Anda di halaman 1dari 153

1

Judul:
Menghidupkan Aksi
Baca, Diskusi, Tuli(?)

Penulis:
Alikta Hasnah Safitri

Desain Cover:
Eri Muriyan

Buku ini diterbitkan secara mandiri oleh Tim


Medkominfo Kammi Uns 2014

Penerbit:
Kammi Uns 2014
www.kammiuns.org
FB: Kammi Uns
Twitter: @KAMMI_UNS

2
Sekapur Sirih

Berkiprah dalam gerakan mahasiswa adalah pilihan yang saya


putuskan sejak tahun pertama saya menyandang status sebagai
mahasiswa. Bagi saya, gerakan mahasiswa bukan hanya menjadi wadah
untuk beraktualisasi, namun menjadi tempat menempa kedewasaan diri,
kawah candradimuka yang menguji matang/tidaknya pola pikir dan pola
sikap, serta rumah singgah yang mengantarkan saya menemukan
sahabat sejati.

Di bagian pertama, saya mencoba mengulik alasan mengapa kita


harus bergerak, sebagai mahasiswa sekaligus sebagai manusia. Di bagian
kedua, saya menyajikan beberapa kumpulan renungan pemikiran dan
interpretasi atas sebuah persoalan di sekitar maupun diskusi/seminar.
Pada bagian terakhir, saya sajikan beberapa tulisan hasil pembacaan
sederhana yang saya lakukan terhadap beberapa buku pilihan.

Memang, tak butuh waktu lama untuk menghimpun tulisan yang


terserak ini. Namun, perlu dorongan yang sangat besar untuk
membaginya secara massif ke hadapan pembaca sekalian.

Saya ucapkan terima kasih yang teramat atas kesempatan untuk


persahabatan yang bermakna bagi kakak-kakak di berbagai organisasi
eksternal kampus. Mas Zulfikar Ali dan Mba Sakina di KAMMI, Kanda

3
Tori Nuariza dan Adhytiawan di HMI, serta Mba Ida di Muslimah HTI
Solo Raya. Tak lupa, terima kasih terhebat juga saya ucapkan pada
kawan-kawan Badan Pengurus Harian KAMMI Komisariat
Sholahuddin Al Ayyubi UNS: Mas Erick, Mas Apin, Mas Hendra, Mas
Hafidh, Nugroho, Dek Zulfikar, Mba Isna, Mba Rona, Mba Alifta, Mba
Mila, Mba Shofi, Maryam, Pepy, dan Titik.

Tulisan ini adalah cermin untuk berkaca pada masa lalu yang
penuh inkonsistensi, menyadarkan saya bahwa proses ini belumlah usai,
dan mungkin tak akan pernah selesai. Dengan berbagi, saya berharap
hati saya menjadi lapang untuk membuka ruang penerimaan. Sekaligus,
membuka ruang kritik dan koreksi untuk memperbaiki kualitas diri.

Tak dapat saya berkata banyak. Semoga Alloh swt menunjukkan


kita ke jalan-Nya yang lurus.

4
Daftar Isi

Sekapur Sirih 3

Mengapa Kita Bergerak? 7

Metamorphosa Pemuda 8
Mahasiswa Hebat? Yakin? 12
Generasi Instan 15
Refleksi Sumpah Pemuda dan Mainstream Indonesiasentris 21
Refleksi Mendalam tentang Sejarah Kita 28
Jelang Orientasi Mahasiswa Baru 33
Membingkai Potret Intelektual Muda Indonesia, Sebuah Refleksi 36
Leiden is Lidjen, Memimpin adalah Menderita Teladan
Kepemimpinan Haji Agus Salim 53
Menjelang Akhir Kepengurusan 57

Dari Renungan hingga Diskusi 60

Bijak Tanggap Isu 61


Baratayuda di Negeri Kita 65
Kumbakarna dan Wibisana: Tentang Sebuah Ikhtiar Menghaluskan
Rasa 71
Ekalaya dan Segala Hal tentang Strata 76
Pesta Tahun Baru, MEA, dan Ekstase Masyarakat Konsumer 81
5
Bedah Buku Waktunya Tan Malaka Memimpin 86
Derita Remaja dan Kapitalisme, Islam sebagai Solusi 92
Print Culture Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia 98
Demokrasi dalam Syariat Islam 105
Menjadi Ibu Peradaban 112

Dari Buku ke Buku 117

Mas Marco: Sama Rata Sama Rasa 118


Irrasional dalam Nalar 121
Menguatkan Keyakinan 124
Mukmin dan Ateis 126
Zainab Al Ghazali, Tentang Sebuah Keteguhan Hati 128
Islam dan Kesadaran Kebangkitan Nasional 132
Korupsi, Korupsi! 141
Bukan Pasar Malam 145
Bibliomania 148

6
Mengapa Kita Bergerak?

7
Metamorphosa Pemuda

“Kalian adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan bagi manusia, kalian menyuruh
(berbuat) kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran dan kalian beriman
kepada Allah” (QS. Ali imran Ayat 110)

Mengapa Mahasiswa?

Seorang pemikir Islam, Hasan Al-Banna pernah mengatakan


sejak dulu sampai sekarang pemuda adalah pilar kebangkitan. Dalam
setiap kebangkitan, pemuda adalah rahasia kekuataannya. Dalam setiap
fikroh, pemuda adalah pengibar panji-panjinya.

Berbicara tentang pemuda (mahasiswa_red) berarti kita


membicarakan tentang masa depan dan perbaikan bangsa. Sebab,
mahasiswa-lah yang nantinya akan menjadi salah satu tonggak
perubahan masa depan. Membangun Peradaban. Ya, itulah yang akan
kita lakukan di kampus ini.

Mahasiswa memiliki sekian banyak potensi besar untuk


senantiasa bergerak. Mereka memiliki peluang untuk bergerak
menjangkau setiap elemen masyarakat baik secara vertikal maupun
horizontal, hingga kesempatan besar untuk menjamah berbagai sektor,
8
baik publik maupun privat. Meskipun tentu saja kita tak bisa menafikan
potensi yang ada dalam internal diri mahasiswa itu sendiri yakni
memiliki kekhasan dalam idealisme dan daya saing, sehingga selain
terbuka terhadap segala informasi, mereka juga tetap menggunakan
logika dalam mengambil setiap keputusan.

Peran Strategis Mahasiswa dalam Membangun Kampus Madani

“..Hendaklah kamu menjadi orang-orang yang rabbani, karena kamu


selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya..” (QS
Ali Imran :79)

Kita adalah da’i sebelum menjadi apapun. Sebagai seorang da’i


kita tidak boleh berdiam diri dengan kebathilan yang kini kerap
menyebar luas di Indonesia.

Seorang da’i hendaknya menjadi sumber inspirasi perubahan,


yang mampu memimpin dan melayani lingkungannya, sehingga
kehadiran citra positif terhadap nilai-nilai Islam dapat terwujud.

Kita hadir bukan hanya untuk mengutuk fenomena-fenomena


yang kini terjadi, bahkan sekedar berdiam diri saja, kita perlu bergerak
dan menjadi bagian dari solusi. Sehingga, perlu kiranya kita berhimpun
dalam lingkungan kebaikan untuk membentuk fokus kerja nyata dan
dakwah langsung pada civitas akademik kampus, maupun masyarakat
pada umumnya.

9
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan” (QS. Al Mujadilah :11)

Di tengah berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini,


mahasiswa sebagai kaum intelektul mendapat tugas memberikan solusi
terhadap problematika masyarakat dengan mengkritisi dan
menghasilkan solusi efektif. Mahasiswa diharapkan lebih memainkan
peranan sebagai problem solver sehingga terciptalah gagasan dan
produk baru yang bermanfaat sebagai pertanggungjawaban kapasitas
intelektual mahasiswa dalam ranah akademik.

Pertanyaannya, bisakah kita menjadikan kampus sebagai embrio


dari sebuah peradaban madani dengan ilmu pengetahuan sebagai
landasan? Ada proyek pembaruan yang mesti kita rampungkan. Proyek
ini selamanya hanya akan menjadi konsep yang terformat di dalam
pikiran dan tertulis di memoar kita, dan pada akhirnya usang dan lapuk
oleh usia ketika tidak segera direalisasikan.

Kita membutuhkan energi perjuangan untuk melahirkan


kekuatan perubahan. Kita membutuhkan pemuda yang tangguh dan
idealis untuk merealisasikannya. Maka, ambilah peran sebagai creator of
change itu, pencipta perubahan yang mampu mentransformasikan
kehidupan kampus agar tersibghah dengan nilai-nilai rabbani.

Mulailah untuk melihat pada diri, komunitas mana yang dapat


menjadi ‘ladang amal’ bagimu. Apakah itu di kelas, ataupun kelompok
minat tertentu. Bergaul-lah dengan mereka, jadikan mereka sahabat,
10
buat sahabatmu percaya padamu, lalu jadikan kepercayaannya
instrumen untuk mengajaknya terus melangkah dalam menjalani
kebaikan.

11
Mahasiswa Hebat! Yakin?

Setelah melalui proses seleksi yang ketat dalam SNMPTN,


akhirnya saat ini kalian akan segera menyandang predikat sebagai
mahasiswa. Mahasiswa dalam tahap awalnya memasuki dunia kampus
memiliki orientasi awal yang berbeda-beda. Ada yang menganggap
kuliah sebagai keharusan penuntasan jenjang pendidikan, ada yang
hanya mengejar ijazah sebagai orientasi karir di masa depan, ajang
mencari jodoh, ada pula yang mengorientasikan kuliahnya demi
penuntasan hasrat intelektual. Termasuk yang manakah diri kalian?

Pertanyaan selanjutnya, sudah yakinkah kalian dengan jurusan/


program studi yang kalian pilih? Sebab, kalau kalian tak merasa cocok di
awal, bagaimana bisa menjalani masa kuliah dengan penuh tanggung
jawab? Ingat, masa kuliah tak akan seindah seperti yang disajikan di
layar kaca. Kalian akan disibukkan dengan tugas kuliah, kompleksitas
pergaulan dengan rekan kuliah, rekan organisasi, dosen, hingga
masyarakat sekitar kampus.

Tidak percaya? Merasa hanya kuliah hanya tentang diri kalian


sendiri, atau paling banter ya tentang kalian dan orang tua? Proses
belajar yang akan segera kalian jalani bukan hanya menyangkut tentang
diri kalian, tetapi juga ratusan juta rakyat Indonesia. Saat seleksi masuk
perguruan tinggi, ada berapa ratus ribu siswa yang mendaftar? Berapa
12
banyak yang diterima? Kasarnya, jika ada 800 orang yang mendaftar di
program studimu, lantas yang diterima hanya 80, kalian pikir berapa
banyak kawan kalian yang saat ini sedang berjuang menentukan arah?
Dengan perbandingan keketatan tiap orangnya adalah 1:10, kalian
memiliki tanggung jawab besar atas 9 orang yang gagal mendapatkan
kursi di perguruan tinggi.

Jika itu belum cukup, baiknya kalian cari tahu dari mana asalnya
subsidi untuk uang kuliah kalian. 20% APBN yang dialokasikan oleh
pemerintah untuk pendidikan, termasuk perguruan tinggi dan beasiswa
pemerintah diambil dari uang rakyat, tidak peduli seberapa miskinnya ia.
Ingat, 70% APBN negara kita berasal dari pajak. Siapa yang membayar
pajak? Mereka adalah abang tukang becak, ibu penjual asongan, sopir
bus, kenet angkutan umum, dan sesiapapun yang terkena wajib pajak.
Ingatlah bahwa anonim manusia yang tak kalian kenal pun turut andil
dalam penentuan masa depan kalian (tentu dengan asumsi bahwa dana
pendidikan diambil dari pemasukan pajak dan non pajak). Maka, kalian
tak hanya bertanggung jawab terhadap satu dua orang, tapi juga ratusan
juta rakyat Indonesia.

Di awal perkuliahan, hampir pasti kalian akan diingatkan dengan


status keren kalian sekarang: (MAHA)SISWA. Organisasi mahasiswa
akan mencekoki kalian dengan ragam label, dari mulai agen perubahan,
moral force, iron stock, dan lain-lain. Dosen akan mencekoki kalian dengan
ragam tuntutan, bisa dengan optimisme ataupun skeptisisme. Kalian
sendiri akan mulai membebani diri kalian dengan ragam pragmatisme

13
dan oportunisme yang disajikan di bangku kuliah maupun angan-angan
tentang lahan pekerjaan yang hendak kalian garap pasca lulus.

Lantas, bagaimana wujud pertanggungjawaban kita pada ratusan


juta anonim manusia yang telah meringankan beban kita? Masih enggan
untuk serius dalam menekuni kompetensi keahlian yang kita pilih saat
ini? Masih apatis untuk sekedar berbaur bersama rakyat dan berusaha
memberdayakan mereka? Katanya menjadi mahasiswa artinya juga
menjadi kaum intelektual. Ingat, terminologi intelektual bukanlah logika
yang sifatnya pasti dan hanya memiliki tafsir tunggal. Namun secara
umum, kata intelektual ditafsirkan sebagai kondisi dimana seseorang
berkutat secara tekun dan serius pada ilmu profesionalnya, untuk
selanjutnya mentranformasikan pengetahuannya sebagai bentuk peran
sosialnya dalam menyelesaikan problematika umat. Kaum intelektual
adalah sosok yang mencerahkan, demikian kata Gramsci. Konsekuensi
logisnya, kaum intelektual wajib memberi fungsi pencerahan bagi
orang-orang disekitarnya dengan kapasitas keilmuan yang mereka miliki.

Mahasiswa yang terlanjur tercitrakan sebagai kaum intelektual


mestinya mampu bergerak di ranah ini, mempertemukan teori dan
praksis guna memecahkan berbagai problem sosial yang mengakar di
masyarakatnya. Bukan hanya memperkuat ilmu pengetahuan sesuai
dengan basis akademis untuk kebutuhan pribadi, tetapi juga berani
untuk peka dan melek pada realitas sosial, serta memberikan
kebermanfaatan untuk sesama. Jadi, mau memberikan kebermanfaatan
apa kalian selama menjalani studi di kampus?

14
Generasi Instan

Yang instan semakin banyak dan beragam. Berawal dari mie, ikan
yang dikalengkan, sampai akhirnya nyerempet juga ke bumbu makanan.
Di zaman sekarang, orang tidak usah repot-repot nyiapin ubo rampe
buat masak opor, rendang, sayur, nasi goreng, cukup dengan beli si
bumbu kemasan sachet, buka, gunting, lalu campurkan ke bahan
makanan pokok, panaskan dengan api yang tinggal klik dari kompor,
selesai saudara. Betapa mudahnya.

Mungkin karena memang gampang dan menghemat waktu dan


biaya, bangsa kita jadi terbiasakan dengan pola-pola instan seperti ini.
Masyarakat kita jadi pelit menggunakan sedikit nalar mereka untuk
berfikir, jadi kikir pula soal penggunaan energi mereka untuk bekerja
lebih banyak.

Saya jadi miris dan menyesalkan hal ini. Lebih lanjut lagi, pola
hidup serba instan ini menyebabkan dampak yang lebih parah, bukan
hanya sebatas pada kebiasaan dan perilaku penggunaan, tapi lebih
kepada perubahan kepribadian bangsa. Yang sayangnya, saya temukan
di kalangan mahasiswa.

15
Beberapa waktu lalu, nomor handphone saya dicantumkan menjadi
salah satu contact person dalam sebuah buletin. Sederhana kerjanya:
menjawab pertanyaan. Tapi ternyata tak sesederhana dan semudah itu.

Beberapa bertanya, “Mba, besok osmaru (orientasi mahasiswa


baru) pakai apa?” Saya bilang, “Lihat di website resminya.”

Si adik ini bertanya lagi, “Lha mbak-nya udah tau kan? Apa to
mba? Kasih tau, saya males buka web-nya..” (Tidak hanya satu dua
orang yang memberikan tipe pertanyaan macam ini)

Beberapa lagi bertanya, “Mba tidak boleh pake jeans ya?”, saya
jawab, “Sudah baca yang di web?” Dia jawab: sudah.

Hallo? Lalu, untuk apa lagi bertanya? Usut punya usut, ternyata
adik yang satu ini menanyakan hal serupa ke beberapa orang, di
facebook, lewat sms. Dengan tujuan guna mendapatkan jawaban Ya
boleh. Hanya ingin menguatkan argumentasi dan pembenaran yang ia
harapkan.

Saya jadi ngeri dan takut membayangkan generasi macam apa


yang akan lahir dari rahim 2012 ini manakala pertanyaan yang diajukan
berkisar seperti yang saya sebutkan di atas. Saya takut bangsa kita akan
jadi bangsa yang mandul dalam melahirkan karya-karya monumental
yang bercita rasa tinggi.

Bukan karya (maaf) ecek-ecek yang hanya menginginkan


pengakuan dari museum rekor, tapi kemudian hilang pengaruhnya bagi
16
bangsa ini selain melahirkan budaya konsumtif yang kian merajai
panggung demokrasi.

Ah, mau mengeluhkan nasib bangsa ini dan menyalahkan


lahirnya generasi instan pada siapa rasanya juga tak akan berefek
apapun. Nyatanya, lahirnya generasi instan ini telah dimotori juga oleh
orang-orang yang mengaku sebagai aktivis.

Sebutlah aksi. Seringkali terjadi, saat mimbar-mimbar ilmiah


hilang suaranya, kajian kontemporer sunyi pengikutnya. Mendadak
undangan aksi menghampiri. Ramai. Lalu gempar.

Kita jadi kehilangan nilai sakral sebuah aksi hanya karena


ketidakpahaman kita soal isu yang hendak kita angkat ke jalan. Lalu aksi
hanya jadi sekadar luapan emosi tanpa rumusan ‘tuntutan’ dan ‘solusi’
yang jelas. Peserta aksi? Kadang mereka pun tak mengerti, yang
penting hafal lirik mars mahasiswa, darah juang, selesai semua urusan.

Bah!

Generasi instan ternyata bisa lahir juga dari insan-insan cendekia


yang kritis dan ‘katanya’ diharapkan. Sekali lagi saya bertanya: Buat apa?

“Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi


reaksionernya pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini mengindikasikan
bahwa gerakan itu tidak memiliki agenda atau termakan oleh agenda
orang lain. Gerakan mahasiswa bukanlah alat pukul politik yang
disibukkan mencari musuh dan bergerak sebagai watch dog. Gerakan
17
mahasiswa adalah aset masa depan, maka ia harus memiliki rencana
masa depan bangsanya yang kelak ia pun ikut andil dalam proses
kepemimpinan bangsa ini. Kompetensi dasar di atas itu merupakan
wujud dari pengokohan gerakan yang menjadikan dirinya lebih
kontributif pada pemecahan masalah umat dan bangsa.” (Manhaj
Kaderisasi KAMMI 1427 H)

Saya pernah bergiat di Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas.


Setidaknya saya berharap begitu. bukan orang yang hanya buat gagah-
gagahan saja memakai jaket bertuliskan Badan Eksekutif Mahasiswa.
Yang muncul seperti spora di awal, lalu kemudian berguguran di akhir,
dan dengan rasa percaya diri yang luar biasa masih berani mengatakan
saya pengurus bem, Hidup Mahasiswa. Saya tidak akan mengatakan
padamu untuk keluar saja dari BEM mengingat saya sering bilang :

Aktivis yang pragmatis juga banyak, ngapain sibuk mencerca mahasiswa


apatis!

Sering saya bertindak di luar batas, mencerca lembaga sendiri,


meski hanya ditanggapi dengan senyuman. Saya sadar bahwa sejatinya
tugas kita adalah menyalakan lilin, bukan menyalahkan kegelapan,
karena itu saya pantang bungkam.

Menjaga lidah itu pasti. Tapi siapa yang mau mendengar kecaman
dan tuntutan dari mahasiswa ‘biasa’, kalau diawal para aktivis sendiri
menaruh jarak luar biasa lebar dengan mengatakan bahwa mahasiswa
yang tak berorganisasi adalah mahasiswa yang pragmatis dan apatis
18
tanpa berkaca bahwa kebanyakan dari kita pun adalah generasi-generasi
instan yang bukan hanya pragmatis dan apatis, tapi juga culas dan
bermental kancil.

Semestinya kritik dan koreksi itu lahir dari pribadi-pribadi yang


banyak belajar, banyak tahu, banyak mendengar, yang katanya mau
mengabdi untuk rakyat.

Agaknya barang instan ini jadi momok yang kian


mengkhawatirkan. Ketika semua orang berharap mendapat sesuatu
dengan kilat, ekstra cepat hingga melupakan substansi yang pada
dasarnya jauh lebih bermakna. Yang saya khawatirkan adalah ketika
pada akhirnya, orang-orang jadi begitu terlena pada masa-masa kejayaan
mahasiswa dulu hingga lupa bahwa tantangan hari ini berbeda-tak lagi
seromantis zaman-zaman lalu yang sudah lapuk oleh usia

Saya sadar, saya bukanlah orang dengan segudang keahlian


meskipun saya yakin bahwa Allah menciptakan saya dalam keadaan
yang sebaik-baiknya sehingga saya tidak boleh sekalipun menyalahkan
siapapun atas apa yang tak saya miliki.

Saya iri pada mereka yang memiliki suara lantang dan berwibawa,
postur badan yang tegap, serta karisma yang terpancar bahkan sebelum
mereka bicara. Tapi, itu bukan tindakan ksatria. Seorang ksatria pantang
mengeluhkan keadaan, pantang baginya mencerca diri. Karena sejatinya,
seorang yang bisa menghargai dan menghormati segala apa yang ada
pada dirinya adalah orang yang bisa menghargai orang lain.
19
Maka meski saya skeptis, saya bersyukur. Masih ada orang-orang
seperti kalian. Meski dengan segala kritik dan caci, jangan pernah
mundur. Jadikan pelecut diri untuk jadi pribadi yang lebih baik.

Wahai aktivis!!

Jangan mau jadi generasi instan yang bergerak hanya atas dasar
ikut-ikutan, raihlah kefahaman dan capailah ketinggian.

Demi Tuhan yang menciptakan akal.

Atas nama ilmu pengetahuan.

20
Refleksi Sumpah Pemuda dan
Mainstream Indonesiasentris

Refleksi Sumpah Pemuda dan Karakter Pemuda Indonesia

Lahirnya sumpah pemuda 84 silam bukan saja merupakan batu


pijakan dari rangkaian proses sejarah yang bertonggak pada kejemuan
akan realitas penjajahan yang sarat dengan penderitaan dan
kesengsaraan, akan tetapi merupakan hasil pergolakan sekaligus
pembuktikan kualitas dan karakter pemuda Indonesia kala itu.

Sumpah Pemuda membuktikan kuatnya karakter pemuda kita


sebagai pemuda yang Visioner dan Pemberani. Para pemuda kita telah
melompati mainstream pemikiran kedaerahan, kesukuan, bahkan
melampaui batas-batas rasial yang membelenggu, membiarkannya
merambah dalam wilayah-wilayah universal, penolakan kolonialisme,
dan keinginan mewujudkan kesetaraan manusia. Keberanian
meneriakkan dengan lantang dan mengambil sikap melawan entitas
penjajah bukan merupakan hal yang main-main, mereka dengan berani
telah menyatakan persatuan bangsa Indonesia dan sebuah cita-cita
mulia untuk mendirikan sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.

21
Mari kita cukupkan romantisme sajarah tentang heroisme
pemuda dalam periode yang lalu. Pertanyaannya, bagaimana dengan
kondisi pemuda kita hari ini? Kebudayan bangsa Indonesia yang
bernilai luhur dan agung begitu saja terkikis akibat hegemoni budaya
asing. Konflik horizontal yang marak terjadi pun semakin
memperlihatkan dengan gamblang disentegrasi bangsa.

Jika menilik lagi sejarah, barangkali memang pemuda (dalam hal


ini mahasiswa) mulai mabuk akan demonstasi pada 1998. Letih dengan
demonstrasi, mahasiswa mabuk label keilmiahan kemudian mengingkari
semangat angkatan ’98 untuk berteriak dan turun ke jalan
memperjuangkan rakyat. Kini, bukannya menempa pikir dalam kajian
dan diskusi untuk mencari solusi, mahasiswa malah asyik masyuk
menjadi event organizer. Beberapa mengklaim bahwa mereka memberi
solusi pada permasalahan bangsa, nyatanya solusi tersebut terongrong
dalam ego dan sikap elitis, selesai dalam ruang-ruang seminar dan kajian
akbar.

Menjamurnya berbagai lembaga dan organisasi mahasiswa, mulai


dari BEM, DEMA, Pers Mahasiswa, hingga Unit Kegiatan Mahasiswa
telah membentuk spektrum yang mencerminkan karakter mahasiswa
dalam skala yang relatif lebih luas, sayangnya hal ini pun berdampak
pada lemahnya konsolidasi visi dan orientasi sehingga terjadi dikotomi
dan pelepasan tanggung jawab mengemban amanah reformasi yang
telah dititipkan oleh generasi sebelum kita.

22
Melakukan refleksi terhadap Sumpah Pemuda 84 tahun silam
semestinya bisa menumbuhkan spirit dan semangat membangun
karakter baru untuk berpikir visioner melampaui mainstream pemikiran
umum sehingga dengan berani kita bisa memberikan sumbangsih ide,
gagasan, dan tindakan untuk perbaikan bangsa ini ke depan.

Pada hakikatnya, mahasiswa haruslah memiliki karakter yang


ideal, kuat dan cerdas. Akan tetapi bagaimanakah cara menumbuhkan
karakter ideal tersebut? Apakah ia akan tertanam melalui seminar satu
dua hari saja? Atau melalui kontribusi konkrit dengan pengadaan event-
event kepemudaan serta beribu lembar karya ilmiah? Ataukah, karakter
itu akan muncul saat kita memilih untuk menempuh alternatif gerakan
pecinta lingkungan dan pengabdian pada masyarakat?

Agaknya, pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi suatu hal yang


sukar untuk dijawab lewat tiga sampai lima lembar kertas saja,
melainkan harus melalui penelaahan yang panjang dan kontinyu
sehingga dapat ditemukan pola kontruksi karakter mahasiswa yang ideal
untuk menjawab tantangan zaman.

Mainstream Indonesiasentris

Indonesiasentris mengacu pada nilai-nilai dan pandangaan yang


mengacu pada sudut pandang Indonesia. Sentrisme Indonesia ini adalah
suatu bentuk reaksi terhadap sikap elitis dan cara pandang parsial, salah
satunya di bidang pendidikan. Paulo Freire menyatakan bahwa
pendidikan kita saat ini jelas menerapkan gaya bank. Pendidikan kini
23
bukan lagi diletakkan sebagai proses memerdekakan manusia dari
penjajahan kebodohan, kebutaan akan hidup dan kehidupan. Ruang-
ruang pendidikan seperti sekolah dan universitas kini menjadi pabrik
yang mencetak generasi terbaik bangsa sebagai pekerja, buruh di negeri
sendiri.

Terbatasnya sikap keindonesiaan menyebabkan keterpurukan


pemuda dalam menjelaskan interpretasi dan eksplanasi, sehingga
mereka cenderung membuat generalisasi berdasar narasi besar yang
abstrak semata. Jarang pemuda kita membuat konsep yang berbeda dari
narasi umum yang ada. Seolah apabila sedang bicara tentang
nasionalisme maka kita bicara soal bertempur dan melawan musuh.
Padahal ada bentuk-bentuk lain dari perjuangan dalam rangka
nasionalisme. Pada akhirnya, perlu kita sadari bersama bahwa masing-
masing pihak mempunyai cara sendiri tentang bagaimana berjuang.

Solusi yang bisa diupayakan untuk merekonstruksi karakter


mahasiswa yang ideal adalah dengan menanamkan mainstream
Indonesiasentris pada pola pikir yang berbasis pada kesadaran.

Seringkali kita masih terhegemoni dengan romantisme sejarah


bahwasanya mahasiswa adalah tonggak sejarah perubahan bangsa yang
telah menumbangkan kekuasaan tiran dan memperjuangkan nasib
rakyat. Dan tentu saja, kini kita melihat dengan nyata bahwa sejatinya,
kita pun telah dikhianati oleh segelintir oknum yang kala itu
memperjuangkan nasib kita. Kesadaran mengenai realita sejarah
bermakna bahwa mahasiswa kini harus mampu mengenali dirinya
24
secara utuh sehingga mampu menentukan langkah dan arah geraknya
sendiri, tak mesti menunggu untuk ditunggangi kepentingan-
kepentingan yang akan memposisikan dirinya sebagai bidak-bidak catur
yang tak punya daya dan upaya untuk bergerak sesuai nuraninya.

Dalam masyarakat industrial seperti sekarang ini, yang mengatur


bukan lagi orang tetapi sistem sehingga perseorangan harus
menyesuaikan diri terhadap sistem yang berlaku. Hal ini menunjukkan
pada kita bahwa rasionalitas modern telah menempatkan individu
sebagai pihak yang otonom dan bebas, sehingga mereka dapat
mengambil tindakan atau keputusan terlepas dari kewibawaan institusi.
Representasinya tercermin dari sifat konsumerisme dan gaya hidup
hedonisme yang kini memiliki arti penting dalam praktek
bermasyarakat.

Karakter mahasiswa ideal harus peka dalam menghadapi


tantangan ini dan mampu menempatkan diri sebagai director of change.
Bukan bermaksud untuk latah dengan kembali mengulang stigma
(semoga saja belum usang) bahwa mahasiswa adalah ‘Agen Perubahan’,
pemegang tahta tertinggi dalam kancah pendidikan. Namun, seiring
berkembangnya jaman, lapuk pula-lah slogan itu. Sebuah paradigma
baru (yang entah siapa pembuatnya) mengantar orientasi berpikir
mahasiswa untuk menjadi si kaya yang bodoh dan sombong. Sombong
karena berani berkoar didepan umum dengan janji akan menaklukan
dunia di tangannya, tapi akhirnya binasa sebelum melangkah ke medan
laga.

25
Konstelasi ini harus dijawab oleh setiap individu dengan
menumbuhkan karakter yang utuh, tanpa terdistorsi kepentingan-
kepentingan personal maupun golongan tertentu.

Semestinyalah ada penerusan dari kesadaran individual menuju


kesadaran kolektif. Gambaran tentang masa depan tidak saja berkaitan
dengan kesadaran individu, melainkan juga secara sosial/ kolektif
dengan jalan mengintegrasikan diri dalam sebuah komunitas masyarakat
yang yang mempunyai agenda kebajikan di tengah masyarakat luas.
Sehingga individu-individu yang terhimpun dapat saling
mengeksplorasi pikiran tentang Indonesia di masa yang akan datang.

Pada Akhirnya, Mari berbenah

Upaya untuk membangun karakter pemuda Indonesia bukanlah


semata-mata kerja seorang teoritisi. Proyek ini merupakan tanggung
jawab setiap elemen sosial yang melibatkan kerja proaktif baik dari
kalangan aktivis maupun akademisi. Upaya selanjutnya adalah
bagaimana menginstutisionalkan kerja-kerja teknis dalam upaya
penanaman mainstream Indonesiasentris dalam diri pemuda Indonesia.

Pada tingkatan nasional misalnya, para aktivis dan kaum


intelektual yang bergerak di gerakan akar rumput harus melampaui
mainstream karakter perjuangan mahasiswa pada umumnya yang
sebatas melakukan aksi turun ke jalan tanpa merumuskan solusi yang
konkrit, menulis sejumlah proyek ilmiah namun tak memberikan
kontribusi yang berarti pada masyarakat, serta terus menerus
26
memberikan sumbangan materi pada masyarakat miskin tanpa disertai
dengan upaya pengabdian sosial.

Perjuangan untuk menumbuhkan karakter Indonesiasentris pada


diri pemuda merupakan hal yang sangat penting, karena dengan
perhatian pada konfigurasi tatanan pewaris masa depan Indonesia akan
menjadi jalan untuk menumbuhkan ulang semangat visioner dan
pemberani yang dimiliki oleh pemuda Indonesia dalam momentum 84
tahun silam saat mereka mengikrarkan sumpah pemuda.

Beberapa di antara kita mungkin memaknai sumpah pemuda


dengan menjadikannya sebagai ritual yang kosong dengan hanya
sekedar berucap SELAMAT HARI SUMPAH PEMUDA di jejaring
sosial, mungkin pula hanya sekedar menjadikannya pelengkap tema-
tema diskusi, atau bisa jadi kita mengambil momentum ini hanya
sebagai tema aksi. Tanpa pernah kita benar-benar merefleksikan releansi
semangat sumpah pemuda untuk menjawab tantangan masa depan
bangsa Indonesia. Inilah saat kita berbenah, Pemuda Indonesia.

27
Refleksi Mendalam tentang Sejarah
Kita

Sejak awal penciptaanya, manusia dikenal sebagai pribadi-pribadi


yang senang menyederhanakan. Konsep lambang bunyi yang arbitrer
kemudian difungsikan dalam ragam bahasa bunyi, penjabaran konsep
eksak terwakili oleh simbol-simbol dan lambang-lambang matematis,
berbagai referensi buku pelajaran senantiasa tersusun dalam sistematika
yang runtut agar mudah difahami. Lalu, bagaimana dengan sejarah?
Fragmentasi kesejarahan yang seringkali dipakai manusia seringkali
tersistem berdasarkan periodisasi waktu. Mengapa waktu? Sebab waktu
adalah ‘sesuatu’ yang begitu dekat dengan kita, bisa jadi malah
mencirikan eksistensi pokok keberadaan kita di alam semesta.

Sejarah telah membuktikan, disetiap kebangkitan suatu bangsa


terdapat pemuda sebagai rahasia kekuatannya. Revolusi Perancis yang
menumbangkan monarki dan gereja di abad pertengahan digerakkan
oleh kaum intelektual muda. Di dunia Islam Asia-Afrika, para
mahasiswa dan pemuda bangkit mempelopori perlawanan terhadap
penjajah di sepanjang paruh pertama abad ke-20 sampai tahun 70-an.

Bagaimana dengan sejarah kebangkitan pemuda di Indonesia?

28
Ketika belum ada seorangpun yang terpantik semangat juangnya
guna memperjuangkan tanah air, Pemuda Wahidin Sudirohusodo telah
melahirkan gagasan tentang kebangkitan nasional pada tahun 1908.
Pemuda Sukarno dan Hatta telah merealisasikannya dengan ikrar
kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dalam rentang
waktu tersebut terdapat banyak kisah heroik perjuangan para pemuda
Indonesia guna mengabdi dan berbakti untuk negeri.

Sumpah Pemuda yang diikrarkan pada tanggal 28 Oktober 1928


menjadi titik tolak persatuan bangsa. Satu nusa, satu bangsa, satu
bahasa. Siapa yang menyerukan narasi besar ini? Pemuda. Uniknya,
kesadaran persatuan ini tumbuh dan berkembang secara sadar dan
kolektif pada tiap elemen kepemudaan. Jauh berbeda dengan sekarang,
yang hanya menggaungkan semangat persatuan ketika tim sepak bola
kita melawan tim negara lain.

Yang lebih menarik lagi adalah bahwa dalam keterbatasan yang


ada kala itu, dalam ketiadaan jaminan bahwa gagasan besar yang mereka
ikrarkan akan menjadi tonggak perjuangan yang menyejarah, mereka
tetap memperjuangkannya dengan gigih dan semangat menyala.
Bedakan dengan aksi anarkis para pemuda kita sekarang, yang maunya
menjadi ‘sejarah yang menyejarah’, tapi pada akhirnya nol dalam hal
kontribusi. Ya, hanya meneriakan slogan kosong kaum oportunis
semata.

Ini adalah zaman perubahan. Dari wacana menuju realita. Kita


sudah terlalu kenyang dengan aksi dan demonstrasi melalui
29
media(termasuk tulisan ini), kita sudah terlalu lama hanya mendengar
dan menggaungkan wacana-wacana tentang kemiskinan, mahalnya biaya
pendidikan, dan globalisasi. Ini saatnya kita bertindak, dengan memberi
kontribusi yang berarti. Memang, kita tak bisa menafikan bahwa wacana
adalah hal yang juga urgen. Tapi apakah hanya akan kita gantungkan
hidup mati bangsa dalam sebuah wacana saja?

Sejarah selalu memperlihatkan bahwa perubahan selalu


mewujudkan keinginan-keinginan dasar yang merupakan cita-cita
bersama. Setiap semangat perubahan akan mengantarkan kita pada
mimpi yang terejawantahkan. Karena itulah, kita membutuhkan pelaku
perubahan yang senantiasa berjuang untuk mengeksekusi gagasan-
gagasan besar, yang merealisasikan setiap impian menjadi narasi yang
tersejarahkan.

Sekali lagi, mari telaah kembali sejarah kita.

Pada 1908, pemuda mulai membangun gagasan kemerdekaan.


Tahun 1928, gagasan itu dibingkai dalam semangat persatuan. 1945,
perwujudan gagasan itu teraktualisasikan secara nyata dalam proklamasi
kemerdekaan. Setelah kemerdekaan berhasil dicapai, muncul masalah
internal dalam tubuh bangsa. Maka, pemuda lah yang kemudian
kembali bertindak, pada 1966 pemuda menumbangkan rezim orde
lama, dan keberhasilan pun kembali dicetak ketika mereka
menumbangkan rezim orde baru pada 1998.

30
Sejarah selalu menyimpan kisah. Meski tak mungkin sejarah bisa
merangkum semua lini kehidupan secara utuh dan sempurna. Euforia
masa lalu dan dinamika keberhasilan masa lampau bisa jadi meyebabkan
sebagian dari kita beranggapan inilah keberhasilan yang sesungguhnya
dan akhir dari tujuan. Pada satu sisi, kita memang mesti berterimakasih
kepada para pemuda era lalu. Tapi, itu tidak berarti kita mesti mengikat
diri pada kepuasan dan tak mengacuhkan cerita hari ini, serta enggan
menyusun gagasan esok hari.

Kebangkitan pemuda di masa lalu diwujudkan di tengah


cengkeraman penjajahan. Saat ini, kita hidup ditengah kemerdekaan,
namun sayang masih semu. Kita masih terjajah! Bukan lagi berebut
wilayah dan kekuasaan, tapi melalui destruksi moral generasi, opini
publik yang dikembangkan para pemilik konsorsium yang menggurita,
dan sketsa politik laba-laba yang menyesatkan.

Lantas, apa sejarah yang akan kita bubuhkan dengan tinta emas
di atas persada khatulistiwa? Kita butuh para pelaku sejarah yang gigih
memperjuangkan cita-cita dan idealismenya. Ketika idealisme pemuda
mengendur, maka mengendur pula zaman yang dilaluinya.

Ada proyek pembaruan yang mesti kita rampungkan. Proyek ini


selamanya hanya akan menjadi konsep yang terformat di dalam pikiran
dan tertulis di memoar kita, dan pada akhirnya usang dan lapuk oleh
usia ketika tidak segera direalisasikan. Kita membutuhkan energi
perjuangan untuk melahirkan kekuatan perubahan. Kita membutuhkan
pemuda yang tangguh dan idealis untuk merealisasikannya.
31
Maka, ambilah peran. Jadilah pemuda itu. Jadilah ‘sejarah yang
menyejarah’.

Hidup Mahasiswa! Hidup Pemuda! Hidup Indonesia!

32
Jelang Orientasi Mahasiswa Baru

Bagi mahasiswa baru momen samaru (sambut mahasiswa baru,


biasanya dikenal dengan sebutan ‘ospek’) adalah masa yang penting.
Untuk pertama kalinya, mereka akan menginjakkan kaki di kampus baru
mereka, sekaligus mengurus administrasi kemahasiswaanya.

Disisi lain, ada banyak pihak yang juga berkepentingan dengan


masa registrasi on desk tersebut. Lembaga internal kampus layaknya
organisasi mahasiswa akan mengambil kesempatan ini untuk
kepentingan mereka, entah untuk pelayanan semata, pelayanan demi
terciptanya citra yang baik (pencitraan), atau pelayanan demi terciptanya
citra yang baik (pencitraan) guna perekrutan anggota.

Hal ini telah menjadi semacam rutinitas yang terjadi setiap


tahunnya, maka semaraklah kampus demi menyambut para fresh
graduated high school tersebut.

Saya pun pernah menjadi mahasiswa baru, dan saya perkirakan,


konsep yang sekarang diusung pun akan sama dengan yang dulu.
Hampir semua organisasi mahasiwa menggunakan pendekatan-
pendekatan persuasif yaitu dengan cara melayani kebutuhan maru,
utamanya dalam hal teknis di lapangan. Misal: akses informasi (info kos,
advokasi biaya kuliah, dan lain sebagainya).

33
Bisa jadi, mereka pun mengusung pendekatan edukatif. Amunisi-
amunisi seperti leaflet, bulletin mini, sampai booklet akan terlihat
berserakan (yah, dibuang dan tak sempat dibaca barangkali). Namun,
yang lebih ditonjolkan dengan cara yang kedua adalah ‘pendidikan
organisasi’- pemberian stimulan-stimulan tentang pentingnya
mengembangkan kapasitas personal secara intelektual lewat lembaga
kampus.

Namun bagi saya, ada satu hal penting yang mestinya menjadi
corak berfikir para aktivis kampus. Bukan hanya mengusung fungsi
pelayanan, pencitraan, dan perekrutan lembaga. Yang lebih penting dari
itu semua adalah bagaimana kita mengupayakan agar kampus
tercitrakan sebagai basis moral dan intelektual dalam ranah akademis.

Basis intelektual yang saya maksud adalah manifestasi belajar


secara luas, menyangkut spesialisasi ilmu yang diambil oleh mahasiswa,
maupun pembelajaran yang ia ambil guna pengembangan dirinya
melalui organisasi-organisasi mahasiswa. Basis moral adalah hal yang
mendasar untuk membentuk karakter yang baik, kuat, dan cerdas.

Saya rasa kita harus menawarkan ruang aktualisasi secara


menyeluruh, untuk terus mengarahkan mahasiswa pada platform,
“Membangun integritas mahasiswa secara moral dan intelektual.”

Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Soe Hok Gie dalam
bukunya Catatan Seorang Demonstran: “Mimpi saya yang terbesar, yang
ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi
34
“manusia-manusia yang biasa”. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi
yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang
manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa,
sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia.”

35
Membingkai Potret Intelektual Muda
Indonesia, Sebuah Refleksi

Hal yang menarik ketika kita bicara tentang ‘intelektual’ adalah


karena dengannya kita seolah dipaksa untuk berkaca di depan album
waktu yang kita beri nama ‘sejarah’. Dalam studi sejarah, Arnold
Toynbee mengemukakan adanya recurrent pattern atau kecenderungan
berulangnya suatu pola dengan beragam variasinya. Apakah
kecenderungan ini pun berlaku ketika memperbincangkan intelektual
Indonesia dari masa ke masa? Tentunya, ini akan menarik bila kita
telaah bersama. Namun, saya tidak akan membuat cerita ini menjadi
panjang dengan membaginya dalam periodisasi waktu yang baku, saya
hanya akan membiarkan tulisan ini mengalir sependek jalan pikiran saya
yang sederhana.

Sejarah modern pergerakan politik, ekonomi, sosial, dan budaya


nasional mencatat kaum terpelajar dalam dinamika masyarakatnya
memang amat menonjol. Bahkan terlihat sejak menjelang akhir abad ke-
19 dengan tampilnya sejumlah kalangan terpelajar yang melakukan
kritik pedas terhadap pemerintahan kolonial. Tidak sedikit diantaranya
malah yang sudah berani mengajak rakyat bangkit melawan penjajahan.
Perlawanan menentang kolonialisme bukan hanya dilakukan oleh

36
mereka yang mengenyam pendidikan barat, tapi juga oleh kaum
terpelajar yang berlatar pendidikan Islam.1

Pada 16 Oktober 1965, seorang saudagar batik asal Kampung


Batik Laweyan bernama Hadji Samanhoedi mendirikan Sarekat Dagang
Islam (SDI), sebuah organisasi modern berasas Islam pertama di Hindia
Timur, yang kelak menjadi cikal bakal lahirnya organisasi pergerakan
lain di Indonesia. Selain memperdalam ilmu agama pada Kyai
Djodjermo di Surabaya, semasa kecil ia juga mengenyam pendidikan di
Inlandsche School dan Eerste Inlandsche School. Ini membuktikan bahwa
Hadji Samanhoedi bukan hanya seorang pengusaha yang memegang
teguh Islam, tetapi juga seorang pejuang intelektual Islam yang anti
terhadap segala bentuk penjajahan.

Di era yang sama, kita mengenal RM Tirtoadhisoerjo, murid


STOVIA yang sering dikenal sebagai pelopor wartawan Indonesia. Ia
senantiasa melakukan kritik pedas terhadap pemerintah kolonial melalui
Medan Prijaji. Meskipun surat kabar tersebut bernama Medan Prijaji,
surat kabar tersebut tidaklah dimaksudkan hanya untuk kaum priyayi.
Malah, ia yang sebelumnya mendirikan Sjarikat Prijaji dan menjadi
bagian dari Boedi Oetomo menulis:

Aduh! Dalam programnya perkumpulan muda ini memang memuat


maksud yang begitu2, akan tetapi antara maksud dan kesampaiannya maksud itu

1 Yudha, D.P ; Peran Cendekiawan dalam Dinamika Masyarakat

2 maksudnya, melepaskan rakyat dari penderitaan akibat kolonilalisme


37
masih ada ruang lebar... tetapi yang demikian juga tak dapat diharapkan, sebab
anggota Boedi Oetomo juga ingin berumah yang patut dan penghidupan senang,
hingga masing-masing hendak mencari pekerjaan yang baik, biar di kandang
gubermen, biar di halaman partikulir”3

Kehebatan tulisan itulah yang membuat Tirto harus mengalami


pembuangan ke Lampung. Namun, di masa pembuangannya pun ia tak
pernah berhenti menulis karangan-karangan yang bertujuan membela
rakyat kecil serta melawan praktik buruk dari pemerintah kolonial
setempat. Apa yang dialami oleh Tirto dilukiskan indah oleh Pramoedya
Ananta Toer dalam tetralogi pulau buru-nya yang terkenal itu.
Termasuk juga kisah pertemuan antara Tirto, Mas Marco, serta Hadji
Misbach.

Hadji Misbach mendirikan Medan Moeslimin pada tahun 1915


dan Islam Bergerak pada tahun 1917. Salah satu tulisannya yang
dirilisnya dalam Medan Moeslimin berjudul Sroean Kita mengundang
ragam kontroversi. Ia menyindir umat Islam yang kaya namun enggan
bersedekah, juga umat Islam yang memiliki ilmu agama namun enggan
mengajarkannya pada bangsanya, malah mereka gunakan untuk menipu
bangsanya sendiri.

“..itulah sebabnya bangsa kita yang muslim itu terjerumus dengan tipu
daya orang yang mengisep darah kita.. itulah sebabnya kita kaum muslim harus
melawan dengan sekeras-kerasnya.. contohlah bergeraknya jujungan kita Kanjeng

3 Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 180

38
Nabi Muhammad saw yang menjalankan perintah Tuhan dengan tidak
mempedulikan payah susah yang terdapat olehnya, tiada takut sakit mati untuk
melawan perbuatan sewenang-wenang.. Siapa yang merampas agama Islam, itu
yang wajib kita BINASAKEN!”4

Tulisan tersebut menjadi semangat dan gairah keberagamaan


yang baru. Agama tidak lagi menjadi anjuran beramal shalih yang
diterjemahkan hanya sebagai ibadah ritual, tetapi mampu menjadi alat
melakukan transformasi sosial. Selanjutnya, Hadji Misbach terus
berusaha melakukan propaganda dan memimpin beragam aksi
pemogokan. Langkahnya semakin masif setelah ia bergabung dengan
Sarekat Islam.5

Mas Marco Kartodikromo berada dalam sekoci yang sama


dengan Hadji Misbach dalam berjuang lewat propaganda melalui
tulisan. Ia menulis dalam novelnya, Student Hijo:

“...Tuan berkata orang Jawa kotor, tetapi Tuan toh mengerti juga bila ada
orang Belanda yang lebih kotor daripada orang Jawa... “Orang Jawa bodoh”, kata

4 Ibid, hal 182

Sumber asli: Takashi Shiraishi, Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa


1912-1926 hal 181

5Kelak, Hadji Misbach mengalami perbedaan prinsip yang cukup besar dengan
kalangan SI sehingga ia keluar dan mendirikan Partai Komunis Indonesia. Ini
pelajaran berharga yang patut dicatat dalam sejarah, bukan dihilangkan karena
dianggap sebagai aib.

39
Tuan, “Sudah tentu saja, memang pemerintah sengaja membikin bodoh
kepadanya. Mengapakah Regeering tidak mengadakan sekolah secukupnya untuk
orang Jawa of Orang Hindia, sedang semua orang mengerti bahwa tanah Hindia
itu yang membikin kaya tanah kita Nederland?”6

Logika bahwa penduduk pribumi adalah bangsa primitif, kotor,


dan terbelakang inilah yang menjadi pembenaran bagi kaum penjajah
melanggengkan kekuasaannya di tanah Hindia. Hal ini juga yang
membuat kaum terpelajar kita kala itu ‘menjauh’ dari akar
masyarakatnya. Sebab, mereka pun tidak ingin dikategorikan sebagai
kaum kromo yang primitif, kotor, dan terbelakang.

Multatuli, dalam roman yang ditulisnya berjudul Max Havelaar


menulis bagaimana dogma agama menjadi pembenaran bagi Belanda
menjajah bangsa Hindia dalam ceramah yang dilakukan oleh Blatherer.

“Arahkan pandangan anda ke kepulauan di Samudera Hindia, dihuni


oleh berjuta-juta anak dari putra terkutuk-putra yang sangat terkutuk-Nuh yang
mulia7, yang menemukan rahmat di mata Tuhan! Di sana dalam ketidaktahuan
mereka merangkak di sekitar sarang ular berhala yang menjijikan-di sana mereka
menyembah kepala hitam, keriting di bawah penindasan pendeta egois! Disana,

6 Eko Prasetyo, Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin hal 189

7Dikisahkan, kaum Hindia adalah keturunan Kanaan, putra nabi Nuh yang
enggan mengimani risalah yang dibawa ayahnya.

40
mereka berdoa kepada Tuhan, memohon pada nabi palsu yang merupakan
kebencian di dalam pandangan Tuhan...”8

Lebih lanjut, Blatherer menyampaikan enam tugas yang ia klaim


harus mereka lakukan guna menyelamatkan ‘para penyembah berhala
miskin’, yang di dalam salah satu poinnya berisi: “Memerintahkan
masyarakat Jawa agar dibawa ke Tuhan dengan cara bekerja.”

Logika berpikir inilah yang membuat Tan Malaka resah. Belanda


memang memberikan kesempatan bagi kaum pribumi untuk belajar
(berhitung dan baca tulis), akan tetapi tujuan pendidikan itu pun hanya
mendapatkan buruh dengan upah rendah. Tan yang resah kemudian
mendirikan ‘Sekolah Rakyat’9 bersama SI Semarang. Sekolah ini tak
hanya mengajarkan pada para muridnya agar memiliki keterampilan
untuk bekerja dan memenuhi hajat hidupnya, tapi juga menanamkan
kesadaran kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan dan penindasan.

Begitulah, kaum intelektual di zamannya mentransformasikan ide


dan gagasan yang mereka yakini dalam praksis kehidupan berbangsa.
Memang, ada saat dimana terjadi pertentangan ide dan gagsan hingga
menyebabkan konflik, baik konflik ideologis maupun politis, akan tetapi

8 Multatuli, Max Havelaar halaman 165

9 Tan Malaka tidak pernah menamai sekolah tersebut dengan nama “Sekolah
Kerakyatan”. Para sejarawan lah yang kemudian menamakan dengan nama
tersebut karena orientasi pendidikannya berakar pada permasalahan dan
kebutuhan rakyat.

41
yang menarik untuk dikaji lebih lanjut adalah kemampuan para
cendekiawan kritis masa itu mengatasi perbedaan yang ada. SI misalnya,
pada rapat di Purwokerto dikacaukan oleh Moeso lewat SI Merahnya.
SI pun pernah ribut dengan Muhammadiyyah karena tak senang dengan
sikap Muhammadiyyah yang non-politik dan hanya bergerak di dalam
agama. Konflik antara Semaoen dan HOS Tjokroaminoto pernah
terjadi, namun Semaoen memilih diam dan Tjokro pun menganggap
kelakuan Semaoen sebagai bentuk gejolak kaum muda. Pun, konflik itu
pernah terjadi antara kubu Soekarno dan Hatta-Sjahrir. Soekarno yang
lebih memilih berjuang dengan agitasi masa lewat pidatonya, serta
Hatta-Sjahrir yang memilih berjuang dengan PNI-Baru (Pendidikan
Nasional Indonesia) yang berasas sosialis.

Inisiatif kaum muda yang brilian itu tak berhenti sampai disana,
generasi tua yang memegang tampuk pemerintahan pasca proklamasi
kini diimbangi dengan gerakan kaum muda. Inisiatif brilian itu
dilakukan jelang dua tahun setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya
pada 5 Februari 1947 ketika pemuda Lafran Pane memprakarsai
berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam. Kelahiran HMI erat kaitannya
dengan realitas kebangsaan, keagamaan, dan kemahasiswaan yang hidup
di masa tersebut. Realitas kebangsaan tersebut dapat dilihat dari upaya
HMI guna turut serta dalam mempertahankan kemerdekaan Republik
Indonesia. Selain realitas kebangsaan, kehadiran HMI terkait pula
dengan realitas keagamaan dan kemahasiswaan, dimana agama Islam
saat itu tidak dilaksanakan secara konsisten oleh umat Islam sendiri,
terutama mahasiswa. Lafran Pane, bersama kawan-kawannya di UII,
42
melihat pentingnya kembali menegakkan ajaran Islam di kalangan
mahasiswa, seperti sholat tepat waktu, dan lain-lain.

Dalam perkembangan selanjutnya, HMI secara aktif terlibat


dalam melakukan pengkaderan generasi muda bersama PMII dan IMM
(yang lahir setelahnya), serta beberapa organisasi mahasiswa lain seperti
GMNI, PMKRI, CGMI, dan lain-lain.

Sependek referensi yang pernah saya baca, saya akhirnya


mengenal beberapa ‘intelektual’ yang hidup di zaman pasca
kemerdekaan. Mereka menuliskan sepenggal perjalanan hidupnya lewat
catatan harian. Diantaranya, Soe Hok Gie (Catatan Seorang
Demonstran), dr.Sulastomo (Hari-Hari yang Panjang 1963-1966), serta
Ahmad Wahib (Pergolakan Pemikiran Islam). Ketiga orang tersebut
jelas adalah mahasiswa. Gie adalah mahasiswa Ilmu Sejarah UI yang
berafilisasi terhadap PSI. Sulastomo adalah mahasiswa Fakultas
Kedokteran UI yang juga merupakan Ketua Umum PB HMI tahun
1963-1966. Ahmad Wahib adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Pasti dan
Alam UGM yang juga merupakan kader HMI.

Dari catatan harian yang mereka tuliskan, dapat kita simak


dengan jeli bagaimana mereka sebagai mahasiswa memandang berbagai
persoalan yang terjadi di pada tahun yang diklaim bersejarah bagi
gerakan mahasiswa di Indonesia (yang katanya) menumbangkan
kekuasaan tiran, yakni tahun 1965 ketika meletus peristiwa G-30
September. Saya tidak akan mengulas lebih lanjut mengenai peristiwa

43
itu. Akan tetapi, ternyata ada hal menarik yang terjadi pada persepsi
Sulastomo dan Arief Budiman berkaitan dengan peristiwa tersebut.

Arief Budiman mengatakan bahwa pada 1965/1966 mahasiswa


sebenarnya bukanlah kekuatan yang independen. Ia menekankan agar
mahasiswa tak berilusi bahwa orde baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tapi
ya, hanya ilusi saja, dan tidak benar. Sebab, yang terjadi sebenarnya saat itu
adalah pertarungan antara ABRI melawan PKI dengan gerakan
mahasiswa sebagai ujung tombak. Mahasiswa sendiri tidak mungkin
bergerak tanpa dukungan ABRI. Oleh karena itu, kemenangan
mahasiswa ketika itu sebenarnya merupakan bagian kecil dari
pertarungan yang lebih besar dan mungkin tidak kelihatan.10

Sulastomo secara bijak menanggapi pendapat yang Arief


Budiman katakan, “Sekali lagi memang salah apabila ada anggapan
Orde Baru dilahirkan oleh mahasiswa. Tetapi juga tidak betul apabila
mahasiswa digambarkan tidak berperan apa-apa. Sebab, kekuatan Orde
Baru adalah kekuatan rakyat yang sedemikian luas, ya mahasiswa, ABRI,
pemuda, dan lain-lainnya. ABRI berperan besar dan menjadi pelopor
adalah benar. Tetapi memfokuskan persitiwa 1965/66 hanya pada
pertarungan yang besar antara PKI dan ABRI, dapat menimbulkan
interpretasi yang mungkin lain, yang mungkin juga kurang
menguntungkan.”11

10 Sulastomo, Hari-Hari yang Panjang Hal 115

11 Ibid, hal 121

44
Irawan Puspito menjabarkan secara lebih general kemelut dan
pertentangan garis politik yang terjadi di antara organisasi-organisasi
mahasiswa jelang persitiwa 30 September 1965:

Organisasi mahasiswa yang secara tajam mengikuti garis Presiden


Soekarno adalah GMNI, dan yang sejalan dengan garis ABRI adalah HMI,
PMKRI, dan SOMAL (Sekretariat Organisasi-Organisasi Mahasiswa Lokal).
Sedangkan yang mengikuti dan mendukung garis PKI adalah CGMI (Concentrasi
Gerakan Mahasiswa Indonesia).12

Mungkin, ingatan kita akan kembali pada adegan di film Gie yang
mengisahkan pertentangan pelik yang terjadi antar organisasi mahasiswa
tersebut, kemudian bersatunya mereka saat berusaha menumbangkan
kekuasaan Orde Lama. Namun, yang patut kita cermati lebih lanjut
adalah adegan saat Gie bertemu kawannya yang telah menjadi anggota
dewan pasca lahirnya Orde Baru. Adegan tersebut memberi ilustrasi
lahirnya calon borjuis kecil yang diam-diam membina hubungan intim
dengan pemerintah hingga berimbas pada untung dan proyek, akhirnya
idealisme dan semangat militan pun dibonsai jadi kepatuhan pada
kenikmatan dan kemegahan. Gagasan demokrasi kemudian dibunuh
oleh para pejuangnya. Anak-anak muda yang dulu antusias mengutuk
rezim Soekarno duduk antusias di kursi parlemen, berkoalisi menguras
lebih dalam kekayaan bangsa untuk kantong pribadi bersama rezim
baru yang kini berkuasa.

12 Dynamics of Islamic Student Movements, hal 85

45
Pasca diberlakukannya Normalisasi Kegiatan Kampus dan Badan
Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada 1974, praktis ruang
gerak mahasiswa baik internal maupun ekstra kampus mengalami
pengebirian yang luar biasa. Dampaknya, kampus menjadi tempat yang
steril dari kegiatan politik mahasiswa, dan semata difungsikan sebagai
lembaga pengkajian akademis. Kelesuan aktivisme mahasiswa yang
terjadi menyebabkan munculnya pola-pola gerakan baru yang
berkembang dalam kancah kemahasiswaan, khususnya gerakan
mahasiswa Islam. Diantaranya, 1) ormas kemahasiswaan yang telah ada
sebelumnya seperti HMI, IMM, dan PMII, 2) kelompok mahasiswa
Islam yang bersentuhan dengan pemikiran Islam kiri, serta 3)
munculnya aktivitas keislaman berbasis masjid-masjid kampus.

Fenomena gerakan yang berbasis masjid kampus ini dimotori


oleh seorang tokoh HMI bernama Imaduddin Abdulrahim. Melalui
beliau, gerakan ini mengakar ke seluruh kampus di Indonesia yang
kemudian menjadi cikal bakal lahirnya FSLDK (Forum Silaturrahim
Lembaga Dakwah Kampus). Telah beberapa kali dilangsungkan
pertemuan FSLDK guna membahas khittah LDK agar tercipta
kesamaan pemahaman dan kesamaaan arah dalam melaksanakan
strategi dakwah kampus, hingga pada FSLDK Ke X di Malang para
Aktivis Dakwah Kampus tersebut menyadari perlunya respon terhadap
kondisi perpolitikan nasional yang begitu memprihatinkan. Selepas
acara, dideklarasikanlah kelahiran Front Aksi yang disepakati bernama
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) pada 29 Maret
1998. Pada muktamar nasional pertama pada tanggal 1-4 Oktober 1998
46
dimulailah era baru bagi KAMMI, yakni perubahan statusnya sebagai
front aksi menjadi ormas yang permanen.

Reformasi yang senantiasa digadang-gadang dengan penuh


kebanggaan bukanlah sejarah yang indah, sebab setelah reformasi
ternyata gerakan mahasiswa belum berhasil membangun mimpinya akan
sebuah negara yang ideal. Gerakan mahasiswa berubah atributnya
menjadi gerakan moral, masa kepahlawanan selesai, ada sisi yang hilang
karena ketidakmampuan gerakan dalam menggalang massa. Gerakan
mahasiswa menjadi kebingungan membawa peran, saat mereka pulang
kandang ke kampusnya, mereka punya aturan-aturan baru, namun
kampus ternyata lebih dahulu membuat aturan-aturannya sendiri.

Ide-ide para ‘pahlawan reformasi’ ini pun tidak hidup. Konsep


tanpa prinsip dan uang ternyata tak bisa terealisasi. Ide mahasiswa
menghantam kekuatan yang jauh lebih besar. Wujud eksperimentasi
gerakan mahasiswa dengan corak kiri-kanan yang menggaungkan politik
progresif pun digempur militer. Habislah intelektual kampus. Mereka
yang pintar akan masuk ke dalam birokrasi, sementara yang radikal akan
tersingkir. Mulai tahun 2001-2002, tradisi intelektual menjadi menurun.
Disisi lain, masyarakat mulai meragukan efek reformasi sebab
demokrasi nyatanya tak menjamin apa yang dulu dijamin oleh Soeharto
(meski diberikan dengan hutang luar negeri). Gerakan Mahasiswa pun
hanya hidup saat pergantian kepengurusan, pelantikan, dan diskusi. Kita
pun kian terjebak, antara keinginan untuk melakukan pemberontakan
atas tatanan dan ketidaktahuan merumuskan alternatif. Mungkin karena

47
itu kebanyakan kemudian memilih pilihan pragmatis yang paling
realistis: mengadakan seminar, lomba ini itu, dan lain sebagainya.

Lantas, peran apa yang mestinya diambil oleh para intelektual


hari ini? Izinkan saya mengutip Manhaj Kaderisasi KAMMI 1427 H,
sebagai berikut:

Kritik mendasar pada gerakan mahasiswa adalah ekspresi reaksionernya


pada berbagai isu. Bentuk reaksioner ini mengindikasikan bahwa gerakan itu
tidak memiliki agenda atau termakan agenda orang lain. Gerakan mahasiswa
bukanlah alat pukul politik yang disibukkan mencari musuh dan bergerak sebagai
watch dog. Gerakan mahasiswa adalah aset masa depan, maka ia harus memiliki
rencana masa depan bangsanya yang kelak ia pun ikut andil dalam proses
kepemimpinan bangsa ini. Kompetensi dasar atas itu merupakan wujud dari
pengokohan gerakan yang menjadikan dirinya lebih kontributif pada pemecahan
masalah umat dan bangsa.

Menjadi proaktif (tidak reaksioner) bukan berarti abai terhadap


permasalahan, kemudian menjadi permisif dan enggan turun tangan.
Kaum intelektual wajib menjunjung tinggi dasar ilmiah sebagai bentuk
pertanggungjawaban atas pilihan sikapnya.

Pers pernah menjadi alat perjuangan yang mematikan guna


melawan kaum penjajah, saat ini pers berubah menjadi penjajah baru
yang mematikan intelektualitas dan moral bangsa, kaum intelektual
muda memiliki tanggung jawab yang besar untuk membuat arus baru
pers yang mencerdaskan. Ragam organisasi pernah didirikan sebagai
48
bentuk ijtihad para founding fathers guna mewujudkan cita-cita besar
kemerdekaan Indonesia (dan mereka berhasil), kaum terdidik kita hari
ini pun memiliki organisasi untuk mewujudkan cita-cita bersama
(Indonesia yang lebih baik), maka pendidikan kader dan penanaman
ideologi yang persisten dan konsisten mesti kita jaga dan tanamkan
baik-baik, disamping turut andil berbuat dan berkarya untuk menjadi
solusi permasalahan umat dan bangsa.

Jumlah perguruan tinggi hari ini semakin banyak. Pertemuan


mahasiswa semakin mudah, tukar menukar gagasan pun semakin
mudah. Yang perlu kita ciptakan adalah momentum dan kesempatan
mengambil peran. Sebelum menuju kesana, yang perlu kita perhatikan
benar adalah memulihkan kembali kepercayaan publik pada gerakan
mahasiswa. Produksi ide kita harus lebih banyak, harus lebih autentik
dan genuine. Bukan berdasar kata senior ataupun pendapat mainstream
para ilmuwan sosial yang kini lebih memilih menjadi ‘pelayan
pembangunan’ ketimbang penggerak perubahan.

Gerakan pemuda harus mengakar pada kebutuhan rakyat, dan


kita hanya akan bisa mengerti apa yang diinginkan rakyat manakala kita
mengidentifikasi diri sebagai rakyat, bukan bagian terpisahkan yang
menempatkan diri dengan narsis sebagai agent of change, agent of social
control, iron stock, moral force, dan lain-lainnya. Sebutan langitan ini
membuat mahasiswa berada pada posisi yang berbeda dengan rakyat
secara umum, ‘merasa’ lebih intelek-lah, lebih rasional-lah, lebih inilah,
itulah. Karena mahasiswa adalah rakyat, maka tiap langkah yang kita

49
ayun, tiap jejak yang kita buat, tiap goresan tinta yang kita torehkan,
merupakan tindakan sadar kita sebagai bagian himpunan
bernama rakyat.

Kita menyadari inferoritas kita ditengah superioritas mitologi


yang membangun kerangka diri kita selama ini, menyadari sepenuhnya
bahwa sebagai rakyat kita memiliki hak dan kewajiban yang sama
sebagai warga negara. Mudah-mudahan dengan menghidupkan
kesadaran ini, tidak akan lagi terjadi dikotomi yang terbangun antara diri
dengan rakyat, sebab kita sendiri pun harusnya menempatkan diri
sebagai bagian inheren dari rakyat, tanpa menafikan kapasitas keilmuan
yang kita miliki secara teori maupun praksis yang kita dapat di
perguruan tinggi.

Pada akhirnya, selain mengidentifikasi diri sebagai bagian kolektif


dari rakyat, tak bisa tidak, kita mesti mengidentifikasi diri sebagai
individu, sebagai pribadi. Sebagai pribadi, kita bisa berkaca pada Hadji
Misbach yang menggaungkan semangat perlawanan pada kekuasaan
yang menggurita atas nama Tuhan. Kita bisa berkaca pada Tan Malaka
yang membangkang terhadap otoritas pendidikan di zamannya dengan
membuat sistem pendidikan yang memerdekaan, merakyat, dan
membebaskan. Kita bisa berkaca pada RM Tirtohadiserjo yang menolak
kemapanan sistem dan memilih bergerak dengan kekuatan pena.
Apabila kita tak merasa nyaman dengan mengidentifikasi pada sosok-
sosok tersebut, yakinlah bahwa kita bisa memainkan peran kita sendiri,
tanpa menunggu naskah maupun skenario dari sutradara. Mengambil

50
peran adalah kebutuhan tak terbantah bagi mereka yang mengaku
sebagai kaum intelektual!

Akhirul kalam,

Ihdinaashhirotholmustaqiim. Tunjukilah kami jalan yang lurus Ya


Tuhan kami..

Sumber Bacaan:

Islam, R. J. (2013, November 15). Jejak Islam untuk Bangsa. Retrieved


Oktober 4, 2014, from Hari-Hari Terakhir Hadji Samanhoedi;
Pejuang yang Ter(Di)Lupakan:
http://www.jejakislam.net/?p=225

Multatuli. (2008). Max Havelaar. Jakarta: Penerbit Narasi.

Prasetyo, E. (2008). Minggir! Waktunya Gerakan Muda Memimpin.


Yogyakarta: Resist Book.

Puspito, I. (2009). IMM sebagai Mata Rantai Intelektual Muslim. In C.


N. Saluz, Dynamics of Islamic Student Movements (pp. 77-103).
Yogyakarta: Resist Book.

Raharjo, M. D. (1996). Cendekiawan Indonesia, Masyarakat dan


Negara: Wacana Lintas Kultural. In Kebebasan Cendekiawan,
Refleksi Kaum Muda. Jakarta: Pustaka Republika.

51
Sulastomo. (2000). Hari-Hari yang Panjang 1963-1966. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas.

Wahib, A. (2013). Pergolakan Pemikiran Islam. Jakarta: Pustaka LP3ES.

Yudha, D. P. (1996). Peran Cendekiawan dan Dinamika Masyarakat,


Sebuah Refleksi. In Kebebeasan Cendekiawan, Refleksi Kaum
Muda (pp. 60-74). Yogyakarta: Pustaka Republika.

52
Leiden is Lidjen, Memimpin adalah
Menderita
Teladan Kepemimpinan Haji Agus
Salim

Pasca transisi kepemimpinan, Indonesia masih dihadapkan pada


pelbagai persoalan yang tak kunjung usai. Alih-alih beradu argumen
ideologis guna menyelesaikan persoalan bangsa, elite politik kita malah
asyik berebut pengaruh dan kekuasaan. Pembusukan institusi legislasi
tak terhindarkan. Kepercayaan rakyat pada para wakilnya tak pelak
musti pupus bahkan sebelum mereka ‘bergerak’.

Sebagai himpunan besar bernama ‘rakyat’, sudah pasti kita


kecewa. Lantas, kita pun bertanya, “Mengapa pentas politik
menampilkan lakon wayang yang tak menarik?”, “Apakah padang
kurusetra berpindah di ruang dewan?”, “Tidak adakah figur pemimpin
yang patut jadi teladan bagi rakyatnya?”

Agaknya mereka lupa. Bisa jadi kita enggan membaca. Bahwa


Republik pernah lahirkan tokoh pemimpin besar di masa lalu. Bahwa
fakta sejarah itu tak hanya patut diperingati, apalagi berakhir di hafalan

53
para pelajar sekolah negeri. Tanpa berniat lakukan glorifikasi, penulis
ingin hadirkan kembali ia yang berikan teladan terbaik kepemimpinan.

Terlahir dengan nama Masjhudul Haq (Pembela Kebenaran),


agaknya menjadi spirit bagi dirinya untuk selalu konsisten membela
bangsanya dari penjajah. Spirit itu ia wariskan pada para pemuda Islam
yang kelak lanjutkan jejak perjuangannya. Natsir, Roem, Kasman,
Soeparno, dan banyak aktivis JIB (Jong Islamieten Bond)
menjadikannya Bapak tempat bertanya dan menempa diri. Ia mendidik,
bukan mengajari. Ia menyederhanakan persoalan, bukan membuatnya
makin rumit. Ia tak mendikte solusi, tapi memberi ruang untuk setiap
kemungkinan alternatif jawaban.

Di awal berdirinya Republik, ia tampil penuh percaya diri di


panggung dunia. Ia lakukan lawatan ke negara-negara Timur Tengah
demi pengakuan kedaulatan atas negara yang terus mengalami invasi
militer pihak Belanda. Karena diplomasi seorang poliglot (seorang yang
mampu menguasai banyak bahasa) yang brilian ini, sejumlah negara
Arab berturut-turut mendukung pengakuan kedaulatan Indonesia. Tak
pelak, Soekarno menjulukinya, The Grand Old Man.

Dalam konteks politik, Haji Agus Salim pernah terlibat dalam


situasi yang pelik. Intrik dan konflik internal melanda Sarikat Islam-
Partai Sarikat Islam, ketika ia menjabat dalam struktur kepengurusan
pusat. Hal ini akibat infiltrasi yang dilakukan Partai Komunis Indonesia.
Ia selesaikan konflik dalam partai dengan cara yang beradab: adu
argumen dan debat terbuka. Akhirnya, disiplin partai diterapkan.
54
Mereka yang komunis tersingkir, purifikasi ideologi dilakukan dengan
mantap. Meski menghendaki Islam sebagai dasar negara, Haji Agus
Salim tidak bertindak agresif. Dengan kepala dingin, ia menjadi
penengah kubu nasionalis dan kubu Islamis dalam Panitia Sembilan saat
rumuskan dasar negara.

Diakui lawan politiknya, Willem Schermerhorn, hanya satu


kelemahan Haji Agus Salim, yaitu “selama hidupnya selalu melarat dan
miskin”. Deliar Noer, sejarawan Indonesia menguatkan pendapat ini:
“Sampai akhir hayatnya, salim tak pernah hidup mewah, tidak mengeluh
dengan keadaan dan tanpa mengurangi gairah perjuangan.”

Bagaimana tidak? Sampai akhir hayatnya, ia tak memiliki rumah


tinggal yang tetap. Tanpa lelah dan keluh kesah, ia, istri, dan ketujuh
anaknya berkali-kali pindah rumah kontrakan, sempat ia hanya mampu
mengontrak satu kamar saja. Saat anaknya meninggal, ia bahkan tak
memiliki uang guna membeli kafan. Ia cuci taplak meja dan kelambu
untuk mengkafani anaknya.

Leiden is Lidjen, Memimpin adalah Menderita. Demikian


keteladanan yang Haji Agus Salim ajarkan dengan tindakan. Bukan
semata lewat spanduk dan iklan. Apalagi pencitraan murahan yang jadi
bahan cemooh dan ejekan.

Semoga kita belajar..

55
56
Menjelang Akhir Kepengurusan

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedangkan kamu mengetahui.” (QS al-Anfal [8]: 27).

Pergantian kepengurusan dalam sebuah organisasi adalah suatu


keniscayaan sekaligus menjadi bukti bahwa denyut organisasi masih
berdetak. Adalah merupakan sunatullah, jika silih berganti aktivis datang
dan pergi mengisi pos-pos struktural kelembagaan untuk berkontribusi
dengan memaksimalkan potensi yang dimilikinya, karena di sanalah ia
ditempa untuk mempersembahkan totalitas perjuangan dan
pengorbanannya demi tercapinya visi dan misi lembaga.

Perjalanan mengemban amanah ini tak selamanya mulus. Ada


onak, duri, serta berbagai rintangan yang menghalangi. Karena itulah,
seorang aktivis diharapkan bisa menjadi sebuah pisau belati yang selalu
terasah tajam, yang memiliki semangat pengabdian, perjuangan, serta
pengorbanan secara maksimal dalam setiap bidang kelembagaan tempat
ia beramanah

Jika ada pengurus baru yang menggantikan pengurus lama, ini


berarti bahwa mereka tengah mendapat kepercayaan total untuk
57
mengemban amanah agar ditunaikan dengan penuh totalitas,
profesionalitas, dan dedikasi. Pengurus lama yang lengser dari jabatan
strukturalnya, bukan berarti kehilangan amanahnya, meskipun secara
formal memang Ya. Pasca kepengurusan, diharapkan mereka tetap
menggafiliasikan idealisme dan pemikirannya untuk keberlangsungan
dakwah. Jadi, tidak terbatas pada struktur kelembagaan semata.

Kita memikul amanah dari orangtua kita untuk mengoptimalkan


potensi fikriyah kita dalam konteks akademis, yakni kuliah. Di sisi lain,
kita ingin menembangkan soft-skills kita dengan berorganisasi, yang
dengan otomatis membuat kita ‘beramanah’. Dalam konteks ini kita
dituntut untuk bisa menyeimbangkan keduanya sesuai proporsi dan
porsi yang tepat.

Ironisnya, terkadang sikap kekanakkan kita muncul, banyak


mengeluh karena amanah yang begitu banyak dengan waktu yang begitu
terbatas. Juga rasa lelah yang mencekik dan membuat sesak di dada.

Seringnya, hal ini menjadi alasan dan dalih kita untuk


mengesampingkan kedua amanah yang dipercayakan pada kita.
Menjadikan kesibukan berorganisasi sebagai alasan ketika mendapat
IPK rendah, atau malah sebaliknya, menjadikan akademis sebagai dalih
untuk melalaikan tugas kelembagaan.

Allah tidak akan membebankan pada seseorang suatu ujian yang


diluar kesanggupannya. Jika kita bisa melakukan hal yang nilainya (misal
saja) A, namun yang kita dapatkan adalah B. Maka, adalah suatu yang
58
lumrah ketika dipertanyakan, “ apa jeda yang memisahkan antara A dan
B?”

Kita adalah sopir. Apakah kita mampu membuat kendaraan kita


mempercepat laju menuju tujuan, atau malah sebaliknya. Kembali pada
kita, inti dari pergerakan ini. Seberapa kita mengenal kendaraan kita,
mampukah mengoperasikannya dengan baik, dan apakah kita tahu apa
yang mesti dilakukan manakala chaos terjadi padanya. Ya memang
benar. Kembali pada kita, sang pengendara.

Di sinilah saatnya kita merefleksikan diri. Benarkah Allah sebagai


tujuan? Jika demikian, sesulit apapun medan, takkan jadi penghalang.
Sungguhkah ikhlas sebagai landasan perjuangan? Bila begitu, tiada
pantas keluhan demi keluhan terlontarkan. Da’wah memang indah,
Kawan. Ia mempesona kita bukan dengan fasilitas yang ditawarkan
namun justru oleh tantangan yang memayahkan. Tapi Allah Mahaadil.
Ia sediakan jiwa-jiwa penghangat perjuangan, Ia Berikan tangan-tangan
yang kan raih kita saat hendak terjatuh. Ia sediakan saudara seiman, dan
itulah yang buat manisnya perjuangan.

59
Dari Renungan hingga Diskusi

60
Bijak Tanggap Isu

Dalam menyongsong mihwar daulah, ada beberapa hal yang


nampak jelas terlihat. Jika pada mihwar sebelumnya ikhwah sangat
intens dengan kajian yang berkaitan dengan akidah, ibadah, serta
materi-materi lain yang menumbuhkan pemahaman mengenai tandzim,
di era setelahnya persoalan yang menyangkut amal siyasi mau tak mau
mendapat porsi yang cukup banyak. Dengan catatan, di era sebelumnya
amal siyasi memang selalu menyertai setiap aktivitas dakwah. Misal, di
mihwar muasasi, gerakan dakwah telah memiliki rakizah siyasiyah, yakni
penekanan kerja di bidang politik.

Adalah bukan kapasitas saya berkomentar mengenai berbagai isu


yang saat ini berkembang di media massa maupun obrolan ringan di
sudut-sudut kampus mengenai hasil Pemilu 2014. Namun, artikel ini
(http://polhukam.kompasiana.com/politik/2014/04/14/harusnya-
pks-tidak-seperti-itu–647710.html) memang sukses membuat saya
tersenyum-senyum sendiri. Segera saya membuka catatan tasqif saya
beberapa tahun silam dan menemukan beberapa catatan menarik.

Memang, sebagai follower, over-reaktif dalam menghadapi isu


bukanlah tindakan yang bijak. Mungkin hal tersebut memang bertujuan
baik, untuk tabayun, agar yang kita anggap sebagai kebenaran dapat
tersampikan. Akan tetapi, kekaburan kader dalam menyampaikan
61
informasi dengan data yang tak valid dan sama sekali tak akurat justru
akan memperkeruh isu negatif yang berkembang.

Sayyid Muhammad Nuh sendiri dalam bukunya Terapi Mental


Aktivis Harakah pernah mengatakan bahwa tabayun adalah kewajiban
qiyadah. Sebagai jundiyah, kita semestinya tidak tergesa-gesa dalam
menguatkan suatu pendapat, baik dengan over-reaktif men-share-
kannya secara terus menerus maupun memberi komentar-komentar
yang berdasar dari asumsi pribadi. Mengutip Ust Eko Novianto dalam
bukunya, Dakwah dan Manajemen Isu:“..tabayun, keterbukaan, ketepatan
respon qiyadah, kajian kebijakan, dan integritas struktur dakwah bukanlah tugas
kita sebagai individu, akan tetapi merupakan tugas struktur dakwah.”

Hal tersebut seharusnya akan ditaati dan dilakukan secara bijak


oleh mereka yang memahami konsekuensi dari menggabungkan diri
dalam sebuah harokah Islamiyah. Ust Fathi Yakan dalam bukunya,
Komitmen Muslim kepada Harokah Islamiyah menegaskan bahwa
seorang mukmin adakalanya tak mengetahui tanda-tanda adanya bahaya
(fitnah), sehingga ia tak menyadarinya kecuali itu benar-benar telah
terjadi. Oleh karena itu, seorang Mukmin harus berhati-hati dalam
berucap, berbuat, dan bersikap agar tidak mendatangkan bencana bagi
orang-orang yang beriman.

Perkara ini kembali diingatkan oleh Sayyid Muhammad Abdul


Halim Hamid, dalam bukunya Karakteristik dan Perilaku Tarbiyah,
beliau berpesan, “Memberikan perhatian kepada perkataan yang buruk
dan cepat mengambil keputusan atas isu dan praduga tidak akan
62
menghasilkan apapun kecuali semakin membuat ia durhaka dan
menjauh.” Hal ini berlaku baik untuk mereka yang berada dalam
internal gerakan dakwah, maupun mereka yang berada di eksternal
gerakan, bahkan musuh-musuh dakwah. “Janganlah kita
menghancurkan jembatan antara kita dan lainnya, meskipun mereka
berbuat jelek dan menjelek-jelekkan.”

Pernah, saya coba ingatkan kawan yang cenderung senang


mengumbar data-data yang kurang valid, menyerang rival politik, dan
melakukan klarifikasi tak berdasar, namun atas alasan tsiqah pada
berita/info yang ia miliki, ia tak gubris yang saya katakan. Lalu, saya pun
bertanya-tanya, apa sebenarnya makna dari tsiqah?

Ust Fathi Yakan mengatakan bahwa yang dimaksud dengan


tsiqah adalah kepercayaan seorang prajurit akan kemampuan dan
keikhlasan komandannya secara mendalam sehingga membuahkan
kecintaan, penghargaan, penghormatan, serta ketaatan.

Sayyid Abdul Halim Hamid mengungkapkan bahwa tsiqah


adalah ketenangan hati tanpa adanya keragu-raguan. Kebutuhan akan
tsiqah menjadi prioritas yang penting saat ini. Lebih lanjut, beliau
menerangkan mengenai bentuk-bentuk tsiqah.

Pertama, tsiqah kepada Allah swt. Ketika terjadi perang dengan


tentara kebatilan, dan para tentara mendapat desakan keras, maka tsiqah
pada kebersamaan Allah dan dukungan serta pertolongan-Nya dapat
meringankan kerasnya tekanan yang dihadapi.
63
Kedua, tsiqah kepada diri sendiri. Tsiqah ini berlandaskan pada
keyakinan bahwa segala sesuatunya ia serahkan hanya kepada Allah swt.

Ketiga, tsiqah kepada manhaj (sistem) dengan konsisten selama


sistem bersumber dari sumber Islam, diturunkan dari sumber Islam,
serta pada substansinya secara keseluruhan dan terperinci.

Keempat, tsiqah kepada kepemimpinan, selama ia memimpin


atas sistem kebenaran, memberi contoh dengan komitmen, ketekunan,
dan bermujahadah di jalannya.

Kelima, tsiqah kepada prajurit yang merupakan hak tentara atas


kewajibannya memberi, berkarya, dan berkorban terhadap pemimpin.

Keenam, tsiqah antar individu asalkan mereka adalah kelompok


kaum mukminin yang merupakan ahli agama serta senang menciptakan
perdamaian. Akan tetapi, yang perlu diingat bahwa kepercayaan ini
kadang dimanfaatkan oleh orang-orang yang munafik dan
perekayasanya.

Maka dari itu, kehati-hatian dalam mencerna ragam informasi


yang disajikan di media merupakan keharusan bagi tiap muslim
dimanapun berada.

64
Baratayuda di Negeri Kita

Pasca deklarasi pencapresan Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta,


media mulai ramai dibanjiri pemberitaan mengenai kedua sosok
tersebut. Masing-masing kader maupun simpatisan seolah memiliki
energi tak terbatas guna menggali latar belakang masing-masing tokoh,
dari mulai orangtua, anak, prestasi yang pernah diperoleh, hingga
berderetnya kasus yang masih belum tuntas hingga saat ini.

Sebagai orang awam yang baru mulai belajar untuk melek politik,
saya tak ingin banyak berasumsi macam-macam. Entah dengan
memberi dukungan pada salah satu calon, maupun menistakan calon
yang lainnya dengan argumen yang saya ragukan kebenarannya. Tidak,
saya tak mau melakukan hal yang (menurut saya) konyol itu. Hanya saja,
melihat beberapa hari belakangan beranda facebook, blog, dan twitter saya
ramai, saya pun mulai gatal dengan sesekali menandai ‘suka’, meski
menahan diri untuk tidak menshare, me-reblog, maupun meretweetnya.

Alih-alih teori, saya malah jadi ingat akhir perang Baratayuda


yang tragis. Lho? Kok bisa? Bukannya kebaikan menang atas kejahatan?
Pandhawa menang! Ya, memang Pandhawa menang, akan tetapi
peniadaan kurawa hingga ke akar-akarnya, nyatanya tak membawa pada
kejayaan yang agung dan diidamkan. Kematian para Kurawa membuat
daya hidup Pandhawa juga habis. Memang, Pandhawa berhasil
65
menguasai Astina, tapi apa gunanya itu semua ketika seluruh keturunan
Pandhawa pun berhasil dimusnahkan (dengan perkecualian Parikesit)?
Hingga pada akhirnya, Pandhawa pun harus menghadapi kematian
serupa di puncak Mahameru, menyisakan Yudhistira dan anjingnya
dalam perjalanan panjang menemukan hakikat.

Mungkin, dialog antara Arjuna dan Kresna di awal perang besar


itu patut menjadi renungan bagi kita. Sesaat sebelum perang
berkecamuk, Arjuna berkata kira-kira begini, “Mungkinkah kepemilikan
suatu negara seimbang dengan korban-korban sedemikian besar?” Jika
saja Kresna menyepakati perkataan Arjuna dan memilih menyarankan
membatalkan pertempuran di detik-detik terakhir, (toh Pandhawa telah
hidup damai di Amarta). Jika pun Kresna tetap memberikan saran yang
sama untuk tetap melanjutkan pertempuran, toh Arjuna bisa menolak,
dan bisa jadi kematian ratusan ribu nyawa di medan pertempuran urung
terjadi, tak ada kisah tragis yang begitu memilukan ini.

Hanya saja, selama ini kita telah dicekoki dengan begitu


mudahnya bahwa kebaikan akan selalu menang dari kejahatan. Dengan
mudah, kita memberi label “BAIK” dan “BURUK” pada masing-
masing golongan. Jika sesuai dengan selera, kita katakan BAIK, jika
tidak, maka sebaliknya. Tapi, disinilah akan kita lihat uniknya
Mahabharata. Kita tidak akan dengan mudahnya memberi label BAIK
dan BURUK pada tokoh yang membangun cerita ini. Setiap peran
memiliki kompleksitas dan ambiguitas wataknya. Kita betul-betul akan
kesulitan menarik garis tegas yang memisahkan antara hitam dan putih,

66
antara baik dan buruk. Jika pihak Kurawa melambangkan kebengisan,
kejahatan, dan keangkaramurkaan, disana kita temukan tokoh Bhisma
Dewabrata, Resi Durna, Prabu Salya, dan Karna. Mereka adalah para
satria utama. Jika kita ingin melambangkan kebaikan, keadilan, dan
kepahlawanan pada para Pandhawa, toh egoisitas mereka memilih
korbankan nyawa tak berdosa untuk sebidang tanah patut pula
dipertanyakan. Itu baru di level pihak yang terlibat dalam pertempuran,
belum sampai pada level pribadi.

Tak ada yang meragukan watak satria Bhisma Dewabrata. Ia


adalah seorang panglima yang dihormati baik oleh Kurawa maupun
Pandawa. Tentu saja ia akan memihak pada kebenaran, kebaikan, dan
keadilan. Lantas, mengapa ia memilih berada di pihak Kurawa?
Bukankah seorang satria harus memilih yang benar, yang baik, dan yang
adil? Tapi di lain pihak, ia adalah seorang satria yang wajib membela
tanah airnya, Astina. Bukankah seorang satria memang harus
mempertahankan setiap jengkal tanah airnya ketika orang lain ingin
merebutnya? Lantas, bagaimana kita akan menghakiminya saat ia mati
di tengah pertempuran oleh panah Srikandi? Surga atau Neraka? Begitu
pikirmu?

Sengkuni memang terkenal culas dan licik, ia dituding sebagai


pengobar perang Baratayuda. Tapi bagaimana dengan Kresna? Sosok
yang kita kenal sebagai moksa Dewa Wisnu inilah yang mengipasi api
agar menyala lebih ganas dan membara! Sebagai seorang satria, ia pun
melakukan penipuan terhadap Durna dalam peperangan dengan

67
mengabarkan berita bohong bahwa Aswatama, anaknya, telah mati
(padahal yang mati gajah bernama Aswatama). Yudhistira memang
terkenal arif dan bijak, tapi kalau bukan karena persetujuannya berjudi
dengan Kurawa, Pandhawa tak akan terusir dari Astina begitu saja!
Karna mungkin dianggap khianat pada saudara seibunya, tapi ia setia
guna membalas budi atas kebaikan Duryudana.

Terjebak dalam moralitas murahan baik dan buruk ini akan


membuat kita kehilangan kemanusiaan kita. Mungkin kau akan berkata,
yang haq telah jelas, demikian pula dengan yang bathil, tapi selesaikah
sampai disana? Gambaran dunia bukan hanya hitam dan putih, begitu
banyak warna yang membentuk selengkung pelangi, dunia juga
demikian. Judgement asal-asalan bukan hal yang bijak.

Sebagaimana Kurawa dan Pandhawa yang mencerminkan sifat


khas manusia dengan ambiguitas dan ambivalensinya, demikian pula
pribadi kita. Maka, sembari menonton perang di dunia maya ini, saya
pun merenung dan berkaca, (mungkin kau juga berminat
melakukannya), bahwa baik dan buruk bukanlah suatu hal yang dengan
mudahnya dapat diputuskan kadarnya, lebih apik lagi jika kita mau
mawas diri.

Tokoh yang kita kenal dalam cerita pewayangan sudah memiliki


karakter khasnya masing-masing, kita tahu bijak sekaligus liciknya
Durna, kita paham kejumawaan sekaligus kedewasaan Antasena dan
Antareja, kita tahu watak satria Arjuna meski dia pernah pula
berselingkuh dengan Dresnala. Tapi, dalam dunia nyata, watak kita tak
68
tergambarkan sejelas itu. Apakah kita lebih dekat dengan tokoh
Sengkuni ataukah Bima? Apakah kita lebih pantas disejajarkan dengan
Bambang Ekalaya ataukah Prabu Salya? Jika saja kita mau jujur,
barangkali dalam hati kita pun hidup ragam sosok itu, bukan hanya
satu-dua, terjadi lebih dari sekedar paradoks dan ambiguitas. Kita ingin
menjadi seorang pembelajar sejati macam Ekalaya, tapi apakah setelah
sukses kita malah berubah menjadi Salya yang mencampakkan kawan
seperguruannya? Kita mungkin akan menelusup dalam batin kita
terdalam untuk menemukan hakikat, lalu setelah merasakan damai itu,
apa yang akan kita pilih? Bima memutuskan kembali dan menjalani
pertempuran, sementara Wisanggeni memilih hidup dalam jagad cilik
bersama isterinya. Bagaimana dengan kita? Ada Baratayuda yang
berkecamuk dalam tiap diri kita, meskipun dalam perang besar ini kita
tak lebih keberadaannya dari prajurit maupun penonton.

Sebagai prajurit, kita akan dengan mudahnya membuat


rasionalisasi atas perjuangan kita. Kulakukan ini karena yakin akan
kebenaran, kulakukan ini atas dasar nasionalisme, kulakukan ini untuk
cintaku. Sebagai penonton wayang, kita pun membuat rasionalisasi
mengapa Kurawa harus kalah dan Pandhawa memang layak menang.
Itu sah-sah saja. Sungguh, saya pun kesulitan menemukan motif saya
(termasuk dalam tulisan ini), apakah ia murni merupakan refleksi dan
saya berharap orang lain membaca serta memberikan pendapatnya
mengenai tulisan ini, ataukah tercampur pula kebencian serta dukungan
tersamar? Adakah pamrih? Seberapa besar? Hanya Tuhan yang tahu.

69
Tulisan ini tak bermaksud membuat pelabelan tertentu, bahwa
salah satu pasangan capres adalah Kurawa, sementara yang lainnya
adalah Pandhawa. Yang ingin saya katakan adalah, dalam Baratayuda,
ada ratusan ribu ‘Baratayuda” yang berkecamuk dalam tiap diri
lakonnya. Dalam kehidupan nyata, sudah pasti kita akan dihadapkan
dengan situasi yang menuntut kita memilah dan memilih, lantas
memberi keputusan. Tak jarang rasa bimbang menyergap, sebab baik
buruk hilang batasnya, tercampur baur! Akan tetapi, pada akhirnya, kita
lah yang akan mempertanggungjawabkan tiap keputusan yang kita
ambil.

Sebagai penutup, saya ingin mengutip perkataan salah seorang


mursyid ‘Am Ikhwanul Muslimin, Syekh Hasan Al Hudhaibi: “Kami
adalah juru dakwah, bukan hakim.” Pernyataan ini beliau sampaikan
sebagai respon atas munculnya golongan takfiri di kalangan Ikhwanul
Muslimin puluhan tahun silam. Semoga kita terhindar.

Ya Allah, Tuhan kami, tunjukilah kami jalan yang lurus.

70
Kumbakarna dan Wibisana: Tentang Sebuah
Ikhtiar Menghaluskan Rasa

Malam ini saya menonton Sendratari Ramayana di Balekambang.


Langit cerah, purnama merekah, lenggak lenggok gemulai lakon Shinta
di pentas nampak indah. Untuk sejenak, saya terpukau oleh suasana
magis yang melingkupi sekitar sebelum beberapa orang mulai ramai
mengeluarkan smartphone/tabnya untuk mengambil gambar hingga
menutupi pandangan saya ke arah tempat pagelaran berlangsung.

Sembari menonton, saya iseng menguraikan jalan cerita seperti


yang sebelumnya saya baca dari kisah tragis Ramayana pada kawan yang
duduk di sebelah saya. Ia manggut-manggut saja, namun sepertinya
ocehan saya mengganggu fokusnya, jadi saya sadar diri dan memilih
diam, ikut memperhatikan.

Memang, jika dibandingkan dengan Ramayana, saya lebih suka


Mahabharata. Alasannya sederhana: kompleksitas karakter yang
berperan dalam membangun kisah Mahabharata. Akan tetapi, itu bukan
berarti Ramayana bebas dari ambiguitas peran serta kategorisasi lakon
hitam-putih, jahat-baik, penjahat-ksatria.

Rahwana menculik Shinta, dia berdiri di sisi ‘yang bersalah’.


Rama datang ke Alengka untuk menjemput kekasih yang dicintanya,
71
Shinta, dia berdiri di sisi ‘yang terzalimi’. Tapi, apa yang dilakukan Rama
setelah kembali ke negerinya pada Shinta juga merupakan bentuk
kezaliman lainnya. Banyak yang tak tahu bahwa setelah Rama kembali
ke negerinya, Rama meragukan kesucian Shinta, terpaksalah Shinta
harus melakoni ritual untuk membuktikan kesetiaan dan kesuciannya
dengan menceburkan diri ke dalam kobaran api yang menyala-nyala.
Apakah setelah Shinta selamat Rama tetap meyakini kesucian dan
kesetiaan Shinta? Tidak! Rama mengusirnya dalam keadaan tengah
mengandung! Kezaliman apa yang lebih menyedihkan dibanding
pengusiran seorang suami pada isterinya yang tengah mengandung buah
hati mereka? Adakah jawaban?

Tapi, tulisan ini tak akan meributkan perkara percintaan Rama-


Shinta, kalau sudah menyangkut soal cinta dan kepercayaan, itu akan
jadi bahasan lain. Nah, jadi begini. Ada dua tokoh dalam kisah
Ramayana yang sedang jadi role model saya dalam mengambil sikap, dan
selama pertunjukan tadi berlangsung, saya belum juga bisa memutuskan
akan memilih bersikap sebagai siapa manakala diminta untuk memilih:
Kumbakarna atau Wibisana? Keduanya sama-sama adik Rahwana,
keduanya sama-sama mencela tindakan penculikan Rahwana terhadap
Shinta, tetapi sikap yang mereka ambil toh berlawanan.

Saat Wibisana memilih bergabung bersama Rama atas nama


kebenaran, Kumbakarna memilih setia mempertahankan tanah airnya,
Alengka, hingga kematian yang tragis datang menjemputnya di medan

72
pertempuran. Keduanya tercatat sebagai satria utama, akan tetapi siapa
yang sejatinya mengambil sikap yang benar?

Pilihan Wibisana untuk bergabung bersama Rama bukan hanya


perkara soal benar-salah. Saya membayangkan, ketidakinginan Wibisana
menjadi bagian yang dieksklusi di dalam negeri karena perbedaan
sikapnya dengan sang kakak pun ‘memaksanya’ turut menyeberang
menjadi pendukung Rama. Pertanyaannya, apakah setelah ia hijrah
dengan begitu mudah ia mendapat kepercayaan dari Rama dan
pengikutnya? Menurut saya, jelas tidak semudah itu. Secara politik, di
pihak Rama, ia pun akan tereksklusi sebagai orang asing, sebagai alien.
Barulah ia akan diterima apabila telah memberikan pengorbanan yang
setimpal.

Kumbakarna sendiri tak serta merta turut andil dalam melawan


penyerbuan ke Alengka. Sebelumnya, ia melarikan diri dengan
bersemadi. Barulah ia mengambil sikap untuk menyerang balik pasukan
Rama manakala keadaan tentara Rahwana semakin mengkhawatirkan.

Betapa sulitnya menilai benar-salah dengan tetek bengek logika


menjengkelkan ini. Entahlah, saya ingin menilai semua itu dengan rasa,
hanya rasa. Mengabaikan segala logika yang mungkin, juga ketajaman
analisa dalam melihat kompleksitas persoalan.

Tiga pekan yang lalu, saya misuh-misuh gara-gara membaca


curhatan Jean Couteau di Kompas yang menurut saya terlalu subjektif
dan hanya berpedoman pada olah rasa, olah intuisi, sehingga tentu saja
73
tidak dapat dipertanggungjawabkana. Mungkin memang dimaksudkan
demikian, sebab JC sendiri pun memberi judul tulisan itu Igauan
“identiter” di Bandara Doha.

“Mengapa mereka yang berlalu-lalang itu semuanya merasa harus


berbeda, mengikuti gaya tampilan khas warisan dari suku, agama, atau
bangsanya masing-masing? Sementara mereka dan saya pun tak lebih
dari tetesan air di aliran sungai besar…Apakah itu cukup sebagai tanda
jati diri? Saya melihat “Babel” sekeliling saya. Jelas tidak cukup!”
Tulisnya di udar rasa tersebut.

Akan tetapi, di bawah tulisan itu kok dia langsung menilai sifat
orang, kemudian mengidentikkannya dengan tokoh lain, dengan hanya
melihat tampilan luarnya saja, bukan tampilan luar malah, dari tiket yang
ia beli!

Sayangnya, meskipun misuh-misuh, saya baru sadar bahwa selama


ini pun saya telah melakukan dosa tak terampuni itu: menilai dengan
begitu mudahnya orang-orang di sekitar hanya dari tampilan mereka,
bagaimana mereka memperlakukan gadget yang mereka miliki,
status facebook mereka, link-link yang mereka share. Tanpa mau
menyelami lebih dalam karakter dari tiap pribadi dengan melakukan
interaksi secara intens untuk menghaluskan rasa.

Mungkin (hanya mungkin) dengan kembali merenungkan sikap


yang diambil oleh Wibisana dan Kumbakarna, kita kembali belajar,
bukan untuk menggurui tentang benar-salah, atau sekadar
74
mengingatkan tentang norma-norma, pesan moralitas, apalagi sekadar
pembenaran penentuan sikap, tapi untuk kembali berkaca pada diri,
siapkah kita mengambil keputusan secara sadar dan bertanggungjawab?

Sekali lagi, betapa sulitnya menilai benar-salah dengan tetek


bengek logika yang menjengkelkan. Betapa inginnya saya menilai semua
itu dengan rasa, hanya rasa, mengabaikan segala logika yang mungkin,
juga ketajaman analisa dalam melihat kompleksitas persoalan. Tapi,
bijakkah?

Tanya hatimu saja.

75
Ekalaya dan Segala Hal tentang Strata

Di tengah sinar rembulan, dengan ditemani nyala api obor yang


remang-remang, seorang ksatria dengan wajah yang penuh kesedihan
tengah memahat pada sebuah batu besar, membentuk sebuah sosok
tubuh dengan wajah peyot tua, dengan tangan kanan memegang tasbih
di depan perut, sementara tangan kirinya memegang gandewa panah.

“Mengapa seorang Pengembara tidak layak berguru? Mengapa seorang


gelandangan dilarang belajar?” Kata-kata itu lirih ia ucapkan sembari
tangannya tak henti membuat guratan-guratan pada batu besar itu, suara
yang hampir-hampir tak terdengar oleh sebab dikalahkan suara desah
nafasnya sendiri.

Masih terngiang dalam ingatannya waktu-waktu yang telah


terlewati. Saat ia meninggalkan kerajaan kecilnya yang berada di wilayah
Atasangin, Paranggelung, beserta isteri yang sangat dikasihinya, Dewi
Anggraeni, untuk berguru pada Begawan Durna. Betapa ia
bersunggguh-sungguh dan dengan kebulatan tekad melakukan
perjalanan selama lebih dari dua warsa agar bisa bertemu dengan sosok
Guru yang didambakannya.

Masih terlintas dalam benaknya, penolakan demi penolakan yang


dilontarkan Begawan Durna saat ia memohon untuk diizinkan berguru

76
dengannya. Masih terlintas jua dalam pikirannya, hinaan dan cacian
yang Begawan Durna ucapkan saat ia memergokinya tengah mencuri
dengar saat Sang Begawan tengah memberikan ajarannya pada Permadi.

Dan disinilah ia kini, dengan raut wajah yang tak bisa


digambarkan dengan kata sederhana. Wajah sedih yang mengguratkan
semangat dan keingian belajar yang begitu memuncak, dengan kelelahan
yang makin menjadi, serta ketulusan yang tak terperi.

“Salam hormat saya, Guru. .” Ujarnya sambil melakukan


penghormatan di depan wujud patung Sang Begawan, Resi Durna.

“Izinkan hamba berguru pada ruh Guru. Biarkan hamba


mengabdi dengan keteguhan hati berkhayal terhadap sosok Anda,
Guru.” Lanjutnya.

Maka hari demi hari, ia terus-menerus berlatih, ditemani sosok


patung Sang Begawan yang telah ia anggap sebagai guru sejatinya. Tiga
purnama pun berlalu, mengantarkan sosok ksatria pemahat menjadi
seorang ksatria utama yang memiliki kemampuan memanah dan olah
kanuragan yang luar biasa.

Hingga di suatu kesempatan, ia memberanikan diri


memperlihatkan olah kesaktiannya pada Sang Begawan saat ia dan
Permadi tengah berlatih di tepi hutan. Saat itulah, sang Ksatria mampu
memperlihatkan kepandaian memanahnya yang setara dengan
kemampuan yang dimiliki Permadi. Karena takjub atas kesaktian

77
seorang ksatria yang belajar secara otodidak tersebut, Resi Durna dan
Permadi mengikuti sang ksatria menembus hutan, hingga
diperlihatkanlah pada Sang Begawan itu sebuah patung batu yang sama
persis dengan sosok tubuhnya.

Mendapati sosok ksatria dengan kemauan keras dan keikhlasan


yang luar biasa tersebut, nampak jelas Durna begitu kagum pada
sosoknya. Namun di sisinya, Permadi memperlihatkan wajah iri yang
tampak tersirat dari sorot matanya.

Melihat raut perasaan itu di wajah murid kesayangannya, Resi


Durna berkata, “Karena sungguh berat kewajiban murid kepada
seorang Guru, saatnya engkau memberikan bhaktimu padaku. Potong
ibu jari tangan kananmu dan berikan padaku!”

Sang Ksatria sadar, memotong ibu jari tangan kanan, bagi


seorang pemanah adalah sama dengan menghilangkan seluruh
kemampuan memanahnya. Namun, tanpa berpikir dua kali, tanpa ragu,
diambillah sebuah belati yang ia sarungkan di pinggangnya, kemudian
dengan tangan kirinya, ditebaslah ibu jari tangan kanannya itu.

Sembari berlutut dan menunduk, dihaturkanlah ibu jari itu pada


Sang Begawan. Tak sedikitpun raut sesal terlintas di benaknya, bahkan
saat Sang Begawan dan Permadi meninggalkannya tanpa sepatah kata
pun.

78
Adalah Bambang Ekalaya, sosok ksatria yang saya kisahkan
dalam cerita di atas. Bagiku pribadi, Ekalaya telah mengajarkan, bahwa
sebagai seorang ksatria ia bukan sekedar menerima ilmu, tapi benar-benar
menjalani proses belajar yang keras dalam kehidupan yang ia lakoni.
Meski mengalami penolakan berulang kali, ia tidak menyerah, dalam
pahitnya berjuang, ia tetap konsisten dengan komitmennya dan dengan
sungguh-sungguh berlatih keras untuk mewujudkannya.

Ekalaya juga memberikan teladan mengenai bagaimana menjadi


Murid Sejati. Ia mungkin tak mendapat pengajaran langsung dari Durna
yang baginya merupakan Guru Terbaik, namun konsistensinya untuk
belajar telah memperlihatkan proses pembelajaran yang sesungguhnya.

Di zaman ini, banyak orang tua yang berkeinginan


menyekolahkan anaknya di sekolah terbaik agar mendapat guru dan
pengajaran yang terbaik, rela merogoh kocek dalam-dalam untuk
mewujudkan hal tersebut. Akan tetapi, hal itu kadang membuat mereka
lupa mengenai proses pembelajaran yang sesungguhnya.

Sekolah elit tak memberikan jaminan bahwa anak-anak kita akan


mendapat pengetahuan terbaik tentang kehidupan. Rasa iri yang
ditunjukan Permadi menggambarkan kesombongannya sebagai ksatria
pilihan yang merasa jauh lebih baik dibanding Ekalaya yang tak
mengenyam pendidikan yang sama dengannya. Ini adalah penyakit
kronis yang mematikan.

79
“Mengapa seorang Pengembara tidak layak berguru? Mengapa seorang
gelandangan dilarang belajar?” Kata Bambang Ekalaya.

“Mengapa Pak Bagyo (yang jualan nasi goreng di depan kos saya)
disebut Tukang Nasi Goreng, sementara para tukang masak di restoran
yang juga menyajikan menu yang sama disebut chef? Atau mengapa para
pemain musik di jalanan disebut Pengamen yang tidak disukai
kedatangannya, sedang para penjaja suara di layar kaca
disebut Penyanyi yang selalu dinanti hadirnya? Atau mengapa
seorang tukang bangunan yang sama-sama membuat rancangan rumah
sederhana di desa terpencil tidak disebut arsitektur seperti mereka yang
juga membuat bangunan besar di kota-kota?”

Ah, betapa hidup ini penuh absurditas yang tak mampu saya
pahami dengan sederhana.

80
Pesta Tahun Baru, MEA, dan Ekstase
Masyarakat Konsumer

Perayaan tahun baru di Kota Solo tahun ini dirundung kelabu.


Beberapa hari jelang momen pergantian tahun, Pasar Klewer yang
merupakan salah satu jantung perekonomian Kota Solo habis dilalap
api. Demi nama kemanusiaan, dan tentu saja atas nama solidaritas,
gaung kemeriahan tahun baru pun turut dipadamkan. Akan tetapi,
antusiasme warga Solo untuk memeringati momen ini nyatanya tak
turut padam. Ribuan orang memadati jalan Slamet Riyadi mulai sejak
ba’da isya hingga lepas tengah malam jelang hari pertama di tahun 2015.

Saya termasuk salah satu orang yang turut berjubel memadati


Slamet Riyadi malam itu. Turut menyaksikan dengan mata kepala saya
sendiri begitu banyak anonim manusia yang duduk berjejer di sepanjang
trotoar, membentuk ratusan lingkaran kecil di tengah jalan, ataupun
menyantap ragam kuliner yang dijual berjejer sepanjang Purwosari-
Gladak. Meski tak meriah, dan bahkan cukup lengang karena matinya
listrik, kembang api beberapa kali dinyalakan menghias langit malam
yang gerimis.

Ada perasaan hampa yang menerpa saya demi melihat momen


pergantian tahun yang hening ini. Di tengah temaramnya pencahayaan

81
yang hanya hadir dari gedung-gedung bertingkat di kanan kiri jalan, saya
melihat wajah-wajah lelah yang memimpikan harap akan datangnya
matahari baru di tahun mendatang. Terwujud atau tidak harapan itu,
hanya Tuhan yang kan menjawab. Bukankah manusia memang hanya
bisa berupaya sebaik-baiknya?

Akhir tahun mendatang, saya dan ribuan anonim manusia yang


memadati Slamet Riyadi ini akan menghadapi MEA (Masyarakat
Ekonomi Asean). Kami semua harus siap melihat ketimpangan yang
lebih besar. Bukan hanya ketimpangan pasar yang terbakar dan
meriahnya sekaten di alun-alun. Kami harus siap melihat betapa yang
besar akan semakin besar, sementara yang kecil semakin tergilas. Kami
harus mengelus dada saat menyaksikan penghasilan kelompok atas dan
menengah lepas bebas, sementara kelompok kecil akan selalu di atur
dan di tekan serendah-rendahnya. Potret buram in akan hasilkan
kesenjangan antara mereka yang termanjakan oleh fasilitas mewah dan
mereka yang terhimpit dan tertindih titik nadir kesusahan.

Perluasan dan integrasi pasar yang tercermin dari


diberlakukannya MEA sedikit banyak telah terlihat dampaknya. Perilaku
konsumtif masyarakat telah muncul di berbagai kategori usia, lapisan,
dan kelompok. Hal ini tercermin dari lenyapnya dimensi moral,
kehangatan spiritual, dan makna kemanusiaan itu sendiri. Sekali lagi,
persoalan MEA bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi juga gesekan
lapisan moral, sosial, dan kebudayaan.

82
Perayaan malam tahun baru kemarin adalah perayaan yang
pertama saya ikuti sejak saya lulus dari bangku Sekolah Dasar. Saya
berharap akan mendapati ribuan orang yang saling berbagi kisah refleksi
tentang satu tahun yang telah terlewati dan resolusi yang mereka
canangkan satu tahun mendatang. Saya kira akan melihat orang-orang
yang saling menggenggam tangan erat untuk ucapkan maaf dan terima
kasih atas kebersamaan yang penuh makna sepanjang tahun. Namun,
yang saya lihat di hadapan saya adalah orang-orang yang detik demi
detiknya sibuk berpose di depan kamera, mengunggahnya ke jejaring
sosial, dan saling berbagi cerita dengan kawan mayanya.

Fenomena ini kerap diklaim sebagai salah satu bentuk ekstasi.


Ekstasi, menurut Jean Baudrillard, adalah kondisi mental dan spiritual di
dalam diri setiap orang yang berpusar secara spiral, sampai pada satu
titik ia kehilangan setiap makna, dan memancar sebagai sebuah pribadi
yang hampa. Seseorang yang tenggelam di dalam pusaran siklus hawa
nafsunya, pada titik ekstrem menjadi hampa akan makna dan nilai-nilai
moral.

Ekstasi dalam masyarakat kita hari ini tercermin dalam suntikan


ekstasi yang pragmatik dan narsistik. Yasraf Amir Piliang membaginya
dalam banyak term. Tiga diantaranya adalah ekstasi komunikasi, ekstasi
sosial, dan ekstasi internet. Ekstasi komunikasi adalah esktasi dalam
berkomunikasi tanpa merasa perlu adanya pesan dan makna
komunikasi. Ekstasi sosial yakni ekstasi dalam bersosialisasi secara
global tanpa merasa perlu berinteraksi secara fisik. Dan, ekstasi internet,

83
yakni sosialisasi global yang membuat dunia bergerak mengelilingi kita
melalui internet. Bentuk-bentuk ekstasi ini mengantarkan masyarakat
kita menjadi masyarakat konsumer yang senang bertamasya menuju
siklus trance/ pencerahan semu.

Masyarakat kita saat ini menjadikan jejaring sosial sebagai gaya


hidup yang menggoda. Jejaring sosial ini menawarkan penampakan ilusi,
kenyamanan, kegairahan, prestasi, dan ekstasi. “Saya mengunggah foto di
facebook yang di-like oleh ratusan orang, saya eksis, saya berhasil.” Namun,
berhasil dalam hal apa? Jumlah like atau komentar kah? Prestasi jumlah
like ini adalah prestasi semu yang menenggelamkan manusia dalam
ekstasi pengalaman puncak narsistik yang terdalam. Sebab, sejatinya tak
ada nilai guna dari jumlah like dan komentar selain citraan narsistik
pada diri.

Citraan semu ini terus dikejar demi mendapat pengalaman


puncak, ilusi akan keberhasilan yang tercipta dari banyaknya like dan
komentar di jejaring sosial. Maka, tak heran citraan semu ini menjadi
pasar untuk dijajah komoditi. Tak cukup menggunakan efek cantik
lewat aplikasi gratis di internet, demi mendapat penampilan sempurna
di layar kamera, seseorang rela melakukan perawatan wajah senilai
jutaan rupiah. Maka tubuh pun kini hanya jadi seonggok daging
terbungkus kulit yang padanya dipakaikan baju yang sesuai mode dan
ragam aksesoris yang memikat.

Yang perlu kita sadari adalah bahwa perubahan sistem nilai


budaya demi terwujudnya consumen culture adalah pilihan rasional
84
ekspansi pasar ke negara berkembang agar tindakan konsumtif tetap
terjaga. Selain menggunakan iklan sebagai media advertensi, ekstase
narsistik masyarakat juga dipupuk menjadi lahan subur serbuan
komoditas asing.

Pertanyaan besar yang belum terjawab adalah, sejauh mana


kesiapan kita menghadapi era pasar bebas di akhir tahun mendatang jika
kita belum jua bisa lepas dari budaya ekstasi masyarakat konsumer ini?

85
Bedah Buku Waktunya Tan Malaka
Memimpin

Tan Malaka adalah sosok yang jarang dikenal oleh generasi saat
ini. Sekalipun, saat orde lama ia pernah ditepakan sebagai pahlawan
nasional oleh Soekarno, akan tetapi foto, biografi, dan kisah
kepahlawanannya seolah tenggelam selama berpuluh tahun lamanya
seiring dengan keberjalanan Republik Ini. Saat mengetahui ada sebuah
buku berjudul ‘Waktunya Tan Malaka Memimpin’, yang kemudian
menjadi pertanyaan adalah. Siapa Tan Malaka? Mengapa Tan Malaka?
Dan sejauh mana relevansi gagasannya berpengaruh di era sekarang?

Penulis-Eko Prasetyo, menguraikan alasan mengapa ia menulis


buku ini dalam bedah buku yang diselenggarakan LPM Kentingan, 10
Juni 2013 dalam tiga poin berikut.

Pertama, karena tokoh kiri tak pernah diangkat dalam sejarah


Indonesia. Memang, sejauh yang saya ketahui, saat melanjutkan studi di
Rijks Kweekschool Belanda pada 1913, ia mengenal beragam
pemikiran, termasuk Marxisme-Leninisme yang kemudian diadopsinya
sehingga relevan diterapkan bagi bangsa Indonesia.

Kedua, karena gagasan Tan Malaka masih sangat relevan.


“Kemerdekaan 100%” yang menjadi cita-cita Tan Malaka merupakan
86
inspirator perdana lahirnya konsep negara yang berdaulat pasca
kemerdekaan, dimana istilah Republik Indonesia pertama kali
dicetuskan olehnya, empat tahun sebelum pledoi Indonesia Merdeka
Muhammad Hatta. Gagasan yang kemudian pun diwariskan pada
‘binaan’nya, Bung Tomo, yang seperti kita ketahui bersama, begitu
berapi-api dalam orasinya saat perang mempertahankan kemerdekaan
Indonesia.

Ketiga, di tengah miskinnya visi aktivis pergerakan, dimana setiap


kali diskusi menemui jalan buntu, maka lagi-lagi kalimat yang muncul
adalah “Mari kita kembali ke Pancasila”, atau “Mari kita kembali ke
manhaj..”, bla bla bla. Ia menolak jalan-jalan diplomasi yang ia yakini
sebagai jalan yang tidak meyakinkan. Keyakinan untuk merebut
kemerdekaan dengan tangan sendiri, ia buktikan sebagai jalan juangnya
membela Republik.

“Sejarah hidup Tan Malaka adalah jalan hidup seorang martir.


Begitu tegar. Asketisme yang luar biasa. Ia begitu meyakini kekuatan
agama dengan spirit Islam”, Demikian Ungkap Eko Prasetyo, sang
Penulis buku ‘Saatnya Tan Malaka Memimpin’ itu.

Memang, salah satu tesis Tan yang terkenal adalah integrasi


semangat Pan Islamisme dan komunisme guna melawan rezim
kapitalisme, yang ia sampaikan dalam pidato mewakili PKI di Rusia
tahun 1920. Ia meyakinkan komunis Rusia bahwa Islam adalah agama
untuk pembebasan rakyat dari kolonialisme yang ia dasari pada

87
perkembangan Sarekat Islam di Hindia Belanda (Meskipun SI pada saat
itu pecah menjadi dua, hingga pada akhirnya PKI lahir).

Tan sendiri, selain senantiasa menyuarakan kesadaran kolektif


massa dan persatuan guna melawan imperialisme juga menyuarakan
ketidakpercayaannya pada sistem parlementer yang menurutnya hanya
berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan. Ia mengusulkan agar
negara dikelola oleh organisasi konvensional, misal: organisasi sosial,
bukan Parpol. Sehingga, pengelolaan negara digantikan oleh perwakilan
blok-blok.

Menyoroti pemilihan umum raya di berbagai kampus di


PTN/PTS di Indonesia, agaknya memang mengkhawatirkan. Pemilihan
ketua BEM didasarkan pada suara mayoritas dengan mekanisme yang
sama sebagaimana ditetapkan dalam Pilkada. Mahasiswa seolah tak
memiliki gagasan genuine dalam berpolitik, tertampilkan jelas lewat
bagaimana foto calon dan orasi-orasinya yang tak jauh berbeda dengan
para politikus yang berebut suara di Pilkada. Memprihatinkan!

Bagi Tan Malaka, kemerdekaan 100% harus ditegakkan, dengan


parameter : semua sektor penting harus dikuasai oleh negara, termasuk
pendidikan. Nah, pertanyaanya bagaimana pendidikan ala Tan ini
diterapkan?

“Pendidikan harus menghasilkan tiga aspek ini lahir pada diri


siswa : Rasionalitas, kemauan yang keras, dan menghaluskan perasaan.”

88
Perlu diketahui pula bahwa sebelum ia berangkat ke
pembuangannya, ia telah mendirikan sekolah-sekolah rakyat dengan
menguraikan dasar tujuannya yaitu: dikuasainya ilmu alam dan bahasa,
pendidikan berorganisasi, serta pendidikan yang berpihak pada
kepentingan masyarakat.

Panelis Bedah buku kali ini, Kanda Ekanada Shofa (Dosen FISIP
UNS), mengungkapkan tangggapannya atas buku ‘Waktunya Tan
Malaka Memimpin’. Selain mengomentari tampilan buku yang menarik
karena disertai dengan kartun dan ilustrasi yang memikat, ia juga
berkomentar soal substansi buku tersebut.

“Ide-ide Tan Malaka harus memimpin sebab ide yang ia


kemukakan masih sangat relevan di era sekarang dimana lawan yang
kita hadapi bukan hanya imperealisme kapitalis, tetapi juga mentalisme
feodal.”

Setelah pemaparan dari Eko Prasetyo dan tanggapan dari Kanda


Eka, saya pun mengajukan pertanyaan: “Salah satu alasan Pak Eko
menulis buku Tan Malaka ini adalah karena skeptis terhadap visi aktivis
pergerakan yang setiap kali menemui jalan buntu, maka dikembalikan pada
kalimat normatif seperti kembali ke pancasila atau ideologi organisasinya. Tan
Malaka menyegarkan kita dengan tesisnya mengenai integrasi antara Pan-
Islamisme dan Komunisme. Nah, disini ada yang aneh. Pan Islamisme itu kanan
mentok, sedang komunisme itu kiri njeglek, bagaimana proses integrasi itu bisa
terjadi, dan apa implementasinya bagi aktivis pergerakan di era sekarang?”

89
Eko Prasetyo beranggapan bahwa komunisme dan Islam itu
memiliki banyak persamaan. Pertama, sama-sama membenci akumulasi
yang dikutuk (kapitalisme). Kedua, memiliki semangat militansi yang
sama. Ketiga, kelangsungan hidupnya dipertaruhkan pada revolusi.
Nah, bagaimana mengimplementasikan dalam dunia aktivis? Pertama,
jadilah aktivis yang radikal dan ekstrem. Kedua, Bukalah dialog dengan
membuka kran komunikasi. Ini waktunya membuka diri dengan
komunikasi untuk melawan imperialisme.

Sementara itu, dalam menyoroti dunia aktivisme pergerakan


mahasiswa di era sekarang, Kanda Eka berkomentar mengenai
‘narsisme’ aktivis kampus dan pergerakan. Minimnya semangat
membaca menyebabkan miskinnya gagasan dan ide-ide segar untuk
melakukan transformasi.

“Kalau belum baca buku, belum aktivis namanya. Tan Malaka


saja saat dalam pembuangannya bawa satu peti buku untuk dibaca!”

Padahal, seringkali aktivis kampus banyak turun ke jalan untuk


menyuarakan aksi. Tanpa membawa data dan solusi yang relevan,
sekedar ingin diliput media, selesai. Itu hal yang naïf. Bukannya
kesadaran kritis yang dihasilkan, melainkan kesadaran magis. Pun,
setelah aksi, evaluasi tak ada (kalaupun ada, tak pernah menyiapkan
langkah konkret pasca aksi).

Mestinya, saat kita tahu bahwa kapitalisme-yang menjadi musuh


kita bersama semakin besar, kita bisa menginisiasi untuk membuat
90
aliansi strategis, membuka kran-kran diskusi sesama organisasi
mahasiswa, baik itu intra maupun eksternal kampus.

Sayangnya, kita seringkali memiliki ego sektoral yang berlebih,


sektarianisme organisasi, sehingga yang ada saat mengangkat isu
bersama adalah kontestasi bendera dan massa.

91
Derita Remaja dan Kapitalisme,
Islam sebagai Solusi13

Judul di atas saya ambil dari paparan orator pertama dalam


sebuah acara yang digelar oleh Muslimah Hizbut Tahrir Solo Raya
dengan judul yang sama. Orator pertama dalam seminar ini berbicara
mengenai Derita Remaja dan Kapitalisme dengan menyinggung
mengenai kondisi remaja di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia
dalam menghadapi berbagai problematika akibat krisis multidimensi
yang terus menghinggapi bangsa.

Kapitalisme dinilai telah menyebabkan degradasi moral yang luar


biasa di kalangan pemuda dengan mengatasnamakan: kebebasan
perilaku, ekspresi jiwa, dan mengukuhkan eksistensi diri. Sehingga,
sadar tidak sadar kini remaja telah dieksploitasi dalam segala sisi
kehidupannya. Akibatnya, lahirlah generasi yang lemah secara
pemikiran, rusak kepribadiannya, dan mengalami split personality
(galau).

13Khilafah Melindungi dan Menyejahterakan Remaja adalah tema dari kegiatan


yang diselenggarakan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD HTI Kota
Surakarta Ahad, 16 Desember 2012 di Gedung YPAC Surakarta untuk para
pelajar dan mahasisa se-solo raya.

92
Yang saya garis bawahi dengan mantap dari yang dipaparkan oleh
orator pertama adalah mengenai model pendidikan di Indonesia yang
sarat dengan sekularisme. Diantaranya adalah pemisahan agama dari
kehidupan akademis sekolah dan lebih fokusnya pendidikan untuk
menghasilkan tenaga kerja yang serba ‘terbatas’ dengan upah yang jauh
dati kelayakan.

Untuk bisa menikmati pendidikan yang berkualitas, remaja harus


menguras kantong orang tua dengan biaya pendidikan yang luar biasa
mahal, sedang yang tidak mampu hanya bisa berharap dari serpihan
bantuan yang disebut dengan beasiswa, setelah memenuhi syarat yang
sangat menyulitkan dan merendahkan: menyatakan berasal dari keluarga
miskin.

Memang, saya pun merindukan hal yang sama. Dimana para


pemuda dan remaja Islam bangkit dan maju dengan ketinggian
syakhsiyah dan tsaqofahnya. Sebab, remaja/ pemuda-red adalah garda
terdepan untuk mengembalikan Islam secara kaffah.

Bagaimana caranya? Acara ini mengklaim bahwa hal ini akan


terwujud apabila model Negara yang menerapkan Islam sebagai
minhajul hayyah, Khilafah Islamiyah menjadi jalan politik.

Konsep ini lahir dari interpretasi terhadap Shiroh Nabawiyah,


dimana Rasulullah dalam perjuangannya menegakkan Islam membentuk
kelompok politik (kutlah siyasi). Kutlah siyasi adalah kelompok atau
partai politik yang berjuang di tengah-tengah umat untuk mewujudkan
93
syariat Allah swt di muka bumi yang dimulai dengan melakukan
pembinaan intensif (haqlah murazakkazah) dalam rangka mewujudkan
kader yang bersyakhsiyah Islamiyah dengan tsaqofah yang memadai.
Tahap berikutnya adalah dengan melakukan pembinaan umat (tatsqif
jama’i) secara luas guna terbentuknya kesadaran umum masyarakat (al
wa’yu al amy) yang benar tentang Islam sehingga memunculkan
kebutuhan dan terlibat aktif memperjuangkan tegaknya khillafah. Yang
ketiga adalah dengan melalui pembesaran tubuh jamaah (tanmiyatu
jizmi) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan umum dapat
dilakukan dengan lebih intensif hingga terbentuklah kekuatan politik (al
quwwatu al siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang
memiliki kesadaran politik islam. Yakni kesadaran bahwa kehidupan
bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariat Islam sehingga
massa umat dalam jumlah besar tersebut akan menuntut perubahan ke
arah Islam. Didukung oleh al quwwah (polisi, militer, dsb) yang
mendukung perjuangan syariat dan khilafah maka sungguh kekuatan
politik ini tak akan terbendung.

Khilafah adalah sebuah model daulah yang melindungi dan


menyejahterakan. Sebab dalam khilafah islamiyah Negara
bertanggungjawab terhadap urusan seluruh rakyatnya dengan
menerapkan seluruh hukum Islam dan menyampaikan Islam ke seluruh
muka bumi. Bahkan, daulah islamiyah pun memiliki sistem kebijakan
strategis dan menyeluruh.

94
Bahwa khilafah adalah satu-satuya solusi guna meluruskan
tatanan jahiliyah menuju kebenaran Islam yang abadi. Karena
sesungguhnya tidak akan pernah mungkin kebaikan dan kejahiliyahan
akan dapat hidup berdampingan. Meskipun, beberapa orang
menganggap bahwa sejatinya pertempuran antara kebaikan dan
kebathilan musykil terjadi hingga satu diantara dua sebab ini terjad :
orang yang mempertempurkan itu dalam hatinya mati, atau dunia ini
kiamat.

Dalam bukunya, Ma’alim Fi Ath-Thariq, Sayyid Qutbh


menjelaskan bahwa konsepsi Islam bersifat teoritis sekaligus realistis.
Konsepsi Islam bukanlah teori yang lepas dari realitas, akan tetapi
tercermin dalam realitas yang dinamis. Kita tidak akan mampu
menegakkan konsepsi Islam dan juga mencapai kehidupan Islami,
kecuali dengan cara menempuh manhaj pemikiran yang Islami.

Sudah pasti, Islam datang untuk mengembalikan manusia juga


alam semesta yang melingkupi manusia kepada kedaulatan Allah-Rabb
semesta alam. Upaya untuk menghancurkan kejahiliyahan dan
mengembalikan kedaulatan kepada Allah semata tidaklah akan bisa
dilaksanakan tanpa menggunakan hukum Allah.

Dan, kedaulatan Allah sungguhlah hanya akan bisa ditegakkan


apabila syariat Allah menjadi pemerintahnya, dan sumber ketentuanya
ada di tangan Allah sesuai dengan aturan yang jelas yang telah
ditetapkan-Nya. Bahkan, siapapun yang mengaku dirinya mempunyai
otoritas menetapkan undang-undang bagi manusia, berarti ia telah
95
mengklaim ketuhanan dirinya secara implisit maupun eksplisit, entah ia
mengklaim itu dengan ucapan ataupun tanpa ucapan.

Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Konsekuensinya, Islam tidak


boleh berhenti pada batas-batas geografis, tidak pula mengisolasi diri
dalam sekat-sekat etnis. Maka, adalah hal yang menjadi suatu
keniscayaan bahwa Islam mulai mengambil inisaiatif gerakan
pembaharu guna menegakkan kalimatullah di muka bumi ini. Individu-
individu yang hatinya telah murni terhadap penghambaan kepada Allah
dan steril dari penghambaan selain kepada Allah, semestinyalah bersatu
dan bergabung dalam sebuah komunitas Islam.

Tatkala aqidah sudah berlainan maka terurailah satu ikatan


kerabat dan terbagilah yang satu, karena yang menjadi kata kunci dari
terbentuknya Darul Islam/ Khilafah Islamiyah adalah ikatan aqidah.

Negara Islam diperuntuhkan bagi orang yang mau menerima


syariat Islam sebagai tatanan, meski ia bukan seorang muslim. Islam
tidak didasarkan pada hubungan tanah kelahiran atau kesukuan, tidak
pada ikatan keturunan ataupun pernikahan, dan tidak pula jalinan
kabilah ataupun kerabat. Islam tidak akan tegak di bumi yang tidak
dikendalikan oleh Islam dan syariatnya.

Dalam marhalah amal, Ikhwanul Muslimin, pembentukan


Negara Islam adalah salah satu capaian sebelum terbentuknya khilafah
Islamiyah dan menjadikan Islam sebagai soko guru peradaban.
Sehingga, pasca Negara dan bangsa ini telah bertunduk dalam hukum-
96
hukum Islam dan Negara-negara yang lain diseluruh dunia
mengazzamkan hal yang sama. Maka yakinlah bahwa gelombang besar
itu akan terus bergolak dan melaju penuh gairah, diusung oleh para
pemuda Islam yang yakin dengan hati mereka yang tulus bahwa hanya
Islam-lah satu-satunya solusi perjuangan.

Maka, saya sangat mengapresiasi siapapun mereka yang


mengafiliasikan dirinya dalam suatu wadah pergerakan pemuda Islam.
Sebab saya yakin mereka mencita-citakan hal yang sama. Sama baiknya
(setidaknya begitu). Gerakan apapun sama saja dalam manhaj Islam ini,
asalkan proaktif berupaya melepaskan manusia dari pengabdian
(ubudiyah) kepada hamba menuju pengabdian kepada Allah semata.
Selayaknya KAMMI yang bercita-cita mewujudkan bangsa dan Negara
yang Islami dan HMI yang berazzam mewujudkan masyarakat adil
makmur yang diridhoi oleh Allah swt. Dan HTI yang dengan menggebu
gebu mengatakan tiga baris kalimat yang menggetarkan: Tiada kemuliaan
tanpa Islam, Tiada Islam tanpa syariah, Tiada Syariah tanpa daulah khilafah.

Namun, apakah benar bahwa hanya ada satu macam negara yang
bisa menopang pemerintahan yang Islami, yaitu negara Islam (Darul
Islam)?

97
Print Culture Ideologisasi Gerakan
Tarbiyah di Indonesia

Gerakan Tarbiyah atau usroh merupakan sebuah prototype gerakan-


gerakan sejenis yang telah lama berkembang di berbagai belahan dunia
Islam. Lebih lanjut, model gerakan ini cenderung mengadopsi pola
gerakan Ikhwanul Muslimin yang lahir pada tahun 1928 sebagai
representasi gerakan pemikiran serta perpolitikan Islam yang didirikan
oleh Imam kharismatik, Hasan Al Banna di Mesir. Ciri khas gerakan ini
adalah sistem kaderisasi yang terstruktur, bersifat urban dan berbasis
perkotaan, serta menjadikan kampus sebagai basis gerakan.

Tulisan ini akan membahas mengenai ideologisasi yang dilakukan


gerakan tarbiyah di Indonesia dan peran media sebagai print
culture dalam upaya transfer ideologi.

Lahirnya Gerakan Tarbiyah

Hadirnya gerakan ini di Indonesia tak lepas dari pengaruh rezim


otoriterian orde baru yang represif melalui marginalisasi tokoh-tokoh
muslim beraliran ‘kanan’ serta pembubaran gerakan-gerakan yang
disinyalir fundamental, termasuk penerapan Pancasila sebagai asas
tunggal dalam organisasi sosial-keagamaan.

98
Menjalankan Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek
kehidupan yang dianggap materialistik dan sekuler merupakan
keinginan yang muncul dari sebagian masyarakat Islam Indonesia yang
kala itu merasa menjadi ‘korban’ atas kebijakan-kebijakan politik orde
baru yang represif dan tidak memihak pada Islam sebagai golongan
mayoritas di Indonesia.

Maka, model gerakan Islam yang sebelumnya lebih


mengedepankan mobilisasi massa pun beralih melalui proses
internalisasi melalui halaqah-halaqah yang beranggotakan tak lebih dari
12 orang, yang melakukan rekruitmen dan kaderisasi dengan hati-hati.
Yakni melalui gerakan underground yang mengadakan pertemuan rutin
yang berpindah-pindah setiap pekannya dari satu masjid ke masjid yang
lain, maupun dari satu rumah ke rumah yang lain. Kebanyakan dari
mereka bukan berasal dari pesantren dan sejenisnya. Mereka belajar
agama Islam secara instan saat menempuh kuliah di pendidikan tinggi,
sehingga rasa peningkatan kesadaran beragama tersebut kadang
membuat mereka kaku dan merasa berbangga diri dengan identitas
kesantrian mereka.

Gerakan ini pun melesat pamornya di beberapa sekolah negeri,


menyusup dalam organisasi Islam (Rohis) dan melakukan pengkaderan
di sana. Pola pengkaderan yang dilakukan pun cenderung teratur dan
sistematis, sebab seorang yang telah dibina selama misal 1 tahun dan
dirasa memiliki kepahaman yang cukup akan didaulat menjadi mentor
(murobbi) dan bertugas untuk mencari adik binaan dengan ‘ajakan yang

99
baik’. Terus begitu hingga selanjutnya, kader-kader terekrut akan dibina
dan nantinya menjadi kader inti pada saat melanjutkan studi di
pendidikan tinggi.

Materi kajian yang dibahas bukanlah seperti yang dilakukan


oleh limited group yang dilakukan beberapa aktivis Himpunan Mahasiswa
Islam yang dimotori oleh Achmad Wahib, Dawam Raharjo, dan
Djohan Effendi guna pembredelan Islam dilihat dari kacamata filsafat
dan sejenisnya, akan tetapi lebih menanamkan pada beberapa aspek
seperti aqidah, ibadah, dan akhlak guna menanamkan nilai-nilai dasar
ideologi (fikrah). Mereka kerap menggunakan kosa kata bahasa Arab
pada saat penggunaan bahasa Indonesia, seperti :Afwan, syukron,
Jazakallah, La ba’tsa, dan lain-lain. Kelompok ini menyebut diri mereka
sebagai akhi/ikhwan untuk para pria, dan ukhti atau akhawat untuk
para wanita.

Ideologisasi Gerakan Tarbiyah melalui Media

Seiring dengan makin luas dan diterimanya gerakan ini di


masyarakat, maka kebutuhan akan materi-materi yang lebih kompleks
guna mengideologisasikan tujuan dan cita-cita jangka panjang pun
semakin meningkat.

Ismatu Ropi dalam essainya yang berjudul “Membangun


Masyarakat Islami dan Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia”
menyatakan bahwa adalah hal yang tak terbantah bahwa gerakan
Tarbiyah di Indonesia (sedikit banyak atau bisa jadi sedemikian besar)
100
mengadopsi dalam batas-batas tertentu ideologi Ikhwanul Muslimin
yang dikenal militan dan sangat tertarik dengan hal-hal praktis
keseharian. Jikapun dikatakan bahwa gerakan Tarbiyah dan IM masing-
masing tak saling berkaitan maka keduanya tetaplah akan saling
memberi dukungan disebabkan adanya kesamaan motif dan tujuan.

Akan tetapi, seperti yang saya sampaikan di atas, latar belakang


para anggota yang bukan berasal dari pesantren maupun perguruan
tinggi Islam menghambat transfer ideologi ini. Maka, disinilah peran
media cetak sebagai print culture memberikan andil besar dalam proses
transmisi gerakan.

Maka, dengan modal jaringan dan mobilisasi massa dan dana


yang memadai, diterjemahkanlah berbagai bentuk karya islam klasik dan
kontemporer besutan para akademisi lulusan timur tengah atau mereka
yang memiliki pandangan ideologis yang relative sama, sehingga
pemilihan yang selektif terhadap buku-buku bernuansa Islam pun laris
manis diterbitkan oleh beberapa penerbit seperti: Gema Insani Press,
Pustaka Al Kautsar, Rabbani Press, Asy-Syamil, dan yang terkahir Era
Intermedia. Penulis dan buku yang dijadikan sumber referensi yang
diterbitkan diilhami oleh karya-karya tokoh ikhwanul muslimin seperti
Sayyid Quthb, Hasan Al Banna, Hasan Al Hudhaybi, dan Yusuf Al
Qardhawi.

Tak hanya melalui media cetak, ideologisasi yang dilakukan pun


memanfaatkan sejumlah perangkat modern melalui dunia maya, seperti

101
jejaring sosial (akun facebook dan twitter) dan website (dakwatuna.com,
eramuslim.com).

Media yang digunakan untuk propaganda isu kontemporer pun


lumayan beragam, dari penerbitan beberapa majalah seperti Tarbawi,
Sabili, dan Ummi, serta pemanfaatan media elektronik yang tersedia.

Disini kentara terlihat bahwa kelompok ini bukanlah kelompok


fundamental anti-modernitas. Sebagai kaum intelegensia santri baru,
mereka menempatkan diri sebagai anak-anak zaman yang menggunakan
modernitas yang dihasilkan oleh peradaban barat untuk
mensubordinasikannya dengan standar ortodoksi keagamaan yang
mereka yakini sebagai ideologi sekaligus untuk melawan hegemoni barat
itu sendiri.

Menyoroti Print Culture Ideologi Tarbiyah

Adalah hal yang luar biasa ketika jumlah penerbitan buku-buku


Islam yang menyokong ideologisasi jamaah ini begitu berlimpah di
lapangan. Akan tetapi, cobalah perhatikan! Di titik inilah terjadi
disorientasi dan stagnasi, dimana buku-buku yang ada hanya
mengautentikkan pemikiran khas Ikhwanul Muslimin tanpa
mengkolaborasikan dengan unsur kearifan lokal khas Indonesia, bukan
hanya dari segi politik, tapi juga sosial dan kultur. Sehingga yang terjadi
seolah hanyalah perpindahan ideologi dari Timur Tengah ke Indonesia.
Padahal, seperti yang kita ketahui bangsa Indonesia pun memiliki

102
kearifan lokal tersendiri dengan konteks historis, politik, budaya, dan
keagamaannya.

Disini, penulis akan menganalisa kajian yang dilakukan oleh


Robert Wuthnow terkait gagasan reformasi protestan yang dimulai pada
tahun 1520-an oleh Martin Luther. Ia berpendapat bahwa dinamika
hubungan antara lingkup sosial dan ideologi akan berperan penting
dalam proses reformasi. Situasi inilah yang akan memunculkan proses
artikulasi gagasan dari aktor-aktor yang terlibat di dalamnya.

Proses ini dibagi menjadi tiga tahap: Pertama, tahap produksi


dimana ide-ide bermunculan melalui kerja-kerja penulisan dengan print
material berupa buku, jurnal, pamphlet, dan sebagainya. Kedua, seleksi
dimana para pemikir dan penulis memilih apa yang akan dituliskan
sehingga mulai terbentuklah beragam school of thought. Ketiga, adalah
proses institusionalisasi dimana mekanisme rutin untuk menyebarkan
ide sehingga menjadikan diskursus lebih terlembaga. Dalam
pelembagaan inilah akan tercipta komunitas yang diwarnai diskursus
yang beragam dari ideologi yang saling berkompetisi.

Dan untuk menjawab tantangan itu, berani dan mampukah kita


sebagai kader dari Jamaah Tarbiyah melakukan desakralisasi terhadap
ideologi kita dan mulai membuka kajian-kajian yang lebih terbuka guna
konteksualisasi ideologi dengan kondisi historis, politik, budaya, dan
keagamaan bangsa Indonesia dengan tetap berjalan pada koridor
AlQur’an dan Al-Hadits?

103
Sampai hatikah kita-sebagai pembangun rumah-kemudian
melupakan pondasi yang telah ditanamkan oleh kakek-nenek kita
terdahulu dan mengingkari pernyataan yang sangat asasi bahwa kita
adalah bagian dari masyarakat Indonesia?

Sumber Bacaan:

Ismatu Ropi dalam essainya yang berjudul Membangun Masyarakat


Islami dan Ideologisasi Gerakan Tarbiyah di Indonesia mengutip
hasil penelitian Tim Peneliti Pusat Bahasa dan Budaya (PBB) IAIN
Jakarta :Radikalisme Agama di Indonesia yang laporannya tidak
diterbitkan.

Robert Wuthnow, Communities of Discourse: Ideology and Social


Structure in The Reformation, the Enlightment and European
Socialism (Cambridge : Harvard University Press, 1989), hal 9-10

104
Demokrasi dalam Syariat Islam14

Pertanyaan mengenai bagaimana Islam memandang demokrasi


senantiasa menjadi topik menarik untuk diperbincangkan dalam
berbagai obrolan ringan, selentingan di media sosial, diskusi klasikal,
hingga tema dalam berbagai seminar yang diselenggarakan ormas Islam.
Hal ini pula yang menjadi fokus kajian sebuah seminar yang dimotori
oleh Lembaga Kajian dan Pendampingan Sosial Kholif@h beberapa
waktu silam.

Bapak M.Dian Nafi, salah satu fasilitator seminar ini melakukan


telaah mengenai hakikat manusia, spirit dalam ajaran Islam untuk
memperbaiki demokrasi, serta kemungkinan umat Islam menjadi
pelopor dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Beliau menekankan pentingnya kebersamaan untuk membangun


kebajikan bersama guna membangun peradaban sesuai dengan yang
diajarkan Rasulullah saw. Dengan kesadaran tersebut, ia berpendapat

14 Pada 2 Februari 2014 kemarin, saya mengikuti seminar nasional


bertema Demokrasi dalam Syariat Islam yang diselenggarakan oleh Lembaga
Kajian dan Pendampingan Sosial Kholif@h di Ruang Sidang Gedung DPRD
Kota Surakarta atas ajakan kakak saya di KAMMI.

105
sudah sepatutnyalah manusia mau dan mampu menerima amanat dan
ikut memperbaiki keadaan, bukannya malah menarik diri dari
kehidupan komunalnya, termasuk peran sertanya dalam memperbaiki
demokrasi.

Lebih lanjut, ia berpandangan bahwa sebagai cara bernegara,


demokrasi tidak bisa dilaksanakan secara seragam oleh negara tempat
umat Islam berada dikarenakan berbagai faktor, baik itu dari segi
geografi, kependudukan, dan sejarah masing-masing. Ada demokrasi
yang menjamin umat Islam hidup dalam syariatnya meski tidak
diterapkan sebagai hukum positif, ada yang masih terus bergerak
dinamis, ada pula yang masih terjebak pertikaian politik yang berlarut-
larut.

Namun secara substansial, beliau berpesan bahwa umat Islam


haruslah mampu menjadi pelopor dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara dimanapun berada. Umat Islam haruslah
mampu menjadi pengawal dan teladan demokrasi sesuai dengan prinsip
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan.

Sementara itu, fasiliator kedua, Bapak Ihsan Saifuddin,


membahas mengenai bagaimana memilih pemimpin dalam Islam dalam
perspektif Qur’an, sunnah, dan sejarah.

Dalam eksistensi kepemimpinannya, manusia haruslah berkaca


pada sosok pemimpin paripurna, Nabi Muhammad saw. Diantara
106
sekian banyak kriteria seorang pemimpin, beliau meringkasnya dalam
satu kesimpulan yaitu: pemimpin yang memiliki karakter yang kuat.

Karakter yang kuat ini mencakup: kuat fisik dan kuat


ilmu/mental (basthotan fil ilmi wa jismi). Interpretasi kuat mental
adalah sifat kebaikan yang menyeluruh dengan poros utamanya yaitu
taqwa, kuat fisik artinya tidak memiliki cacat fisik dan penyakit yang
mengakibatkan lemah kepemimpinannya. Lebih lanjut, ia
menambahkan bahwa di era kini seorang pemimpin haruslah orang
yang melek teknologi.

Pembicara ketiga, Bapak Abdullah Faishol, membahas mengenai


Islam dan Demokrasi di Indonesia. Beliau mengawali pembahasannya
dengan mengingatkan kembali pada sejarah pasang surut politik di
Indonesia dari masa pra-kemerdekaan hingga era sekarang yang begitu
kompleks. Sejurus kemudian, ia mengaitkannya dengan pertanyaan
Hefner, yang salah satunya: Apakah Islam sejalan dengan demokrasi?
Lalu, bagaimana kontribusi Islam dan demokrasi di Indonesia di masa
yang akan datang?

Bagi beliau, Indonesia memiliki kapasitas untuk berbicara


bagaimana Islam dapat bersenyawa dengan sistem demokrasi yang
memiliki nilai-nilai kulturalnya. Namun, yang ia garisbawahi adalah
bagaimana menjadikan Islam sebagai sebuah nilai dalam menjalankan
sistem budaya Indonesia yang demokratis. Menurutnya, agama dan
politik adalah dua entitas yang berbeda, dimana agama bersifat profan
dan politk bersifat menindas. Apabila agama dijadikan alat sebagai
107
legitimasi kekuasaan, maka pengalaman pahit sejarah akan kembali
terulang.

Lebih lanjut, beliau menawarkan nilai Islam dalam sistem


demokrasi yang mampu mendukung penguatan budaya demokrasi,
seperti: musyawarah, pemufakatan, dan ijtihad. Hal tersebut pada
akhirnya akan berorientasi pada bangunan masyarakat yang sejahtera
lahir dan batin. Dari perspketif historis, lantas beliau mengisahkan
contoh tata kelola pemerintahan dalam Islam pada masa Abu Bakar,
Umar, Usman, Ali, dan Umar Ibn Abdul Aziz.

Sebagai penutup, beliau menyatakan bahwa demokrasi bersifat


universal sehingga tidak bisa dilabeli dengan agama manapun. Prinsip
Islam haruslah dipakai untuk menyokong sistem demokrasi di
Indonesia, bukan dijadikan sebagai alat untuk memenuhi nafsu politik.

Dalam sesi diskusi, muncul beberapa pertanyaan, diantaranya:


Mampukah umat Islam menjadi pelopor demokrasi? Bagaimana dengan
kepemimpinan non-muslim? Siapakah yang disebut ulil amri?

Menurut Bapak Dian Nafi, pemimpin Indonesia tak mesti


memenuhi semua kriteria pemimpin yang ditetapkan dalam fiqih, maka
Nahdatul Ulama menyebut ulil amri sebagai Pengampu urusan umat
sementara’. Bagaimana halnya dengan pemimpin perempuan? Presiden
RI tidak dapat berdiri sendiri. Jabatan presiden berimplikasi komunal,
sehingga akan melibatkan pejabat pemerintah yang lain. Bagaimana
dengan kepemimpinan non muslim? Mengutip pendapat Imam Malik
108
atas sengketa yang pernah terjadi di zamannya saat raja yang zalim
terpilih menjadi penguasa, beliau berkata: ‘kita ikut saja yang menang’.
Ada upaya sebelum pemilihan, dan keberikutan setelah pemilihan.

Menurut Ibn Khaldun, negara dibentuk dengan 3 pertimbangan


pokok: Pertama, yang kuat yang menjadi raja dengan implikasi siapa
yang bisa membeli suara rakyat dia yang akan menang. Kedua, yang
sifatnya siyasi dengan implikasi ia mendapat suara terbanyak kehendak
rakyat, dapat mengendalikan rakyat, dan mampu mewakili aspirasi
rakyat. Ketiga, memiliki filsafat tertentu/nilai-nilai yanng berbasiskan
ketuhanan. Negara Indonesia adalah negara falsafi. Ia berbeda dengan
negara sekuler!

Bapak Ihsan menyatakan agar pertanyaan itu harus dikembalikan


pada firman Allah yang termaktub dalam Al Qur’an dalam surat Ali
Imran ayat 28 dan surat An-Nisaa ayat 139 dan 144.

Menurut Bapak Faishol, demokrasi hanyalah sebuah wadah, yang


mengisi bukanlah sebuah label, tapi makna. Sebaiknya umat Islam
jangan terkooptasi partai tertentu. Menurut Ibn Katsir, ulil amri adalah
ulama, bukan pemimpin sebagaimana yang kita ketahui sekarang.

Saya jadi teringat apa yang Al Ghazali Hide Wulakada sampaikan


dalam bukunya Al-Qur’an sebagai Parameter Peradaban Indonesia
mengatakan. Ia menyampaikan bahwa demokrasi adalah buatan orang-
orang barat sudah tidak relevan lagi dipakai dalam penguatan wacana

109
pemberlakuan hukum syariah di Indonesia. Sebab, pemberlakuan
hukum syariah Islam akan berjalan seiring kesiapan masyarakat Islam.

Abdul Munir Mulkhan dalam suara Muhammadiyah tahun 2002


silam menulis: Penempatan rekayasa kekuatan anti Islam sebagai
penyebab kekalahan partai Islam atau partai berbasis umat Islam, belum
pernah melahirkan strategi efektif karena yang disebut kekuatan anti
Islam itu tidak pernah bisa dirumuskan secara jelas dan kongkrit, kecuali
kategori-kategori primordial dan simbolis.

Dalam buku Pembentukan Partai Politik Islam (Hizb At Tahrir),


Ust Taqqiyuddin An Nabhani berkata bahwa falsafah hakiki untuk
mewujudkan kebangkitan bertolak dari adanya suatu ideologi yang
menggabungkan fkrah dan thariqah secara terpadu. Ketika seseorang
menginternalisasikan sebuah ideologi dalam dirinya maka ideologi itu
akan mendorongnya untuk mendakwahkannya. Ketika sebuah partai
berbasiskan ideologi yang benar, dan ia mampu mempertahankan
dirinya dari segala macam benturan dan memenangkan pemikiran umat,
maka fikrah partai menjadi fikrah umat dan aqidah partai menjadi
aqidah umat.

Dalam benak saya, partai politik berideologi Islam maupun


berbasis umat Islam sah-sah saja, bahkan saya akan turut sertakan
afiliasi saya di dalamnya. Hanya saja, pemberlakuan hukum positif
formal untuk pemberlakuan syariat Islam agaknya masih menjadi hal
yang patut dipertimbangkan kembali. Karena Islam itu universal, maka
sudah semestinya ia tak mengambil jarak dengan relasi kekuasaan. Nilai-
110
nilai Islam haruslah dijiwai sebagai metode untuk mewujudkan
kesejahteraan, masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah swt.

111
Menjadi Ibu Peradaban

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu” (QS At-Tahrim : 6)

Keluarga adalah madrasah pertama bagi seorang anak guna


pembinaan aqidah, kepribadian, penguasaan dasar-dasar tsaqofah Islam
melalui pengalaman hidup sehari-hari. Sehingga, diharapkan anak-anak
yang lahir dari rahim ibunda bisa menjadi generasi yang tangguh dan
berkualitas dalam mengusung peran strategisnya sebagai pejuang yang
akan memperjuangkan Islam dengan seluruh jiwa dan raganya.

Bagi sebuah peradaban, keluarga adalah benteng terakhir yang


mana harus benar-benar dijaga dan tak boleh lengah dari penjagaan.
Keluarga adalah tempat dimana kebiasaan, nilai-nilai, dan cita-cita
dipancangkan. Berawal dari ini pula-lah, seluruh proses pendewasaan
disemai dan ditumbuhsuburkan.

Namun, jika kita lihat potret generasi sekarang yang justru


didominasi oleh tingginya angka kejahatan, depresi, kemalasan, gaya
hidup konsumtif dan hedonis. Masih layakkah kita bermimpi bahwa
anak-anak akan jadi tulang punggung kejayaan Islam dan ditangan
mereka-lah kewajiban atas kesejahteraan umat ini diembankan?

112
Saya masih optimis bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut
adalah: Ya, Harapan itu masih ada. Berawal dari kesadaran untuk
menyehatkan tatanan kehidupan keluarga dengan nuansa Islami,
sehingga lahirlah generasi soleh, cerdas, taat pada orang tua, juga taat
pada Allah dan Rasul-Nya.

Tanggungjawab inilah yang dilimpahkan pada sosok seorang


wanita bernama : istri/ibu. Mereka-lah yang memegang kendali dalam
pembinaan keluarga. Mereka-lah yang memiliki peran besar untuk
menjadi ibu generasi. Serangkaian hukum syariat telah Allah siapkan
demi mengatur peran, posisi, dan hak-hak mereka dalam kehidupan
sesuai dengan kodrati tersebut.

Yusuf Al Qardhawi dalam Fiqih Wanita menyatakan bahwa


Rumah adalah kerajaan besar bagi wanita. Di sini wanita sebagai
pengelolanya, istri dari suaminya, partner hidupnya, pelipur laranya, dan
ibu bagi anak-anaknya. Islam mempersiapkan profesi wanita untuk
mengatur rumah dan memelihara urusan suami dan mendidik anak-
anak dengan baik sebagai bentuk ibadah dan jihadnya. Sehingga, setiap
sistem yang berupaya mencabut wanita dari ‘kerajaannya’ dan
merampas suami dan buah hatinya atas nama ‘kebebasan’ adalah musuh
baginya. Beliau menambahkan, Islam mengizinkan wanita bekerja diluar
rumah selama pekerjaannya itu sesuai tabiat, spesialisasi, dan
kemampuannya serta tidak meghilangkan naluri kewanitaannya.

Sungguh, semua kebaikan dan harapan akan lahir dari peran dan
kontribusi besar seorang ibu. Tak semua pekerjaan rumah harus
113
dikerjakan sendiri, karena ada pekerjaan yang bisa dilimpahkan pada
yang lain. Akan tetapi, menananamkan nilai-nilai, mengajarkan etika,
dan mempelajari ruh agama adalah tugas utama seorang ibu, sehingga
Rumah sebagai pilar peradaban utama itu akan menghasilkan generasi
tangguh yang berkualitas.

Ibu peradaban bukan hanya soal mengajarkan anak bisa belajar


membaca dan menulis. Lebih dari itu, buatlah anak belajar membaca
dan menulis kehidupan dari ibunya. Yang belajar untuk bersabar dalam
menghadapi beratnya cobaan hidup, yang belajar makna perjuangan dan
pengorbanan dalam mengarungi belantara kehidupan.

Pikiran saya menerawang, terpesona dan terkagum pada sosok


muslimah yang menjadi pembicara dalam sebuah konfrensi beberapa
waktu yang lalu. Mereka sungguh adalah cerminan wanita yang cerdas,
yang membekali akalnya dengan pengetahuan dan makna hidup terbaik.
Luas cakrawala ilmu mereka membuat saya sadar bahwa saya harus
cepat-cepat melek, membuka mata saya lebar-lebar pada semua
diskursus yang pada hakikatnya sangat utama diketahui oleh seorang
muslimah. Mulai dari sejarah Islam, hingga berbagai pengetahuan
modern terkait ekonomi, kesehatan, ideologi, sastra, dan lain-lain.
Sungguh, saya yakin bahwa dengan kecerdasan tersebut, seorang ibu
akan dapat menjalankan tugasnya dengan keilmuan yang memadai.

Anak adalah Penerus Mimpi. Begitu kata seorang teman sore


kemarin. Ya, itu benar. Taurits. Pewarisan cita-cita, mimpi, dan harapan.
Pewarisan kecintaan dan kebermanfaatan. Pewarisan akan harapan
114
terwujudnya nilai-nilai Islam dalam kehidupan. Pewarisan keimanan dan
keistiqomahan yang akan dengan teguh ia pegang sebagai pondasi
dalam menjalani kehidupan.

Jadilah seorang ibu tempat berbagi suami dan buah hati.

Jadilah ibu cerdas yang selalu mendengar, mengerti, dan berempati.

Jadilah seorang ibu bagi terbitnya kembali harapan bagi mereka yang tak
lagi

berharap.

Jadilah ibu yang selalu mengatakan : ‘nahnu du’at qobla kulli syai`in’

Ah, seketika tergelitik, terketuk, dan tertohok.

Bagaimana memulainya? Diri sendiri pun belum baik. Masih suka


mengeluh dan menggerutu, masih senang asal dan tak tau aturan.
Bagaimana bisa?

Kata seorang ustadzah, islahu an nafs. Mulailah dari diri sendiri.


Tuh, selamatkan aqidahmu, benarkan ibadahmu, kokohkan akhlaqmu,
luaskan wawasanmu, kuatkan fisikmu, mandiri belum neng? Bisa
mengendalikan nafsu pada kefanaan belum? Rapikan urusuanmu,
perhatian sama waktumu. dan sudahkah kau memberikan kemanfaatan
pada orang-orang disekitarmu?

115
Sungguh, perbaikan diri adalah titik pangkal dari seluruh
perbaikan yang lainnya.

116
Dari Buku ke Buku

117
Mas Marco: Sama Rata Sama Rasa

Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan (Sebuah Catatan


Awal) yang disusun oleh Bapak Sapardi Djoko Damono merupakan
sebuah buku yang menarik. Buku ini membahas mengenai kapan sastra
Indonesia lahir dan perkembangannya. Hal ini penyusun telusuri dari
media cetak yang berkembang sekitar pertengahan abad ke 19 yang
umumnya berupa puisi agama (Nasrani) berbahasa Melayu. Namun,
seiring dengan pengaruh kebudayaan barat, para penulis puisi kita
mempertimbangkan cara penulisan baru yang kemudian melahirkan
angkatan Pujangga Baru dengan segala inkonsistensinya. Meskipun
demikian, tradisi lisan yang kuat menyebabkan bentuk-bentuk seperti
syair dan pantun menjadi pilihan penting penulisan puisi.

Salah satu yang menarik dari buku ini adalah ketika penyusun
membahas mengenai Mas Marco Kartodikromo, seorang yang selama ini
saya kenal sebagai tokoh awal pendiri Partai Komunis Indonesia dalam
buku Zaman Bergerak karya Takashi Shiraishi.

Saya akhirnya membaca Marco dari perspektif ‘lain’ dari yang


selama ini saya ketahui. Selain aktif menjadi wartawan, ternyata ia juga
seorang novelis dan sastrawan.

118
Setelah Medan Prijaji mati, pada tahun 1914 ia menerbitkan
mingguannya sendiri yang ia beri nama Dunia Bergerak. Lewat
mingguan ini, ia menyuarakan pembelaannya terhadap kaum pribumi
jawa yang miskin. Meskipun awalnya menyuarakan kritik lewat beberapa
surat dan artikel, pada akhirnya sastra-lah yang dipilih Mas Marco
sebagai alat perjuangan.

Ia pernah menerbitkan buku puisi berjudul Syair Rempah-


rempah sebagai bentuk tanggapannya terhadap situasi sosial politik
pada tahun 1918. Buku yang berisi delapan syair itu menunjukkan
keburukan pemerintah kolonial di Hindia Belanda yang menyebabkan
kesengsaraan rakyat. Salah satu syair dalam buku tersebut berjudul Sama
Rasa dan Sama Rata

….

Dulu kita suka kroncongan

Tapi sekarang suka terbangan

Dalam SI Semarang yang aman

Pergerak keras ebeng-ebengan

Ini sair nama: Sama Rasa

Dan sama Rata itulah nyata

Tapi bukan sair bangsanya


119
Yang menghela kami di penjara

Syair di atas ditujukan pada orang-orang Sarekat Islam untuk


menyadarkan mereka bahwa prinsip sama rasa sama rata harus
diterapkan di dunia ini. Tentu ini berlandaskan pada kenyataan bahwa
Marco memang aktif sebagai anggota dari Sarekat Islam. Dalam
karyanya, Mas Marco menekankan pandangan hidup orang Jawa yang
menyatakan bahwa watak satria dan pandita harus menyatu dalam diri
kita. Selain mesti berani berperang dan berjuang, seseorang haruslah
memberikan perhatian pada hal-hal rohaniah.

Jalan kemardika’an amat susah

Buat orang yang hatinya lemah

Dan berjalan setengah-setengah

Tidak bisa dapat yang diarah

Dalam syair tersebut, Mas Marco memberikan semangat pada


pembaca untuk berani melakukan perjuangan demi kemerdekaan. Ia
menyarankan pada pembacanya agar berani menghadapi bahaya.
Meskipun, dalam beberapa nasehat yang ia sampaikan pun, ia tak
menampik bahwa “Saya hanyalah berkata saja/ Tak tentu bisa
melakukannya”

120
Irrasional dalam Nalar

Seorang kawan sedang membaca Dunia Sophie. Ia meminta


pendapat saya mengenai Descartes. Kata saya: Dia menciptakan yang
irrasional di dalam nalar.

Saya pernah membaca sebuah buku yang berkata kurang lebih


begini: sebagian orang menyatakan bahwa Descartes adalah peletak
dasar-dasar filsafat subjektivisme. Argumentasinya mengarah pada
terciptanya kepuasan dan terbentuk dalam format wacana pembuktian
induktif. Setiap orang boleh saja berkata: “Saya berpikir, maka saya
ada”, akan tetapi kata-kata itu jelas lebih bermakna dari sebuah
ungkapan. Sebab, ungkapan tersebut telah menjelaskan sebuah usaha
untuk membangun konsep subjektivisme atau konsep ego sebagai
subjek berpikir secara orisinil. Dari sini, kita bisa ambil kesimpulan
bahwa filsafat Descartes dibangun di atas kekaburan antara rasio dan
irrasio. Itu kata Michael Foucault.

Hari ini saya membaca buku berjudul Rindu yang Berujung


Surga karya Abul Miqdad Al-Madany. Buku ini berisi kisah perjalanan
para ulama salaf baik itu berupa pesan, ucapan maupun tindakan yang
mereka telah lakukan untuk kemudian direnungkan diambil hikmahnya.

121
Salah satu bab dalam buku ini berkisah mengenai murid Imam
As Syafi’iy yang bernama Al Muzany. Ia pernah bertanya pada gurunya
mengenai keraguannya tentang tauhid. Setelah menanyakan hal-hal yang
bisa Al Muzany indra namun belum ia pahami dengan baik, As Syafi’iy
menjawab: “Sesuatu yang dapat engkau lihat dengan mata kepalamu sendiri saja
engkau tak mengetahuinya, lalu bagaimana mungkin engkau ingin tahu bahkan
meragukan tentang Allah yang tidak dapat engkau lihat dengan mata kepalamu
sendiri?”

Beliau kemudian bertanya mengajukan pertanyaan mengenai


wudhu, namun Al Muzany salah menjawabnya. Beliau pun berkata,
“Sungguh mengherankan, sebuah perkara yang engkau butuhkan lima kali sehari
saja tidak engkau ketahui, lalu engkau memaksa diri menggugat tentang Allah,
Sang Khaliq?” Kemudian beliau menyarankan membaca QS Al Baqarah:
163-164.

Keraguan memang selalu menggoda. Beberapa menganggapnya


tamasya intelektual, beberapa lainnya menganggap sebagai keharusan
seorang cendekiawan. Nalar Descartes bertujuan untuk mendapatkan
kepastian mengenai hakikat kehidupan, dia ingin memulai dengan
menyatakan bahwa pertama-tama orang harus meragukan segala
sesuatu.

Descartes merasa, ia harus membebaskan dirinya dari


pengetahuan yang diwarisi atau diterima sebelum ia menyusun
filsafatnya sendiri. Lebih lanjut, ia malah bertambah ragu, sebab ia mulai

122
tak dapatmempercayai indera-indera yang dimilikinya sebab mungkin
mereka memperdayanya.

Pada akhirnya, yang ia yakini adalah bahwa saat ia ragu, maka ia


sedang berpikir, dan saat ia sedang berpikir pastilah ia makhluk yang
berpikir. Cogito, ergo sum. Bedanya, kita telah menemukan posisi
subjektif kita atas dasar tauhid yang melandasi keimanan kita
pada kitabullah yang menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan dan
menjawab segala pertanyaan.

Semoga keraguan itu mampu mengantar kita untuk menyadari


bahwa akal (sebagaimana anggota tubuh lainnya) memiliki kelemahan
dan keterbatasan. Di luar batas jangkauannya, ia tak akan sanggup
bekerja, dan itulah saat-saat terindah dalam hidup, saat kita
menyerahkan segalanya pada Sang Mahasegala, Allah Azza wa jalla.

123
Menguatkan Keyakinan

Buku At Tauhid wat Tawakal yang dibahas oleh Syekh Zuhair


Syafiq al Kubbiy merupakan referensi penting untuk menjelajahi
pemikiran seorang filsuf besar Islam, Imam Al Ghazali. Buku ini
membahas mengenai pemikiran Imam Al Ghazali, khususnya mengenai
tawakal.

Menarik ketika Al Ghazali memaparkan mengenai bagaimana


keyakinan itu didapatkan. Baginya, keimanan merupakan pembenaran,
setiap pembenaran yang dilakukan oleh hati adalah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan dalam intensitas yang kuat itu akan menjadi
keyakinan. Akan tetapi, gerbang keyakinan sangat banyak, maka disini
Al Ghazali mengambil satu bentuk keyakinan yang diatasnya bisa
dibangun konsep tawakal, yaitu: tauhid.

Tauhid merupakan sebuah konsep pokok yang akan menjadi


ilmu pembuka rahasia transedental. Menurut Al Ghazali, ada empat
strata dalam tauhid. Pertama, tauhid seorang manusia yang
mengucapkan kalimah syahadat akan tetapi hatinya lalai dalam ucapan
itu. Ini disebut munafik. Kedua, jika hatinya membenarkan arti dari
perkataan tersebut sebagaimana yang dilakukan kaum muslimin pada
umumnya. Ini disebut keyakinan orang awam. Ketiga, jika ia dapat
mempersaksikan semua itu dengan metode kasyaf (terbukanya ilmu
124
transdental), dimana mereka merasakan ketunggalan Allah SWT
meskipun ia melihat segala sesuatu yang beragam di dunia ini. Ini
disebut keyakinan kaum muqarrabiin. Keempat, jika ia tak memandang
perwujudan kecuali hanya satu saja. Kaum sufi menyebutnya ‘peleburan
diri’ dalam tauhid. Konsepsi tawakal hanya bisa didirikan diatas
landasan strata ketiga.

Setelah membahas mengenai kemanunggalan wujud, penulis


membahas mengenai kondisi tawakal dan tingkatannya. Pertama, adalah
jika kita berada dalam hak Allah, percaya dengan tanggungan dan
pertolongan-Nya. Kedua, merupakan tawakal yang kuat, yaitu bila
keberadaan kita bersama Allah seperti kebersamaan seorang anak kecil
pada ibunya. Ketiga, merupakan bentuk tawakal yang paling tinggi, yaitu
jika kita selalu merasa berada di hadapan Allah di dalam segala gerak
dan diamnya, seperti seorang mayat di tangan orang yang
memandikannya.

Dalam ranah praksis, penulis membahas mengenai amalan orang-


orang yang bertawakal dan tawakalnya orang-orang yang berkeluarga.

Pada akhirnya, interpretasi tawakal dalam sudut pandang yang


relevan dengan tuntutan tauhid, dalil naqly, dan syariat, berada dalam
kedalaman dan kesukaran kecuali bagi para ulama yang dianugrahkan
Allah cahaya hikmah sehingga mereka dapat melihat, menyatakan dan
kemudian mengucapkan dengan fasih apa yang telah mereka saksikan
jika mereka diminta untuk bicara.

125
Mukmin dan Ateis

“Seorang mukmin tidak dapat melepaskan sikap kebertuhanan


dari paham ateisme.” Demikian diungkapkan oleh Dr. Ali Harb dalam
essaynya mengenai Mukmin dan Ateis.

Saya kira pandangan ini bukan hal baru lagi. Beberapa kawan
saya di Himpunan Mahasiswa Islam juga pernah berujar dengan
candaan bahwa sebelum kita menjadi seorang muslim, terlebih dahulu
kita harus meniadakan semua bentuk penuhanan kepada nalar, akal,
bahkan teks. Ateis kan? Nah, setelahnya baru kita menuhankan satu
Dzat yang pada-Nya lah tempat kita bergantung dan memohon
pertolongan.

“Begitulah nalar syahadat. Jadi Al, mereka yang ateis itu saudara
dekat kita yang tauhid.”

“Kita tidak mungkin mengingkari Ateisme kita.” Kata Harb

Ya Alloh, kata mereka para ateis tidak akan membunuh-Mu


untuk menghindari semua bentuk kepercayaan. Kata mereka, para ateis
adalah pencari kebenaran yang paling hakiki sebab kepercayaan mereka
pada kebenaran amatlah besar. Kata mereka, orang-orang yang memiliki

126
posisi subjektif dalam memandang kebenaran tentang-Mu dalam
ketunggalan yang mutlak adalah orang-orang fanatik dan eksklusif.

Tapi aku percaya, yang mereka cari bukanlah kebenaran.

Kekerasan yang diekspresikan Nietzshe, sang cikal bakal ateisme


telah menjiwai teks dan wacana yang ia ungkapkan. Sama halnya saat
ketika ia mengumumkan kematian tuhan. Sama halnya ketika ia
mengingkari Tuhan yang selamanya menjelma dalam bentuk yang
diingkarinya.

Harb sendiri mengatakan bahwa pengingkaran yang Nietzshe


lakukan adalah pengingkaran di atas pengingkaran. Tapi ia tetap saja ia
berargumen bahwa kadangkala Nietzshe menjadi sangat teologis dan
lebih memasuki dunia malaikat daripada para teolog itu sendiri.

Saya hanya berpikir: Bagaimana mungkin sikap ateis seseorang


disamakan dengan seorang mukmin? Bagaimana bisa persaksian
seorang yang meyakini keesaan Tuhan disamakan dengan perjalanan
pencarian kebenaran orang mabuk?

127
Zainab Al Ghazali, Tentang Sebuah
Keteguhan Hati

Mulanya, saya mengenal tokoh pejuang wanita bernama Zainab


Al Ghazali dari buku berjudul Kontribusi Muslimah di Mihwar Daulah
karya Sumaryatin Zarkasyi. Buku ini merupakan salah satu seri dari
seratus seri buku pengokohan Tarbiyah terbitan Era Intermedia.

Salah satu bab di buku tersebut menerangkan kontribusi


muslimah dalam marotibul ‘amal kelima yakni islahu al hukumah. Penulis
memaparkan kisah hidup Sayidah Zainab Al Ghazali sebagai
percontohan bagi wanita muslimah untuk berperan aktif dalam ranah
publik dan politik dengan mengadvokasi masyarakat untuk memperoleh
hak-hak yang dirampas oleh pemerintah.

Zainab Al Ghazali adalah seorang yang sepanjang hidupnya telah


membentuk dirinya sebagai pribadi yang memiliki ambisi yang kuat dan
tekad yang membara. Ia adalah sosok muslimah yang cerdas dan kuat
pendiriannya dalam memperjuangkan apa yang ia yakini sebagai
kebenaran.

Beberapa hari lalu, seorang kawan meminjamkan saya buku yang


sayidah tulis berjudul Perjuangan Wanita Ikhwanul Muslimin. Buku ini

128
mengisahkan perjuangan hidupnya sebagai Ketua Umum Jamaah
Muslimat di Mesir saat rezim Gamal Abdul Naser berkuasa.

Kisah dalam buku ini dimulai saat Zainab Al Ghazali harus


menjalani perawatan di rumah sakit karena ‘kecelakaan’ lalu lintas yang
dialaminya pada bulan Februari 1964, saat itu pemerintah membuat
surat keputusan pembubaran Jamaah Muslimat yang ditolaknya
mentah-mentah. Penolakan itu membuat pemerintah memaksanya
untuk melakukan penggabungan organisasi Jamaah Muslimat ke dalam
Front Persatuan Sosialis.

Setelah siasat yang dilakukannya untuk menggagalkan rencana


Dinas Intelejen Mesir berhasil, ia kembali mendapat bujukan dari Dinas
Intelejen mesir. Namun seperti yang sudah-sudah, ia berkata lantang
dan tegas: TIDAK! untuk sebuah rezim tiran.

Jamaah Muslimat yang didirikan tahun 1358 H mendapat


tawaran dari Asy Syahid Hasan Al Banna untuk melebur ke dalam
Ikhwanul Muslimin sebagai bagian Wanita Muslimat, akan tetapi
permintaan fusi tersebut ditolaknya meskipun ia tetap sepakat untuk
mempererat hubungan kedua lembaga tersebut.

Namun, sehari setelah pembubaran Ikhwanul Muslimin tahun


1948 Zainab Al Ghazali berbaiat pada Allah di hadapan Hasan Al
Banna untuk berjuang melancarkan dakwah Islam sebagaimana yang
dicita-citakan oleh Ikhwanul Muslimin. Tak lama setelahnya, Hasan Al

129
Banna pun syahid menemui Tuhannya dan jabatan mursyid ‘am
Ikhwanul Muslimin dilimpahkan pada Imam Hasan Al Hudhaibi.

Ketika pada pertengahan 1956 gelombang tahanan pemerintahan


Abdul Naser dibebaskan, Zainab Al Ghazali beserta beberapa anggota
Wanita Ikhwanul Muslimin menggalang bantuan dana demi
meringankan beban para tahanan yang tersiksa, terutama anak-anak dan
para yatim. Kemudian, pada 1958 bersama Abdul Fattah Ismail ia
memulai menyusun konsep pengkaderan pertamanya yang meletakkan
metode pendidikan Islam, yaitu pendidikan individu muslim yang sadar
akan kewajibannya untuk Tuhannya, penataan masyarakat muslim yang
sadar akan diri dan kewajiban yang diembannya serta terpisah dari
masyarakat jahiliyah. Konsep ini semakin dimatangkan ketika pada
tahun 1962 Sayid Qutb memberikan berkas berjudul Ma’alim fii Thariq
yang ditulisnya dari dalam penjara untuk dijadikan pedoman dalam
proses pendidikan, pembentukan, persiapan, dan penanaman aqidah
tauhid dalam jiwa para pemuda yang dibinanya secara sembunyi-
sembunyi dalam kumpulan antara 5-10 orang pemuda.

Rencananya, pendidikan ini akan berlangsung selama tiga belas


tahun. Setelah 13 tahun berlalu, maka akan diadakan survei kembali di
seluruh negeri untuk mencatat pengikut dakwah Islam. Apabila 75%
jumlahnya, maka mereka akan mencanangkan penerapan hukum Islam
di negara. Apabila hanya 25%, maka mereka akan mengulang
pendidikan kader selama 13 tahun lamanya. Zainab Al Ghazali meyakini

130
bahwa ia tidak boleh menghentikan upaya pendidikan Islam ini dari
generasi ke generasi.

Membaca dua bab kisah Zainab Al Ghazali yang tetap berdiri


tegak ketika para intelejen datang untuk menundukkannya membuat
saya merinding dan tercengang. Saya melihat sinar kecerdasan yang
terpancar dari tatapan dan tutur katanya. Saya melihat ketegaran tanpa
banding yang tak berkarat oleh waktu, ia tetap berdiri dan tetap teguh
dengan pendiriannya memperjuangkan kebenaran atas nama dakwah
illallah.

131
Islam dan Kesadaran Kebangkitan
Nasional

Islam Sebagai Simbol Nasionalisme

Kondisi penjajahan dan penindasan yang telah dilakukan oleh


Barat melahirkan pemahaman bagi rakyat Indonesia bahwa Islam
identik dengan kebangsaan atau Nasionalisme, sedangkan imperialisme
atau penjajahan itu identik dengan kristenisasi. Oleh karena itu, Islam
menjadi Simbol Nasionalisme Bangsa Indonesia pada saat itu.

Menyikapi hal ini, pemerintah kolonial Belanda merasa perlu


berupaya memadamkan cahaya Islam, sebab imperialisme yang
dilakukan terhalang oleh kehadiran Islam yang sudah terlebih dahulu
menyebar di nusantara.

Upaya yang dilakukan oleh Belanda antara lain: 1) De-Islamisasi


penulisan sejarah Indonesia yang menafsirkan bahwa setelah jatuhnya
kerajaan Hindu-Budha di Nusantara berdampak menimbulkan
kemunduran bangsa Indonesia. 2) Penelitian Arkeologi yang
menerangkan bahwa masa lalu nenek moyang bangsa Indonesia adalah
manusia purba yang tergolong ‘manusia kera’. Sehingga, secara politis
mengarah pada pemahaman bahwa bangsa kulit putih adalah manusia

132
beradab yang berhak menjajah bangsa kulit berwarna. 3) Kehadiran
pakar Belanda: Snouck Hurgronje (meneliti Islam di Aceh) dan Van
Vollenhove yang berusaha kembali menghidupkan hukum adat untuk
menggantikan hukum Islam. 4) Mengembangkan aliran kebatinan
(Kedjawen) di kalangan para priyayi dan pejabat pribumi yang berpihak
pada Belanda. 5) Membangkitkan kesadaran sejarah Hindu-Budha di
Nusantara agar pengaruh ajaran Islam melemah, dan ditargetkan
penganut Hindu-Budha akan memihak pada pemerintah kolonial
Belanda. 6) Distorsi peta bumi

Disadarkan pada kritik yang dilemparkan oleh Conrad Th van


Deventer dalam majalah De Gids yang berjudul ‘Utang Kehormatan’
yang berisi bahwa kemajuan kerajaan protestan Belanda dan pemerintah
kolonial Belanda diperoleh dengan pengorbanan bangsa Indonesia. Hal
ini merupakan utang kehormatan yang wajib dibayar dengan
memajukan kehidupan pribumi. Dalam menjawab kritik dari kalangan
liberal, Kerajaan Protestan menciptakan tiga macam kebijakan politik :
Politik pintu terbuka, politik etis, dan politik asosiasi. Politik pintu
terbuka membawa implikasi dibukanya nusantara Indonesia bagi
penanaman modal asing di bidang perkebunan, pertambangan, dan
transportasi yang ditandai dengan dibuatnya Undang-Undang Bumi
tahun 1870 M. Pelaksanaan politik pintu terbuka ini memerlukan tenaga
kerja terdidik, sehingga diberlakukanlah politi etis pada tahun 1901 M
dengan triloginya : Edukasi, Irigasi, dan Emigrasi.

133
Dengan pemberlakukan sistem edukasi yang tidak berdasar
kurikulum pesantren, lahirlah generasi yang berorientasi budaya barat.
Selain itu, pendidikan juga didiskriminasi dengan diberlakukannya
startifikasi sosial dalam sekolah, yaitu sekolah Eropa, Bangsawan, Cina,
dan Ambon, sehingga kaum bangsawan dipisahkan hubungannya
dengan rakyat. Menyikapi hal ini, diperlukanlah politik asosiasi, yaitu
suatu politik yang bertujuan menciptakan sikap keterbukaan generasi
muda Islam: kebergantungan pada budaya Barat.

Emigrasi dilakukan untuk melahirkan generasi yang cacat budaya


dan cacat kepahaman tentang Islam. Namun, hal ini gagal terjadi.
Sebab, dengan adanya program ini justru terbentuklah kesadaran
sesama muslim, yang lahirkan kesadaran sesama musuh yang satukan
Islam untuk lawan imperialisme barat.

Pemikiran Islam dan Nasionalisme

Namun, muncullah pertanyaan, benarkah politik etis yang


membangkitkan kesadaran nasional pada abad ke 20 M? tentu tidak.
Jiwa gerakan tersebut datang dari pengaruh Timur Tengah, India, Cina,
dan Jepang.

Beberapa konstruktor pemikiran gerakan islam yang berpengaruh


tersebut diantaranya adalah: Jamalludin Al Afghani (1897 M),
Muhammad Abduh (1849-1905), Gerakan Nasionalisme Mesir yang

134
ditandai dengan pemberontakan terhadab Arbi Pasha, dan Rashid
Ridha (1865-1935 M) yang menekankan purifikasi pada pemikiran Islam
yang ia tuangkan dalam majalah Al Mannar.

Akan tetapi, Imperialisme Barat tak tinggal diam. Mereka


merekayasa gerakan nasionalis menjadi gerakan pembebasan diri dari
kesultanan Turki. Mereka juga membenturkan antar gerakan
puritanisme, sekulerisme, pluralism, dan liberalism sehingga terpecahlah
gerakan-gerakan ini untuk saling serang satu sama lain dan mengalami
disorientasi untuk melawan imperialism barat.

Faktor utama yang menjadi penyebab terjadinya kebangkitan


nasional adalah terbentuknya integritas nasional dalam ‘Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia’ oleh Kahin dipengaruhi oleh factor berikut:
1)Terbentuknya kesatuan agama bangsa Indonesia dengan keyakinan
Islam 2) Islam menjadi simbol terhadap penjajahan asing barat dengan
masuknya raja-raja hindu budha ke Islam akibat adanya invasi katolik
Portugis di Indonesia. 3) Perkembangan bahasa melayu pasar berubah
menjadi bahasa persatuan Indonesia akibat pelarangan bahasa Belanda
untuk dipakai masyarakat Islam Indonesia. 4) Sjarikat Dagang Islam
yang didirikan pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Hadji Samanhudi ini
dinilai oleh para sejarawan sebagai pelopor Kebangkitan kembali
kesadaran Nasional Indonesia. Keberhasilan SDI adalah lambang awal
keberhasilan gerakan pembaruan system organisasi Islam melalui pasar
sebagai lahan operasi aktivitasnya. Guna menjaga kontinuitas gerakan,

135
diterbitkanlah Taman Pewarta sebagai media komunikasi yang bertahan
selama 13 tahun.

Ditambah lagi, dengan diadakannya kerjasama antar pribumi


Islam dan Cina dengan nama organisasi niaganya, Kong Sing. Belanda
merasa perlu membangun organisasi tandingan yang di gawangi oleh
RMT Adhisoerjo dengan membentuk Sarekat Dagang Islamiyah di
Bogor dengan medianya Medan Prijaji. Namun, pada 1911 M, Sarekat
Dagang Islamiyah dibubarkan dan diserahkan kepemimpinannya pada
Haji Samanhudi.

Pergerakan Islam dan Kebangkitan Nasional

Realitas sejarah tentang adanya eksistensi kekuasaan politik Islam


di Nusantara semenjak abad ke-9 hingga 20 Masehi digunakan oleh para
ulama dan santri untuk menyadarkan kembali kebangkitan politik umat
Islam Indonesia. Hal ini dilakukan melalui pembantukan organisasi
modern sebagai wahana mobilitas dan mendinamikakan semangat juang
umat Islam Indonesia.

Fakta sejarah diatas memberi gambaran bahwa kebangkitan


Islam memberikan jawaban sesuai dengan tantangan zaman. Sehingga,
dalam waktu yang relative singkat ulama berhasil membangun berbagai
organisasi kerakyatan yang memiliki karakter nasionalis. Akan tetapi,
Pemerintah Belanda tidak tinggal diam, diberlakukanlah politik pecah
belah dengan mempertentangkan perbedaan antara ajaran kejawen,

136
kesundan dengan ajaran Islam, serta mengembangkan pertentangan
prasangka etnis.

Menyoal Sarekat Islam dan PKI

Perpecahan yang paling rentan memang yang yang terjadi pada


SI, sebab SI merupakan organisasi yang benar-benar mendapatkan
dukungan masa riil dari berbagai strata sosial dan ulama. Yang terjadi di
SI ini memang menarik, sebab dengan menggunakan orang Belanda
bernama Sneevliet mereka membelah keutuhan SI.

Aksi mereka diawali dengan membina pimpinan muda SI


Semarang pada 1916 M dalam Sarekat Buruh Kereta Api dan Trem
(VSTP). Disini, dibinalah seorang buruh KA bernama Semaoen,
Darsono, Alimin, dan Tan Malaka yang menjadi kader ISDV dan
VSTP. Pada National Congres CSI di Surabaya, kelompok kader ini
mulai berani menyerang pimpinan SI untuk mengganti ideology Islam
dengan Marxist.

Namun, usaha mereka gagal meskipun dicoba kembali


digaungkan pada konggres di Jogja dua tahun kemudian. Akibatnya,
Semaoen dan Darsono mengubah SI Semarang menjadi Perserikatan
Komunis di India (PKI) pada 23 Mei 1920. Pada 1923, diresmikanlah
adanya disiplin partai yang memutuskan menolak ideology Marxist yang
dikembangkan PKI dan tidak membenarkan merangkap pimpinan PKI
dan SI sekaligus. Konggres juga membentuk partai politik yang
pertama, Partai Sarekat Islam. (dua puluh lima tahun kemudian, pada kudeta
137
madiun tahun 1948, PKI membalasnya dengan pembunuhan terhadap ulama dan
santri)

Bisa dibayangkan. SI yang semula hanya menghadapi


Kristenisasi, Kapitalisme, dan Kebatinan selanjutnya juga harus
melawan Komunisme dan fitnah Korupsi.

Disorientasi Sejarah

Dalam buku-buku sejarah, kita akan menemukan bahwa momen


kebangkitan nasional bertolak dari kebangkitan pemuda yang
diorganisir oleh organisai Boedi Oetomo pada tahun 1908. Dari
persfektif nasionalis hal ini tentu benar dan sangat menguntungkan,
tetapi tentunya hal ini merupakan salah satu sudut pandang saja tentang
periode sejarah awal kebangkitan nasional. Bahwa Boedi Oetomo pada
saat itu banyak membantu menyemaikan rasa nasionalisme Indonesia
dengan banyak mendirikan sekolah-sekolah memang benar. Tetapi
pertanyaan selanjutnya, apakah hanya Boedi Oetomo saja yang menjadi
tulang punggung penyebaran kesadaran terhadap penjajah pada sat itu?
Dari pertanyaan inilah kita bisa meluruskan sejarah awal pergerakan
pemuda.

Buku Ahmad Mansur Suryanegara yang berjudul Api Sejarah


menguraikan secara detail secara runtut kronologis peristiwa yang
terjadi di zaman pergerakan nasional sebagaimana yang telah saya
paparkan di muka.

138
Ia menceritakan bagaimana peran besar Syarikat Islam (SI) untuk
menyuemaikan benih-benih kesadaran rasa Nasionalisme yang diikat
oleh akidah Islam. Dengan kesaaran nasionalisme yang disatukan dalam
bingkai akidah Islam ini SI menjdai organisasi yang paling besar, baik
dari sisi anggota ataupun gerakan. Di bandingkan dengan Boedi
Oetomo yang hanya digerakan oleh segelintir pemuda lulusan Belanda,
SI telah menyebar ke hampir setiap pelosok, dan mempunyai
pimpinannya masing-masing hampir di setiap daerah.

Di sisi lain, Boedi Oetomo lebih bersifat organisasi primordial


Suku Jawa, karena lebih mengakomodir orang-orang yang berasal dari
suku Jawa, begitupun bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa.
Berbeda dengan Syarikat Islam, walaupun notabene bercorak dan
mempunyai ideologi perjuangan politik ekonomi Islam, tetapi bahasa
yang digunakan merupakan bahasa melayu yang pada saat itu telah
menjadi bahasa pergaulan nusantara. Dengan demikian bila dilihat dari
sepak terjang, gerakan, bahasa, yang seharusnya dijadikan pijakan
kebangkitan pemuda atau kebangkitan nasional seharusnya bertolak dari
gerakan Syarikat Islam bukan Boedi Oetomo. Disinilah rasa
keaberislaman para sejarawan Islam Indonesia diuji. Termasuk kita
sebagai pemuda Islam harus berani membantah kekuranglurusan
sejarah tersebut. Forum seperti diskusi yang kita lakukan saat ini adalah
salah satu media efektif untuk peyebaran kesadaran sejarah ini.

Refleksi

139
Demikian penggalan sejarah yang coba penulis angkat untuk
dijadikan pelajaran bagi kita yang hidup di era kini. Perjuangan para
ulama (cendekiawan muslim) kala itu adalah perjuangan yang
bersumber dari hati nurani. Perjuangan luhur yang berupaya
mengentaskan manusia dari penjajahan kolonialisme menuju
kemerdekaan yang hakiki.

Sudahkah kita bisa belajar dari apa yang telah diperjuangkan para
pendahulu kita? Atau malah lalai dan lari dari tanggungjawab sebagai
seorang cendekiawan muslim yang memiliki tanggungjawab besar guna
mengentaskan diri kita dari perbudakan terhadap kesewenangan tiran
dan menciptakan tuhan baru atas nama popularitas dan jabatan.

Benarlah Ali Syariati dalam bukunya “Tanggung Jawab


Cendekiawan Muslim” yang menyatakan bahwa pandangan simbolisasi
manusia shaleh tidak bisa dipandang dari sisi bentuk formalitasnya saja,
sebab manusia yang tercerahkan adalah “ia dengan tangan yang sama
menuliskan ayat-ayat suci dari langit serta terbenam dalam genangan lumpur dan
mengayunkan kayu untuk menyuburkan tanah yang kering, ia berdiri tegak
memperjuangkan ayat-ayat Allah dan hak-hak masyarakat”

140
Korupsi, Korupsi!

Bakir, nama pak tua itu. Sudah dua puluh tahun ia menjadi
pegawai. Hanya sepeda tua berkarat yang jadi kawannya. Ia butuh uang
untuk anak-anaknya yang akan melanjutkan sekolah, juga untuk
mengusir keluarga Tionghoa yang menyewa beberapa kamar di
rumahnya sebagai warung yang saban hari hadirkan keributan.

Kebutuhan akan uang itulah yang membuatnya gelisah siang


malam. Ia butuh sumber penghasilan yang memungkinkan. Namun, ia
hanya pegawai biasa yang andalkan kenaikan sedikit gaji tiap tahunnya.
Tak akan cukup. Tak akan cukup. Hingga akhirnya, terbetiklah dalam
hatinya, seperti sudah jamak di masa kini: korupsi! Berdengung kata itu
di tiap dinding dan tiap benda di kamarnya: korupsi! Korupsi!

Hatinya sakit mengingat betapa selama ini kejujuran telah


membuat ia dihargai sebagai pribadi yang bermartabat akan lenyap
begitu saja, berganti dengan keculasan dan kecurangan yang ia niatkan.
Dengung kata Korupsi itu ternyata lebih berkuasa dan merobohkan
pertahanan idealismenya. Berawal dari hasil pencurian persediaan alat
tulis kantor yang ia jual pada tauke sebesar dua puluh rupiah, semakin
menjadi lah hasrat Bakir untuk lakukan korupsi, lagi dan lagi.

141
Isteri yang telah setia mendampinginya belasan tahun melihat
gelagat itu. Ia ingatkan suaminya agar tak berbuat lebih jauh. Namun,
apa mau dikata, uang telah membuat Bakir silau. Ia pun lakukan korupsi
dalam jumlah yang lebih besar. Isterinya berang. Karyawan setianya,
Sirad, mulai curiga. Karena senantiasa diliputi kecemasan bahwa
tindakannya diketahui orang, ia melarikan diri pada pelukan seorang
dara belia bernama Sutijah.

“Kalau engkau sungguh-sungguh tak mau dicegah dalam niatmu, besok


lusa engkau jual benteng pertahananmu dengan uang. Kemudian engkau kawin
lagi. Kemudian engkau menjauhi atau dijauhi kawan-kawanmu. Engkau
mendapat kawan-kawan baru yang semua ada di dalam ketakutan. Engkau jadi
binatang perburuan. Engkau harus lari, terus lari, terus sampai akhirnya rebah
sendiri tiada bertenaga.”

Bagaikan kutukan, kata-kata isterinya tersebut satu per satu


terlaksana. Bakir tinggalkan isteri dan tiga anaknya demi Sutijah. Mereka
tinggal di kawasan Puncak, Bogor. Ia tak lagi berkawan dengan rekan-
rekan sejawatnya di kantor. Ia punya komunitas elite sendiri, pelaku
pezinahan, koruptor, dan seperti binatang perburuan, ia terus lari, terus,
sampai akhirnya rebah sendiri tiada bertenaga.

“Dapatlah aku mengetahui bahwa jalan kembali bagiku masih tersedia,


hanya saja aku yang tak berani kembali. Tidak berani! Tidak berani! Dan
tambah lama tambah tidak berani. Tambah tua aku menjadi tambah penakut
menghadapi kebenaran dan menerimanya sebagai milik sendiri..”

142
Agaknya, kegelisahan yang sempat ia rasa mesti ia semaikan
sebelum lakukan perbuatan kotor itu. Bakir, dalam kegelisahan sebelum
melangkah lebih jauh menjadi budak nafsunya pernah berkata: Apakah
yang sebenarnya betul: manusia yang mencari kebahagiaan ataukah kebahagiaan
telah memperkudanya? Belasan tahun lampau ia berkata bahwa
kebahagiaan adalah harta terbesar yang selalu diimpikan manusia, tapi
sekaligus harta benda yang begitu dekat, begitu tak teraba, begitu tak
disadarinya, bahwa itulah sesungguhnya yang diimpikannya.

Dibalik jeruji besi, Bakir hanya bisa menyesali nasib: betapa


pengetahuan dan kesadaran ini terlampau mahal untuk ia beli.

Membaca novel Pram ini membuat saya terus menghela nafas.


Kita seolah telah kehabisan kata, daya, dan upaya dalam upaya
pemberantasan korupsi. Berbagai upaya telah dilakukan, mulai dari
gerakan sosial antikorupsi, penafsiran teologi anti korupsi, pembuatan
aturan perundangan anti korupsi setiap kali ada kasus korupsi yang dinilai
baru, serta pembentukan lembaga yang khusus menangani masalah
korupsi. Namun nyatanya, korupsi tetap ada, mengakar, dan
membudaya.

Benarlah apa yang dikatakan Cak Nun dalam salah satu artikel
lepasnya; “Orang lebih tertarik kekayaan dibanding kesalehan. Orang lebih
terpikat oleh uang banyak daripada digniti kepribadian. Orang lebih tergiur pada
kejayaan materi dibanding kemuliaan hidup.”

143
Agaknya, pabila segala daya dan upaya memang tiada guna.
Minimal, diri ini sadari bahwa kalau kita mencuri, kita mencuri harta
milik Tuhan, di bumi yang jadi milik Tuhan. Meski kita membawa harta
curian kita lari, mentransfernya, menginvestasikannya, Sang Penadah
Agung tetaplah pemilik sahnya. Harta Tuhan saja tak pernah pergi
kemana pun, apalagi diri kita yang tak berdaya ini. Melarikan diri
kemana pun jua adalah jalan kembali pada asal usul kita yang sejati.

Ya, hidup adalah pergi untuk kembali. Kata Ello.

Inna lilahi wa inna ilaihi roji’un.

Ingatlah bahwa kita akan mati, akan pulang, dan


mempertanggungjawabkan apa yang telah kita amalkan.

144
Bukan Pasar Malam

"Mengapa kemudian kita harus bercerai berai dalam maut. Seorang.


Seorang. Seorang. Dan seorang lagi lahir. Seorang lagi. Seorang lagi. Mengapa
orang-orang ini tak ramai-ramai lahir dan ramai-ramai mati? Aku ingin dunia
ini seperti pasar malam." (h.95)

Seorang pelayat bertanya dalam suasana duka oleh sebab kawan


main judinya mati. Pertanyaan itu tak mendapat jawaban. Yang
mendengar tertawa. Yang bicara pun tertawa. Mungkin yang bicara pun
tak mengerti apa yang telah diucapkannya. Kemudian, percakapan itu
mati.

Pramoedya Ananta Toer, seperti lazimnya ia, mengisahkan


dengan apik kisah keperwiraan seorang dalam revolusi yang pada
akhirnya melunak ketika dihadapkan pada kenyataan sehari-hari;
pesakitan yang meregang nyawa, kemiskinan yang mendarah daging,
serta ketidakberdayaan yang syahdu.

Berpotong-potong kisah itu terbingkai dalam sebuah perjalanan


yang hadirkan kembali kenangan yang pernah dilalui. Kenangan-
kenangan itu sewenang-wenang menyerbu dalam kepalanya tanpa
permisi. Membuatnya tersenyum saat sadari bahwa memang terkadang
manusia terlampau kuat dan menenggelamkan kesadarannya.

145
Hari-hari yang dibayangi maut membuatnya sadar; sama seperti
berlalunya malam, demikian pula hidup manusia yang lenyap sedetik
demi sedetik tanpa disadari. Meninggalkan berbagai persoalan yang
bukannya menua, malah meremaja bersama pusaran arus waktu.

Membaca Bukan Pasar Malam karya Pramodya Ananta Toer ini


membuat saya kembali mendefinisikan diri, hidup, keberadaan saya di
dunia, dan akhir cerita hidup saya kelak.

Jelang dua puluh satu tahun masa usia yang telah terlewati, saya
telah menjalani hidup seperti wanita kebanyakan, tak ada yang istimewa,
tak banyak hal berbeda kecuali hal-hal yang detail. Pada intinya, saya
adalah orang yang biasa-biasa saja, yang tak pernah berpikir untuk
lakukan hal-hal besar, atau bertindak layaknya pahlawan yang
mewujudkan hal-hal besar.

Banyak orang suka membaca, saya salah satunya. Dan saat saya
membaca, saya seperti melihat diri saya tengah berperan dalam skenario
cerita yang ditulis dalam buku-buku. Saya telah membaca sedikit dari
jutaan buku yang ada, namun cerita hidup saya sama membosankannya
seperti dalam roman-roman usang yang mudah dicari referensinya. Tak
ada yang istimewa.

"Mengapa kita ini harus mati seorang diri? Lahir seorang diri pula? Dan
mengapa kita ini harus hidup di satu dunia yang banyak manusianya? Dan kalau
kita sudah bisa mencintai seorang manusia, dan orang itu pun mencintai kita.."
(h.95)
146
Ah, betapa indahnya hidup yang singkat ini bila kita bisa dicintai
seorang manusia dengan sungguh-sungguh. Tidak hanya berdasarkan
perasaan, akan tetapi juga pada kenyataan yang apa adanya tentang diri
dengan segenap paradoks dan ambiguitas yang melekat.

Saya tak lagi harapkan cinta yang berakhir indah dan romantis
sebagaimana tertulis dalam buku-buku. Dalam kehidupan nyata, kisah
itu berakhir dramatis dan tragis. Kita dipaksa menangis sejadi-jadinya,
jatuh sedalam-dalamnya, menerima seperih-perihnya. Itulah hidup.
Hidup yang hanya menunda kekalahan, kata Chairil.

147
Bibliomania

Allison Hoover Bartlett patut bangga. Novel investigasinya


berjudul The Man Who Loved Books Too Much mendapat
penghargaan sebagai salah satu buku terbaik tahun 2009 versi Library
Journal, setelah sebelumnya artikel mengenai tokoh utama novel ini,
John Gilkey, dimasukkan dalam Best American Crime Reporting tahun
2007.

John Gilkey memang sosok yang memikat. Atas dasar


kecintaannya pada buku, ia menjadi pencuri buku-buku langka koleksi
para agen di seluruh penjuru negeri dengan bermodal nomor kartu
kredit dan telepon umum hotel. Dan, Bartlett berhasil memukau
pembacanya dengan detail yang amat teliti mengenai manuskrip-
manuskrip bersejarah serta humor satir untuk menarasikan kisah
Gilkey.

Inspirasinya untuk mencuri buku muncul saat ia masih kanak-


kanak. Bukan hanya karena alasan cinta, melainkan juga dampak
memiliki buku itu terhadap dirinya. Terlahir dalam keluarga miskin
membangkitkan fantasinya akan kehormatan dan penghargaan sebagai
orang yang berbudaya dan terpelajar apabila ia memiliki koleksi buku
langka. Ia mendapatkan buku-buku koleksinya dengan mencuri, tentu
saja.
148
Anehnya, meskipun Gilkey sadar bahwa mencuri buku adalah
tindakan ilegal, namun baginya ilegal tidak sama dengan salah. Saat ia
berkali-kali ditahan oleh polisi, bukannya merasa bersalah, ia justru
menyalahkan orang lain yang dianggapnya menghalanginya untuk
mendapatkan itu. Gilkey adalah orang yang percaya bahwa mengoleksi
amat banyak buku langka adalah ekspresi terbesar identitasnya, dan
dengan cara apapun ia mendapatkannya itu bernilai adil dan benar.
Seperti Bartlett, aku pun bertanya-tanya: bagaimana rasanya
memandang dunia dengan cara seperti itu, merasa berhak mendapatkan
semua yang diinginkan dan membenarkan cara apapun untuk
meraihnya. Namun, Gilkey ternyata pribadi yang tak sesederhana itu.
Dibalik kegilaannya mengoleksi buku, ia pun sedang berupaya keras
membangun citra dirinya sebagai pria terhormat. Dia mempelajari
filsafat, meneliti pengarang buku, membaca sastra, bahkan menulis esai
dan naskah dramanya sendiri.

Namun, buku ini tak hanya berkisah soal obsesi gila Gilkey untuk
membuat perpustakaan raksasa dengan ribuan koleksi langka di
rumahnya. Bartlett pun berkisah tentang Ken Sanders, seorang yang
menyebut dirinya bibliodick (penjual buku yang merangkap detektif)
yang memiliki obsesi besar untuk menangkap John Gilkey lewat
jaringannya di Asosiasi Pedagang Buku Amerika.

Mengesankan membaca bagaimana Bartlett meletakkan kecintaan


dua orang ini pada buku dalam konteks yang lebih besar, tak hanya
berkutat soal kejar mengejar antara detektif dan maling, tetapi juga

149
mengeksplorasi secara mendalam tentang gairah terhadap buku selama
berabad-abad, meskipun terkadang nyaris menyiratkan seksualitas
platonian.

Kecintaan fanatik yang cukup intim ini dituliskan oleh Eugene


Field dalam The Love Affairs of a Bibiliomaniac pada 1896, “Terlalu
sedikit orang yang sepertinya menyadari bahwa buku memiliki perasaan.
Tetapi aku tahu sesuatu hal lebih baik dari pada orang lain, yaitu buku-
bukuku mengenalku dan mencintaiku. Ketika suatu pagi aku terbangun,
aku melempar pandangan ke sekeliling ruangan untuk melihat harta
benda yang kucintai, dan ketika dengan gembira aku berseru kepada
mereka, ‘Apa kabar teman-temanku yang baik!’ mereka akan berseri-seri
dengan indah, gembira aku sudah bangun!”

Buku, bagi beberapa orang merupakan catatan pribadi satu bab


kehidupan mereka. Secara fisik, ia menjadi saksi bisu pengalaman
pembacanya, artefak sejarah tempat berkumpulnya kenangan, misal
tentang siapa yang memberi buku itu pada kita, dimana kita saat
membacanya, berapa usia kita saat asyik membuka lembar demi
lembarnya, dan lain sebagainya.

Ada banyak buku yang saya baca saat kecil. Meskipun mencoba
mengingatnya dengan keras, terkadang saya pun lupa, buku mana yang
lebih dulu saya baca. Namun, bagi saya, buku yang paling penting (dan
berharga) di masa kecil saya adalah Little Women karya Alcott.

150
Tidak seperti kebanyakan buku yang saya baca di masa itu, yang
selalu berkisah tentang sekumpulan bocah laki-laki yang hobi
berpetualang, saya merasa, buku ini berkisah tentang diri saya dalam
tokoh Jo.

Jo, seorang maniak buku yang ceplas ceplos, apa adanya,


menyukai seni bermain peran, tokoh yang selalu saya kagumi hingga
menjadi role model saya hingga hari ini. Saya masih ingat bagaimana
membuka lembar demi lembar halaman yang telah menguning di kamar
tidur saya kala itu. Saya rasa, buku memang bukan hanya sebuah
kendaraan yang mengantarkan isinya pada pembaca, tetapi juga pada
kehidupan di saat kita tengah membacanya.

Ketika Gilkey bertemu Jo dan Faqih

Saya sedang membayangkan bagaimana jadinya bila hari ini John


Gilkey bertemu dengan Jo. Apa yang akan mereka obrolkan? Koleksi
buku-buku klasik yang mereka miliki? Kesepakatan bahwa Jo akan
memainkan naskah drama yang ditulis Gilkey? Ah, akan lebih baik jika
Profesor Bhaer (suami Jo) turut serta dalam obrolan mereka. Mungkin,
dia akan memberikan Jo dan Gilkey saran bacaan, atau memberikan
bukunya secara cuma-cuma untuk Gilkey agar dia tak mencuri lagi.
Bukankah Jo dan Profesor Bhaer mendidik anak-anak mereka dengan
baik? Saya rasa, Jo dan Bhaer bisa membujuk Gilkey untuk bertaubat.

Ah, tapi bagaimana jika Gilkey malah bertemu dengan Faqih.


Apa yang akan mereka obrolkan? Mungkin, mereka akan ngobrol soal
151
penghancuran buku yang dilsayakan dari masa ke masa: pembakaran
beribu koleksi kesusastraan China pada tahun 213 SM, pembakaran
buku-buku sastra oleh Nazi, penenggelaman buku-buku karya para
ulama Muslim di laut Merah, pelarangan buku-buku di zaman Orde
Baru, dan semakin sedikitnya buku tentang pemikiran Islam setiap
tahunnya.

Faqih akan katakan bahwa semakin minimnya buku tentang


pemikiran Islam merupakan pertanda kemunduran Islam. Sebab,
mereka yang katakan bahwa Al Qur’an dan Hadist adalah sumber
pedoman satu-satunya justru menunjukkan ketidakyakinan dan
kebuntuan mereka dalam mengartikulasikan apa yang Al Qur’an dan
Hadits sampaikan tentang masalah yang mereka hadapi hari ini. “We
never doing any reading process and too afraid for break the streamlines..”

Gilkey akan menepuk pundak Faqih dan berkata, “Jangan khawatir,


akan selalu ada kami, para kolektor buku, penyelamat peradaban, yang
sedia mengumpulkan buku-buku terlarang sebagai wujud penghargaan
kami terhadap ilmu pengetahuan. Sejarah sudah membuktikan. Buku-
buku merangkai sebenar-benarnya kisah. Tugas kita adalah menemukan
dan melakukan interpretasi secara objektif.” Mungkin demikian.

152
Tentang Penulis

Alikta Hasnah Safitri lahir 28 Februari 1994 di Kemangkon,


Purbalingga, Jawa Tengah. Jenjang pendidikan yang telah ditempuhnya
yaitu: MI Muhammadiyyah Senon, SMP Negeri 1 Kemangkon, dan
SMA Negeri 1 Purbalingga. Saat ini ia masih menempuh studi di
program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret dan Ilmu Komunikasi
Universitas Terbuka Surakarta. Sembari menempuh studi, ia juga
terlibat aktif dalam kepengurusan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia Komisariat Sholahuddin Al Ayyubi.

Selama menetap di Kota Solo, ia sering berlama-lama membaca di


perpustakaan, mengikuti berbagai seminar, serta menonton pertunjukan
seni.

Saran dan kritik dapat disampaikan pada penulis ke


aliktahasnahsafitri@gmail.com. Tulisannya yang lain bisa diakses di blog
pribadinya: aliktahassa.wordpress.com

153

Anda mungkin juga menyukai