Anda di halaman 1dari 4

Sub tema : Sosial Budaya

ARUSATHA ESSAY COMPETITION

MENJADI AKTOR DIGITAL DALAM DIGITALISASI BUDAYA DI ERA


SOCIETY 5.0

Tema : Peran Generasi Indonesia sebagai Agent of Change dalam Menghadapi


Era 5.0

Disusun Oleh :
Mhd. Hafiz Daniel (2210102010088)

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2023
PENDAHULUAN

Revolusi industri 4.0 diseluruh dunia, perlahan membentuk framing/kerangka


masyarakat yang dikenal luas sebagai masyarakat 5.0 (society 5.0). Masyarakat 5.0
sendiri merupakan sebuah pengaplikasian dari cyber physical system dengan perilaku
dan pekerjaan masyarakat. Gagasan ini pertama kali dikenalkan oleh Kabinet Jepang
pada 2016 dalam “Basic Policy on Economic and Fiscal Management and Reform
2016”. Indikasi ini didasarkan pada perubahan masyarakat dari information society
menuju super smart society. Digitalisasi budaya yang akhirnya menjadi sebuah
kebiasaan dan tradisi masyarakat pun tak dapat dihindarkan, penggunaan artificial
intelligence dalam segala aspek kebutuhan digital menjadi sebuah kekhawatiran,
“Mau jadi apa generasi kita ?”

Generasi Z, dewasa ini menjadi kunci untuk Indonesia dapat berkompetisi di


era 5.0 . Apabila generasi muda tidak memiliki filter dalam membendung arus
informasi di era globalisasi ini, tidak akan sukar untuk ideologi asing menyusup pada
generasi muda penerus bangsa. Penting rasanya membangun identitas bangsa melalui
kesadaran digital, karena selain berdampak bagi kelangsungan hidup berbangsa dan
bernegara dalam era yang serba teknologi, hal itu juga menjadi upaya untuk pribadi
manusia Indonesia yang dapat bersaing disaat Artificial Intelligence (AI) sedang trend
dalam mengambil alih lapangan pekerjaan secara perlahan.

Pada 2022 lalu, angka pengangguran di Indonesia menembus angka 8,42 juta
orang. Indeks ini dapat bertambah setiap tahun karena kurangnya lapangan kerja,
serta masalah digitalisasi industri yang akan berdampak pada pasifnya pembangungan
ekonomi oleh generasi muda Indonesia. Menimbang dari berbagai perspektif,
disimpulkan bahwa persaingan kerja dewasa ini bukan hanya terjadi pada individu
antar individu, melainkan individu dengan artificial intelligence(A.I), yang pada
kasus ini mengharuskan generasi muda untuk lebih try hard dalam berinovasi apalagi
dalam ranah pekerjaan.
ISI

Distorsi revolusi industri yang menyebabkan digitalisasi dalam seluruh lini


kehidupan membuat masyarakat dari semua kalangan harus beradaptasi dengan
peralihan masyarakat 5.0 . Sejak pandemic 2020 lalu, kita dipaksa untuk berubah
berkala secara digital, baik dalam aspek sosial maupun kurikulum pendidikan. Secara
sosiologi, hal ini dijelaskan melalui teori perubahan sosial yang dikemukakan oleh
Samuel Konieg (dalam Ariefa Afianingrum,2011:10), yaitu menyatakan bahwa
perubahan sosial adalah terjadinya modifikasi pada pola kehidupan manusia.

Perkembangan teknologi yang terjadi sudah merambat ke berbagai sektor,


termasuk aspek sosial dan budaya. Dalam konteks sosial budaya, perkembangan
teknologi komunikasi lah yang menjadi titik tumpu dari perubahan sosial. Di
buktikan dengan survey yang dilakukan We Are Social, yaitu pengguna sosial media
pada Januari 2023 mencapai 167 orang atau setara dengan 60,4% populasi rakyat
Indonesia. Anak-anak yang lahir pada periode Gen Z, cenderung memiliki adaptasi
yang luar biasa terhadap perubahan teknologi. Mereka dengan mudahnya mengakses
dan menggunakan smartphone, gawai, dan perangkat digital lainnya.

Penggunaan Artificial Intelligence (AI) pada setiap lini kehidupan seakan


menjadi sebuah tradisi yang melekat untuk mempermudah pekerjaan manusia. Mulai
dari manajemen perusahaan yang kini sudah menggunakan teknologi robotic dan
komputerisasi demi menunjang kepraktisan dalam melakukan seperangkat pekerjaan.
Seperti contoh penggunaan Chat GPT yang sedang viral dikalangan pelajar dan
industri media kreatif dalam menyusun sebuah karya tulis yang secara generative
menyajikan paragraf sesuai topik yang diajukan pada platform tersebut.

Padahal dewasa ini, peran pemuda sebagai actor digital sangat diperlukan,
selain berimplikasi pada berbagai sector kehidupan, penekanan angka pengangguran
juga dapat ditinjau dari keterbukaan lapangan kerja dalam kancah digital. Dilihat
secara linguistic, actor digital dapat diartikan sebagai pelaku-pelaku yang bekerja
dengan memanfaatkan teknologi digital untuk menunjang pekerjaan mainstream yang
pada realitanya menggunakan teknologi informasi telekomunikasi. Namun,
pemanfaatan teknologi digital di Indonesia masih sangat tertinggal untuk menunjang
Gerakan digitalisasi budaya.

Anda mungkin juga menyukai