Anda di halaman 1dari 51

MAHASISWA BERPERAN MEMBANGUN

PERADABAN GEMILANG

-MODUL PBAK 2022-


UIN SAYYID ALI RAHMATULLAH
i

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat sehat, nikmat,
ibadah, nikmat menuntut ilmu dan keberkahan dunia yang tak terhitung jumlahnya bagi kita
semua. Sholawat serta salam juga senantiasa tertuju kepada baginda Nabi Muhammad SAW,
rasul Allah yang menjadi suritauladan sepanjang masa bagi seluruh umat di Dunia.

Selamat datang dan selamat bersyukur karena telah hadir di Universitas Islam Negeri
Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung (UIN SATU Tulungagung) sebagai mahasiswa baru. Di
kampus ini adik-adikku, mahasiswa baru patut berbangga diri dan bersyukur, sebab UIN SATU
adalah salah satu perguruan tinggi Islam terbaik di Tulungagung bahkan di Jawa Timur. UIN
SATU sebagai kampus dakwah dan peradaban memiliki tekad kuad untuk senantiasa mencetak
generasi-generasi yang intelektual, bermoral, dan aktif brekontribusi dalam seluruh perjalanan
peradaban serta mensyiarkan nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan.

Berkuliah seringkali menjadi pilihan dan pertimbangan yang sulit bagi kawan-kawan
muda yang telah usai menempuh jenjang sekolah menengah umum atau kejuruan, banyak
kendala yang mesti diperhatikan mulai dari biaya, letak geografis rumah, bahkan jurusan
sebagai bentuk prospek pada cita-cita kelak. Tetapi yakinlah selalu, bahwa dengan memilih
UIN SATU sebagai rumah menuntut ilmu, insya Allah tidak akan ada sesuatu yang akan
disesali, sebab disini semua telah mencapai pada tahap akreditasi patut dibanggakan. Kondisi
kampus yang berprestasi juga tidak serta merta didapat dengan mudah, begitu juga kondisi
lulusannya yang selalu pada nilai yang memuaskan, semua butuh perjuangan dan doa yang
tidak putus-putusnya. Karena, setelah memutuskan untuk berkuliah di UIN SATU, sisanya
adalah komitmen diri untuk bersungguh-sungguh dalam tanggung jawab sebagai mahasiswa,
juga sebagai anak yang merantau jauh dari orang tua.

Diadakannya Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) ini menjadi


ruang bagi adik-adik mahasiswa baru untuk mengenal dan memahami segala instrument,
komponen, dan tujuan dari kampus UIN SATU. Dengan PBAK ini diharapkan mahasiswa baru
menjadi figur yang siap menyongsong era baru sebagai mahasiswa UIN SATU yang kelak
akan berkontribusi dalam dinamika peradaban, dengan berlandaskan keilmuan dan keagamaan
yang kokoh. PBAK 2022 mengusung tema “Mahasiswa Berperan, Menyongsong Peradaban
ii

Gemilang” memiliki filosofi dan tujuan untuk membentuk pribadi mahasiswa yang siap
menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kesejahteraan peradaban bangsa, dengan
segala peran yang dimilliki mahasiswa, tentunya mahasiswa menjadi main actor dalam
berbagai fenomena kehidupan sehingga aktualisasi peran positif harus ditingkatkan agar
menjamin mutu peradaban kedepan, menjadi mahasiswa kritis, transformatif, produktif, dan
bermoral merupakan goals PBAK tahun ini.

Melalui sambutan singkat ini, saya Abdurrahman Asyiddiqi Firdeva selaku Ketua
DEMA UIN SATU (Presiden Mahasiswa) tidak bisa mengungkapkan banyak pesan nasehat,
sebab sejauh ini pun kami masih terus berproses membenahi diri, sehingga kelak jikalau
bertemu, maka janganlah sungkan untuk saling menasehati, karena sesungguhnya ilmu serta
pengetahuan yang kami miliki belum tentu lebih baik dari adik-adikku yang mengagungkan
ilmu sebagai bekal dunia akhirat. Selanjutnya saya hanya bisa mengajak dan mendoakan adik-
adikku mahasiswa baru agar betah dan selalu bersemangat berkuliah di UIN SATU tercinta ini.
Tak perlu membanding-bandingkan dengan universitas lain jika itu hanya sekedar melihat dari
kemewahan bangunan dan fasilitas, sebab kualitas suatu kampus terletak pada kesungguhan
mahasiswanya berjuang memberikan manfaatnya untuk kampus maupun masyarakat, dan
bukan menuntut sesuatu yang sifatnya materi atau hal-hal yang dapat dijadikan alasan untuk
malas belajar. Kita mesti bersyukur, pendidikan dewasa ini telah sangat berkembang dan
memberikan kita banyak kemudahan dibanding kakak-kakak kita terdahulu pada saat
perjuangan membangun bangsa menjadi bangsa yang merdeka.

Wallahul Muwafiq Illa Aqwamit Thariq

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh

Ketua Umum

DEMA UIN SATU

ABDURRAHMAN ASYIDDIQI FIRDEVA


iii

KETUA PELAKSANA PBAK UIN SATU TULUNGAGUNG

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Salam Mahasiswa

Hidup Mahasiswa

Hidup Rakyat Indonesia

SELAMAT DATANG DI KAMPUS DAKWAH DAN PERADABAN!!!

Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah, Bertanah Air Satu, Tanah Air Tanpa Penindasan.

Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah, Berbangsa satu, Bangsa Yang Gandrung Akan
Keadilan.

Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah, Berbahasa Satu, Bahasa Tanpa Kebohongan.

Jika ada 1000 orang yang memperjuangkan kebenaran, maka pastikan aku satu diantarnya.

Jika ada 100 orang yang memperjuangkan kebenaran, maka pastikan aku satu diantarnya.

Jika ada 1 orang yang memperjuangkan kebenaran, maka pastikan dan saksikan itulah aku.

Segala puji bagi Allah SWT yang tak pernah berhenti mencurahkan nikmat dan
karunia- Nya yang kadang kita lupa bersyukur kepada-Nya. Dia yang telah memilih kita
diantara sekian banyak calon mahasiswa baru UIN SATU Tulungagung. Sholawat serta salam
semoga selalu membasahi lisan kita, yang kita persembahkan kepada suri tauladan dan Bapak
Revolusioner kita Rasulullah SAW, yang telah membawa kebenaran dan perubahan besar di
muka bumi.

Mahasiswa adalah manusia terpelajar yang memiliki pemikiran objektif, rasional dan
kritis, secara definisi mereka adalah pelajar yang paling tinggi levelnya. Sebagai pelajar dengan
level tertinggi maka dari itu mereka hanya tinggal menyempurnakan pembelajarannya
sehingga menjadi manusia terpelajar yang paripurna. Pada tataran implementasi sejatinya
mahasiswa memiliki kemampuan lebih dalam menerjemahkan ide atau gagasan, mereka adalah
agen of change (agen perubahan), mahasiswa merupakan penggerak perubahan ke arah yang
lebih baik. Mahasiswa juga sebagai moral force (penjaga moral), yaitu menjaga nilai-nilai baik
dalam masyarakat. Kaidah Fiqhnya adalah al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-
iv

jadid al-ashlah yang artinya melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai
baru yang lebih baik.

Mahasiswa harus memiliki peran sosial control terhadap kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara. Ketika ada kejadian yang tidak sesuai dengan cita-cita bangsa dan nilai luhur
bangsa, maka mahasiswa tidak hanya memberikan saran dan kritikan, namun yang terpenting
adalah solusi. Dengan begitu diharapkan arah kebijakan para pemimpin tidak sampai
melenceng. Mahasiswa juga mempunyai peran sebagai penjaga nilai (guardian of value), lebih
dari itu mahasiswa juga menyebarkan nilai-nilai luhur. Mahasiswa adalah penerus bangsa (Iron
Stock), dalam peran ini mahasiswa merupakan harapan bangsa sehingga mahasiswa
diharapkan mampu memiliki kemampuan dan akhlak mulia.

Dalam tugas pokok mahasiswa yang teetera pada Tri Dharma Perguruan Tinggi
menunjukkan bahwa peran yang diambil mahasiswa sangatlah ber efek besar bagi masyarakat.
dikarenakan mahasiswa sebagai penyalur aspirasi atau penyambung lidah rakyat maka
orientasi kepentingannya tidak terbatas pada gerakan yang menguntungkan pribadi tapi
gerakan yang bersifat universal sehingga seluruh lapisan masyarakat merasakan akibat dari
perbuatannya.

Tahun 1928 menjadi tahun kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan
aktivis pemuda. Dalam buku literasi politik (2019) yang ditulis Gun Gun Heryanto dan kawan-
kawan diungkapkan bahwa ikrar sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa merupakan
ikrar yang sangat monumental bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Makna yang
terkandung adalah peristiwa bersejarah itu mengajarkan nilai-nilai persatuan bangsa. Sumpah
pemuda membuktikan, perbedaan yang dimiliki bangsa Indonesia ternyata dapat disatukan
sebagai perwujudan Bhinneka Tunggal Ika.

Tahun 1945 adalah peran pemuda ketika kasus gerakan kelompok bawah tanah yang
terpaksa menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok dan mendesak agar segera
memproklamirkan kemerdekaan. Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa banyak
terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan orde baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah
angkatan ’66, yang menjadi kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara
sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Peristiwa Malari
(Malapataka 15 Januari 1974) adalah demonstrasi mahasiswa yang berujung kerusuhan besar.
Peristiwa ini berawal dari rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei ke
v

Indonesia dan juga kisruh investasi asing saat itu. Gerakan yang paling diingat adalah saat
tahun 1998, yaitu mahasiswa menuntut reformasi dan dihapuskannya ‘KKN” (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme) lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa dan akhirnya
memaksa presiden Soeharto melepaskan jabatannya.

Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) merupakan ajang untuk


memperkenalkan mahasiswa baru dengan civitas akademika dan dunia kampus. Kegiatan yang
dilaksanakan pada saat mahasiswa baru pertama kali memasuki UIN SATU Tulungagung
merupakan moment besar yang sangat penting agar kita saling kenal supaya tidak tersesat di
kampus dakwah dan peradaban ini. Diharapkan mahasiswa baru dapat mempunyai wawasan
memadai tentang budaya akademik terutama budaya belajar di perguruan tinggi. Tidak kalah
penting adalah dalam bidang kemahasiswaan yaitu kesempatan untuk mengembangkan minat
dan bakat. Kedua bidang ini harus dapat dikembangkan secara seimbang sehingga mahasiswa
tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, tetapi juga kecerdasan sosial dan yang tidak kalah
penting adalah kecerdasan spiritual.

Akhir kata, anak muda adalah antitesis segala yang mustahil, kita adalah sepucuk surat bagi
masa depan, kaki langit adalah tapal batas untuk di taklukkan. Tetap amalkan Dzikir, Fikir dan
Amal Sholeh.

Hidup Mahasiswa

Hidup Rakyat Indonesia

Wallahul muwaffiq illa aqwamit tharieq

Wassalamu’alaikum wr.wb

Tulungagung, 14 Agustus 2022

Ketua Pelaksana PBAK

UIN SATU Tulungagung,

Bayu Afrizal
vi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i


DAFTAR ISI......................................................................................................................................... vi
PENDIDIKAN ....................................................................................................................................... 1
Digitalisasi dan Dinamika yang Mengiringi ................................................................................... 1
Penguatan Moralitas Melalui Konsep Pendidikan ........................................................................ 6
KEBANGSAAN .................................................................................................................................. 10
Penguatan Moderasi Beragama Dalam Menyikapi Multikulturalisme ..................................... 10
Pentingnya Nasionalisme................................................................................................................ 12
Nasionalisme yang Berlandaskan Ketuhanan dan Kemanusiaan .............................................. 13
Pemahaman tentang Moderasi Beragama .................................................................................... 13
Moderasi Beragama Membangun Kesadaran Nasionalisme ...................................................... 14
KEISLAMAN ...................................................................................................................................... 20
Sejarah Perkembangan Islam Di Nusantara ................................................................................ 20
Peran Wali Songo Dalam Penyebaran Islam Di Indonesia: Meneladani Strategi Kebudayaan
Para Wali ......................................................................................................................................... 20
Peran Umat Islam Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia ............................................... 23
Islam Rahmatann Lil Alamin Sebagai Pelopor Perdamaian ...................................................... 24
KEMAHASISWAAN ......................................................................................................................... 28
Melacak Akar Identitas .................................................................................................................. 28
Refleksi Gerakan Mahasiswa......................................................................................................... 30
Mahasiswa dan Gerakan Moral .................................................................................................... 31
Fungsi Mahasiswa ........................................................................................................................... 34
STUDI GENDER ................................................................................................................................ 36
TENTANG PENULIS ........................................................................................................................ 41
1

PENDIDIKAN
Rizky A. Fahrezi

Digitalisasi dan Dinamika yang Mengiringi

Bicara tentang dunia Pendidikan memang tidak akan ada habisnya, sektor yang
memang salalu ada bahasan dan diskursus penting di dalamnya. Pendidikan merupakan
salah satu lini penting dalam perjalanan dinamika kehidupan, selalu ada saja topik
bahkan intrik yang mengiringi pelaksanaanya, dan hal tersebut harus menjadi prioritas
utama bagi segenap elemen kemasyarakatan untuk menyukseskannya, tatanan
peradaban tidak bisa dianggap baik-baik saja apabila isu-isu pendidikan tidak
ditanggapi dengan seksama atau dinomor duakan dari priotitas utama. Pendidikan
berkontribusi besar bagi segala aspek kehidupan generasi suatu peradaban, pendidikan
memberikan stimulus positif berupa penetahuan, budi pekerti, ketrampilan dan
pengalaman kepada seseorang yang dididik. Pendidikan berkedudukan sebagai salah
satu tempat utama seorang individu mendapatkan segala sumber pengetahuan dan jati
dirinya sebagai makhluk yang memenuhi fitrahnya. Pendidikan megambil peran dalam
menentukan arah perkembangan kebudayaan, pemikian, orientasi kehidupan, ekonomi
kesejahteraan, kekuasaan bahkan keagamaan. Dengan sebegitu besar kedudukan
pendidikan, maka segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan merupakan impact dari
penerapan sistem dan pengelolaan pendidikan di sebuah peradaban.

Pendidikan juga merupakan sebuah aktifitas yang memiliki maksud atau tujuan
tertentu yang diarahkan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki manusia baik
sebagai manusia ataupun sebagai masyarakat dengan sepenuhnya. Tujuan pendidikan
nasional seperti yang telah termaktub dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yaitu
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”. Kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan domain
utama dalam penyelenggaraan pendidika Indonesia, sehingga segala usaha dan upaya
dilakukan demi menciptakan generasi bangsa yang kompeten, bermutu, dan cerdas
2

dalam berbagai bidang, serta mampu melebur dengan arus perkembangan peradaban.
Tapi tidak hanya mumpuni dalam pengetahuan, pendidikan juga memiliki tujuan untuk
menciptakan generasi yang memiliki budi pakerti yang luhur, berakhlakul kharimah,
memiliki kecerdasan spiritual tinggi, dan memiliki ketrampilan unggul. Oleh karena
itu, kompetensi pendidikan bukan hanya berfokus pada domain kognitif, tetapi juga
afektif dan psikomotorik peserta didik.

Salah satu tantangan pendidikan saat ini adalah transisi peradaban menuju
peradaban digital (digitalisasi). Peradaban digital menuntut sektor pendidikan untuk
mampu membersamai penggunaan teknologi digital dalam berbagai proses
penyelenggaraan pembelajaran. Pembelajaran mulai dialihkan kedalam berbagai
media, platform, dan konten berbasis digital yang tersistem secara virtual atau online.
Hal yang menjadi perbincangan adalah mengenai bagaimana kesiapan mutu teknologi
dan SDM yang dimiliki Indonesia dalam menunjang penyelenggaraan pendidikan saat
ini, apakah Indonesia sudah dapat dikatakan berhasil dalam menyelenggarakan
pendidikan berbasis digital atau masih sangat perlu inovasi dan terobosan-terobosan
baru.

Secara Umum digitalisasi adalah proses peralihan media dari bentuk cetak,
audio, maupun video menjadi bentuk digital. Digitalisasi selaras dengan laju peradaban
dalam revolusi industri 4.0. Revolusi industri 4.0 merupakan era yang memungkinkan
seluruh entitas di dalamnya untuk saling berkomunikasi kapan saja secara real time
dengan memanfaatkan teknologi khususnya teknologi komunikasi, internet, dan
informasi. Instrumen terobosan yang menjadi diskursus utama dalam revolusi industri
4.0 adalah dengan penciptaan AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan,
teknologi nano, bioteknologi, teknologi kuantum, blockhchain, dan teknologi berbasis
internet. Tujuan dari diadakannya berbagai terobosan tersebut tidak lain adalah untuk
memindahkan peradaban yang semula dinilai sebagai pergerakan yang bersifat manual
menjadi semakin praktis dan simpel, menjadikan kehidupan manusia semakin ringkas
dan cepat, dan tidak dipungkiri juga sebagai ajang perlombaan berbagai negara maju
dalam menemukan teknologi-teknologi baru dalam mengelola bahkan menguasai
sistem peradaban dunia.
3

Salah satu bidang atau sektor yang beralih total dalam bentuk virtual atau digital
adalah sektor pendidikan. Pendemi memberikan dampak besar bagi penyelenggaraan
pendidikan. Seluruh elemen pendidikan seperti pendidik, peserta didik, dan staf
penyelenggara lain tidak diperkenankan untuk melaksanakan proses pembelajaran
secara tatap muka. Ketika pendidikan dialihkan dalam platform digital atau virtual
maka memerlukan sistem, aplikasi, metode, kurikulum, dan SDM pengajar yang lebih
mumpuni untuk menyukseskan pembelajaran, hal ini menjadi perbincangan panjang
pemerintah bersama intrumen penyelenggara pendidikan lain dalam mengatasinya.

Pengalihan pendidikan dalam bentuk virtual, daring, atau PJJ (Pendidikan Jarak
Jauh) menjadi diskursus utama seluruh ahli, pengamat pendidikan, dan pemangku
kebijakan pemerintahan, hal ini terkait bagaimana kesiapan sistem dan SDM
pendidikan nasional dalam menyambut era pendidikan virtual tersebut. Terlebih lagi,
dikarenakan keharusan pembatasan kerumunan dan interaksi masyarakat secara ketat,
Indonesia dan dunia tidak mempunyai pilihan lain selain menerapkan sistem virtual
dalam berbagai bidang kehidupan terkhsus pendidikan, dengan kata lain dalam satu
sudut pandang bisa dikatakan bahwa dunia terpaksa dalam penerapan era baru ini (era
virtual). Pandemi menyebabkan percepatan digitalisasi secara universal. Digitalisasi
bukanlah istilah baru yang muncul akibat adanya pandemi, digitalisasi merupakan suatu
istilah peradaban yang sudah menjadi isu perbincangan dari bertahun-tahun yang lalu,
dikatakan bahwa digitalisasi merupakan sebuah era mutlak adanya sebagai impact dari
penggunaan teknologi yang semakin maju, selaras dengan terobosan yang ditawarkan
oleh revolusi industri 4.0 bahwa teknologi merupakan skala priroritas dan acuan utama
manusia dalam menjalankan peradabannya.

Upaya terbesar yang dilakukan seluruh lembaga pendidikan dan perguruan


tinggi di Indonesia adalah menjaga nyala dan gairah belajar seluruh elemen pendidikan,
dalam hal ini media pembelajaran adalah kunci utama dan didukung oleh digital content
yang berkualitas. Muhamad Hasan Chabibie selaku Plt. Kepala Pusat Data dan
Teknologi Informasi Kemendikbud Ristek memberikan pernyataan terkait langkah
pengupayaan yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan kualitas media dan isi
konten di dalamnya. Kemendikbud Ristek mengeluarkan edaran terkait beragam
aplikasi yang dikembangkan yaitu rumah belajar, rumah edukasi, dan suara edukasi.
4

Beliau juga menyatakan bahwa Kemendikbud Ristek menganalisis segala kendala yang
dialami peserta didik dalam pembelajaran kemudian mengupayakan solusi untuk
menyelesaikannya, diantaranya seperti kendala gadget yang kurang memadai maka
pemerintah memberikan bantuan jutaan gadget dan menyelenggarakan program BDR
(Belajar Dari Rumah) lewat siaran televisi dan radio, kendala kuota yang mahal diatasi
dengan pemberian kartu paket dan kuota gratis, kemudian kendala konten yang diatasi
dengan peningkatan mutu SDM dan mutu aplikasi media yang digunakan.

Najeela Shihab selaku pendidik dan tenaga ahli pendidikan mengutarakan


bahwa pendidikan memiliki dimensi dan instrumen yang sangat luas, digitalisasi
merupakan salah satu masalah diantara ribuan permasalahan pendidikan yang harus
terselesaikan. Digitalisasi memberikan tantangan dan kesenjangan nyata yang membuat
seluruh lapisan penyelenggara pendidikan tertatih-tatih dan tergagap-gagap. Ketika
terjadi peralihan sistem pendidikan kedalam dunia virtual dan daring menimbulkan
berbagai problema seperti intensitas keterlibatan orangtua, kondisi geografi, anak yang
bekebutuhan khusus, pemahaman terkait materi, kedisiplinan, pembinaan kecerdasan
emosional peserta didik, dan masik banyak lagi. Banyak dari peserta didik yang
melontarkan pertanyaan menohok seperti, masih relevankah pendidikan? Untuk apa
menempuh jenjang pendidikan kalau ujungnya tak faham?. Digitalisasi merupakan
sistem yang ditujukan dengan perbaikan kualitas setiap personality peserta didik, bukan
perbaikan sistem dan media melulu yang seakan selalu menjadi prioritas utama. Inovasi
bukan hanya menyangkut supervisual (gadget, teknologi dll.) tetapi inovasi dalam
pedagogik baru dan kompetensi baru bagi peserta didik. Tantangan nyata digitalisasi
bukan hanya soal learning loss atau kesulitan dalam melaksanakan pembelajaran tetapi
juga penyikapan terkait kebutuhan sosial emosional peserta didik termasuk academic
integrity atau kedisiplinan yang harus juga diutamakan.

Aju Widyasari selaku Direktur Telekomunikasi Kementerian Komunikasi dan


Informatika juga memberikan statement terkait penyikapan terhadap problem
digitalisasi pendidikan. Beliau menyatakan bahwa banyak daerah yang belum
terakomodir secara sempurna, terkhusus daera 3T (terluar, tertinggal, terdepan) yang
belum tercover internet 4G. Disini yang dilakukan pemerintah beserta seluruh elemen
lain adalah menyediakan akses internet yang berupa kuota gratis dan infastruktur
5

komunikasi yang menjangkau daerah 3T tersebut, akses internet yang diprioritaskan


minimal telah 4G.

Semakin majunya teknologi digital juga menjadi poin tersendiri untuk selalu
disikapi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menawarkan beragam
kemudahan dan keuntungan, namun di sisi lain terdapat dampak buruk yang menjadi
hal berbahaya apabila tidak ditanggapi dan disikapi. Perkembangan media digital
mengakibatkan terbukanya beragam akses informasi yang mejadikan semakin
mudahnya faham dan konten diserap oleh masyarakat, tak terkecuali informasi yang
mengarah pada ujaran kebencian, konten negatif, bahkan faham radikal, hal ini sangat
perlu untuk disikapi mengingat kurangnya benteng atau pengetahuan yang dimiliki
masyarakat dalam melakukan penyaringan terhadap beragam informasi. Salah satu
impact yang dirasakan akibat perkembangan teknologi dengan mudahnya akses
informasi adalah degradasi moral anak akibat kesalahan konsumsi media atau
kesalahan penafsiran.

Dewasa ini masyarkat Indonesia merupakan masyarakat modern yang serba


kompleks. Kondisi ini diakibatkan oleh kemajuan teknologi, mekanisasi, dan
industrialisasi yang memunculkan banyak masalah sosial. Masalah-masalah sosial yang
dianggap sebagai sosiopatik, secara sosial dikenal dengan patologi sosial seperti
penyimpangan tingkah laku, struktur-struktur yang menyimpang, kelompok-kelompok
deviasi, peranan-peranan sosial, status dan interaksi simbolis yang keliru. Melemahnya
moral generasi masa kini merupakan permasalahan serius yang sudah sangat banyak
ditemui disekitar kita seperti seorang anak yang tidak hormat kepada yang lebih tua,
siswa yang mengolok-olok guru, kenakalan remaja dll. Lunturnya moralitas generasi
masa kini menjadi problematika tersendiri yang segera harus ditangani, mengingat
generasi muda adalah penerus tonggak perjalanan bangsa kedepan, ditangan pemudalah
nasib bangsa ditentukan.

Salah satu bentuk penyikapan kita sebagai generasi muda bangsa khsusnya
sebagai mahasiswa yang terdidik adalah dengan bijak menggunakan teknologi untuk
kemaaslatan, tidak mudah terbuai oleh beragam fitur kemudahan yang di berikan oleh
kemajuan teknologi masa kini, dengan keterbuaian yang berlebih akan menjadikan kita
sebagai generasi yang konsumtif dan mudah tergiring oleh kebudayaan yang
6

terkandung pada media saat ini, pribadi yang konsumtif akan menjadikan mental-
mental yang mudah dimanfaatkan oleh teknologi bukan mental seorang penggerak atau
petarung.

“Be the master of technology don’t be mastered by technology”

“Jadilah tuan dari teknologi, jangan mau dipertuan oleh teknologi”

Mahasiswa sebagai figur yang responsif, adaptif, dan akseleratif dalam


menyikapi dan menciptakan berbagai bentuk solusi terhadap segala sesuatu yang
menyangkut tuntutan kebutuhan masa kini. Menjadikan beragam kemajuan teknologi
sebagai ajang produktivitas diri untuk kesejahteraan dan kemakmuran, bukannya
termanfaatkan oleh teknologi yang akhirnya membuat sebuah keterlenaan sehingga
menjadikan keterbelakangan. Teknologi merupakan aset besar yang mendukung
berbagai kemudahan untuk mencapai taraf kegemilangan, tapi ketika teknologi tidak
mampu dimanfaatkan dengan tepat maka akan menimbulkan berbagai permasalahan
bahkan kehancuran. Mahasiswa menjadi nahkoda bangsa Indonesia yang akan
menentukan nasib bangsa kedepan. Generasi dalam usia produktif yang harus benar-
benar mampu memanfaatkan segala potensi dan kemajuan peradaban sebagai sarana
untuk meningkatkan produktivitas. Menjadi generasi yang memiliki daya saing untuk
memenuhi segala tuntutan zaman dan tak mudah tereduksi oleh beragam pengaruh
buruk dari kemajuan peradaban.

Penguatan Moralitas Melalui Konsep Pendidikan


Pendidikan merupakan upaya untuk mendewasakan manusia dalam berbagai
segi. Setiap pengalaman yang memiliki efek formatif pada cara orang berpikir, merasa,
atau tindakan dapat dianggap pendidikan. Pendidikan umumnya dibagi menjadi tahap
seperti prasekolah, sekolah dasar, sekolah menengah dan kemudian perguruan tinggi,
universitas atau magang. Pendidikan dilaksanakan melalui berbagai proses, baik
informal, formal maupun nonformal. Terutama pelaksanaan pendidikan di Indonesia,
pendidikan dilaksanakan dalam tiga lembaga tersebut.
Namun, praktik pendidikan di Indonesia, dalam kapasitas pendidikan formal,
cenderung lebih berorientasi pada pendidikan yang berbasis hard skill (keterampilan
teknis) yaitu pendidikan yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient (IQ),
namun kurang mengembangkan kemampuan soft skill yang tertuang dalam emotional
7

intelligence (EQ), dan spiritual intelligence (SQ). Pembelajaran juga harus berbasis
pada pengembangan soft skill (interaksi sosial) sebab ini sangat penting dalam
pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral,
sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Pendidikan soft skill bertumpu pada
pembinaan mentalitas agar peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan realitas
kehidupan. Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan
keterampilan teknis (hard skill) saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan
orang lain (soft skill).
Pendidikan karakter yang merupakan salah satu sarana soft skill yang dapat
diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran
yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu
dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Bahkan setiap materi dalam sebuah mata pelajaran perlu diintegrasikan dengan
pendidikan karakter. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya
pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Hal ini menjadi penting, khususnya bagi peserta didik di Indonesia pada dekade
akhir-akhir ini. Akhir-akhir ini peserta didik mengalami krisis moral. Sebuah krisis
yang menyerang generasi muda, khususnya pada usia sekolah. Anak muda Indonesia
saat ini mengalami krisis moralitas dan intelektualitas dalam level yang
mengkhawatirkan. Banyak kasus kenakalan remaja yang menggambarkan bagaimana
kondisi mental anak muda kita saat ini yang sedang ‘sakit’. Mungkin berlebihan jika
dikatakan demikian, tetapi bisa jadi perbuatan tersebut merupakan keluaran dari sikap
tidak peduli dengan lingkungan, tidak peduli dengan orang lain, hilangnya sopan-
santun, jauh dari agama, dan segala sifat ‘tidak baik’ lainnya yang sudah sangat akut.
Pendek kata, anak muda kita sedang mengalami krisis moralitas. Fakta lain bisa disebut:
tawuran, penyalahgunaan narkoba, seks bebas dan sebagainya. Sehingga, pendidikan
karakter perlu diimplementasikan secara lebih maksimal supaya dapat membendung
berbagai krisis moral yang terjadi tersebut. Terutama yang terjadi di sekolah, integrasi
pendidikan karakter tidak boleh gagal. Pendidik harus mampu dan bisa
mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam pembelajaran, ekstra kurikuler dan
8

budaya sekolah supaya mampu menjadi dasar soft skill yang kedepannya akan menjadi
cikal bakal generasi emas Indonesia.
Pendidikan karakter merupakan hal yang sangat penting untuk senantiasa
disukseskan dalam setiap penyelenggaraan pendidikan. Menurut Ratna Megawangi,
adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan
dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka
dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Karakter adalah
kualitas mental, atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi.
Menurunnya kualitas moral dalam kehidupan manusia Indonesia dewasa ini,
terutama di kalangan generasi muda, menuntut deselenggarakannya pendidikan
karakter. Lembaga pendidikan dituntut untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya
untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu para
pesera didik dalam membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai
yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada nilai-nilai
tertentu seperti rasa hormat, tanggung jawab, jujur, peduli, adil dan membantu peserta
didik untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan mereka sendiri.
Di era globalisasi ini, yang paling banyak terjadi krisis moral, sebagai
contohnya adalah pergaulan antara anak laki-laki dan anak perempuan sudah terlewat
bebas, sudah jadi dari kata normal. Itu disebabkan dari kurangnya pendidikan moral
yang Ia dapat dan kurangnya keimanan mereka. Sekarang kita harus menyadari bahwa
pendidikan moral sangatlah penting. Tidak hanya untuk anak remaja saja, tetapi namun
juga berlaku untuk semua usia. Pendidikan moral harus diajarkan sejak dini sehingga
nantinya akan terbiasa untuk melakukannya, hal ini juga untuk membentuk kepribadian
seseorang.

Integrasi pendidikan karakter merupakan aspek yang urgen dalam mengatasi


masalah krisis moral. Maka dalam implementasi integrasi pendidikan karakter di
lembaga pendidikan dilakukan dalam tiga wilayah, yaitu melalui pembelajaran,
melalui ekstra kurikuler dan melalui budaya pendidikan. Usaha yang demikian tersebut
merupakan usaha lembaga pendidikan untuk mengatasi krisis moral yang terjadi pada
diri peserta didik, dimana pada akhir-akhir ini cukup parah.
9

Pengertian pendidikan karakter secara terintegrasi di dalam proses


pembelajaran adalah pengenalan nilai-nilai, fasilitasi diperolehnya kesadaran akan
pentingnya nilai-nilai, dan penginternalisasian nilai-nilai ke dalam tingkah laku peserta
didik sehari-hari melalui proses pembelajaran baik yang berlangsung di dalam maupun
di luar kelas pada semua mata pelajaran. Pada dasarnya kegiatan pembelajaran, selain
untuk menjadikan peserta didik menguasai kompetensi (materi) yang ditargetkan, juga
dirancang dan dilakukan untuk menjadikan peserta didik mengenal, menyadar atau
peduli, dan menginternalisasi nilai-nilai dan menjadikannya perilaku.
10

KEBANGSAAN

Oleh : Ahmad Muzakki, S.H, Ahmad Fahrur Rozi

Penguatan Moderasi Beragama Dalam Menyikapi Multikulturalisme

Indonesia dengan keanekaragaman budaya, agama, suku, bahasa yang dimilikinya


menunjukkan sebagai salah satu bangsa yang memiliki masyarakat multikultural.
Keanekaragaman menjadi rahmat tersendiri jika dikelola dengan baik, menjadi keunikan dan
kekuatan, namun pluralitas demikian dapat menjadi tantangan jika tidak disikapi dengan bijak
dan arif, dapat menjadi ancaman perpecahan dan perseteruan yang dapat mengoyak keamanan
sosial.

Keragaman budaya merupakan peristiwa alami karena bertemunya berbagai perbedaan


budaya di suatu tempat, setiap individu dan kelompok suku bertemu dengan membawa perilaku
budaya masing-masing, memiliki cara yang khas dalam hidupnya. Konsep multibudaya
berbeda dengan konsep lintas budaya sebagaimana pengalaman bangsa Amerika yang
beragam budaya karena hadirnya beragam budaya dan berkumpul dalam suatu negara. Dalam
konsep multibudaya perbedaan individu meliputi cakupan makna yang luas, sementara dalam
konsep lintas budaya perbedaan etnis yang menjadi fokus perhatian.

Multikulturalisme secara kebahasaan dapat dipahami dengan paham banyak


kebudayaan. Kebudayaan dalam pengertian sebagai idiologi dan sekaligus sebagai alat menuju
derajat kemanusiaan tertinggi. Maka untuk itu penting melihat kebudayaan secara fungsional
dan secara operasional dalam pranata-pranata sosial.

Secara istilah dikenal multikulturalisme deskriptif dan multikulturalisme normatif.


Multikulturalisme deskriptif adalah kenyataan sosial yang mencerminkan adanya
kemajemukan (pluralistik). Sedangkan multikulturalisme normatif berkaitan dengan dasar-
dasar moral, yaitu adanya ikatan moral dari para warga dalam lingkup negara/ bangsa untuk
melakukan sesuatu yang menjadi kesepakatan bersama (Nugraha, 2008), dan multikulturalisme
normatif itulah tampaknya yang kini dikembangkan di Indonesia.

Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan


tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan
11

sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang


sama dan mempunyai kebanggaan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut.

Konsep multikulturalisme tidak asing di dunia Islam, setidaknya memiliki pengalaman


historis yang menguatkan bahwa Islam menghargai keragaman, sebagaimana dipraktikan
Rasul dalam pemerintahan Madinah.

Multikultralisme memiliki relevansi dengan ajaran Islam antara lain dalam toleransi,
perdamaian dan keadilan. Pertama, Toleransi, sebagaimana Al-Qur’an Surat Al Hujuraat : 13
yang menegaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan bermacam-macam suku
bangsa agar manusia saling mengenal. Bahwa perbedaan tidak boleh menjadi ajang konflik,
karenanya harus dihargai. Dengan saling mengenal maka jalan menuju kehidupan multikultural
akan terbuka.Kedua, Perdamaian. Islam berasal dari akar kata ”al-Salam” yang berarti
perdamaian. Islam mengajak umatnya untuk melakukan dan menyebarkan perdamaian di muka
bumi. Dalam QS al-Baqarah [2]: 208, ”Udkhulu fi al-silmi kaffah ” – yang selama ini sering
diterjemahkan ”masuklah ke dalam agama Islam secara kaffah”- jika meng-gunakan konsep
multikultural ada yang melakukan reorentasi pemahaman yang mendekati konsep
multikulturalisme yaitu dengan menyatakannya sebagai kebersediaan untuk masuk ke dalam
perdamaian secara kaffah (total). Makna ini berbeda dengan makna secara literer yang
menegaskan perbedaan secara sepihak, dan menafikan keberadaan entitas lain dalam
kehidupan. Ketiga, Keadilan Multikultural menekankan berlaku adil dalam memandang dan
bersikap terhadap orang atau kelompok lain. Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 8 ”Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil ”.
Ayat ini mengajak untuk berlaku adil sekalipun terhadap orang atau kelompok yang memusuhi
kita. Berlaku adil maksudnya hendaklah kita tetap berlaku ”obyektif” terhadap mereka. Jika
prinsip ini menjadi ruh kehidupan kita, maka kehidupan multi-kultural akan dapat terwujud.

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang pluralistik dan memiliki
dua modalitas penting yang membentuk karakternya yang multikultural, yaitu demokrasi dan
kearifan lokal (local wisdom) sebagai nilai yang dipercaya dan dipahami dapat menjaga
kerukunan umat beragama.

Dalam keragaman bangsa Indonesia, secara historis dan sosiologis agama Islam dianut
mayoritas bangsa Indonesia, namun jika dilihat tingkat provinsi atau daerah, misalnya
12

kabupaten/ kota maka terdapat agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu yang
menjadi mayoritas di lingkungan tersebut.

Fakta dan data keragaman agama di Indonesia menunjukkan bahwa keragaman agama
ini merupakan mozaik yang memperkaya khazanah kehidupan keagamaan di Indonesia,
namun di sisi lain keragaman agama juga mengandung potensi ancaman bagi persatuan Negara
Republik Indonesia. Disinilah diperlukan keterlibatan seluruh warga masyarakat dalam
mewujudkan kedamaian.

Tugas untuk menyadarkan masyarakat tentang multikultural ini tidaklah mudah,


bahkan membangun kesadaran kalangan masyarakat bahwa kebhinekaan adalah sebuah
keniscayaan sejarah. Menanamkan sikap yang adil dalam menyikapi kebinekaan adalah
perkara yang lebih sulit, karena, penyikapan terhadap kebhinekaan kerap berimpitan dengan
pelbagai kepentingan sosial, ekonomi, dan politik.

Indonesia yang secara kodrati majemuk memiliki akar kultural yang cukup kuat dan
memiliki modal sosial sebagai landasan moderasi beragama. Dalam konteks ke-Indonesia-an,
konsep moderasi beragama telah memiliki landasan yang sangat kuat, bahkan menjadi
semangat atas terbentuknya negara ini. Dengan berbagai latar belakangnya yang berbeda, baik
agama, etnis dan kepentingan politiknya, para fundingfathers faktanya lebih mengedepankan
jalan tengah dan bersatu dan membentuk sebuah kesepakatan bersama.

Moderasi Beragama adalah bagian dari ajaran Islam dimana kita di ajarkan untuk
memiliki komitmen Kebangsaan, bersikap toleransi, bersikap anti radikalisme dan kekerasan
serta bersikap ramah terhadap budaya dan relegion lokal. Maka dengan demikian membangun
kesadaran nasionalisme melalui moderasi beragama sangatlah penting mengingat masyarakat
indonesia yang agamis.

Pentingnya Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation yang artinya bangsa. Nasionalisme adalah
kecintaanya pada tanah air yang menjadikan sekelompok besar orang menetap disuatu wilayah
ditanah air serta memiliki tujuan dan cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa.

Nasionalisme sebagai penyokong tergapainya pembangunan dan cita-cita bangsa, maka


sebuah bangsa harus memiliki nasionalisme yang kuat. Dengan nasionalismelah Indonesia
dapat sejajar dan bersaing dengan negara-negara lain. Adanya nasionalisme menjadikan bangsa
13

dan negara tetap berdiri. Tanpa nasionalisme, sebuah bangsa dan negara tidak akan bisa
bertahan. Rasa nasionalisme adalah yang membuat suatu negara masih berdiri. Bayangkan saja
jika suatu bangsa sudah tidak mencintai tanah airnya sendiri. Tingkat kejahatan, kekerasan,
Konflik, pertikaian, kerusakan dimana-mana. Produk dalam negeri tidak laku, kesenian dan
kebudayaan ditinggalkan, bahkan kekayaan negara digadaikan.

Nasionalisme yang Berlandaskan Ketuhanan dan Kemanusiaan


Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memberikan penghormatan kepada nilai-nilai
keagamaan. Nilai-nilai Ketuhanan termuat dalam Pancasila sila pertama, yaitu Ketuhanan yang
Maha Esa. Rasa nasionalisme yang ada sejalan dengan pikiran dasar keimanan kita, tidak
berlebihan sehingga tidak menimbulkan radikalisme. Warga negara wajib memiliki jiwa
nasionalisme yang melihat segala perbedaan melalui sisi ketuhanan dan sisi kemanusiaan.

Agama merupakan sebuah keyakinan yang secara hakiki bersifat pribadi. Dalam hal ini
tiap-tiap individu menerapkan tindakan yang bersifat universal. Mereka bersentuhan dengan
alam, lingkungan dan sesama. Maka dalam menerapkan perilaku hidup beragama diperlukan
sikap moderat.

Pemahaman tentang Moderasi Beragama


Moderasi beragama disebut-sebut sebagai jalan tengah di tengah keragaman agama di
Indonesia. Sikap moderat dalam beragama berasal dari konsep "tawasuf", karena dalam segala
aspek ajarannya islam itu berkarakter moderat. Kita dianjurkan untuk tidak berlebih-lebihan
dalam beragama atau bersikap esktrim. Dalam beragama yang perlu dihindari adalah sikap
yang terlalu berlebih-lebihan. Sikap tidak berlebih-lebihan tersebut diambil dari konsep al
wasathiyah yang dalam islam memiliki makna seimbang.

Moderasi beragama menjadi paham keagamaan keislaman yang mengejewantahkan


ajaran islam yang sangat esensial. Ajaran yang tidak hanya mementingkan hubunagan baik
kepada Allah, tapi juga yang tak kalah penting adalah hubungan baik kepada seluruh manusia.
Bukan hanya pada saudara seiman tapi juga kepada saudara yang berbeda agama.

Moderasi islam lebih mengedepankan persaudaraan yang berlandaskan pada asas


kemanusiaan, bukan hanya pada asas keimanan atau kebangsaan. Pemahaman seperti itu
menemukan momentumnya dalam dunia islam secara umum yang sedang dilanda krisis
kemanusiaan dan Indonesia secara khusus yang juga masih mengisahkan sejumlah persoalan
14

kemanusiaan akibat dari sikap yang kurang moderat dalam beragama. Konsekuensinya,
perkembangan hukum islam menjadi dinamis dan sesuai zaman.

Ada tiga kunci seseorang bisa menerapkan moderasi beragama, yaitu pengetahuan,
mengganti emosi keagamaan dengan cinta agama, dan selalu berhati-hati. Dengan tiga kunci
inilah seseorang dapat menerapkan wasathiyah atau moderasi beragama.

Moderasi Beragama Membangun Kesadaran Nasionalisme


Moderasi beragama tidak berarti bahwa mencampurkan kebenaran dan menghilangkan
jati diri masing-masing. Sikap moderasi tidak menistakan kebenaran, kita tetap memiliki sikap
yang jelas dalam suatu persoalan., tentang kebenaran, tentang hukum suatu masalah, namun
dalam moderasi beragama, kita lebih pada sikap keterbukaan menerima bahwa diluar diri kita
ada saudara sebangsa yang juga memiliki hak yang sama dengan kita sebagai masyarakat yang
berdaulat dalam bingkai kebangsaan. Orang memiliki keyakinannya sendiri-sendiri, ada agama
yang mesti dihormati dan diakui keberadaannya, untuk itu perlu terus bertindak dan beragama
secara moderat.

Kehidupan berbangsa dan bernegara akan lebih tertata apabila tiap-tiap orang
menanamkan nilai-nilai moderasi beragama. Tidak akan ada konflik yang terjadi karena
perbedaan ras. Sikap fanatik dan ektremisme tidak akan ditemukan. Tindakan radikal dan
terorisme tidak akan terjadi. Karena tiap-tiap orang saling menghargai, mengedepankan
toleransi, hidup dengan seimbang, tidak ada ujaran kebencian ataupun deskriminasi terkait
apapun perbedaan yang terlihat. Dengan menerapkan nilai-nilai moderasi beragama,
kerukunan dan keharmonisan dapat terjalin, maka kesadaran nasionalisme akan mengikuti.
Masa depan dan kemakmuran negara ditentukan oleh bangsa itu sendiri, demikian apabila tidak
dapat berbuat baik janganlah berbuat jahat. Apabila tidak dapat bertutur kata lembut, diamlah.

Kesemua konsepsi dasar diatas pada dasarnya bermuara dalam diskursus akan
pentingnya penguatan Kebangsaan. Awal NKRI lahir dan bertumbuh sukar untuk dipisahkan
dari penguatan masyarakat adat, bangsa, etnis yang ada di Indonesia secara komprehensif. Jika
saja para tokoh visioner, yang menginginkan terbentuknya pribadi bnagsa yang kuat dan bebas
dari bayang-bayang kekuasaan atau hegemoni sosio-budaya bangsa lain dan tidak memiliki
visi untuk merivatalisasi proses kebudayaan warga negaranya, maka dapat dipastikan bahwa
Indonesia Merdeka hanya sekedar formalitas dari respon dangkal akan adanya kolonialisme,
imperialism bangsa Barat. Padahal ikhtiar dalam mengkikis mentalitas inlander complex tidak
15

dapat dilakukan sambil lalu, melainkan irisan dari pekerjaan berat dari pengembangan mental
bangsa. Pekerjaan semacam ini dikenal sebagai pembangunan karakter bangsa atau dalam
istilah lain; national character building (NCB). Dalam struktur NCB ini pada tahun 1945
Soekarno mempopulerkan dan mengakampanyekan terminologi Gotong Royong pengistilahan
ini dimaksudkan sebagai bagian esensial dari revitalisasi nilai sosio budaya dan adat istiadat
pada masyarakat transsuku bangsa di Indonesia agar terbebas dari dominasi sosial, ekonomi,
politik, serta ideologi asing yang tidak mengindahkan bangsa Indonesia yang plural dan
majemuk ini.

Perihal heterogenitas adalah hal yang nisbi dan sukar untuk dihindari, terutama
menyangkut bangsa Indonesia. Perbincangan seksi ini dapat dengan mudah ditemui dalam
masyarakat kita, di pos ronda, warung makan, dalam proses transaksional orang-orang di pasar
tradisional, bahkan semudah mendengarkan lagu yang lagi viral di laman media sosial.
Fenomena ini lahir dari rahim sejarah dalam proses pembuahan nasionalisme di Indonesia,
yakni lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908, diikuti ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928,
yang mengilhami lahirnya konsep bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia dan berbahasa
Indonesia. Proses nasionalisme tersebut berlanjut dan melandasi perjuangan-perjuangan
berikutnya hingga lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
setelah melalui proses yang sangat panjang dan berat. Keberhasilan bangsa Indonesia lepas dari
penjajahan melalui perjuangannya sendiri juga melahirkan pengakuan dunia bahwa
nasionalisme Indonesia termasuk salah satu yang terkuat karena hanya sedikit negara dari dunia
ketiga yang mampu merdeka melalui proses revolusi (Hara, 2000).

Di pihak yang lain mungkin kita diuntungkan, kita beragam,banyak gelar kita dapatkan,
misalnya negara paling teduh, toleransi dijunjung tinggi di atas bumi Indonesia. Pun tidak
menutup kemungkinan akan berlaku dengan nafas paradoksial dalam segi praksis.
sederhananya term kebangsaan ialah eksponen daripada eksistensi negara Indonesia : yang
menjadi modal awal dalam membentuk rasa nasionalisme, cinta tanah air, bela negara dan
segala hal yang berkaitan erat dengan ikhtiar untuk mencipta kesadaran kolektif bahwa
keberlanjutan Indonesia terletak pada setiap individu yang sadar dan berpikir akan tanggung
jawabnya sebagai warga negara Indonesia.

Adalah Ben Anderson. Dalam ceramahnya yang bertajuk Nasionalisme Kini dan Esok
di Jakarta mengenai kontinuitas bangsa Indonesia di masa depan, Anderson mengatakan bahwa
16

kebesaran jiwa bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang majemuk sangat penting bagi
kelanjutan bangsa ini. Oleh karena itu nasionalisme, atau semangat kebangsaan, merupakan
suatu proyek bersama yang senantiasa harus diperjuangkan. Bangsa Indonesia harus mampu
mengambil pelajaran dari beberapa negara yang hancur akibat warganya berjiwa kerdil. Data
yang dipaparkan oleh Sudjatmiko (1999) menunjukkan bahwa pada abad ke-20 terdapat lebih
dari sepuluh kasus disintegrasi, antara lain Korea Utara-Korea Selatan (1948), Jerman Barat-
Jerman Timur (1949), Malaysia-Singapura (1965), dan Uni Soviet (1990). Data sepanjang
tahun 1945–1995 mencatat terjadi 38 perang, 64 kasus separatisme dan 62 konflik ideologi
atau faksional. Kasus separatisme yang terjadi di benua Afrika tercatat 21 kasus, Timur Tengah
12 kasus, Asia Selatan 10 kasus, Asia Tenggara 11 kasus, Asia Timur 1 kasus, Eropa Timur 2
kasus, Eropa Barat 2 kasus dan Uni soviet 5 kasus.

Celakanya, proses pendangklan definisi terhadap apa itu nasioanalisme dewasa ini
marak terjadi. Nasionalisme diartikan secara cepat-cepat sebagai perjuangan yang seolah-olah
menghalalkan segala cara demi negara yang dicintai. akar masalahnya ada disini, kedunguan
pendefinisian atas nasionalisme menyebabkan makna yang tersimpan di dalamnya sudah tidak
relevan lagi, usang. polemik mutakhir sudah selesai menyoal tentang kolonialisme, penjajah;
semua itu kelewat klise. Menurut hemat penulis, nasionalisme mencakup konteks yang lebih
luas dan plastis, menyangkut persamaan keanggotaan dan kewarganegaraan dari kesemua
kelompok etnis dan budaya di dalam wadah bersama satu bangsa. Dalam struktur dasar
nasionalisme pun diperlukan satu kebanggaan untuk menampilkan identitasnya, kebangsaan
sendiri merupakan proses yang lahir karena dipelajari dan bukan sekedar warisan yang turun
temurun dari satu periodesasi masyarakat (berhubungan dengan temporalitas kolektif).

Masyarakat multikultural merupakan identitas sekaligus kekayaan sosial dari bangsa


Indonesia, namun mutakhir elan vital ini tengah diretas pelbagai polemik dari berbagai arah ;
dari kiri, kanan, tengah ataupun yang belum jelas arah datangnya diskursus itu dilesatkan.
Manusia dalam semua penghayatan dan sikap-sikapnya didorong oleh tanggung jawab
terhadap sesama. Dalam merespon kemudian menyikapi akan fenomena ini, peran pemuda
sebagai ; garda depan bangsa Indonesia mempunyai tanggung jawab lebih daripada
kategorisasi dalam masyarakat secara luas / umum. Terdapat banyak ide, pun banyak pula
metode interpretasi untuk bagaimana kiranya tindakan yang mencocoki dalam ikhtiar
pencegahan berupa gerakan preventif transformatif. Dalam konteks Indonesia, ketegangan
17

antara identitas primordial sebagai misal ; agama, budaya, kesukuan ataupun kecenderungan
dengan partai politik sangat mungkin untuk memantik berbagai gejolak lahirnya konflik.

Hubungan antarmanusia dalam ruang lingkup yang paling primordial pun


memproyeksikan ketidakharmonisan di sana, relasi gender di antara laki-laki dan perempuan,
relasi antar agama dan ragam hubungan sosial yang lainnya. Secara khusus dalam konteks
keberagaman di Indonesia, melalui paradigma apa kita menaruh pemaknaan objektif perihal
keberagaman tersebut ? Pada masyarakat selalu muncul ke permukaan suatu eksterioritas, di
mana relasi antara aku dengan yang lainnya menemukan ruang. Maka kurang indah jika
membatasi orang lain secara cepat-cepat hanya karena mempunyai perbedaan identitas, entah
itu suku, agama, atau mahdzab tertentu saja. Keberagaman dapat diartikan sebagai kesadaran
kemudian kesediaan menerima kelompok diluar identitas pribadi individu dengan porsi yang
sama sebagai kesatuan (unity). Dalam hal ini, setiap keunikan ; individu dilihat sebagai refleksi
dari kesatuan sosial serta budaya. Artinya setiap identitas yang melekat dalam keperbedaan
musti dimaknai bahwa dari perbedaan ; setiap individu akan saling menopang dan melengkapi
dalam relasi sosialnya.

Masalahnya kemudian adalah sejauh mana pengetahuan dan implementasi serta


kesadaran akan tanggung jawab individu menyangkut relasi sosialnya dengan orang di luar
dirinya. Mengapa demikian, di Indonesia sendiri polemik ketidakindahan sosial masih
berlangsung geliatnya sampai dewasa ini, celakanya fenomena demikian tidak dianggap
sebagai penting oleh sebagian masyarakat, mereka cenderung membiarkan, dan menafsirkan
bahwa itu merupakan hal lumrah ; biasanya seperti itu. Berangkat dari permasalahan seksi ini,
penulis bermaksud memberikan satu cara pandang dalam meretas nilai toleran dalam ruang
keberagaman. Berdasarkan data dari BPIP (18/12/20) melalui ; Staf Khusus Ketua Dewan
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Romo Antonius Benny Susetyo mengakui kasus
intoleransi di Indonesia mengalami peningkatan. Menurutnya salah satu yang mendominasi
kasus ini adalah pendirian rumah ibadah yang sangat sulit dan hak-hak minoritas. Dalam kasus
intoleran, tidak mungkin lahir begitu saja tanpa ada garis epistemologi yang jelas atau
penyebab, biang keladi dari sikap intoleran adalah overclaim individu atau kelompok terhadap
apa yang diyakini sebagai benar, dan untuk manusia di luar identitasnya dimaknai sebagai yang
salah, dan pasti tidak benar.
18

Dalam ranah tanggug jawab analogi verbalis ini mungkin dapat memberikan satu
pandangan untuk meretas polemik intoleran di Indonesia, “Saya mengerti tanggung jawab
sebagai tanggung jawab atas orang lain, jadi seperti tanggung jawab pada apa yang adalah
bukan perbuatan saya, atau untuk apa yang bahkan bukan persoalan atas saya ;atau yang mana
justru melakukan persoalan terhadap saya, adalah bertemu dengan saya seperti wajah”. Artinya
subjek bukanlah bagi dirinya, tapi untuk seorang lain. Subjek menjadi subjek karena
bertanggung jawab atas orang lain. Saya memberikan perhatian bukan bagi diriku sendiri,
namun pertama-tama bagi orang lain yang memandatangiku dengan wajah identitas
kediriannya. Saya bertanggung jawab atas orang lain tanpa menunggu (mengharapkan)
balasan, saya mati karena hal itu. Artinya aku boleh memberikan hidupku bagi orang lain tanpa
aku menuntut orang lain menjadikan mereka sebagai keuntungan bagiku. Ini bersifat pamrih,
unconditional love. Sederhananya, relasi sosial atas keberagaman itu senantiasa being-for
karena itu bersifat asimetris. Aku-bagi-KAmu tidak boleh dibalik menjadi Kamu-bagi-Aku.

Kewajiban etis yang muncul dengan muka harus dipahami secara asimetris. Bahwa apa
yang diberikan pada orang lain, tidak boleh dituntut balas. Proses “Perjumpaan” akan kokoh
direalisasikan apabila ada tindakan konkret dan tak menuntut balasan dari pihak yang lain. Oleh
karenanya, titik temu bagi saya yang memungkinkan perjumpaan yang sungguh-sungguh
dalam pluralitas hidup beragama di Indonesia adalah tanggung jawab. Namun demikian,
penting untuk digarisbawahi bahwa tanggung jawab itu musti berakar dari kesadaran kemudian
kesediaan pribadi, menghayati esensi ajaran agama yang dianut (tanggung jawab iman) tanpa
kebablasan sehingga menjadi inspirasi tindakan nyata dalam situasi apapun saat bertemu
penganut agama lain. Dengan menghayati ajaran imannya, pribadi akan selalu diingatkan,
bahwa “saya adalah orang yang harus melakukan kebaikan, tidak menuntut dan menunggu
orang lain. Menghayati dan mengaktualisasikan ajaran masing-masing agama akan terasa lebih
kuat pesannya (tegas) jika disertai dengan kesediaan orang per orang mengubah nilai-nilai
Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bertanah air Indonesia menjadi cara hidup.
Tidak cukup hanya sebagai ajaran yang bersifat retoris tetapi menjadi kiblat perilaku setiap
individu maupun kelompok sosial masyarakat.

Konsekuensi logis dari proses redefinisi di atas terkait nasionalisme musti dibumikan
dalam wujud tindakan, respon dan tindakan kongkrit. implementasi dari sikap setidaknya
diwujudkan melalui totalitas warga negara dengan pijakan dasar ; unsur-unsur nasionalisme itu
sendiri.Yakni cinta tanah air dan bangsa, berpartisipasi dalam pembangunan, misalnya dalam
19

hal regulasi kebijakan publik, basis ekonomi, politik, budaya dst dengan orientasi masa depan.
Yang tidak kalah penting dan musti dianggap sebagai penting adalah proses kampanye
deradikalisasi dalam korelasinya pada bela negara. secara artian bahasa dekat dengan tindakan
preventif kaitannya dengan counter maraknya gerakan terorisme. atau gerakan sosial yang
membahayakan dengan cara pendekatan tanpa kekerasan. Gerakan deradikalisasi ini dalam
skala kecil dapat dilakukan pada mahasiswa di perguruan tinggi, mengingat di dalam kampus
adalah lahan subur tumbuhnya gerakan radikal berbasis intelektualitas berbalut keagamaan.
Caranya melalui PBAK atau OSPEK, yakni dengan penanaman nilai-nilai nasionalisme,
deradikalisasi, toleransi, gotong royong dsb. tentu dengan garis epistemologi khas mahasiswa,
yakni pada tahapan awal harus melakukan identifikasi dan penilaian, rehabilitasi, reedukasi,
dan reintegrasi sosial serta dilaksanakan melalui pembinaan wawasan kebangsaan, pemahaman
atas agama secara teks-kontekstual.
20

KEISLAMAN
Oleh: Hirzuddin Al-Bashor

Sejarah Perkembangan Islam Di Nusantara


Penyebaran islam adalah satu proses yang penting dalam sejarah Indonesia, penyebaran
islam sendiri bemuara pada hadist nabi Muhammad SAW yang berbunyi “Ballighu anni walau
ayatan” (sampaikan apa yang dari aku walau satu ayat) yang kiranya mendorong para saudagar
Arab menyebarkan islam di nusantara meskipun pada berabad abad kemudian islam lebih
banyak di anut oleh para pedagang Cina.

Islam sudah masuk ke Indonesia sejak pertengahan abad ke-7 Masehi. Menurut P.
Wheatley dalam The Golden Kersonese: Studies in the Historical Geography of the Malay
Peninsula Before A.D. 1500, yang paling awal membawa seruan Islam ke Nusantara adalah
para saudagar Arab, yang sudah membangun jalur perhubungan dagang dengan Nusantara jauh
sebelum Islam. Kehadiran saudagar Arab (tazhi) di Kerajaan Kalingga pada abad ke-7, yaitu
era kekuasaan Rani Simha yang terkenal keras dalam menjalankan hukum, diberitakan cukup
panjang oleh sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang. S.Q. Fatimi dalam Islam Comes to
Malaysia mencatat bahwa pada abad ke-10 Masehi, terjadi migrasi keluarga-keluarga Persia
ke Nusantara.

Pada dasawarsa akhir abad ke 13 Marcopolo menuliskan ketika singgah di negeri


bernama perlak disitu masih terbagi dalam tiga golongan masyarakat yaitu muslim china,
muslim arab-persia, dan masyarakat pribumi yang masih memuja roh roh. Dalam catatan
sejarah juga disebutkan dalam 7 kali muhibahnya juru tulis cheng ho mencatat ajaran islam
belum di anut oleh pribumi.

Ma huan pengikut cheng ho mencatat bahwa pada kunjungan cheng ho ketujuh di


rentang 1433 masyarakat di sepanjang pantai utara jawa terdiri atas tiga golongan: muslim
china, muslim persia-arab, dan pribumi yang masih kafir. Itu artinya sejak masuknya islam di
rentang tahun 674 M – 1433 dalam delapan ratus tahun islam masih belum di anut secara besar
besaran oleh penduduk pribumi.

Peran Wali Songo Dalam Penyebaran Islam Di Indonesia: Meneladani Strategi


Kebudayaan Para Wali
Wali Songo sekumpulan tokoh penyebar islam pada perempat akhir abad ke-15 hingga
paruh abad ke 16 adalah tonggak terpenting dalam sejarah penyebaran islam di Jawa dan
21

nusantara. Dikatakan sebagai tonggak terpenting penyebaran islam karena sejak saudagar arab
masuk pada tahun 674 M tidak serta merta di barengi dengan penyebaran agama islam secara
massif di kalangan penduduk pribumi sampai pada kemunculan tokoh di jawa yang di sebut
wali songo.

Dalam historiograf jawa disebutkan pada awal dasawarsa 1440 an datang dua saudara
dari champa yang tua bernama ali murtolo (murthado) yang muda bernama ali rahmatullah
bersama sepupu mereka abu hurairah. Ali Rahmatullah diangkat menjadi imam di Surabaya
dan kakaknya diangkat menjadi Raja Pandhita di Gresik. Berpangkal dari keluarga asal
Champa inilah penyebaran agama Islam berkembang di wilayah Majapahit terutama setelah
putra-putra, menantu-menantu, kerabat, dan murid-murid dua orang tokoh kakak-beradik itu
berdakwah secara sistematis melalui ‘jaringan’ dakwah yang disebut “ Wali Songo”, yang
menurut perkiraan, dibentuk pada pertengahan dasawarsa 1470-an.

Historiograf Jawa, Cirebon, dan Banten menggambarkan tokoh-tokoh Wali Songo


dengan berbagai kisah keramat. Masing-masing tokoh dikisahkan memiliki kemampuan
suprahuman berupa karomah-karomah yang menakjubkan yang dengan cepat menarik
perhatian masyarakat untuk diislamkan. Sementara itu, fakta sejarah menunjukkan bahwa
setelah dakwah Islam dijalankan Wali Songo, Islam berkembang sangat pesat di kalangan
pribumi. Tome Pires ahli obat-obatan yang menjadi duta Raja Portugal di Cina yang
mengunjungi Jawa pada tahun 1515 M dalam buku Suma Oriental yang ditulis di Malaka,
mencatat bahwa wilayah di sepanjang pantai utara Jawa dipimpin oleh adipati-adipati muslim,
dan fakta yang sama disaksikan oleh A. Pigafetta yang berkunjung ke Jawa pada tahun 1522
M.

Dalam kenyataannya, para wali telah merumuskan strategi dakwah atau strategi
kebudayaan secara lebih sistematis, terutama bagaimana menghadapi kebudayaan Jawa dan
Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat, dan sangat mapan. Ternyata, para wali
memiliki metode yang sangat bijak. Mereka memperkenalkan Islam tidak serta merta, tidak
ada cara instan, karena itu mereka merumuskan strategi jangka panjang. Tidak masalah kalau
harus mengenalkan Islam pada anak-anak. Sebab, mereka merupakan masa depan bangsa.
Dalam hal ini, tentu dibutuhkan ketekunan dan kesabaran.

Dalam strategi dakwah yang digunakan para wali dan kemudian diterapkan di dunia
pesantren, para kyai, ajengan, atau tuan guru mengajarkan agama dalam berbagai bentuk.
22

Dalam dunia pesantren, diterapkan fi qhul ahkâm untuk mengenal dan menerapkan norma-
norma keislaman secara ketat dan mendalam, agar mereka menjadi muslim yang taat dan
konsekuen. Tetapi, ketika masuk dalam ranah masyarakat, diterapkan fi qhul dakwah, ajaran
agama diterapkan secara lentur, sesuai dengan kondisi masyarakat dan tingkat pendidikan
mereka. Dan, yang tertinggi adalah fi qhul hikmah, di mana ajaran Islam bisa diterima oleh
semua kalangan, tidak hanya kalangan awam, tetapi juga kalangan bangsawan, termasuk
diterima oleh kalangan rohaniwan Hindu dan Buddha serta kepercayaan lainnya.

Para wali sebagaimana para nabi, bukan rohaniwan yang hanya tinggal di padepokan
dan asrama, tetapi selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendalami
ilmu, sekaligus menyiarkan Islam. Mereka itu ibarat danau, memiliki kerohanian yang
mendalam dan pemikiran serta hati yang jernih. Karena itu, mereka selalu didatangi orang-
orang yang membutuhkan kedamaian rohani. Selain itu, mereka juga seperti sungai yang
mengalirkan air dari danau ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga mereka yang jauh dari
mata air dan jauh dari danau pun, bisa tersirami rohaninya.

Kemampuan para wali menggalang kepercayaan umat melalui perjalanan dakwah yang
tidak kenal lelah dibarengi apresiasi yang sangat tinggi pada agama lama: Hindu, Buddha,
Tantrayana, Kapitayan maupun lainnya, dan kematangannya dalam mengelola budaya,
membuat ajakan mereka diterima oleh hampir seluruh penduduk Nusantara. Apalagi,
sebagaimana dicatat dalam buku ini, masing-masing wali memiliki tugas dan peran sendiri-
sendiri, sehingga tidak ada bidang strategis yang luput dari perhatian mereka, mulai dari soal
kerohanian, tata kemasyarakatan, strategi kebudayaan, pengaturan politik kekuasaan, usaha
peningkatan perekonomian, pengembangan kesenian, dan sebagainya.

Strategi para wali dalam mengembangkan ajaran Islam di bumi Nusantara dimulai
dengan beberapa langkah strategis. Pertama, tadrîj (bertahap). Tidak ada ajaran yang
diberlakukan secara mendadak, semua melalui proses penyesuaian. Bahkan, tidak jarang secara
lahir bertentangan dengan Islam, tapi ini hanya strategi. Misalnya, mereka dibiarkan minum
tuak, makan babi, atau memercayai para danyang dan sanghyang. Secara bertahap, perilaku
mereka itu diluruskan. Kedua, ‘adamul haraj (tidak menyakiti). Para wali membawa Islam tidak
dengan mengusik tradisi mereka, bahkan tidak mengusik agama dan kepercayaan mereka, tapi
memperkuatnya dengan cara yang islami.
23

Para wali sadar betul bahwa kenusantaraan yang multietnis, multibudaya, dan
multibahasa ini bagi mereka adalah anugerah Allah yang tiada tara. Belum lagi kondisi
alamnya yang ramah, iklimnya yang tropis, tidak ekstrem: tidak terlalu panas tidak pula terlalu
dingin. Ditambah dengan keanekaragaman hayati yang sangat kaya sumber mineral. Ini yang
mereka pahami, sehingga mereka mensyukurinya dengan tidak merusak budaya yang ada atas
nama Islam dan sebagainya. Ini sesuai dengan perintah Allah sebagaimana disebutkan dalam
al-Qur’an surah an-Naml [27]: 40: “Ini termasuk anugerah Tuhanku untuk mengujiku apakah
aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya)” Tentu saja anugerah agung ini patut disyukuri
dengan dilestarikan dan dikembang-kan; bukan diingkari dengan dibabat dan dihancurkan atas
nama kemurnian agama atau atas nama kemodernan. Islam hadir justru merawat, memperkaya,
dan memperkuat budaya Nusantara sehingga bisa berdiri sejajar di samping peradaban dunia
yang lain.

Peran Umat Islam Dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia


Tidak bisa di pungkiri bahwa banyak sekali masyarakat muslim yang ikut berjuang
dalam kemerdekaan indonesia, bisa di lihat dari pola gerakan dakwah para ulama yang di situ
juga menyisipkan nilai-nilai kebangsaan dan nasionalisme, tokoh tokoh tersebut seperti HOS
Cokroaminoto, kyai Agus salim dan banyak lagi tokoh yang lainnya. Begitu juga dalam
mempertahankan kemerdekaan Indonesia para ulama ikut ambil peran demi terselenggaranya
negara Indonesia yang bebas dan makmur.

Peran umat Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia sudah dilakukan


sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam. Masuknya bangsa Barat ke Indonesia yang dimulai pada
awal abad ke-16 langsung mendapat perlawanan dari kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara.
Misalnya seperti Kerajaan Malaka melawan Portugis, Kerajaan Ternate melawan Portugis, dan
Kerajaan Banten melawan Belanda. Kegigihan pihak kerajaan Islam dalam melawan penjajah
membuat bangsa Barat kesulitan untuk bisa sepenuhnya menguasai wilayah di Nusantara.
Meskipun pada akhirnya, tidak sedikit juga kerajaan Islam di Indonesia yang sempat jatuh ke
tangan Belanda.

Terlepas dari itu, semangat perjuangan yang dimiliki umat Islam pada masa itu masih
terus membara. Hal itu dibuktikan dengan perlawanan yang tidak pernah berhenti dari tokoh-
tokoh di kerajaan Islam Nusantara. Misalnya seperti perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa dari
Kesultanan Banten, perlawanan Pangeran Antasari di Banjar yang didukung para ulama dan
santri, perlawanan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Islam, serta perlawanan Pangeran
24

Diponegoro. Dalam Perang Diponegoro yang berlangsung antara 1825-1830, para pemimpin
umat Islam melawan bangsa Eropa hingga mampu menewaskan sekitar 8.000 pasukan
penjajah.

Perlawanan para ulama terhadap penjajah Selain dipimpin oleh para tokoh dari kerajaan
Islam, perlawanan terhadap bangsa penjajah juga dilakukan sendiri oleh para ulama. Para
ulama memimpin perlawanan bersama rakyat Indonesia hingga terbentuk gerakan-gerakan
sosial di kawasan Nusantara. Peran ulama dalam kemerdekaan Indonesia sangat penting Salah
satu contohnya pada Perang Padri di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Imam Bonjol. Akibat
Perang Padri, timbul gerakan-gerakan Islam seperti Gerakan 3 Haji di Lombok, Gerakan R
Gunawan di Jambi, Gerakan H. Aling Kuning di Kalimantan Timur, Gerakah KH. Wasit dari
Cilegon, dan masih banyak lagi. Selain itu, muncul juga berbagai laskar perjuangan berbasis
Islam, seperti Laskar Hizbullah-Sabilillah, yang diteruskan Asykar Perang Sabil dan beberapa
laskar Islam lainnya. Laskar Hizbullah dibentuk sebagai laskar perjuangan semi-militer dari
sebuah kelompok Islam yang dilandasi dengan niat jihad fi sabilillah, yaitu berjuang
menegakkan agama dan negara.

Laskar Hizbullah berperan aktif dalam Pertempuran Surabaya melawan Sekutu pada 10
November 1945 di Surabaya. Selain itu, umat Islam juga membantu Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) atau sekarang TNI, untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) lewat strategi gerilya melawan penjajah. Di samping melalui perlawanan fisik,
perjuangan meraih kemerdekaan juga dicapai dengan mengandalkan kekuatan ilmu. Hal ini
dibuktikan dengan lahirnya Sarekat Islam pada 1911 yang memiliki gagasan revolusioner
untuk melepaskan rakyat Indonesia dari jeratan Belanda. Setelah itu, disusul lahirnya
Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1912, Persatuan Islam pada 1923 di Bandung, di Surabaya
lahir Nahdhatul Ulama pada 1926, serta di Sumatera lahir Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
dan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permi).

Islam Rahmatann Lil Alamin Sebagai Pelopor Perdamaian


Sedari awal Islam mengajarkan kepada pemeluknya perihal pentingnya menjalin
hubungan yang ramah dalam bingkai toleransi antarumat beragama. Hal ini tidak lain selain
sebagai bukti bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw merupakan ajaran rahmat
bagi alam semesta. Untuk menumbuhkan nilai-nilai toleransi, yang harus dipahami pertama
kali adalah kesadaran bahwa perbedaan dalam agama merupakan hal niscaya yang memang
25

tidak bisa dihindari, bahkan Al-Qur’an juga mengafirmasi perihal kebebasan tersebut. Allah
swt berfirman,

‫ِين‬ َ ‫لَ ُك ْم دِينُ ُك ْم َول‬


ِ ‫ِي د‬

Artinya, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS Al-Kafirun [109]: 6).

Ayat ini menjadi bukti bahwa fakta adanya agama lain tidak bisa dibantah. Memang, umat
Islam mesti meyakini bahwa hanya ajaran agamanya yang paling benar. Namun, dalam konteks
relasi bermasyarakat, klaim itu tidak boleh sampai mengganggu, apalagi menegasikan,
penganut agama-agama lain untuk hidup dengan aman. Selain itu, ayat ini juga menjadi
sebuah pesan tentang kebebasan beragama, bahwa Islam tidak mengajarkan pemaksaan.
Keragaman agama adalah sebuah fakta yang niscaya, dan Islam mendorong umatnya untuk
hidup berdampingan secara damai dengan umat-umat lainnya, tanpa saling menjelekkan.
Rasulullah juga menerapkan nilai-nilai toleransi ini, dan jejak yang paling kentara adalah saat
dirumuskannya Piagam Madinah.

Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa sikap toleransi
antarumat beragama seharusnya menjadi kesadaran bagi semua umat manusia. Sebab, dengan
toleransi, kerukunan bisa terjalin, kedamaian bisa tercipta di mana-mana, hingga bisa
meminimalisasi perilaku kontraproduktif terhadap kerukunan antaragama. Selain itu, persatuan
antarmanusia juga akan tercipta tanpa memandang latar belakang agama mereka masing-
masing (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir fil Aqidah wasy Syariah wal Manhaj,
[Damaskus, Bairut, Darul Fikr, cetakan kedua: 2000], juz I, h. 298).

Selain penafsiran di atas, ada ayat lain yang justru menjadi dalil paling pokok perihal
spirit diutusnya Rasulullah saw, yaitu:

َ‫س ْلنَاكَ ِإ اَّل َر ْح َمةً ل ِْل َعالَمِ ين‬


َ ‫َو َما أَ ْر‬

Artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107).

Pada ayat di atas, Allah hendak menegaskan kembali bahwa di antara tujuan diutusnya Nabi
Muhammad adalah untuk menanamkan kasih sayang kepada semua umat manusia, bahkan
kepada seluruh alam, tanpa memandang latar belakangnya. Selain itu, yang dimaksud rahmat
pada ayat di atas adalah tidak menjadikan ilmu pengetahuan tentang agama Islam sebagai
26

media propaganda dan pemecah belah umat. Sebab, persatuan merupakan salah satu sendi-
sendi Islam dan kekuatan paling solid sebagai agama yang menjunjung nilai-nilai persatuan.

Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Jabir bin Musa bin Abu Bakar al-Jazairi
dalam kitab tafsirnya, bahwa tidak sepatutnya ilmu pengetahuan dijadikan sebuah legitimasi
propaganda dan perpecahan,

ِ‫سبَبًا فِ ْي الفُ ْرقَ ِة َو ْالخِ ََلف‬


َ ِ‫فَ ََل يَ ْنبَغِي أ َ ْن يَ ُك ْونَ ْالع ِْل ُم َو ْال َم ْع ِرفَةُ ِبش ََرائ ِِع هللا‬

Artinya, “Maka tidak sepatutnya, ilmu dan pengetahuan perihal syariat-syariat Allah,
dijadikan sebagai media propaganda dan perpecahan.” (Al-Jazairi, Aisarut Tafasir li Kalamil
Kabir, [Maktabah Ulum wal Hikmah, cetekan empat: 2003], juz 1, halaman 357).

Untuk menciptakan persatuan antarumat beragama, tidak ada cara paling tepat selain
berlaku toleran, ramah, dan penuh kasih sayang kepada mereka. Oleh karenanya, toleransi
menempati posisi sangat penting dalam ajaran Islam itu sendiri. Syekh Sulaiman al-Jamal
dalam salah satu kitabnya juga memberikan penjelasan perihal kata rahmat pada frase
rahmatan lil 'alamin dalam ayat di atas. Beliau mengatakan,

‫س ُر ْوا َربَا ِعيَتَهُ َحتاى خ اَر ُم ْغ ِشيًّا‬ َ ‫ أ َ ََّل ت ََرى أَنا ُه ْم لَ اما‬. َ‫ َوه َُو كاَنَ َرحِ ْي ًما بِ ْالكَاف ِِريْن‬.‫الرحِ ْي ُم‬
َ ‫شج ُّْوهُ َو َك‬ ‫ا َ ْل ُم َرادُ بِ ا‬
َ ‫الر ْح َم ِة‬
َ‫ قَا َل بَ ْعدَ اِفَاقَتِ ِه اللهم ا ْه ِد قَ ْومِ ى فَإِنا ُه ْم ََّل يَ ْعلَ ُم ْون‬.ِ‫علَ ْيه‬
َ

Artinya, “Yang dimaksud dengan rahmat adalah ar-rahim (bersifat penyayang).

Nabi Muhammad saw adalah orang yang bersifat penyayang kepada orang kafir. Tidakkah
Anda lihat, ketika orang kafir melukai Nabi dan mematahkan beberapa giginya, hingga ia
terjatuh dan pingsan, kemudian ketika sadar ia berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah! Berilah
hidayah untuk kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui’,” (Sulaiman al-Jamal,
al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain lid Daqaiqil Khafiah, [Lebanon, Bairut,
Darul Kutub Ilmiah] juz V, h. 176).

Pada keadaan yang sangat genting, bahkan nyawa hampir terancam, justru Rasulullah
menampakkan kasih sayangnya yang sangat tinggi. Beliau tetap ramah kepada mereka yang
bukan hanya menolak risalah beliau, melainkan juga hendak membunuh Nabi. Jika dalam
keadaan seperti itu saja Rasulullah bersikap toleran kepada pemeluk agama lain, maka sudah
menjadi kewajiban dalam keadaan damai, seperti di Indonesia, toleransi menjadi sikap yang
harus dipedomani semua umat beragama.
27

Oleh karenanya, dalam konteks masyarakat yang majemuk, setiap pemeluk agama
harus menyadari bahwa perbedaan agama adalah realitas kehidupan dan suatu keniscayaan
yang tidak bisa dihindari. Dengan menyadari hal tersebut, kita semua berinteraksi dengan baik
kepada siapa saja selama itu mendorong terwujudnya kehidupan yang adil dan damai.
28

KEMAHASISWAAN

HANYA SEBATAS PENGANTAR


SELEBIHNYA ANDA CARI SENDIRI
Oleh: M. Atho’Illah Naufal F., Gilang Tahes Pratama

Melacak Akar Identitas


Mahasiswa memang selalu menarik dan ada-ada saja yang diperbincangkan, mulai dari
sekte atau madzab dan paradigma apa yang ia anut hingga kebiasaan apa yang selalu ia lakukan.
Beberapa hal lain mahasiswa juga memiliki sebuah kemenarikan yang dimana hal ini lebih
bertendensi pada bagaimana upaya mahasiswa dalam menyusun sebuah bangunan dengan
struktur pondasi idealisme dan menemukan paradigma berpikir yang metodologis, sistematis,
utuh dan kokoh, hal ini sejalan dengan yang pernah diutarakan oleh Alim Harun Pamungkas,
(2018).

Ada banyak sekali parameter mahasiswa yang di amini dalam skala sosial seperti
halnya tiga golongan besar, yakni mahasiswa aktivis, mahasiswa akademis hingga mahasiswa
romantic. Saya sangat tertarik untuk menyajikan tiga kelompok golongan mahasiswa ini ya
walaupun secara fundamental sosial ada banyak pilihan yang dapat ditempuh untuk
mengaktualisasikan diri, lebih dari sekadar dikotomi naif yang cenderung agak dipaksakan itu.
Sebenarnya ketika kelompok atau golongan tersebut berada pada ranah yang berseberangan,
namun ketiganya tetap saja memiliki titik singgung satu sama lain. Labelisasi yang saya
paparkan ini memang sebuah label yang cenderung bisa dikatakan dangkal dan tidak pada
tempatnya (namun tak berlaku zdolim). Akan tetapi sekali lagi saya memberikan disclaimer
sebagai bentuk ilustrasi pendahuan yang dimana kategorisasi tersebut cukup relevan untuk
dipajang sebagai awalan tulisan ini.

Banyak sekali stigma sosial yang mengatakan bahwa ukuran seorang aktivis adalah
gaya berpakaian yang semrawut, mata lebam kurang tidur, nilai akademik hancur, dan
memasang tampang tokoh revolusioner Kuba Che Guevara, tokoh aktivis seperti Widji Thukul
hingga Munir pada kaos oblong warna hitam. Tentu saja hal ini sah-sah saja mengenakan kaos
bergambar wajah garang tokoh-tokoh tersebut. Tetapi, menjadi sangat lucu, konyol dan tidak
tahu malu, jika pemakai t-shirt tidak tahu, apalagi tidak mau tahu tentang siapa dan bagaimana
29

sesungguhnya perjuangan tokoh tersebut. Jika hal ini benar-benar terjadi, jangankan teman
disekitarnya, mungkin semesta akan tertawa terbahak-bahak melihat mahasiswa semacam itu.

Setiap hal yang memiliki fungsi pasti memiliki ciri khas, nilai dasar serta esensi yang
selalu bersemayam dalam materi tersebut. Sebagai contoh sebilah pedang akan tetap memiliki
kekhasan yakni kuat dan tajam. Contoh lain kita dapat melihat seekor kuda yang memiliki
kekuatan tubuh serta kecepatan. Jika sebuah pedang kekilangan kekhasannya sebagai benda
tajam dan kuat mungkin hanya akan menjadi alat cungkil kelapa, demikian juga jika kita
melihat kuda yang kehilangan kekuatan serta kecepatannya maka ia hanya akan dianggap
sebagai keledai yang tak lebih hanya digunakan sebagai pengangkut barang saja. Dalam
perspektif ini saya tidak mungkin menyudutkan serta melegitimasi mahasiswa sebagai sebilah
pedang ataupun seekor kuda. Saya hanya memberikan sedikit analogi dangkal perihal pedang,
kuda dan mahasiswa.

Ali Syariati (1993), dalam kerucut sosialnya, menempatkan mahasiswa pada bagian
atas (bukan pucuk) kerucut. Bagian atas kerucut yang menyempit, kata Syariati, menandakan
bahwa secara kuantitas / jumlah kelompok ini tidaklah banyak. Kontras dengan bagian alas
kerucut yang semakin lebar. Mereka adalah kelompok awam (masyarakat) dengan jumlah
banyak, yang memang membutuhkan pencerahan dari kelompok di atasnya (mahasiswa).

Seyogyanya seorang mahasiswa memiliki kesadaran untuk belajar dan memperkaya


intelektual secara mendalam, menyelidik, menganalisis, mensintesis, dan menemukan puing-
puing kebenaran. Hal cemacam ini akan membangun jiwa ilmiah mahasiswa yang khas sebagai
seorang intelektual. Nilai-nilai yang khas semacam ini perlu dibumikan dalam sikap dan
tindakan, bukan berhenti pada orientasi pikiran belaka. Sebab, mahasiswa bukanlah sesosok
intelektual langit, bukan pula seorang intelektual yang hanya berputar-putar dan terjerembab
dalam dunia wacana, hingga akhirnya merasa puas dan kecukupan yang akhirnya nanti akan
berhenti pada perubahan pola pikir. Perubahan pola pikir perlu diiringi dengan perubahan pola
tindak. Itu yang penting !!

Adalah Antonio Gramsci seorang filsuf Italia, penulis serta teoritikus politik. Anggota
pendiri yang juga pernah menjadi pemimpin Partai Komunis Italia. Dalam sebuah catatan
sejarahnya Gramsci juga sempat menjalani pemenjaraan pada masa berjayanya rezim Fasis
Benito Mussolini. Tulisan Gramsci menitikberatkan pada analisis budaya serta kepemimpinan
politik. Salah satu dawuh Gramsci yakni mahasiswa merupakan intelektual organik.
30

Di mata Gramsci, kaum intelektual tidak bisa berdiri bebas jika di masyarakatnya masih
tumbuh subur penindasan dalam segala bentuknya. Keberpihakan, kata Gramsci, adalah suatu
tindakan moral. Hal ini sejalan dengan apa yang ditegaskan Julien Benda (1997). Menurut
Julien, tugas seorang intelektual yakni mengabadikan dirinya dalam mempertahankan nilai
abadi yaitu la Justice, la Verite, et la Rasion (kebenaran, keadilan, dan rasio) bukan mengabdi
pada kepentingan politik, apalagi uang dengan menggunakan embel-embel kepentingan rakyat
sebagai senjata andalan.

Akhirnya kita akan mengetahui berarti memikul tanggungjawab untuk bertindak!.


Adalah pikir (akal), bibir (ucapan) dan lahir (tindakan) yang ilmiah perlu dilestarikan dalam
segala aktivitas seorang mahasiswa. Tidak terlalu penting membedakan latar belakang, minat,
kelompok, serta dalam wadah apa mahasiswa menjalankan misi ke”mahaan”nya. Hal yang
terpenting adalah bagaimana mahasiswa bergulat untuk menemukan kebenaran-kebenaran
obyektif bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.

Refleksi Gerakan Mahasiswa


Banyak sekali kegundahan yang lahir atas gerakan mahasiswa generasi milenial yang
mungkin saja sebagian orang ada saja tak pro ataupun juga tak kontra. Beberapa gerakan
mahasiswa dapat dilihat secara gamblang telah mengalami sedikit banyak pergeseran.
Muhammad Al-Fayyadi dalam tulisannya menyoal gerakan mahasiswa juga menyinggung ini
dengan hipotesis yang menerangkan bahwa kemunduran gerakan mahasiswa itu disebabkan
oleh faktor budaya-ini pendapat yang sepertinya paling banyak dianut pengamat gerakan
mahasiswa. Yang dimaksud dengan faktor budaya kurang lebih adalah faktor yang
mengondisikan kehidupan mahasiswa saat ini dari segi-segi kebiasaan, tindak-tanduk, perilaku,
atau minat mahasiswa secara individual dan komunal. Kata kunci bagi faktor ini sederhana:
“gaya hidup”.

Dalam pembahasaan yang lebih sederhana kemunduran gerakan mahasiswa disebabkan


oleh perubahan gaya hidup mahasiswa itu sendiri karena perubahan lingkungan kultural di
mana mahasiswa hidup sehari-hari. Budaya pop sering ditunjuk sebagai biangnya. Pergeseran
gerakan mahasiswa disebabkan oleh pengaruh gaya hidup mahasiswa dan aktivis-aktivisnya
yang semakin terpesona oleh budaya modern yang, kita tahu, dimotori oleh teknologi-
informasi, hiperrealitas media, dan dunia hiburan semata. Secara realitas apa saja yang
menyenangkan, itulah yang penting. Secara logis, karena gerakan mahasiswa tidak
memberikan kesenangan, minat mahasiswa untuk terjun di sana dengan sendirinya merosot.
31

Cara pandang ini dianut utamanya oleh para pengkaji cultural studies, yang mendasarkan
analisisnya pada politik dan budaya.

Banyak juga sebuah problematika yang akhirnya akan menjadi dasar atas apa yang telah
telah terjadi pada lini pergerakan mahasiswa, beberapa diantaranya perihal ialah moralitas.
Pada ranah ini biasanya lebih bertendensi pada hal-hal yang bersifat etis-moral. Kemunduran
gerakan mahasiswa juga bisa saja dipicu oleh kemerosotan moral mahasiswa. Bahwasannya
mahasiswa tidak lagi mempunyai moralitas seperti yang telah dicita-citakan dari sosok ke-
“maha”-siswaannya. Bahwa mahasiswa, setelah dilihat dari perilaku sehari-harinya dan
idealisme dalam pikirannya, mengalami “degradasi moral” yang serius, sehingga harapan yang
diletakkan di pundak mereka sebagai “anak bangsa” dan “calon-calon pemimpin bangsa”
pupus sudah.

Idealisasi moral semacam ini biasanya melihat perspektif gerakan mahasiswa sebagai
sarana sekaligus instrumen perjuangan moral untuk menegakkan tatanan masyarakat yang
“baik” dan “bermoral”. Karena problem dasarnya adalah dekadensi moralitas, maka solusi
yang ditawarkan untuk membangkitkan kembali gerakan mahasiswa adalah dengan
“menginjeksikan” lebih banyak lagi nilai-nilai moralitas ke dalam diri mahasiswa dan gerakan
mahasiswa, dengan mereka terbebas dari penyakit-penyakit moral yang berjangkit. Re-edukasi
moral ini, yang dilakukan entah dengan motif dogma agama (menanamkan pendidikan agama
ke dalam kader-kader organisasi) atau dengan motif sekular (menanamkan pendidikan moral
kebangsaan), memiliki tujuan akhir, yakni menghindarkan mahasiswa dari godaan
demoralisasi yang sedang mereka hadapi di kampus maupun di luar kampus (korupsi,
hedonisme, dst.). Begitulah kira-kira.

Mahasiswa dan Gerakan Moral


Mahasiswa adalah sebuah struktur unik dalam tatanan kemasyarakatan, politik, maupun
budaya. Unik karena mahasiswa adalah masyarakat itu sendiri yang dibedakan oleh sebuah
kurun waktu yang lamanya kurang lebih 4 sampai 5 tahun (masa dimana sebuah komponen
anggota masyarakat menjadi mahasiswa). Unik karena kebebasan berpikir, berpendapat, dan
membentuk perbedaan tidak akan pernah dirasakan oleh siapapun juga yang tidak menyandang
status ini, apalagi di sebuah negara yang senang membuat skenario dimana kekuasaan adalah
sutradaranya.
32

Gerakan mahasiswa pada dasarnya merupakan suatu gerakan sosial (Social Movement),
yang didasarkan pada bentuk utama yaitu perilaku kolektif (Collective Behavior). Secara
formal gerakan sosial didefinisikan sebagai suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan
kadar kesinambungan tertentu, untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam
masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri. Pada dasarnya, gerakan
sosial adalah cara alternatif untuk menyuarakan persoalan-persoalan di level domestik, dengan
maksud tertentu, tergantung pada pencetus atau penggagasnya. Dengan begitu, gerakan sosial
bangkit dari level bawah untuk melakukan dekonstruksi pada struktur elit-massa, dan keluar
sebagai solusi terhadap permasalahan sosial yang ada.

Pergulatan gerakan mahasiswa di Indonesia dilihat dari sejarahnya terus mengalami


pasang surut yang dipengaruhi oleh berubahnya rezim yang berkuasa, tatanan ekonomi politik
dan ruang lingkup sistem pendidikan yang diterapkan. Peran gerakan mahasiswa dalam
dinamika perubahan kekuasaan di Indonesia memiliki pengaruh yang cukup penting, seperti
pada masa perjuangan kemerdekaan, pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan,
masa jatuhnya Soeharto yang melahirkan era Orde Baru dan juga pada masa reformasi yang
melengserkan rezim Soeharto.

Mencuatnya gerakan mahasiswa dengan label Heroism seperti agent of change, iron
stock and social control bukanlah sesuatu yang begitu saja terjadi. Labelisasi tersebut dalam
prosesnya adalah konstruksi yang dilakukan oleh rezim Soeharto pada masa Orde Baru setelah
sebelumnya rezim tersebut melakukan genosida terhadap intelektual kiri. Konstruksi gerakan
mahasiswa oleh penguasa adalah bagian dari upaya untuk mempertahankan statuq-quo,
sehingga bentuk progresif dari gerakan mahasiswa dilucuti hingga memunculkan apa yang
disebut sebagai gerakan moral.

Gerakan moral yang lahir dari problematika Orde seperti diatas, dibebankan kepada
mahasiswa ketika menjalankan aktivismenya, yang dikonstruksi seakan-akan menjadi koboy
dalam kehidupan nyata yang tidak boleh memiliki kepentingan kekuasaan dalam hati dan
kepala mereka. Mereka memainkan moralitas untuk mengingatkan penguasa, kadang dibumbui
dengan melakukan aksi, membuat pernyataan sikap, kampanye dan aksi teatrikal. Seperti
halnya koboy, para mahasiswa datang ketika keadaan sudah genting, dan dengan kekuatan
moral, mencoba menjadi roda penggerak perubahan. Namun gerakan tersebut cenderung hanya
berangan-angan tentang perubahan emansipatif yang transformatif untuk rakyat kelas bawah.
33

Sunyoto Usman dalam artikel jurnal yang berjudul “Arah Gerakan Mahasiswa:
Gerakan Moral ataukah Gerakan Politik?” mencoba membedakan antara gerakan moral dan
gerakan politik. Sunyoto Usman mengartikan gerakan moral sebagai gerakan yang meletakkan
energi mahasiswa hanya sebagai pendobrak ketika institusi birokrasi dan institusi politik tidak
bisa memainkan peran sesuai dengan tuntutan sektor publik, gerakan tersebut hanya untuk
meluruskan. Sedangkan gerakan politik dimaknai sebagai gerakan riil dalam percaturan politik
yaitu dengan masuk lembaga eksekutif atau legislatif atau lebih tepatnya menjadi politisi
profesional.

Pembedaan secara tegas antara gerakan moral dengan gerakan politik progresif menjadi
sangat penting agar tidak terjadi pendistorsian. Batasan dari gerakan moral ini dapat dibagi
menjadi 4 batasan: pertama, gerakan moral menolak membangun aliansi dengan gerakan rakyat
atau politik massa. Hal tersebut dilakukan atas nama kemurnian gerakan dan agar terhindar
dari kepentingan politik. Kedua, dalam gerakan moral berdalih tidak ada ambisi dan
kepentingan pribadi ataupun kelompok terhadap kekuasaan. Mereka hanya memperjuangkan
kebenaran yang mereka yakini dan tidak meminta sumbangsih dari perjuangannya tersebut.
Ketiga, gerakan moral dalam melakukan gerakannya lebih berupa tuntutan koreksi dan
peringatan. Mereka menolak adanya radikalisasi gerakan yang dianggap dapat mengancam
stabilitas. Keempat, gerakan moral mengkonstruksi diri mereka sebagai resi, agent of change,
tulang punggung negara, intelektual pembaharu, roda perubahan dan juga konstruksi heroism
yang lainnya.

Dari batasan gerakan moral tersebut, maka gerakan moral memang menjadi arena yang
selaras dengan idiologi kelas menengah yang memang merupakan mayoritas dari mahasiswa.
Pengetahuan dan intelektualisme mereka merupakan produk dari relasi produksi kapitalisme
yang bertransformasi mendukung hirarki pengetahuan diantara masyarakat. Memang
mahasiswa ini menjadi kelompok yang lebih maju dan memiliki ruang untuk merespon
berbagai persoalan sosial dan politik. Dengan kekuatan moral mereka juga tidak jarang
melakukan aksi massa dan berbagai bentuk protes yang lain. Tuntutan politis mereka juga
mengarah ke tendensi pembebasan sosial dan pembelaan terhadap kelas bawah, seperti tentang
kedaulatan, nasionalisasi aset, menentang pencabutan subsidi, menolak intervensi asing,
kebijakan pro-rakyat, atau tentang pembelaan moral terhadap kesewenang-wenangan organ
negara.
34

Namun gerakan moral tersebut mengalami keterputusan antara wacana dan orientasi
perjuangan praksis. Mereka memisahkan diri dengan rakyat, tidak punya basis massa, menolak
membangun aliansi, tidak memiliki alternatif lain dari sistem yang telah ada, menempatkan diri
sebagai kelas yang lebih superior, bersifat spontanitas, dan konservatif. Itulah yang membuat
gerakan moral ini bersifat regresif, karena gerakan progresif dan pembebasan sosial mereka
berada diatas awan, tidak membumi bersama rakyat kecil.

Dalam gerakan moral ini tidak bersifat menekan tapi lebih menuntut dan
memperingatkan atau bersifat top-down. Keadaulatan dilihat tidak berada ditangan rakyat dan
mereka menunggu kebaikan hati pemerintah. Ruang demokrasi yang dicitacitakan oleh
kekuatan moral ini adalah tentang kebebasan privat yang tidak mengancam aspek sosial
ekonomi mereka tetapi abai terhadap pengekangan dan penghisapan kelas bawah. Artinya
gerakan moral ini tidak akan mengancam status-quo, walaupun pada titik tertentu memerahkan
telinga penguasa.

Fungsi Mahasiswa
Masa depan suatu bangsa ditentukan oleh genarasi muda yang salah satunya adalah
mahasiswa. Oleh karena itu, seorang mahasiswa harus sadar akan tugas yang diembannya dan
perannya yang begitu penting bagi bangsa. Hal ini dikarenakan yangmenjadi tugas mahasiswa
sebenarnya adalah sebagaia Agent Of Change, Social Control, Moral Force, dan Iron Stock.
Sedangkan mahasiswa turun ke jalan, selain karena kondisi obyektif yang telah disebutkan di
atas, juga ada kondisi subyektif yang langsung berhubungan dengan kepentingan mahasiswa.
Kondisi subyektif akibat krisis ekonomi itu antara lain beruba meningkatnya biaya kebutuhan
hidup, juga biaya untuk keperluan kuliah di perguruan tinggi. Dengan meningkatnya harga
kebutuhan pokok, uang dari orang tua yang bisa dialokasikan untuk keperluan akademis juga
semakin minim Bahkan banyak mahasiswa terancam drop out. Kesulitan keuangan ini terutama
dirasakan para mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS), yang biaya kuliahnya
relatif jauh lebih mahal dari pada di perguruan tinggi negeri (PTN).

Sikap mereka juga tampak lebih radikal. Krisis ekonomi juga menghasilkan banyak
perusahaan ditutup, pengangguran meningkat, dan makin sulitnya mencari lapangan pekerjaan.
Dalam konteks ini, mahasiswa juga merasa kepentingannya terancam. Mereka terutama yang
sudah kuliah di tingkat akhir tidak melihat urgensi untuk cepat menyelesaikan kuliah karena
prospek lapangan kerja yang suram. Maka memprotes keadaan dengan turun ke jalan
tampaknya menjadi pilihan yang wajar.
35

Peran dan fungsi mahasiswa sebagai Agent Of Change yaitu sebagai agen perubahan.
Seorang mahasiswa diharapkan mampu membuat perubahan suatu negara kearah yang positif.
Banyak cara untuk menjalankan peran ini, yaitu misalnya dengan rajin mengikuti kegiatan
penelitian sehingga dapat menemukan suatu alat atau metode yang baru, lalu dengan menjadi
mahasiswa yang kritis terhadap perkembangan global saat ini serta bagaimana cara
menyikapinya.

Peran dan fungsi mahasiswa sebagai Social Control yaitu sebagai kontrol atau
barometer kehidupan sosial didalam suatu masyarakat. Mahasiswa dapat mengendalikan
keadaan sosial yang ada dilingkungan masyarakat, yaitu seperti mendemo kebijakan-kebijakan
pemerintah yang dianggap tidak sesuai. Peran dan fungsi mahasiswa sebagai Moral Force yaitu
sebagai pembentuk moral dalam suatu linkungan masyarakat. Mahasiswa dapat menjadi
pembentuk moral masyarakat, misalnya dengan membiasakan membuang sampah dengan
mendaur ulang sampah dengan cara memberi peyuluhan atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Seorang mahasiswa dapat menjadi teladan yang baik dalam masyarakat. Peran dan fungsi
mahasiswa sebagai Iron Stock maksudnya adalah seorang mahasiswa diharapkan mampu
menjadi pengganti orang-orang yang memimpin suatu negara. Mahasiwa sebagai generasi
penerus dan pejuang suatu bangsa diharapkan mempunyai mental baja, yaitu mental yang tidak
mudah menyerah.

Mahasiswa menjadi genetik dalam hal menyuarakan sebuah pendapat, menjadi satu
mata dalam menangkap kegelisahan dalam masyarakat dan berbunyi dengan teriakan
konstruktif yang sama. Mahasiswa adalah saudara kandung reformasi (mungkin juga saudara
kembar yang identik), subsistem mahasiswa dan subsistem reformasi sudah menjadi sebuah
sistem yang memiliki saling ketergantungan dan bekerja sejara kolektif. Oleh karena
itu,mematikan mahasiswa adalah memematikan reformasi itu sendiri.
36

STUDI GENDER
Oleh: Titania Noor Sholeha, S. Pd.

Berbicara mengenai laki-laki dan perempuan, tidak terlepas dari pembahasan konsep
seks dan gender. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari perbedaan antara laki-laki dan
perempuan sering dikenal dengan sebutan perbedaan gender. Akan tetapi ketika membicarakan
gender kerap selalu mengarah pada perempuan saja. Bukankah gender adalah milik laki-laki
dan perempuan? Lantas apa makna seks dan gender yang sebenarnya?

Seks diartikan sebagai perbedaan jenis kelamin yakni perbedaan secara biologis dari
laki-laki dan perempuan. Seks merupakan fakta biologis yang bersifat kodrati yakni tidak bisa
diubah. Laki-laki dilengkapi dengan alat biologis berupa penis sementara perempuan berupa
vagina. Secara biologis perempuan mengalami lima hal, yakni menstruasi, hamil, melahirkan,
nifas, dan menyusui. Sementara gender adalah sifat, peran, dan posisi sosial yang dilekatkan
kepada laki-laki dan perempuan yang berasal dari hasil konstruksi sosial. Konstruksi sosial ini
adalah bentuk stigma masyarakat yang dibiasakan hingga menjadi budaya yang melekat di
masyarakat. Gender tidak bersifat kodrati, oleh karena itu gender bisa berubah sesuai dengan
situasi dan kondisi seiring dengan perkembangan zaman.

Berbicara mengenai gender pasti tidak asing dengan istilah maskulin dan feminin. Sifat
maskulin dan feminin hasil konstruksi sosial ini secara tidak langsung sudah dilekatkan sejak
dini. Maskulin adalah sifat laki-laki yang dimiliki seseorang lebih besar daripada sifat
keperempuanannya. Hal ini dipercaya sebagai ciri ideal seorang laki-laki yang bersifat gagah,
kuat, dan memimpin. Sementara feminin sifat perempuan yang dimiliki seseorang lebih besar
daripada sifat kelaki-lakiannya. Hal ini dipercaya sebagai ciri ideal seorang perempuan yang
bersifat mengayomi, lemah lembut, dan perasa. Sering kali konstruksi sosial ini memetakan
bahkan menentukan bagaimana pembagian peran laki-laki dan perempuan. Secara konstruksi
sosial laki-laki diupayakan untuk masuk dalam ranah publik sementara perempuan hanya
berkecimpung pada ranah domestik. Dikotomi pembagian wilayah kerja ini muncul karena ada
anggapan bahwa laki-laki lebih berpotensi, tangguh, dan progresif.

Penobatan gelar maskulin dan feminin sesungguhnya telah ditanamkan sejak manusia
lahir. Diakui atau tidak saat bayi baru lahir orang tua, saudara, bahkan kerabat selalu
memberikan kebutuhan sesuai dengan warna doktrin. Laki-laki selalu diidentikkan dengan
warna biru sedangkan perempuan diidentikkan dengan warna merah jambu. Saat balita anak
37

laki-laki diberi perhiasan topi sementara anak perempuan diberi perhiasan pita warna-warni.
Tak dapat dipungkiri juga orang tua memperkenalkan permainan doktrin, laki-laki dikenalkan
dengan robot dan bola sementara perempuan dikenalkan dengan seperangkat alat memasak dan
boneka. Memasuki masa anak-anak mereka dihadirkan dengan penampilan hasil doktrin pula,
laki-laki dengan baju bagaikan ninja sementara perempuan dengan baju bak putri raja.

Tidak berhenti perkara itu saja, seseorang pun dieratkan kembali dengan peran hasil
doktrin. Peran sosial yang diajarkan kepada laki-laki dan perempuan ini sudah masuk kepada
pemikiran yang berupaya membiasakan untuk laki-laki berada di ranah publik dan perempuan
di ranah domestik. Dalam dunia pendidikan, kerap muncul kalimat ‘Ani bermain boneka dan
Budi bermain bola’ tidak jarang pula kalimat ‘ayah bekerja di kantor dan ibu memasak di
dapur.’ menjadi senjata yang sering muncul dalam deretan pelajaran. Mirisnya pengalaman itu
juga terjadi dalam realitas, misalkan pekerjaan menyapu, mencuci baju, dan membersihkan
rumah telah disematkan untuk menjadi tugas perempuan. Hal ini terjadi karena anggapan
bahwa perempuan adalah seorang yang lebih cakap dan terampil dalam melaksanakan peran
ini. Peran sebagai pekerja kantor, pedagang hingga ahli teknik sudah disematkan untuk menjadi
tugas laki-laki yang dianggap lebih berani dan mumpuni dalam bidang tersebut.

Maskulin dan feminin ini sebenarnya bisa dikategorikan dalam bentuk ekspresi gender
yang mana sifat ini merupakan suatu cara untuk mengekspresikan dirinya. Selain maskulin dan
feminin, ekspresi gender juga ada yang bersifat androgin. Androgin adalah sifat maskulin dan
feminin yang dimiliki oleh seseorang di atas rata-rata dan dilakukan pada saat bersamaan.
Orang yang memiliki sifat androgin ini sering menyebutnya ambigender untuk
menggambarkan diri mereka.

Edward Wlsondari harvard University (BKKBN 2009:16) menjelaskan bahwa teori dan
perspektif gender secara sosiologis dibagi atas dua kelompok besar yaitu teori nature yang ada
berdasarkan faktor alami atau kodrati dan nurture yang disebabkan karena konstruksi budaya.1
Teori nature memandang perbedaan gender sebagai kodrat yang tidak perlu dipermasalahkan.
Menurut teori nature adanya pembedaan laki–laki dan perempuan adalah kodrat sehingga harus
diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua
jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Menurut teori nurture adanya

1
Wahyu Nugraheni S. “Peran Dan Potensi Wanita Dalam Pemenuhan Kebutuhan Ekonomi Keluarga
Nelayan,” dalam Journal of Educational Social Studies 1. No. 2, 2012: 105-111
38

perbedaan perempuan dan laki– laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga
menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Selain kedua aliran tersebut terdapat
kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada
konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dengan laki–laki.
Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki, karena
keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, bangsa dan Negara.

Dewasa waktu ini tidak sedikit isu gender yang muncul ke permukaan. Seperti misalnya
diskriminasi, stereotype, kekerasan, bahkan hingga pelecehan seksual. Berbicara terkait isu
gender pasti tidak akan ada habisnya. Gender akan tetap menjadi permasalahan yang erat
kaitannya dengan ketidakadilan peran laki-laki dan perempuan, karena berdasarkan fakta yang
ada selalu ada permasalahan gender yang terjadi setiap tahunnya. Permasalahan gender ini
tidak hanya selalu tentang perempuan, akan tetapi tentang laki-laki juga.

Dalam menyikapi adanya permasalahan gender yang berubah seiring berjalannya


waktu dan budaya maka perlu adanya perubahan mindset dan melihat dari berbagai sudut
pandang permasalahan.

Dikotomi merupakan sebuah klasifikasi yang artinya ada pemisahan atau


pengelompokan dua jenis yang tidak bisa dipadukan. Hal ini sebenarnya tidak lumrah ketika
harus merambat kepada peran gender. Pada dasarnya peran gender harus bisa mencapai suatu
bentuk yang dikatakan seimbang. Setara memang tidak sama, namun seimbang adalah adil.
Kerap kali kita ketahui bahwa adil adalah memberikan sesuatu dengan porsi yang sama, hal
seperti inilah yang harus segera kita pangkas. Adil bukan berarti memberikan sesuatu dalam
porsi yang sama, namun adil adalah memberikan sesuatu sesuai dengan kebutuhan. Saat adil
sudah terlaksana maka akan tercipta sebuah keseimbangan. Kembali berbicara terkait peran
gender, disadari atau tidak secara tidak langsung dikotomi peran gender akan menghasilkan
berbagai permasalahan.

Permasalahan gender yang sering muncul di antaranya adalah penomorduaan atau yang
biasa disebut subordinasi. Subordinasi perempuan diartikan bahwa perempuan lebih lemah
atau lebih rendah daripada laki-laki sehingga kedudukan, fungsi, dan peran perempuan seakan
39

menjadi lebih rendah dibanding laki-laki.2 Subordinasi ini bisa terjadi akibat doktrin sosial
yang meyakini dan melanggengkan pemikiran bahwa perempuan adalah sosok yang lemah dan
tidak mampu. Pada realitas pemikiran seperti ini berasal dari salah satu sudut pandang yang
mendominasi (read : sudut pandang laki-laki) akibatnya pihak laki-laki yang menjadi prioritas
dalam pengambilan keputusan. Subordinasi ini sangat wajar terjadi terutama di daerah
pedesaan yang masih bernaung pada budaya patriarki, hal ini menempatkan perempuan pada
posisi yang kurang menguntungkan dan berpotensi besar terciptanya berbagai permasalahan.
Permasalahan yang terjadi tidak jauh berbeda misalnya saja dalam dunia pendidikan, saat ini
masih saja laki-laki yang menjadi prioritas dalam melanjutkan pendidikan. Laki-laki dianggap
akan selalu mampu menjadi apa yang ditekuni sekarang serta dipercaya bahwa tindak lanjut
perjalanan kehidupan ada pada pilihannya. Sementara perempuan akan ditangguhkan terlebih
dahulu sebelum pada akhirnya mereka memilih tidak sesuai dengan keinginannya. Tidak
sedikit terjadi kasus sedemikian, misalnya seorang anak perempuan ingin melanjutkan ke
perguruan tinggi yang jauh dari rumahnya, sederhana itu kerap orang tua menolak dengan
tuturnya yang mengatakan bahwa perempuan jangan kuliah jauh-jauh. Tidak hanya itu kasus
serupa yang terjadi misalnya saat anak perempuan ingin memilih jurusan teknik, tidak jarang
pula orang tua mengutarakan “untuk apa perempuan mengambil jurusan Teknik? Mau jadi apa
nanti?’ dan kata-kata senada lainnya. Miris memang ketika mengetahui banyaknya kasus
ketidakadilan gender seperti ini.

Akhir waktu ini deretan permasalahan gender telah dipenuhi oleh kasus kekerasan dan
pelecehan seksual dari berbagai sektor. Kekerasan seksual adalah segala bentuk perbuatan yang
mengakibatkan penderitaan fisik maupun psikis dan menyasar pada organ seksual dengan
unsur paksaan atau ancaman. Sedangkan pelecehan seksual adalah tindakan seksual baik secara
fisik maupun non fisik yang menyebabkan seseorang merasa tidak aman dan direndahkan
martabatnya hingga mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun mental. Pelecehan
seksual dapat dialami oleh siapa pun baik laki-laki maupun perempuan tanpa memandang
status, tempat, dan waktu. Sering kali pelecehan seksual dianggap hanya terjadi di malam hari,
pada tempat sepi, dan akibat pakaian seksi. Nyatanya pelecehan seksual tidak memandang
atribut apa yang digunakan, hal ini karena banyak korban pelecehan seksual dari orang yang
mengenakan pakaian panjang dan rapi. Dalam dunia pendidikan, pelecehan seksual tidak

2
Imam Syafe’i. “Subordinasi Perempuan dan Implikasinya Terhadap Rumah Tangga,” dalam Jurnal
Studi Keislaman 15. No. 1, 2015: 143-166
40

mustahil terjadi. Banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi di instansi pendidikan baik itu
di sekolah, kampus, maupun pondok pesantren. Lantas bagaimana menghadapi perilaku
kejahatan tersebut? Apa yang harus kita lakukan saat mengetahui atau mengalami kasus
tersebut?

Lima hal yang harus dilakukan saat mengetahui kasus pelecehan seksual, yakni
menegur, menginterupsi, menunda, meminta bantuan, dan mendokumentasikan. Pertama,
menegur pelaku pelecehan seksual adalah hal yang memiliki risiko sangat besar. Dalam upaya
ini harus memperhatikan kondisi yang terjadi, membahayakan atau tidak. Kedua,
menginterupsi artinya kita melakukan upaya pengalihan perhatian dengan menyela atau
berpura-pura bertanya seakan sudah mengenal korban. Ketiga, menunda kejadian pelecehan
seksual dengan menghampiri dan mengajak bicara korban ataupun pelaku. Keempat, meminta
bantuan kepada orang di sekitar mengenai adanya kasus pelecehan seksual. Kelima,
mendokumentasikan untuk membantu korban dalam pelaporan masalah kepada pihak yang
berwajib. Dokumentasi ini berfungsi sebagai bahan bukti penguat adanya kasus pelecehan
seksual serta menunjukkan waktu dan tempat kejadian.
41

TENTANG PENULIS

Rizky Ahmad Fahrezi, biasa dipanggil fahrezi, lahir di Blitar


pada 24 April 2000. Fahrezi bertempat tinggal di Desa Birowo,
Kecamatan Binangun, Kabupaten Blitar. Anak pertama dari 3
bersaudara. Menempuh jenjang pendidikan SD di SDN Birowo
01, kemudian melanjutkan ke MTs Sunan Kalijogo Ngadri,
berlanjut jenjang menengah atas di MAN 1 Blitar, dan duduk
di bangku perkuliahan semester akhir di UIN SATU
Tulungagung. Menempuh bangku perkuliahan di Jurusan
Pendidikan Agama Islam yang terbilang aktif tanpa terkendala
sebagai mahasiswa yang akademis, tetapi disamping itu juga
mengikuti beragam kegiatan organisasi (mahasiswa organisatoris) dengan riwayat
keorganisasian yaitu Ketua Al-Khidmah UIN SATU 2018-2021, Wakil Ketua Ikatan
Mahasiswa Alumni Man 1 Blitar 2019-2021, Wakil Ketua DEMA FTIK UIN SATU 2020-
2021, HMJ PAI 2018-2019, dan sekarang sedang melaksanakan rutinitas sebagai Menteri
PSDM DEMA UIN SATU 2022. Tidak hanya berorganisasi dalam wilayah intra, fahrezi juga
aktif mengikuti organisasi ekstra yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesiaa (PMII) dari
tingkat rayon pada 2018-2020 sampai pasca Komisariat (sekarang). Dalam bermasyarakat juga
terbilang aktif dalam organisasi pemuda Ansor (GP Ansor) tingkat Ranting Desa Birowo.
Fahrezi memiliki hobi menulis sejak tahun 2019 dengan favorit tema pembahasan di
wilayah pendidikan. Karena disamping menjadi salah satu figur yang terlibat langsung dalam
dunia pendidikan di kecamatan, juga menaruh perhatian lebih terhadap pengelolaan dan
permasalahan pendidikan yang dialami Indonesia. Pendidikan Indonesia perlu inovasi dan
produktivitas yang lebih guna mencetak generasi-generasi yang mumpuni demi terwujudnya
peradaban yang gemilang.
Media Sosial : @Joekysteel
Motto hidup :
“Be the master of everything, don’t be mastered by everything”
“Jadilah tuan dari keadaan, jangan mau dipertuan oleh keadaan”
42

Ahmad Fahrur Rozi, turun ke dunia tanggal 08 November


1999, dan memilih tinggal di Mojokerto. Saat ini sedang
menunggu antrean Wisuda S1 di Universitas Islam Negri
Tulungagung, jurusan Sejarah Peradaban Islam ; lulus dengan
jurnal yang berjudul; Tan Malaka; Gerakan Kiri Dan
Interpretasinya atas Agama (1897-1949). Menempuh kuliah
non formal di Sanggar Teater Banyu Tulungagung, ia juga aktif
sebagai aktivis mahasiswa di organisasi ekstra kampus (PMII).
Selain itu penulis mempunyai wordpress penulisan pribadi,
yakni : Sagahitamputih.com.Wordpres.com modul/buku ini
adalah buku kelima baginya, setelah sebelumnya sudah berhasil eksis dengan empat buku
berjudul ; KRINEIN, ANOMALI, kontributor Manunggaling Kawula Wi-Fi dan Enigma
Agraria. Ozi dapat dihubungi melalui media sosial berikut. Email:
roziahmad0800@gmail.com, Whats App atau Telegram: +6285-708-794-738, Instagram:
ozi0.8, Facebook: Ahmad Rozi.[]

Titania Noor Sholeha, lahir di Blitar pada 3 Juli 2000. Ia adalah


anak pertama dari tiga bersaudara. Saat ini kediamannya berada
di Desa Rejowinangun Kecamatan Kademangan Kabupaten
Blitar. Titania menghabiskan waktu studi dengan mengenyam
bangku SD, MTs, MA, hingga Universitas. Ia telah berhasil
menyelesaikan studi Strata-1 dengan gelar Sarjana Pendidikan
di Universitas Islam Negeri Sayyid Ali Rahmatullah
Tulungagung, tepatnya pada bulan Mei 2022. Semasa kuliah ia
tidak hanya aktif dalam dunia akademis, namun ia juga
menjelajahi dunia organisasi baik intra kampus maupun ekstra
kampus. Organisasi yang pernah diselami olehnya adalah
Dewan Eksekutif Mahasiswa FTIK dan Dewan Eksekutif
Mahasiswa Universitas, serta Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII). Tidak hanya itu, ia juga bergabung dalam penulisan platform berita sebagai
Koordinator Pewarta di Koran Kopri serta aktif menulis di titanianoor.medium.com. Mengenai
informasi lebih lanjut ia bisa disapa di media Instagram @titanianoor.
Menulis itu tidak sulit, apa pun yang ada dalam pikiranmu dapat menjadi sebuah karya.
Melambunglah hingga menemui bulan dan bintang serta menyelamlah hingga mendapatkan
mutiara. Hebat itu bonus, belajar dan berproses itu harus.
Salam Literasi! Salam Pergerakan
43

Muzakki, Sapaan akrab dari seorang anak laki – laki yang lahir
dengan nama lengkap Ahmad Muzakki di Kabupaten Kediri,
Jawa Timur, 08 Desember 1999. Putra Tunggal dari ayahanda
tercinta Parto Sadiran (Alm) dan ibunda kasanah. Bertempat
tinggal di Kabupaten Blitar bersama keluarga angkatnya
ayahanda imam bahroni dan ibunda munjiati dengan 4 saudara.
Sejak umur 10 tahun, ia mulai berkelana menimba ilmu di
berbagai Pondok Pesantren di Kabupaten Blitar, antara lain
Pondok Pesantren Nailul Ulum II di Slemanan, Pondok
Pesantren Ibadurrohman di Ngegong dan Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal di Kunir.
Sembari juga menempuh pendidikan formal pada MI Roudhotun Nasyi’in di Slemanan, SMPN
03 di Kota Blitar dan SMK Al Kamal di Kunir. Tidak sampai disitu, dengan do’a restu seluruh
keluarga besar maka pada awal tahun 2018 melanjutkan pendidikan di UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung.
Tertarik pada pandangan pertama yakni ilmu hukum dan memutuskan untuk mengambil
program studi Hukum Ekonomi Syariah pada Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, penulis telah
menyelesaikan masa studi selama 8 semester dengan predikat cumlaude bergelar Sarjana
Hukum. Selain sebagai mahasiswa yang akademis berada di bangku kelas, ia juga aktif dalam
kegiatan pengembangan diri di berbagai kegiatan organisasi yang ada di kampus, diantaranya
PMII, Menwa, Ukm Bakat Minat, Himaprodi, Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam
(FoSSEI) dan Dema. Pernah mengemban amanah sebagai Ketua Himaprodi Hukum Ekonomi
Syariah (2020-2021) dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan selama
2 Periode di Dema UIN Sayyid Ali Rahmatullah (2021 – 2022 dan 2022 – Sekarang).
Muzakki. Seorang anak kecil tanpa arah yang kemudian memutuskan untuk melihat
dunia dari kacamata hukum. Mulai mengenal banyak beragam sudut pandang dengan
mengikuti berbagai macam seminar lokal maupun nasional dan mengikuti organisasi tingkat
nasional meliputi Dema PTKIN Seluruh Indonesia, BEM Nusantara dan pernah menjadi
keluarga besar Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam progam magang mandiri. Hukum
dan Politik selalu saling berkesinambungan dalam kehidupan sehari – hari, bertemu orang –
orang baru dan hebat tentu saja adalah kesempatan yang luar biasa dalam makna pengalaman
pribadi penulis. Indonesia membutuhkan generasi millenial yang melek terhadap hukum,
bukan hanya melek pada teknologi. Dalam dunia politik mereka yang mampu bertahan dan
mengetahui sejarah maka ialah pemenang di atas segalanya. Karena masa depan tidak lepas
dari masa lalu yang dilampaui. Indonesia bukan milik mereka yang hanya memikirkan
kepentingan pribadi, tapi indonesia milik mereka yang mampu memahami dan melaksanakan
apa arti cita – cita Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Media Sosial : @Muzakki Almahbub
Motto hidup :
“Mohon, Mangesthi, Mangastuti, Marem”
44

“Selalu meminta petunjuk Tuhan untuk menyelaraskan antara ucapan dan perbuatan
agar dapat berguna bagi sesama”

Gilang Tahes Pratama, seorang mahasiswa Sejarah Fakultas


Ushuluddin Adab dan Dakwah di Kampus UIN Tulungagung.
Seorang pemuda Tuna Asmaea yang sepertinya akan mencari
perempuan setelah menyelesaikan seluruh tanggungjawab
keorganisasian.
Selain itu, penulis juga gemar berimajinasi tentang asal-usul dan
silsilahnya. Beberapa pikiran imajinatif penulis pun muncul
seperti berfikir bahwa ia merupakan titisan Filsuf terdahulu
hingga ia sendiri tak jarang merubah bentuk kepribadiannya
menjadi Aristotahes, Tahes Descartes dan masih banyak lagi.
Ia juga mempunyai hobi sering mendaki gunung pengetahuan,
pagi-pagi mandi air gagasan dan tak lupa Ketika malam dating ia
masih menyempatkan untuk menyeduh wedang kerinduan dan menyeruputnya dengan
ditemani dinginnya sikap perempuan. E-mail: angkringansoto@gmail.com

M. Atho’Illah Naufal F., anak millennium kedua masehi yang terlahir


dalam keadaan sulung, manusia biasa yang sehari-hari menderita sunyi.
Menghamba pada tuhan yang berteknologi, tidak punya pengalaman
besar yang berarti. Hobi berkelana mencari kebahagiaan, kadang juga
seharian dihabiskan dengan rebahan. Belajar dan menjadi santri PMII,
selain itu juga ingin memiliki cita-cita, meskipun belum dianugerahi.
Kadang membaca, kadang tulisannya juga dibaca. Penulis bisa dihubungi
di IG atho_illahnaufal.f atau japri 089665351564.

M. Hirzuddun al bashor anak pertama dari 3 bersaudara, pernah


menempuh Pendidikan di pondok pesantren tebuireng jombang
selama 6 tahun dan 1 tahun di kwagean pare, kuliah sudah 4 setengah
tahun di uin tulungagung dan bersemayam di jurusan hukum
ekonomi syariah, berproses di organisasi alumni tebuireng
tulungagung kemudian di organisasi ekstra kampus berproses di
PKFT (pusat kajian filsafat dan teologi) sebagai santri dan juga PMII
(pergerakan mahasiswa islam Indonesia) sebagai anggota, hobby
membaca buku dan keadaan lingkungan. cita cita menjaga NKRI,
mengamalkan ilmu & ikut memperjuangkan cita cita kemerdekaan
Indonesia MOTTO hidupnya adalah SALAM PERGERAKAN! SALAM PUSAT KAJIAN!

Anda mungkin juga menyukai