Anda di halaman 1dari 20

PANENTEISME : FENOMENA BARU KETUHANAN

DALAM PERSPEKTIF METAFISIKA

Suhermanto Ja’far
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel

ABSTRAK

A. Latar Belakang
Eksistensi Tuhan merupakan masalah pokok dalam setiap agama dengan
pendekatan teologis yang bersumber pada kitab sucinya masing-masing. Disamping itu,
juga menjadi pembahasan filsafat dengan perspektif metafisika-ontologis. Problematika
Ketuhanan merupakan problem universal yang selalu ada dalam babakan sejarah
manusia, sehingga problema ketuhanan tetap dianggap sebagai tema pokok dalam
sejarah filsafat. Masalah Tuhan berada pada tingkat pertama spekulasi filosofis.1
Relasi Tuhan dengan manusia maupun alam merupakan fenomena baru
masyarakat modern dalam memahami Tuhan, sehingga pendekatan epistemologis
menjadi sebuah keharusan. Tuhan dipahami dalam perspektif antroposentris dengan titik
tekan pada relasi antara Tuhan dengan manusia dan alam. Relasi antara Tuhan dengan
manusia menimbulkan pemikiran-pemikiran yang secara filosofis cenderung imanen pada
satu sisi dan transenden pada sisi yang lain, bahkan menimbulkan pemikiran yang
menganggap bahwa Tuhan itu imanen sekaligus transenden.

Relasi keduanya yang melahirkan konsep imanensi dan transendensi ini dalam
perkembangan berikutnya menimbulkan faham-faham ketuhanan yang menjadi
perdebatan diantara paham-paham tersebut. Tuhan dianggap sebagai imanen sekaligus
transenden bagi penganut teisme. Tuhan dianggap sebagai transenden terhadap alam dan
manusia bagi kaum Deisme. Tuhan dianggap sebagai yang imanen bagi kaum panteisme.
Disamping itu, ada juga yang pesimis bahwa akal manusia bisa menjangkau Tuhan
sebagaimana kaum agnostisisme.
1
Louis Leahy, Filsafat Ketuhanan, 32
Relasi Tuhan dengan manusia dan alam yang dikonsepsikan para teolog yang
cenderung spiritualis-monistik beranggapan bahwa peleburan dalam relasi tersebut akan
melenyapkan eksistensi manusia dan alam sebagaimana menjadi pegangan kaum
panteisme. Sementara itu, dikalangan masyarakat modern yang rasional melalui
pendekatan epistemologis beranggapan bahwa peleburan dalam relasi tersebut tidaklah
menghilangkan eksistensi manusia dan alam tetapi justru semakin mengeksiskan
manusia. Ini adalah anggapan kaum panenteisme.
Persepsi panenteisme mengenai Tuhan ini menjadi fenomena baru masyarakat
modern, karena paham ini tidak menafikan kemampuan dan kebebasan manusia.
Fenomena ini berangkat dari pemahaman epistemologis filosofis tentang eksistensi
Tuhan relevansinya dengan pengetahuan ilmiah, sehingga paham ini masih menghargai
pengetahuan ilmiah dalam memahami Tuhan. Pengetahuan ilmiah menjadi perangkat
metodologis dalam memahami eksistensi Tuhan. Tuhan tidak hanya dipandang dalam
perspektif teologis saja. Eksistensi Tuhan menjadi perdebatan yang panjang antara
panteisme dengan panenteisme mengenai relasi yang disertai dengan peleburan manusia
dengan Tuhan.
B. Perumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini menempatkan
fokus kajian pada :
1. Bagaimana konsep dan argumen tentang adanya Tuhan secara filosofis dan teologis
dalam perspektif Metafisika ?
2. Bagaimana konsep Ketuhanan panenteisme diantara paham-paham ketuhanan teisme,
agnostisisme maupun panteisme ?
3. Siapakah Tokoh pemikir panenteisme baik di Barat maupun pemikir Islam ?
C. Tujuan Penelitian
1. Ingin mengetahui konsep dan argumen bukti adanya Tuhan secara filosofis dan
teologis dalam perspektif metafisika.
2. Untuk mendiskripsikan pemahaman ketuhanan Panenteisme diantara paham-paham
ketuhanan teisme, agnostisime maupun panteisme?
3. Untuk mengetahui tokoh-tokoh pemikir panenteisme dan pemikirannya tentang
Tuhan ?
D. Metodologi
Metodologi sebagai cabang filsafat pengetahuan yang membicarakan mengenai
cara-cara kerja ilmu merupakan perangkat utama dalam sebuah penelitian. Dalam
penelitian ini, penulis mempergunakan jenis penelitian Kepustakaan. Penelitian ini
didasarkan pada dokumen-dokumen pustaka berupa buku-buku yang terkait dengan
pembahasan tema utama.
Apabila pengumpulan data melalui studi kepustakaan telah terpenuhi, penulis
mempergunakan analisis isi (content analysis). Analisis ini dimaksudkan untuk
melakukan analisis terhadap makna yang terkandung dalam keseluruhan pemikiran
tentang Ketuhanan khususnya panenteisme dalam perspektif Metafisika dengan analisis
filosofis dan teologis. Adapun metode dan pendekatan disini adalah:

1. Metode Historis merupakan suatu metode analisis data yang menyajikan apa adanya
tentang suatu peristiwa secara kronologis dari dulu sampai sekarang yang berurutan
sesuai dengan peristiwa. 2
2. Metode diskriptif merupakan suatu metode analisis data yang menggambarkan data-
data sebagaimana adanya dari pemikiran-pemikiran tentang panenteisme sebagai
paham ketuhanan dalam metafisika secara filosofis dan teologis secara jernih dan
tepat. 3
3. Metode Komparatif merupakan metode analisis data yang memperbandingkan
berbagai macam argumentasi atau data, kemudian ditentukan kesimpulannya. 4
4. Metode fenomenologis merupakan metode analisis dalam penelitian ini yang
didasarkan pada sistem filsafat yang dikembangkan oleh Edmund Husserl dengan
menitik beratkan pada relasi antara subyek dan obyek yang bersifat intersubyektif.
Antara subyek dan obyek berjalan secara dialogis, karena keduanya sama-sama
mempunyai kesadaran yang bersifat intensionalitas. Dengan kata lain, metode
fenomenologis merupakan metode yang menggambarkan apa adanya tentang obyek
bahasan tanpa penafsiran dari subyek. Melalui reduksi ini maka yang tinggal adalah

2
Hasbulah Bakry, Sistematik Filsafat, (Jakarta : Widjaja, Cet. VII, 1981) , hal. 10
3
Anton Bakker dan A. Charis Zubair, Methodologi Penelitian Filsafat, (Jogjakarta : Kanisius,
Cet. I, 1992), hal. 88.
4
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, sutu Metode praktek, (Jakarta : Rineka Cipta, cet. IX,
1996), hal. 245
fenomena murni baik pada diri subyek maupuan obyek. Melalui reduksi ini agar yang
muncul pada subyek adalah kesadaran murni, sehingga obyek yang telah dimurnikan
dari berbagai tafsiran tinggal eidos atau essence.
5. Metode Hermeneutik merupakan metode analisis dalam penelitian ini sebagai sebuah
teori yang mengatur tentang metode penafsiran, yaitu interpretasi terhadap teks, serta
tanda-tanda lain yang dapat dianggap sebagai sebuah teks. Dalam penelitian ini,
penulis juga mempergunakan hermeneutik Paul Ricoeur dalam membahas tentang
Panenteisme sebagai paham Ketuhanan secara filosofis dan teologis perspektif
5
metafisika dengan mempergunakan prinsip hermeneutics of recollection of meaning
dan hermeneutics of suspicion. 6 Prinsip hermeneutics of recollection of Meaning
dipergunakan penulis untuk mendeskripsikan secara lugas perkembangan pemikiran
tentang Ketuhanan dalam paham-paham teisme sebagai bagian dari kajian metafisika,
kemudian penulis mencoba untuk memberikan analisis terhadap tema pokok bahasan
dalam penelitian ini.

Hasil Penelitian dan Pembahasan

A. Pengertian dan Sejarah Metafisika


Problem Metafisika sering disebut disiplin yang meminta tingkat abstraksi yang
sangat tinggi, karena tujuan kajiannya adalah karakteristik realitas yang seumum-
umumnya. Tidak heran, kalau banyak orang menyebut metafisika sebagai disiplin yang
7
terumit dan membutuhkan energi intelektual cukup besar untuk mendalaminya.
Metafisika mendapatkan tempat yang tertinggi diantara disiplin lainnya karena beberapa

5
Hermeneutics of recollection of meaning merupakan hermeneutika yang memberi tekanan
kepada penafsiran sebagai pengingatan kembali makna yang terkandung dalam teks-teks terdahulu. Untuk
lebih jelasnya, Lihat Paul Ricoeur, Hermeneutics : Restoration of Meaning or Reduction of illusion, dalam
Ciritical sosiology, hal. 194-203. Bandingkan karya lainnya dalam, Hermeneutics and the Human
Sciences, Essays on Language, Action and Interpretation, edited by John B. Thomson (Cambridge :
Cambridge University Press, 1982), hal. 77-78
6
Hermeneutics of suspicion merupakan hermeneutik yang memberi tekanan kepada penafsiran
sebagai latihan kecurigaan. Ricoeur merupakan filosof yang mengakomodir kritik ideologi dan
psikoanalisis dalam melakukan eksplorasi isi pada kajian hermeneutik. Disinilah Ricouer
mengembangkannya pada hermeneutika fenomenologi. Lebih jelasnya lihat, Paul Ricouer, Hermeneutics
and Critics of Ideology, dalam Hermeneutics and the Human Sciences, hal. 78-79
7
Lorens Bagus, Metafisika, (Jakarta : Gramedia, 1991), 2
hal. Pertama, karena obyek-obyeknya lebih mendalam, stabil dan mendasar dibanding
obyek-obyek disiplin lain. Kedua, karena keniscayaan absolut artikulasi proposisi-
proposisinya, keniscayaan tersebut didapat dari fakta bahwa tidak satupun proposisi yang
tergantung pada data-data inderawi melainkan pemahaman rasio.
Ketiga, ketidak tergantungan metafisika pada data-data inderawi menempatkan
metafisika sebagai satu-satunya disiplin yang mengungkapkan kebenaran fundamental,
karena kajiannya adalah realitas yang tidak terlihat dibalik realitas yang terlihat
merupakan sekedar penampakkannya. 8 Metafisika selalu berupaya menentukan apa yang
essensial dengan menanggalkan hal-hal yang non esensial. Komitmen metafisika adalah
essensialisme yaitu suatu keyakinan bahwa segala sesuatu memiliki sebagaian dari
sifatnya bukan sekedar sifat yang kontingen melainkan keniscayaan. Suatu sifat
dikatakan esensial terhadap benda X ketika secara niscaya X memiliki sifat tersebut; X
memiliki sifat tersebut di berbagai dunia yang mungkin dimana X hadir. 9
Secara historis, filsafat berawal dari metafisika. Istilah metafisika sebenarnya
kebetulan saja. Nama metafisika bukanlah dari Aristoteles melainkan istilah yang
diberikan Andronikos dari Rodhos (Rodi). Ia menyusun karya-karya Aristoteles
sedemikian rupa tentang tentang filsafat pertama, mengenai metafisika yang ditempatkan
setelah fisika. Jadi metafisika adalah kata yang secara kebetulan ditempatkan setelah
fisika. Kata “meta” bagi orang Yunani mempunyai arti “sesudah atau di belakang”.
Kata metafisika dipakai sekali untuk mengungkapkan isi pandangan mengenai, “hal-hal
di belakang gejala fisik”. 10 Ketika Andronikos dari Rhodos menyusun karya-karya
Aristoteles, ia menemukan 14 buku tanpa nama sesudah seluruh karya-karya mengenai
fisika tersusun. Ia menyebut ke- 14 buku tersebut dengan nama “buku-buku yang datang
sesudah fisika” (ta meta ta physica). Dalam buku-buku ini, ia menemukan pembahasan
mengenai realitas, kualitas, kesempurnaan, yang ada, yang tidak terdapat pada dunia
fisik, tetapi mengatasi dunia fisik. 11

8
WH. Walsh, Metaphysics, (London : Hutchinson and Co, 1970), 38
9
John F, Post, Metaphysics: a Contemporary Introduction, (London :Paragon House, Minnesota,
1991), 5
10
Harus Hadiwijono, Sari Sejarah, hal. 47. Baca pula Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas
Filsafat Barat, ter. Soejono Soemargono (Yogyakarta:Tiara Wacana Yogya, 1992), hal. 4.
11
Lorens Bagus, Metafisika (Jakarta: Gramedia Pusataka Utama, 1991), hal. 17-18.
Pada abad pertengahan, istilah metafisika ini kemudian mendapatkan arti
filosofis. Metafisika oleh para filosuf Skolastik diberi arti sebagai ilmu tentang yang ada
karena muncul sesudah dan melebihi yang fisika. Istilah “sesudah” di sini tidak dalam arti
temporal, tetapi bahwa objek metafisika berada pada abstraksi ketiga, yaitu setelah fisika
dan matematika. Demikian juga dengan kata “melebihi”, ia tidak menunjukkan unsur
spasial, melainkan bahwa metafisika melebihi abstraksi yang lain, menempati posisi
tertinggi dari semua kegiatan abstraksi karena menempati jenjang abstraksi paling
akhir. 12
Mengingat bahwa metafisika adalah awal dari kegiatan berfilsafat, maka bisa
dikatakan bahwa usia metafisika setua usia filsafat itu sendiri. Filsuf pertama yang mulai
menyibukkan diri dengan realitas sebagaimana adanya/realitas ultim adalah Thales (580
BC). Dia mengklaim bahwa sumber segala sesuatu adalah air, tanah mengapung di atas
air dan segala sesuatu di atasnya dibuat dari air. Walau Aristoteles menyebut teorinya
‘kekanak-kanakkan’, namun kontribusinya terhadap perkembangan intelektual Barat
sangatlah besar. Apa yang dilakukannya adalah langkah yang menentukan dalam sejarah
filsafat Barat yaitu membongkar pola pikir mitis dengan mendeskripsikan realitas
sebagaimana apa adanya (realitas ultim), di balik penampakkan dan opini sehari-hari.
Para pelopor Metafisika seperti, Thales, Plato dan Aristoteles sendiri sebenarnya
belum secara tegas menamakan disiplin yang mereka kembangkan sebagai ‘metafisika’.
Aristoteles sendiri menamakan disiplin yang mengkaji sebab-sebab terdalam, prinsip-
prinsip konstitutif dan tertinggi segala sesuatu tersebut sebagai Proto Philosophia
(filsafat pertama) untuk membedakannya dari disiplin filsafat yang masih berkutat pada
hal-hal yang sifatnya fisik-skunder.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa objek material atau ruang lingkup yang
dicakup dalam pembahasan metafisika ialah seluruh realitas. Sedangkan objek formal
atau fokus pembahasan adalah ada sebagaimana adanya. Seluruh realitas yang dibahas
metafisika adalah ada sebagaimana adanya. Karena itulah, metafisika diakui sebagai ilmu
yang paling universal. Ia tidak merujuk pada objek material tertentu, melainkan mengenai
suatu inti yang termuat dalam setiap kenyataan. Inti itu hanya tersentuh pada taraf
penelitian yang paling fundamental dan dengan menggunakan metode tersendiri.

12
Ibid., hal. 19.
Metafisika merupakan refleksi filosofis kenyataan secara mutlak paling mendalam dan
paling ultim. 13
Wilayah kajian Metafisika, sebagaimana diintrodusir oleh seorang filosof Jerman,
Christian Wolff, pada abad ke-18 adalah ontologi di samping teologi metafisik,
antropologi dan kosmologi. Berangkat dari pembahasan di atas, Christian Wolff
membagi metafisika menjadi dua disiplin filsafat yakni ontologi dan metafisika. Wolff
cenderung menganut pendirian kedua yang meyakini bahwa pembicaraan tentang ‘yang
ada sebagai yang ada’ (being qua being) dan ‘yang ilahi’ harus dipisahkan. Oleh
karenanya, Wolff memilih proto philosophia Aristoteles menjadi metafisika generalis
(metafisika umum) atau juga sering disebut ontologi dan metafisika spesialis (metafisika
khusus) atau metafisika. 14 Obyek kajian metafisika selain ontology adalah teologi
metafisik, Antropologi dan kosmologi
Di dalam konsep pemikiran filsafat ditemukan konsep-konsep yang memberikan
penamaan kepada Zat yang transenden dengan sebutan yang bermacam-macam. Zat yang
transenden ada yang menamakan Ultimate Reality, Absolut Being, Necessary Being,
Supreme Being, Infinite Reality yang semuanya menuju ke arah yang sama, “Tuhan”.
Plato mengidentikkan Tuhan dengan The Idea of Good, Aristoteles menyebutnya dengan
“Prima Causa” dan “Unmoved Mover” Plotinus mengajukan konsep “The One”, kaum
Stoa menyatakan bahwa Tuhan adalah “Logos” atau sesuatu yang sifatnya intelek. Tuhan
dalam konsepsi Plato bukanlah Pencipta alam dari tidak ada menjadi ada. Menurutnya
Tuhan hanya menyusunnya dari materi yang telah ada. Materi itu adalah empat elemen;
air, udara, tanah dan api. Tetapi yang dibuat Tuhan pertama-tama adalah Jiwa, kemudian
bodi, atau benda jasmani. 15

C. ARGUMEN TENTANG TUHAN


Filsafat ketuhanan berurusan dengan pembuktian kebenaran adanya Tuhan yang
didasarkan pada penalaran manusia. Filsafat ketuhanan (teologi naturalis) tidak
mempersoalkan eksistensi Tuhan, disiplin tersebut hanya ingin menggaris bawahi bahwa

13
Bakker, Ontologi, hal. 15.
14
Bernard Delfgaauw, Berpikir Secara kefilsafatan, terj. Soejono Soemargono (Jogjakarta : Nur
Cahaya, 1987), hal. 24
15
Bertrand Russell, History of Western Philosophy and Its Connection with Political and Social
Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, (London : George Allen & Unwin, 1974), 157.
apabila tidak ada penyebab pertama yang tidak disebabkan maka kedudukan benda-benda
yang relatif-kontingen tidak dapat dipahami akal.
Dari hal tersebut di atas, ada beberapa macam pembuktian filosofik yang berusaha
membukakan jalan-jalan menuju Tuhan; yaitu pembuktian ontologi, kosmologi, teleologi,
moral, Henelogical argument dan ini sekaligus merupakan kelebihan pendekatan filsafat
dibanding dari pendekatan agama maupun ilmu di atas. Ilmu terbatas pada pembuatan
deskripsi yang didasarkan atas pengalaman empirik sedangkan agama berangkat dari
keyakinan terhadap satu dokrin. Disamping itu, pembahasan ini akan diperkaya dengan
pembuktian teologis para filosof
Pembuktian adanya Tuhan tidak hanya menjadi perbincangan para filosof Barat,
tetapi juga menjadi pembicaraan para filosof dan teolog Muslim, seperti yang dilakukan
oleh para filosof dan teolog Muslim yang menjadi pengikut Mu’tazilah maupun al-
Asy’ariyah. Pembuktian-pembuktian tersebut dibedakan yaitu : Dalil Kebaharuan (Dalil
al-Huduts), Dalil Kemungkinan (Dalil Al-Imkan)
Dalam kerangka dua pendekatan utama ini terdapat aliran-aliran besar yang
memandang eksistensi Tuhan secara berbeda, bahkan ada yang menolak tentang Tuhan
itu sendiri. Pertama, Teisme merupakan aliran dalam filsafat ketuhanan yang
mengandung pengertian bahwa adanya Tuhan bukan hanya sesuatu ide yang terdapat
dalam pikiran (mind) manusia, akan tetapi menunjukkan bahwa zat yang dinamakan
Tuhan itu berwujud obyektif. Kedua, Ateisme merupakan antitesis dari konsep theisme
yang berpandangan tentang pengingkaran adanya Tuhan yang berarti menolak terhadap
kepercayaan adanya Tuhan. 16 Ketiga, Anti-Teisme 17 merupakan paham atau ajaran yang
menolak atau melawan (anti) terhadap paham atau ajaran-ajaran teisme (percaya adanya
Tuhan). Paham ini secara jelas sangat bertentangan dengan teisme. Keempat, Deisme
merupakan paham ketuhanan yang hampir sama dengan teisme, yaitu sama-sama
mempercayai adanya Tuhan dalam perspektif natural atau agama natural. Secara prinsip
antara teisme dan Deisme sangat berbeda. Teisme beranggapan bahwa Tuhan adalah

16
Ateisme secara etimologis berasal dari kata Yunani atheos, a berarti tidak dan theos berarti
Tuhan. Dengan demikian atheisme berarti the disbelief in the existence of a God or Supreme Being. Lihat
The Lexicon Webster Dictionary, (USA : The English Language Institue of America: 1977), hal. 62.
Bandingkan dengan The Encyclopedy Americana, vol. II (USA : Americana Corporation, 1977), hal. 604
17
Encyclopedi Americana, hal. 600. Bandingkan dengan Harun Nasution, Filsafat Agama, hal.
36
transenden sekaligus immanen, sedangkan Deisme berpandangan bahwa Tuhan setelah
menciptakan alam ini kemudian membiarkannya secara mekanis berjalan sendiri tanpa
ada campur tangan Tuhan lagi. Kelima, Agnostisisme merupakan paham atau aliran yang
berpandangan bahwa mustahil akal manusia dapat mengetahui eksistensi Tuhan. Ini
karena, akal manusia bersifat terbatas, sehingga tidak akan mampu mengetahui sesuatu di
luar jangkauan akal manusia termasuk di dalamnya aalah realitas ketuhanan. 18 Keenam,
Panteisme merupakan aliran atau paham ketuhanan yang berpandangan bahwa Tuhan
adalah yang tertinggi dan semuanya adalah Tuhan, sehingga segala sesuatu itu adalah
Tuhan, sebab antara alam dan Tuhan merupakan suatu kesatuan dari realitas Absolut.
Realitas yang sesungguhnya adalah Tuhan. Disinilah ada peleburan selain Tuhan ke
dalam diri Tuhan, sehingga yang tampak adalah Tuhan itu sendiri. Ketujuh, Panenteisme
merupakan paham atau pemikiran dalam filsafat ketuhanan yang berpandangan bahwa
Tuhan berada di alam semesta sebagai kesatuan dua pola yaitu actual dan potensial. Pola
actual Tuhan senantiasa berubah, terbatas dan temporal, sedangkan pola potensial Tuhan
bersifat abadi dan tidak berubah. Secara literal, Panenteisme (pan – en - theisme)
merupakan konsep ketuhanan yang dapat dikatan sebagai semua – di dalam – Tuhan.

PANENTEISME DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI DAN FILSAFAT

A. Arti dan Makna Panenteisme


Istilah panenteisme telah diperkenalkan pertama kali oleh filsuf idealis Jerman
Karl Friedrich Christian Krause (1781-1832). Panenteisme berasal dari kata Yunani
“πᾶν” (pan) berarti semua, “ἐν” (en) berarti didalam dan “θεός” (theos) yang berarti
Tuhan. Dengan demikian, berarti Semua berada di dalam Tuhan (all-in-God). 19 Istilah
ini merujuk kepada sebuah sistem kepercayaan yang beranggapan bahwa dunia semesta

18
Agnostisisme berasal dari kata Yunani agnostos yang berarti tidak dikenal, sehingga dapat
dikatakan bahwa akal manusia tidak dapat mengenal atau mengetahui ada dan tidaknya Tuhan…
Agnosticisme is the view that we don’t know whther there is a God or not. Lihat Encyclopedia of
Philosophy, hal. 56. Bdk dengan pandangan Berkhof, Systematic, hal. 30
19
Sistem filsafat yang disebut panenteisme oleh Krause pada dasarnya sebagai upaya untuk
mendamaikan panteisme dan teisme. Krause menegaskan bahwa Tuhan adalah suatu hakikat yang berisi
keseluruhan alam semesta dalam dirinya, namun tidak habis olehnya. Dia menempatkan penekanan khusus
pada perkembangan individu sebagai bagian integral dari kehidupan keseluruhan. Untuk lebih jelasnya,
lihat John W. Cooper, Panenteisme: The Other God of the Philosophers (Baker Academic, 2006), p. 18.
berada dalam Tuhan. 20 Bagi Karl Friedrich Christian Krause (1781-1832) sebagai
seorang Hegelian dan guru Schopenhauer, mempergunakan kata panenteisme untuk
mendamaikan konsep teisme dengan panteisme. Istilah panenteisme muncul pertama kali
sebagai system pemikiran filosofis dan religius pada tahun 1828. Harry Austryn Wolfson
(1887-1974), Profesor Harvard University seorang ahli spritualis Yunani kuno, Kristen
dan Yahudi adalah seorang sarjana awal abad ke-20 yang menggunakan istilah
"panenteisme." 21
Sementara itu, pandangan panenteisme di abad 20 dan 21. dipengaruhi oleh
gagasan Teologi Proses, yang cenderung menolak transendensi Tuhan, kemahakuasaan
dan kemahatahuan. Para Ilmuwan, Kosmolog, filosof dan Teolog di Barat sangat tertarik
dengan panenteisme. Mereka mencapai kesepakatan: "Tuhan tidak lain alam itu sendiri,
setidak-tidaknya ditempatkan sebagai bagian dari itu. tapi hanya tersedia bagi
pengalaman mistik yang terdapat di dalamnya." sebagaimana Brockelman menunjukkan,
bahwa Tuhan bukanlah alam ataupu tidak melampaui alam. 22
Panenteisme memahami Tuhan dan dunia saling terkait satu sama lain. Tuhan
punya relasi timbal balik dengan dunia, dunia berada di dalam Tuhan dan Tuhan hadir
berada di dalam dunia. Gagasan ini menawarkan alternatif baru pemikiran yang semakin
populer melalui sisntesis pemikiran teisme tradisional dan panteisme. Panenteisme
berusaha untuk menghindari gagasan mengisolasi Tuhan dari dunia sebagamana
dipahami teisme tradisional dan gagasan yang meleburkan Tuhan dan dengan dunia
sebagaimana panteisme. 23
Sementara itu, panenteisme juga dipengaruhi oleh istilah-istilah dari idealisme
Jerman terutama Hegel dan Schelling. Pertama, dialektik. Dialektik dipahami sebagai
suatu realitas kontradiktif, dimana setiap tesis akan diperhadapkan dengan anti tesis
sehingga melahirkan sintesis. Kedua, Perichoresis Istilah-istilah yang dipengaruhi oleh

20
^ "The Worldview of Panenteisme - R. Totten, M.Div - © 2000". Web page.
http://www.geocities.com/worldview_3/panenteisme.html. Retrieved on 2007-10-14.
21
"panenteisme." Encyclopædia Britannica. 2009. Encyclopædia Britannica Online. 18 May.
2009 <http://www.britannica.com/EBchecked/topic/441190/panenteisme>.
22
panenteisme. (2009). In Encyclopædia Britannica. Retrieved May 18, 2009, from
Encyclopædia Britannica Online: http://www.britannica.com/EBchecked/topic/441190/panenteisme For a
definition of "panenteisme", visit Merriam-Webster.
23
Hartshorne, Charles and Reese, William L. (eds.), 1953, Philosophers Speak of God, Chicago:
University of Chicago Press. Bdk Cooper, John W., 2006, Panenteisme The Other God of the
Philosophers: From Plato to the Present, Grand Rapids, MI: Baker Academic.
filsafat proses Whitehead, pertama adalah relasi internal dan eksternal. Relasi-relasi
internal merupakan relasi-relasi yang dapat mempengaruhi keberadaannya makhluk yang
berhubungan dengan makhluk-makhluk. Relasi-relasi eksternal tidaklah merubah watak
dasar atau esensi makhluk. Bagi panenteisme, relasi antara Tuhan dan dunia merupakan
relasi internal di dalam Tuhan akan mempengaruhi watak dunia dan dunia mengubah
sifat Tuhan. Kedua, Dipolar. Istilah ini merujuk kepada dua aspek dasar Tuhan. Schelling
nengidentifikasi aspek ini sebagai keniscayaan dan kontingen. Whitehead
mengidentifikasi aspek-aspek Tuhan sebagai aspek primordial Tuhan dan aspek watak
konsekuen. 24

B. Panenteisme dalam perspektif Historis


Hartshorne menemukan indikasi panenteistik pertama kali dalam tema Ikhnaton
(1375-1358 BCE), yang sering dianggap Firaun Mesir sebagai tema monoteis pertama
kali. Pada banyak puisi digambarkan bahwa Ikhnaton sebagai dewa matahari, juga pada
Ikhnaton mempunyai keterpisahan keduanya, baik sebagai Tuhan personal dengan dunia
yang menjadi ciri teisme dan identifikasi atau kesatuan Tuhan dengan dunia sebagai ciri
panteisme. 25 Hartshorne menemukan konsep-konsep tambahan keagamaan tentang
Tuhan yang beranggapan bahwa Tuhan unchanging-tidak berubah dan perubahan
bersama-sama dengan cara yang memungkinkan untuk pengembangan signifikansi
makna dari non-ilahi di Lao-Tse (abad keempat BCE) dan dalam kitab-kitab Judeo-
Kristian 26
Dalam refleksi filosofis, Plato (427/428-348/347 SM) memainkan peran penting
dalam pengembangan panenteisme secara implisit walaupun ada ketidak setujuan
tentang sifat yang diperankannya. Hartshorne menemukan sumber-sumber pada Plato
mengenai pengertian dipolar Tuhan. yang meliputi baik kekekalan dan ketidak kekalan
Tuhan.. 27 Menurut Cooper, Plotinus (204-270 TM) memberikan dasar-dasar panenteisme
dengan mengidentifikasi Tuhan dengan dunia. Plotinus menggambarkan sistem dunia

24
Hartshorne, Charles and Reese, William L. (eds.), 1953, Philosophers Speak of God, hal. 210
25
Hartshorne, Charles and Reese, William L. (eds.), Philosophers Speak of God, Chicago:
University of Chicago Press, 1953), h. 29-30
26
Hartshorne, Charles and Reese, William L. (eds.), Philosophers, hal. 32-38,
27
Ibid, 54
fisik sebagai pancaran (emanation) Tuhan yang melampaui realitas. Dalam hal ini
28
kemudian, Plotinus menganggap dunia sebagai bagian dari Tuhan (Ultimate)
Philip Clayton mulai dengan pemahaman ilmiah kontemporer di dunia dan
menggabungkannya dengan konsep teologi yang diambil dari berbagai sumber termasuk
teologi proses. Dia menjelaskan hubungan Tuhan dengan dunia sebagai hubungan
29
internal daripada hubungan eksternal. Clayton setuju bahwa dunia didalam Tuhan dan
Tuhan di dalam dunia. Panenteisme, menurut dia, bahwa Tuhan dan dunia merupakan
interdependensi. 30
Panenteisme biasanya dilihat sebagai teologi dan filsafat secara ketat antara
monoteisme dan panteisme (bukan "pan-en-teisme"). Untuk monoteis yang kaku, Tuhan
dan dunia yang terpisah, Tuhan biasanya dianggap sepenuhnya transenden dipahami (di
atas dan di luar dunia). Bagi panteisme ini kontras, Tuhan diidentifikasikan dengan alam
semesta secara keseluruhan, dan dianggap sebagai ada yang imanen di dalam dunia
daripada transenden. Dalam panenteisme, oleh karena itu, Tuhan, Ada yang sangat
imanen sekaligus transenden juga sebagai pencipta dan sumber asli universalitas
moralitas. 31
Teologi proses bersandar pada premis dasar bahwa segala sesuatu di dalam dunia
ini selalu berada dalam perubahan atau berfluktuasi. Para filsuf proses seperti Whitehead
berpendapat bahwa setiap entitas secara konstan berada dalam proses menjadi sesuatu.
Dalam proses menjadi ini (process of becoming), entitas-entitas merespons setiap momen
dengan membuat pilihan-pilihan riil. Dalam konteks penentuan pilihan-pilihan kita mesti
mengakui bahwa setiap momen eksistensi kita bersifat bipolar atau dwikutub.

28
Cooper, John W., Panenteisme The Other God of the Philosophers: From Plato to the Present,
Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2006), hal. 35-39
29
Philip Clayton, 2001, “Panenteis Internalism: Living within the Presence of the Trinitarian
God”, Dialog, 40:208-210
30
Philip Clayton, “Panenteisme in Metaphysical and Scientific Perspective” in In Whom We Live
and Move and Have Our Being, P. Clayton and A. Peacocke (eds.), (Grand Rapids, MI: William B.
Eerdmans, 2004b), hal 83
31
Panenteisme tidak perlu dibingungkan dengan pemahaman panteisme. Panteisme secara literal
berarti semua (pan) adalah Tuhan (teisme), tetapi panenteisme berarti semua di dalam Tuhan. Konsep ini
juga disebut teologi proses (sejak Tuhan dilihat sebagai pribadi yang berubah), bipolar teisme (sejak
dipercayai bahwa Tuhan memiliki dua kutub), organisisme (sejak konsep ini dipahami bahwa dari awalnya
semua berasal dari organisme raksasa), dan neoclassical teisme (karena dipercaya bahwa Tuhan terbatas
dan sementara, kontras dengan paham classical teisme) (Norman L. Geisler, “Panenteisme,” dalam Baker
Encyclopedia of Christian Apologetics [Grand Rapids: Baker, 1999] 576).
PANENTEISME DALAM PEMIKIRAN BARAT DAN TIMUR

A. Pemikiran Alfred North Whitehead tentang Panenteisme


Whitehead dikenal sebagai tokoh terkemuka dalam aliran “Filsafat Proses” atau
seperti yang disebutnya sendiri sebagai “Filsafat Organisme”. Buah pemikirannya banyak
berpengaruh di dunia terutama di Amerika Serikat dan di beberapa negara di Eropa. Ia
lahir dalam keluarga kristen Anglikan di Ramsgate, Kent, Inggris 15 Februari 1861, dan
ia meninggal di Harvard pada tahun 1947, setelah sepuluh tahun pensiun sebagai profesor
filsafat di Universitas Harvard.
Sepanjang karirnya, Whitehead banyak menulis buku baik di bidang filsafat
maupun di bidang lainnya seperti matematika dan teologi. Antara lain buku-buku tersebut
adalah: “Principia Mathematica “ (1919), “Enquiry Concerning the principles of
natural” (1919), “The Concept of nature” (1920), “The principle of relativity” (1922),
“Science and Modern Word” (1925), “Religion in Making” (1927), “Process and Reality”
(1929), “The aim of Education”, “Modes of Thought” (1938) dan berapa buku lain dan
artikel-artikelnya tentang filsafat dan ilmu pengetahuan.
Salah satu dari banyak tema yang di kemukakan Whitehead dalam filsafat
organismenya adalah pemikiran-pemikiran tentang tuhan. Pandangan-pandangannya
tentang hal ini dapat dilihat pada bukunya “Process and Reality”, “Religion in Making”,
dan “Science and Modern Word”. Pemikiran-pemikirannya tentang Tuhan inilah yang
akan dibahas dalam tulisan ini.
Secara organis filsafat Whitehead dibangun dengan beberapa konsep dasar yang
di sebutnya sebagai “kategori eksistensi” (category of existence), 32 terdiri dari: satuan-
satuan aktual (Actual entity), kreativitas (Creativity), obyek-obyek abadi (Eternal world),
prehensi (prehension), dan kebersamaan (nexus). Konsep-konsep dasar ini merupakan
gagasan asli yang di ciptakan sendiri untuk menerangkan filsafatnya.
Sebagai konsep dasar, menurut Whitehead, Tuhan adalah ujud asali dan prinsip
dasariah dari kreatifitas, sekaligus merupakan prinsip dasar konkresi atau proses
munculnya satu satuan aktual dari banyak satuan aktual lain yang menjadi data warisan

32
Ibid, hal. 206
masa lalu. Dalam hal ini, Tuhan merupakan perwujudan perdana dari kreatuifitas dan
sekaligus sebagai pembatas dan pemberi arah berlangsungnya kreatuifitas tersebut.
Sebagai perwujudan perdana dari kreatifitas dan sekaligus pemberi arah baginya,
Tuhan tidak dapat dipisahkan dengan kategori eksistensi yang lain yang disebut obyek-
obyek abadi (eternal object). Lebih jauh Whitehead menjelaskan bahwa sebagai
“pembatas asali’ (ultimate limitation) dari satuan-satuan aktual, eksistensi Tuhan adalah
irrasional kekal. 33 Pokok soal dalam hal ini adalah Tuhan tidak ditentukan secara
metafisis meskipun ditentukan secara kategoris.
Dengan demikian, Tuhan bukanlah merupakan “kategori eksistensi” yang
konkret, tetapi Dia menjadi dasar dari semua yang konkret. Tuhan tidak bisa dipahami
dengan pikiran, sebab secara hakiki Ia adalah dasar dari rasionalitas.
1. Bipolaritas Tuhan
Menurut Whitehead, terdapat dua pola (bipolar) dalam kenyataan Tuhan. Kedua
pola tersebut adalah pola aktual dan pola potensial. Pola aktual adalah alam semesta yang
secara kodrati berubah secara total, dan pola potensial adalah dunia abadi (eternal) yang
tidak mengalami perubahan. Dengan kata lain Whitehead berpenadapat bahwa terdapat
dua aspek dalam “kategori eksistensi” Tuhan, yaitu aspek primordial dan aspek
konsekuen.
a. Aspek Primordial
Dalam aspek primordialnya, Tuhan adalah “kategori eksistensi” yang pada
mulanya memikirkan segala kemungkinan yang dapat diwujudkan dalam seluruh alam
semesta. Dalam hal ini Tuhan merupakan realitas konseptual yang tidak terbatas dari
kemungkinan-kemungkinan absolut. Keberadaannya bukan sebagai ciptaan, tetapi ia
berada bersama semua ciptaan.
Lebih jauh dijelaskan oleh Whitehead, bahwa dalam aspek primordial ini, Tuhan
memberi wujud konseptual kepada semua “obyek abadi” dengan memberi segala macam
bentuk kemungkinan yang bisa berwujud untuk semua satual aktual. Oleh karena itu,
Tuhan dalam aspeknya yang primordial ini, menjadi sumber segala cita-cita atau tujuan
akhir dari semua proses konkresi untuk perwujudan diri satu-satuan aktual. Sebagai

33
Alfred North Whitehead, Science & The Modern World, Middlesex : Penguin Books Limited,
1938, hal. 207-208
“kategori eksistensi” yang primordial, Tuhan sangat jauh dari “realitas unggul” (eminent
reality) yang di dalam abstraksi ini Ia merupakan “realitas aktual yang kurang
sempurna”. 34
b. Aspek Konsekuen (Aspek Akhiri)
Aspek Tuhan yang konsekuen menurut Whitehead, adalah suatau kesadaran yang
merupakan realisasi dunia aktual dalam hakekat kesatuan dan melalui transformasi
kebijaksanannya. Jika aspek primordial adalah konseptual, maka aspek konsekuen ini
adalah susunan perasaan fisis Tuhan pada aspek primordialnya itu. 35 Susunan itu terdiri
dari berbagai unsur dan realisasi diri secara individu. Dalam hal ini, keberamaan
dipandang sama dengan kesatuan : seperti “satu-banyak” (much one) fakta perantara
yang berkembang tanpa melebihi dirinya.
Relasi Tuhan dengan dunia Menurut Whitehead bahwaTuhan dan dunia, secara
aktual tidak dapat dipisahkan. Dunia adalah hakekat kemuliaan Tuhan yang terjadi dari
banyak fakta dasariah dan turunan pengalaman atau peristiwa aktual. Dengan kata lain,
dunia adalah urutan atomistik dari kejadian-kejadian. Ia berada dalam semua proses
mengalirnya benda-benda dan merupakan generalisasi awal yang tidak jelas, tidak
disistematisasikan, hampir tidak dapat dianalisa, dan dihasilkan oleh intuisi manusia.
Sebab itu, perubahan terus-menerus dari benda-benda adalah suatu generalisasi dasariah
yang harus disusun di dalam sistem filsafat kita. 36
Dalam kepaduan dunia dengan Tuhan, menurut Whitehead, mereka berada dalam
posisi yang melengkapi. Dalam hal ini, Tuhan merupakan dasar yang tidak terbatas dari
semua yang bersifat mental dan kesatuan dari visi mencari keragaman fisis. Sedangkan
dunia adalah berbagai batasan-batasan dan aktualitas-aktualitas yang mencari
kesempurnaan suatu kesatuan. Baik dunia maupun Tuhan, berada dalam lingkup
metafisika dasariah dan pengembangan ciptaan ke arah pembaruan. Kedua hal ini
merupakan instrumen kebaruan bagi yang lain.
Tuhan digambarkan Whitehead sebagai suatu daya dinamis yang secara imanen
berfungsi dalam pergulatan hidup manusia di dunia, bukannya sebagai individu yang

34
Alfred North Whitehead, Process and Reality, dalam Charles Hartshorne dan William L. Reese,
Philosophers Speak of God, Chicago : Midway Reprint-University of Chicago, 1976, hal. 278-279
35
Ibid, hal. 521-522
36
Ibid, hal. 280
serba transenden, sempurna, tinggi, jauh dan “mencukupi”, dirinya sendiri. Tuhan juga
disebutnya sebagai “penyair dunia, yang dengan kesabarannya memimpin dunia dengan
visi kebenaran, keindahan, dan kebaikan” (the poet of the world, with terder patience
leading it by vision of truth, beauty, and goodness). 37 Seperti yang telah disinggung pada
awal makalah ini, Carles Hartshorne (salah seorang murid Whitehead yang mendalami
teologi proses), menggolongkan pandangan Whitehead sebagai panenteisme modern
(dunia di dalam Tuhan). Secara literal, panenteisme (pan-en-theism) diartikan sebagai :
semua-di dalam-Tuhan.
Menurut Norman L. Geisler dan William Watkins, panenteisme memiliki nama
lain seperti : teologi proses (jika melihat Tuhan sebagai ada yang berubah); teisme
bipolar atau dipolar (jika percaya bahwa Tuhan memiliki pola ganda); teologi organisme
(jika memandang semua yang terjadi sebagai organisme besar/gigantic); dan teisme Neo-
klasik (karena percaya bahwa Tuhan adalah terbatas dan temporal, berlawanan dengan
teisme klasik). 38
B. Iqbal dan Panenteisme
Perjalanan hidup Muhammad Iqbal (selanjutnya di tulis Iqbal) begitu kompleks
dan panjang dari tanah kelahirannya sampai pengembaraan intelektualnya di Barat,
sehingga beliau benar-benar merupakan seorang pemikir besar di Barat maupun di Timur.
Bahkan beliau merupakan sosok pemikir yang besar di dua peradaban dan kebudayaan
yaitu Barat dan Timur (Islam). Sehingga tidak salah kalau Saiyidain menganggap Iqbal
39
merupakan seorang “tokoh legendaris” yang agung di antara para pujangga di
negerinya, bahkan di dunia.
Pemikiran ontologi Iqbal lebih mengarah pada eksistensi Realitas absolut,
sebagai realitas yang sebenarnya dalam hubungannya dengan manusia dan alam. Karena
itu, Realitas Ultim, Realitas Diri, Wujud Mutlak atau Ego Mutlak hanya dapat dicapai
dengan intuisi. Untuk sampai mengetahui dan memahami Wujud Mutlak, Iqbal bertitik
tolak dari intuisi tentang wujud ego manusia yang bergerak pada Realitas Wujud Ego
Mutlak. Hanya intuisi, kata Iqbal yang dapat mengungkap Realitas Mutlak atau Wujud

37
Ibid, hal. 282
38
Norman L. Geisler dan William Watkins, Perspectives – Understanding and Evaluating
Today’s Views, California : Here’s Life Publisher, Inc, 1984, hal. 100
39
Saiyidin, K.G., Percikan Filsafat Iqbal Mengenai Pendidikan, alih bahasa, M. I. Soelaeman,
(Bandung : Diponegoro, 1981), 13
Super Ego yang sebenarnya. Hal ini karena kodrat Realitas yang sesungguhnya adalah
spiritual. Realitas Mutlak sebagai Ego oleh al-Qur’an disebut dengan nama Allah
menurut Iqbal. 40
Tuhan menurut Iqbal adalah hakikat keseluruhan yang bersifat spiritual. Dengan
kata lain, Tuhan bukanlah ego, melainkan Ego Mutlak. Tuhan bersifat mutlak, karena
meliputi segalanya dan tidak ada sesuatupun di luar Dia. Pada akhir-akhir menjelang
kematiannya, Iqbal semakin menampakkan pemikirannya yang orisinal mengenai Tuhan
sebagai hakikat keseluruhan dari segala kreativitas, karena Tuhan sendiri selalu kreatif
memberikan ilham tentang filsafat perubahan, tindakan, aksi yang lebih dikenal dengan
istilah Islam adalah amal. Disinilah letak sintesa filosofi Iqbal dari Barat maupun Timur
(Islam) dengan pemikirannya yang orisinil. Sekalipun sesungguhnya, konsep tentang
gerak hubungan dengan Tuhan telah dimulai dari Aristoteles.
Iqbal memandang secara seimbang bahwa pengalaman panteistik manusia dengan
Tuhan tidak membuat lebur ego manusia, justru ego manusia semakin otentik. Filsafat
ketuhanan Iqbal disini justru lebih memperkuat eksistensi ego manusia, sehingga
pemikirannya lebih bersifat panenteisme. Panenteisme merupakan konsep ketuhanan
yang menitik beratkan pada semua di dalam Tuhan, bukan semua adalah Tuhan
sebagaimana panteisme. 41

Bagi Iqbal alam semesta bukan sebagai suatu produk yang sudah selesai dan
lengkap, tetapi sedang berada dalam tahap-tahap penyempurnaan. Penciptaan alam
bukanlah penciptaan yang final. Menurut Iqbal penciptaan adalah sebuah proses yang
berkelanjutan, sedang manusia berada di dalam turut ambil bagian dalam proses tersebut,
sehingga akan selalu berproses dengan menciptakan situasi-situasi dan produk-produk
baru. Alam semesta sebagai kumpulan ego-ego menurut Iqbal merupakan wadah
keinginan-keinginan untuk untuk selalu melakukan perubahan-perubahan yang baru
dalam kehidupan ini. Alam semesta sesungguhnya selalu berada dalam becoming
(menjadi). Ini disebabkan adanya aktivitas ego-ego yang berkelanjutan dalam alam,

40
Iqbal, The Recontruction of Religious Thought in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), hal.
38-39
41
Charles Hartshorne dan William Reese, Philosophers speak of God, (Chicago-London : The
University of Chicago Press, 1976), hal. 294-297
sehingga kehidupan dalam alam selalu merupakan suatu perjalanan tanpa akhir.42 Alam
seperti yang kita lihat menurut Iqbal bukan benda materi murni yang menempati ruang
hampa. Alam semesta merupakan struktur-struktur peristiwa, model perilaku yang
sistematis dan bersifat organis. Alam merupakan perilaku Diri Tuhan (Ego Absolut)
seperti halnya karakter untuk ego manusia. Disinilah Iqbal membandingkan watak ego
manusia dengan watak alam. Keteraturan alam ini merupakan perilaku Allah,
demikianlah gambaran al-Qur’an, sebagaimana dikutip Iqbal. 43
Menurut Iqbal dengan merujuk pada al-Qur’an bahwa pertama, alam semesta
diciptakan bersifat teleologis atau bukan suatu ciptaan sekedar main-main. Kedua, Alam
semesta bukan bersifat tertutup atau penciptaan yang sudah selesai dan alam semesta
merupakan ciptaan yang tetap, tetapi masih bisa berubah. Ketiga, Alam semesta tercipta
dengan teratur, tertib dengan perjalanan waktu yang teratur dan tepat yang dicontohkan
oleh al-Qur’an melalui pergantian siang dan malam sebagai salah satu tanda (ayat)
kebesaran Tuhan. Keempat, Alam semesta dengan ruang dan waktu yang terhampar luas
ini diciptakan untuk kepentingan manusia dalam rangka beribadah dan nerenungkan ayat-
ayatNya (tanda-tanda kebesaranNya). Semua ini menurut Iqbal sebagai bukti bahwa alam
semesta merupakan fakta yang actual. 44
Tuhan menurut Iqbal mencipta secara tak terbatas dan kreatif terus menerus
dimana posisi manusia bukanlah boneka pasif bagi kehendak Tuhan melainkan co
creator yang aktif berpartisipasi dalam penciptaan kreatif Tuhan. 45 Proses penciptaan
oleh Tuhan menurut Iqbal bukan seperti proses penciptaan sepatu yang kreativitasnya
berada pada level paling rendah. Proses penciptaan oleh Tuhan dapat diasosiasikan
dengan creative genius seorang komposer atau penyair. Manusia sebagai co creator
pilihan Tuhan berbagi creative genius Tuhan untuk direalisasikan dalam dunia atau
sederhananya: manusia diberkahi Tuhan kebebasan untuk dapat berpartisipasi aktif dalam

42
Iqbal, Metafisika Persia …, 20
43
Iqbal, Reconstruction …, 56-57
44
Iqbal, Reconstruction, hal. 10 - 11
45
the concept of the concrete world embodied in the Koran is essentially one of a created reality in
which the actual and the ideal merge and intertwine and which exhibits a distinct rational pattern. But it is
not, for that reason, a ‘block universe’ or finished product which God has completed, but rather a universe
that continually realizes itself across the vast expanses of space and time. Man, as the most dynamic force
in this universe, is the principal agent, or coworker with God, in the process of realizing the infinite
potentialities of reality. Lihat Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy, (New York : Columbia
University Press, 1983), hal. 351
proses kreatif penciptaanNya. Berangkat dari pemahaman Iqbal ini, maka Iqbal
merupakan pengikut dari panenteisme atau teologi proses. Karena itu, relevan sekali
Hartshorne dan William Reese memasukkan Iqbal sebagai panenteis Muslim. 46

Simpulan

Menurut Hartshorne, panenteisme dapat dipahami melalui analogi: sama seperti


satu organisme ada, baik sebagai sebagai kumpulan semiautonomous, setiap sel-sel
individu dan mandiri sebagai individu yang lebih menonjol daripada kumpulan sel.
Tuhan dapat dilihat sebagai kumpulan semua unsur bagian dari realitas dan sebagai
"sesuatu yang lebih" dari alam semesta itu sendiri. Walaupun kita, bersama dengan sisa
dari keberadaan, namun dapat dipikirkan sebagai bagian dari "tubuh" Tuhan. Kesadaran
atau pikiran Tuhan yang lebih luas melampaui tubuh dan menyebabkan Tuhan menjadi
lebih daripada sekedar kumpulan bagian. 47
Gagasan Panenteistik tentang kebebasan adalah cara yang unik dalam membahas
masalah kejahatan. Sementara theisme cenderung atribut jahat hanya pada dunia dan
panteisme cenderung mengidentifikasi kejahatan di dunia sebagai kejahatan Tuhan,
panenteisme mengambil posisi jalan tengah, sedangkan yang mengatakan bahwa
kejahatan yang terjadi melalui kebebasan di dunia ini tidak berpengaruh pada esensi
Tuhan, Tuhan masih dapat dirasakan melalui pengalaman dalam. 48 Ini posisi jalan
tengah mungkin merupakan kasus panenteisme dari jenis pertama, namun karena ini
sebagian panteistik, condong ke arah gagasan yang jahat di dunia dengan Allah.
Meskipun filosofi panentheism jembatan dari kesenjangan paradigma antara
theisme dan panteisme, yang banyak dipahami oleh sejumlah besar utama kelompok
agama dan teologi, juga bukan dari sekte kecil atau pandangan filosofi pribadi.Elemen
panenteisme muncul di hampir setiap sistem keagamaan yang diberikan setiap kali
digambarkan, sebagai baik seluruhnya, tetapi juga sangat Kuasa terhadap eksistensi
dunia. Transensi dan imanensi Tuhan terlihat hampir setiap agama lebih tegas disebut

46
Charles Hartshorne dan William Reese, Philosophers speak of God, hal, 295
47
Charles Hartshorne dan William Reese, Philosophers speak of God, hal, 312
48
Griffin, David Ray, 2004, “Panenteisme: A Postmodern Revelation”, hal. 46
49
sebagai Tuhan "dua sisi" oleh teolog Reformed Belanda Hendrikus Berkhof dan
50
"dipolar theisme" dalam proses teologi. Dengan kata lain, perlu dicatat bahwa
panenteisme, terutama dari jenis yang kedua mendapatkan momentum teolog
kontemporer di antara agama dan filosof, yang dapat diterima sebagai alat untuk
merekonsiliasi kesulitan dengan kepercayaan mengenai sifat Tuhan.

49
Hendrikus Berkhof. Christian Faith: An Introduction to the Study of the Faith, revised ed.,
trans. Sierd Woudstra (Grand Rapids, MI: William B. Eerdmans Publishing Co., 1986), 114.

50
John B. Cobb, Jr. and David Ray Griffin. Process Theology: An Introductory Exposition.
(Westminster John Knox Press, 1977), 47.

Anda mungkin juga menyukai