PERADABAN GEMILANG
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat sehat, nikmat,
ibadah, nikmat menuntut ilmu dan keberkahan dunia yang tak terhitung jumlahnya bagi kita
semua. Sholawat serta salam juga senantiasa tertuju kepada baginda Nabi Muhammad SAW,
rasul Allah yang menjadi suritauladan sepanjang masa bagi seluruh umat di Dunia.
Selamat datang dan selamat bersyukur karena telah hadir di Universitas Islam Negeri
Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung (UIN SATU Tulungagung) sebagai mahasiswa baru. Di
kampus ini adik-adikku, mahasiswa baru patut berbangga diri dan bersyukur, sebab UIN SATU
adalah salah satu perguruan tinggi Islam terbaik di Tulungagung bahkan di Jawa Timur. UIN
SATU sebagai kampus dakwah dan peradaban memiliki tekad kuad untuk senantiasa mencetak
generasi-generasi yang intelektual, bermoral, dan aktif brekontribusi dalam seluruh perjalanan
peradaban serta mensyiarkan nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan.
Berkuliah seringkali menjadi pilihan dan pertimbangan yang sulit bagi kawan-kawan
muda yang telah usai menempuh jenjang sekolah menengah umum atau kejuruan, banyak
kendala yang mesti diperhatikan mulai dari biaya, letak geografis rumah, bahkan jurusan
sebagai bentuk prospek pada cita-cita kelak. Tetapi yakinlah selalu, bahwa dengan memilih
UIN SATU sebagai rumah menuntut ilmu, insya Allah tidak akan ada sesuatu yang akan
disesali, sebab disini semua telah mencapai pada tahap akreditasi patut dibanggakan. Kondisi
kampus yang berprestasi juga tidak serta merta didapat dengan mudah, begitu juga kondisi
lulusannya yang selalu pada nilai yang memuaskan, semua butuh perjuangan dan doa yang
tidak putus-putusnya. Karena, setelah memutuskan untuk berkuliah di UIN SATU, sisanya
adalah komitmen diri untuk bersungguh-sungguh dalam tanggung jawab sebagai mahasiswa,
juga sebagai anak yang merantau jauh dari orang tua.
Gemilang” memiliki filosofi dan tujuan untuk membentuk pribadi mahasiswa yang siap
menjadi garda terdepan dalam memperjuangkan kesejahteraan peradaban bangsa, dengan
segala peran yang dimilliki mahasiswa, tentunya mahasiswa menjadi main actor dalam
berbagai fenomena kehidupan sehingga aktualisasi peran positif harus ditingkatkan agar
menjamin mutu peradaban kedepan, menjadi mahasiswa kritis, transformatif, produktif, dan
bermoral merupakan goals PBAK tahun ini.
Melalui sambutan singkat ini, saya Abdurrahman Asyiddiqi Firdeva selaku Ketua
DEMA UIN SATU (Presiden Mahasiswa) tidak bisa mengungkapkan banyak pesan nasehat,
sebab sejauh ini pun kami masih terus berproses membenahi diri, sehingga kelak jikalau
bertemu, maka janganlah sungkan untuk saling menasehati, karena sesungguhnya ilmu serta
pengetahuan yang kami miliki belum tentu lebih baik dari adik-adikku yang mengagungkan
ilmu sebagai bekal dunia akhirat. Selanjutnya saya hanya bisa mengajak dan mendoakan adik-
adikku mahasiswa baru agar betah dan selalu bersemangat berkuliah di UIN SATU tercinta ini.
Tak perlu membanding-bandingkan dengan universitas lain jika itu hanya sekedar melihat dari
kemewahan bangunan dan fasilitas, sebab kualitas suatu kampus terletak pada kesungguhan
mahasiswanya berjuang memberikan manfaatnya untuk kampus maupun masyarakat, dan
bukan menuntut sesuatu yang sifatnya materi atau hal-hal yang dapat dijadikan alasan untuk
malas belajar. Kita mesti bersyukur, pendidikan dewasa ini telah sangat berkembang dan
memberikan kita banyak kemudahan dibanding kakak-kakak kita terdahulu pada saat
perjuangan membangun bangsa menjadi bangsa yang merdeka.
Ketua Umum
Salam Mahasiswa
Hidup Mahasiswa
Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah, Bertanah Air Satu, Tanah Air Tanpa Penindasan.
Kami Mahasiswa Indonesia Bersumpah, Berbangsa satu, Bangsa Yang Gandrung Akan
Keadilan.
Jika ada 1000 orang yang memperjuangkan kebenaran, maka pastikan aku satu diantarnya.
Jika ada 100 orang yang memperjuangkan kebenaran, maka pastikan aku satu diantarnya.
Jika ada 1 orang yang memperjuangkan kebenaran, maka pastikan dan saksikan itulah aku.
Segala puji bagi Allah SWT yang tak pernah berhenti mencurahkan nikmat dan
karunia- Nya yang kadang kita lupa bersyukur kepada-Nya. Dia yang telah memilih kita
diantara sekian banyak calon mahasiswa baru UIN SATU Tulungagung. Sholawat serta salam
semoga selalu membasahi lisan kita, yang kita persembahkan kepada suri tauladan dan Bapak
Revolusioner kita Rasulullah SAW, yang telah membawa kebenaran dan perubahan besar di
muka bumi.
Mahasiswa adalah manusia terpelajar yang memiliki pemikiran objektif, rasional dan
kritis, secara definisi mereka adalah pelajar yang paling tinggi levelnya. Sebagai pelajar dengan
level tertinggi maka dari itu mereka hanya tinggal menyempurnakan pembelajarannya
sehingga menjadi manusia terpelajar yang paripurna. Pada tataran implementasi sejatinya
mahasiswa memiliki kemampuan lebih dalam menerjemahkan ide atau gagasan, mereka adalah
agen of change (agen perubahan), mahasiswa merupakan penggerak perubahan ke arah yang
lebih baik. Mahasiswa juga sebagai moral force (penjaga moral), yaitu menjaga nilai-nilai baik
dalam masyarakat. Kaidah Fiqhnya adalah al-muhafadzah alal-qadim al-shalih wal-akhdzu bil-
iv
jadid al-ashlah yang artinya melestarikan nilai-nilai lama yang baik dan menerapkan nilai-nilai
baru yang lebih baik.
Mahasiswa harus memiliki peran sosial control terhadap kehidupan masyarakat, bangsa
dan negara. Ketika ada kejadian yang tidak sesuai dengan cita-cita bangsa dan nilai luhur
bangsa, maka mahasiswa tidak hanya memberikan saran dan kritikan, namun yang terpenting
adalah solusi. Dengan begitu diharapkan arah kebijakan para pemimpin tidak sampai
melenceng. Mahasiswa juga mempunyai peran sebagai penjaga nilai (guardian of value), lebih
dari itu mahasiswa juga menyebarkan nilai-nilai luhur. Mahasiswa adalah penerus bangsa (Iron
Stock), dalam peran ini mahasiswa merupakan harapan bangsa sehingga mahasiswa
diharapkan mampu memiliki kemampuan dan akhlak mulia.
Dalam tugas pokok mahasiswa yang teetera pada Tri Dharma Perguruan Tinggi
menunjukkan bahwa peran yang diambil mahasiswa sangatlah ber efek besar bagi masyarakat.
dikarenakan mahasiswa sebagai penyalur aspirasi atau penyambung lidah rakyat maka
orientasi kepentingannya tidak terbatas pada gerakan yang menguntungkan pribadi tapi
gerakan yang bersifat universal sehingga seluruh lapisan masyarakat merasakan akibat dari
perbuatannya.
Tahun 1928 menjadi tahun kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan
aktivis pemuda. Dalam buku literasi politik (2019) yang ditulis Gun Gun Heryanto dan kawan-
kawan diungkapkan bahwa ikrar sebagai satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa merupakan
ikrar yang sangat monumental bagi perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Makna yang
terkandung adalah peristiwa bersejarah itu mengajarkan nilai-nilai persatuan bangsa. Sumpah
pemuda membuktikan, perbedaan yang dimiliki bangsa Indonesia ternyata dapat disatukan
sebagai perwujudan Bhinneka Tunggal Ika.
Tahun 1945 adalah peran pemuda ketika kasus gerakan kelompok bawah tanah yang
terpaksa menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok dan mendesak agar segera
memproklamirkan kemerdekaan. Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa banyak
terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan orde baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah
angkatan ’66, yang menjadi kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara
sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Peristiwa Malari
(Malapataka 15 Januari 1974) adalah demonstrasi mahasiswa yang berujung kerusuhan besar.
Peristiwa ini berawal dari rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang Tanaka Kakuei ke
v
Indonesia dan juga kisruh investasi asing saat itu. Gerakan yang paling diingat adalah saat
tahun 1998, yaitu mahasiswa menuntut reformasi dan dihapuskannya ‘KKN” (Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme) lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa dan akhirnya
memaksa presiden Soeharto melepaskan jabatannya.
Akhir kata, anak muda adalah antitesis segala yang mustahil, kita adalah sepucuk surat bagi
masa depan, kaki langit adalah tapal batas untuk di taklukkan. Tetap amalkan Dzikir, Fikir dan
Amal Sholeh.
Hidup Mahasiswa
Wassalamu’alaikum wr.wb
Bayu Afrizal
vi
DAFTAR ISI
PENDIDIKAN
Rizky A. Fahrezi
Bicara tentang dunia Pendidikan memang tidak akan ada habisnya, sektor yang
memang salalu ada bahasan dan diskursus penting di dalamnya. Pendidikan merupakan
salah satu lini penting dalam perjalanan dinamika kehidupan, selalu ada saja topik
bahkan intrik yang mengiringi pelaksanaanya, dan hal tersebut harus menjadi prioritas
utama bagi segenap elemen kemasyarakatan untuk menyukseskannya, tatanan
peradaban tidak bisa dianggap baik-baik saja apabila isu-isu pendidikan tidak
ditanggapi dengan seksama atau dinomor duakan dari priotitas utama. Pendidikan
berkontribusi besar bagi segala aspek kehidupan generasi suatu peradaban, pendidikan
memberikan stimulus positif berupa penetahuan, budi pekerti, ketrampilan dan
pengalaman kepada seseorang yang dididik. Pendidikan berkedudukan sebagai salah
satu tempat utama seorang individu mendapatkan segala sumber pengetahuan dan jati
dirinya sebagai makhluk yang memenuhi fitrahnya. Pendidikan megambil peran dalam
menentukan arah perkembangan kebudayaan, pemikian, orientasi kehidupan, ekonomi
kesejahteraan, kekuasaan bahkan keagamaan. Dengan sebegitu besar kedudukan
pendidikan, maka segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan merupakan impact dari
penerapan sistem dan pengelolaan pendidikan di sebuah peradaban.
Pendidikan juga merupakan sebuah aktifitas yang memiliki maksud atau tujuan
tertentu yang diarahkan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki manusia baik
sebagai manusia ataupun sebagai masyarakat dengan sepenuhnya. Tujuan pendidikan
nasional seperti yang telah termaktub dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yaitu
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”. Kata “mencerdaskan kehidupan bangsa” merupakan domain
utama dalam penyelenggaraan pendidika Indonesia, sehingga segala usaha dan upaya
dilakukan demi menciptakan generasi bangsa yang kompeten, bermutu, dan cerdas
2
dalam berbagai bidang, serta mampu melebur dengan arus perkembangan peradaban.
Tapi tidak hanya mumpuni dalam pengetahuan, pendidikan juga memiliki tujuan untuk
menciptakan generasi yang memiliki budi pakerti yang luhur, berakhlakul kharimah,
memiliki kecerdasan spiritual tinggi, dan memiliki ketrampilan unggul. Oleh karena
itu, kompetensi pendidikan bukan hanya berfokus pada domain kognitif, tetapi juga
afektif dan psikomotorik peserta didik.
Salah satu tantangan pendidikan saat ini adalah transisi peradaban menuju
peradaban digital (digitalisasi). Peradaban digital menuntut sektor pendidikan untuk
mampu membersamai penggunaan teknologi digital dalam berbagai proses
penyelenggaraan pembelajaran. Pembelajaran mulai dialihkan kedalam berbagai
media, platform, dan konten berbasis digital yang tersistem secara virtual atau online.
Hal yang menjadi perbincangan adalah mengenai bagaimana kesiapan mutu teknologi
dan SDM yang dimiliki Indonesia dalam menunjang penyelenggaraan pendidikan saat
ini, apakah Indonesia sudah dapat dikatakan berhasil dalam menyelenggarakan
pendidikan berbasis digital atau masih sangat perlu inovasi dan terobosan-terobosan
baru.
Secara Umum digitalisasi adalah proses peralihan media dari bentuk cetak,
audio, maupun video menjadi bentuk digital. Digitalisasi selaras dengan laju peradaban
dalam revolusi industri 4.0. Revolusi industri 4.0 merupakan era yang memungkinkan
seluruh entitas di dalamnya untuk saling berkomunikasi kapan saja secara real time
dengan memanfaatkan teknologi khususnya teknologi komunikasi, internet, dan
informasi. Instrumen terobosan yang menjadi diskursus utama dalam revolusi industri
4.0 adalah dengan penciptaan AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan,
teknologi nano, bioteknologi, teknologi kuantum, blockhchain, dan teknologi berbasis
internet. Tujuan dari diadakannya berbagai terobosan tersebut tidak lain adalah untuk
memindahkan peradaban yang semula dinilai sebagai pergerakan yang bersifat manual
menjadi semakin praktis dan simpel, menjadikan kehidupan manusia semakin ringkas
dan cepat, dan tidak dipungkiri juga sebagai ajang perlombaan berbagai negara maju
dalam menemukan teknologi-teknologi baru dalam mengelola bahkan menguasai
sistem peradaban dunia.
3
Salah satu bidang atau sektor yang beralih total dalam bentuk virtual atau digital
adalah sektor pendidikan. Pendemi memberikan dampak besar bagi penyelenggaraan
pendidikan. Seluruh elemen pendidikan seperti pendidik, peserta didik, dan staf
penyelenggara lain tidak diperkenankan untuk melaksanakan proses pembelajaran
secara tatap muka. Ketika pendidikan dialihkan dalam platform digital atau virtual
maka memerlukan sistem, aplikasi, metode, kurikulum, dan SDM pengajar yang lebih
mumpuni untuk menyukseskan pembelajaran, hal ini menjadi perbincangan panjang
pemerintah bersama intrumen penyelenggara pendidikan lain dalam mengatasinya.
Pengalihan pendidikan dalam bentuk virtual, daring, atau PJJ (Pendidikan Jarak
Jauh) menjadi diskursus utama seluruh ahli, pengamat pendidikan, dan pemangku
kebijakan pemerintahan, hal ini terkait bagaimana kesiapan sistem dan SDM
pendidikan nasional dalam menyambut era pendidikan virtual tersebut. Terlebih lagi,
dikarenakan keharusan pembatasan kerumunan dan interaksi masyarakat secara ketat,
Indonesia dan dunia tidak mempunyai pilihan lain selain menerapkan sistem virtual
dalam berbagai bidang kehidupan terkhsus pendidikan, dengan kata lain dalam satu
sudut pandang bisa dikatakan bahwa dunia terpaksa dalam penerapan era baru ini (era
virtual). Pandemi menyebabkan percepatan digitalisasi secara universal. Digitalisasi
bukanlah istilah baru yang muncul akibat adanya pandemi, digitalisasi merupakan suatu
istilah peradaban yang sudah menjadi isu perbincangan dari bertahun-tahun yang lalu,
dikatakan bahwa digitalisasi merupakan sebuah era mutlak adanya sebagai impact dari
penggunaan teknologi yang semakin maju, selaras dengan terobosan yang ditawarkan
oleh revolusi industri 4.0 bahwa teknologi merupakan skala priroritas dan acuan utama
manusia dalam menjalankan peradabannya.
Beliau juga menyatakan bahwa Kemendikbud Ristek menganalisis segala kendala yang
dialami peserta didik dalam pembelajaran kemudian mengupayakan solusi untuk
menyelesaikannya, diantaranya seperti kendala gadget yang kurang memadai maka
pemerintah memberikan bantuan jutaan gadget dan menyelenggarakan program BDR
(Belajar Dari Rumah) lewat siaran televisi dan radio, kendala kuota yang mahal diatasi
dengan pemberian kartu paket dan kuota gratis, kemudian kendala konten yang diatasi
dengan peningkatan mutu SDM dan mutu aplikasi media yang digunakan.
Semakin majunya teknologi digital juga menjadi poin tersendiri untuk selalu
disikapi, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menawarkan beragam
kemudahan dan keuntungan, namun di sisi lain terdapat dampak buruk yang menjadi
hal berbahaya apabila tidak ditanggapi dan disikapi. Perkembangan media digital
mengakibatkan terbukanya beragam akses informasi yang mejadikan semakin
mudahnya faham dan konten diserap oleh masyarakat, tak terkecuali informasi yang
mengarah pada ujaran kebencian, konten negatif, bahkan faham radikal, hal ini sangat
perlu untuk disikapi mengingat kurangnya benteng atau pengetahuan yang dimiliki
masyarakat dalam melakukan penyaringan terhadap beragam informasi. Salah satu
impact yang dirasakan akibat perkembangan teknologi dengan mudahnya akses
informasi adalah degradasi moral anak akibat kesalahan konsumsi media atau
kesalahan penafsiran.
Salah satu bentuk penyikapan kita sebagai generasi muda bangsa khsusnya
sebagai mahasiswa yang terdidik adalah dengan bijak menggunakan teknologi untuk
kemaaslatan, tidak mudah terbuai oleh beragam fitur kemudahan yang di berikan oleh
kemajuan teknologi masa kini, dengan keterbuaian yang berlebih akan menjadikan kita
sebagai generasi yang konsumtif dan mudah tergiring oleh kebudayaan yang
6
terkandung pada media saat ini, pribadi yang konsumtif akan menjadikan mental-
mental yang mudah dimanfaatkan oleh teknologi bukan mental seorang penggerak atau
petarung.
intelligence (EQ), dan spiritual intelligence (SQ). Pembelajaran juga harus berbasis
pada pengembangan soft skill (interaksi sosial) sebab ini sangat penting dalam
pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral,
sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Pendidikan soft skill bertumpu pada
pembinaan mentalitas agar peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan realitas
kehidupan. Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan
keterampilan teknis (hard skill) saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan
orang lain (soft skill).
Pendidikan karakter yang merupakan salah satu sarana soft skill yang dapat
diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran
yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu
dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
Bahkan setiap materi dalam sebuah mata pelajaran perlu diintegrasikan dengan
pendidikan karakter. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya
pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
Hal ini menjadi penting, khususnya bagi peserta didik di Indonesia pada dekade
akhir-akhir ini. Akhir-akhir ini peserta didik mengalami krisis moral. Sebuah krisis
yang menyerang generasi muda, khususnya pada usia sekolah. Anak muda Indonesia
saat ini mengalami krisis moralitas dan intelektualitas dalam level yang
mengkhawatirkan. Banyak kasus kenakalan remaja yang menggambarkan bagaimana
kondisi mental anak muda kita saat ini yang sedang ‘sakit’. Mungkin berlebihan jika
dikatakan demikian, tetapi bisa jadi perbuatan tersebut merupakan keluaran dari sikap
tidak peduli dengan lingkungan, tidak peduli dengan orang lain, hilangnya sopan-
santun, jauh dari agama, dan segala sifat ‘tidak baik’ lainnya yang sudah sangat akut.
Pendek kata, anak muda kita sedang mengalami krisis moralitas. Fakta lain bisa disebut:
tawuran, penyalahgunaan narkoba, seks bebas dan sebagainya. Sehingga, pendidikan
karakter perlu diimplementasikan secara lebih maksimal supaya dapat membendung
berbagai krisis moral yang terjadi tersebut. Terutama yang terjadi di sekolah, integrasi
pendidikan karakter tidak boleh gagal. Pendidik harus mampu dan bisa
mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam pembelajaran, ekstra kurikuler dan
8
budaya sekolah supaya mampu menjadi dasar soft skill yang kedepannya akan menjadi
cikal bakal generasi emas Indonesia.
Pendidikan karakter merupakan hal yang sangat penting untuk senantiasa
disukseskan dalam setiap penyelenggaraan pendidikan. Menurut Ratna Megawangi,
adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan
dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka
dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Karakter adalah
kualitas mental, atau moral, kekuatan moral, nama atau reputasi.
Menurunnya kualitas moral dalam kehidupan manusia Indonesia dewasa ini,
terutama di kalangan generasi muda, menuntut deselenggarakannya pendidikan
karakter. Lembaga pendidikan dituntut untuk memainkan peran dan tanggungjawabnya
untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai yang baik dan membantu para
pesera didik dalam membentuk dan membangun karakter mereka dengan nilai-nilai
yang baik. Pendidikan karakter diarahkan untuk memberikan tekanan pada nilai-nilai
tertentu seperti rasa hormat, tanggung jawab, jujur, peduli, adil dan membantu peserta
didik untuk memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupan mereka sendiri.
Di era globalisasi ini, yang paling banyak terjadi krisis moral, sebagai
contohnya adalah pergaulan antara anak laki-laki dan anak perempuan sudah terlewat
bebas, sudah jadi dari kata normal. Itu disebabkan dari kurangnya pendidikan moral
yang Ia dapat dan kurangnya keimanan mereka. Sekarang kita harus menyadari bahwa
pendidikan moral sangatlah penting. Tidak hanya untuk anak remaja saja, tetapi namun
juga berlaku untuk semua usia. Pendidikan moral harus diajarkan sejak dini sehingga
nantinya akan terbiasa untuk melakukannya, hal ini juga untuk membentuk kepribadian
seseorang.
KEBANGSAAN
Multikultralisme memiliki relevansi dengan ajaran Islam antara lain dalam toleransi,
perdamaian dan keadilan. Pertama, Toleransi, sebagaimana Al-Qur’an Surat Al Hujuraat : 13
yang menegaskan bahwa Allah telah menciptakan manusia dengan bermacam-macam suku
bangsa agar manusia saling mengenal. Bahwa perbedaan tidak boleh menjadi ajang konflik,
karenanya harus dihargai. Dengan saling mengenal maka jalan menuju kehidupan multikultural
akan terbuka.Kedua, Perdamaian. Islam berasal dari akar kata ”al-Salam” yang berarti
perdamaian. Islam mengajak umatnya untuk melakukan dan menyebarkan perdamaian di muka
bumi. Dalam QS al-Baqarah [2]: 208, ”Udkhulu fi al-silmi kaffah ” – yang selama ini sering
diterjemahkan ”masuklah ke dalam agama Islam secara kaffah”- jika meng-gunakan konsep
multikultural ada yang melakukan reorentasi pemahaman yang mendekati konsep
multikulturalisme yaitu dengan menyatakannya sebagai kebersediaan untuk masuk ke dalam
perdamaian secara kaffah (total). Makna ini berbeda dengan makna secara literer yang
menegaskan perbedaan secara sepihak, dan menafikan keberadaan entitas lain dalam
kehidupan. Ketiga, Keadilan Multikultural menekankan berlaku adil dalam memandang dan
bersikap terhadap orang atau kelompok lain. Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 8 ”Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil ”.
Ayat ini mengajak untuk berlaku adil sekalipun terhadap orang atau kelompok yang memusuhi
kita. Berlaku adil maksudnya hendaklah kita tetap berlaku ”obyektif” terhadap mereka. Jika
prinsip ini menjadi ruh kehidupan kita, maka kehidupan multi-kultural akan dapat terwujud.
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara yang pluralistik dan memiliki
dua modalitas penting yang membentuk karakternya yang multikultural, yaitu demokrasi dan
kearifan lokal (local wisdom) sebagai nilai yang dipercaya dan dipahami dapat menjaga
kerukunan umat beragama.
Dalam keragaman bangsa Indonesia, secara historis dan sosiologis agama Islam dianut
mayoritas bangsa Indonesia, namun jika dilihat tingkat provinsi atau daerah, misalnya
12
kabupaten/ kota maka terdapat agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu yang
menjadi mayoritas di lingkungan tersebut.
Fakta dan data keragaman agama di Indonesia menunjukkan bahwa keragaman agama
ini merupakan mozaik yang memperkaya khazanah kehidupan keagamaan di Indonesia,
namun di sisi lain keragaman agama juga mengandung potensi ancaman bagi persatuan Negara
Republik Indonesia. Disinilah diperlukan keterlibatan seluruh warga masyarakat dalam
mewujudkan kedamaian.
Indonesia yang secara kodrati majemuk memiliki akar kultural yang cukup kuat dan
memiliki modal sosial sebagai landasan moderasi beragama. Dalam konteks ke-Indonesia-an,
konsep moderasi beragama telah memiliki landasan yang sangat kuat, bahkan menjadi
semangat atas terbentuknya negara ini. Dengan berbagai latar belakangnya yang berbeda, baik
agama, etnis dan kepentingan politiknya, para fundingfathers faktanya lebih mengedepankan
jalan tengah dan bersatu dan membentuk sebuah kesepakatan bersama.
Moderasi Beragama adalah bagian dari ajaran Islam dimana kita di ajarkan untuk
memiliki komitmen Kebangsaan, bersikap toleransi, bersikap anti radikalisme dan kekerasan
serta bersikap ramah terhadap budaya dan relegion lokal. Maka dengan demikian membangun
kesadaran nasionalisme melalui moderasi beragama sangatlah penting mengingat masyarakat
indonesia yang agamis.
Pentingnya Nasionalisme
Nasionalisme berasal dari kata nation yang artinya bangsa. Nasionalisme adalah
kecintaanya pada tanah air yang menjadikan sekelompok besar orang menetap disuatu wilayah
ditanah air serta memiliki tujuan dan cita-cita bersama sebagai sebuah bangsa.
dan negara tetap berdiri. Tanpa nasionalisme, sebuah bangsa dan negara tidak akan bisa
bertahan. Rasa nasionalisme adalah yang membuat suatu negara masih berdiri. Bayangkan saja
jika suatu bangsa sudah tidak mencintai tanah airnya sendiri. Tingkat kejahatan, kekerasan,
Konflik, pertikaian, kerusakan dimana-mana. Produk dalam negeri tidak laku, kesenian dan
kebudayaan ditinggalkan, bahkan kekayaan negara digadaikan.
Agama merupakan sebuah keyakinan yang secara hakiki bersifat pribadi. Dalam hal ini
tiap-tiap individu menerapkan tindakan yang bersifat universal. Mereka bersentuhan dengan
alam, lingkungan dan sesama. Maka dalam menerapkan perilaku hidup beragama diperlukan
sikap moderat.
kemanusiaan akibat dari sikap yang kurang moderat dalam beragama. Konsekuensinya,
perkembangan hukum islam menjadi dinamis dan sesuai zaman.
Ada tiga kunci seseorang bisa menerapkan moderasi beragama, yaitu pengetahuan,
mengganti emosi keagamaan dengan cinta agama, dan selalu berhati-hati. Dengan tiga kunci
inilah seseorang dapat menerapkan wasathiyah atau moderasi beragama.
Kehidupan berbangsa dan bernegara akan lebih tertata apabila tiap-tiap orang
menanamkan nilai-nilai moderasi beragama. Tidak akan ada konflik yang terjadi karena
perbedaan ras. Sikap fanatik dan ektremisme tidak akan ditemukan. Tindakan radikal dan
terorisme tidak akan terjadi. Karena tiap-tiap orang saling menghargai, mengedepankan
toleransi, hidup dengan seimbang, tidak ada ujaran kebencian ataupun deskriminasi terkait
apapun perbedaan yang terlihat. Dengan menerapkan nilai-nilai moderasi beragama,
kerukunan dan keharmonisan dapat terjalin, maka kesadaran nasionalisme akan mengikuti.
Masa depan dan kemakmuran negara ditentukan oleh bangsa itu sendiri, demikian apabila tidak
dapat berbuat baik janganlah berbuat jahat. Apabila tidak dapat bertutur kata lembut, diamlah.
Kesemua konsepsi dasar diatas pada dasarnya bermuara dalam diskursus akan
pentingnya penguatan Kebangsaan. Awal NKRI lahir dan bertumbuh sukar untuk dipisahkan
dari penguatan masyarakat adat, bangsa, etnis yang ada di Indonesia secara komprehensif. Jika
saja para tokoh visioner, yang menginginkan terbentuknya pribadi bnagsa yang kuat dan bebas
dari bayang-bayang kekuasaan atau hegemoni sosio-budaya bangsa lain dan tidak memiliki
visi untuk merivatalisasi proses kebudayaan warga negaranya, maka dapat dipastikan bahwa
Indonesia Merdeka hanya sekedar formalitas dari respon dangkal akan adanya kolonialisme,
imperialism bangsa Barat. Padahal ikhtiar dalam mengkikis mentalitas inlander complex tidak
15
dapat dilakukan sambil lalu, melainkan irisan dari pekerjaan berat dari pengembangan mental
bangsa. Pekerjaan semacam ini dikenal sebagai pembangunan karakter bangsa atau dalam
istilah lain; national character building (NCB). Dalam struktur NCB ini pada tahun 1945
Soekarno mempopulerkan dan mengakampanyekan terminologi Gotong Royong pengistilahan
ini dimaksudkan sebagai bagian esensial dari revitalisasi nilai sosio budaya dan adat istiadat
pada masyarakat transsuku bangsa di Indonesia agar terbebas dari dominasi sosial, ekonomi,
politik, serta ideologi asing yang tidak mengindahkan bangsa Indonesia yang plural dan
majemuk ini.
Perihal heterogenitas adalah hal yang nisbi dan sukar untuk dihindari, terutama
menyangkut bangsa Indonesia. Perbincangan seksi ini dapat dengan mudah ditemui dalam
masyarakat kita, di pos ronda, warung makan, dalam proses transaksional orang-orang di pasar
tradisional, bahkan semudah mendengarkan lagu yang lagi viral di laman media sosial.
Fenomena ini lahir dari rahim sejarah dalam proses pembuahan nasionalisme di Indonesia,
yakni lahirnya Budi Utomo pada tahun 1908, diikuti ikrar Sumpah Pemuda pada tahun 1928,
yang mengilhami lahirnya konsep bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia dan berbahasa
Indonesia. Proses nasionalisme tersebut berlanjut dan melandasi perjuangan-perjuangan
berikutnya hingga lahirlah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945
setelah melalui proses yang sangat panjang dan berat. Keberhasilan bangsa Indonesia lepas dari
penjajahan melalui perjuangannya sendiri juga melahirkan pengakuan dunia bahwa
nasionalisme Indonesia termasuk salah satu yang terkuat karena hanya sedikit negara dari dunia
ketiga yang mampu merdeka melalui proses revolusi (Hara, 2000).
Di pihak yang lain mungkin kita diuntungkan, kita beragam,banyak gelar kita dapatkan,
misalnya negara paling teduh, toleransi dijunjung tinggi di atas bumi Indonesia. Pun tidak
menutup kemungkinan akan berlaku dengan nafas paradoksial dalam segi praksis.
sederhananya term kebangsaan ialah eksponen daripada eksistensi negara Indonesia : yang
menjadi modal awal dalam membentuk rasa nasionalisme, cinta tanah air, bela negara dan
segala hal yang berkaitan erat dengan ikhtiar untuk mencipta kesadaran kolektif bahwa
keberlanjutan Indonesia terletak pada setiap individu yang sadar dan berpikir akan tanggung
jawabnya sebagai warga negara Indonesia.
Adalah Ben Anderson. Dalam ceramahnya yang bertajuk Nasionalisme Kini dan Esok
di Jakarta mengenai kontinuitas bangsa Indonesia di masa depan, Anderson mengatakan bahwa
16
kebesaran jiwa bangsa Indonesia sebagai sebuah bangsa yang majemuk sangat penting bagi
kelanjutan bangsa ini. Oleh karena itu nasionalisme, atau semangat kebangsaan, merupakan
suatu proyek bersama yang senantiasa harus diperjuangkan. Bangsa Indonesia harus mampu
mengambil pelajaran dari beberapa negara yang hancur akibat warganya berjiwa kerdil. Data
yang dipaparkan oleh Sudjatmiko (1999) menunjukkan bahwa pada abad ke-20 terdapat lebih
dari sepuluh kasus disintegrasi, antara lain Korea Utara-Korea Selatan (1948), Jerman Barat-
Jerman Timur (1949), Malaysia-Singapura (1965), dan Uni Soviet (1990). Data sepanjang
tahun 1945–1995 mencatat terjadi 38 perang, 64 kasus separatisme dan 62 konflik ideologi
atau faksional. Kasus separatisme yang terjadi di benua Afrika tercatat 21 kasus, Timur Tengah
12 kasus, Asia Selatan 10 kasus, Asia Tenggara 11 kasus, Asia Timur 1 kasus, Eropa Timur 2
kasus, Eropa Barat 2 kasus dan Uni soviet 5 kasus.
Celakanya, proses pendangklan definisi terhadap apa itu nasioanalisme dewasa ini
marak terjadi. Nasionalisme diartikan secara cepat-cepat sebagai perjuangan yang seolah-olah
menghalalkan segala cara demi negara yang dicintai. akar masalahnya ada disini, kedunguan
pendefinisian atas nasionalisme menyebabkan makna yang tersimpan di dalamnya sudah tidak
relevan lagi, usang. polemik mutakhir sudah selesai menyoal tentang kolonialisme, penjajah;
semua itu kelewat klise. Menurut hemat penulis, nasionalisme mencakup konteks yang lebih
luas dan plastis, menyangkut persamaan keanggotaan dan kewarganegaraan dari kesemua
kelompok etnis dan budaya di dalam wadah bersama satu bangsa. Dalam struktur dasar
nasionalisme pun diperlukan satu kebanggaan untuk menampilkan identitasnya, kebangsaan
sendiri merupakan proses yang lahir karena dipelajari dan bukan sekedar warisan yang turun
temurun dari satu periodesasi masyarakat (berhubungan dengan temporalitas kolektif).
antara identitas primordial sebagai misal ; agama, budaya, kesukuan ataupun kecenderungan
dengan partai politik sangat mungkin untuk memantik berbagai gejolak lahirnya konflik.
Dalam ranah tanggug jawab analogi verbalis ini mungkin dapat memberikan satu
pandangan untuk meretas polemik intoleran di Indonesia, “Saya mengerti tanggung jawab
sebagai tanggung jawab atas orang lain, jadi seperti tanggung jawab pada apa yang adalah
bukan perbuatan saya, atau untuk apa yang bahkan bukan persoalan atas saya ;atau yang mana
justru melakukan persoalan terhadap saya, adalah bertemu dengan saya seperti wajah”. Artinya
subjek bukanlah bagi dirinya, tapi untuk seorang lain. Subjek menjadi subjek karena
bertanggung jawab atas orang lain. Saya memberikan perhatian bukan bagi diriku sendiri,
namun pertama-tama bagi orang lain yang memandatangiku dengan wajah identitas
kediriannya. Saya bertanggung jawab atas orang lain tanpa menunggu (mengharapkan)
balasan, saya mati karena hal itu. Artinya aku boleh memberikan hidupku bagi orang lain tanpa
aku menuntut orang lain menjadikan mereka sebagai keuntungan bagiku. Ini bersifat pamrih,
unconditional love. Sederhananya, relasi sosial atas keberagaman itu senantiasa being-for
karena itu bersifat asimetris. Aku-bagi-KAmu tidak boleh dibalik menjadi Kamu-bagi-Aku.
Kewajiban etis yang muncul dengan muka harus dipahami secara asimetris. Bahwa apa
yang diberikan pada orang lain, tidak boleh dituntut balas. Proses “Perjumpaan” akan kokoh
direalisasikan apabila ada tindakan konkret dan tak menuntut balasan dari pihak yang lain. Oleh
karenanya, titik temu bagi saya yang memungkinkan perjumpaan yang sungguh-sungguh
dalam pluralitas hidup beragama di Indonesia adalah tanggung jawab. Namun demikian,
penting untuk digarisbawahi bahwa tanggung jawab itu musti berakar dari kesadaran kemudian
kesediaan pribadi, menghayati esensi ajaran agama yang dianut (tanggung jawab iman) tanpa
kebablasan sehingga menjadi inspirasi tindakan nyata dalam situasi apapun saat bertemu
penganut agama lain. Dengan menghayati ajaran imannya, pribadi akan selalu diingatkan,
bahwa “saya adalah orang yang harus melakukan kebaikan, tidak menuntut dan menunggu
orang lain. Menghayati dan mengaktualisasikan ajaran masing-masing agama akan terasa lebih
kuat pesannya (tegas) jika disertai dengan kesediaan orang per orang mengubah nilai-nilai
Pancasila sebagai falsafah hidup berbangsa dan bertanah air Indonesia menjadi cara hidup.
Tidak cukup hanya sebagai ajaran yang bersifat retoris tetapi menjadi kiblat perilaku setiap
individu maupun kelompok sosial masyarakat.
Konsekuensi logis dari proses redefinisi di atas terkait nasionalisme musti dibumikan
dalam wujud tindakan, respon dan tindakan kongkrit. implementasi dari sikap setidaknya
diwujudkan melalui totalitas warga negara dengan pijakan dasar ; unsur-unsur nasionalisme itu
sendiri.Yakni cinta tanah air dan bangsa, berpartisipasi dalam pembangunan, misalnya dalam
19
hal regulasi kebijakan publik, basis ekonomi, politik, budaya dst dengan orientasi masa depan.
Yang tidak kalah penting dan musti dianggap sebagai penting adalah proses kampanye
deradikalisasi dalam korelasinya pada bela negara. secara artian bahasa dekat dengan tindakan
preventif kaitannya dengan counter maraknya gerakan terorisme. atau gerakan sosial yang
membahayakan dengan cara pendekatan tanpa kekerasan. Gerakan deradikalisasi ini dalam
skala kecil dapat dilakukan pada mahasiswa di perguruan tinggi, mengingat di dalam kampus
adalah lahan subur tumbuhnya gerakan radikal berbasis intelektualitas berbalut keagamaan.
Caranya melalui PBAK atau OSPEK, yakni dengan penanaman nilai-nilai nasionalisme,
deradikalisasi, toleransi, gotong royong dsb. tentu dengan garis epistemologi khas mahasiswa,
yakni pada tahapan awal harus melakukan identifikasi dan penilaian, rehabilitasi, reedukasi,
dan reintegrasi sosial serta dilaksanakan melalui pembinaan wawasan kebangsaan, pemahaman
atas agama secara teks-kontekstual.
20
KEISLAMAN
Oleh: Hirzuddin Al-Bashor
Islam sudah masuk ke Indonesia sejak pertengahan abad ke-7 Masehi. Menurut P.
Wheatley dalam The Golden Kersonese: Studies in the Historical Geography of the Malay
Peninsula Before A.D. 1500, yang paling awal membawa seruan Islam ke Nusantara adalah
para saudagar Arab, yang sudah membangun jalur perhubungan dagang dengan Nusantara jauh
sebelum Islam. Kehadiran saudagar Arab (tazhi) di Kerajaan Kalingga pada abad ke-7, yaitu
era kekuasaan Rani Simha yang terkenal keras dalam menjalankan hukum, diberitakan cukup
panjang oleh sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang. S.Q. Fatimi dalam Islam Comes to
Malaysia mencatat bahwa pada abad ke-10 Masehi, terjadi migrasi keluarga-keluarga Persia
ke Nusantara.
nusantara. Dikatakan sebagai tonggak terpenting penyebaran islam karena sejak saudagar arab
masuk pada tahun 674 M tidak serta merta di barengi dengan penyebaran agama islam secara
massif di kalangan penduduk pribumi sampai pada kemunculan tokoh di jawa yang di sebut
wali songo.
Dalam historiograf jawa disebutkan pada awal dasawarsa 1440 an datang dua saudara
dari champa yang tua bernama ali murtolo (murthado) yang muda bernama ali rahmatullah
bersama sepupu mereka abu hurairah. Ali Rahmatullah diangkat menjadi imam di Surabaya
dan kakaknya diangkat menjadi Raja Pandhita di Gresik. Berpangkal dari keluarga asal
Champa inilah penyebaran agama Islam berkembang di wilayah Majapahit terutama setelah
putra-putra, menantu-menantu, kerabat, dan murid-murid dua orang tokoh kakak-beradik itu
berdakwah secara sistematis melalui ‘jaringan’ dakwah yang disebut “ Wali Songo”, yang
menurut perkiraan, dibentuk pada pertengahan dasawarsa 1470-an.
Dalam kenyataannya, para wali telah merumuskan strategi dakwah atau strategi
kebudayaan secara lebih sistematis, terutama bagaimana menghadapi kebudayaan Jawa dan
Nusantara pada umumnya yang sudah sangat tua, kuat, dan sangat mapan. Ternyata, para wali
memiliki metode yang sangat bijak. Mereka memperkenalkan Islam tidak serta merta, tidak
ada cara instan, karena itu mereka merumuskan strategi jangka panjang. Tidak masalah kalau
harus mengenalkan Islam pada anak-anak. Sebab, mereka merupakan masa depan bangsa.
Dalam hal ini, tentu dibutuhkan ketekunan dan kesabaran.
Dalam strategi dakwah yang digunakan para wali dan kemudian diterapkan di dunia
pesantren, para kyai, ajengan, atau tuan guru mengajarkan agama dalam berbagai bentuk.
22
Dalam dunia pesantren, diterapkan fi qhul ahkâm untuk mengenal dan menerapkan norma-
norma keislaman secara ketat dan mendalam, agar mereka menjadi muslim yang taat dan
konsekuen. Tetapi, ketika masuk dalam ranah masyarakat, diterapkan fi qhul dakwah, ajaran
agama diterapkan secara lentur, sesuai dengan kondisi masyarakat dan tingkat pendidikan
mereka. Dan, yang tertinggi adalah fi qhul hikmah, di mana ajaran Islam bisa diterima oleh
semua kalangan, tidak hanya kalangan awam, tetapi juga kalangan bangsawan, termasuk
diterima oleh kalangan rohaniwan Hindu dan Buddha serta kepercayaan lainnya.
Para wali sebagaimana para nabi, bukan rohaniwan yang hanya tinggal di padepokan
dan asrama, tetapi selalu mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendalami
ilmu, sekaligus menyiarkan Islam. Mereka itu ibarat danau, memiliki kerohanian yang
mendalam dan pemikiran serta hati yang jernih. Karena itu, mereka selalu didatangi orang-
orang yang membutuhkan kedamaian rohani. Selain itu, mereka juga seperti sungai yang
mengalirkan air dari danau ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga mereka yang jauh dari
mata air dan jauh dari danau pun, bisa tersirami rohaninya.
Kemampuan para wali menggalang kepercayaan umat melalui perjalanan dakwah yang
tidak kenal lelah dibarengi apresiasi yang sangat tinggi pada agama lama: Hindu, Buddha,
Tantrayana, Kapitayan maupun lainnya, dan kematangannya dalam mengelola budaya,
membuat ajakan mereka diterima oleh hampir seluruh penduduk Nusantara. Apalagi,
sebagaimana dicatat dalam buku ini, masing-masing wali memiliki tugas dan peran sendiri-
sendiri, sehingga tidak ada bidang strategis yang luput dari perhatian mereka, mulai dari soal
kerohanian, tata kemasyarakatan, strategi kebudayaan, pengaturan politik kekuasaan, usaha
peningkatan perekonomian, pengembangan kesenian, dan sebagainya.
Strategi para wali dalam mengembangkan ajaran Islam di bumi Nusantara dimulai
dengan beberapa langkah strategis. Pertama, tadrîj (bertahap). Tidak ada ajaran yang
diberlakukan secara mendadak, semua melalui proses penyesuaian. Bahkan, tidak jarang secara
lahir bertentangan dengan Islam, tapi ini hanya strategi. Misalnya, mereka dibiarkan minum
tuak, makan babi, atau memercayai para danyang dan sanghyang. Secara bertahap, perilaku
mereka itu diluruskan. Kedua, ‘adamul haraj (tidak menyakiti). Para wali membawa Islam tidak
dengan mengusik tradisi mereka, bahkan tidak mengusik agama dan kepercayaan mereka, tapi
memperkuatnya dengan cara yang islami.
23
Para wali sadar betul bahwa kenusantaraan yang multietnis, multibudaya, dan
multibahasa ini bagi mereka adalah anugerah Allah yang tiada tara. Belum lagi kondisi
alamnya yang ramah, iklimnya yang tropis, tidak ekstrem: tidak terlalu panas tidak pula terlalu
dingin. Ditambah dengan keanekaragaman hayati yang sangat kaya sumber mineral. Ini yang
mereka pahami, sehingga mereka mensyukurinya dengan tidak merusak budaya yang ada atas
nama Islam dan sebagainya. Ini sesuai dengan perintah Allah sebagaimana disebutkan dalam
al-Qur’an surah an-Naml [27]: 40: “Ini termasuk anugerah Tuhanku untuk mengujiku apakah
aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya)” Tentu saja anugerah agung ini patut disyukuri
dengan dilestarikan dan dikembang-kan; bukan diingkari dengan dibabat dan dihancurkan atas
nama kemurnian agama atau atas nama kemodernan. Islam hadir justru merawat, memperkaya,
dan memperkuat budaya Nusantara sehingga bisa berdiri sejajar di samping peradaban dunia
yang lain.
Terlepas dari itu, semangat perjuangan yang dimiliki umat Islam pada masa itu masih
terus membara. Hal itu dibuktikan dengan perlawanan yang tidak pernah berhenti dari tokoh-
tokoh di kerajaan Islam Nusantara. Misalnya seperti perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa dari
Kesultanan Banten, perlawanan Pangeran Antasari di Banjar yang didukung para ulama dan
santri, perlawanan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram Islam, serta perlawanan Pangeran
24
Diponegoro. Dalam Perang Diponegoro yang berlangsung antara 1825-1830, para pemimpin
umat Islam melawan bangsa Eropa hingga mampu menewaskan sekitar 8.000 pasukan
penjajah.
Perlawanan para ulama terhadap penjajah Selain dipimpin oleh para tokoh dari kerajaan
Islam, perlawanan terhadap bangsa penjajah juga dilakukan sendiri oleh para ulama. Para
ulama memimpin perlawanan bersama rakyat Indonesia hingga terbentuk gerakan-gerakan
sosial di kawasan Nusantara. Peran ulama dalam kemerdekaan Indonesia sangat penting Salah
satu contohnya pada Perang Padri di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Imam Bonjol. Akibat
Perang Padri, timbul gerakan-gerakan Islam seperti Gerakan 3 Haji di Lombok, Gerakan R
Gunawan di Jambi, Gerakan H. Aling Kuning di Kalimantan Timur, Gerakah KH. Wasit dari
Cilegon, dan masih banyak lagi. Selain itu, muncul juga berbagai laskar perjuangan berbasis
Islam, seperti Laskar Hizbullah-Sabilillah, yang diteruskan Asykar Perang Sabil dan beberapa
laskar Islam lainnya. Laskar Hizbullah dibentuk sebagai laskar perjuangan semi-militer dari
sebuah kelompok Islam yang dilandasi dengan niat jihad fi sabilillah, yaitu berjuang
menegakkan agama dan negara.
Laskar Hizbullah berperan aktif dalam Pertempuran Surabaya melawan Sekutu pada 10
November 1945 di Surabaya. Selain itu, umat Islam juga membantu Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) atau sekarang TNI, untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) lewat strategi gerilya melawan penjajah. Di samping melalui perlawanan fisik,
perjuangan meraih kemerdekaan juga dicapai dengan mengandalkan kekuatan ilmu. Hal ini
dibuktikan dengan lahirnya Sarekat Islam pada 1911 yang memiliki gagasan revolusioner
untuk melepaskan rakyat Indonesia dari jeratan Belanda. Setelah itu, disusul lahirnya
Muhammadiyah di Yogyakarta pada 1912, Persatuan Islam pada 1923 di Bandung, di Surabaya
lahir Nahdhatul Ulama pada 1926, serta di Sumatera lahir Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
dan Persaudaraan Muslimin Indonesia (Permi).
tidak bisa dihindari, bahkan Al-Qur’an juga mengafirmasi perihal kebebasan tersebut. Allah
swt berfirman,
Artinya, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS Al-Kafirun [109]: 6).
Ayat ini menjadi bukti bahwa fakta adanya agama lain tidak bisa dibantah. Memang, umat
Islam mesti meyakini bahwa hanya ajaran agamanya yang paling benar. Namun, dalam konteks
relasi bermasyarakat, klaim itu tidak boleh sampai mengganggu, apalagi menegasikan,
penganut agama-agama lain untuk hidup dengan aman. Selain itu, ayat ini juga menjadi
sebuah pesan tentang kebebasan beragama, bahwa Islam tidak mengajarkan pemaksaan.
Keragaman agama adalah sebuah fakta yang niscaya, dan Islam mendorong umatnya untuk
hidup berdampingan secara damai dengan umat-umat lainnya, tanpa saling menjelekkan.
Rasulullah juga menerapkan nilai-nilai toleransi ini, dan jejak yang paling kentara adalah saat
dirumuskannya Piagam Madinah.
Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa sikap toleransi
antarumat beragama seharusnya menjadi kesadaran bagi semua umat manusia. Sebab, dengan
toleransi, kerukunan bisa terjalin, kedamaian bisa tercipta di mana-mana, hingga bisa
meminimalisasi perilaku kontraproduktif terhadap kerukunan antaragama. Selain itu, persatuan
antarmanusia juga akan tercipta tanpa memandang latar belakang agama mereka masing-
masing (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir fil Aqidah wasy Syariah wal Manhaj,
[Damaskus, Bairut, Darul Fikr, cetakan kedua: 2000], juz I, h. 298).
Selain penafsiran di atas, ada ayat lain yang justru menjadi dalil paling pokok perihal
spirit diutusnya Rasulullah saw, yaitu:
Artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107).
Pada ayat di atas, Allah hendak menegaskan kembali bahwa di antara tujuan diutusnya Nabi
Muhammad adalah untuk menanamkan kasih sayang kepada semua umat manusia, bahkan
kepada seluruh alam, tanpa memandang latar belakangnya. Selain itu, yang dimaksud rahmat
pada ayat di atas adalah tidak menjadikan ilmu pengetahuan tentang agama Islam sebagai
26
media propaganda dan pemecah belah umat. Sebab, persatuan merupakan salah satu sendi-
sendi Islam dan kekuatan paling solid sebagai agama yang menjunjung nilai-nilai persatuan.
Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Jabir bin Musa bin Abu Bakar al-Jazairi
dalam kitab tafsirnya, bahwa tidak sepatutnya ilmu pengetahuan dijadikan sebuah legitimasi
propaganda dan perpecahan,
Artinya, “Maka tidak sepatutnya, ilmu dan pengetahuan perihal syariat-syariat Allah,
dijadikan sebagai media propaganda dan perpecahan.” (Al-Jazairi, Aisarut Tafasir li Kalamil
Kabir, [Maktabah Ulum wal Hikmah, cetekan empat: 2003], juz 1, halaman 357).
Untuk menciptakan persatuan antarumat beragama, tidak ada cara paling tepat selain
berlaku toleran, ramah, dan penuh kasih sayang kepada mereka. Oleh karenanya, toleransi
menempati posisi sangat penting dalam ajaran Islam itu sendiri. Syekh Sulaiman al-Jamal
dalam salah satu kitabnya juga memberikan penjelasan perihal kata rahmat pada frase
rahmatan lil 'alamin dalam ayat di atas. Beliau mengatakan,
س ُر ْوا َربَا ِعيَتَهُ َحتاى خ اَر ُم ْغ ِشيًّا َ أ َ ََّل ت ََرى أَنا ُه ْم لَ اما. َ َوه َُو كاَنَ َرحِ ْي ًما بِ ْالكَاف ِِريْن.الرحِ ْي ُم
َ شج ُّْوهُ َو َك ا َ ْل ُم َرادُ بِ ا
َ الر ْح َم ِة
َ قَا َل بَ ْعدَ اِفَاقَتِ ِه اللهم ا ْه ِد قَ ْومِ ى فَإِنا ُه ْم ََّل يَ ْعلَ ُم ْون.ِعلَ ْيه
َ
Nabi Muhammad saw adalah orang yang bersifat penyayang kepada orang kafir. Tidakkah
Anda lihat, ketika orang kafir melukai Nabi dan mematahkan beberapa giginya, hingga ia
terjatuh dan pingsan, kemudian ketika sadar ia berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah! Berilah
hidayah untuk kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui’,” (Sulaiman al-Jamal,
al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain lid Daqaiqil Khafiah, [Lebanon, Bairut,
Darul Kutub Ilmiah] juz V, h. 176).
Pada keadaan yang sangat genting, bahkan nyawa hampir terancam, justru Rasulullah
menampakkan kasih sayangnya yang sangat tinggi. Beliau tetap ramah kepada mereka yang
bukan hanya menolak risalah beliau, melainkan juga hendak membunuh Nabi. Jika dalam
keadaan seperti itu saja Rasulullah bersikap toleran kepada pemeluk agama lain, maka sudah
menjadi kewajiban dalam keadaan damai, seperti di Indonesia, toleransi menjadi sikap yang
harus dipedomani semua umat beragama.
27
Oleh karenanya, dalam konteks masyarakat yang majemuk, setiap pemeluk agama
harus menyadari bahwa perbedaan agama adalah realitas kehidupan dan suatu keniscayaan
yang tidak bisa dihindari. Dengan menyadari hal tersebut, kita semua berinteraksi dengan baik
kepada siapa saja selama itu mendorong terwujudnya kehidupan yang adil dan damai.
28
KEMAHASISWAAN
Ada banyak sekali parameter mahasiswa yang di amini dalam skala sosial seperti
halnya tiga golongan besar, yakni mahasiswa aktivis, mahasiswa akademis hingga mahasiswa
romantic. Saya sangat tertarik untuk menyajikan tiga kelompok golongan mahasiswa ini ya
walaupun secara fundamental sosial ada banyak pilihan yang dapat ditempuh untuk
mengaktualisasikan diri, lebih dari sekadar dikotomi naif yang cenderung agak dipaksakan itu.
Sebenarnya ketika kelompok atau golongan tersebut berada pada ranah yang berseberangan,
namun ketiganya tetap saja memiliki titik singgung satu sama lain. Labelisasi yang saya
paparkan ini memang sebuah label yang cenderung bisa dikatakan dangkal dan tidak pada
tempatnya (namun tak berlaku zdolim). Akan tetapi sekali lagi saya memberikan disclaimer
sebagai bentuk ilustrasi pendahuan yang dimana kategorisasi tersebut cukup relevan untuk
dipajang sebagai awalan tulisan ini.
Banyak sekali stigma sosial yang mengatakan bahwa ukuran seorang aktivis adalah
gaya berpakaian yang semrawut, mata lebam kurang tidur, nilai akademik hancur, dan
memasang tampang tokoh revolusioner Kuba Che Guevara, tokoh aktivis seperti Widji Thukul
hingga Munir pada kaos oblong warna hitam. Tentu saja hal ini sah-sah saja mengenakan kaos
bergambar wajah garang tokoh-tokoh tersebut. Tetapi, menjadi sangat lucu, konyol dan tidak
tahu malu, jika pemakai t-shirt tidak tahu, apalagi tidak mau tahu tentang siapa dan bagaimana
29
sesungguhnya perjuangan tokoh tersebut. Jika hal ini benar-benar terjadi, jangankan teman
disekitarnya, mungkin semesta akan tertawa terbahak-bahak melihat mahasiswa semacam itu.
Setiap hal yang memiliki fungsi pasti memiliki ciri khas, nilai dasar serta esensi yang
selalu bersemayam dalam materi tersebut. Sebagai contoh sebilah pedang akan tetap memiliki
kekhasan yakni kuat dan tajam. Contoh lain kita dapat melihat seekor kuda yang memiliki
kekuatan tubuh serta kecepatan. Jika sebuah pedang kekilangan kekhasannya sebagai benda
tajam dan kuat mungkin hanya akan menjadi alat cungkil kelapa, demikian juga jika kita
melihat kuda yang kehilangan kekuatan serta kecepatannya maka ia hanya akan dianggap
sebagai keledai yang tak lebih hanya digunakan sebagai pengangkut barang saja. Dalam
perspektif ini saya tidak mungkin menyudutkan serta melegitimasi mahasiswa sebagai sebilah
pedang ataupun seekor kuda. Saya hanya memberikan sedikit analogi dangkal perihal pedang,
kuda dan mahasiswa.
Ali Syariati (1993), dalam kerucut sosialnya, menempatkan mahasiswa pada bagian
atas (bukan pucuk) kerucut. Bagian atas kerucut yang menyempit, kata Syariati, menandakan
bahwa secara kuantitas / jumlah kelompok ini tidaklah banyak. Kontras dengan bagian alas
kerucut yang semakin lebar. Mereka adalah kelompok awam (masyarakat) dengan jumlah
banyak, yang memang membutuhkan pencerahan dari kelompok di atasnya (mahasiswa).
Adalah Antonio Gramsci seorang filsuf Italia, penulis serta teoritikus politik. Anggota
pendiri yang juga pernah menjadi pemimpin Partai Komunis Italia. Dalam sebuah catatan
sejarahnya Gramsci juga sempat menjalani pemenjaraan pada masa berjayanya rezim Fasis
Benito Mussolini. Tulisan Gramsci menitikberatkan pada analisis budaya serta kepemimpinan
politik. Salah satu dawuh Gramsci yakni mahasiswa merupakan intelektual organik.
30
Di mata Gramsci, kaum intelektual tidak bisa berdiri bebas jika di masyarakatnya masih
tumbuh subur penindasan dalam segala bentuknya. Keberpihakan, kata Gramsci, adalah suatu
tindakan moral. Hal ini sejalan dengan apa yang ditegaskan Julien Benda (1997). Menurut
Julien, tugas seorang intelektual yakni mengabadikan dirinya dalam mempertahankan nilai
abadi yaitu la Justice, la Verite, et la Rasion (kebenaran, keadilan, dan rasio) bukan mengabdi
pada kepentingan politik, apalagi uang dengan menggunakan embel-embel kepentingan rakyat
sebagai senjata andalan.
Cara pandang ini dianut utamanya oleh para pengkaji cultural studies, yang mendasarkan
analisisnya pada politik dan budaya.
Banyak juga sebuah problematika yang akhirnya akan menjadi dasar atas apa yang telah
telah terjadi pada lini pergerakan mahasiswa, beberapa diantaranya perihal ialah moralitas.
Pada ranah ini biasanya lebih bertendensi pada hal-hal yang bersifat etis-moral. Kemunduran
gerakan mahasiswa juga bisa saja dipicu oleh kemerosotan moral mahasiswa. Bahwasannya
mahasiswa tidak lagi mempunyai moralitas seperti yang telah dicita-citakan dari sosok ke-
“maha”-siswaannya. Bahwa mahasiswa, setelah dilihat dari perilaku sehari-harinya dan
idealisme dalam pikirannya, mengalami “degradasi moral” yang serius, sehingga harapan yang
diletakkan di pundak mereka sebagai “anak bangsa” dan “calon-calon pemimpin bangsa”
pupus sudah.
Idealisasi moral semacam ini biasanya melihat perspektif gerakan mahasiswa sebagai
sarana sekaligus instrumen perjuangan moral untuk menegakkan tatanan masyarakat yang
“baik” dan “bermoral”. Karena problem dasarnya adalah dekadensi moralitas, maka solusi
yang ditawarkan untuk membangkitkan kembali gerakan mahasiswa adalah dengan
“menginjeksikan” lebih banyak lagi nilai-nilai moralitas ke dalam diri mahasiswa dan gerakan
mahasiswa, dengan mereka terbebas dari penyakit-penyakit moral yang berjangkit. Re-edukasi
moral ini, yang dilakukan entah dengan motif dogma agama (menanamkan pendidikan agama
ke dalam kader-kader organisasi) atau dengan motif sekular (menanamkan pendidikan moral
kebangsaan), memiliki tujuan akhir, yakni menghindarkan mahasiswa dari godaan
demoralisasi yang sedang mereka hadapi di kampus maupun di luar kampus (korupsi,
hedonisme, dst.). Begitulah kira-kira.
Gerakan mahasiswa pada dasarnya merupakan suatu gerakan sosial (Social Movement),
yang didasarkan pada bentuk utama yaitu perilaku kolektif (Collective Behavior). Secara
formal gerakan sosial didefinisikan sebagai suatu kolektivitas yang melakukan kegiatan dengan
kadar kesinambungan tertentu, untuk menunjang atau menolak perubahan yang terjadi dalam
masyarakat atau kelompok yang mencakup kolektivitas itu sendiri. Pada dasarnya, gerakan
sosial adalah cara alternatif untuk menyuarakan persoalan-persoalan di level domestik, dengan
maksud tertentu, tergantung pada pencetus atau penggagasnya. Dengan begitu, gerakan sosial
bangkit dari level bawah untuk melakukan dekonstruksi pada struktur elit-massa, dan keluar
sebagai solusi terhadap permasalahan sosial yang ada.
Mencuatnya gerakan mahasiswa dengan label Heroism seperti agent of change, iron
stock and social control bukanlah sesuatu yang begitu saja terjadi. Labelisasi tersebut dalam
prosesnya adalah konstruksi yang dilakukan oleh rezim Soeharto pada masa Orde Baru setelah
sebelumnya rezim tersebut melakukan genosida terhadap intelektual kiri. Konstruksi gerakan
mahasiswa oleh penguasa adalah bagian dari upaya untuk mempertahankan statuq-quo,
sehingga bentuk progresif dari gerakan mahasiswa dilucuti hingga memunculkan apa yang
disebut sebagai gerakan moral.
Gerakan moral yang lahir dari problematika Orde seperti diatas, dibebankan kepada
mahasiswa ketika menjalankan aktivismenya, yang dikonstruksi seakan-akan menjadi koboy
dalam kehidupan nyata yang tidak boleh memiliki kepentingan kekuasaan dalam hati dan
kepala mereka. Mereka memainkan moralitas untuk mengingatkan penguasa, kadang dibumbui
dengan melakukan aksi, membuat pernyataan sikap, kampanye dan aksi teatrikal. Seperti
halnya koboy, para mahasiswa datang ketika keadaan sudah genting, dan dengan kekuatan
moral, mencoba menjadi roda penggerak perubahan. Namun gerakan tersebut cenderung hanya
berangan-angan tentang perubahan emansipatif yang transformatif untuk rakyat kelas bawah.
33
Sunyoto Usman dalam artikel jurnal yang berjudul “Arah Gerakan Mahasiswa:
Gerakan Moral ataukah Gerakan Politik?” mencoba membedakan antara gerakan moral dan
gerakan politik. Sunyoto Usman mengartikan gerakan moral sebagai gerakan yang meletakkan
energi mahasiswa hanya sebagai pendobrak ketika institusi birokrasi dan institusi politik tidak
bisa memainkan peran sesuai dengan tuntutan sektor publik, gerakan tersebut hanya untuk
meluruskan. Sedangkan gerakan politik dimaknai sebagai gerakan riil dalam percaturan politik
yaitu dengan masuk lembaga eksekutif atau legislatif atau lebih tepatnya menjadi politisi
profesional.
Pembedaan secara tegas antara gerakan moral dengan gerakan politik progresif menjadi
sangat penting agar tidak terjadi pendistorsian. Batasan dari gerakan moral ini dapat dibagi
menjadi 4 batasan: pertama, gerakan moral menolak membangun aliansi dengan gerakan rakyat
atau politik massa. Hal tersebut dilakukan atas nama kemurnian gerakan dan agar terhindar
dari kepentingan politik. Kedua, dalam gerakan moral berdalih tidak ada ambisi dan
kepentingan pribadi ataupun kelompok terhadap kekuasaan. Mereka hanya memperjuangkan
kebenaran yang mereka yakini dan tidak meminta sumbangsih dari perjuangannya tersebut.
Ketiga, gerakan moral dalam melakukan gerakannya lebih berupa tuntutan koreksi dan
peringatan. Mereka menolak adanya radikalisasi gerakan yang dianggap dapat mengancam
stabilitas. Keempat, gerakan moral mengkonstruksi diri mereka sebagai resi, agent of change,
tulang punggung negara, intelektual pembaharu, roda perubahan dan juga konstruksi heroism
yang lainnya.
Dari batasan gerakan moral tersebut, maka gerakan moral memang menjadi arena yang
selaras dengan idiologi kelas menengah yang memang merupakan mayoritas dari mahasiswa.
Pengetahuan dan intelektualisme mereka merupakan produk dari relasi produksi kapitalisme
yang bertransformasi mendukung hirarki pengetahuan diantara masyarakat. Memang
mahasiswa ini menjadi kelompok yang lebih maju dan memiliki ruang untuk merespon
berbagai persoalan sosial dan politik. Dengan kekuatan moral mereka juga tidak jarang
melakukan aksi massa dan berbagai bentuk protes yang lain. Tuntutan politis mereka juga
mengarah ke tendensi pembebasan sosial dan pembelaan terhadap kelas bawah, seperti tentang
kedaulatan, nasionalisasi aset, menentang pencabutan subsidi, menolak intervensi asing,
kebijakan pro-rakyat, atau tentang pembelaan moral terhadap kesewenang-wenangan organ
negara.
34
Namun gerakan moral tersebut mengalami keterputusan antara wacana dan orientasi
perjuangan praksis. Mereka memisahkan diri dengan rakyat, tidak punya basis massa, menolak
membangun aliansi, tidak memiliki alternatif lain dari sistem yang telah ada, menempatkan diri
sebagai kelas yang lebih superior, bersifat spontanitas, dan konservatif. Itulah yang membuat
gerakan moral ini bersifat regresif, karena gerakan progresif dan pembebasan sosial mereka
berada diatas awan, tidak membumi bersama rakyat kecil.
Dalam gerakan moral ini tidak bersifat menekan tapi lebih menuntut dan
memperingatkan atau bersifat top-down. Keadaulatan dilihat tidak berada ditangan rakyat dan
mereka menunggu kebaikan hati pemerintah. Ruang demokrasi yang dicitacitakan oleh
kekuatan moral ini adalah tentang kebebasan privat yang tidak mengancam aspek sosial
ekonomi mereka tetapi abai terhadap pengekangan dan penghisapan kelas bawah. Artinya
gerakan moral ini tidak akan mengancam status-quo, walaupun pada titik tertentu memerahkan
telinga penguasa.
Fungsi Mahasiswa
Masa depan suatu bangsa ditentukan oleh genarasi muda yang salah satunya adalah
mahasiswa. Oleh karena itu, seorang mahasiswa harus sadar akan tugas yang diembannya dan
perannya yang begitu penting bagi bangsa. Hal ini dikarenakan yangmenjadi tugas mahasiswa
sebenarnya adalah sebagaia Agent Of Change, Social Control, Moral Force, dan Iron Stock.
Sedangkan mahasiswa turun ke jalan, selain karena kondisi obyektif yang telah disebutkan di
atas, juga ada kondisi subyektif yang langsung berhubungan dengan kepentingan mahasiswa.
Kondisi subyektif akibat krisis ekonomi itu antara lain beruba meningkatnya biaya kebutuhan
hidup, juga biaya untuk keperluan kuliah di perguruan tinggi. Dengan meningkatnya harga
kebutuhan pokok, uang dari orang tua yang bisa dialokasikan untuk keperluan akademis juga
semakin minim Bahkan banyak mahasiswa terancam drop out. Kesulitan keuangan ini terutama
dirasakan para mahasiswa yang kuliah di perguruan tinggi swasta (PTS), yang biaya kuliahnya
relatif jauh lebih mahal dari pada di perguruan tinggi negeri (PTN).
Sikap mereka juga tampak lebih radikal. Krisis ekonomi juga menghasilkan banyak
perusahaan ditutup, pengangguran meningkat, dan makin sulitnya mencari lapangan pekerjaan.
Dalam konteks ini, mahasiswa juga merasa kepentingannya terancam. Mereka terutama yang
sudah kuliah di tingkat akhir tidak melihat urgensi untuk cepat menyelesaikan kuliah karena
prospek lapangan kerja yang suram. Maka memprotes keadaan dengan turun ke jalan
tampaknya menjadi pilihan yang wajar.
35
Peran dan fungsi mahasiswa sebagai Agent Of Change yaitu sebagai agen perubahan.
Seorang mahasiswa diharapkan mampu membuat perubahan suatu negara kearah yang positif.
Banyak cara untuk menjalankan peran ini, yaitu misalnya dengan rajin mengikuti kegiatan
penelitian sehingga dapat menemukan suatu alat atau metode yang baru, lalu dengan menjadi
mahasiswa yang kritis terhadap perkembangan global saat ini serta bagaimana cara
menyikapinya.
Peran dan fungsi mahasiswa sebagai Social Control yaitu sebagai kontrol atau
barometer kehidupan sosial didalam suatu masyarakat. Mahasiswa dapat mengendalikan
keadaan sosial yang ada dilingkungan masyarakat, yaitu seperti mendemo kebijakan-kebijakan
pemerintah yang dianggap tidak sesuai. Peran dan fungsi mahasiswa sebagai Moral Force yaitu
sebagai pembentuk moral dalam suatu linkungan masyarakat. Mahasiswa dapat menjadi
pembentuk moral masyarakat, misalnya dengan membiasakan membuang sampah dengan
mendaur ulang sampah dengan cara memberi peyuluhan atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya.
Seorang mahasiswa dapat menjadi teladan yang baik dalam masyarakat. Peran dan fungsi
mahasiswa sebagai Iron Stock maksudnya adalah seorang mahasiswa diharapkan mampu
menjadi pengganti orang-orang yang memimpin suatu negara. Mahasiwa sebagai generasi
penerus dan pejuang suatu bangsa diharapkan mempunyai mental baja, yaitu mental yang tidak
mudah menyerah.
Mahasiswa menjadi genetik dalam hal menyuarakan sebuah pendapat, menjadi satu
mata dalam menangkap kegelisahan dalam masyarakat dan berbunyi dengan teriakan
konstruktif yang sama. Mahasiswa adalah saudara kandung reformasi (mungkin juga saudara
kembar yang identik), subsistem mahasiswa dan subsistem reformasi sudah menjadi sebuah
sistem yang memiliki saling ketergantungan dan bekerja sejara kolektif. Oleh karena
itu,mematikan mahasiswa adalah memematikan reformasi itu sendiri.
36
STUDI GENDER
Oleh: Titania Noor Sholeha, S. Pd.
Berbicara mengenai laki-laki dan perempuan, tidak terlepas dari pembahasan konsep
seks dan gender. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari perbedaan antara laki-laki dan
perempuan sering dikenal dengan sebutan perbedaan gender. Akan tetapi ketika membicarakan
gender kerap selalu mengarah pada perempuan saja. Bukankah gender adalah milik laki-laki
dan perempuan? Lantas apa makna seks dan gender yang sebenarnya?
Seks diartikan sebagai perbedaan jenis kelamin yakni perbedaan secara biologis dari
laki-laki dan perempuan. Seks merupakan fakta biologis yang bersifat kodrati yakni tidak bisa
diubah. Laki-laki dilengkapi dengan alat biologis berupa penis sementara perempuan berupa
vagina. Secara biologis perempuan mengalami lima hal, yakni menstruasi, hamil, melahirkan,
nifas, dan menyusui. Sementara gender adalah sifat, peran, dan posisi sosial yang dilekatkan
kepada laki-laki dan perempuan yang berasal dari hasil konstruksi sosial. Konstruksi sosial ini
adalah bentuk stigma masyarakat yang dibiasakan hingga menjadi budaya yang melekat di
masyarakat. Gender tidak bersifat kodrati, oleh karena itu gender bisa berubah sesuai dengan
situasi dan kondisi seiring dengan perkembangan zaman.
Berbicara mengenai gender pasti tidak asing dengan istilah maskulin dan feminin. Sifat
maskulin dan feminin hasil konstruksi sosial ini secara tidak langsung sudah dilekatkan sejak
dini. Maskulin adalah sifat laki-laki yang dimiliki seseorang lebih besar daripada sifat
keperempuanannya. Hal ini dipercaya sebagai ciri ideal seorang laki-laki yang bersifat gagah,
kuat, dan memimpin. Sementara feminin sifat perempuan yang dimiliki seseorang lebih besar
daripada sifat kelaki-lakiannya. Hal ini dipercaya sebagai ciri ideal seorang perempuan yang
bersifat mengayomi, lemah lembut, dan perasa. Sering kali konstruksi sosial ini memetakan
bahkan menentukan bagaimana pembagian peran laki-laki dan perempuan. Secara konstruksi
sosial laki-laki diupayakan untuk masuk dalam ranah publik sementara perempuan hanya
berkecimpung pada ranah domestik. Dikotomi pembagian wilayah kerja ini muncul karena ada
anggapan bahwa laki-laki lebih berpotensi, tangguh, dan progresif.
Penobatan gelar maskulin dan feminin sesungguhnya telah ditanamkan sejak manusia
lahir. Diakui atau tidak saat bayi baru lahir orang tua, saudara, bahkan kerabat selalu
memberikan kebutuhan sesuai dengan warna doktrin. Laki-laki selalu diidentikkan dengan
warna biru sedangkan perempuan diidentikkan dengan warna merah jambu. Saat balita anak
37
laki-laki diberi perhiasan topi sementara anak perempuan diberi perhiasan pita warna-warni.
Tak dapat dipungkiri juga orang tua memperkenalkan permainan doktrin, laki-laki dikenalkan
dengan robot dan bola sementara perempuan dikenalkan dengan seperangkat alat memasak dan
boneka. Memasuki masa anak-anak mereka dihadirkan dengan penampilan hasil doktrin pula,
laki-laki dengan baju bagaikan ninja sementara perempuan dengan baju bak putri raja.
Tidak berhenti perkara itu saja, seseorang pun dieratkan kembali dengan peran hasil
doktrin. Peran sosial yang diajarkan kepada laki-laki dan perempuan ini sudah masuk kepada
pemikiran yang berupaya membiasakan untuk laki-laki berada di ranah publik dan perempuan
di ranah domestik. Dalam dunia pendidikan, kerap muncul kalimat ‘Ani bermain boneka dan
Budi bermain bola’ tidak jarang pula kalimat ‘ayah bekerja di kantor dan ibu memasak di
dapur.’ menjadi senjata yang sering muncul dalam deretan pelajaran. Mirisnya pengalaman itu
juga terjadi dalam realitas, misalkan pekerjaan menyapu, mencuci baju, dan membersihkan
rumah telah disematkan untuk menjadi tugas perempuan. Hal ini terjadi karena anggapan
bahwa perempuan adalah seorang yang lebih cakap dan terampil dalam melaksanakan peran
ini. Peran sebagai pekerja kantor, pedagang hingga ahli teknik sudah disematkan untuk menjadi
tugas laki-laki yang dianggap lebih berani dan mumpuni dalam bidang tersebut.
Maskulin dan feminin ini sebenarnya bisa dikategorikan dalam bentuk ekspresi gender
yang mana sifat ini merupakan suatu cara untuk mengekspresikan dirinya. Selain maskulin dan
feminin, ekspresi gender juga ada yang bersifat androgin. Androgin adalah sifat maskulin dan
feminin yang dimiliki oleh seseorang di atas rata-rata dan dilakukan pada saat bersamaan.
Orang yang memiliki sifat androgin ini sering menyebutnya ambigender untuk
menggambarkan diri mereka.
Edward Wlsondari harvard University (BKKBN 2009:16) menjelaskan bahwa teori dan
perspektif gender secara sosiologis dibagi atas dua kelompok besar yaitu teori nature yang ada
berdasarkan faktor alami atau kodrati dan nurture yang disebabkan karena konstruksi budaya.1
Teori nature memandang perbedaan gender sebagai kodrat yang tidak perlu dipermasalahkan.
Menurut teori nature adanya pembedaan laki–laki dan perempuan adalah kodrat sehingga harus
diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua
jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Menurut teori nurture adanya
1
Wahyu Nugraheni S. “Peran Dan Potensi Wanita Dalam Pemenuhan Kebutuhan Ekonomi Keluarga
Nelayan,” dalam Journal of Educational Social Studies 1. No. 2, 2012: 105-111
38
perbedaan perempuan dan laki– laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga
menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Selain kedua aliran tersebut terdapat
kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada
konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dengan laki–laki.
Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki-laki, karena
keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Dewasa waktu ini tidak sedikit isu gender yang muncul ke permukaan. Seperti misalnya
diskriminasi, stereotype, kekerasan, bahkan hingga pelecehan seksual. Berbicara terkait isu
gender pasti tidak akan ada habisnya. Gender akan tetap menjadi permasalahan yang erat
kaitannya dengan ketidakadilan peran laki-laki dan perempuan, karena berdasarkan fakta yang
ada selalu ada permasalahan gender yang terjadi setiap tahunnya. Permasalahan gender ini
tidak hanya selalu tentang perempuan, akan tetapi tentang laki-laki juga.
Permasalahan gender yang sering muncul di antaranya adalah penomorduaan atau yang
biasa disebut subordinasi. Subordinasi perempuan diartikan bahwa perempuan lebih lemah
atau lebih rendah daripada laki-laki sehingga kedudukan, fungsi, dan peran perempuan seakan
39
menjadi lebih rendah dibanding laki-laki.2 Subordinasi ini bisa terjadi akibat doktrin sosial
yang meyakini dan melanggengkan pemikiran bahwa perempuan adalah sosok yang lemah dan
tidak mampu. Pada realitas pemikiran seperti ini berasal dari salah satu sudut pandang yang
mendominasi (read : sudut pandang laki-laki) akibatnya pihak laki-laki yang menjadi prioritas
dalam pengambilan keputusan. Subordinasi ini sangat wajar terjadi terutama di daerah
pedesaan yang masih bernaung pada budaya patriarki, hal ini menempatkan perempuan pada
posisi yang kurang menguntungkan dan berpotensi besar terciptanya berbagai permasalahan.
Permasalahan yang terjadi tidak jauh berbeda misalnya saja dalam dunia pendidikan, saat ini
masih saja laki-laki yang menjadi prioritas dalam melanjutkan pendidikan. Laki-laki dianggap
akan selalu mampu menjadi apa yang ditekuni sekarang serta dipercaya bahwa tindak lanjut
perjalanan kehidupan ada pada pilihannya. Sementara perempuan akan ditangguhkan terlebih
dahulu sebelum pada akhirnya mereka memilih tidak sesuai dengan keinginannya. Tidak
sedikit terjadi kasus sedemikian, misalnya seorang anak perempuan ingin melanjutkan ke
perguruan tinggi yang jauh dari rumahnya, sederhana itu kerap orang tua menolak dengan
tuturnya yang mengatakan bahwa perempuan jangan kuliah jauh-jauh. Tidak hanya itu kasus
serupa yang terjadi misalnya saat anak perempuan ingin memilih jurusan teknik, tidak jarang
pula orang tua mengutarakan “untuk apa perempuan mengambil jurusan Teknik? Mau jadi apa
nanti?’ dan kata-kata senada lainnya. Miris memang ketika mengetahui banyaknya kasus
ketidakadilan gender seperti ini.
Akhir waktu ini deretan permasalahan gender telah dipenuhi oleh kasus kekerasan dan
pelecehan seksual dari berbagai sektor. Kekerasan seksual adalah segala bentuk perbuatan yang
mengakibatkan penderitaan fisik maupun psikis dan menyasar pada organ seksual dengan
unsur paksaan atau ancaman. Sedangkan pelecehan seksual adalah tindakan seksual baik secara
fisik maupun non fisik yang menyebabkan seseorang merasa tidak aman dan direndahkan
martabatnya hingga mengakibatkan gangguan kesehatan fisik maupun mental. Pelecehan
seksual dapat dialami oleh siapa pun baik laki-laki maupun perempuan tanpa memandang
status, tempat, dan waktu. Sering kali pelecehan seksual dianggap hanya terjadi di malam hari,
pada tempat sepi, dan akibat pakaian seksi. Nyatanya pelecehan seksual tidak memandang
atribut apa yang digunakan, hal ini karena banyak korban pelecehan seksual dari orang yang
mengenakan pakaian panjang dan rapi. Dalam dunia pendidikan, pelecehan seksual tidak
2
Imam Syafe’i. “Subordinasi Perempuan dan Implikasinya Terhadap Rumah Tangga,” dalam Jurnal
Studi Keislaman 15. No. 1, 2015: 143-166
40
mustahil terjadi. Banyak kasus pelecehan seksual yang terjadi di instansi pendidikan baik itu
di sekolah, kampus, maupun pondok pesantren. Lantas bagaimana menghadapi perilaku
kejahatan tersebut? Apa yang harus kita lakukan saat mengetahui atau mengalami kasus
tersebut?
Lima hal yang harus dilakukan saat mengetahui kasus pelecehan seksual, yakni
menegur, menginterupsi, menunda, meminta bantuan, dan mendokumentasikan. Pertama,
menegur pelaku pelecehan seksual adalah hal yang memiliki risiko sangat besar. Dalam upaya
ini harus memperhatikan kondisi yang terjadi, membahayakan atau tidak. Kedua,
menginterupsi artinya kita melakukan upaya pengalihan perhatian dengan menyela atau
berpura-pura bertanya seakan sudah mengenal korban. Ketiga, menunda kejadian pelecehan
seksual dengan menghampiri dan mengajak bicara korban ataupun pelaku. Keempat, meminta
bantuan kepada orang di sekitar mengenai adanya kasus pelecehan seksual. Kelima,
mendokumentasikan untuk membantu korban dalam pelaporan masalah kepada pihak yang
berwajib. Dokumentasi ini berfungsi sebagai bahan bukti penguat adanya kasus pelecehan
seksual serta menunjukkan waktu dan tempat kejadian.
41
TENTANG PENULIS
Muzakki, Sapaan akrab dari seorang anak laki – laki yang lahir
dengan nama lengkap Ahmad Muzakki di Kabupaten Kediri,
Jawa Timur, 08 Desember 1999. Putra Tunggal dari ayahanda
tercinta Parto Sadiran (Alm) dan ibunda kasanah. Bertempat
tinggal di Kabupaten Blitar bersama keluarga angkatnya
ayahanda imam bahroni dan ibunda munjiati dengan 4 saudara.
Sejak umur 10 tahun, ia mulai berkelana menimba ilmu di
berbagai Pondok Pesantren di Kabupaten Blitar, antara lain
Pondok Pesantren Nailul Ulum II di Slemanan, Pondok
Pesantren Ibadurrohman di Ngegong dan Pondok Pesantren Terpadu Al Kamal di Kunir.
Sembari juga menempuh pendidikan formal pada MI Roudhotun Nasyi’in di Slemanan, SMPN
03 di Kota Blitar dan SMK Al Kamal di Kunir. Tidak sampai disitu, dengan do’a restu seluruh
keluarga besar maka pada awal tahun 2018 melanjutkan pendidikan di UIN Sayyid Ali
Rahmatullah Tulungagung.
Tertarik pada pandangan pertama yakni ilmu hukum dan memutuskan untuk mengambil
program studi Hukum Ekonomi Syariah pada Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum, penulis telah
menyelesaikan masa studi selama 8 semester dengan predikat cumlaude bergelar Sarjana
Hukum. Selain sebagai mahasiswa yang akademis berada di bangku kelas, ia juga aktif dalam
kegiatan pengembangan diri di berbagai kegiatan organisasi yang ada di kampus, diantaranya
PMII, Menwa, Ukm Bakat Minat, Himaprodi, Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam
(FoSSEI) dan Dema. Pernah mengemban amanah sebagai Ketua Himaprodi Hukum Ekonomi
Syariah (2020-2021) dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan selama
2 Periode di Dema UIN Sayyid Ali Rahmatullah (2021 – 2022 dan 2022 – Sekarang).
Muzakki. Seorang anak kecil tanpa arah yang kemudian memutuskan untuk melihat
dunia dari kacamata hukum. Mulai mengenal banyak beragam sudut pandang dengan
mengikuti berbagai macam seminar lokal maupun nasional dan mengikuti organisasi tingkat
nasional meliputi Dema PTKIN Seluruh Indonesia, BEM Nusantara dan pernah menjadi
keluarga besar Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam progam magang mandiri. Hukum
dan Politik selalu saling berkesinambungan dalam kehidupan sehari – hari, bertemu orang –
orang baru dan hebat tentu saja adalah kesempatan yang luar biasa dalam makna pengalaman
pribadi penulis. Indonesia membutuhkan generasi millenial yang melek terhadap hukum,
bukan hanya melek pada teknologi. Dalam dunia politik mereka yang mampu bertahan dan
mengetahui sejarah maka ialah pemenang di atas segalanya. Karena masa depan tidak lepas
dari masa lalu yang dilampaui. Indonesia bukan milik mereka yang hanya memikirkan
kepentingan pribadi, tapi indonesia milik mereka yang mampu memahami dan melaksanakan
apa arti cita – cita Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Media Sosial : @Muzakki Almahbub
Motto hidup :
“Mohon, Mangesthi, Mangastuti, Marem”
44
“Selalu meminta petunjuk Tuhan untuk menyelaraskan antara ucapan dan perbuatan
agar dapat berguna bagi sesama”