Judul:
Menghidupkan Aksi
Baca, Diskusi, Tuli(?)
Penulis:
Alikta Hasnah Safitri
Desain Cover:
Eri Muriyan
Penerbit:
Kammi Uns 2014
www.kammiuns.org
FB: Kammi Uns
Twitter: @KAMMI_UNS
2
Sekapur Sirih
3
Tori Nuariza dan Adhytiawan di HMI, serta Mba Ida di Muslimah HTI
Solo Raya. Tak lupa, terima kasih terhebat juga saya ucapkan pada
kawan-kawan Badan Pengurus Harian KAMMI Komisariat
Sholahuddin Al Ayyubi UNS: Mas Erick, Mas Apin, Mas Hendra, Mas
Hafidh, Nugroho, Dek Zulfikar, Mba Isna, Mba Rona, Mba Alifta, Mba
Mila, Mba Shofi, Maryam, Pepy, dan Titik.
Tulisan ini adalah cermin untuk berkaca pada masa lalu yang
penuh inkonsistensi, menyadarkan saya bahwa proses ini belumlah usai,
dan mungkin tak akan pernah selesai. Dengan berbagi, saya berharap
hati saya menjadi lapang untuk membuka ruang penerimaan. Sekaligus,
membuka ruang kritik dan koreksi untuk memperbaiki kualitas diri.
4
Daftar Isi
Sekapur Sirih 3
Metamorphosa Pemuda 8
Mahasiswa Hebat? Yakin? 12
Generasi Instan 15
Refleksi Sumpah Pemuda dan Mainstream Indonesiasentris 21
Refleksi Mendalam tentang Sejarah Kita 28
Jelang Orientasi Mahasiswa Baru 33
Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia, Sebuah Refleksi 36
Leiden is Lidjen, Memimpin adalah Menderita Teladan
Kepemimpinan Haji Agus Salim 53
Menjelang Akhir Kepengurusan 57
6
Mengapa Kita Bergerak?
7
Metamorphosa Pemuda
“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia, kalian menyuruh
(berbuat) kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran dan kalian beriman
kepada Allah” (QS. Ali imran Ayat 110)
Mengapa Mahasiswa?
9
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan” (QS. Al Mujadilah :11)
11
Mahasiswa Hebat! Yakin?
Jika itu belum cukup, baiknya kalian cari tahu dari mana asalnya
subsidi untuk uang kuliah kalian. 20% APBN yang dialokasikan oleh
pemerintah untuk pendidikan, termasuk perguruan tinggi dan beasiswa
pemerintah diambil dari uang rakyat, tidak peduli seberapa miskinnya ia.
Ingat, 70% APBN negara kita berasal dari pajak. Siapa yang membayar
pajak? Mereka adalah abang tukang becak, ibu penjual asongan, sopir
bus, kenet angkutan umum, dan sesiapapun yang terkena wajib pajak.
Ingatlah bahwa anonim manusia yang tak kalian kenal pun turut andil
dalam penentuan masa depan kalian (tentu dengan asumsi bahwa dana
pendidikan diambil dari pemasukan pajak dan non pajak). Maka, kalian
tak hanya bertanggung jawab terhadap satu dua orang, tapi juga ratusan
juta rakyat Indonesia.
13
dan oportunisme yang disajikan di bangku kuliah maupun angan-angan
tentang lahan pekerjaan yang hendak kalian garap pasca lulus.
14
Generasi Instan
Yang instan semakin banyak dan beragam. Berawal dari mie, ikan
yang dikalengkan, sampai akhirnya nyerempet juga ke bumbu makanan.
Di zaman sekarang, orang tidak usah repot-repot nyiapin ubo rampe
buat masak opor, rendang, sayur, nasi goreng, cukup dengan beli si
bumbu kemasan sachet, buka, gunting, lalu campurkan ke bahan
makanan pokok, panaskan dengan api yang tinggal klik dari kompor,
selesai saudara. Betapa mudahnya.
Saya jadi miris dan menyesalkan hal ini. Lebih lanjut lagi, pola
hidup serba instan ini menyebabkan dampak yang lebih parah, bukan
hanya sebatas pada kebiasaan dan perilaku penggunaan, tapi lebih
kepada perubahan kepribadian bangsa. Yang sayangnya, saya temukan
di kalangan mahasiswa.
15
Beberapa waktu lalu, nomor handphone saya dicantumkan menjadi
salah satu contact person dalam sebuah buletin. Sederhana kerjanya:
menjawab pertanyaan. Tapi ternyata tak sesederhana dan semudah itu.
Si adik ini bertanya lagi, “Lha mbak-nya udah tau kan? Apa to
mba? Kasih tau, saya males buka web-nya..” (Tidak hanya satu dua
orang yang memberikan tipe pertanyaan macam ini)
Beberapa lagi bertanya, “Mba tidak boleh pake jeans ya?”, saya
jawab, “Sudah baca yang di web?” Dia jawab: sudah.
Hallo? Lalu, untuk apa lagi bertanya? Usut punya usut, ternyata
adik yang satu ini menanyakan hal serupa ke beberapa orang, di
facebook, lewat sms. Dengan tujuan guna mendapatkan jawaban Ya
boleh. Hanya ingin menguatkan argumentasi dan pembenaran yang ia
harapkan.
Bah!
Menjaga lidah itu pasti. Tapi siapa yang mau mendengar kecaman
dan tuntutan dari mahasiswa ‘biasa’, kalau diawal para aktivis sendiri
menaruh jarak luar biasa lebar dengan mengatakan bahwa mahasiswa
yang tak berorganisasi adalah mahasiswa yang pragmatis dan apatis
18
tanpa berkaca bahwa kebanyakan dari kita pun adalah generasi-generasi
instan yang bukan hanya pragmatis dan apatis, tapi juga culas dan
bermental kancil.
Saya iri pada mereka yang memiliki suara lantang dan berwibawa,
postur badan yang tegap, serta karisma yang terpancar bahkan sebelum
mereka bicara. Tapi, itu bukan tindakan ksatria. Seorang ksatria pantang
mengeluhkan keadaan, pantang baginya mencerca diri. Karena sejatinya,
seorang yang bisa menghargai dan menghormati segala apa yang ada
pada dirinya adalah orang yang bisa menghargai orang lain.
19
Maka meski saya skeptis, saya bersyukur. Masih ada orang-orang
seperti kalian. Meski dengan segala kritik dan caci, jangan pernah
mundur. Jadikan pelecut diri untuk jadi pribadi yang lebih baik.
Wahai aktivis!!
Jangan mau jadi generasi instan yang bergerak hanya atas dasar
ikut-ikutan, raihlah kefahaman dan capailah ketinggian.
20
Refleksi Sumpah Pemuda dan
Mainstream Indonesiasentris
21
Mari kita cukupkan romantisme sajarah tentang heroisme
pemuda dalam periode yang lalu. Pertanyaannya, bagaimana dengan
kondisi pemuda kita hari ini? Kebudayan bangsa Indonesia yang
bernilai luhur dan agung begitu saja terkikis akibat hegemoni budaya
asing. Konflik horizontal yang marak terjadi pun semakin
memperlihatkan dengan gamblang disentegrasi bangsa.
22
Melakukan refleksi terhadap Sumpah Pemuda 84 tahun silam
semestinya bisa menumbuhkan spirit dan semangat membangun
karakter baru untuk berpikir visioner melampaui mainstream pemikiran
umum sehingga dengan berani kita bisa memberikan sumbangsih ide,
gagasan, dan tindakan untuk perbaikan bangsa ini ke depan.
Mainstream Indonesiasentris
25
Konstelasi ini harus dijawab oleh setiap individu dengan
menumbuhkan karakter yang utuh, tanpa terdistorsi kepentingan-
kepentingan personal maupun golongan tertentu.
27
Refleksi Mendalam tentang Sejarah
Kita
28
Ketika belum ada seorangpun yang terpantik semangat juangnya
guna memperjuangkan tanah air, Pemuda Wahidin Sudirohusodo telah
melahirkan gagasan tentang kebangkitan nasional pada tahun 1908.
Pemuda Sukarno dan Hatta telah merealisasikannya dengan ikrar
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam rentang
waktu tersebut terdapat banyak kisah heroik perjuangan para pemuda
Indonesia guna mengabdi dan berbakti untuk negeri.
30
Sejarah selalu menyimpan kisah. Meski tak mungkin sejarah bisa
merangkum semua lini kehidupan secara utuh dan sempurna. Euforia
masa lalu dan dinamika keberhasilan masa lampau bisa jadi meyebabkan
sebagian dari kita beranggapan inilah keberhasilan yang sesungguhnya
dan akhir dari tujuan. Pada satu sisi, kita memang mesti berterimakasih
kepada para pemuda era lalu. Tapi, itu tidak berarti kita mesti mengikat
diri pada kepuasan dan tak mengacuhkan cerita hari ini, serta enggan
menyusun gagasan esok hari.
Lantas, apa sejarah yang akan kita bubuhkan dengan tinta emas
di atas persada khatulistiwa? Kita butuh para pelaku sejarah yang gigih
memperjuangkan cita-cita dan idealismenya. Ketika idealisme pemuda
mengendur, maka mengendur pula zaman yang dilaluinya.
32
Jelang Orientasi Mahasiswa Baru
33
Bisa jadi, mereka pun mengusung pendekatan edukatif. Amunisi-
amunisi seperti leaflet, bulletin mini, sampai booklet akan terlihat
berserakan (yah, dibuang dan tak sempat dibaca barangkali). Namun,
yang lebih ditonjolkan dengan cara yang kedua adalah ‘pendidikan
organisasi’- pemberian stimulan-stimulan tentang pentingnya
mengembangkan kapasitas personal secara intelektual lewat lembaga
kampus.
Namun bagi saya, ada satu hal penting yang mestinya menjadi
corak berfikir para aktivis kampus. Bukan hanya mengusung fungsi
pelayanan, pencitraan, dan perekrutan lembaga. Yang lebih penting dari
itu semua adalah bagaimana kita mengupayakan agar kampus
tercitrakan sebagai basis moral dan intelektual dalam ranah akademis.
Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Soe Hok Gie dalam
bukunya Catatan Seorang Demonstran: “Mimpi saya yang terbesar, yang
ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi
34
“manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi
yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang
manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa,
sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.”
35
Membingkai Potret Intelektual Muda
Indonesia, Sebuah Refleksi
36
mereka yang mengenyam pendidikan barat, tapi juga oleh kaum
terpelajar yang berlatar pendidikan Islam.1
“..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus dengan tipu
daya orang yang mengisep darah kita.. itulah sebabnya kita kaum muslim harus
melawan dengan sekeras-kerasnya.. contohlah bergeraknya jujungan kita Kanjeng
38
Nabi Muhammad saw yang menjalankan perintah Tuhan dengan tidak
mempedulikan payah susah yang terdapat olehnya, tiada takut sakit mati untuk
melawan perbuatan sewenang-wenang.. Siapa yang merampas agama Islam, itu
yang wajib kita BINASAKEN!”4
“...Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh mengerti juga bila ada
orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa... “Orang Jawa bodoh”, kata
5Kelak, Hadji Misbach mengalami perbedaan prinsip yang cukup besar dengan
kalangan SI sehingga ia keluar dan mendirikan Partai Komunis Indonesia. Ini
pelajaran berharga yang patut dicatat dalam sejarah, bukan dihilangkan karena
dianggap sebagai aib.
39
Tuan, “Sudah tentu saja, memang pemerintah sengaja membikin bodoh
kepadanya. Mengapakah Regeering tidak mengadakan sekolah secukupnya untuk
orang Jawa of Orang Hindia, sedang semua orang mengerti bahwa tanah Hindia
itu yang membikin kaya tanah kita Nederland?”6
7Dikisahkan, kaum Hindia adalah keturunan Kanaan, putra nabi Nuh yang
enggan mengimani risalah yang dibawa ayahnya.
40
mereka berdoa kepada Tuhan, memohon pada nabi palsu yang merupakan
kebencian di dalam pandangan Tuhan...”8
9 Tan Malaka tidak pernah menamai sekolah tersebut dengan nama “Sekolah
Kerakyatan”. Para sejarawan lah yang kemudian menamakan dengan nama
tersebut karena orientasi pendidikannya berakar pada permasalahan dan
kebutuhan rakyat.
41
yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah kemampuan para
cendekiawan kritis masa itu mengatasi perbedaan yang ada. SI misalnya,
pada rapat di Purwokerto dikacaukan oleh Moeso lewat SI Merahnya.
SI pun pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena tak senang dengan
sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya bergerak di dalam
agama. Konflik antara Semaoen dan HOS Tjokroaminoto pernah
terjadi, namun Semaoen memilih diam dan Tjokro pun menganggap
kelakuan Semaoen sebagai bentuk gejolak kaum muda. Pun, konflik itu
pernah terjadi antara kubu Soekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang
lebih memilih berjuang dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta
Hatta-Sjahrir yang memilih berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan
Nasional Indonesia) yang berasas sosialis.
Inisiatif kaum muda yang brilian itu tak berhenti sampai disana,
generasi tua yang memegang tampuk pemerintahan pasca proklamasi
kini diimbangi dengan gerakan kaum muda. Inisiatif brilian itu
dilakukan jelang dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya
pada 5 Februari 1947 ketika pemuda Lafran Pane memprakarsai
berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam. Kelahiran HMI erat kaitannya
dengan realitas kebangsaan, keagamaan, dan kemahasiswaan yang hidup
di masa tersebut. Realitas kebangsaan tersebut dapat dilihat dari upaya
HMI guna turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia. Selain realitas kebangsaan, kehadiran HMI terkait pula
dengan realitas keagamaan dan kemahasiswaan, dimana agama Islam
saat itu tidak dilaksanakan secara konsisten oleh umat Islam sendiri,
terutama mahasiswa. Lafran Pane, bersama kawan-kawannya di UII,
42
melihat pentingnya kembali menegakkan ajaran Islam di kalangan
mahasiswa, seperti sholat tepat waktu, dan lain-lain.
43
itu. Akan tetapi, ternyata ada hal menarik yang terjadi pada persepsi
Sulastomo dan Arief Budiman berkaitan dengan peristiwa tersebut.
44
Irawan Puspito menjabarkan secara lebih general kemelut dan
pertentangan garis politik yang terjadi di antara organisasi-organisasi
mahasiswa jelang persitiwa 30 September 1965:
Mungkin, ingatan kita akan kembali pada adegan di film Gie yang
mengisahkan pertentangan pelik yang terjadi antar organisasi mahasiswa
tersebut, kemudian bersatunya mereka saat berusaha menumbangkan
kekuasaan Orde Lama. Namun, yang patut kita cermati lebih lanjut
adalah adegan saat Gie bertemu kawannya yang telah menjadi anggota
dewan pasca lahirnya Orde Baru. Adegan tersebut memberi ilustrasi
lahirnya calon borjuis kecil yang diam-diam membina hubungan intim
dengan pemerintah hingga berimbas pada untung dan proyek, akhirnya
idealisme dan semangat militan pun dibonsai jadi kepatuhan pada
kenikmatan dan kemegahan. Gagasan demokrasi kemudian dibunuh
oleh para pejuangnya. Anak-anak muda yang dulu antusias mengutuk
rezim Soekarno duduk antusias di kursi parlemen, berkoalisi menguras
lebih dalam kekayaan bangsa untuk kantong pribadi bersama rezim
baru yang kini berkuasa.
45
Pasca diberlakukannya Normalisasi Kegiatan Kampus dan Badan
Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1974, praktis ruang
gerak mahasiswa baik internal maupun ekstra kampus mengalami
pengebirian yang luar biasa. Dampaknya, kampus menjadi tempat yang
steril dari kegiatan politik mahasiswa, dan semata difungsikan sebagai
lembaga pengkajian akademis. Kelesuan aktivisme mahasiswa yang
terjadi menyebabkan munculnya pola-pola gerakan baru yang
berkembang dalam kancah kemahasiswaan, khususnya gerakan
mahasiswa Islam. Diantaranya, 1) ormas kemahasiswaan yang telah ada
sebelumnya seperti HMI, IMM, dan PMII, 2) kelompok mahasiswa
Islam yang bersentuhan dengan pemikiran Islam kiri, serta 3)
munculnya aktivitas keislaman berbasis masjid-masjid kampus.
47
itu kebanyakan kemudian memilih pilihan pragmatis yang paling
realistis: mengadakan seminar, lomba ini itu, dan lain sebagainya.
49
ayun, tiap jejak yang kita buat, tiap goresan tinta yang kita torehkan,
merupakan tindakan sadar kita sebagai bagian himpunan
bernama rakyat.
50
peran adalah kebutuhan tak terbantah bagi mereka yang mengaku
sebagai kaum intelektual!
Akhirul kalam,
Sumber Bacaan:
51
Sulastomo. (2000). Hari-Hari yang Panjang 1963-1966. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.
52
Leiden is Lidjen, Memimpin adalah
Menderita
Teladan Kepemimpinan Haji Agus
Salim
53
para pelajar sekolah negeri. Tanpa berniat lakukan glorifikasi, penulis
ingin hadirkan kembali ia yang berikan teladan terbaik kepemimpinan.
55
56
Menjelang Akhir Kepengurusan
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedangkan kamu mengetahui.” (QS al-Anfal [8]: 27).
59
Dari Renungan hingga Diskusi
60
Bijak Tanggap Isu
64
Baratayuda di Negeri Kita
Sebagai orang awam yang baru mulai belajar untuk melek politik,
saya tak ingin banyak berasumsi macam-macam. Entah dengan
memberi dukungan pada salah satu calon, maupun menistakan calon
yang lainnya dengan argumen yang saya ragukan kebenarannya. Tidak,
saya tak mau melakukan hal yang (menurut saya) konyol itu. Hanya saja,
melihat beberapa hari belakangan beranda facebook, blog, dan twitter saya
ramai, saya pun mulai gatal dengan sesekali menandai ‘suka’, meski
menahan diri untuk tidak menshare, me-reblog, maupun meretweetnya.
66
antara baik dan buruk. Jika pihak Kurawa melambangkan kebengisan,
kejahatan, dan keangkaramurkaan, disana kita temukan tokoh Bhisma
Dewabrata, Resi Durna, Prabu Salya, dan Karna. Mereka adalah para
satria utama. Jika kita ingin melambangkan kebaikan, keadilan, dan
kepahlawanan pada para Pandhawa, toh egoisitas mereka memilih
korbankan nyawa tak berdosa untuk sebidang tanah patut pula
dipertanyakan. Itu baru di level pihak yang terlibat dalam pertempuran,
belum sampai pada level pribadi.
67
mengabarkan berita bohong bahwa Aswatama, anaknya, telah mati
(padahal yang mati gajah bernama Aswatama). Yudhistira memang
terkenal arif dan bijak, tapi kalau bukan karena persetujuannya berjudi
dengan Kurawa, Pandhawa tak akan terusir dari Astina begitu saja!
Karna mungkin dianggap khianat pada saudara seibunya, tapi ia setia
guna membalas budi atas kebaikan Duryudana.
69
Tulisan ini tak bermaksud membuat pelabelan tertentu, bahwa
salah satu pasangan capres adalah Kurawa, sementara yang lainnya
adalah Pandhawa. Yang ingin saya katakan adalah, dalam Baratayuda,
ada ratusan ribu ‘Baratayuda” yang berkecamuk dalam tiap diri
lakonnya. Dalam kehidupan nyata, sudah pasti kita akan dihadapkan
dengan situasi yang menuntut kita memilah dan memilih, lantas
memberi keputusan. Tak jarang rasa bimbang menyergap, sebab baik
buruk hilang batasnya, tercampur baur! Akan tetapi, pada akhirnya, kita
lah yang akan mempertanggungjawabkan tiap keputusan yang kita
ambil.
70
Kumbakarna dan Wibisana: Tentang Sebuah
Ikhtiar Menghaluskan Rasa
72
pertempuran. Keduanya tercatat sebagai satria utama, akan tetapi siapa
yang sejatinya mengambil sikap yang benar?
Akan tetapi, di bawah tulisan itu kok dia langsung menilai sifat
orang, kemudian mengidentikkannya dengan tokoh lain, dengan hanya
melihat tampilan luarnya saja, bukan tampilan luar malah, dari tiket yang
ia beli!
75
Ekalaya dan Segala Hal tentang Strata
76
dengannya. Masih terlintas jua dalam pikirannya, hinaan dan cacian
yang Begawan Durna ucapkan saat ia memergokinya tengah mencuri
dengar saat Sang Begawan tengah memberikan ajarannya pada Permadi.
77
seorang ksatria yang belajar secara otodidak tersebut, Resi Durna dan
Permadi mengikuti sang ksatria menembus hutan, hingga
diperlihatkanlah pada Sang Begawan itu sebuah patung batu yang sama
persis dengan sosok tubuhnya.
78
Adalah Bambang Ekalaya, sosok ksatria yang saya kisahkan
dalam cerita di atas. Bagiku pribadi, Ekalaya telah mengajarkan, bahwa
sebagai seorang ksatria ia bukan sekedar menerima ilmu, tapi benar-benar
menjalani proses belajar yang keras dalam kehidupan yang ia lakoni.
Meski mengalami penolakan berulang kali, ia tidak menyerah, dalam
pahitnya berjuang, ia tetap konsisten dengan komitmennya dan dengan
sungguh-sungguh berlatih keras untuk mewujudkannya.
79
“Mengapa seorang Pengembara tidak layak berguru? Mengapa seorang
gelandangan dilarang belajar?” Kata Bambang Ekalaya.
“Mengapa Pak Bagyo (yang jualan nasi goreng di depan kos saya)
disebut Tukang Nasi Goreng, sementara para tukang masak di restoran
yang juga menyajikan menu yang sama disebut chef? Atau mengapa para
pemain musik di jalanan disebut Pengamen yang tidak disukai
kedatangannya, sedang para penjaja suara di layar kaca
disebut Penyanyi yang selalu dinanti hadirnya? Atau mengapa
seorang tukang bangunan yang sama-sama membuat rancangan rumah
sederhana di desa terpencil tidak disebut arsitektur seperti mereka yang
juga membuat bangunan besar di kota-kota?”
Ah, betapa hidup ini penuh absurditas yang tak mampu saya
pahami dengan sederhana.
80
Pesta Tahun Baru, MEA, dan Ekstase
Masyarakat Konsumer
81
yang hanya hadir dari gedung-gedung bertingkat di kanan kiri jalan, saya
melihat wajah-wajah lelah yang memimpikan harap akan datangnya
matahari baru di tahun mendatang. Terwujud atau tidak harapan itu,
hanya Tuhan yang kan menjawab. Bukankah manusia memang hanya
bisa berupaya sebaik-baiknya?
82
Perayaan malam tahun baru kemarin adalah perayaan yang
pertama saya ikuti sejak saya lulus dari bangku Sekolah Dasar. Saya
berharap akan mendapati ribuan orang yang saling berbagi kisah refleksi
tentang satu tahun yang telah terlewati dan resolusi yang mereka
canangkan satu tahun mendatang. Saya kira akan melihat orang-orang
yang saling menggenggam tangan erat untuk ucapkan maaf dan terima
kasih atas kebersamaan yang penuh makna sepanjang tahun. Namun,
yang saya lihat di hadapan saya adalah orang-orang yang detik demi
detiknya sibuk berpose di depan kamera, mengunggahnya ke jejaring
sosial, dan saling berbagi cerita dengan kawan mayanya.
83
yakni sosialisasi global yang membuat dunia bergerak mengelilingi kita
melalui internet. Bentuk-bentuk ekstasi ini mengantarkan masyarakat
kita menjadi masyarakat konsumer yang senang bertamasya menuju
siklus trance/ pencerahan semu.
85
Bedah Buku Waktunya Tan Malaka
Memimpin
Tan Malaka adalah sosok yang jarang dikenal oleh generasi saat
ini. Sekalipun, saat orde lama ia pernah ditepakan sebagai pahlawan
nasional oleh Soekarno, akan tetapi foto, biografi, dan kisah
kepahlawanannya seolah tenggelam selama berpuluh tahun lamanya
seiring dengan keberjalanan Republik Ini. Saat mengetahui ada sebuah
buku berjudul ‘Waktunya Tan Malaka Memimpin’, yang kemudian
menjadi pertanyaan adalah. Siapa Tan Malaka? Mengapa Tan Malaka?
Dan sejauh mana relevansi gagasannya berpengaruh di era sekarang?
87
perkembangan Sarekat Islam di Hindia Belanda (Meskipun SI pada saat
itu pecah menjadi dua, hingga pada akhirnya PKI lahir).
88
Perlu diketahui pula bahwa sebelum ia berangkat ke
pembuangannya, ia telah mendirikan sekolah-sekolah rakyat dengan
menguraikan dasar tujuannya yaitu: dikuasainya ilmu alam dan bahasa,
pendidikan berorganisasi, serta pendidikan yang berpihak pada
kepentingan masyarakat.
Panelis Bedah buku kali ini, Kanda Ekanada Shofa (Dosen FISIP
UNS), mengungkapkan tangggapannya atas buku ‘Waktunya Tan
Malaka Memimpin’. Selain mengomentari tampilan buku yang menarik
karena disertai dengan kartun dan ilustrasi yang memikat, ia juga
berkomentar soal substansi buku tersebut.
89
Eko Prasetyo beranggapan bahwa komunisme dan Islam itu
memiliki banyak persamaan. Pertama, sama-sama membenci akumulasi
yang dikutuk (kapitalisme). Kedua, memiliki semangat militansi yang
sama. Ketiga, kelangsungan hidupnya dipertaruhkan pada revolusi.
Nah, bagaimana mengimplementasikan dalam dunia aktivis? Pertama,
jadilah aktivis yang radikal dan ekstrem. Kedua, Bukalah dialog dengan
membuka kran komunikasi. Ini waktunya membuka diri dengan
komunikasi untuk melawan imperialisme.
91
Derita Remaja dan Kapitalisme,
Islam sebagai Solusi13
92
Yang saya garis bawahi dengan mantap dari yang dipaparkan oleh
orator pertama adalah mengenai model pendidikan di Indonesia yang
sarat dengan sekularisme. Diantaranya adalah pemisahan agama dari
kehidupan akademis sekolah dan lebih fokusnya pendidikan untuk
menghasilkan tenaga kerja yang serba ‘terbatas’ dengan upah yang jauh
dati kelayakan.
94
Bahwa khilafah adalah satu-satuya solusi guna meluruskan
tatanan jahiliyah menuju kebenaran Islam yang abadi. Karena
sesungguhnya tidak akan pernah mungkin kebaikan dan kejahiliyahan
akan dapat hidup berdampingan. Meskipun, beberapa orang
menganggap bahwa sejatinya pertempuran antara kebaikan dan
kebathilan musykil terjadi hingga satu diantara dua sebab ini terjad :
orang yang mempertempurkan itu dalam hatinya mati, atau dunia ini
kiamat.
Namun, apakah benar bahwa hanya ada satu macam negara yang
bisa menopang pemerintahan yang Islami, yaitu negara Islam (Darul
Islam)?
97
Print Culture Ideologisasi Gerakan
Tarbiyah di Indonesia
98
Menjalankan Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek
kehidupan yang dianggap materialistik dan sekuler merupakan
keinginan yang muncul dari sebagian masyarakat Islam Indonesia yang
kala itu merasa menjadi ‘korban’ atas kebijakan-kebijakan politik orde
baru yang represif dan tidak memihak pada Islam sebagai golongan
mayoritas di Indonesia.
99
baik’. Terus begitu hingga selanjutnya, kader-kader terekrut akan dibina
dan nantinya menjadi kader inti pada saat melanjutkan studi di
pendidikan tinggi.
101
jejaring sosial (akun facebook dan twitter) dan website (dakwatuna.com,
eramuslim.com).
102
kearifan lokal tersendiri dengan konteks historis, politik, budaya, dan
keagamaannya.
103
Sampai hatikah kita-sebagai pembangun rumah-kemudian
melupakan pondasi yang telah ditanamkan oleh kakek-nenek kita
terdahulu dan mengingkari pernyataan yang sangat asasi bahwa kita
adalah bagian dari masyarakat Indonesia?
Sumber Bacaan:
104
Demokrasi dalam Syariat Islam14
105
sudah sepatutnyalah manusia mau dan mampu menerima amanat dan
ikut memperbaiki keadaan, bukannya malah menarik diri dari
kehidupan komunalnya, termasuk peran sertanya dalam memperbaiki
demokrasi.
109
pemberlakuan hukum syariah di Indonesia. Sebab, pemberlakuan
hukum syariah Islam akan berjalan seiring kesiapan masyarakat Islam.
111
Menjadi Ibu Peradaban
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS At-Tahrim : 6)
112
Saya masih optimis bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut
adalah: Ya, Harapan itu masih ada. Berawal dari kesadaran untuk
menyehatkan tatanan kehidupan keluarga dengan nuansa Islami,
sehingga lahirlah generasi soleh, cerdas, taat pada orang tua, juga taat
pada Allah dan Rasul-Nya.
Sungguh, semua kebaikan dan harapan akan lahir dari peran dan
kontribusi besar seorang ibu. Tak semua pekerjaan rumah harus
113
dikerjakan sendiri, karena ada pekerjaan yang bisa dilimpahkan pada
yang lain. Akan tetapi, menananamkan nilai-nilai, mengajarkan etika,
dan mempelajari ruh agama adalah tugas utama seorang ibu, sehingga
Rumah sebagai pilar peradaban utama itu akan menghasilkan generasi
tangguh yang berkualitas.
Jadilah seorang ibu bagi terbitnya kembali harapan bagi mereka yang tak
lagi
berharap.
Jadilah ibu yang selalu mengatakan : ‘nahnu du’at qobla kulli syai`in’
115
Sungguh, perbaikan diri adalah titik pangkal dari seluruh
perbaikan yang lainnya.
116
Dari Buku ke Buku
117
Mas Marco: Sama Rata Sama Rasa
Salah satu yang menarik dari buku ini adalah ketika penyusun
membahas mengenai Mas Marco Kartodikromo, seorang yang selama ini
saya kenal sebagai tokoh awal pendiri Partai Komunis Indonesia dalam
buku Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi.
118
Setelah Medan Prijaji mati, pada tahun 1914 ia menerbitkan
mingguannya sendiri yang ia beri nama Dunia Bergerak. Lewat
mingguan ini, ia menyuarakan pembelaannya terhadap kaum pribumi
jawa yang miskin. Meskipun awalnya menyuarakan kritik lewat beberapa
surat dan artikel, pada akhirnya sastra-lah yang dipilih Mas Marco
sebagai alat perjuangan.
….
120
Irrasional dalam Nalar
121
Salah satu bab dalam buku ini berkisah mengenai murid Imam
As Syafi’iy yang bernama Al Muzany. Ia pernah bertanya pada gurunya
mengenai keraguannya tentang tauhid. Setelah menanyakan hal-hal yang
bisa Al Muzany indra namun belum ia pahami dengan baik, As Syafi’iy
menjawab: “Sesuatu yang dapat engkau lihat dengan mata kepalamu sendiri saja
engkau tak mengetahuinya, lalu bagaimana mungkin engkau ingin tahu bahkan
meragukan tentang Allah yang tidak dapat engkau lihat dengan mata kepalamu
sendiri?”
122
tak dapatmempercayai indera-indera yang dimilikinya sebab mungkin
mereka memperdayanya.
123
Menguatkan Keyakinan
125
Mukmin dan Ateis
Saya kira pandangan ini bukan hal baru lagi. Beberapa kawan
saya di Himpunan Mahasiswa Islam juga pernah berujar dengan
candaan bahwa sebelum kita menjadi seorang muslim, terlebih dahulu
kita harus meniadakan semua bentuk penuhanan kepada nalar, akal,
bahkan teks. Ateis kan? Nah, setelahnya baru kita menuhankan satu
Dzat yang pada-Nya lah tempat kita bergantung dan memohon
pertolongan.
“Begitulah nalar syahadat. Jadi Al, mereka yang ateis itu saudara
dekat kita yang tauhid.”
126
posisi subjektif dalam memandang kebenaran tentang-Mu dalam
ketunggalan yang mutlak adalah orang-orang fanatik dan eksklusif.
127
Zainab Al Ghazali, Tentang Sebuah
Keteguhan Hati
128
mengisahkan perjuangan hidupnya sebagai Ketua Umum Jamaah
Muslimat di Mesir saat rezim Gamal Abdul Naser berkuasa.
129
Banna pun syahid menemui Tuhannya dan jabatan mursyid ‘am
Ikhwanul Muslimin dilimpahkan pada Imam Hasan Al Hudhaibi.
130
bahwa ia tidak boleh menghentikan upaya pendidikan Islam ini dari
generasi ke generasi.
131
Islam dan Kesadaran Kebangkitan
Nasional
132
beradab yang berhak menjajah bangsa kulit berwarna. 3) Kehadiran
pakar Belanda: Snouck Hurgronje (meneliti Islam di Aceh) dan Van
Vollenhove yang berusaha kembali menghidupkan hukum adat untuk
menggantikan hukum Islam. 4) Mengembangkan aliran kebatinan
(Kedjawen) di kalangan para priyayi dan pejabat pribumi yang berpihak
pada Belanda. 5) Membangkitkan kesadaran sejarah Hindu-Budha di
Nusantara agar pengaruh ajaran Islam melemah, dan ditargetkan
penganut Hindu-Budha akan memihak pada pemerintah kolonial
Belanda. 6) Distorsi peta bumi
133
Dengan pemberlakukan sistem edukasi yang tidak berdasar
kurikulum pesantren, lahirlah generasi yang berorientasi budaya barat.
Selain itu, pendidikan juga didiskriminasi dengan diberlakukannya
startifikasi sosial dalam sekolah, yaitu sekolah Eropa, Bangsawan, Cina,
dan Ambon, sehingga kaum bangsawan dipisahkan hubungannya
dengan rakyat. Menyikapi hal ini, diperlukanlah politik asosiasi, yaitu
suatu politik yang bertujuan menciptakan sikap keterbukaan generasi
muda Islam: kebergantungan pada budaya Barat.
134
ditandai dengan pemberontakan terhadab Arbi Pasha, dan Rashid
Ridha (1865-1935 M) yang menekankan purifikasi pada pemikiran Islam
yang ia tuangkan dalam majalah Al Mannar.
135
diterbitkanlah Taman Pewarta sebagai media komunikasi yang bertahan
selama 13 tahun.
136
kesundan dengan ajaran Islam, serta mengembangkan pertentangan
prasangka etnis.
Disorientasi Sejarah
138
Ia menceritakan bagaimana peran besar Syarikat Islam (SI) untuk
menyuemaikan benih-benih kesadaran rasa Nasionalisme yang diikat
oleh akidah Islam. Dengan kesaaran nasionalisme yang disatukan dalam
bingkai akidah Islam ini SI menjdai organisasi yang paling besar, baik
dari sisi anggota ataupun gerakan. Di bandingkan dengan Boedi
Oetomo yang hanya digerakan oleh segelintir pemuda lulusan Belanda,
SI telah menyebar ke hampir setiap pelosok, dan mempunyai
pimpinannya masing-masing hampir di setiap daerah.
Refleksi
139
Demikian penggalan sejarah yang coba penulis angkat untuk
dijadikan pelajaran bagi kita yang hidup di era kini. Perjuangan para
ulama (cendekiawan muslim) kala itu adalah perjuangan yang
bersumber dari hati nurani. Perjuangan luhur yang berupaya
mengentaskan manusia dari penjajahan kolonialisme menuju
kemerdekaan yang hakiki.
Sudahkah kita bisa belajar dari apa yang telah diperjuangkan para
pendahulu kita? Atau malah lalai dan lari dari tanggungjawab sebagai
seorang cendekiawan muslim yang memiliki tanggungjawab besar guna
mengentaskan diri kita dari perbudakan terhadap kesewenangan tiran
dan menciptakan tuhan baru atas nama popularitas dan jabatan.
140
Korupsi, Korupsi!
Bakir, nama pak tua itu. Sudah dua puluh tahun ia menjadi
pegawai. Hanya sepeda tua berkarat yang jadi kawannya. Ia butuh uang
untuk anak-anaknya yang akan melanjutkan sekolah, juga untuk
mengusir keluarga Tionghoa yang menyewa beberapa kamar di
rumahnya sebagai warung yang saban hari hadirkan keributan.
141
Isteri yang telah setia mendampinginya belasan tahun melihat
gelagat itu. Ia ingatkan suaminya agar tak berbuat lebih jauh. Namun,
apa mau dikata, uang telah membuat Bakir silau. Ia pun lakukan korupsi
dalam jumlah yang lebih besar. Isterinya berang. Karyawan setianya,
Sirad, mulai curiga. Karena senantiasa diliputi kecemasan bahwa
tindakannya diketahui orang, ia melarikan diri pada pelukan seorang
dara belia bernama Sutijah.
142
Agaknya, kegelisahan yang sempat ia rasa mesti ia semaikan
sebelum lakukan perbuatan kotor itu. Bakir, dalam kegelisahan sebelum
melangkah lebih jauh menjadi budak nafsunya pernah berkata: Apakah
yang sebenarnya betul: manusia yang mencari kebahagiaan ataukah kebahagiaan
telah memperkudanya? Belasan tahun lampau ia berkata bahwa
kebahagiaan adalah harta terbesar yang selalu diimpikan manusia, tapi
sekaligus harta benda yang begitu dekat, begitu tak teraba, begitu tak
disadarinya, bahwa itulah sesungguhnya yang diimpikannya.
Benarlah apa yang dikatakan Cak Nun dalam salah satu artikel
lepasnya; “Orang lebih tertarik kekayaan dibanding kesalehan. Orang lebih
terpikat oleh uang banyak daripada digniti kepribadian. Orang lebih tergiur pada
kejayaan materi dibanding kemuliaan hidup.”
143
Agaknya, pabila segala daya dan upaya memang tiada guna.
Minimal, diri ini sadari bahwa kalau kita mencuri, kita mencuri harta
milik Tuhan, di bumi yang jadi milik Tuhan. Meski kita membawa harta
curian kita lari, mentransfernya, menginvestasikannya, Sang Penadah
Agung tetaplah pemilik sahnya. Harta Tuhan saja tak pernah pergi
kemana pun, apalagi diri kita yang tak berdaya ini. Melarikan diri
kemana pun jua adalah jalan kembali pada asal usul kita yang sejati.
144
Bukan Pasar Malam
145
Hari-hari yang dibayangi maut membuatnya sadar; sama seperti
berlalunya malam, demikian pula hidup manusia yang lenyap sedetik
demi sedetik tanpa disadari. Meninggalkan berbagai persoalan yang
bukannya menua, malah meremaja bersama pusaran arus waktu.
Jelang dua puluh satu tahun masa usia yang telah terlewati, saya
telah menjalani hidup seperti wanita kebanyakan, tak ada yang istimewa,
tak banyak hal berbeda kecuali hal-hal yang detail. Pada intinya, saya
adalah orang yang biasa-biasa saja, yang tak pernah berpikir untuk
lakukan hal-hal besar, atau bertindak layaknya pahlawan yang
mewujudkan hal-hal besar.
Banyak orang suka membaca, saya salah satunya. Dan saat saya
membaca, saya seperti melihat diri saya tengah berperan dalam skenario
cerita yang ditulis dalam buku-buku. Saya telah membaca sedikit dari
jutaan buku yang ada, namun cerita hidup saya sama membosankannya
seperti dalam roman-roman usang yang mudah dicari referensinya. Tak
ada yang istimewa.
"Mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan
mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau
kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita.."
(h.95)
146
Ah, betapa indahnya hidup yang singkat ini bila kita bisa dicintai
seorang manusia dengan sungguh-sungguh. Tidak hanya berdasarkan
perasaan, akan tetapi juga pada kenyataan yang apa adanya tentang diri
dengan segenap paradoks dan ambiguitas yang melekat.
Saya tak lagi harapkan cinta yang berakhir indah dan romantis
sebagaimana tertulis dalam buku-buku. Dalam kehidupan nyata, kisah
itu berakhir dramatis dan tragis. Kita dipaksa menangis sejadi-jadinya,
jatuh sedalam-dalamnya, menerima seperih-perihnya. Itulah hidup.
Hidup yang hanya menunda kekalahan, kata Chairil.
147
Bibliomania
Namun, buku ini tak hanya berkisah soal obsesi gila Gilkey untuk
membuat perpustakaan raksasa dengan ribuan koleksi langka di
rumahnya. Bartlett pun berkisah tentang Ken Sanders, seorang yang
menyebut dirinya bibliodick (penjual buku yang merangkap detektif)
yang memiliki obsesi besar untuk menangkap John Gilkey lewat
jaringannya di Asosiasi Pedagang Buku Amerika.
149
mengeksplorasi secara mendalam tentang gairah terhadap buku selama
berabad-abad, meskipun terkadang nyaris menyiratkan seksualitas
platonian.
Ada banyak buku yang saya baca saat kecil. Meskipun mencoba
mengingatnya dengan keras, terkadang saya pun lupa, buku mana yang
lebih dulu saya baca. Namun, bagi saya, buku yang paling penting (dan
berharga) di masa kecil saya adalah Little Women karya Alcott.
150
Tidak seperti kebanyakan buku yang saya baca di masa itu, yang
selalu berkisah tentang sekumpulan bocah laki-laki yang hobi
berpetualang, saya merasa, buku ini berkisah tentang diri saya dalam
tokoh Jo.
152
Tentang Penulis
153