urusan teknologi.

62
Media pembelajaran mulai dari LCD, power point,
internet semua semuanya harus dimaknai sebagai alat
bantu yang memudahkan guru menyampaikan materi
kepada siswa. Adalah tugas guru melalui media tersebut
untuk dapat menjadikan m‖materi yang sulit‖ menjadi
―materi yang mudah‖ untuk difahami siswa. Materi
yang kerapkali dianggap ―berat‖ bagi siswa untuk
dikuasai oleh siswa ‖ menjadi mudah‖ setelah dijelaskan
guru melalui media yang dibuatnya.

Dalam manajemen tutur, guru tidak harus


menggunakan media yang ―mahal‖, tetapi seyogyanya
mampu membantu guru dalam pembelajaran di kelas.
Tentu kita masih ingat almarhum Tjandra Heru Awan,
guru Fisika SMAN 10 Malang, yang diundang untuk
tampil di KickAndy, sebuah acara talkshow yang
ditayangkan MetroTV pada tanggal 29 November 2007.
Pak Tjandra sungguh guru yang sangat berbakat
mengubah barang bekas menjadi alat peraga pelajaran
Fisika dan berhasil menarik minat siswa untuk belajar

63
fisika, padahal kita tahu fisika sering dianggap materi
yang sulit bagi sebagian besar siswa.

Mulai berbenah
Peran ―tutur dan kapur‖ dalam dunia pendidikan
memang tidak tergantikan, seolah menjadi harga mati.
Namun kehadiran guru ditengah-tengah siswa sungguh
lebih tidak dapat tergantikan. Keberadaan buku, atau
bahkan modul materi yang disusun oleh guru itu sendiri
akan hanya menjadi ―benda mati‖, jika tidak ada lisan
guru yang menuturkannya kepada siswa. Tutur atau
lisan guru layaknya ruh yang menghidupkan lembaran
kertas yang bertuliskan kalimat-kalimat ilmiah dan
menjadikannya hidup didepan siswa. Melalui lisan ini
guru memainkan imajinasi siswanya ke tempat yang
indah, dimana mimpi mereka bersemai. Hingga
perjumpaan dengan guru menjadi penambah semangat
mereka untuk mencari lazuardi keilmuan yang demikian
luas.

64
Semangat dan motivasi siswa tentu hanya akan muncul
jika guru menguasai manajemen tutur dan kapur guru,
oleh sebab itu tidak ada alasan lagi bahwa guru harus
berbenah diri. Guru harus mulai memperbanyak koleksi
pustakanya. Menyempatkan waktu untuk rutin
membaca dan membuat catatan kecil atas apa yang
dibacanya. Hingga kemudian disampaikan kepada siswa
hingga mampu menjadi ―penyemangat‖ mereka kelak.
Jika bukan mulai dari sekarang kapan lagi guru akan
berbenah ?

65
Memulai Perubahan

66
Memaknai Pendidikan Sebagai
Sistem Organik

Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara diartikan


sebagai daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya
budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran
(intellect) dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh
dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan
hidup anak-anak kita. Pendidikan karakter merupakan
bagian penting dan hendaknya terintegral dalam
perilaku pendidikan di negara ini. Namun menilik fakta
pelaksanaan pendidikan yang selama ini di Indonesia
sepertinya belum mengarah kepada pembentukan
karakter sebagaimana jati diri bangsa Indonesia dan
bahkan cenderung menurun.

Sedangkan John Dewey dalam bukunya yang berjudul


Democracy and Education John Dewey
mengemukakan empat konsep pokok dalam belajar
yang harus dilalui oleh seorang pembelajar sehingga
67
dapat menjadi manusia yang memiliki karakter dan
berperilaku sehat. Keempat aspek tersebut adalah: (1)
Learning to know, (2) Learning to do, (3) Learning to
be, dan (4) Learning to live together. Dua konsep
terakhir sangat dekat dengan upaya pendidikan karakter
dan itulah corak akhir dari kehidupan manusia.
Sedangkan untuk mencapai dua yang terakhir, maka
siswa perlu melewati dua jenis belajar sebelumnya yaitu
learning to know dan learning to do.

Ditambahkan oleh Jacques Delors( 1996) dalam


bukunya: Learning : The Treasure Within, menulis
bahwa the essential features of basic education that
teaches pupils how to improve their lives through
knowledge, through experiment, and through the
development of their own personal cultures are
preserved. Hal ini mengandung makna bahwa
pendidikan itu hanya akan bermakna jika pembelajar
selain memiliki kemampuan otak, juga memiliki
kemampuan memaknai nilai-nilai dari belajarnya.

68
Mencermati konsep dasar pendidikan diatas,
permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia yang salah satunya adalah rendahnya mutu
pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan,
khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai
usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu
pendidikan nasional, misalnya pengembangan
kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi
guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat
pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan
prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu
manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai
indikator mutu pendidikan belum menunjukan
peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di
kota-kota, menunjukan peningkatan mutu pendidikan
yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya
masih memprihatinkan.

Salah satu faktor yang menyebabkannya adalah


kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional
menggunakan pendekatan education function atau

69
input-output analisys yang tidak dilaksanakan secara
konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga
pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang
apabila dipenuhi semua input (masukan) yang
diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka
lembaga ini akan menghasilkan output yang
dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa
apabila input seperti pelatihan guru, pengadaan buku
dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana
pendidikan lainnya, dipenuhi, maka mutu pendidikan
(output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan,
mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi.
Mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan
pendekatan educational production function terlalu
memusatkan pada input pendidikan dan kurang
memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal,
proses pendidikan sangat menentukan output
pendidikan.

Konsepsi input dan output pendidikan sejauh ini


merupakan gambaran mutu pendidikan adalah

70
gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang
atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam
memuaskan kebutuhan yang diharapkan atau yang
tersirat. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu
mencakup input, proses, dan output pendidikan.

Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus


tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya
proses. Sesuatu yang dimaksud berupa sumberdaya dan
perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai
pemandu bagi berlangsunnya proses. Input sumber
daya meliputi sumberdaya manusia (kepala sekolah,
guru termasuk guru BP, karyawan, siswa) dan
sumberdaya selebihnya (peralatan, perlengkapan, uang,
bahan, dsb.). Input perangkat lunak meliputi struktur
organisasi sekolah, peraturan perundang-undangan,
deskripsi tugas, rencana, program, dsb. Input harapan-
harapan berupa visi, misi, tujuan, dan sasaran- sasaran
yang ingin dicapai oleh sekolah. Kesiapan input sangat
diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik.
Oleh karena itu, tinggi rendahnya mutu input dapat

71
diukur dari tingkat kesiapan input. Makin tinggi tingkat
kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.
Proses Pendidikan merupakan berubahnya sesuatu
menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh
terhadap berlangsungnya proses disebut input
sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output.
Dalam pendidikan bersekala mikro (ditingkat sekolah),
proses yang dimaksud adalah proses pengambilan
keputusan, proses yang dimaksud adalah proses
pengembilan keputusan, proses pengelolaan
kelembagaan, proses pengelolaan program, proses
belajar mengajar, dan proses monitoring dan evaluasi,
dengan catatan bahwa proses belajar memiliki tingkat
kepentingan tertinggi dibanding dengan proses- proses
lainnya.

Proses dikatakan bermutu tinggi apabila


pengkoordinasian dan penyerasian serta pemaduan
input sekolah (guru, siswa, kurikulum, uang, peralatan
dsb) dilakukan secara harmonis, sehingganya mampu
menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan

72
(enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan
minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan
peserta didik. Kata memberdaykan mengandung arti
bahwa peserta didik tidak sekadar menguasai
pengetahuan yang diajarkan oleh gurunya, akan tetapi
pengetahuan tersebut juga telah menjadi muatan nurani
peserta didik, dihayati, diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari dan lebih penting lagi peserta didik tersebut
mampu belajar secara terus menerus (mampu
mengembangkan dirinya).

Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah.


Kinerja sekolah adalah prestasi sekolah yang dihasilkan
dari proses/perilaku sekolah. Kinerja sekolah dapat
diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya,
efesiendinya, inovasinya, kualitas kehidupan kerjanya
dan moral kerjanya. Khusus yang berkaitan dengan
mutu output sekolah, dapat dijelaskan bahwa output
sekolah dikatakan berkualitas/bermutu tinggi jika
prestasi sekolah, khusunya prestasi belajar siswa,
menunjukkan pencapaian yang tinggi dalam : (1)

73
prestasi akademik, berupa nilai ulangan umum, UNAS,
karya ilmiah, lomba akademik, dan (2) prestasi non-
akademik, seperti misalnya IMTAQ, kejujuran,
kesopanan, olah raga, kesnian, keterampilan kejujuran,
dan kegiatan-kegiatan ektsrakurikuler lainnya. Mutu
sekolah dipengaruhi oleh banyak tahapan kegiatan yang
saling berhubungan (proses) seperti misalnya
perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan.

Sehingga kesimpulannya adalah bukan konsepsi input


output yang salah namun cara pandang atau fokus dari
pengembangan pendidikan yang selama ini berjalan.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa pelaksanaan
pendidikan terlalu terfokus pada input (berapa siswa
yang bersekolah) dan output (berapa siswa yang lulus
UNAS). Kedepan ,perlu fokus itu lebih pada
pelaksanaan (proses) pendidikan disekolah, tentang
bagaimana pembelajaran dilaksanakan, media
pembelajaran, dan ketersediaan sumber belajar bagi
siswa. Sekaligus sejauhmana kompetensi guru dan

74
tenaga pengajar lainnya beserta alat evaluasi proses
pembelajaran yang dilakukan sekolah.

Untuk memulai hal tersebut perbaikan awal yang harus


dilakukan adalah pembenahan pola manajemen
sekolah. Dalam pada pola lama, tugas dan fungsi
sekolah lebih pada melaksanakan program dari pada
mengambil inisiatif merumuskan dan melaksanakan
program peningkatan mutu yang dibuat sendiri oleh
sekolah. Sedang pada Pola Baru, sekolah memiliki
wewenang lebih besar dalam pengelolan lembaganya,
pengambilan keputusan dilakukan secara partisipasif
dan partisipasi masyarakt makin besar, sekolah lebih
luwes dalam mengelola lembaganya, pendekatan
profesionalisme lebih diutamakan dari pada pendekatan
birokrasi, pengelolaan sekolah lebih desentralistik,
perubahan sekolah didorong oleh motivasi diri sekolah
dari pada diatur dari luar sekolah, regulasi pendidikan
lebih sederhana peranan pusat bergesr dari mengontrol
menjadi mempengaruhi dan dari mengarahkan ke
memfasilitasi, dari menghindari resiko menjadi

75
mengolah resiko, pengunaan uang lebih efesien karena
sisa anggaran tahun ini dapat digunakan untuk anggaran
tahun depan (Effesiensi-based budgeting), lebih
mengutamakan teamwork, informasi terbagi ke semua
warga sekolah, lebih mengutamakan pemberdayaan,
dan struktur organisasi lebih datar sehingga lebih
efesien.

Pendidikan harus dimaknai sebagai sistemik-organik,


menekankan bahwa proses pendidikan formal harus
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: Pertama, pendidikan
lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning)
daripada mengajar (teaching). Kedua, pendidikan
diorganisasi dalam suatu struktur yang fleksibel. Ketiga,
pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai
individu yang memiliki karakteristik khusus dan
mandiri. Keempat, pendidikan merupakan proses yang
berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan
lingkungan. Sehingga pada gilirannya pendidikan dapat
menjadi jawaban atas permasalahan yang ada.

76
Membangun Gerakan Moral
di Sekolah

Ada topik menarik dirapat tinjauan manajemen di


sekolah siang itu, yang membuat semua orang
bersemangat sekaligus bertanya-tanya. Sejatinya sebuah
rapat tinjauan manajemen, merupakan ruang evaluasi
bersama tentang capaian kinerja sekolah sekaligus
membangun komitmen guna melakukan perbaikan dan
penataan terhadap beberapa hal yang dirasa belum
tercapai. Namun topik tentang GAM yang merupakan
kepanjangan dari ―Gerakan Anti Menyontek‖
dipenghujung akhir rapat ini tampaknya telah
memberikan arti baru rapat tinjauan manajemen. Bukan
hanya berkisar pada pengungkapan hasil audit tim ISO,
persentase dan grafik, dan keluh kesah yang berujung
pada tuntutan kenaikan kesejahteraan, tetapi juga
membahas tentang tema yang hari ini sering dilupakan
banyak sekolah yakni ―gerakan moral‖.

77
―Ada permasalahan serius di sekolah ini Bapak dan Ibu
guru, ada GAM di sekolah. Anak-anak kita akan
terpecah belah, murid-murid kita akan berselisih.
Ketika anak-anak sepakat dengan GAM, mereka harus
memakai PIN bertuliskan ―Pejuang GAM‖. Apa itu
GAM, ―Gerakan Anti Menyontek‖ apa itu, semua
hanya akan menanamkan benih-benih perpecahan. Ini
perbuatan orang-orang yang melanggar komitmen kita
sesama guru. Mereka ingin kita sesama guru tidak lagi
―kompak‖, lalu apa kita akan berdiam diri…. ucap Pak
Nyoto seorang guru agama, sesaat sebelum
memberikan doa penutup. Kami semua yang semula
sudah tidak antusias lagi mengikuti detik-detik akhir
paparan ISO lantaran bahan bakar yang sudah menipis
dan gempuran orasi yang menjenuhkan dan terus saja
memaksa telinga untuk didengarkan. Seketika itu kami
terjaga dan waspada…‖Ada apa ini‖ kata seorang guru
penuh tanda tanya.

Suasana rapat siang itu, sontak menjadi lebih gaduh


dibandingkan selingan tepuk tangan saat ada peserta

78
bertanya tentang kesejahteraan, dan gemuruh guru-guru
yang berbicara sendiri seperti lebih pakar dibandingkan
yang didepan. Atau bahkan tawa ceria saat cerita-cerita
lucu dan janji-janji perubahan dari kepala sekolah baru
diucapkan. Kami semua waktu itu menunggu sebuah
penjelasan….

―Sebenarnya waktu mendengar GAM dari Bu Umi


pertama kali dan konsep moral yang dibawa, saya
langsung mengijinkan. Silahkan saja, idenya bagus.
Tentunya ini tidak jauh beda denga slogan CUK yang
artinya ―calon usahawan ulet dan kreatif‖ yang dapat
berkonotasi negatif karena identik dengan apa yang
disebut orang Jawa Timur sebagai‖misuh‖ begitu ucap
kepala sekolah baru sekaligus berusaha menguasai
keadaan. ―Kita tentunya tidak perlu memperselisihkan
GAM (Gerakan Anti Menyontek) dengan hal ini karena
tentunya bersifat relatif‖, demikian lanjut beliau.
―Mohon maaf Bapak kepala sekolah, tampaknya saya
perlu memberikan klarifikasi terkait dengan hal ini‖
demikian ucap Bu Umi, guru yang dimaksud dalam

79
pernyataan kepala sekolah tadi.‖Bapak Ibu guru, GAM
atau Gerakan Anti Menyontek‖ adalah ide saya. Saya
prihatin dengan maraknya perilaku menyontek
dikalangan anak-anak kita. Bukankah dengan
menyontek mereka menjadi terbiasa berpola pikir
instan, sehingga pada akhirnya mereka tidak lagi
mengerti tentang pentingnya nilai-nilai bekerja keras.
Padahal ―pola pikir instan‖ hanya akan menjadi awal
dari tindakan ―korupsi‖. Lalu, apakah kita akan diam
saja dengan ini semua!!. Saya tidak pernah memaksa
anak-anak kita untuk memakai PIN, tetapi kesadaran
nurani yang mendorong mereka berbuat demikian.
Setiap mereka yang memakai PIN, berarti mereka
berkomitmen untuk ―jujur‖, dengan tidak memberikan
contekan kepada temannya saat ujian. Saya tidak berniat
mempecah belah anak-anak kita, PIN hanya menjadi
sarana saya untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran dan
sportivitas kepada anak-anak kita, demikian pernyataan
Bu Umi menanggapi keberatan dari Pak Nyoto yang
juga seorang guru agama.

80
Tentu, keterkejutan kita melihat perdebatan ini adalah
perselisihan antara seorang guru agama dengan seorang
guru. Bagaimana bisa terjadi ketidaksepakatan seorang
guru agama, terhadap gerakan anti menyontek yang
merupakan gerakan moral. Gerakan ini lahir dari
maraknya budaya menyontek yang seolah telah
menyekap anak-anak kita tanpa memberikan pilihan
lain kecuali melakukannya. Bukan rahasia lagi, jika
hingga UNAS anak-anak kita harus ―bekerjasama‖
untuk mendapatkan nilai tinggi. Namun bukan
ketidaksepakatan ini yang akan dibahas dalam tulisan
ini, tetapi tentang peran guru dalam gerakan moral
disekolah.

Nan Lin (1992) menyebutkan bahwa gerakan moral


merupakan upaya kolektif untuk memajukan atau
melawan perubahan dalam sebuah masyarakat atau
kelompok. Melihat definisi ini, rasanya cukup untuk
mengenali bahwa GAM merupakan bentuk gerakan
moral. Hal ini mengingat GAM ditujukan untuk
memajukan sekolah dengan merubah pola pikir siswa

81
untuk tidak lagi menyontek. Mengkaitkan sekolah
dengan gerakan moral, sungguh merupakan hal yang
sangat jarang dilakukan oleh kita di sekolah. Inilah yang
menyebabkan Visi dan Misi terkadang hanya tulisan
belaka yang nyaris tidak pernah ditanamkan pada setiap
pribadi yang ada disekolah.

Membangun gerakan moral di sekolah dapat dilakukan


dengan banyak hal, yang paling sederhana adalah
kegiatan pengumpulan dana yang rutin dilakukan setiap
hari jum‘at. Tentu hal ini akan lebih bermakna jika
siswa dilibatkan dalam kegiatan bakti sosial sebagai
bentuk kearifan sosial (practical wisdom). Apa yang
dicanangkan oleh pemerintah dengan ―pendidikan
karakter‖, tentu akan berjalan efektif apabila sekolah
dapat memperkaya ―kearifan sosial‖ dalam benak
setiap siswa.

Menerapkan pendidikan karakter tentu tidak akan


semudah membalikkan tangan, terlebih ditengah para
pendidik yang tersekap tugas-tugas administratif. Jika

82
pendidikan karakter berarti suatu cara untuk
memahamkan siswa tentang moral atau berperilaku
yang baik. Tentu akan lebih mudah, apabila kita
memberikan pengalaman langsung tentang moral atau
perilaku yang baik, dengan sepenuhnya melibatkan
pemikiran dan peran aktif siswa. Daripada kita
melakukan hal yang tidak mungkin dengan
menyeragamkan nilai-nilai moral dan mengajarkannya
kepada anak-anak kita, sebab nilai moral bersifat relatif
ditiap pribadi.

Menghadapkan siswa dengan permasalahan moral sama


artinya dengan membelajarkan mereka untuk bersikap
aktif dan positif adalah hal yang utama ingin dicapai
melalui gerakan anti menyontek. Senada dengan hal ini,
membelajarkan siswa untuk bersikap terhadap
permasalahan moral, akan memperkaya ―kearifan
sosial‖ dalam benak mereka dan ini berarti pula
menanamkan kecerdasan emosional yang kuat bagi
mereka. Lebih jauh, esensi pendidikan sebagai
penyiapan anak-anak kita untuk hidup dimasyarakat

83
telah pula tercapai jika kita mau memperkaya ―kearifan
sosial‖ ditiap pribadi, dimulai dari guru .

Kembali pada perdebatan diatas, tentunya Pak Nyoto


tidak berarti tidak sepakat dengan gerakan anti
menyontek. Hal yang sebenarnya ingin beliau
sampaikan adalah bahwa ada hal lain yang tidak kalah
penting selain gerakan moral, yakni untuk menjaga
gerakan moral yang melibatkan anak didik kita untuk
tidak ditunggangi kepentingan lain. Gerakan moral
disekolah haruslah tetap ditempatkan pada fungsinya
sebagai penanaman nilai-nilai moralitas yang baik pada
anak didik kita, bukan yang lain. Sebab anak-anak kita
tetaplah anak-anak yang tetap membutuhkan gurunya
untuk dididik menjadi pribadi yang kuat. Seperti pada
akhirnya, Bu Umi mengatakan bahwa ―kini GAM
sudah tidak ada lagi disekolah, karena setiap anak telah
mampu mengatakan bahwa ―Aku Tidak Menyontek‖
dari hatinya.

84
Pembelajaran Tanpa Verbalisme

Masih ingat Phi bukan ? benar sekali ―lingkaran‖. Phi


erat sekali dengan lingkaran. 3,14 angka Phi yang sakral
itu tahukah darimana…seketika siswa dikelas itu
terdiam. ―Ya dari sananya begitu Pak!!‖ jawab seorang
siswa sambil diikuti tawa teman-teman kelasnya.
Padahal kita tahu Phi adalah hasil dari keliling dibagi
diameter. Jika diameter 7 cm pasti kelilingnya 22cm dan
jika keliling 44 cm pasti diameternya 14 cm contoh
keliling 44cm dibagi 14cm sama dgn 3,14285714 cm
jika dibaca 2desimal 3,14 cm jika dibaca pecahan 22/7.
Atau jika kita lebih yakin dengan membuat lingkaran
berdiameter 7 cm, kemudian anda bagi menjadi 22
garis. Hal ini dilakukan untuk memastikan apakah
keliling 22 cm pasti setiap garis adalah 1cm, bagaimana
jadi benar keliling 22 cm kan‖. Demikian percakapan
seorang guru matematika dengan murid-muridnya
dikelas, suatu pagi disebuah sekolah.

85
Tentu salah satu diantara Anda yang membaca tulisan
ini akan bertanya-tanya, mengapa percakapan guru dan
murid diatas harus ada diawal tulisan ini. Seperti halnya
murid-murid dalam dialog tersebut, Anda mungkin saja
baru tahu kalo Phi yang sama dengan 3,14 itu hasil dari
keliling dibagi diameter. Kenapa terjadi demikian,
seorang murid bisa saja hafal suatu rumus tapi tidak
pernah tahu apa aplikasinya, mereka juga hafal nama
para sastrawan dan karyanya tetapi tidak pernah
membaca karya sastra apalagi mengapresiasinya, mereka
tahu bagaimana mengkonversi satuan derajat Fahrenheit
ke derajat Celcius tapi tidak pernah tahu cara
menggunakan thermometer, mereka tahu istilah
fotosintesis tapi tak pernah mengamatinya, mereka
hafal tanggal-tanggal bersejarah tapi justru gagal belajar
dari sejarah, mereka tahu tentang reboisasi tetapi tak
pernah sekalipun belajar menanam pohon dan
merawatnya. Jika demikian adanya maka tidak salah jika
dikatakan bahwa sekolah kita telah terjebak dengan
verbalisme. Pendidikan yang lebih mengedepankan
hapalan dan bukannya pemahaman, menyukai

86
formulasi dan bukannya substansi, lebih mengagungkan
prestasi belajar dan bukannya tradisi ilmiah.

Verbalisme, demikian pakar pendidikan menyebutnya


sebagai ―a statement empty of meaning the pupil
learns his lesson but he does not learn‖, pemyataan
yang kosong dari makna, kelihatannya siswa belajar
mata pelajaran tetapi sebenamya mereka tidak
belajar (Witherington & Burton, 1986:97). Lalu
mengapa hal ini dapat terjadi? adakah yang salah dari
pola pembelajaran yang kita laksanakan selama ini.
Sebelum menjawab hal tersebut, nampaknya perlu kita
redefinisi kembali pemahaman kita tentang tiga hal,
anak-anak pintar, pembelajar dan ilmuwan.

Dalam tolok ukur capaian angka-angka seseorang anak


kerapkali disebut pintar oleh gurunya, dari sinilah
definisi anak pintar kemudian muncul. Pembelajar
adalah pribadi pembelajar yang tiada henti belajar dan
berlatih mengembangkan kualitas dirinya karena
dengan belajar, akan membuka cakrawala pemikiran

87
manusia menjangkau hal-hal yang tidak pernah
terpikirkan sebelumnya. Kebiasaan ini dapat
membentuk karakter manusia yang terus berkembang.
Sedangkan ilmuwan berdiri setelah sebagai pribadi yang
memiliki memiliki tradisi ilmiah yang kokoh dan terus
mengembangkan keilmuannya dengan maksimal.
Adanya tiga konsep tentang anak pintar, pembelajar
dan ilmuwan, sebenarnya ingin saya asosiasikan denga
realitas yang terjadi sekarang. Bahwa secara sadar atau
tidak, sebenarnya kita sendiri mengalami verbalisme
dalam memandang fungsi lembaga pendidikan. Sejauh
ini sekolah seolah dirancang sebagai lapangan pacuan
kuda. Di sana anak-anak dipacu untuk mengetahui
lebih banyak. Bukan untuk menjadi sesuatu yang lebih
baik. Tapi untuk mengalahkan orang lain. Kemajuan
belajar diukur dengan capaian angka-angka. Bukan
dengan perubahan-perubahan mendasar pada cara
berpikir, struktur emosi dan pola sikap. Di sekolah
seperti itu kasta-kasta baru dibangun berdasarkan
kecerdasan!!! Sekolah semacam itu biasanya melahirkan
anak-anak pintar, bukan pembelajar apalagi ilmuwan.

88
Mereka mempunyai prestasi belajar yang baik, tetapi
tidak memiliki tradisi ilmiah yang kokoh.

Lalu, mampukah kita mewujudkan hal yang ideal


dalam pembelajaran disekolah kita?
Untuk menciptakan pembelajaran tanpa verbalisme
tentu tidaklah mudah, namun bukan berarti kita tidak
dapat mewujudkannya. Langkah pertama yang harus
dilakukan adalah membangun lingkungan sekolah yang
kondusif dan menyenangkan sekaligus mampu menjadi
sumber belajar bagi para siswa. Sehingga dengan
demikian keberadaan lingkungan sebagai sumber
belajar dapat member manfaat yang positif seperti
membangkitkan minat, aktivitas dan motivasi
belajar siswa. Kedua, guru-guru harus mampu
merubah dirinya sebagai pribadi yang dinamis. Pribadi
yang senantiasa memperbaharui diri dan mengikuti
perkembangan pengetahuan dan teknologi. Ketiga,
memilih metode pembelajaran yang dapat
meningkatkan rasa ingin tahu dan minat siswa terhadap
pembelajaran. Dan keempat, mentradisikan kompetisi

89
dan diskusi ilmiah dalam kehidupan sekolah untuk
membangun tradisi ilmiah yang baik.

Keempat hal ini tidak dapat kita pisahkan apabila kita


ingin membangun pembelajaran tanpa verbalisme.
Sebab seorang futuris terkenal Alvin Toffler, pernah
mengatakan bahwa “buta huruf di abad 21 bukanlah
karena orang-orang yang tidak bisa membaca dan menulis,
tetapi dikarenakan mereka yang tidak bisa belajar, tidak
belajar, dan tidak mempelajari kembali.” Maknanya, hidup
kita sesungguhnya merupakan proses pembelajaran
seumur hidup. Kapanpun, dimanapun dan dalam situasi
apapun, setiap pribadi dituntut untuk terus melakukan
pembelajaran, kalau tidak ingin semakin tertinggal.
Dengan demikian, belajar baik itu ilmu pengetahuan
maupun ketrampilan memiliki peranan yang sangat
penting dalam perjalanan kehidupan manusia.

90
Membangun Budaya Membaca
Di Sekolah

―Menulislah agar dipahami, berbicaralah agar didengar,


dan membacalah agar menjadi besar.‖

Awal abad XX ditandai oleh perang Rusia melawan


Jepang (1904-1905). Rusia kalah pada pertempuran laut
di Selat Tsushima 27-28 Mei 1905.Geoffrey Jukes,
penulis The Russo-Japanese War 1904-1905,
mengatakan, penentu hasil perang itu bukanlah
teknologi, tetapi tingkat literasi.Hanya 20 persen
personel militer Rusia bisa ‖membaca dan menulis‖.
Akibatnya, banyak yang tidak mampu mengoperasikan
secara benar persenjataan modern (saat itu) dan sistem
telegraf nirkabel yang diimpor dari Jerman. Serangan
Rusia sering salah sasaran karena salah membaca peta
dan salah mengoperasikan jaringan komunikasi.

91
Sebaliknya, hampir semua tentara Jepang tahu
‖membaca dan menulis‖. Mereka mahir menggunakan
persenjataan militer modern dan memanfaatkan
infrastruktur intelijen militer secara benar. Jepang
bahkan sudah memodifikasi sistem telegraf nirkabel
dari Jerman.

Dari dua fakta sejarah ini tentu kita dapat mengambil


kesimpulan tentang betapa pentingnya ‖membaca dan
menulis‖ atau yang kita kenal sebagai kemampuan
literasi. Lalu bagaimana dengan Indonesia

Minat Membaca Di Kalangan Peserta Didik


Berdasarkan riset lima tahunan pada 2006 yang
dikeluarkan oleh Progress in International Reading
Literacy Study, yang melibatkan siswa sekolah dasar
(SD), menempatkan Indonesia pada posisi 36 dari 40
negara yang dijadikan sampel penelitian. Indonesia
hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko, dan
Afrika Selatan. Sementara itu, berdasarkan penelitian
Human Development Index (HDI) yang dikeluarkan

92
oleh UNDP untuk melek huruf pada 2002
menempatkan Indonesia pada posisi 110 dari 173
negara. Posisi tersebut kemudian turun satu tingkat
menjadi 111 di tahun 2009.

Data-data tersebut tampaknya akan terus memburuk


mengingat minimnya infrastruktur dan perhatian yang
ada saat ini, seperti terbatasnya jumlah bacaan yang
tersedia dan jumlah guru. Berdasarkan data CSM, yang
lebih menyedihkan lagi perbandingan jumlah buku yang
dibaca siswa SMA di 13 negara, termasuk Indonesia. Di
Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca
sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30
buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku,
Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku,
Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku.

Padahal kita tahu bahwa membaca buku itu penting! Ini


semua orang tahu, dan pasti setuju. Oleh sebab itu
menjadi sangat beralasan, mengenalkan buku dan
kegiatan membaca pada anak-anak. Karena dengan

93
kebiasaan dan kecintaan membaca sejak dini, mereka
ketika memelajari apapun akan menjadi lebih mudah.
Semakin tinggi kemampuan dan kecintaan terhadap
kegiatan membaca, akan semakin tinggi pula tingat
kesenangan dan kegembiraan anak-anak ketika belajar.
Mereka akan lebih mudah memahami setiap pelajaran
di sekolah. Yang pada gilirannya akan meningkatkan
prestasi akademik.

Literasi biasanya dipahami sebagai kemampuan


membaca dan menulis. Pengertian itu berkembang
menjadi konsep literasi fungsional, yaitu literasi yang
terkait dengan berbagai fungsi dan keterampilan hidup.
Kemampuan tentara Jepang memahami handbook
peralatan perang, membaca peta, mendalami strategi,
dan memodifikasi sistem telegraf nirkabel adalah
gambaran literasi fungsional.

Konsep maupun praksis literasi fungsional baru


dikembangkan pada dasawarsa 1960-an (Sofia
Valdivielso Gomez, 2008). Literasi dipahami sebagai

94
‖seperangkat kemampuan mengolah informasi, jauh di
atas kemampuan mengurai dan memahami bahan
bacaan sekolah‖ (A Campbell, I Kirsch, A Kolstad,
1992). Melalui pemahaman ini, literasi tidak hanya
membaca dan menulis, tetapi juga mencakup bidang
lain, seperti matematika, sains, sosial, lingkungan,
keuangan, bahkan moral (moral literacy).

Pelajaran Berharga Dari Fakta Temuan PIRLS


Dari fakta temuan PIRLS kita dapat menyimpulkan
beberapa hal yang menyebabkan hal ini dapat terjadi.
Realitas pertama dari fakta rendahnya minat baca anak
Indonesia adalah kualitas perpustakaan yang masih jauh
dari memadai ditiap sekolah. Berdasarkan data terakhir,
di Indonesia terdapat 169.031 Sekolah Dasar dan
Madrasah Ibtidaiyah. Artinya, jika tiap sekolah memiliki
satu perpustakaan, seperti yang diamanahkan oleh UU
Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, maka ada
169.031 perpustakaan. Jika kondisi demikian dapat
terwujud, tentu anak-anak akan memperoleh
kemudahan dalam mengakses bahan bacaan. Dan pasti

95
hasil riset PIRLS akan berbicara lain.namun, fakta
dilapangan menunjukkan bahwa Sekolah Dasar yang
memiliki perpustakaan baru sekitar 1 persen lebih
sedikit. Dan hal ini baru sebatas jumlah dan belum
menyangkut seberapa banyak koleksi buku yang
dipunyai. Apakah keragaman bacaan yang dimiliki
sudah cukup memenuhi harapan pemustaka.
Bagaimana kondisi fisik perpustakaan (sarana), dan
prasarana lainya (buku, rak buku, sistem
pengolahannya). Sekaligus apakah petugas yang
mengelola perpustakaan adalah pustakawan, atau
sekadar guru non job yang dikaryakan. Sehingga
perpustakaan yang ada sekadar menjadi tempat buku-
buku berhimpun, bertumpuk-tumpuk, kumal,
terselimuti debu tebal.

Realita kedua dari fakta rendahnya minat baca anak


Indonesia adalah karena tidak ada integrasi yang nyata,
jelas, dan tegas antara matapelajaran yang diberikan
dengan kewajiban siswa untuk membaca. Siswa tidak
diberi keleluasaan dan kebebasan untuk mencari

96
sumber pembelajaran di luar buku teks yang digunakan
oleh guru. Satu contoh sederhana, kita tidak memiliki
standar minimal tentang bacaan wajib buku yang harus
dikhatamkan siswa di tiap jenjang pendidikan, entah itu
berdasarkan jumlah (quantity) maupun judul-judul
tertentu (quality). Alih-alih secara bertahap dan rutin
ada pengecekan tingkat kemajuan bacaan siswa, baik
yang menyangkut bacaan yang diwajibkan (required
reading), bacaan yang dianjurkan (recommended
reading), dan bacaan menyangkut pengetahuan umum
(general knowledge).

Realita ketiga, rendahnya minat baca anak Indonesia


karena, pengalaman pra-membaca dan membaca
(berkenalan dengan buku) yang dialami anak kurang
menyenangkan, jika enggan menyebutnya buruk. Buku,
sebagai media teks yang lazim digunakan untuk
mengukur tingkat minat baca dikenalkan pada anak-
anak dengan cara yang tidak menarik. Bahkan
menimbulkan pengalaman yang traumatik.

97
Membangkitkan Minat Baca
Minat baca berarti adanya perhatian atau kesukaan
(kecendrungan hati) untuk membaca. Perhatian atau
kesukaan untuk membaca merupakan keterampilan
dasar untuk belajar dan untuk memperoleh kesenangan.
Membaca merupakan alat bagi orang-orang yang melek
huruf untuk membaca jendela ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang luas dan mendalam melalui karya
cetak atau karya tulis seperti kata pepatah buku adalah
jendela dunia dan perpustakaan adalah pintunya.
Tujuan pembinaan minat baca pada anak adalah untuk
mengembangkan masyarakat membaca dengan
penekanan pada penciptaan lingkungan membaca
untuk semua jenis bacaan yang dimulai dalam
lingkungan keluarga. Secara lebih khusus, pembinaan
minat baca pada anak bertujuan untuk mewujudkan
suatu sistem penumbuh-kembangan minat baca dengan
menyediakan fasilitas berupa bahan bacaan yang sesuai
dengan kebutuhan anak.

98
Buku, sebagai media teks yang lazim digunakan untuk
mengukur tingkat minat baca dikenalkan pada anak-
anak dengan cara yang tidak menarik. Bahkan
menimbulkan pengalaman yang traumatik. Biasanya
mereka dikenalkan pada buku untuk pertama kalinya
adalah berupa buku pelajaran yang tebal (menurut
ukuran anak), sudah begitu, isinya melulu tulisan,
ukuran hurufnya pun kecil-kecil, tidak ada gambarnya
lagi. Tentu saja keharusan membaca buku yang
demikian, laksana menyuruh anak untuk membenci
buku secara berjamaah.Namun giliran anak-anak tengah
mendapatkan keasyikan membaca buku, meskipun
dalam bentuk komik atau cergam (cerita bergambar),
buru-buru—terutama para orangtua—melarang keras,
disertai semburan kata ancaman. Difatwakan pada
anak-anak bahwa membaca komik dan cergam hanya
akan membuat si anak malas belajar dan bodoh.
Padahal komik bisa menjadi pintu masuk bagi anak
untuk mengembangkan imajinasi, serta ragam
bacaannya tingkat yang lebih luas dan tinggi. Karena
apa yang dibaca sesungguhnya mengikuti

99
perkembangan wawasan, cara berfikir, dan kebutuhan
pembacanya.

Lalu bagaimana cara meningkatkan minat baca peserta


didik kita. Ibarat pepatah banyak jalan menuju roma,
terdapat banyak cara meningkatkan minat siswa untuk
membaca. Semuanya tergantung pada kreatifitas guru
dan dukungan komponen-komponen lain disekolah
seperti kepala sekolah, karyawan dan sekaligus orang
tuas siswa. Berikut beberapa cara untuk meningkatkan
minat baca siswa dengan berbagai macam kegiatan yang
rekreatif dan mendidik:
1. Penciptaan atmosfir kelas yang mendukung
dengan menempel pajangan hasil karya siswa
dengan rapi serta slogan-slogan ajakan agar
siswa gemar membaca.
2. Penyediaan buku-buku bacaan yang memadai,
baik dari segi kuantitas judul buku maupun
kualitas buku di perpustakaan dan setiap ruang
kelas.

100
3. Tersedianya tempat koran, sebagai media
rekreatif setelah siswa penat dengan pelajaran
sehari-hari sehingga media koran/surat kabar
dapat dijadikan sebagai alternatif media belajar
dan ilmu pengetahuan.
4. Menggalakkan lomba sekolah bertemakan
kegiatan menulis, seperti; mengadakan lomba
sinopsis, karya tulis, cerpen dan lain sebagainya.
5. Membuat jadwal kunjungan ke perpustakaan,
misalnya setiap hari rabu kelas 5 dan 6
diwajibkan berkunjung ke perpustakaan untuk
mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.
Dalam hal ini pustakawan berperan aktif
sebagai pustakawan referens. Jika, siswa ada
yang bertanya tentang referensi sebuah mata
pelajaran.
6. Mewajibkan semua siswa, guru, dan karyawan
sekolah untuk membudayakan membaca, dan
membuat slogan-slogan di kelas seperti ―Tiada
Hari Tanpa Membaca‖, ―Gunakan waktu luang
untuk membaca‖, dan ―Buku adalah jendela

101
ilmu pengetahuan‖. Dengan membuat kegiatan
yang bersifat rekreatif dan edukatif diharapkan
dapat membangun minat baca di kalangan siswa
sekolah.

Sekolah yang dapat menumbuhkembangkan minat baca


anak, tentunya adalah sekolah yang di dalamnya tercipta
situasi pembelajaran yang menyenangkan, menumbuh-
kembangkan rasa ingin tahu, mengaktifkan siswa,
memberi kesempatan kepada mereka untuk berpikir
kritis dan logis serta untuk mengembangkan
kreativitasnya, dan yang memungkinkan mereka belajar
secara efektif. Oleh karena itu sekolah perlu mengelola
faktor-faktor yang dapat memotivasi minat baca peserta
didiknya.

Sebagaimana kita ketahui, perkembangan minat baca


anak tidak hanya ditentukan oleh keinginan dan
sikapnya terhadap bahan-bahan bacaan. Banyak faktor
yang mempengaruhi, baik itu di dalam diri anak
maupun di luar diri anak. Faktor yang mempengaruhi

102
yang berada di luar diri anak antara lain kurangnya
perhatian orang tua terhadap perkembangan minat baca
anak-anaknya. Bahkan di sekolah dan perguruan tinggi
banyak tenaga kependidikan yang kurang
memperhatikan perkembangan minat baca peserta
didiknya. Faktor lain yang juga turut mempengaruhi
adalah terbatasnya jumlah karya cetak, khususnya buku
yang diterbitkan baik jumlah eksemplarnya maupun
judulnya sesuai dengan kebutuhan anak.

Kepedulian bersama menjada kata kunci terakhir


bagaimana meningkatkan minat baca anak ditengah
derasnya arus hiburan seperti saat ini. Sebab tanpa itu
semua, minat baca sebagai keterampilan yang diperoleh
setelah seseorang dilahirkan mustahil akan muncul jika
kita bersama tidak memupuk, membina dan
mengembangkannya

103
Otak dan Pembelajaran

Sudah sangat wajar, seandainya kita menginginkan


anak-anak yang sangat kita kasihi tumbuh menjadi
orang yang bertubuh sehat, berotak cerdas, berjiwa
bersih, serta berakhlak mulia. Agar tubuhnya sehat,
mungkin kita akan berkonsultasi dengan dokter. Agar
jiwanya bersih, mungkin kita akan berdialog dengan
ahli ilmu jiwa. Agar akhlaknya mulia, mungkin kita
bertanya kepada para ulama atau tokoh agama.
Lalu, bagaimana agar otaknya cerdas? Bilamana ini
terjadi, kita perlu berbicara dengan para guru yang
bertanggungjawab atas pembelajaran anak-anak kita
dikelas.

Pembelajaran tidak ubahnya proses berpikir atau


dengan kata lain merupakan proses pemanfaatan dan
penggunaan otak secara maksimal. Menurut beberapa
ahli, otak manusia terdiri dari dua bagian yaitu otak
kanan dan otak kiri. Masing-masing belahan otak
memiliki spesialisasi dalam kemampuan-kemampuan
104
tertentu. Hal ini senada dengan yang dipaparkan Bobby
De Porter & Mike Hernacki sekitar tahun 90-an dalam
buku Quantum Learning : Unleashing The Genius In
You, yang diterjemahkan oleh Penerbit Kaifa dengan
judul Quantum Learning : Membiasakan Belajar
Nyaman dan Menyenangkan (1992). Dalam bukunya itu,
kedua penulis menitikberatkan pada upaya untuk
memanfaatkan potensi otak manusia secara optimal.
Proses berpikir otak kiri bersifat logis, skuensial, linier,
dan rasional. Sisi ini sangat teratur. Walaupun
berdasarkan realitas, ia mampu melakukan penafsiran
abstrak dan simbolis. Cara berpikirnya sesuai untuk
tugas-tugas teratur ekspresi verbal, menulis, membaca,
asosiasi auditorial, menempatkan detail dan fakta,
fonetik, serta simbolis. (De Porter, 1992). Namun
seperti apakah otak kita sebenarnya, tidak ada salahnya
apabila kita mengenal beberapa bagian penting dari
otak kita ini.

Bagian Penting Otak Manusia


Otak manusia secara otak terdiri dari 3 bagian

105
1. Batang Otak atau Otak Reptil
Dikatakan otak reptil, karena reptil seperti kadal, buaya
punya otak ini. Otak reptil terletak di bagian bawah
tengkorak. Fungsinya untuk mengontrol pernapasan,
denyut jantung, dan reaksi insting dalam keadaan
bahaya atau terancam. Kalau kita mendadak lari karena
takut anjing, otak inilah biang keroknya.

Batang otak juga berkaitan dengan insting untuk


mempertahankan hidup dan mengembangkan
spesiesnya. Dua poin tersebut terlihat pada usaha untuk
mencari makanan, tempat tinggal, bereproduksi –
maksudnya menikah untuk manusia- dan mencari
perlindungan. Batang Otak juga bertanggung jawab atas
106
pengendalian insting primitif dari wilayah pribadi
seseorang seperti alasan marah, terancam atau tidak
nyaman ketika seseorang mendekati. Reptil banget ya?
Jika seseorang dominan menggunakan otak reptilnya,
dia akan berperilaku seperti buaya kali, ya. Ia tidak bisa
berpikir di tingkat rumit, bertindak hanya berdasarkan
nafsu. Tak percaya, perhatikan buaya-buaya darat yang
berkeliaran di sekitar kita
2. Sistem Limbik atau Otak Mamalia
Otak Mamalia merupakan bagian yang membungkus
batang otak tadi, dengan hypothalamus dan amygdala
sebagai komponen utamanya. Seingat saya hypothalamus
inilah yang memproduksi hormon pertumbuhan seperti
testosteron dan progesteron. Hormon inilah yang
membuat seorang anak mulai ‗berubah‘ secara fisik
seperti orang dewasa.
Otak mamalia berfungsi sebagai pengendali emosi,
membantu mempertahankan keseimbangan hormonal,
rasa haus, lapar, dorongan seksual, pusat kesenangan,
metabolisme dan bagian penting dari ingatan jangka
panjang. Sebagai pengatur emosi dan ingatan

107
maksudnya: jika kita melakukan sesuatu yang
melibatkan emosi yang mendalam, kita akan lebih
mudah mengingatnya; tak gampang lupa. I see, jadi
inilah penyebab kenapa seseorang yang patah hati susah
sekali melupakan kenangan indah bersama si dia. Setiap
hal yang dilakukan bersama si dia, melibatkan emosi
secara mendalam, sih. Kenapa hal ini tidak kita lakukan
ketika sedang belajar, ya?
Karena namanya otak mamalia, setiap mamalia punya
otak ini. Mungkin karena itulah mamalia lebih
bersahabat dengan manusia daripada reptil. Lihat deh
kucing, masih bisa dielus-elus, disayang-sayang. Sedang
buaya, jangankan mau dielus, didekati saja mulutnya
sudah menganga.
3. Neokorteks atau otak berpikir.
Nah, inilah yang membedakan manusia dengan mahluk
lainnya di muka bumi; otak berpikir! Fungsinya untuk
mengendalikan penglihatan, pendengaran, kreasi,
berpikir, berbicara, dan semua hal yang berkaitan
dengan kemampuan yang lebih tinggi atau intelegensi.
Manusia, banget kan!

108
Neokorteks inilah yang membuat kita; manusia, bisa
mengendalikan nafsu dan emosi. Tidak seperti binatang
yang begitu pengen langsung main serodok. Neokorteks
membuat kita berpikir secara intelek, waras, mengambil
keputusan hati-hati, kendali motorik sadar dan
menciptakan gagasan nonverbal. Bersyukurlah karena
Yang Kuasa memberi kita Neokorteks selain otak reptil
dan otak mamalia.

Ketiga bagian otak ini menjadi satu kesatuan. Kesatuan


otak ini juga yang kemudian terbagi menjadi belahan
otak kiri dan kanan, sebagaimana yang sudah saya
jelaskan di awal. Keseimbangan penggunaan otak kiri
dan kanan sangat penting agar seluruh potensi kita bisa
keluar; bermanfaat untuk kehidupan. Ada kalanya
seseorang cenderung hanya memakai belahan otak
tertentu saja. Maka dari itu, kita harus tahu dulu bagian
otak mana yang lebih sering kita gunakan. Cara
gampangnya dengan menganalisa kebiasaan kita dan
mencocokkannya dengan ciri-ciri yang sudah saya

109
sebutkan. Setelah itu lakukan rangsangan untuk
mengaktifkan belahan otak yang lain.

Pembelajaran dan Memaksimalkan Kinerja Otak


Secara neurobiologis, otak manusia terdiri atas miliaran
sel saraf atau neuron yang menyebar di keseluruhan
otak manusia. Seperti yang dikemukakan oleh seorang
neurolog, Gerald Edelman, pemenang hadiah nobel,
dibutuhkan lebih dari 32 juta tahun untuk menghitung
semua sinaps di dalam otak manusia dengan kecepatan
satu sinaps per detik. Jika dipusatkan perhatian pada
kemungkinan jumlah hubungan saraf di dalam otak,
maka didapati jumlah yang sangat menakjubkan yaitu
10 diikuti sejuta angka nol. Setiap saraf otak itu saling
berhubungan dan berkomunikasi melalui satu
hubungan atau lebih (Restak, 2004:5). Walaupun
demikian, setiap saraf yang ada dalam otak mempunyai
tanggung jawab dan fungsi masing-masing. Misalnya,
kegiatan membaca mengaktifkan area oksipital dan
frontal. Mendengarkan musik dengan mata terpejam
mengaktifkan area temporal, frontal dan serebelum. Di

110
samping itu, secara garis besar, otak otak manusia
terbagi atas kerja otak belahan otak kanan, tetapi
aktifitas kerja kedua otak tersebut tidak terpisah.
Aktivitas kedua otak itu saling menyatu dan juga saling
membangun.

Otak manusia terdiri dari belahan otak kiri dan kanan.


Otak kiri atau left cerebral hemisphere berkaitan
dengan fungsi akademik yang terdiri dari kemampunan
berbicara, kemampuan mengolah tata bahasa, baca
tulis, daya ingat (nama, waktu dan peristiwa), logika,
angka, analisis, dan lain-lain. Sementara otak kanan atau
right cerebral hemisphere tempat untuk perkembangan hal-
hal yang bersifat artistik, kreativitas, perasaan, emosi,
gaya bahasa, irama musik, imajinasi, khayalan, warna,
pengenalan diri dan orang lain, sosialisasi,
pengembangan kepribadian. Para ahli banyak yang
mengatakan otak kiri sebagai pengendali IQ (Intelligence
Quotient), sementara otak kanan memegang peranan
penting bagi perkembangan EI (Emotional Intelligence)
seseorang.

111
Cara kerja otak kanan bersifat acak, tidak teratur,
intuitif dan holistik. Cara berpikirnya sesuai dengan
cara-cara untuk mengetahui yang bersifat non verbal
seperti perasaan dan emosi, kesadaran yang berkenaan
dengan perasaan (merasakan kehadiran suatu benda
atau orang), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan
pola, musik, seni, kepekaan warna, kreativitas dan
visualisasi.

Kedua belahan otak perlu dikembangkan secara


optimal dan seimbang. Belajar yang hanya cenderung
memanfaatkan otak kiri, misalnya dengan memaksa
anak untuk berpikir logis dan rasional akan membuat
anak dalam posisi ‖kering dan hampa‖. Oleh karena itu
belajar berpikir logis dan rasional perlu didukung oleh
pergerakan otak kanan, misalnya dengan memasukkan
unsur-unsur `yang dapat mempengaruhi emosi, yaitu
unsur estetika melalui proses belajar yang
menyenangkan dan menggairahkan. Dalam standar
proses pendidikan, belajar adalah memanfaatkan kedua
belahan otak secara seimbang. Belajar jadi mudah jika

112
guru dapat menyeimbangkan kedua fungsi otak dalam
proses pembelajaran.

Setiap belahan otak, baik otak kiri maupun otak kanan


pada hakikatnya mempunyai mempunyai tanggung
jawab dan fungsi masing-masing. Misalnya, Otak kiri
berkaitan dengan akademik, seperti perbedaan, angka,
urutan, tulisan, bahasa, hitungan dan logika, sedangkan
Otak kanan berfungsi dalam hal persamaan, khayalan,
kreativitas, bentuk atau ruang, emosi, musik dan warna.
Namun, aktifitas kerja kedua otak tersebut tidak
terpisah. Aktivitas kedua otak itu saling menyatu dan
juga saling membangun. Sebagai contoh, ketika melihat
beberapa pohon dengan dedaunannya yang berguguran,
tanah yang kering, dan cuaca yang teramat panas. Kita
akan memerikan, menganalisis, dan
menggeneralisasikan semua hal tersebut dengan
belahan otak kanan. Setelah hal tersebut dilakukan oleh
otak kanan, maka belahan otak kirilah kemudian yang
mengkomunikasikannya secara verbal. Misalnya, ketika
kita berkata, ―dedaunan itu banyak berguguran, tanah

113
yang disekitarnya kering, dan ternyata sekarang adalah
musim kemarau‖. Belahan otak kirilah yang
bertanggung jawab terhadap pengolahan bahasa dan
mengutarakan konsep-konsep yang ada dalam persepsi
seseorang. Namun, semua merupakan hasil dari
penggeneralisasian yang dilakukan oleh belahan otak
kanan. (Restak, 2004:97).

Ke depan, guru dalam melaksanakan pembelajaran di


sekolah hendaknya mengetahui dan memahami bahwa
pentingnya memanfatkan kedua belah otak untuk
belajar. Belajar jadi mudah jika guru dapat
menyeimbangkan kedua fungsi otak dalam proses
pembelajaran. Otak kanan sebagai kreativitas dan
imajinasi dan juga merupakan faktor nonkebahasaan
dapat memberikan ide bagi otak kiri dalam melahirkan
kata-kata dan bahasa. Kreativitas dan imaginasi
sangatlah penting dalam proses pembelajaran bahasa.
Kreatifitas dan imajinasi perlu dikembangkan. Jika
kreatifitas dikembangkan dalam proses pembelajaran,
maka pembelajaran akan menjadi suatu proses yang

114
menyenangkan bagi siswa. Implikasinya pada diri siswa
akan terbentuk pola pembelajaran yang kreatif dan
tidak tergantung pada orang lain. Ini akan menjadikan
siswa lebih siap dan mampu menyesuaikan diri dengan
segala perubahan dan tuntutan yang terjadi dalam
lingkungannya.

115
Mencari Solusi Pengadaan Buku
Pendidikan

Upaya penyediaan buku pendidikan yang bermutu


dengan harga terjangkau bagi seluruh pelajar di
negara sebesar Indonesia merupakan usaha besar dan
rumit. Terlebih lagi, penduduknya yang diperkirakan
oleh GeoHive pada 6 November 2009 mencapai
241 juta dan tersebar di pulau-pulau besar dan
kecil membuat upaya distribusi menemui banyak
kendala. Dibandingkan negara-negara lain,
Indonesia termasuk negara dengan penduduk amat
besar, yaitu pada urutan keempat di dunia, setelah
Republik Rakyat Cina, India, dan Amerika Serikat
(GeoHive, n.d.). Jumlah penduduk yang besar tersebut
mendiami kira-kira enam ribu dari 17.508 pulau yang
terbentang dari Sabang sampai Merauke.

Realitas ini apabila dikaitkan dengan konteks


pendidikan bermutu yang menjadi hajat setiap
116
bangsa untuk meningkatkan mutu sumber daya
manusia bangsa tersebut. Tak terkecuali, bangsa
Indonesia sebagai negara yang sejak berdirinya
memiliki perhatian yang sangat besar terhadap
pendidikan untuk terus-menerus meningkatkan
mutu pendidikannya. Pendidikan yang bermutu
harus didukung oleh pelbagai faktor yang juga
bermutu. Salah satunya adalah buku ajar dan buku
teks pelajaran.

Bahan Ajar dan Buku Teks


Bahan ajar selalu diperlukan dalam berbagai
aktivitas pembelajaran, baik dalam konteks
pembelajar memberikan pengalaman belajar kepada
pebelajar maupun dalam konteks pebelajar
menjalani pengalaman belajar ( learning experience ).
Dalam pandangan Tomlinson, istilah bahan ajar
bahasa (language-learning materials) digunakan
untuk segala sesuatu yang digunakan oleh para
guru dan pebelajar untuk terjadinya pembelajaran
bahasa, dari yang paling sederhana sampai yang paling

117
canggih. Dengan demikian, bahan ajar dapat berwujud
kaset, video, CD-ROM, kamus, buku tata bahasa,
kumpulan bahan bacaan, buku-kerja, atau bahan-
bahan latihan fotokopian. Di samping itu, bahan
ajar juga dapat berupa surat kabar, kemasan
makanan, foto, ujaran langsung pembicara yang
diundang, arahan yang diberikan guru, ujaran yang
tertulis pada kartu atau diskusi antarpebelajar
(Tomlinson 1998, p. 2).

Dalam sumber lain juga disebutkan bahwa definisi


tersebut termasuk mencakupi bahan-bahan yang
terdapat di internet (Tomlinson 2003c). Pandangan
McGrath, meski tak sama persis, senada dengan
pandangan di atas. Bedanya, McGrath
mendefinisikan bahan ajar dalam dua cakupan. Secara
umum, bahan ajar meliputi apa saja yang digunakan
untuk pembelajaran, termasuk pensil, kursi, atau
tas. Namun, ia tidak menggunakan definisi umum
tersebut untuk membahas bahan ajar secara teknis
karena definisi itu akan bersentuhan dengan media

118
pembelajaran. Oleh karena itu, ia membatasi
pengertian teknis bahan ajar hanya pada bahan-
bahan yang mengandungi teks, yang dapat meliputi: (1)
teks yang secara khusus dipersiapkan untuk
pembelajaran bahasa (seperti buku teks, lembar
kerja, dan perangkat lunak komputer); (2) bahan-
bahan otentik (seperti rekaman off-air dan artikel surat
kabar) yang dipilih khusus dan dipergunakan untuk
tujuan pembelajaran; (3) bahan ajar tulisan guru atau
dosen; dan (4) bahan-bahan buatan murid atau
mahasiswa (McGrath 2003, p.7).

Salah satu bahan ajar yang amat populer di


Indonesia adalah buku teks ( textbook ) atau buku
pelajaran ( course book ). Kedua istilah berbahasa
Indonesia tersebut sering disatukan menjadi buku
teks pelajaran. Cunningsworth seperti dikutip oleh
Richards (2001, p. 251) membuat rangkuman yang
terdiri atas enam peran yang dimiliki buku teks
pelajaran dalam pengajaran bahasa ( language
teaching ), yaitu sebagai: (1) sumber sajian bahan

119
(lisan dan tulisan); (2) sumber kegiatan praktik
pebelajar dan interaksi komunikatif; (3) sumber
rujukan bagi pebelajar mengenai tata bahasa, kosa
kata, lafal, dan sebagainya; (4) sumber stimulasi dan
gagasan untuk kegiatan kelas; (5) silabus
(khususnya jika buku pelajaran mencerminkan
tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditentukan);
dan (6) bantuan bagi guru yang belum berpengalaman
tetapi telah berani mengajar (Cunningsworth 1995, p.
7). Pemerintah mengeluarkan aturan mengenai
pembuatan, pejaminan mutu, distribusi, pemilihan,
dan pemanfaatan buku melalui Peraturan Meteri
Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 2
Tahun 2009. Pasal 1 Permendiknas tersebut
menyebutkan empat kategori buku yang digunakan
di lembaga-lembaga pendidikan, yaitu: buku teks,
buku panduan pendidik, buku pengayaan, dan buku
referensi.

Empat jenis buku pendukung pendidikan tersebut


didefinisikan sebagai berikut. Buku teks didefinisan

120
sebagai buku acuan wajib yang digunakan di satuan
pendidikan dasar dan menengah atau perguruan
tinggi yang memuat materi pembelajaran dalam
rangka peningkatan keimanan, ketakwaan, akhlak
mulia, dan kepribadian, penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, peningkatan kepekaan
dan kemampuan estetis, peningkatan kemampuan
kinestetis dan kesehatan yang disusun berdasarkan
standar nasional pendidikan.‖ Buku panduan
pendidik didefinisikan sebagai ―…buku yang
memuat prinsip, prosedur, deskripsi materi pokok,
dan model pembelajaran untuk digunakan oleh para
pendidik.‖ Buku pengayaan didefinisikan sebagai
―…buku yang memuat materi yang dapat memperkaya
buku teks pendidikan dasar,menengah dan
perguruan tinggi.‖ Buku referensi didefinisikan
sebagai ―…buku yang isi dan penyajiannya dapat
digunakan untuk memperoleh informasi tentang
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya secara
dalam dan luas.‖

121
Penilaian Buku Teks
Tujuan penilaian buku teks adalah untuk memastikan
bahwa buku-buku teks yang akan digunakan di
sekolah-sekolah benar-benar layak pakai dan
memenuhi standar nasional. Seperti disebutkan
pada Permen 2/2008, Depdiknas, departemen yang
menangani urusan keagamaan, pemerintah daerah,
dan/atau masyarakat berupaya menjamin
ketersediaan buku teks yang bermutu yang
memenuhi standar nasional dan kebutuhan pendidik
dan peserta didik (Depdiknas, 2008b, Pasal 1 dan
Pasal 3 [1]). Dalam kaitan tersebut, kelayakan
buku dinilai berdasarkan empat aspek pokok, yaitu: isi,
metodologi, kebahasaan, dan desain grafis. Penilaian
seberapa jauh sekolah memenuhi standar buku
dilaksanakan sebagai bagian dari akreditasi sekolah
oleh Badan Akraditasi Sekolah (BAS) yang ada di
kabupaten/kota dan menjalankan akreditasi sekolah
secara berkala dengan instrument standar nasional.

122
Amat dapat dimengerti bahwa di sekolah perlu ada
proses pemilihan buku meskipun buku-buku teks
telah dinilai oleh BSNP. Penilaian yang dilakukan
oleh BSNP hanya untuk menilai apakah suatu buku
layak berdasarkan standar nasional. Pihak sekolah
dan komite sekolah masih perlu memilih mana
yang paling cocok. Berdasarkan (1) kesesuaian
tingkat kesulitan bahan ajar dengan kapasitas
intelektual murid; (2) kesesuaian metodologi dengan
kemampuan murid; (3) kesesuaian aspek kebahasaan
dengan kemampuan membaca murid; (4)
kesesuaian isi dengan keperluan pengayaan
pengetahuan bagi murid; (5) kesesuaian wujud dan
penampilan fisik buku dengan konteks penggunaan
oleh murid; dan (6) kesesuaian isi, kegiatan, dan
ilustrasi dengan lingkungan sosial dan budaya murid.

Imbas Kebijakan Dalam Pengadaan Buku


Sebagai imbas gelombang perjanjian perdagangan
bebas ASEAN (AFTA) dan persiapan menuju
perdagangan bebas dunia (GATT/WTO),

123
pemerintah mengurangi peran dalam penyediaan
barang dan jasa, termasuk dalam pengadaan buku,
dan meningkatkan peran swasta. Menurut Daniel
Fernandez (Fernandez dkk, 2011) peralihan yang cepat
pengadaan buku dari yang semula oleh pemerintah
menjadi oleh swasta telah menimbulkan kekisruhan
dalam produksi dan distribusi buku teks.
Kekisruhan tersebut ditandai oleh tingginya harga
buku karena tingginya permintaan tidak sesuai
dengan kemampuan pemasokan dan distribusi yang
hanya mencakupi wilayah-wilayah yang mudah
dijangkau oleh wiraniaga. Di samping itu, buku-
buku yang disediakan tidak mencakupi seluruh jenis
buku yang diperlukan; para penerbit swasta
cenderung menerbitkan buku pada jenjang tertentu
dan pada topik-topik tertentu karena alasan bisnis.
Kenyataan lain yang didapati pada masa itu adalah
bahwa, karena belum adanya sistem penjaminan
mutu buku, para pelajar terpaksa menggunakan
buku-buku yang mutunya belum diketahui.

124
Pengadaan buku sebagai kebutuhan elementer dalam
prakteknya kerap kali terjadi penyimpangan, hal ini
dilakukan oleh banyak pihak seperti penerbit, dinas
pendidikan, kepala daerah bahkan politisi mengambil
keuntungan dari bisnis ini. Menurut catatan Bank
Dunia indikasi penyimpangan dalam proyek pengadaan
buku diperkirakan mencapai USS 43 juta. Bayangkan,
berapa total nilai proyek dalam pengadaan buku jika
nilai penyimpangannya saja sudah mencapai angka
tersebut.

Selama ini kebijakan buku pelajaran sangat dipengaruhi


oleh dimensi politik dan ekonomi. Pada era orde baru,
pemenuhan buku pelajaran ditanggung pemerintah dan
berlaku turun temurun, namun hal itu dilakukan karena
adanya kepentingan hegemoni dan indoktrinasi
pemerintah terhadap masyarakat. Pengadaan buku
pelajaran menjadi hak monopoli pemerintah
bekerjasama dengan Balai Pustaka.

125
Pola pengelolaan buku berganti memasuki tahun 90-an,
monopoli Balai Pustaka dihapus dan tata niaga buku
diserahkan kepada mekanisme pasar untuk mendorong
adanya kompetisi yang adil bagi para penerbit melalui
tender. Sumber pendanaan dilakukan pemerintah
melalui utang kepada Bank Dunia.

Reformasi perbukuan nasional dan program buku


sekolah nasional dijalankan oleh Pemerintah RI untuk
menanggulangi kekisruhan tersebut. Selain itu,
reformasi perbukuan tersebut juga untuk
membangun sistem pengadaan buku sekolah dalam
rangka menjamin semua pelajar dan guru di
seluruh Indonesia dapat memeroleh buku sekolah
yang bermutu dengan harga terjangkau. Setelah lima
tahun Pemerintah telah menghasilkan regulasi-
regulasi mengenai standar, penulisan, penerbitan,
distribusi, dan pemilihan buku. Di samping itu,
program buku bermutu dan terjangkau secara
nasional telah memberikan perubahan positif dalam
ketersedian buku pendidikan bermutu. Meskipun

126
demikian masih terdapat kekurangan-kekurangan yang
perlu segera dibenahi untuk tercapainya tujuan
reformasi perbukuan tersebut.

Untuk menyediakan buku teks bermutu kepada


seluruh pelajar, di samping dilakukan dengan
membantu penerbit-penerbit swasta melalui
penetapan standar dan pemberian fasilitas penilaian
secara cuma-cuma, pemerintah juga membeli banyak
hak cipta buku dan kemudian memroses dan
menggunggahnya ke internet untuk kemudian dapat
dicetak oleh penerbit, pemerintah daerah, dan
lembaga-lembaga pendidikan secara gratis. Untuk
menjamin bahwa para murid di seluruh Indonesia
dapat memeroleh buku teks yang bermutu,
Pemerintah Republik Indonesia telah melakukan
banyak langkah yang di antaranya adalah
pengembangan naskah dan pengendalian mutu buku.
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005,
khususnya dalam hal perbukuan, mensyaratkan bahwa
bahwa buku-buku teks yang digunakan oleh siswa harus

127
terlebih dahulu dinilai oleh Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BNSP). Sejak itu Pemerintah
Republik Indonesia, dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasional, menjalankan program
penilaian buku teks dengan maksud mengendalikan
mutu buku-buku teks yang akan dipergunakan oleh
para pelajar Indonesia. Selanjutnya, sebagai upaya
pemerataan kesempatan memeroleh pendidikan yang
layak, Pemerintah mengupayakan terciptanya harga
buku teks yang murah dengan cara membeli hak
cipta buku-buku teks pelajaran dari penulis atau
penerbit untuk dipergunakan selama lima belas tahun.
Berbagai pihak dipersilakan mencetak baik secara
tunggal maupun masal tanpa harus membayar
royalti kepada Pemerintah selaku pemilik hak cipta.
Seperti diketahui, Pemerintah baru saja mengeluarkan
Permendiknas No.2 Tahun 2008 tentang buku. Melalui
permendiknas ini, Depdiknas akan membeli hak cipta
dari penulis dan distribusinya berdasarkan ketentuan
yang ditetapkan oleh Depdiknas. Setidaknya Depdiknas

128
mengalokasikan dana sebesar 20 miliar untuk
pembelian hak cipta sebanyak 295 jilid buku.

Dalam memperjual belikan buku para penerbit harus


mematuhi harga eceran tertinggi yang telah ditetapkan
untuk setiap buku tersebut. Di samping
menstandardisasi mutu dan mengupayakan
keterjangkauan harga, Pemerintah juga mengupayakan
kemudahan akses terhadap buku-buku tersebut.
Program Buku Murah yang dijalankan Departemen
Pendidikan Nasional pada kurun 2005 – 2009
dimaksudkan menyediakan buku teks bermutu setiap
mata pelajaran dan dapat diperoleh atau dijangkau oleh
setiap guru dan murid di seluruh Indonesia dengan
harga murah. Caranya sebagai berikut.
1. Untuk menjamin mutu, Pemerintah
menyelenggarakan penilaian terhadap buku-
buku teks dan mengumumkan hasilnya kepada
masyarakat.
2. Untuk menjamin harga, Pemerintah membeli
hak cipta buku-buku yang lolol penilaian

129
(dinyatakan layak oleh Meteri) dan
memersilakan semua pihak mencetak dalam
jumlah besar maupun kecil secara gratis.
3. Untuk menjamin akses, Pemerintah
mengunggah (upload) buku-buku yang hak
ciptanya telah dibeli ke laman internet.
4. Untuk menjamin kedemokratisan, Pemerintah
tidak memaksa penulis/penerbit menjual
bukunya dan memersilakan peneribitannya
tanpa campur tangan Pemerintah jika mereka
menghendaki.

Buku-buku yang hak ciptanya telah dimiliki (dibeli)


Pemerintah tersedia dalam tiga bentuk, yang semuanya
dinamai Buku Sekolah Elektronik (BSE), yaitu: BSE
Internet, BSE CD, dan BSE Cetak atau Buku Murah.
Buku-buku teks yang lolos dalam penilaian tetapi tidak
dijual kepada atau dibeli oleh Pemerintah diterbitkan
hanya dalam bentuk cetakan di atas kertas
(konvesional) dan disebut Buku Layak atau Buku Teks

130
Layak. Keempat bentuk buku tersebut masing-masing
dijelaskan sebagai berikut.
1. BSE Internet adalah buku teks layak (bermutu)
yang diunggah ke internet sengan maksud dapat
diunduh oleh siapa pun baik untuk dibaca di
computer maupun untuk dicetak dalam jumlah
terbatas. Buku jenis ini disediakan untuk
mengantisipasi keterbatasaan sediaan buku
cetak di pasar. Sampai saat ini telah tersedia 940
judul BSE Internet yang dapat diakses oleh
masyarakat.
2. BSE CD adalah buku layak (bermutu) yang
isinya sama-persis dengan BSE Internet namun
disediakan dalam bentuk cakram padat (compact
disk). BSE CD disediakan dengan maksud agar
percetakan, penerbit, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah kabupaten/Kota, dan pihak-pihak
lain yang tergerak membantu penyediaan buku
teks dapat menggandakannya baik dalam
bentuk Buku Murah atau BSE Cetak maupun
dalam bentuk data elektronik (ke dalam hard

131
disk, flash disk, floppy disk, CD, dsb.) secara
masal. Jumlah judul/jilid BSE CD sama persis
dengan jumlah BSE Internet.
3. BSE Cetak adalah buku teks layak (bermutu)
yang isinya sama-persis dengan BSE Internet
maupun BSE CD namun disediakan dalam
bentuk cetakan di atas kertas dalam bentuk
buku konvensional. Singkatnya, BSE Cetak
adalah BSE CD yang dicetak. Karena hak
ciptanya dimiliki Pemerintah, harga jual eceran
tertingginya (HET-nya) ditentukan oleh
Pemerintah. HET rata-rata BSE Cetak berkisar
dari Rp 6.000,- sampai Rp 20.000,-. Karena
harganya terjangkau, BSE Cetak juga disebut
Buku Murah atau Buku Teks Murah. Setiap
orang atau badan hukum di Indonesia
diperbolehkan mencetaknya berapa pun
jumlahnya (baik untuk kepentingan sendiri
maupun untuk dijual di pasar) namun harus
mencantumkan beberapa hal yang
dipersyaratkan, yaitu: (a) harga eceran tertinggi;

132
(b) logo BSE; dan (3) keterangan bahwa hak
cipta buku tersebut dimiliki oleh Pemerintah.
4. Buku Layak atau Buku Teks Layak adalah buku
yang telah lolos penilaian dan dinyatakan layak
oleh Menteri namun hak ciptanyanya tidak
dijual kepada atau dibeli oleh Pemerintah. Buku
tersebut diperbanyak, didistribusikan, dan dijual
kepada masyarakat oleh penerbit, distributor,
dan toko buku secara mandiri. Pemerintah tidak
ikut serta dalam proses penentuan harga jual
buku-buku tersebut.

Namun, upaya yang demikian banyak dilakukan


oleh pemerintah tidak membuah hasil yang maksimal.
Kenyataan di masyarakat yang telah diteliti di tiga
provinsi yaitu, DKI Jakarta, Sumatera Barat, NTT
menyiratkan bahwa pemanfaatan buku-buku BSE
sebagai buku penunjang 67 %, dan yang
menggunakan sebagai bahan ajar utama 33 %. Hal
itu menyiratkan sebuah kenyataan bahwa yang
banyak terpakai sebagai buku ajar utama adalah

133
buku-buku terbitan swasta yang belum tentu
melewati penilaian BSNP. Kenyataan di lapangan
ditemui oleh peneliti Pemanfaatan Buku-buku BSE itu
banyak buku yang tidak melalui penilaian yang
terpakai di sekolah-sekolah.

Kunci Keberhasilan Penyediaan Buku Sekolah


Kebijakan buku BSE yang ada masih harus berhadapan
dengan permasalahan lain yang sebenarnya harus
dituntaskan terleih dahulu, jika ingin program ini dapat
berjalan maksimal. Namun apa yang terjadi sejauh ini
menunjukkan pemerintah masih terkesan setengah hati
untuk mewujudkan keberhasilan penyediaan buku
sekolah.
1. Pola memilih buku pegangan.
Perilaku umum yang dilakukan guru-guru memilih
buku sebagai pegangannya adalah buku yang
memuat tulisan sesuai dengan KTSP 2006 di sampul
buku tersebut, bukan pernyataan sudah dinilai oleh
BSNP. Belum lagi jika mengkaitkan dengan data hasil
investigasi Kelompok Independen Untuk Advokasi

134
Buku (Kitab) di beberapa wilayah seperti Jakarta,
Bekasi dan Depok menemukan jika banyak kepala
sekolah yang belum paham tentang buku elektonik.
Bahkan Fitri Sunarto selaku koordinator Kitab berani
menjamin kalau sampai saat ini belum ada satu pun
sekolah dasar yang menggunakan buku sekolah
elektronik.

2. Problem Download dan Mirror Download Buku


Anggap saja masalah melek internet dan sarana tadi
sudah selesai. Sekarang, problem bagi mereka yang
melek internet pun tetap menghadang. Situs resmi buku
elektronik tersebut ibarat satu pintu yang dimasuki oleh
banyak orang. Maka, otomatis akan terjadi kemacetan.
Lebih parah jalur keluarnya pun hanya satu, ini juga
masalah tersendiri ketika para pelajar atau guru yang
sudah duduk di depan komputer siap men-download.
Tentu ini juga menjadi masalah. Baik bagi pendidik,
pelajar, mau pun pemerintah. Buku Sekolah Elektronik
(BSE) dari Depdiknas yang ada di situs resmi
www.bse.depdiknas.go.id memang benar mempunyai

135
lima server mirror yang disiapkan untuk mengatasi
penumpukan para pengunduh dari seluruh Indonesia.
Hanya saja, sekali lagi, pintu masuknya tetap saja
melalui website BSE. Semuanya akan menumpuk di
pintu masuk. Ada beberapa langkah yang sebenarnya
bisa ditempuh jika tidak ingin lagi tersendat dalam
mengunduh buku elektronik sekolah tersebut. Ini
adalah tips bersama karena memang masalahnya adalah
masalah bersama. Pemerintah pun seharusnya belajar
lebih matang lagi dalam menyiapkan kebijakan yang
berkaitan dengan masyarakat.

3. Perluas Jaringan Pustekom dan Fasilitas Offline


Pustekom pemerintah tidak ada salahnya memperluas
mirroring dan merangkul beberapa kampus dan sejumlah
instansi di daerah untuk memudahkan. Lalu lintas
pengunduh buku akan diatur bersama. Server utama
tetap ada di Depdiknas yang terdapat pada jaringan
Pendidikan Nasional. Fasilitas offline tidak ada salahnya
ditempuh Depdiknas. Intinya, berbagai materi Buku
Sekolah Elektronik kemudian diformat ke dalam

136
bentuk kepingan compact disc (CD). Selanjutnya,
didistribusikan di dinas-dinas pendidikan seluruh
Indonesia. Jadi, sekolah yang merasa kesulitan, bisa
meminta CD tersebut.

4. Kualitas dan Ketersediaan Judul Buku BSE


Materi isi buku dalam BSE dinilai masih kurang rinci
dan lengkap jika dibandingkan dengan buku teks
pelajaran dari penerbit yang biasa digunakan sekolah-
sekolah selama ini, begitu komentar Suhirman, guru
SMA Negeri 1 Kragan sebagaimana dikutip
antarajateng.com. Sejak diresmikannya penggunaan
BSE pada sekitar bulan Agustus 2008 hingga
November 2008, dengan tidak melupakan bagaimana
rumit dan sulitnya – seperti juga banyak dikeluhkan
oleh pengunduh BSE baik yang dimuat di media cetak
maupun yang berkomentar secara elektronik di internet
– dan beberapa perubahan perbaikan pelayanan di
http://bse.depdiknas.go.id, telah tersedia sekitar 395
judul buku yang terdiri dari 95 judul buku untuk SD, 72
judul buku untuk SMP, 24 judul buku untuk SMA dan

137
204 judul buku untuk SMK. Namun sangat
disayangkan, ternyata komposisi buku BSE masih
belum memperhatikan jenis-jenis mata pelajaran
sebagaimana terdapat dalam kurikulum, khususnya
buku SD/MI dan SMP/MTs. Dari sekian judul buku
SD/MI dan SMP/MTs yang siap diunduh tidak ada
yang membahas tentang pelajaran ketrampilan,
kesenian, olahraga dan kesehatan. Sedangkan
berdasarkan Lampiran Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah disebutkan bahwa mata pelajaran tersebut
merupakan bagian dari paket mata pelajaran yang harus
diajarkan tingkatan satuan pendidikan dasar dan
menengah dalam rangka mencapai kompetensi lulusan
minimal. Bahkan mata pelajaran Teknologi Informasi
dan Komunikasi (TIK) sebagai buku materi pelajaran di
SMU baru diluncurkan kemudian. Belakangan
menyusul, atas inisiatif bersama Ristek, Depkominfo
dan Diknas, bertambah lagi satu koleksi BSE yaitu BSE

138
TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) untuk
tingkat SMU.

Nah, semoga saja saran tersebut bisa menjadi masukan


bersama. Semua bertujuan baik, hanya saja selalu ada
hal-hal yang menuntut untuk lebih matang dibicarakan.

139
Buku SMK Masih Langka

Pendidikan kejuruan bertujuan untuk meningkatkan


kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia,
serta keterampilan peserta didik untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan
program kejuruannya. Agar dapat bekerja secara efektif
dan efisien serta mengembangkan keahlian dan
keterampilan, mereka harus memiliki stamina yang
tinggi, menguasai bidang keahliannya dan dasar-dasar
ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki etos kerja
yang tinggi, dan mampu berkomunikasi sesuai dengan
tuntutan pekerjaannya, serta memiliki kemampuan
mengembangkan diri. (Permendiknas Nomor 22 Tahun
2006).

Sekolah menengah kejuruan (SMK) saat ini menjadi


sekolah yang banyak diminati dibandingkan dengan
sekolah menengah atas (SMA). Hal ini disebabkan,
masyarakat telah melihat banyaknya fakta di lapangan

140
terkait pengangguran terdidik yang mungkin
disebabkan minimnya keterampilan bagi lulusan
SMA.Tingginya animo masyarakat terhadap pendidikan
kejuruan ini ditunjukkan dengan naiknya pendaftar
setiap tahun. Pada tahun 2008, perbandingan antara
pendaftar SMK dan pendaftar SMA di Jawa Timur
adalah 48 persen dibanding 52 persen, tetapi sekarang
pada tahun 2009 sudah berubah dengan komposisi 55
persen berbanding 45 persen. Pada tahun 2012
ditargetkan jumlah pendaftar SMK mencapai 60 persen
(Kompas, 13/07/09).

Data Persentase Perbandingan Pertumbuhan


Jumlah Siswa SMA Dan SMK Di Jatim:
No. Thn. Jumlah Murid Jumlah
Pelajaran SMA Murid
SMK
1. 2002/2003 423.888 (54%) 361.771
(46%)
2. 2003/2004 427.531 (50,6%) 416.634
(49,4%)
3. 2004/2005 439.121 (51%) 421.299
(49%)
4. 2006/2007 440.808 (50,9%) 424.939

141
No. Thn. Jumlah Murid Jumlah
Pelajaran SMA Murid
SMK
(49,1%)
5. 2007/2008 500.197 (52%) 462.378
(48%)
6. 2008/2009 508.256(49,1%) 526.460
(50,9%)
(Sumber: Harian Kompas, 14 Juli 2009).

Mata pelajaran Kejuruan terdiri atas beberapa mata


pelajaran yang bertujuan untuk menunjang
pembentukan kompetensi kejuruan dan pengembangan
kemampuan menyesuaikan diri dalam bidang
keahliannya. Adalah Akuntansi merupakan salah satu
mata pelajaran wajib di sekolah kejuruan. Mata
pelajaran ini memiliki tujuan untuk membentuk
manusia Indonesia seutuhnya dalam spektrum manusia
kerja. Berdasarkan pada peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 Tahun 2006, sesuai dengan jenis-
jenis kelompok keahlian pada SMK, maka kurikulum
akuntansi yang diajarkan pun menyesuaikan dengan
kelompok keahliannya.

142
Kita tahu bahwa buku ajar merupakan kebutuhan
utama setelah guru, dalam proses pembelajaran.
Tingkat kepentingan dan kebermaknaan buku pelajaran
sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan siswa
dalam belajar tidak perlu diragukan lagi. Laporan
Word Bank (1989) mengenai adanya korelasi yang
positif antara kepemilikan buku dan
fasilitas lainnya dengan prestasi belajar siswa patut
digarisbawahi. Hal ini dikukuhkan pula oleh hasil
penelitian Supriadi (1997) yang mempertegas bahwa
tingkat kepemilikan siswa akan buku berkorelasi
positif dengan prestasi belajar yang dicapainya.
Fenomena yang sama terjadi pula di Filipina.
Dilaporkan oleh Word Bank (1995) bahwa
peningkatan rasio kepemilikan buku di negeri
tersebut dari 1 : 10 menjadi 1 : 20 dapat
meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan.
Kenyataan tersebut menyebabkan banyak negara
menyadari arti pentingnya buku pelajaran bagi para
pelajar. Oleh karenanya, banyak negara yang

143
berinvestasi secara besar-besaran dalam hal
pengadaan buku (pelajaran), termasuk Indonesia.
Berpijak dari argumentasi bahwa penunjang
keberhasilan proses pembelajaran adalah buku, dengan
kondisi ideal masing-masing individu siswa memiliki
buku pelajaran yang dijadikan sebagai rujukan. Dengan
memiliki buku ajar Akuntansi sesuai dengan
kelompoknya (sebagaimana di atas), maka siswa dapat
―belajar lagi‖ di rumah atau di luar sekolah. Namun,
kondisi ini belum berhasil ditemukan penulis pada
buku-buku ajar akuntansi yang idealnya mudah
ditemukan di toko buku seperti halnya buku-buku
pelajaran jenjang pendidikan lain.

Penelusuran Buku SMK di Toko Buku


Di masa lalu, pengadaan buku pelajaran ditangani
pemerintah melalui Pusat Perbukuan Depdiknas .
Kebijakan tersebut tidak lagi dipakai saat ini.
Pemerintah memberikan kesempatan yang seluas-
luasnya kepada khalayak untuk turut serta berperan
aktif dalam pengadaan buku pelajaran. Meskipun

144
begitu, standar penetapan mutu buku pelajaran
berada di bawah tanggung jawab pemerintah c.q
Pusbuk Depdiknas melalui suatu mekanisme seleksi
dan penilaian yang ketat. Artinya, hanya buku-buku
pelajaran yang memenuhi standar mutu
pemerintahlah yang dinyatakan lolos, lulus, layak pakai,
dan layak edar bagi penggunaannya oleh siswa di
sekolah-sekolah. Hal ini digariskan dalam UU N0
22 tahun 2000 tentang otonomi daerah serta
Kepmendiknas 175/O/2001 tentang Struktur
Organisasi dan Tata Kerja Pusat Perbukuan.

Namun, sayangnya kebijakan ini masih belum berjalan


maksimal dilapangan. Dari penelusurannya ketika, saya
pergi ke toko buku, baik toga mas, gramedia, maupun
hingga menelusuri gang-gang toko buku bekas di
Baluran, Jalan Semarang didaerah Surabaya , Jl. Wilis
didaerah Malang , di kedua tempat tersebut saya belum
berhasil menemukan buku yang merupakan buku ajar
akuntansi SMK meskipun ketemu pasti hanya ada satu
buah dengan kondisi yang tidak relevan. Hingga

145
akhirnya saya menjadi teringat akan buku sekolah
elektronik (BSE) yang disediakan online dan gratis bagi
masyarakat.

Penelusuran Buku SMK di Dunia Maya


Untuk awal aku gunakan keyword ―BSE SMK‖ pada
search engine di google.com, akhirnya ada beberapa
link download BSE SMK. BSE itu sendiri lahir atas
dasar kebutuhan akan ketersediaan buku yang
memenuhi standar nasional pendidikan dengan harga
murah yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas.
Ditengah krisis ekonomi global yang berdampak pada
rendahnya daya beli masyarakat, maka pemerintah
melalui Departemen Pendidikan Nasional sepertinya
mencoba membuat kebijakan baru yakni dengan
meluncurkan Buku Sekolah Elektronik (BSE) pada
tanggal 20 Agustus 2008. Pemerintah telah membeli
hak cipta buku teks pelajaran langsung dari penulis dan
menyebarluaskan buku melalui internet. Guru,
murid/orang tua murid, dan kepala sekolah
diperbolehkan mengunduh, mencetak dan juga

146
memperjualbelikan buku dengan harga yang telah
ditetapkan pemerintah. Tujuan diluncurkannya BSE tak
lain adalah dapat menyediakan sumber belajar alternatif
bagi siswa, dapat merangsang siswa untuk berpikir
kreatif dengan bantuan teknologi informasi dan
komunikasi, memberi peluang kebebasan untuk
menggandakan, mencetak,memfotocopy,
mengalihmediakan, dan/atau memperdagangkan BSE
tanpa prosedur perijinan, dan bebas biaya royalti, dan
memberi peluang bisnis bagi siapa saja untuk
menggandakan dan memperdagangkan dengan proyeksi
keuntungan 15% sesuai dengan ketentuan yang
diberlakukan Menteri.
Karena BSE ini berupa e-book, maka untuk
mendapatkan filenya diperlukan komputer yang
terkoneksi internet, yakni dengan mengakses salah satu
dari beberapa situs yang disediakan, diantaranya:
http://www.bse.depdiknas.go.id, www.depdiknas.go.id,
www.pusbuk.or.id, atau www.sibi.or.id. Setelah
mendapat filenya, masyarakat diberi kebebasan untuk
meng-copy, mencetak, menggandakan,

147
mengalihmediakan bahkan sampai dengan
memperdagangkannya. Buku yang diterbitkan secara
online tersebut, menurut Mendiknas, merupakan buku-
buku yang telah dibeli hak ciptanya oleh Depdiknas
yang telah dinilai kelayakannya oleh Badan Standar
Nasional Pendidikan (BSNP).

Namun, ternyata kebijakan inipun tak serta merta


memberikan solusi, bahkan dapat dikatakan berekses
pada timbulnya permasalahan baru. Menurut
Rahmawati (2011) beberapa masalah BSE yang ditemui,
yaitu: (1) Jangankan memiliki fasilitas internet,
perangkat komputerpun bagi sebagian sekolah di tanah
air mungkin belum terakomodasi sehingga biaya yang
harus dikeluarkan untuk mendownload hingga tahap
pencetakan bisa jadi lebih mahal; (2) cara mendownload
kurang praktis dan efektif karena file yang disediakan
masih per bab, tidak satu buku utuh, sehingga
membutuhkan waktu lama untuk mengunduh satu
buku saja; (3) kondisi file-file yang mau diunduh masih
campur aduk, tidak sistematis walaupun sudah

148
dipisahkan per jenjang; (4) besarnya file yang mau
diunduh, sehingga perlu dilakukan kompresi dan
terkadang jika banyak yang mengakses pada saat yang
bersamaan butuh waktu yang cukup lama untuk dapat
mendownload 1 file saja; (5) buku yang disediakan
belum memadai/mengakomodasi semua kebutuhan
sekolah; (6) masih banyak sekolah dan orang tua siswa
yang belum terbiasa dengan internet sehingga sulit bagi
mereka untuk mendownload sendiri, ini berdampak
pada tidak semua sekolah dapat merasakan manfaat
BSE, dapat dikatakan hanya sebagian kecil saja yang
mampu secara mudah mendownload, mencetak serta
mendistribusikannya kepada para siswa; (7) tidak semua
pihak setuju dengan kebijakan ini, terutama para
penerbit buku, karena sejak diluncurkannya BSE
melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor
2 Tahun 2008 para penerbit buku dilarang menjual
buku ke sekolah-sekolah.

Bahkan dalam penelitian Survey Penggunaan Buku


Teks dari Buku Swasta Non BSE yang dilakukan di

149
tiga provinsi yaitu, DKI Jakarta, Sumatera Barat,
NTT menyiratkan bahwa pemanfaatan buku-buku
BSE sebagai buku penunjang 67 %, dan yang
menggunakan sebagai bahan ajar utama 33 %. Hal
itu menyiratkan sebuah kenyataan bahwa yang
banyak terpakai sebagai buku ajar utama adalah
buku-buku terbitan swasta yang belum tentu
melewati penilaian BSNP. Kenyataan di lapangan
ditemui oleh peneliti Pemanfaatan Buku-buku BSE itu
banyak buku yang tidak melalui penilaian yang
terpakai di sekolah-sekolah. Guru-guru memilih
buku sebagai pegangannya adalah buku yang
memuat tulisan sesuai dengan KTSP 2006 di sampul
buku tersebut, bukan pernyataan sudah dinilai oleh
BSNP.

Berpindah dari BSE saya memutuskan melanjutkan


penelusuran saya didunia maya, dengan mengganti
―keyword‖ yang baru. Setelah mengutak atik kata kunci
pada seach angine google.com, akhirnya saya
menemukan beberapa link yang cukup memberikan

150
hasil namun masih jauh dari harapan karena belum
lengkap seperti:
1. http://bse.depdiknas.go.id/ . Belum semua buku
akuntansi ada, akuntansi perbankan, buku2 Dasar-
Dasar Kompetensi juga tidak ada
2.http://bos.fkip.uns.ac.id/pub/ono/pendidikan/
materi-kejuruan/bisnis-manajemen/akuntansi/ .
Di situs ini lumayan dapat saya temukan beberapa
materi meski hanya berbentuk modul, tapi mungkin
hanya saya dan beberapa orang tau link ini dan
bagaimana membukanya. Perlu diketahui link ini masuk
pada root website, yang memang diciptakan oleh Bapak
Dr. Onno W. Purbo untuk mudah diakses. Beberapa
modul merupakan peninggalan Bapak Dr. Ir. Gatot
Hari Priowirjanto sewaktu menjabat sebagai Direktur
Pendidikan Menengah Kejuruan.
3. http://psmk.net. Ini merupakan situs resmi
Direktorat Pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan,
tapi sayang tidak ada tautan buku yang dapat saya
temukan. Sungguh ironis memang jika melihat bahwa

151
ini situs resmi, terlebih melihat penampilan websitenya
yang tidak menarik dan informatif
4. http://pustaka.ictsleman.net/bisnis/ Link ini
merupak root website, saya memang suka memeriksa
root karena terkadang karena webmasternya memang
dermawan, biasanya rootnya dibiarkan terbuka. Namun
sayang rootnya tertutup dan anehnya saat membuka
situs resminya kategori bahan ajar bisnis ternyata tidak
ada melihat kenyataan ini, komitmen pemerintah dalam
mengembangkan sekolah kejuruan masih sebatas
peningkatan sarana prasarana fisik seperti gedung,
laboratorium, namun belum memberikan perhatian
serius terhadap penulisan dan/atau penerbitan buku
akuntansi kejuruan. Bisnis buku pelajaran adalah
knowledge industry, creative industry (industri
pengetahuan, industri kreatif). Industri jenis ini
bukanlah sekadar membuat dan menjual BSE seperti
menjual gorengan yang per se terbuat dari pisang,
singkong, dan ketela yang sehat tapi berkolesterol tinggi
karena memakai minyak jelantah. Walaupun buku
pelajaran dicetak dengan kertas koran dan tidak

152
berwarna dan siklus hidupnya hanya 2 tahun, namun
isinya harus bermutu. Ini syarat mutlak, conditio sine qua
non. Inilah kebijakan buku pelajaran yang ditempuh
RRC dan India yang memiliki jumlah siswa terbanyak di
dunia. Dan, kebijakan perbukuan yang diterapkan
secara konsisten menjadi salah satu faktor yang
melahirkan generasi muda India dan Cina yang kini
menguasai ilmu dan teknologi dan menjadi dua dari
kekuatan multipolar dunia.

153
UNAS Tahun 2011

Temuan adanya 900 kecurangan selama pelaksanaan


UN Tahun 2010 oleh Kementerian Pendidikan
Nasional RI pada tingkat Sekolah Menengah Atas
(SMA) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP)
mengenai bocoran kunci jawaban UN. Hal ini benar-
benar dijadikan referensi dalam pelaksanaan UNAS
Tahun 2011, dengan pembatasan pelaksanaan UN
Tahun Pelajaran 2010/2011 dilaksanakan satu kali, dan
tidak ada UN Ulangan. Kemendiknas juga menyediakan
lima paket soal pada ujian nasional (UNAS) tahun 2011
ini, secara tidak langsung membenarkan adanya hal
yang belum dicapai pada pelaksanaan UNAS sebagai
proses evaluasi. Menurut Tyler (dalam Arikunto, 2003:
3) evaluasi didefinisikan merupakan proses
pengumpulan data untuk menentukan sejauhmana,
dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan
seudah tercapai. Jika belum, bagaimana yang belum dan
apa sebabnya. Definisi ini dikembangkan oleh
Cronbach dan Stufflebeam (dalam Arikunto, 2003: 3)
154
dengan menambahkan bahwa evalausi bukan sekedar
mengukur sejauhmana tujuan tercapai, tetapi digunakan
untuk membuat keputusan. Dari dua definisi tersebut
dapat kita simpulkan bahwa evaluasi pendidikan dan
pembelajaran adalah proses kegiatan untuk
mendapatkan informasi data mengenai hasil belajar
mengajar yang dialami siswa dan mengolah atau
menafsirkannya menjadi nilai berupa data kualitatif atau
kuantitatif sesuai dengan standar tertentu. Hasilnya
diperlukan untuk membuat berbagai putusan dalam
bidang pendidikan dan pembelajaran. Berangkat dari
hal ini maka keberadaan UNAS sendiri merupakan
bentuk evaluasi pembelajaran terpenting, tentunya
selama proses evaluasi itu berjalan dengan semestinya.

Keberadaan lima paket soal UNAS juga diharapkan


memperkecil siapa pun yang mau intervensi karena
kesulitan, namun semoga ini bukan merupakan alasan
utama kenapa diperbanyak paketnya. Selanjutnya,
menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan
Kementerian Pendidikan Nasional (Balitbang

155
Kemendiknas) Prof Mansur Ramli (DetikNews.com, 24
Februari 2011) menyebutkan bahwa bobot
penggabungan adalah 60% untuk UN dan 40% untuk
US. Misal nilai UN = 8 dan US = 9. Nilai akhirnya = 8
X 0,6 + 9 X 0,4 = 4,8 + 3,6 = 8,4 berarti lulus karena
syarat kelulusannya adalah 5,5 juga merupakan hal baru
lainnya yang ada pada UNAS Tahun 2011 ini selain 5
paket soal tadi. Prinsipnya kelulusan siswa antara lain
ditentukan oleh nilai akhir yaitu gabungan antara nilai
ditentukan oleh nilai akhir yaitu gabungan antara nilai
UN yang diselenggarakan Badan Standardisasi Nasional
Pendidikan (BSNP) dan nilai ujian sekolah (US) yang
mengakomodir rata-rata nilai rapor semester 1 sampai
dengan 5 untuk SMP dan SMA. Formula yang
digunakan adalah menggabungkan 60 persen hasil ujian
nasional (UN) ditambah 40 persen prestasi sekolah
terdiri dari nilai ujian dan rapor. Nilai setiap mata
pelajaran minimum 4,00.

Untuk materi ujian UNAS Tahun 2011 menggunakan


standar Kompetensi Lulusan Ujian Nasional (SKLUN)

156
Tahun Pelajaran 2010/2011 merupakan irisan
(interseksi) dari pokok bahasan/sub pokok bahasan
Kurikulum 1994, Standar Kompetensi dan Kompetensi
Dasar pada Kurikulum 2004, dan Standar Isi.
Sedangkan, dalam pengawasan pelaksanaan ujian
nasional tahun 2011 ini tetap menggunakan pengawas
silang. Guru di suatu sekolah tidak diperkenankan
menjadi pengawas di sekolahnya sendiri, tetapi harus
menjadi pengawas di sekolah lain. Ini dilakukan demi
menghindari adanya tindakan kecurangan yang
dilakukan siswa, bekerja sama dengan guru dalam
mengerjakan soal-soal ujian. Pengawas silang ini juga
sesuai dengan standar pusat dalam pelaksanaan UN.

Dengan adanya beberapa perbaikan diatas tentunya


perlu kita sambut dengan positif, sebab semuanya
merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas
output pendidikan. Hal ini senada dengan apa yang
disampaikan Menteri Pendidikan Nasional M Nuh
(Republika.co.id 31 Desember 2010) mengatakan, Ujian
Nasional 2011 menggunakan formulasi baru dengan

157
mengkombinasikan nilai ujian nasional dan prestasi
sekolah. Idealnya prestasi sekolah akan merupakan
cerminan hasil UNAS yang diselenggarakan. Meski
demikian pekerjaan berat ke depan adalah
meningkatkan ―legitimasi‖ hasil UNAS itu sendiri,
sebab sejauh ini pihak perguruan tinggi belum
memercayai model UN dan tidak mau menggunakan
hasil UN sebagai standar kompetensi lulusan dalam
memasuki perguruan tingginya.

Maka dengan demikian kualitas pendidikan di


Indonesia dapat dioptimalkan dengan pelaksanaan UN.
Pelaksanaan UN sendiri mesti optimal dengan
menghindari kecurangan yang hanya akan merugikan
semua pihak pada akhirnya. Ini juga sesuai dengan apa
yang disebut dengan tujuan pendidikan Islam, World
Conference on Muslim Education oleh Hasan
Langgulung (1986): ―Education should aim at balanced
growth of the total personality of man through Man‘s
spirit, intelellect the rational self, feelings and bodily
senses. Education should therefore cater for the growth

158
of man in all its aspects, spirituals, intelectual,
imaginative, physical, scientific, linguistic, both
individually and collectively, and motivate all these
aspects toward goodness and attainment of perfection.
The ultimate aim of Muslim Education lies in the
realization of complete submission to Allah on the level
of individual, the community and humanity at large.‖

159
Menjadi Seorang Guru

160
Profesi Genetik

Tentu tidak ada yang dapat membayangkan profesi


yang akan dia geluti setelah menyelesaikan pendidikan
formal. Semua berjalan sesuai dengan garis takdir yang
telah ditentukan Sang Maha Kuasa. Demikian hal
dengan Bejo yang setelah lulus SMA harus dipaksa
orang tuanya untuk kuliah di Akuntansi. Tepatnya di
kampus neneknya terdahulu, Universitas Negeri
Surabaya yang disingkat UNESA, sehingga sering Bejo
memplesetkannya menjadi UNESA = Universitas
Nenek Saya. Banyak hal-hal aneh yang dia alami selama
menjalani status mahasiswanya, hingga akhirnya dia
menemukan pelajaran hidup yang terbaik.

Singkat cerita, menjelang detik-detik pendaftaran orang


tua Bejo memberikan pilihan untuk memilih jurusan
pendidikan ekonomi, pokoknya harus jadi guru begitu
ceritanya. Jamak kita temui peristiwa yang dialami Bejo,
atau bahkan kita sendiri adalah salah satunya. Tidak

161
jarang kita sebagai orang tua merasa paling berhak
terhadap anak-anak kita, mulai dari baju apa yang harus
mereka pakai, dimana ia harus bersekolah, dengan siapa
dia harus berteman, hingga pekerjaan terbaik yang
harus dia miliki. Sekarang, cobalah kita renungkan
kembali apakah semua itu adalah untuk anak-anak kita,
atau ambisi masa muda kita yang gagal kita raih. Lalu,
apakah seorang anak tidak boleh memilih dengan
bebas, akan menjadi seperti apa dia nanti dengan semua
potensinya ?

George Bernard Shaw adalah penulis besar kelahiran


Irlandia. Kecerdasannya sangat luar biasa, sehingga
Shaw pernah memperoleh hadiah Nobel untuk karya
sastra, sekaligus penerima Piala Oscar untuk karyanya
yang diangkat ke layar perak. Demikian
mengagumkannya kecerdasan seorang George Bernard
Shaw, sehingga konon dia pernah dilamar oleh seorang
aktris cantik. Dengan maksud, supaya kelak
menghasilkan keturunan yang rupawan seperti ibunya,
dan cerdas seperti ayahnya. Namun, Shaw kemudian

162
menjawab, ―Lalu bagaimana kalau kita memiliki anak
dengan otak seperti Anda, dan wajah seperti saya?‖. Ya
demikianlah menurut ilmu genetika. Pola pikir hahwa
banyak hal kita warisi secara turun temurun dari orang
tua kita. Kulit kita yang sawo matang, rambut kita yang
hitam, hidung kita yang tidak mancung. Hingga ke hal-
hal yang sifatnya non fisik seperti misalnya sifat atau
bakat tertentu. Maka banyak anak penyanyi yang
kemudian menjadi penyanyi, anak jenderal jadi tentara,
dan anak pedagang jadi pedagang. Maklum, bakat dari
orang tua nya mengalir deras di darah mereka. Mungkin
pola pikir ini yang menjadikan Bejo, harus tidak
memiliki pilihan lain selain memenuhi profesi yang
diturunkan oleh nenek moyangnya terdahulu sebagai
guru.

Tapi, apakah benar hingga hal-hal yang bersifat non


fisik seperti profesi kita warisi secara turun temurun,
atau, mungkinkah bakat seseorang memang bisa
berubah?

163
Prof. Kazuo Murakami, seorang ahli genetika, dalam
bukunya The Divine Message of The DNA yang
kemudian membuka wawasan saya lebih luas. Ternyata
menurut ilmu genetika memang betul, segala sesuatu
yang merupakan ―bakat‖ ditentukan oleh kode genetis
yang ada dalam DNA kita. Sebagai gambaran, setiap
kilogram tubuh kita terdiri dari sekiar 1 trilyun sel. Jadi
seorang bayi yang baru lahir sudah memiliki sekitar 3
trilyun sel. Padahal awalnya kita hanyalah satu buah sel
yang sudah dibuahi. Yang kemudian membelah menjadi
2, 2 menjadi 4, 4 menjadi 8 dan seterusnya hingga
trilyunan tadi. Setiap sel memiliki inti sel (nucleus) yang
mengandung DeoxyriboNucleic Acid (DNA). DNA
inilah yang menyimpan kode genetis yang menjadi cetak
biru tubuh kita. Jadi akan menjadi seperti apa kita,
seolah sepertinya sudah terprogram dalam DNA tadi.
Lalu jika dalam setiap sel tubuh kita terdapat DNA
yang sama, bagaimana sebuah sel tahu bahwa ia adalah
bagian dari rambut, misalnya, dan kapan rambut mulai
tumbuh, dsb. Menurut pakar genetika, ternyata terdapat
mekanisme ―nyala/padam‖ pada DNA tadi. Sebagai

164
contoh, gen yang menentukan sifat kelamin laki-laki
(berkumis, bersuara berat, dsb) yang semula ―padam‖
akan ―menyala‖ pada saat pubertas.

Bahkan, lebih jauh lagi. Proses nyala/padam tadi


ternyata dapat terjadi sebagai respon lingkungan yang
berubah. Dua ilmuwan dari Institut Pasteur mengamati
hal ini. Bakteri E.Coli yang hanya mengkonsumsi
glukosa, ternyata ketika ditempatkan pada lingkungan
yang hanya ada laktosa, mampu merubah diri menjadi
pemakan laktosa. Mekanisme internalnya sangat ajaib,
karena bakteri adalah makhluk satu sel. Sehingga
perubahan menjadi pemakan laktosa seolah-olah seperti
menyalakan sebuah kemampuan yang semula tidak
nampak. Dan ini membawa konsekuensi luar biasa.
Karena jika benar gen pembawa sifat tadi memiliki
mekanisme nyala-padam seperti itu. Kita tidak pernah
tahu potensi apa dalam diri kita yang saat ini belum kita
nyalakan. Jangan-jangan saya juga memiliki bakat
bermain saksofon sebagus Dave Koz, hanya saat ini
belum dinyalakan saja. Atau jangan-jangan ada bakat

165
bisnis sehebat Donald Trump yang masih terpendam
dalam diri saya, dan menunggu dinyalakan?

Dan memang demikianlah menurut Prof. Murakami.


Bahwa bakat seseorang dapat muncul pada umur
berapapun. Banyak sekali contoh pemusik atau
olahragawan yang semula hanya memperlihatkan
―bakat‖ yang biasa-biasa, namun kemudian tumbuh
secara luar biasa seiring dengan disiplin dan latihan
yang dilakukan. Atau seorang yang hari ini dikenal
sebagai ilmuwan genius, padahal teman SD nya
mengenal dirinya dulu sebagai anak yang kurang pandai.
Atau seseorang yang hari ini dikenal sebagai politisi dan
orator hebat, sementara dulunya anak yang kuper. Jadi
kalau anak Anda hari ini kurang pandai matematika,
sumbang kalau bernyanyi, atau kurang berprestasi
dalam orahraga. Anda tidak perlu buru-buru frustrasi
sambil berteriak ―Ah, dasar gak bakat‖. Siapa tahu, gen
positif pembawa bakatnya saja yang belum menyala.
Dan disinilah peran guru dan orang tua untuk
menyalakannya, dengan memberikan ruang yang luas

166
bagi seorang anak mengembangkan bakatnya. Tentu,
seorang Bejo yang ada pada cerita ini belum tentu akan
menjadi guru, atau bahkan akan menjadi guru yang luar
biasa jika orang tua atau gurunya mampu bertindak
demikian. Memberikan ruang berarti memberikan
penghargaan terhadap potensi luar biasa yang ada di
setiap anak. Sekarang, sudahkah kita melakukannya
untuk anak-anak kita?

167
Menjadi Guru Berpredikat
Profesional

Meski saat ini telah lahir Undang-Undang No. 14


Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai landasan
yuridis profesi guru, tetapi untuk menjadikan guru di
Indonesia sebagai sebuah pekerjaan profesional yang
sejatinya (A True Professional) tampaknya masih perlu
dikaji dan direnungkan lebih jauh.

Berdasarkan kriteria yang pertama, seorang guru bisa


dikatakan sebagai seorang profesional yang sejatinya
apabila dia memiliki latar belakang pendidikan
sekurang-sekurangnya setingkat sarjana. Dalam
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 disebutkan bahwa
untuk dapat memangku jabatan guru minimal memiliki
kualifikasi pendidikan D4/S1. Ketentuan ini telah
memacu para guru untuk berusaha meningkatkan
kualiafikasi akademiknya, baik atas biaya sendiri
maupun melalui bantuan bea siswa pemerintah.

168
Walaupun, dalam beberapa kasus tertentu ditemukan
ketidakselarasan dan inkonsistensi program studi yang
dipilihnya. Misalnya, semula dia berlatar belakang D3
Bimbingan dan Konseling tetapi mungkin karena
alasan-alasan tertentu yang sifatnya ―pragmatis‖, dia
malah melanjutkan studinya pada program studi lain.
Belum lagi yang kemudian berfikir pendek hingga
berani mengambil jalan singkat, dengan proses yang
tidak bertanggung jawab

Terkait dengan kriteria kedua, guru adalah seorang ahli.


Sebagai seorang ahli, maka dalam diri guru harus
tersedia pengetahuan yang luas dan mendalam
(kemampuan kognisi atau akademik tingkat tinggi) yang
terkait dengan substansi mata pelajaran yang menjadi
tanggung jawabnya. Dia harus sanggup
mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksi dan
mengendalikan tentang berbagai fenomena yang
berhubungan dengan mata pelajaran yang diampunya.
Misalnya, seorang guru Biologi harus mampu
menjelaskan, mendeskripsikan, memprediksikan dan

169
mengendalikan tentang berbagai fenomena yang
berhubungan dengan Biologi, walaupun dalam hal ini
mungkin tidak sehebat ahli biologi (sains).

Selain memiliki pengetahuan yang tinggi dalam


substansi bidang mata pelajaran yang diampunya,
seorang guru dituntut pula untuk menunjukkan
keterampilannya secara unggul dalam bidang
pendidikan dan pembelajaran (kemampuan pedagogik),
seperti: keterampilan menerapkan berbagai metode dan
teknik pembelajaran, teknik pengelolaan kelas,
keterampilan memanfaatkan media dan sumber belajar,
dan sebagainya. Keterampilan pedagogik inilah yang
justru akan membedakan guru dengan ahli lain dalam
bidang sains yang terkait. Untuk memperoleh
keterampilan pedagogik ini, di samping memerlukan
bakat tersendiri juga diperlukan latihan secara sistematis
dan berkesinambungan.

Lebih dari itu, seorang guru tidak hanya sekedar unggul


dalam mempraktikkan pengetahuannya tetapi juga

170
mampu menuliskan (literary skills) segala sesuatu yang
berhubungan bidang keilmuan (substansi mata
pelajaran) dan bidang yang terkait pendidikan dan
pembelajaran, misalnya kemampuan membuat laporan
penelitian, makalah, menulis buku dan kegiatan literasi
lainnya. Inilah kriteria yang ketiga dari seorang
profesional.

Kriteria keempat, seorang guru dikatakan sebagai


profesional yang sejatinya manakala dapat bekerja
dengan kualitas tinggi. Pekerjaan guru termasuk dalam
bidang jasa atau pelayanan (service). Pelayanan yang
berkualitas dari seorang guru ditunjukkan melalui
kepuasan dari para pengguna jasa guru yaitu siswa.
Kepuasaan utama siswa selaku pihak yang dilayani guru
terletak pada pencapaian prestasi belajar dan
terkembangkannya segenap potensi yang dimilikinya
secara optimal melalui proses pembelajaran yang
mendidik. Untuk bisa memberikan kepuasan ini
tentunya dibutuhkan kesungguhan dan kerja cerdas dari
guru itu sendiri.

171
Kritera terakhir, seorang guru dikatakan sebagai
seorang profesioanal yang sejati apabila dia dapat
berperilaku sejalan dengan kode etik profesi serta dapat
bekerja dengan standar yang tinggi. Beberapa produk
hukum kita sudah menggariskan standar-standar yang
berkaitan dengan tugas guru. Guru profesional yang
sejatinya tentunya tidak hanya sanggup memenuhi
standar secara minimal, tetapi akan mengejar standar
yang lebih tinggi. Termasuk dalam kriteria yang kelima
adalah membangun rasa kesejawatan dengan rekan
seprofesi untuk bersama-sama membangun profesi dan
menegakkan kode etik profesi.

Peranan Guru Sebagai Pendidik


Guru mempunyai peranan yang sangat besar dalam
mendidik murid-murid sejajar dengan falsafah
pendidikan kenegaraan yang berarti ―build the nation‖.
Kemahiran dan pengalaman mengajar bukan saja
didapat di ruang-ruang kuliah, tetapi dari keterlibatan
yang menyeluruh dan berpadu melalui pelbagai aktivitas
gerak kerja. Profesi keguruan menuntut guru-guru

172
melengkapi diri mereka dengan pelbagai pengetahuan
dan kemahiran. Tidak hanya itu, di antara peranan dan
tanggungjawabnya, guru juga berperan sebagai
pengurus organisasi pendidkan.

Berdasarkan uraian di atas, ada sebuah refleksi bagi saya


dan mungkin juga Anda bahwa untuk menjadi guru
dengan predikat sebagai profesional yang sejati
tampaknya tidaklah mudah, tidak cukup hanya
dinyatakan melalui selembar kertas yang diperoleh
melalui proses sertifikasi. Tetapi betapa kita dituntut
lebih jauh untuk terus mengasah kemampuan kita
secara sungguh-sungguh guna memenuhi segenap
kriteria yang telah dikemukakan di atas, yang salah
satunya dapat dilakukan melalui usaha belajar dan terus
belajar yang tiada henti.

Namun banyak diantara kita meski hal ini perlu


penelitian mendalam, masih jauh dari esensi guru yang
layak tersertifikasi. Fakta banyak ditemukan guru belum
mampu menyusun RPP yang benar, pembuatan media

173
dan penggunaannya. Hingga konsistensi guru dalam
melaksanakan semua tupoksinya, termasuk kegiatan
pengembangan profesi (KTI) pun harus dibuat guru
melalui proses yang serba boleh. Semua hal ini
menegaskan bahwa program sertifikasi guru perlu
adanya komitmen dan pengawalan yang maksimal.
Jika tidak, maka kita mungkin hanya akan menyandang
predikat sebagai ―guru-guruan‖, alias pura-pura menjadi
guru atau malah mungkin menjadi guru gadungan yang
justru akan semakin merusak dan membahayakan
pendidikan. Bukan menjadi guru yang luar biasa tetapi
biasa diluar, yang selalu mangkir dari pekerjaannya
sebagai guru. Hingga pada akhirnya sertifikasi lebih
merupakan ―buah simalakama‖ yang hanya
memberikan beban baru bagi guru, namun tidak
dimaknai sebagai tuntutan peningkatan kualitas pribadi
dan intelektualitas seorang pendidik. Bukankah guru
adalah mereka yang selalu belajar?

174
Mengapa Guru
Harus Menulis

Guru yang baik adalah guru yang menulis. Tulisan


adalah senjata efektif untuk mengkritisi sekaligus solusi
permasalahan di negeri. Kata-kata lebih tajam daripada
senjata, lihat saja tulisan Ki hajar Dewantara dengan
Alks in Netherland Was yang mampu menggugah
parlemen Belanda untuk mengakhiri politik tanam
paksanya di Indonesia. Namun mengapa banyak orang
tidak sanggup untuk menulis? Jawabnya mudah saja.
Karena keterampilan ini hanya bisa muncul kalau kita
banyak membaca buku dan menjadi pendengar yang
baik. Menulis dan membaca adalah satu kesatuan utuh.
‖Itu sudah hukumnya‖, kata Mas Hernowo penulis
buku best seller “Mengubah Sekolah”. Artinya,
membaca dan menulis merupakan satu kesatuan yang
tidak dapat terpisahkan,. saling memberi dan menerima
(take and give).

175
Pertanyaan yang ada kemudian adalah mengapa seorang
guru harus menulis? Salah satu yang dapat dijadikan
alasan adalah peraturan baru yang mewajibkan guru dari
golongan III/b diwajibkan membuat karya
pengembangan profesi minimal 2 untuk bisa naik
pangkat ke golongan III/c. Dari golongan III/c ke
III/d minimal 4 angka kredit pengembangan profesi.
Golongan III/d ke IV/a = 6, Golongan IV/a ke IV/b
= 8, IV/b ke IV/c = 10, IV/c ke IV/d = 12, dan IVd
ke IV/e =14. Jika peraturan tersebut telah benar-benar
diberlakukan, maka sudah saatnya bagi guru golongan
III untuk memulai melakukan pengembangan profesi,
yang salah satunya dapat dilakukan dengan membuat
karya tulis ilmiah.Namun apakah hanya karena aturan
itu saja, mengapa seorang guru harus menulis. Lebih
jauh mari kita kupas manfaat menulis bagi seorang
guru, sehingga terdapat alasan yang kuat mengapa
seorang guru harus membiasakan diri menulis.

176
Menghitung Manfaat Menulis
Kalau ditelisik lebih jauh, manfaat menulis di media
massa cukup banyak. Pertama, ini kiranya yang
terpenting, yakni untuk mendapatkan nilai kredit (credit
point) bagi profesinya sebagai guru. Dengan menulis
guru yang bersangkutan akan mendapatkan nilai angka
kredit, dan ini berdampak langsung bagi
karier/kepangkatan.

Kedua, dengan menulis seorang guru dapat


meningkatkan kepercayaan dirinya. Tulisan-tulisan yang
berhasil dimuat di media massa bisa lebih meyakinkan
dirinya lagi bahwa ia memiliki kualitas. Tulisan-tulisan
itu dapat menjadi bukti nyata dari kualitas dan
kapabilitasnya sebagai seorang pendidik.
Ketiga, dengan menulis secara kontinyu, berarti seorang
guru telah mengedukasi masyarakat. Jadi, guru tak
hanya mendidik para siswa di sekolah, bahkan juga
menjadi ‗guru‘ bagi masyarakat. Dengan menulis, para
guru yang penulis dapat berbagi (sharing) kepada
masyarakat pembaca melalui ide-ide yang dituangkan ke

177
dalam artikelnya. Alangkah menyenangkan kalau
melalui artikel-artikelnya di media cetak para guru juga
bisa berbagi kepada masyarakat luas, bukan?
Masyarakat kita tentu akan semakin cepat meningkat
kecerdasan dan meningkat pula pengetahuannya
melalui bantuan para guru yang penulis.

Keempat, dengan menulis seorang guru akan


mendapatkan tambahan penghasilan dari honorarium
yang diterima atas dimuatnya tulisannya di koran atau
majalah. Sebutlah, misalnya, dalam sebulan ia dapat
meloloskan artikelnya sebanyak 4 buah di sebuah media
nasional. Andaikan honor setiap artikel itu sebesar
Rp.250.000 rupiah. Jadi, dalam sebulan ia akan
mendapatkan tambahan penghasilan satu juta rupiah.
Lumayan untuk menambah isi kantong, bukan?

Kelima, dengan menulis, seorang guru akan


meningkatkan kecerdasan atau intelektualitasnya.
Mengapa? Karena, untuk menulis, ia mesti menggali
berbagai sumber informasi yang relevan. Aktivitas ini

178
berdampak langsung terhadap peningkatan kemampuan
intektual dan daya imajinasinya.

Diperlukan Komitmen
Banyak sekali alasan yang bisa dipakai sebagai dalih bagi
seseorang untuk menolak atau menghindari kegiatan
menulis. Seperti disebutkan di awal, kesibukan-
kesibukan yang padat menjadi alasan pamungkas untuk
tak menyentuh aktivitas menulis. Alasan-alasan itu
menjadi sah dan masuk akal. Akan tetapi, menurut
penulis, yang diperlukan sesungguhnya adalah
komitmen. Artinya, ada tekad dari para guru untuk
meluangkan waktu di sela-sela kesibukan mereka untuk
menuangkan gagasan ke dalam bentuk karya tulis untuk
media massa. Kalau seseorang berkomitmen, maka
tidak akan ada alasan lagi baginya untuk menghindari
aktivitas tulis-menulis. Komitmen itu seperti sebuah
janji kepada diri sendiri. Dengan kata lain, diperlukan
‗kebulatan tekad‘ untuk menulis dan menjadi penulis.
Selanjutnya, guna mendukung kegiatan ini diperlukan
pembiasaan menggali pengetahuan dari berbagai

179
sumber. Buku, majalah, koran, internet, radio, siaran
televisi, dan berbagai bentuk sumber informasi lainnya
dapat dipakai sebagai bahan mentah untuk diolah
menjadi tulisan. Oleh karena itu, guru yang (calon)
penulis mesti rajin membaca, mendengar, menonton,
dan mencatat. Keempat aktivitas ini akan
memampukan seseorang untuk menjadi penulis yang
baik. Menulis adalah kegiatan merangkai gagasan ke
dalam sebuah karya dengan menggunakan huruf, angka,
kata, kalimat, dan data. Orang tak mungkin
menghasilkan sebuah tulisan yang berbobot dari pikiran
kosong, bukan?

Mereka yang tidak terbiasa menulis atau mengarang


tentu akan merasakan kesulitan pada awalnya. Akan
tetapi, ketika aktivitas ini sudah menjadi kebiasaan,
maka ini akan menjadi mudah. Jadi, tak perlu terlalu
dikhawatirkan. Kita mungkin masih ingat ketika awal
belajar mengemudikan kendaraan, baik mobil maupun
sepeda motor. Pada mulanya amat susah, bukan? Tapi,
setelah berlatih secara kontinyu, mengatasi berbagai

180
kesulitan, segalanya kemudian menjadi mudah, bagai
aktivitas yang berlangsung otomatis. Apalagi mengingat
guru adalah intelektual yang rata-rata berpendidikan
tinggi. Potensi ini kalau dimanfaatkan dengan baik akan
dapat mengantarkannya menjadi penulis andal.

Kalau dalam proses tersebut ada sejumlah masalah yang


berkenaan dengan kesulitan mendapatkan ide-ide yang
bakal ditulis, pasti akan dapat diatasi. Dengan
membaca, menonton, mendengar, dan mencatat
dengan rajin, niscaya para guru akan mendapatkan
gagasan-gagasan berharga untuk dituangkan ke dalam
tulisan. Kalau, misalnya, persoalannya terletak pada
pemakaian tata bahasa, ejaan, diksi, dan gaya bahasa,
atau yang sejenis, ada banyak buku yang dapat dijadikan
acuan. Kalau terkendala dengan waktu, dengan
komitmen yang tulus, tentu waktu itu dapat diatur dan
dapat diluangkan khusus untuk menulis.

Aktivitas tulis-menulis sudah pasti bermanfaat, baik


bagi guru maupun masyarakat. Jalan menuju ke dunia

181
tulis-menulis pun terbuka lebar bagi para guru kita.
Maka, tinggal satu langkah lagi : memulainya sekarang
juga.

182
Membahagiakan Diri

Pernahkah Anda sekedar membaca sebuah puisi,


Karena Ayahku yang ditulis Inayah Wulandari Wahid,
putri keempat Gus Dur:
Kalau Aku adalah Orang Yang Peduli Karena Ayahkulah
Yang Mengajari
Kalau Aku adalah Orang Yang Toleran Karena Ayahkulah
Yang Mencontohkan
Kalau Aku adalah Orang Yang Penuh Cinta Kasih Karena
Ayahkulah Yang Memberi Tanpa Pamrih
Kalau Aku Adalah Orang Yang Rendah Hati Karena
Ayahkulah Yang Menginspirasi
Kalau Aku Menulis Puisi Ini Karena Ayahkulah Segalanya
yang Berarti
Puisi indah yang bernuansa spiritual dan polos, yang
menjadi bukti kedalaman kecintaan seorang anak pada
ayahnya dan dibacakan usai acara tahlilan hari ke-7 Gus
Dur.

183
Atau Anda pernah sekedar membaca sebuah karya
Dety Anggraeny, yang menulis puisi untuk anak
didiknya:
Aku adalah seorang guru, kata orang yang digugu dan ditiru.
Dulu aku seorang guru yang tak tahu apa-apa, yang kutahu
hanya mengajar tanpa harus banyak belajar. Ditengah-tengah
ketidaktahuanku aku menemukan guru yang amat luar biasa,
mereka adalah murid-muridku.
Murid-muridku adalah guru yang tidak pernah memarahiku,
kesalahan apapun yang aku perbuat dengan sabar mereka
membimbingku menjadi guru yang bijaksana.
Murid-muridku adalah guru yang selalu menghiburku, sesedih
apapun perasaanku akan hilang bila bersama mereka. Aku
selalu dihibur dengan tawanya yang riang, dengan sikapnya yang
lucu sehingga aku menjadi guru yang periang.
Apabila aku tidak menguasai pelajaran aku selalu dibimbing
agar aku bersemangat untuk terus berusaha tanpa pernah
mereka mengkritik aku dengan kata-kata yang pedas, murid-
muridku adalah guru yang mengerti akan keterbatasanku.
Bila aku kehilangan ide-ide merekalah inspirasi bagiku,
mereka memberikanku energi yang luar biasa dalam berkreasi.

184
Sikapnya, celetukannya, gurauannya, dan kesedihannya adalah
bagian dari pelajaran yang mereka berikan kepadaku sehingga
aku menjadi guru penuh inspirasi.
Murid-muridku juga mengajarkan bagaimana caraku
berbusana yang pantas layaknya sebagai guru, sehingga aku
menjadi guru yang enak untuk dipandang.
Dari cerita-cerita mereka akupun belajar menjadi orang tua
yang bijaksana dan menjadi orang tua yang diimpikan oleh
anak-anakku.
Murid-muridku adalah guru yang luar biasa bagiku. Semoga
ilmu yang mereka berikan padaku terus mengalir sebagai bekal
kelak nanti dihadapan Sang Maha Pencipta, aamiin
Aku persembahkan tulisan ini untuk semua murid-muridku
Sungguh akan menjadi hal yang sangat dramatis atau
bahkan mengharukan apabila suatu ketika guru dan
siswa dapat menyampaikan perasaannya secara terbuka.

Dari dua puisi ini, kita belajar bahwa kesan terdalam


lahir dari sebuah intensitas dan keteladanan. Bagaimana
menjadi baik bukan berasal dari penilaian pribadi tetapi
ungkapan orang lain atas apa yang telah dilakukannya.

185
Hal ini tentunya berlaku sama bagi kita sebagai guru
yang setiap hari berinteraksi dengan siswa di kelas.
Murid adalah tempat guru belajar untuk lebih
manusiawi. Belajar untuk menghargai bahwa setiap
anak memiliki potensi yang berbeda. Sehingga
kebenaran yang selama ini secara tidak langsung ada
pada guru, akan bersifat relatif karena berhadapan
dengan dimensi pribadi siswa yang beragam. Penilaian
baik atau tidaknya seorang guru mengajar, jelas atau
tidaknya seorang guru menjelaskan, semua hadir dari
cermin seorang siswa. Dimata setiap siswa kita-lah,
sebenarnya arti kebermaknaan profesi kita sebagai
seorang guru.

Betapa tanpa kita sadari mereka merekam setiap


tindakan, perasaan dan ucapan yang kita lakukan.
Terkait dengan ini Fater Van Kolvenbach pernah
mengingatkan kita semua bahwa siswa tidak akan
mengingat dengan baik apa yang telah diajarkan oleh
guru, melainkan akan mengingat dengan benar apa yang
telah mereka lakukan. Dalam pernyataannya, Fater Van

186
Kolvenbach ingin mengingatkan kita pada hal yang
utama dari pendidikan disekolah, yakni keteladanan.
Menurut istilah john locke (tabularasa), bayi itu
dilahirkan bagaikan papan kosong ia akan meniru atau
belajar apa yang ditanamkan orang tuanya atau
lingkungannya. Dalam hal ini orang tua adalah guru
yang pertama, sedang para guru adalah guru yang
kedua. Kedua-duanya memiliki peran yang sangat
penting dalam membentuk karakter pribadi dari sebuah
keteladanan diri. Disinilah arti sebuah simbiosis
mutualisme (hubungan yang saling menguntungkan)
perlu terjalin antara orang tua dan guru, dalam
mendidik siswa.

Ing Ngarso Sung Tuladha, demikian Ki Hajar


Dewantara menyebutnya dan sekaligus
menempatkannya sebagai komponen pertama dari
dasar pedagogik Taman Siswa. Beliau tahu benar betapa
keteladanan tidaklah dapat kita temukan ditumpukan
buku-buku pedagogik, tetapi keteladan lahir dari
kejujuran seorang pribadi. Oleh karena itu, seorang

187
guru harus jujur dengan dirinya, menerima dengan rela
profesinya, meski dia berjuang ditengah ketidakjujuran
pemerintah. Ketidakjujuran untuk mengakui bahwa
pemerintah belum dapat memberikan pendidikan yang
sama untuk semua anak. Ketidakjujuran untuk
mengakui bahwa pemerintah belum dapat memberikan
penghargaan setinggi-tingginya untuk seorang guru.
Ketidakjujuran untuk mengakui bahwa pemerintah
belum dapat memberikan kebahagiaan yang nyata dihati
setiap guru. Kebahagiaan yang tidak sebatas sertifikasi
tetapi kepastian bahwa guru tidak akan merisaukan
nasib diri dan keluarganya.

Untuk semua ini seorang guru harus mampu bahagia,


baru kemudian memberikan keteladanan. Kebahagiaan
akan melahirkan energi positif dan itu akan menular ke
setiap hati anak didik kita. Apabila saat itu tiba akan
terlahir puisi yang pasti akan lebih indah dari dua puisi
diawal tulisan ini, karena guru ada dihati siswanya.
Itupun, jika seorang guru dapat berbahagia dengan
profesinya. Sebagai guru sudahkah Anda bahagia?

188
189

Anda mungkin juga menyukai