KETENTUAN PIDANA
Pasal 112
Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dan/atau Pasal 52 untuk Penggunaan Secara Komersial, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
Ahmad Sahide
UMY Press
LRI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Gedung AR Fakhrudin B Lantai 4
Jl. Brawijaya, Tamantirto, Kasihan, Bantul DI Yogyakarta 55183
Telp. 0274-387656
Fax. 0274-387646
WA. 085157715504
Email : umypress@gmail.com
instagram : UMY Press
shopee : umy press book
Anggota IKAPI, APPTI, APPTIMA
ISBN 978-623-6299-47-0
vii
Prakata Penulis
Ahmad Sahide
Agustus, 2021
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
ix
Daftar isi
C. Covid-19 — 82
D. Kasus Taiwan — 84
E. Penutup — 85
Daftar Singkatan
AS : Amerika Serikat
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations
BRICS : Brazil, Russia, India, China, and South Africa
CIA : Central Inteligence of America
Covid-19 : Coronavirus Deseas 2019
DK PBB : Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
IBRD : International Bank for Reconstruction and Developmen
ILO : International Labour Organization
IMF : International Monetary Fund
KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi
LCS : Laut China Selatan
MERS : Middle East Respiratory Syndrome
MNC : Multinational Corporations
NPT : Non-Proliferation Treaty
NATO : The North Atlantic Treaty Organization
OBOR : One Belt One Road
OKI : Organisasi Kerja Sama Islam
PD : Perang Dunia
PSBB : Pembatasan Sosial Berskala Besar
SARS : Severe Acute Respiratory Syndrome
UE : Uni Eropa
WB : World Bank
xii Ahmad Sahide
Perkembangan
Demokrasi Global
D
emokrasi telah menjadi suatu sistem politik yang dianut oleh
sebagian besar penduduk dunia saat ini. Amerika Serikat
adalah negara yang paling aktif mengampanyekan demokrasi
ke seluruh dunia. Demokrasi diyakini sebagai sistem terbaik serta dapat
membuka ruang untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik pula
(good governance). Oleh karena itu, beberapa ilmuwan politik berpandangan
bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dari yang ada.
Tulisan ini mencoba menguraikan perkembangan demokrasi global
kontemporer yang akan dimulai dari defenisi demokrasi itu sendiri,
pentingnya demokrasi, dan perkembangan demokrasi global.
A. Pengertian Demokrasi
Demokrasi merupakan sistem politik yang merupakan hasil dari
rekayasa manusia itu sendiri. Orang Yunanilah sebenarnya yang
menciptakan kata demokrasi, dari kata demos, yang berarti masyarakat, dan
kratein, yang berarti mengatur (Ketchum, 2004: 28). Dari sinilah kemudian
pemahaman tentang demokrasi dikembangkan menjadi pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Menurut sebagian teoritikus politik, ide filosofis demokrasi sebenarnya
sudah ada sejak zaman Yunani kuno dengan adanya negara kota (polis) di
2 Ahmad Sahide
Athena pada abad ke-4 dan ke-5 SM. Sebuah Negara kecil dengan jumlah
penduduk yang juga tidak banyak sehingga memungkinkan warga Athena
bertemu setidaknya empat puluh kali dalam setahun untuk membahas
persoalan-persoalan publik. Hal ini dapat dikatakan sebagai bagian dari
prinsip demokrasi secara langsung yang dijalankan secara partisipatoris
(Ketchum, 2004: Vii-Viii).
Pada saat itu, demokrasi bagi warga Athena belum mengenal yang
namanya partai politik yang berfungsi, sejatinya, sebagai penyalur aspirasi
rakyat banyak. Partai politik lahir dan menjadi bagian penting (pilar)
dari demokrasi seiring dengan perkembangan manusia yang sangat
pesat sehingga tidak lagi memungkinkan warga negara yang banyak itu
berkumpul dalam satu tempat untuk membahas persoalan-persoalan
publik sebagaimana yang berlangsung di Athena pada abad ke-4 dan
ke-5 SM. Di Indonesia, misalnya, yang memiliki jumlah penduduk
kurang lebih 260 juta jiwa tidak memungkinkan untuk mempraktikkan
demokrasi sebagaimana di Athena dulu. Kondisi ini mengharuskan adanya
partai politik yang mewakili warga negara untuk membicarakan dan
menyampaikan aspirasinya.
Robert Dahl kemudian mengembangkan teori demokrasi dengan
mengatakan bahwa ada delapan unsur yang semestinya dimiliki oleh suatu
negara yang menganut sistem demokrasi. Kedelapan unsur itu adalah
sebagai berikut:
1. kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi (berserikat
dan berkumpul);
2. kebebasan berekspresi (mengeluarkan pendapat);
3. hak memilih dan dipilih;
4. kesempatan yang relatif terbuka untuk menduduki jabatan-jabatan
publik;
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
3
B. Pentingnya Demokrasi
Mengapa suatu negara harus menerapkan sistem yang demokratis?
Seberapa penting demokrasi itu diterapkan?
Sekalipun demokrasi telah dianut oleh sebagian besar negara di seluruh
dunia, bukan berarti demokrasi tanpa kritikan. Bahkan beberapa filsuf
berpengaruh mempunyai pandangan berbeda mengenai demokrasi.
Plato (428-328 SM) adalah salah satu pemikir tersohor yang kurang
suka dengan demokrasi, salah satu alasannya karena gurunya, Sokrates,
dihukum oleh sistem yang demokratis. Selain itu, salah satu kesimpulan
dari pemikiran politik Plato adalah bahwa pemimpin itu haruslah seorang
filsuf karena seorang filsuf mengetahui yang baik, sementara menurut Plato,
jika seseorang ingin menjadi negarawan yang baik, ia harus mengetahui
Yang Baik; ini hanya bisa dicapai dengan mengombinasikan kemampuan
intelek dan disiplin moral. Demokrasi seturut Plato tidak bisa menjamin
akan hal tersebut.
Aristoteles (384-322) punya pandangan yang sama dengan Plato,
kurang suka dengan demokrasi. Dalam pandangan Aritoteles, demokrasi
cenderung akan menghadirkan pemerintahan yang dipimpin oleh orang
bodoh/barbar (mobokrasi). Selain itu, demokrasi pada awalnya, menurut
Aristoteles, kurang diminati dan dianggap kurang bernilai tinggi mengingat
demokrasi memainkan peran yang relatif kecil pada saat itu. Demokrasi
juga, saat itu, dianggap agresif dan tidak stabil serta cenderung mengarah
pada tirani, seperti tercantum dalam buku Plato yang berjudul Republic
(Supardan, 2015: 126).
Sekalipun Plato dan Aristoteles tidak melihat demokrasi sebagai sistem
terbaik, penulis masih tetap melihat demokrasi sebagai sistem terbaik dari
sistem politik yang ada, tanpa bermaksud menafikan bahwa demokrasi
bukanlah sebuah mahakarya yang tanpa cacat. Setidaknya, lebih baik
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
5
Partisipasi
Kebijakan
2 Jack Snyder memberikan kategori negara yang menjalankan demokrasi dengan dua istilah,
yaitu democratizing state dan mature democracy. Di mana Menurut Snyder, perlu adanya pergan-
tian kepemimpinan secara demokratis (pemilihan umum) selama dua kali dari suatu negara
yang masih dalam kategori democratizing state untuk menjadi mature democracy (Snyder, 2003).
8 Ahmad Sahide
termasuk salah satu negara yang banyak belajar dari negeri Paman Sam
tersebut dalam berdemokrasi.
Perlu kita ketahui bersama bahwa dalam diskursus resmi di Washington,
London, Paris, dan Brussels, peningkatan demokrasi merupakan tema yang
sering diangkat. Presiden Wilson, yang membawa Amerika pada Perang
Dunia I, pernah mengemukakan alasannya bahwa “dunia harus dijadikan
aman bagi demokrasi.” Pada bulan Desember 1940, Presiden Rooselvet
mengusulkan untuk menjelmakan Amerika ke dalam suatu “gudang besar
demokrasi.” Empat puluh dua tahun kemudian, Presiden Ronald Reagan
berpidato di Parlemen Inggris dengan mengusulkan usaha internasional
bersama “untuk menumbuhkan infrastruktur demokrasi sistem pers
bebas, partai-partai politik, universitas-universitas yang memungkinkan
masyarakat untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan mereka melalui
cara-cara damai”; dan pada tahun berikutnya pemerintahan Amerika
Serikat menciptakan “Bantuan Nasional bagi Demokrasi” (National
Endowment for Democracy/NED) (O'Donnell dkk, 1993:4-6).
Sampai saat ini, Amerika banyak mengintervensi atau bahkan
menginvasi negara-negara lain di dunia dengan dalih untuk menegakkan
demokrasi dan juga penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal itu karena
Amerika merasa sebagai negara kampiun demokrasi di dunia. Namun
demikian, terpilihnya Donald Trump dalam daur ulang demokrasi di
negeri Paman Sam tersebut pada tanggal 8 November 2016 menghadirkan
satu narasi berbeda. Setelah mendiami White House selama hampir dua
tahun, Trump banyak mengambil langkah dan pernyataan politik yang
cukup kontroversial. Mulai dari kedekatannya dengan Presiden Rusia,
Vladimir Putin, pernyataan politiknya yang mengakui Jerusalem sebagai
Ibu Kota Israel, hingga arah kebijakan politiknya yang inward-looking
sehingga memicu perang dagang antara Amerika versus China. Hubungan
10 Ahmad Sahide
Amerika dengan sekutunya di Eropa juga mulai retak karena sikap Trump
yang sulit diprediksi dan ditebak. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak
warga negara Amerika yang merasa malu memiliki presiden seperti Donald
Trump.
Fenomena Trump dapat dibaca bahwa sekalipun Amerika menyebut
dirinya sebagai negara kampiun demokrasi, tetapi proses demokrasinya
ternoda dengan terpilihnya sosok seperti Donald Trump sebagai seorang
presiden di negara yang paling berpengaruh di dunia. Sekali lagi, ini akan
kembali menjadi bukti di mana demokrasi akan melahirkan mobokrasi
(orang bodoh menjadi pemimpin), sebagaimana yang sudah dikritik oleh
Aristoteles. Demokrasi yang diyakini membawa kebajikan universal,
justru membawa malapetaka universal. Oleh karena itu, fenomena
berdemokrasi di Amerika tidaklah berjalan tanpa cacat. Kemenangan
Trump menghadirkan setitik noda dalam demokrasi Amerika (Sahide,
2017).
Hal yang sama terjadi di Inggris pada tahun 2016 ketika hasil
referendum yang membuat Inggris keluar dari Uni Eropa, atau juga
dikenal dengan istilah Brexit. Keluarnya Inggris dari UE karena sebagian
besar rakyat menghendaki demikian melalui referendum (voting). Dari hasil
voting tersebut menunjukkan bahwa 51,9% warga Inggris menginginkan
Inggris untuk melepaskan keanggotaannya dari Uni Eropa. Voting ini
diikuti oleh lebih dari 30 juta warga Inggris (Nanda dan Permata, 2017).
Inggris pun harus mengambil langkah itu sekalipun banyak elite yang
menyadari bahwa langkah itu lebih banyak merugikan Inggris daripada
memberikan nilai manfaat. Alam Saleh, dosen dari University of Exeter
ketika berkunjung ke Indonesia pada bulan Desember 2016 mengatakan,
“People are paying their choice. But that is democracy.” Artinya bahwa tidak
selamanya pilihan rakyat yang mayoritas itu adalah jalan yang terbaik.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
11
sosial yang kritis ‘dibredel’ oleh rezim Soeharto seperti Tempo. Penyair
Wiji Thukul sampai sekarang belum ditemukan di mana jenazahnya karena
puisi-puisinya sangat kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Novelis
ternama, Pramoedya Ananta Toer (Pram) dipenjarakan karena novel-
novel yang dianggap dapat mengancam ‘keberlangsungan’ kekuasaan
Soeharto. Itulah secara sigkat gambaran pemerintahan Soeharto. Soeharto
menyebut pemerintahannya dengan istilah “Demokrasi Pancasila” tetapi
unsur-unsur negara yang demokratis tidak kita temukan pada eranya.
Reformasi 1998 membuka pintu bagi Indonesia untuk membangun
sistem politik yang demokratis. Elemen-elemen prasyarat demokrasi sudah
mulai diterapkan. Kebebasan pers mulai dibuka, mulai terbuka bagi siapa
saja untuk menduduki jabatan publik asalkan memenuhi kriteria dan
juga bisa mendapatkan dukungan rakyat mayoritas. Sejak lengsernya
Soeharto, Indonesia sudah melaksanakan pemilihan umum sebanyak lima
kali (1999, 2004,2009, 2014, dan 2019). Jika kita membaca perjalanan
demokrasi Indonesia setelah era reformasi dengan menggunakan teori
demokrasi Jack Snyder, maka demokrasi Indonesia dapat dikategorikan
demokrasi yang sudah matang (matured democracy). Negara yang sudah
matang demokrasinya, seturut Snyder, adalah apabila negara tersebut
sudah dua kali melaksanakan pemilihan umum dan ini menjadi satu-
satunya cara dalam proses pergantian kepemimpinan.
Oleh karenanya, demokrasi pada era reformasilah yang menghadirkan
kedelapan unsur tersebut yang mana setiap orang boleh mempunyai mimpi
untuk menjadi pejabat publik, bupati, gubernur, hingga presiden. Maka
muncullah sosok Joko Widodo sebagai orang nomor satu di Republik ini
(2014-2019. Pemimpin dari kaum pinggiran atau dari rakyat (bawah).
Fachri Ali menyebutnya dengan istilah ‘kepemimpinan pasca elite’.
Masyarakat juga saat ini telah mempunyai kebebasan menyampaikan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
13
Daftar Pustaka
Pendekatan Ekonomi
Politik Internasional
E
konomi dan politik merupakan dua hal yang berbeda, tetapi
mempunyai keterkaitan satu sama lain yang sangat erat,
bahkan tidak dapat dipisahkan. Terlebih jika kita berbicara
dalam konteks politik global. Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak
negara melakukan intervensi, menginvasi, atau berperang antarsatu
negara dengan negara yang lainnya karena motif ekonomi. Begitu
pula dengan sebaliknya, pelaku bisnis, misalnya Multinational Corporation
(MNC), membutuhkan dukungan politik (kekuasaan) untuk dapat meraup
keuntungan sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, Ekonomi Politik
Internasional (EPI) berbicara tentang kekayaan dan kemiskinan, tentang
siapa mendapatkan apa dalam sistem politik dan ekonomi internasional
(Jackson dan Sorensen, 2005: 227).
Contoh nyata yang dapat kita lihat adalah kehadiran PT Freeport
McMoran Copperand Gold, salah satu MNC dari Amerika Serikat, di
Indonesia yang mulai beroperasi pada tahun 1973 (Rifai-Hasan, 2009: 129).
Masuknnya PT Feeport di Indonesia mengesplorasi sumber daya alam di
Papua setelah rezim Orde Baru Soeharto mengambil alih kekuasaan dari
Soekarno. Hal itu karena Indonesia pada era Orde Lama Soekarno tidak
mempunyai hubungan yang baik dengan Amerika Serikat. Soekarno secara
garis ideologi lebih dekat ke China dan Uni Soviet (Rusia saat ini) yang
16 Ahmad Sahide
Oleh karena itu, jatuhnya Soekarno pada tahun 1965 tidak terlepas
dari peran Amerika Serikat. Salah satu teori dari kejatuhan Soekarno
adalah teori yang mengatakan bahwa yang sesungguhnya bergerak di
balik semuanya (kejatuhan Soekarno) adalah Central Intelligence of America
(CIA), yang sudah lama menimba hubungan baik dengan AD. Soeharto,
dari AD, sudah lama diperhatikan dan akan dijadikan anak buah
Amerika. Kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)
menggusarkan Amerika di tengah perang dingin yang memanas. Setelah
Soeharto naik ke puncak kekuasaan di Indonesia, Soeharto kemudian
membuka pintu masuknya Penanaman Modal Asing (PMA), maka tidak
lama setelah itu PT Freeport hadir di Indonesia mengeksplorasi sumber
daya alam di Papua. Sampai saat ini.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
17
Pandangan realis
Teori ekonomi realis berakar kuat pada, dan terkadang dianggap
sinonim dengan, ‘nasionalisme ekonomi’ atau ‘merkantilisme (Heywood,
2017: 160). Perspektif merkantilisme merupakan bagian dari fase dalam
sejarah kebijakan ekonomi, atau sebuah sistem tentang kebijakan ekonomi
yang banyak dipraktikkan oleh para negarawan Eropa dalam rangka
menjamin kesatuan politik dan kekuatan nasionalnya. Kaum merkantilis
memiliki pandangan bahwa elite-elite politik berada pada garis depan
pembangunan negara modern. Penganut paham realis atau merkantilisme
ini berpandangan bahwa aktivitas ekonomi adalah seharusnya tunduk
pada tujuan utama dalam membangun negara yang kuat. Dengan kata
lain, ekonomi adalah alat politik, suatu dasar bagi kekuasaan politik. Inilah
pokok pikiran utama dari merkantilisme (Jackson & Sorensen, 2005:
231). Jika kita menggunakan pendekatan dari kaum realis, maka negara
mempunyai hak untuk mengintervensi pasar karena pasar adalah bagi
kekuasaan atau negara.
Merkantilisme menganggap negara sebagai pelaku ekonomi yang
paling signifikan, menyoroti sejauh mana hubungan-hubungan ekonomi
ditentukan oleh kekuatan politik. Dalam pandangan ini, pasar tidak bersifat
alami tetapi berada dalam konteks sosial yang sebagian besar dibentuk
oleh penerapan kekuasaan negara. Karena sistem negara bersifat anarkis,
ekonomi global cenderung dicirikan oleh konflik ketika negara-negara
saling bersaing untuk meraih kekuasaan dan kemakmuran dalam suatu
zero-zum-game (Heywood, 2017: 160).
Oleh karena itu, paham Merkantilisme dalam EPI melihat
perekonomian internasional sebagai arena konflik antara kepentingan
nasional yang bertentangan daripada sebagai wilayah untuk membangun
kerja sama yang saling menguntungkan. Kekuatan ekonomi dan kekuatan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
19
politik sebagai tujuan yang saling melengkapi, bukan saling bersaing, dalam
lingkaran arus balik positif. Pencapaian kekuatan ekonomi mendukung
pengembangan kekuatan politik dan militer negara serta kekuatan politik
dapat meningkatkan dan memperkuat ekonomi negara.
Pandangan liberal
Teori ekonomi liberal didasarkan pada keyakinan bahwa individu,
sebagai mahluk rasional yang mementingkan-diri, atau pemaksimal utilitas,
adalah para pelaku ekonomi utama (para pemaksimal utilitas beraksi
untuk mencapai kesenangan terbesar, yang diperhitungkan dari sudut
pandang konsumsi materi). Liberalisme ekonomi ini muncul sebagai
kritik terhadap dominasi negara dalam pasar yang berlangsung pada abad
keenambelas dan ketujuhbelas di Eropa (Merkantilisme). Kaum ekonomi
liberal menolak teori dan kebijakan yang men-subordinat ekonomi pada
politik. Adam Smith (1723-90), bapak kapitalisme ekonomi, yakin bahwa
pasar cenderung meluas secara spontan demi kepuasan kebutuhan manusia
– menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh ikut campur (Jackson &
Sorensen, 2005: 234). Ekonomi berjalan paling baik jika dibiarkan bebas
oleh pemerintah (Heywood: 188)
Dalam pandangan ini, bisnis-bisnis merupakan alat penting untuk
mengorganisasikan produksi dan menghasilkan kemakmuran (Heywood,
2017: 160). Maka dari itu, keyakinan terhadap kemajuan adalah asusmsi
dasar liberal (Jackson & Sorensen, 2005: 141).
Berlandaskan asumsi dasar tersebut, pemikir ekonomi liberal
berpandangan bahwa kepentingan-kepentingan manusia rasional akan
menimbulkan interaksi yang harmonis di mana kebutuhan manusia akan
terpenuhi secara efektif dan efisien dengan syarat dalam proses tersebut
tidak ada pihak yang mengintervensi. Dengan kata lain, semua berjalan
20 Ahmad Sahide
Pandangan kritis
Perspektif Kritis atau Marxisme berkembang dari pemikiran
filsuf ekonomi politik, Karl Marx. Salah satu teori yang mendasari kaum
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
21
B. Kesimpulan
Dari pemaparan singkat di atas kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa ekonomi dan politik merupakan dua hal yang mempunyai
ikatan yang sangat erat satu sama lain karena saling memengaruhi.
Di dalam hubungan yang saling memengaruhi tersebut, ada tiga teori
22 Ahmad Sahide
Daftar Pustaka
D
alam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekonomi
adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan
pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti hal
keuangan, perindustrian, dan perdagangan), pengertian yang lainnya
adalah pemanfaatan uang, tenaga, waktu, dan sebagainya yang berharga,
juga bisa diartikan sebagai tata kehidupan perekonomian (suatu negara)
(KBBI, 2008).
Oleh karena itu, jika kita membahas mengenai ekonomi global berarti
yang kita bicarakan adalah aktivitas ekonomi secara global menyangkut
distribusi barang dan jasa yang melibatkan negara dan pihak-pihak
yang terkait. Andrew Heywood memberikan istilah dengan ‘globalisasi
ekonomi’. Globalisasi ekonomi merujuk pada proses di mana semua
ekonomi nasional ditarik ke dalam ekonomi global yang saling-terkait;
ekonomi global juga bisa didefinisikan sebagai pergeseran dari dunia
ekonomi nasional yang terpisah menuju ekonomi global di mana produksi
diinternasionalisasi dan modal finansial mengalir secara bebas dan instan
melintasi negara-negara (Heywood, 2017: 174).
Globalisasi adalah meluas dan meningkatnya hubungan ekonomi,
sosial, dan budaya yang melewati batas-batas internasional. Makin
meningkatnya derajat saling keterkaitan ekonomi antara dua perekonomian
nasional, sebagai contoh dalam bentuk perdagangan atau investasi asing
yang lebih eksternal, merupakan salah satu aspek dari globalisasi ekonomi
26 Ahmad Sahide
Daftar Pustaka
H
asil daur ulang demokrasi Amerika Serikat (AS) yang
berlangsung pada 8 November 2016 cukup mengejutkan
dunia internasional. Hal itu tidak terlepas dari munculnya
Donald trump, sosok kontroversial dan kandidat dari Partai Republik,
sebagai pemenang. Trump berhasil mengalahkan kandidat populer dan
berpengalaman dalam dunia birokrasi, Hillary Clinton. Hillary kemudian
gagal menorehkan sejarah sebagai presiden perempuan pertama dari
negara kampiun demokrasi tersebut.
Keluarnya Trump sebagai pemenang pemilihan Presiden AS ini
menimbulkan kekhawatiran dunia internasional, terutama dunia Islam.
Hal itu karena Trump, sejak masa kampanye, seringkali melontarkan
pernyataan politik yang akan membatasi imigran dari dunia Islam masuk
Amerika (Sahide, 2018: 38). Hal ini dibuktikan tidak lama setelah resmi
dilantik menjadi Presiden AS, ia mengeluarkan Executive Order 13769.
Bagi yang mengikuti proses pemilihan presiden di AS pada 2016,
respons dunia internasional sangat negatif begitu Trump dapat dipastikan
memenangi pilpres Amerika yang telah berhasil mengeumpulkan electoral
vote yang melebihi 270 suara. Respons negatif itu terlihat dengan langsung
anjloknya harga saham Eropa tidak lama setelah Trump memeroleh suara
electoral vote yang melebihi 270 suara. Nilai tukar dollar Amerika juga jatuh
34 Ahmad Sahide
yang membangun politik kebohongan (Rizvi et al., 2020). Sosok kuat yang
mengerikan dunia, demikian William Liddle, Professor Emeritus Ohio
State University, menggambarkan sosoknya (Kompas, 15/10/2016).
Francis Fukuyama lalu menulis buku yang berjudul The End of History and
the Last Man, terbit pada tahun 1992.
Di Indonesia, buku ini telah beredar serta dikonsumsi secara luas dan
termasuk salah satu buku bacaan penting dalam kajian ilmu sosial dan
politik. Buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Inti dari buku
Fukuyama tersebut adalah bahwa setelah keruntuhan Uni Soviet, tersisa
Rusia hari ini, tidak ada lagi ideologi politik global yang mampu menyaingi
ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal yang diusung oleh Amerika
Serikat (Fukuyama, 2001). Perang Dingin berakhir yang ditandai dengan
kemenangan bagi pihak Amerika dengan kapitalismenya, serta kekalahan
di pihak Uni Soviet dengan ideologi sosialismenya. Supremasi politik global
inilah yang selalu dipertahankan oleh Amerika hingga saat ini dengan
dalih memerangi terorisme dan isu-isu lainnya.
Setelah berlalu tiga dekade, muncul pertanyaan benarkah tesis
Fukuyama di atas bahwa tidak ada lagi ideologi yang mampu menandingi
ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal yang diusung oleh Amerika
dalam kancah politik global? Fakta sejarah bahwa Amerika hari ini masih
menjadi negara superpower tidak dapat dibantahkan, tetapi jika dikatakan
bahwa sosialisme yang dulu diusung oleh Uni Soviet telah berakhir dan
tidak lagi punya kekuatan di hadapan kapitalisme global sepertinya perlu
direvisi.
Buktinya, Rusia kini sedang memasuki fase kebangkitan di bawah
kepemimpinan Vladimir Putin. Rusia juga secara terbuka berani
mengambil sikap yang berhadap-hadapan dengan AS dalam berbagai
kasus dan isu-isu global. Dalam kasus Iran, misalnya, baik itu pada era
George Walker Bush maupun pada era Barack Obama yang berakhir
20 Januari 2017, Rusia, bekerja sama dengan China, selalu berada pada
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
43
Krisis Legitimasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “legitimasi’ dimaknai,
salah satunya, sebagai pernyataan yang diakui keabsahannya; pengesahan.
Krisis legitimasi politik berarti suatu pemerintahan tidak mendapatkan
pengakuan publik secara luas. Jurgen Habermas mengatakan bahwa krisis
legitimasi muncul ketika loyalitas dan kepatuhan massa tidak dapat dirawat
dengan baik oleh seorang pemimpin. Namun demikian, krisis legitimasi
belum tentu menjadi krisis sistem, melainkan “krisis identitas”, yaitu
ancaman langsung terhadap integrasi social karena tiadanya pengakuan
dan kepatuhan tersebut (McCarthy, 2006: 479).
Krisis legitimasi inilah yang membayangi empat tahun Amerika di
bawah kepemimpinan Trump. Krisis legitimasi itu dapat dilihat, salah
satunya, ketika tim Trump tidak mampu menghadirkan musisi “Kelas A”
pada malam menjelang pelantikannya. Hal berbeda dari Barack Obama
yang mampu menghadirkan bintang ‘raksasa’ (Kompas, 21/01/2017). Di
samping itu, jumlah warga Amerika yang menghadiri pelantikan Obama
juga dua kali lebih banyak dari jumlah warga yang menghadiri pelantikan
Trump. Sedikitnya jumlah warga yang menghadiri pelantikan itu juga
menjadi sinyal rendahnya legitimasi politik yang dimiliki Trump. Indikator
lainnya yang dapat kita lihat adalah adanya demonstrasi penolakan
di mana-mana di dalam negeri pada hari pelantikan Trump (Kompas,
21/01/2017). Bahkan Mahkamah Federal negara Paman Sam tersebut
memblokir keputusan Presiden Trump tentang larangan masuk Amerika
bagi warga tujuh negara (Kompas, 5/02/2017).
Inilah konsekuensi politik yang harus diterima Trump dengan
kepemimpinan kontroversialnya. Terlihat bahwa Trump tidak sejalan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
47
politik yang berseberangan dengan AS. Hal itu bisa kita lihat dalam perang
yang masih berlangsung di Suriah sejak bergejolaknya The Arab Spring 2011
lalu hingga saat ini. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa Rusia sebagai
pemimpin negara sosialis masih dilihat sebagai representasi lawan ideologis
kapitalisme yang dipimpin AS. Dan langkah politik yang diambil oleh Putin
menunjukkan bahwa Rusia sedang memamerkan kepercayaan dirinya di
kancah politik global sebagai salah satu negara superpower. Putin sejak tampil
ke puncak kepemimpinan di Rusia sangat fokus dalam mengonsolidasikan
politik Rusia untuk merebut kembali kekuatan politiknya yang hilang
(Leichtova, 2014).
Tetapi Trump justru menikmati kerja sama dengan Putin. Dalam
wawancara dengan CNN, Trump mengatakan “Putin dan Obama tidak
saling menyukai sehingga sulit bernegosiasi, namun saya mungkin akan
sangat cocok dengannya. Dan saya rasa tidak akan ada masalah seperti
yang ada sekarang” (Sahrasad, 2017: 8). Pada hari terpilihnya sebagai
Presiden AS, Trump menunjukkan sikap respeknya kepada pemimpin
Rusia, Putin (McNamara, 2017: 5).
Inilah langkah politik Trump yang di luar mainstream politik Presiden
Amerika pada umumnya. Di samping itu, politik proteksionisme yang
diusung oleh Trump juga berada di luar garis politik yang umumnya
diambil oleh pemimpin yang mendiami White House (Gedung Putih),
penganut paham liberalisme ekonomi yang membiarkan pasar berjalan
mengikuti mekanismenya sendiri. Trump kelihatannya tidak menganut
paham tersebut.
C. Peraturan Proteksionisme
Kemenangan Trump pada pilpres 2016 adalah bukti kebangkitan
populisme dengan semboyan ‘America First’ untuk melawan para elite
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
51
dan kemapanan di negeri itu (Sahrasad, 2017: 3). Sejak awal Trump
menunjukkan arah kebijakannya ke inward-looking yang diisyaratkan
dengan keinginannya untuk meninjau semua perjanjian perdagangan,
kesepakatan Trans-Pacific Patnership (TPP), menarik modal AS di luar negeri
dan mengenakan penalti perusahaan AS yang memberi pekerjaan kepada
bangsa lain. Ini tentu menjadi berita kurang baik sekaligus mencemaskan
bagi ekonomi dunia, terutama di tengah melambatnya pertumbuhan
perdagangan global yang diperkirakan pada saat itu (2016) hanya sekitar
1,7% (Sahrasad, 2017: 4).
Kebijakan inward-looking terbukti ketika Trump akhirnya mengesahkan
peraturan soal pengenaan bea masuk (ke AS) pada hari Kamis waktu
setempat, 08 Maret 2018. Dengan peraturan tersebut, tarif bea masuk 25
persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium (Kompas, 10/03/2018).
Tentu saja, politik proteksionisme Trump ini bertentangan dengan paham
liberalisme ekonomi yang selama ini dianut oleh Amerika dan sekutunya.
Amerika Serikatlah bersama dengan Inggris dan 22 negara lainnya
yang memprakarsai lahirnya ‘sistem Bretton Woods’ pada Agustus 1944
yang melahirkan tiga lembaga dengan corak ekonomi liberal. Tiga lembaga
itu adalah International Monetary Fund (IMF),) International Bank for Reconstruction
and Developmen (IBRD yang kemudian dikenal dengan World Bank (Bank
Dunia), dan World Trade Organization/WTO (Heywood, 2017: 831-833).
Sistem Bretton Woods inilah yang selama ini menjadi rezim ekonomi
politik global di mana Amerika adalah negara paling dominan di dalamnya.
Amerika selama sekian abad menikmati kemakmuran dan mampu meraih
supremasi politik globalnya karena dilayani oleh sistem tersebut, salah satu
dari kritik Joseph Stiglitz.
Keyakinan dari paham ekonomi liberal adalah bahwa ekonomi
akan berjalan dengan baik ketika dibiarkan bebas oleh pemerintah.
52 Ahmad Sahide
salah satu prakarsa dari lahirnya perjanjian Breeton Woods (lahirnya IMF,
WB, dan WTO). Jika AS tidak memedulikan respons dari negara-negara
Uni Eropa, maka kebijakannya tersebut akan dibalas dengan Uni Eropa
sehingga yang terjadi adalah perang dagang global dan ini tentu sangat
berbahaya dalam ekonomi politik global (Kompas, 10/03/2018).
D. Supremasi Politik AS
Proteksionisme yang diambil oleh Trump tersebut membuat para
sekutunya gerah dan tidak nyaman. Hal ini tentu saja menjadi ancaman
bagi AS dalam memertahankan supremasi politiknya. Sudah sejak lama
Kanselir German, Angela Merkel, mengutarakan bahwa UE harus berlajar
untuk tidak tergantung dengan AS. Pernyataan Merkel tersebut ketika
merespons pernyataan Trump bahwa AS terlalu banyak menghabiskan
uang untuk menjaga keamanan negara-negara sekutu, termasuk UE.
Oleh karena itu, AS di bawah Trump berpikiran bahwa UE harus mampu
menjaga dan membiayai keamanannya sendiri tanpa harus tergantung
dengan Amerika.
Kini, Trump kembali mengusik sekutunya, Uni Eropa, dengan
peraturan bea masuk untuk produk baja dan aluminium yang direspons
dengan negative oleh UE. Oleh karena itu, langkah politik yang diambil
oleh Trump tersebut menguntungkan pasar domestik AS tetapi itu akan
menjadi ancaman untuk memertahankan supremasi politiknya dalam
kancah politik global. Apakah Trump akan menjadi awal dari berakhirnya
supremasi politik AS di dunia internasional? Waktu yang akan menjawab.
Yang pasti, beberapa negara sekutu AS mulai gerah dengan Trump dan
memaksanya berpikir untuk tidak tergantung dengan AS. Jika hal itu
terjadi, maka perlahan-lahan supremasi politik AS akan berakhir. China
dan Rusia telah bangkit dan bersiap untuk merebut ‘mahkota’ tersebut
54 Ahmad Sahide
E. Kesimpulan
Trump adalah Presiden Amerika yang terpilih melalui proses yang
demokratis. Oleh karena itu, sekalipun sosoknya kontroversial, rakyat AS
dan dunia harus menerima dia sebagai Presiden AS yang sah sekalipun
dengan berbagai resiko dan konsekuensi yang harus diterima. Namun
demikian, hadirnya Donald Trump sebagai aktor penting dan utama
dalam panggung politik global setidaknya menyebabkan dua hal. Pertama,
Trump merusak dan memeruncing kembali hubungan AS dengan dunia
Islam yang sebelumnya dibangun oleh Obama. Kebijakan-kebijakan dan
pernyataan politik Trump kerak kali membuat dunia Islam merasa tidak
nyaman, termasuk dengan kebijakan Muslim Ban dan mengakui Jerusalem
sebagai ibu kota Israel.
Kedua, sosok kontroversial dan di luar mainstream gaya kepemimpinan
AS pada umumnya membuat para sekutu AS gerah dengan Trump
sehingga ada wacana untuk mengurangi tingkat ketergantungan dengan
AS termasuk dengan hubungan baiknya dengan Vladimir Putin serta
kebijakan proteksionismenya. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi
supremasi politik AS dalam kancah politik global. Pada sisi yang lain, China
dan Rusia sedang bangkit dan siap untuk menggantikan posisi Amerika.
Oleh karena itu, rakyat AS harus membayar mahal hasil pilihannya dalam
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
55
daur ulang demokrasi 2016 silam. Di satu sisi, Trump memang populer
tetapi tidak mempunyai legitimasi politik yang kuat, baik di dalam negeri
maupun di dunia internasional.
Daftar Pustaka
Indikator Kemerosotan
Supremasi Politik Global
Amerika
P
erang Dunia II (PD II) berakhir dengan kemenangan di pihak
sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS). Ini pulalah
yang menjadi awal dari munculnya AS sebagai pemimpin
politik global dalam berbagai aspek; politik, ekonomi, pendidikan, dan
budaya. Dari aspek politik, PD II berakhir dengan terbentuknya struktur
politik internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mana
terdiri dari lima negara yang memiliki hak veto atau menjadi anggota
tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Kelima negara itu adalah Amerika
Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan China. Dari kelima negara anggota
tetap DK PBB itu, Amerika adalah negara paling kuat dan berpengaruh.
Ditambah lagi markas PBB ada di Washington DC, Amerika Serikat.
Sementara itu, dari aspek ekonominya dapat kita lihat dengan
munculnya Amerika sebagai pemimpin dari negara-negara yang menganut
paham ekonomi liberal di bawah naungan ideologi kapitalisme global
yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia ini. Pada Agustus 1944,
Amerika, Inggris, dan 22 negara lainnya bertemu dalam Konferensi
Moneter dan Finansial PBB di kota kecil Bretton Woods untuk merumuskan
arsitektur kelembagaan bagi sistem finansial dan moneter internasional
58 Ahmad Sahide
ditulis oleh Acharya berjudul The End of American World Order. Beberapa
indikator yang dilihat oleh Acharya untuk sampai pada kesimpulan
akan berakhirnya supremasi politik global Amerika di antaranya adalah
munculnya kekuatan-kekuatan baru dan juga keraguan akan hegemoni
liberalisme global (Acharya, 2018). Kita tahu bahwa kapitalisme yang
menjadi ideologi dominan sejak berakhirnya Perang Dunia II tidak luput
dari krisis yang menguncangkan negara-negara di dunia, dimulai dari
krisis ekonomi Meksiko pada 1994-5, krisis finansial di Asia pada 1997-8,
krisis ekonomi Argentina pada 1999-2002, krisis Dot-com pada 2000, krisis
perbankan Uruguay pada 2002, krisis finansial global pada 2007-9, dan
krisis eurozone 2010-13 (Andrew Heywood, 2017). Peristiwa-peristiwa
inilah yang menghadirkan suatu pertanyaan akan legitimasi dari sistem
kapitalisme dan liberalisme global.
Andrew Heywood dalam bukunya yang berjudul Politik Global juga
sudah menuliskan terkait dengan gambaran masa depan politik global
di mana salah satu yang diprediksi oleh Heywood adalah bergesernya
kekuasaan hegemonik Amerika ke China. Abad ke-20 adalah ‘abad
Amerika’, sementara abad ke-21 akan menjadi ‘abad China’. China,
tulis Heywood, akan menjadi kekuatan hegemon global jenis baru dan
Amerika harus merelakan perpindahan hegemoni tersebut dan juga ini
akan membebaskan Amerika dan beban kepemimpinan global (Andrew
Heywood, 2017)
Di Indonesia, Prof. Dr. Bambang Cipto, M.A., guru besar ilmu
hubungan internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
menulis buku yang juga menarik kita baca dalam kaitan ini, yaitu Strategi
China Merebut Status Super Power (Bambang Cipto, 2018b). Jika Amitav
Acharya dalam bukunya di atas menyinggung China sebagai salah satu
kekuatan baru, maka Prof. Dr. Bambang Cipto meneruskannya dengan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
61
dapat kita lihat dalam kasus Edward Snowden, mantan anggota Central
Intelligence Agency (CIA) Amerika dan dalam kasus konflik Suriah yang masih
berlangsung hingga hari ini (Ali Muhammad, Mutia Hariati H., Ahmad
Sahide, 2019).
Edward Snowden, pria kelahiran 21 Juni 1983, membocorkan
dokumen dan rahasia penting Amerika Serikat pada 6 Juni 2013. Snowden
terbang ke Hong Kong untuk melakukan wawancara terhadap media
massa The Washington Post dan The Guardian melalui wartawan Glenn
Greenwald dan Laura Poitras pada 6 Juni 2013. Melalui wawancara ini
Snowden membocorkan rahasia bagaimana Amerika melakukan spionase
terhadap negara lain, bahkan negara sekutu, dan juga terhadap rakyat
Amerika Serikat sendiri (Kim, 2018). Keberanian Snowden membocorkan
rahasia penting AS ini membuatnya sebagai buronan Amerika. Setelah
dinyatakan sebagai buronan, Snowden kemudian mencari suaka politik ke
beberapa negara, seperti Perancis, Jerman, Irlandia, Ekuador, Tiongkok,
Kuba, Brazil, India, Norwegia, Polandia, serta Rusia (Ibrahim & Iskandar,
2017)
Negara-negara yang dimintai suaka politik oleh Snowden tersebut
tidak berani mengabulkannya karena ‘takut’ dengan Amerika. Hanya
Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang berani mengambil langkah berbeda.
Putin memberikan suaka politik kepada Snowden. Presiden Amerika
Serikat Barrack Obama meminta kepada pihak Rusia untuk melakukan
ekstradisi Snowden kembali ke Amerika Serikat. Namun, permintaan
Obama ini tidak dikabulkan oleh Putin dengan alasan kemanusiaan. Putin
beralasan bahwa Snowden tidak memiliki dokumen dan passport untuk
meninggalkan Rusia (Ibrahim & Iskandar, 2017)
Inilah salah satu pertunjukan politik oleh Putin kepada dunia yang
tidak gentar dengan Amerika menunjukkan kepercayaan dirinya sebagai
66 Ahmad Sahide
salah satu negara super power. Amerika memang masih menjadi negara
dengan kekuatan militer nomor satu di dunia dan Rusia berada pada
urutan kedua, namun itu tidak lagi membuat Rusia patuh dan tunduk
terhadap Amerika. Pertunjukan politik Putin ini juga membuktikan tesis
dari Chomsky yang disinggung di atas bahwa Amerika semakin tidak bisa
memaksakan kehendaknya ke banyak negara di dunia. Telah muncul
beberapa negara yang berani berseberangan dengan Amerika. Ini menjadi
bukti bahwa supremasi politik global Amerika semakin tergerus.
Pertunjukan politik Putin berlanjut ketika berani mengintervensi
daur ulang demokrasi di negeri Paman Sam tersebut pada 2016 silam.
Kemenangan Donald Trump pada 8 November 2016 mengejutkan dunia
internasional. Trump yang tidak diunggulkan oleh lembaga survei kredibel,
seperti Reuters/Ipsos, mampu mengalahkan Hillary Clinton, kandidat
dari Partai Demokrat, yang dari berbagai jajak pendapat sebelum hari H
pemungutan suara selalu unggul dari Trump. Bahkan satu hari sebelum
pemilihan berlangsung, Reuters/Ipsos dalam surveinya menyebutkan
bahwa Hillary unggul 5 persen dari Trump, atau 44 persen berbanding 39
persen (Ahmad Sahide, 2017). Namun demikian, hasil suara rakyat pada
saat hari pemungutan suara berbanding terbalik dengan prediksi beberapa
lembaga survei kredibel yang dibangun di atas fondasi metodologi ilmiah
yang selama bertahun-tahun dapat dipertanggungjawabkan validitas dan
hasilnya.
Belakangan, terkuak ke media sosial mengenai salah satu rahasia penting
di balik kemenangan Trump, tokoh kontroversial itu. Ternyata ada peran
Rusia, terutama Presiden Vladimir Putin, yang membantu Trump dalam
mengalahkan kandidat yang diunggulkan dunia internasional. Putin
membantu Trump dalam menjatuhkan popularitas Hillary Clinton dengan
menginstruksikan menyebarkan berita-berita yang merusak reputasi Hillary
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
67
Clinton (Ali Muhammad, Mutia Hariati H., Ahmad Sahide, 2019). Inilah
yang mewarnai perjalanan politik Trump selama menduduki White House.
Partai Demokrat dan sebagian besar rakyat Amerika sulit menerima adanya
intervensi Rusia di balik kemenangan Trump karena ini adalah ‘aib’ politik
bagi Amerika sebagai negara adidaya yang berani ‘diganggu’ oleh Putin.
Sebagai negara super power, Amerikalah yang terbiasa mengintervensi dan
menentukan hasil daur ulang demokrasi di suatu negara, tapi dalam kasus
Trump terjadi sebaliknya. Rusia yang mengintervensi dan memengaruhi
hasil daur ulang demokrasi 2016 silam. Barack Obama merespons terkuaknya
berita intervensi Putin ini dengan mengusir diplomat Rusia dari Amerika
menjelang kepemimpinannya berakhir.
Bentuk perlawanan Rusia di bawah Putin terhadap Amerika juga
terlihat dalam berbagai isu dan konflik di Timur Tengah. Hal ini dapat
kita lihat dalam kasus Iran dan Suriah. Hubungan Amerika dengan Iran
retak setelah Revolusi Islam Iran 1979. Amerika pun selalu menekan dan
memojokkan Iran di kancah politik internasional. Salah satu isu yang kerap
diangkat oleh Amerika dalam menekan Iran adalah isu nuklir Iran. Pada
akhir tahun 2006, Iran mendapatkan sanksi dari Dewan Keamanan (DK)
PBB dengan dikeluarkannya Resolusi DK PBB 1737. Kemudian pada
bulan Maret 2007 DK PBB kembali menjatuhkan sanksi terhadap Iran
dengan Resolusi DK PBB 1747. Amerika adalah negara pelopor utama
dua resolusi tersebut. Namun sanksi ini selalu diveto oleh Rusia bersama
dengan China (Ahmad Sahide, 2017). Oleh karena itu, dalam kancah
politik Timur Tengah dewasa ini, ada dua negara super power yang bersaing
dalam hal pengaruh, yaitu Amerika versus Rusia. Inilah bagian dari
kebangkitan Rusia dalam mengganggu supremasi politik global Amerika.
Dalam konflik Suriah sama, terjadi perebutan pengaruh antara Amerika
versus Rusia. Terjadinya perang yang berkepanjangan di Suriah pasca-The
68 Ahmad Sahide
Arab Spring karena dua negara super power tersebut hadir dalam perebutan
pengaruh dan ideologinya. Dalam konflik Suriah, Amerika mendukung
oposisi untuk menggulingkan rezim Bashar al-Assad, sementara Rusia
mendukung penuh rezim Bashar al-Assad dalam menghadapi gempuran
oposisi (Ahmad Sahide, 2019b). Oleh karena itu, dalam berbagai isu
kita melihat bahwa Rusia tidak lagi takut mengambil langkah berbeda
dan berseberangan dengan Amerika. Maka dari itu, Rusia berada di
samping China, salah satu negara yang mengancam supremasi politik
global Amerika saat ini. Selain itu, Rusia dan China selalu bekerja sama
dalam melawan hegemoni Amerika. Rusia fokus memperkuat dari segi
kekuatan militer, sementara China sedang membangun kekuatan dan
rezim ekonomi global.
Perang Dagang
Salah satu dampak secara global dengan terpilihnya Trump pada
2016 lalu adalah terjadinya Perang Dagang antara Amerika versus China
sejak 2018. Hal itu tidak terlepas dari pandangan ekonomi Trump yang
lebih ke Keynsian daripada ke Adam Smith. Sejak awal Trump sudah
berkampanye dengan slogan “America First” dan itu dibuktikan dengan
kebijakan inward-looking setelah mendiami White House.
Tepatnya 08 Maret 2018, Trump secara resmi mengesahkan peraturan
soal pengenaan bea masuk. Dengan peraturan tersebut, tarif bea masuk
25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium (“Kebijakan
Tarif Menuai Kecaman,” 2018). Inilah yang memicu terjadinya Perang
Dagang yang menyebabkan terjadinya gejolak ekonomi dan politik global.
Trump melihat bahwa liberalisme ekonomi mengancam pasar domestik
di AS sehingga ia harus mengambil langkah yang bercorak Keynesian
(negara mengintervensi pasar). Bagi Trump liberalisme ekonomi yang
selama ini dianut oleh AS dan sekutunya banyak merugikan AS karena
memungkinkan baja dan aluminium produksi AS tidak mampu terserap
di pasar domestik dengan masuknya baja dan aluminium produksi dari
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
71
negara lain. Salah satu negara yang dianggap oleh Trump merugikan AS
adalah China. “You know, I don’t mind trade wars when we’re losing $58 billion
a year, you want to know the truth. We’re losing so much. We’re losing so much with
Mexico and China, with China, we’re losing $500 billion a year,” pernyataan
Donald Trump di Breitbart News pada 25 Februari 2016 (Antoine Bouët
and & David Laborde, 2017).
Langkah proteksionisme oleh Donald Trump tersebut mendapatkan
respons negatif dan balasan dari berbagai negara, terutama China.
Pemerintah China merespons dengan memberlakukan kenaikan tarif
hingga 15 hingga 25 persen atas 128 produk asal Amerika Serikat pada
tanggal 2 April 2018 (Wayne M. Morrison, 2018). Perang dagang yang
melibatkan AS versus China ini tidak terlepas dari kebangkitan ekonomi
China sebagai salah satu negara dengan kekuatan ekonomi global yang
mampu menyaingi kekuatan ekonomi AS. Harus dicatat bahwa China
adalah bagian dari BRICS, rezim ekonomi baru penantang rezim ekonomi
global yang bercorak kapitalis yang kini dipimpin oleh Amerika Serikat.
Bahkan China, sebagaimana sudah disinggung di atas, diprediksi akan
menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia pada
tahun 2030. Dalam artian bahwa rezim ekonomi dan politik global
akan bergeser dari genggaman Amerika ke China. Perang Dagang yang
masih berlangsung hingga 2020 ini menunjukkan bahwa Amerika sedang
kewalahan dalam menghadapi gempuran China di pasar domestik. Ini
menjadi indikasi bahwa Amerika bukanlah negara yang tidak terkalahkan
dalam berbagai hal.
C. Kesimpulan
Dengan melihat beberapa indikator yang telah diuraikan di atas, mulai
dari kebangkitan China dan BRICS, munculnya Rusia sebagai negara
72 Ahmad Sahide
Daftar Pustaka
Acharya, A. (2018). The end of American world order. John Wiley & Sons.
Ahmad Sahide. (2017). Gejolak Politik Timur Tengah (Dinamika, Konflik, dan
Harapan). The Phinisi Press.
Ahmad Sahide. (2019a). Kebangkitan China di Kancah Politik Global.
Harian Kompas.
Ahmad Sahide. (2019b). The Arab Spring; Tantangan dan Harapan Demokratisasi.
Penerbit Buku Kompas.
Ali Muhammad. (2017). Supranasionalisme Uni Eropa (Institusi, Kebijakan, dan
Hubungan Internasional). Lembaga Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian
Masyarakat (LP3M) UMY.
Ali Muhammad, Mutia Hariati H., Ahmad Sahide. (2019). Kebangkitan
Kembali Great Power (Politik Luar Negeri Rusia Era Presiden Vladimir Putin).
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
73
P
olitik global Abad ke-21 ditandai dengan rivalitas dua negara
superpower, yaitu Amerika Serikat versus China. Semua berawal
dari kebangkitan ekonomi China dalam dua dekade terakhir
yang rata-rata pertumbuhannya di atas 10 persen. Pada sisi yang lain,
kekuatan ekonomi Amerika semakin tergerus dari tahun ke tahun sehingga
tidak lagi mempunyai kemampuan untuk mengontrol negara-negara
di dunia. China, sebagai salah satu negara yang mempunyai sejarah
kebesaran memulainya dengan membangun kekuatan ekonomi tandingan
bersama dengan Brazil, Rusia, India,dan Afrika Selatan yang dikenal luas
dengan singkatan BRICS. Memang BRICS hanya berisi lima negara
tetapi populasinya kurang lebih 40% dari populasi global. Oleh karena
itu, sejak awal kemunculannya, BRICS sudah dilihat sebagai salah satu
kekuatan tandingan atau kekuatan revisionis yang mencoba mengurangi
ketergantungan negara-negara di dunia terhadap Amerika dan rezim
ekonomi politik yang dibangunnya.
Amerika sebagai negara superpower yang merasa terancam supremasinya
dengan kehadiran China yang mempunyai ambisi menjadi negara superpower
sudah lama melihat China sebagai ancaman. Namun demikian, strategi
politik yang dilakukan oleh Amerika hanyalah berupaya membendung
laju perekonomian dan pengaruh China di kancah politik global. Sebagai
contoh, Amerika bekerja sama dengan aliansi politiknya, NATO,
memboikot produk-produk China seperti Huawei. Namun demikian,
76 Ahmad Sahide
A. Perang Dagang
Ketika Donald Trump memenangi pemilihan Presiden Negeri Paman
Sam tersebut pada 2016 silam, ekonomi Amerika sedang terpuruk.
Amerika tidak lagi menikmati sistem pasar bebas yang diprakarsai oleh
Amerika Serikat bersama Inggris dan 22 negara lainnya pada 1944, yang
kita kenal dengan istilah ‘sistem Bretton Woods’ (Heywood: 831-833).
Amerika justru kewalahan menghadapi gempuran produk-produk dari
luar, terutama dari China, dengan sistem ekonomi liberal pandangan
Adam Smith tersebut. Slogan kampanye Trump adalah ‘America First’.
Slogan ini menunjukkan bahwa Trump tidak menganut paham ekonomi
pasar bebas yang membiarkan semua berjalan sesuai dengan mekanisme
pasar. Trump menunjukkan pentingnya peran negara dalam melindungi
Amerika dari gempuran produk-produk yang datangnya dari luar. Trump
tidak menginginkan semua berjalan sesuai dengan mekanisme pasar karena
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
77
terbukti hal itu, di mata Trump, banyak merugikan Amerika (Bouët dan
Laborde, 2017: 3).
Maka, sejak awal Trump menunjukkan arah kebijakannya ke inward-
looking yang diisyaratkan dengan keinginan Trump untuk meninjau semua
perjanjian perdagangan, kesepakatan Trans-Pacific Patnership (TPP), menarik
modal AS di luar negeri dan mengenakan penalti perusahaan AS yang
memberi pekerjaan kepada bangsa lain. Ini tentu menjadi kabar buruk
dan mencemaskan bagi ekonomi dunia, terutama di tengah melambatnya
pertumbuhan perdagangan global yang diperkirakan hanya sekitar
1,7% pada tahun 2016 (Sahrasad, 2017: 4). Donald Trump akhirnya
mengesahkan peraturan soal pengenaan bea masuk (ke AS) pada hari
Kamis waktu setempat, 08 Maret 2018. Dengan peraturan tersebut, tarif
bea masuk 25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium (Kompas,
10/03/2018).
Perang Dagang pun tidak terhindarkan yang melibatkan kedua negara
adidaya tersebut karena China membalas Amerika dengan memberlakukan
kenaikan tarif 15 hingga 25 persen atas 128 produk asal Amerika Serikat
pada tanggal 2 April 2018 (Morrison, 2018: 1). Nilai produk-produk
pertanian tersebut di antaranya daging babi, anggur, dan apel, yang
mencapai angka 3 miliar dollar AS dalam setahun. kebijakan China dengan
kenaikan tarif tersebut merupakan kebijakan balasan terhadap keputusan
Washington yang terlebih dahulu menerapkan tarif atas produk baja dan
aluminium China sebelumnya (Kompas, 3/04/2018).
Genderang perang dagang yang ditabuh Trump ini, sampai pada
tingkat tertentu, merupakan strategi dari Trump untuk menghentikan
kemajuan ekonomi dan teknologi China yang berkembang dengan
demikian pesat. China, bersama dengan Rusia, dipandang Pentagon
(Amerika) sebagai dua negara yang menjadi penyebab utama kemunduran
78 Ahmad Sahide
Dasar dari klaim China yang menjadi sumber konflik di Laut China
Selatan (LCS) adalah dari pernyataan Perdana Menteri China, Zhou
Enlai, pada 1951, ketika sedang berlangsung proses negosiasi dengan
Jepang. Zhou Enlai pada saat itu mendeklarasikan Pulau Paracel dan
Spartly sebagai bagian dari kedaulatan China dan kembali dipertegas pada
1958 (Fravel, 2011: 2). Inilah yang menjadi sumber konflik di kawasan
Laut China Selatan sampai saat ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
merespons konflik ini dengan adanya deklarasi United Nations Convention
on the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982 yang ditujukan untuk China,
Jepang, Korea Selatan, dan semua negara anggota ASEAN yang terkait
bahwa pulau Paracel dan Spartly masuk dalam perairan internasional
(Simon, 2012: 996).
Konflik Laut China Selatan kembali memanas ketika China, pada
2009, secara resmi menyerahkan ke PBB batas terluar dari pulaunya
yang mana memasukkan sembilan garis putus-putus (nine dashed lines)
yang berbentuk ‘U’ sebagai bagian dari teritorial China. Tentu saja klaim
China atas semua wilayah ini, jika berdasarkan sejarah penemuan dan
penggunaannya, tidak konsisten dengan Konvensi Hukum Laut pada
1982 (Simon, 2012: 996). Oleh karena itu, jika kita melihat dari tahun
di mana China mulai berani mengklaim LCS yang tidak sejalan dengan
UNCLOS maka hal ini tidak terlepas dari kebangkitan China secara
ekonomi dan politik dengan ambisinya menjadi negara superpower. China
sudah merasa, terutama di ASEAN, bahwa tidak ada lagi negara yang
mampu menyaingi kekuatan ekonomi dan politiknya. Di samping itu,
sebagian besar negara-negara ASEAN saat ini mempunyai ketergantungan
secara ekonomi dengan China yang cukup tinggi.
Klaim yang bersifat sepihak dan memaksa dari China inilah yang
mengundang reaksi Amerika sehingga terjadilah rivalitas antara dua
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
81
negara superpower dalam konflik ini. Selain itu, China sudah melihat
adanya penurunan dari kekuatan kapasitas militer AS. China kemudian
menunjukkan ambisi politiknya mengendalikan Laut China Selatan
dengan membuat pulau buatan dan membangun pangkalan militer baru
di wilayah tersebut. China melihat nilai strategis wilayah Laut Cina Selatan
sebagai sarana untuk mencegah strategi pengepungan AS (Bendini 2014,
20-22).
Amerika dengan merespons ambisi China menguasai LCS dengan
memberikan dukungan terhadap negara-negara yang bersengketa dengan
China, seperti Jepang dalam konflik Pulau Senkaku (Jepang menyebutnya
demikian) dan juga Philipina. Amerika mengakui bahwa pulau yang
disengketakan tersebut adalah bagian dari kedua negara. Selain itu, ketika
Obama masih menjabat sebagai Presiden AS, Amerika berkomitmen
untuk mengerahkan 60 persen dari angkatan lautnya di Asia Pasifik pada
2020. Sementara bagi China, intervensi AS tersebut bagian dari upayanya
memertahankan kekuatan militernya (Huang dan Billo, 2015: 153-154).
Kehadiran dua negara inilah yang selalu menyebabkan adanya
ketegangan di kawasan tersebut dalam kurun waktu beberapa tahun
terakhir. Ketegangan terbaru pada awal Juli 2020 yang dipicu dengan
latihan militer China di dekat Kepulauan Paracel. Dua negara ASEAN,
Filipina dan Vietnam melontarkan kritik keras kepada Beijing. Washington
meresponsnya dengan menuduh China sedang melakukan militerisasi
di LCS. Washington juga menuduh China berusaha mengintimidasi
negara-negara tetangga Asia Tenggara. AS juga pada bulan Juni 2020
melakukan latihan militer sebanyak tiga kali di kawasan ini (Kompas,
4/07/2020). China membalas Washington dengan mengatakan bahwa
AS bertindak provokatif: memanas-manasi demi kepentingan sendiri
(Kompas, 6/07/2020). Shafiah Muhibat, Kepala Departemen Hubungan
82 Ahmad Sahide
Internasional pada Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menyebut
bahwa ketegangan Washington-Beijing di LCS telah menjadikan Asia
Tenggara sebagai halaman belakang perseteruan kedua negara (Kompas,
24 /7/2020).
Pada 24 Agustus 2020, China kembali menggelar latihan perang
di sekitar Paracel dan LCS. Ini kembali menuai protes dari Vietnam.
Selain itu, latihan perang ini direspons oleh Amerika dengan mengirimkan
pesawat pengintai tidak jauh dari latihan perang yang digelar oleh China.
Kehadiran pesawat pengintai Amerika ini juga direspons oleh China
dengan memperingatkan kemungkinan tentaranya menembak pesawat
pengintai AS tersebut yang tidak jauh dari lokasi latihan. China kembali
menegaskan bahwa ini adalah tindakan provokatif yang kembali dilakukan
oleh AS di LCS (Kompas, 27/08/2020).
Inilah bukti rivalitas kedua negara superpower di kawasan Laut China
Selatan. Rivalitas kedua negara di kawasan ini tidak terlepas dari magnet
kawasan yang tentu saja akan menguntungkan secara ekonomi dan politik
bagi negara yang berhasil menguasainya. Sebelum kebangkitan ekonomi
China, Amerika memang mempunyai peran strategis dan dominan di
kawasan ini. Namun demikian, kebangkitan China pasca-Perang Dingin
membuat kawasan ini tidak dapat terhindarkan dari rivalitas kedua negara.
C. Covid-19
Sejak akhir 2019, dunia dihebohkan oleh Coronavirus 2019 (Covid-19)
yang bermula dari kota Wuhan, China. Hanya dalam hitungan beberapa
bulan, virus ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, Eropa, Amerika,
Afrika, dan termasuk Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, virus ini pertama
kali dikonfirmasi ada di Indonesia pada awal Maret 2020. Negara-negara
di dunia pun disibukkan untuk mengatasi penyebaran virus mematikan ini.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
83
D. Kasus Taiwan
Ketegangan hubungan antara Amerika versus China juga terjadi
dalam kasus Taiwan. Bagi China, Taiwan adalah bagian dari kedaulatan
China. Namun demikian, Amerika dan Taiwan tidak berpandangan
demikian. China pun merasa selalu digerogoti kedaualatannya oleh
Amerika dalam kasus Taiwan. Pada tahun 2019, Presiden Donald Trump
menyetujui penjualan 8 miliar dolar AS jet tempur ke Taiwan, penjualan
yang cukup besar tentunya (Kompas, 12/08/2020). Kemudian tahun
ini, 10 Agustus 2020, Menteri Kesehatan Amerika Serikat, Alex Azar,
melakukan kunjungan diplomatik ke Taiwan. Inilah yang menuai protes
tegas dari China karena dianggap Amerika mengganggu kedaulatan
negeri Tirai Bambu tersebut. Oleh karena itu, ketika Azar sedang berada
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
85
E. Penutup
Andrew Heywood dalam bukunya yang berjudul Politik Global juga
sudah menuliskan terkait dengan gambaran masa depan politik global
di mana salah satu yang diprediksi oleh Heywood adalah bergesernya
kekuasaan hegemonik Amerika ke China. Abad ke-20 adalah ‘abad
Amerika’, sementara abad ke-21 akan menjadi ‘abad China’. China,
tulis Heywood, akan menjadi kekuatan hegemon global jenis baru dan
Amerika harus merelakan perpindahan hegemoni tersebut dan juga ini
akan membebaskan Amerika dan beban kepemimpinan global (Heywood,
2017).
Rivalitas Amerika versus China dalam beberapa isu yang sudah
dipaparkan di atas menjadi bukti akan hal terebut. Rivalitas terjadi
setidaknya karena dua faktor utama. Pertama, kemunduran supremasi
politik global Amerika sebagaimana dikatakan oleh Noam Chomsky (2016)
dengan judul Who Rules the World sudah mengulas mengenai kemerosotan
pengaruh Amerika Serikat di kancah dunia. Amerika memang masih
menjadi negara yang terkuat di dunia, tetapi dominasinya sudah mulai
tergerus dan dalam banyak kasus Amerika tidak lagi mampu memaksakan
kehendaknya kepada banyak negara di dunia. Kedua, tidak terlepas dari
kebangkitan ekonomi China yang sangat pesat dalam beberapa dekade
terakhir. Bahkan China diprediksi akan menjadi negara dengan kekuatan
ekonomi di dunia dalam satu atau dua dekade ke depan. Kemampuan
China melayani AS dalam Perang Dagang tentu tidak terlepas dari
86 Ahmad Sahide
Daftar Pustaka
Huang, J., Billo, A. (eds). 2015. Territorial Disputes in the South China
Sea. Palgrave Macmillan.
Kaplan, D., Robert. (2011). The South China Sea Is the Future of Conflict.
Foreign Policy. https://foreignpolicy.com/2011/08/15/the-south-
china-sea-is-the-future-of-conflict/.
Kompas Cetak. China Respons Keras AS, Bukan ke ASEAN. Edisi Sabtu, 4 Juli
2020. Hlm.4.
Kompas Cetak. Tegas di Laut China Selatan. Edisi Senin, 6 Juli 2020. Hlm. 6.
Kompas Cetak. Asia Tenggara Paling Terdampak. Edisi Jumat, 24 Juli 2020.
Hlm. 4.
Kompas Cetak. China Tidak Suka Relasi AS-Taiwan. Edisi Selasa, 11 Agustus
2020. Hlm. 6.
Kompas Cetak. Kunjungan Menteri AS ke Taipei. Edisi Selasa, 12 Agustus
2020. Hlm. 6.
Kompas Cetak. Latihan Perang China Picu Protes. Edisi Kamis, 27 Agustus
2020. Hlm. 4.
Leifer, Michael. 1996. Stalemate in the South China Sea. Asia Research
Centre, London School of Economics and Political Science.
Simon, Sheldon W. 2012. Conflict and Diplomacy in the South China
Sea. Asian Survey, Vol 52. No. 6 (November/December 2012). PP.
995-1018nflict and
88 Ahmad Sahide
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
89
B
arack Obama terpilih sebagai Presiden Amerika yang ke-45
pada November 2008, saat itu dunia menyambut hangat
terpilihnya presiden pertama Amerika dari kulit hitam
tersebut. Amerika kemudian menunjukkan kepada dunia bagaimana
berdemokrasi dengan terpilihnya warga keturunan minoritas menjadi
orang nomor satu di negeri Paman Sam tersebut. Harapan dunia, salah
satunya, dalam menyambut kemenangan Obama adalah bahwa dia
diharapkan mampu menjadi aktor utama penantian perdamaian konflik
Israel-Palestina. Obama memang tidak berhasil memenuhi ekspektasi
dunia akan hal ini karena kompleksitas dari konflik tersebut, namun
demikian Obama berhasil menurunkan tensi ketegangan hubungan antara
Barat, terutama Amerika, dengan dunia Islam yang sempat memanas
pada era Presiden George Walker Bush yang melakukan kampanye “war
on terrorism” setelah peristriwa 11 September 2001.
Obama kemudian, ketika berkunjung ke Indonesia, ia disambut
hangat oleh pemerintah, masyarakat, dan media di Indonesia. Tentu
salah satu faktornya adalah karena Obama pernah menghabiskan masa-
masa kecilnya di Menteng, DKI Jakarta. Namun demikian, terpilihnya
Trump pada 2016 lalu seolah merontokkan upaya yang selama delapan
tahun dibangun oleh Obama dalam memperbaiki hubungan antara Barat
90 Ahmad Sahide
sudah sangat familiar di mata masyarakat luas. Tentu saja, nama Hillary
sudah mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia ketika masuk ke Gedung
Putih (White House) sebagai first lady mendampingi Bill Clinton. Sejak saat
itulah, namanya sudah cukup dikenal luas. Ia juga berkali-kali melakukan
kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Dan sejak 2009 awal sampai 2013
awal, ia dipercaya oleh Obama sebagai Menteri Luar Negeri.
Oleh karena itu, ketika maju dalam putaran final pemilihan Presiden
Amerika Serikat berhadapan dengan Trump, masyarakat dan media
di Indonesia cenderung lebih berpihak ke Hillary. Donald trump di
mata masyarakat, dari berbagai pemberitaan,adalah sosok yang cukup
kontroversial dan juga sentimen terhadap dunia Islam. Indonesia adalah
negara yang mayoritas penduduknya Islam (87%) sehingga ini juga
berpengaruh dengan respon negatif masyarakat terhadap sosok Trump.
Media-media juga lebih cenderung ke sosok Hillary. Pemberitaan-
pemberitaan media di Indonesia lebih banyak mendiskreditkan Trump
dibandingkan Hillary. Kompas misalnya, sebagai salah satu media
berpengaruh dan dominan di Indonesia lebih banyak melakukan
pemberitaan yang secara tidak langsung akan mengarahkan pembaca
kepada sosok Hillary, bukan kepada Trump. Hal itu dapat dilihat dengan
beberapa tulisan (opini) di harian Kompas menjelang pemilihan presiden.
Rizal Mallarangeng, misalnya, menulis di harian Kompas, 8 Oktober
2016, dengan judul Hillary, Tokoh Sejarah di Jalan Berliku.
Dari tulisannya, pengamat politik dan pendiri Freedom Institute itu
secara tegas menunjukkan keberpihakannya kepada mantan first lady
Amerika tersebut. Rizal Mallarangeng menuliskan, “…Mungkin agak
berlebihan jika berkata bahwa Hillary adalah benteng pertahanan
terakhir melawan kegelapan.” William Liddle, Professor Emeritus Ohio
State University, juga menulis di harian Kompas pada hari Sabtu 15
92 Ahmad Sahide
Pada tahun yang sama, akhir tahun 2017, Trump kembali mengambil
langkah politik yang melukai hati umat Islam sedunia dengan mengakui
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
95
Sources: News from the Kompas was processed and coded using Nvivo12
Daftar Pustaka
ILO memperkirakan bahwa pada April-Juni 2020 akan terdapat sekitar 165
juta jiwa pekerja penuh waktu akan menjadi pengangguran karena tempat
kerja mereka tidak beroperasi. Sementara itu, Oxfam, Lembaga Swadaya
Masyarakat asal Inggris, memberikan gambaran bahwa kemerosotan
perekonomian karena Covid-19 akan menghasilkan 547 juta orang miskin
baru (Kompas, 12/04/2020).
Di Indonesia, pemerintahan Jokowi tidak mengambil langkah sebagai
mana beberapa negara lain dengan melakukan lockdown, melainkan
kebijakan membatasi interaksi sosial atau social distancing dan mewajibkan
memakai masker ketika keluar dari rumah kemudian Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) di daerah-daerah yang masuk dalam kategori zona
merah. Namun demikian, meskipun dengan kebijkan social distancing, ini
juga tetap mengguncang perekonomian Indonesia. Sri Mulyani Indrawati,
Menteri Keuangan Republik Indonesia, memprediksi jumlah kemiskinan
akan bertambah 3,78 juta dan pengangguran bertambah 5,2 juta jiwa
(Kompas, 19/04/2020). Covid-19 membuat banyak perusahaan harus tutup
sementara, kampus-kampus terpaksa harus melakukan perkuliahan secara
online atau daring. Selain itu, pelaksanaan ritual keagamaan yang melibatkan
kerumunan banyak orang (jama’ah) terpaksa harus ditiadakan, seperti
kebiasaan orang Islam untuk sholat berjama’ah di masjid-masjid diminta
untuk melaksanakan sendiri-sendiri di rumah. Covid-19 pun melahirkan
istilah baru, ‘dunia rehat sejenak’.
Dahsyatnya dampak yang dirasakan secara global dari Covid-19 ini juga
melahirkan suatu pertanyaan dari banyak kalangan. Apakah ini bagian dari
ambisi China untuk menjadi negara superpower mengingat awal mula dari
penyebaran virus ini dari kota Wuhan, salah satu kota dengan pusat riset
dan laboratorium China? Donald Trump pun kemudian menyebut virus
ini dengan sebutan China’s Virus. Di samping itu, Amerika Serikat sejauh
102 Ahmad Sahide
ini meyakini bahwa virus tersebut ada kaitannya dengan penelitian untuk
mengembangkan senjata biologi. Amerika juga mempunyai pandangan
bahwa kemungkinan virus ini berasal dari pusat laboratorium, bukan dari
pasar hewan di Wuhan, China (CNNIndonesia, 16/04/2020). Namun
demikian, di beberapa media internasional China justru menyerang balik
bahwa virus ini sebenarnya dibawa oleh tentara Amerika ke China. Inilah
yang melahirkan adanya kecurigaan akan konspirasi di balik Covid-19
dan banyak yang mengaitkannya bahwa ini bagian dari kelanjutan Perang
Dagang yang melibatkan Amerika Serikat versus China yang mana kita
ketahui bersama bahwa Amerika kewalahan, bahkan terlihat kalah, dari
China dalam perang yang mulai berlangsung sejak 2018 tersebut. Tulisan
ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut.
A. Kerangka Teori
Dalam kajian ini, penulis menggunakan pandangan realisme dalam
menganalisis keterkaitan Covid-19 dengan upaya China untuk menjadi
negara superpower; merebut supremasi politik global dari tangan Amerika
Serikat.
Dalam studi Hubungan Internasional, kita tahu bahwa terjadi
perdebatan cukup keras terkait bagaimana mencapai perdamaian dunia
antara aliran pemikiran idealis/liberalis versus realis. Meskipun perdebatan
ini sebenarnya lebih mencerminkan serangan dan superioritas dari
aliran realisme terhadap idealisme/liberalisme dalam studi Hubungan
Internasional (HI). Hal ini karena pada awal munculnya studi HI sebagai
disiplin ilmu mandiri pada tahun 1919, literatur studi HI lebih didominasi
oleh karya-karya kaum idealis/liberalis seperti Norman Angell, Leonard
Woolf, dan Alfred Zimmern. Angell mengatakan bahwa sejalan dengan
bangkitnya peradaban ekonomi modern (modern economic civilization) dan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
103
B. Kota Wuhan
Kota Wuhan merupakan Ibukota Provinsi Hubei dan menjadi kota
terpadat di China bagian tengah. Dari data New World Encyclopedia, diketahui
bahwa Wuhan memiliki wilayah seluas 8.494,41 kilometer persegi atau
106 Ahmad Sahide
yuan atau sekitar 661,5 miliar rupiah. WIV diselesaikan pada 2015 dan
dibuka secara resmi pada tahun 2018. Amerika Serikat, terutama Donald
Trump, membangun opini internasional bahwa dari sinilah virus itu
berasal (Kompas.com, 18/04/2020).
kekuatan dana tidak kurang dari 40 miliar dolar Amerika sehingga menarik
minat lebih dari 60 negara di dunia. Bahkan beberapa negara Uni Eropa
ikut bergabung, seperti Italia. Di samping itu, China melakukan investasi
di luar negeri sebagai bentuk partisipasinya pada perekonomian global
tetapi ini juga sekaligus sebagai bagian dari strategi untuk menguasai
perekonomian global. Amerika memang masih menjadi kekuatan ekonomi
nomor satu di dunia, tetapi diprediksi bahwa pada 2030 China akan
menggeser posisi Amerika sebagai negara dengan kekuatan ekonomi
nomor satu di dunia (Cipto, 2018).
Kekuatan ekonomi China terbukti ketika mampu melayani Amerika
dalam Perang Dagang sejak 2018 silam. Perang Dagang ini bisa kita baca
sebagai bentuk dari reaksi kekalahan Amerika dalam persaingan pada pasar
global dan juga terbukti Amerika tidak berhasil keluar sebagai pemenang
dalam perang tersebut. Dalam artian Amerika gagal mengguncang ekonomi
China melalui Perang Dagang. Kondisi ini kemudian memunculkan adanya
konspirasi bahwa Covid-19 ini adalah kelanjutan dari Perang Dagang
antara Amerika versus China yang dimenangi oleh China. Ada opini
yang terbangun bahwa ini adalah ‘ulah’ Amerika untuk melumpuhkan
ekonomi China yang mana perkembangannya tidak terbendung dan
menjadi ancaman bagi Amerika. Ini tentu diperkuat dengan sanggahan
dari China bahwa virus ini sebenarnya dibawa oleh tentara Amerika yang
berlatih di Wuhan pada Desember 2019.
Oleh karena itu, selain dengan berbicara dampak yang luar biasa dari
Covid-19 ini dunia juga diperlihatkan dengan perang psikologis antara
Amerika versus China dan itu tidak terlepas dari upaya mempertahankan
supremasi bagi Amerika dan upaya merebut supremasi politik global bagi
China. China menyadari pasti bahwa meskipun dalam dua dekade terakhir
pertumbuhan ekonominya paling tinggi di dunia, namun masih ada
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
109
Amerika di depannya. Selain itu, China masih kalah dari segi persenjataan
dari Amerika. Dari segi kekuatan militer, Amerika menempati peringkat
pertama dan China menempati peringkat ketiga.
Maka dari itu, jika pada 2030 China berhasil menjadi negara dengan
kekuatan ekonomi nomor satu di dunia, China, dengan pandangannya
yang realis, belum bisa menjadi negara superpower karena masih kalah dari
Amerika dalam hal kekuatan militer. China belum bisa menjadi negara
yang terkuat di antara negara-negara lainnya di dunia. Pandangan realis
meyakini bahwa jika ingin berdamai, maka bersiaplah untuk berperang.
China, di hadapan Amerika, belum siap untuk berperang atau merasa
belum damai karena dari segi kekuatan militer, China masih berada di
belakang Amerika. Oleh karena itu, dominannya realisme dalam kancah
politik global akan memertontonkan perlombaan negara-negara di dunia
dalam memerkuat persenjataannya. Maka, China sebenarnya sudah
melakukan struggle for power dengan menjalankan prinsip Darwinisme,
‘survival of the fittest’. Inisiatif politik China dengan membentuk kekuatan
ekonomi tandingan bersama dengan Brazil, Russia, India, China, and South
Africa (BRICS) dan kemudian melayani Amerika dalam Perang Dagang
sejak 2018 adalah bagian dari struggle for power.
oleh Uni Soviet dengan juga membangun aliansi militer bernama Warsaw
Pact/Pakta Warsawa bersama dengan Albania, Bulgaria, Cekoslowakia,
German Timur, Hongaria, Polandia, dan Rumania (Spielvogel: 851-852).
Dampak dari persaingan ini adalah pada tahun 1950-an, baik Uni
Soviet maupun Amerika Serikat telah berhasil mengembangkan bom
hidrogen yang sangat mematikan. Kemudian pada pertengahan 1950-an,
keduanya telah memiliki rudal balistik antarbenua /intercontinental ballistic
missiles (ICBMs) yang mampu mengirim bom ke mana saja (Spielvogel:
852). Hal ini disebabkan karena kepemilikan senjata nuklir mampu
memengaruhi secara simbolis yang sangat besar, terutama dari sudut
pandang prestise politik yang mana negara-negara yang masuk dalam
‘klub nuklir’ biasa dianggap sebagai negara-negara ranking pertama.
Oleh sebab itu, bukan kebetulan jika selama Perang Dingin klub nuklir
berkembang mencakup lima negara anggota tetap Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) (P-5). Tiga anggota tetap DK PBB
ikut melakukan uji coba Nuklir yaitu Inggris pada 1952, Perancis 1960,
dan China pada 1962 (Andrew Heywood, 2017).
Selama Perang Dingin ini juga dikenal dengan sebutan sebagai ‘era
nuklir pertama’. Karena dahsyatnya dampak dari senjata nuklir, berkaca
dari bom di Hiroshima dan Nagasaki, maka perhatian terbesar diberikan
pada usaha untuk mencegah penyebaran senjata nuklir keluar dari Big
Five tersebut. Hal ini dilakukan melalui perjanjian non-proliferasi nuklir/
Non-Proliferation Treaty (NPT). NPT dilakukan pertama kali pada 1 Juli 1968
dan meluas tanpa batas pada 1995. Hampir semua negara anggota PBB
menandatangani NPT, kecuali Pakistan, India, dan Israel. Sebaliknya,
Amerika dan Uni Soviet membangun kemampuan untuk menghancurkan
dunia berkali-kali lipat. Hingga 2002, gabungan kapasitas nuklir Amerika
dan Rusia (dulu Uni Soviet) mencakup 95 persen dari jumlah senjata nuklir
112 Ahmad Sahide
Dengan melihat data dari tabel di atas, yang mana China sangat
tertinggal jauh di belakang Rusia dan Amerika dalam hal kepemilikan
nuklir, maka tentu China, dengan pandangan realisnya, merasa tidak
aman di hadapan kedua negara superpower tersebut. Selain itu, ini juga akan
menjadi batu sandungan bagi China untuk menjadi negara superpower di
dunia dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan. Di atas sudah disinggung
bahwa untuk menjadi negara superpower, negara memerlukan dominasi
ekonomi dan militer (persenjataan). Kekuatan ekonomi akan membuat
negara lain di dunia bergantung dan tunduk, sementara dengan kekuatan
militer akan menjadi alat untuk ‘memukul’ negara yang berani melawan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
113
atau mengambil langkah berbeda. Itulah yang dilakukan oleh Amerika saat
ini dengan statusnya sebagai negara pemegang supremasi politik global.
Dari sektor ekonomi, China sedang membangun kekuatan dan
dominasinya dengan membuat kekuatan ekonomi tandingan bersama
Brazil, Rusia, India, dan juga Afrika Selatan, yang dikenal luas dengan
BRICS. Selain itu, pada 2015, China meluncurkan proyek besarnya untuk
menggeser posisi Amerika dalam ekonomi dengan One Belt One Road Initiative
(OBOR) yang mana berhasil meyakinkan lebih dari 60 negara di dunia
untuk bergabung, termasuk beberapa negara Eropa (Cipto, 2017). Oleh
karena itu, tidak diragukan lagi jika banyak pengamat yang memrediksi
China akan menggeser posisi Amerika beberapa tahun mendatang sebagai
negara dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia. Tapi itu belumlah
cukup untuk menjadi modal sebagai negara superpower, negara pemegang
supremasi politik global, karena China belum mempunyai alat untuk
memukul negara yang tidak patuh dengannya. Dari segi militer, termasuk
nuklir, China masih tertinggal jauh dari Amerika dan Rusia. Sementara
itu, jika China ingin memperkuat persenjataanya dengan mengembangkan
nuklir, ia sudah terhalang dengan perjanjian NPT. Oleh sebab itu, tidak
ada lagi jalan bagi China untuk mengejar ketertinggalannya dari Amerika
dan Rusia dalam hal kepemilikan nuklir karena terikat dengan NPT.
Inilah yang memunculkan konspirasi bahwa China sedang
mengembangkan senjata kimia dengan cara tidak melanggar ‘perjanjian’
yang mengikatnya demi meraih impian politiknya untuk menjadi negara
pemegang supremasi politik global ke depan, menggeser Amerika Serikat.
Oleh karena itu, kecurigaan Donald Trump bahwa Corona Virus bukan dari
pasar hewan, melainkan dari laboratorium biologis di Wuhan (Waton,
2020) disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Trump dan Amerika
menganut pandangan politik realis serta juga melihat China menganut
114 Ahmad Sahide
C. Kesimpulan
Covid-19 memang memunculkan teori konspirasi apakah ini terjadi
alami atau karena rekayasa manusia. Namun sebagaimana dikatakan
oleh Fidelis Regi Waton (2020) bahwa teori konspirasi sudah lazim dalam
panorama sejarah. Oleh karena itu, tidak heran kemudian jika Covid-19
disertai dengan konspirasi. Tentu saja sulit membuktikan bahwa virus
Corona adalah dampak dari upaya China untuk mengembangkan senjata
biologis berteknologi tinggi karena sudah pasti China melakukan proteksi
super ketat dengan proyek tersebut. Tetapi pembelaan China bahwa
ini berasal dari pasar hewan di Wuhan juga lemah dan menghadirkan
pertanyaan, kenapa baru menyebar dari hewan ke manusia setelah WIV
resmi beroperasi?
Oleh karena itu, dengan memahami bahwa politik internasional saat
ini didominasi oleh pandangan realisme, maka tentu China ingin mengejar
mimpinya untuk menjadi negara yang paling damai di dunia dengan
memiliki persenjataan terkuat; menjadi ‘survival of the fittest’. Sementara jika
China ingin mengejar ketertinggalannya dari Amerika dan Rusia dalam
hal kepemilikan nuklir, ini sangat tidak mungkin karena terhalang dengan
NPT. Oleh karena itu, China harus mencari ‘cara lain’ untuk menjadi yang
terkuat. Pengembangan senjata biologis yang mematikan bisa menjadi
solusinya. Maka dari itu, tuduhan Trump bahwa virus Corona berasal
dari laboratorium berteknologi tinggi di Wuhan bukanlah tuduhan yang
tidak berdasar. Dengan beberapa indikator di atas, yang dibaca dengan
pandangan realisme, penulis mempunyai dugaan kuat bahwa virus ini
bagian dari upaya China untuk menjadi negara superpower ke depan.
116 Ahmad Sahide
Daftar Pustaka
Cipto, Bambang. 2018. Strategi China Merebut Status Super Power. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Chen, N., Zhou, M., Xuan, D., & Qu, J. (2020, Februari 15). Emergence
of a Novel Coronavirus Disease (COVID-19) and the Importance of Diagnostic
Testing: Why Partnership between Clinical Laboratories, Public Health Agencies,
and Industry Is Essential to Control the Outbreak. The Lancet, 395(10223),
507-513. doi:https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30211-7
Hadiwinata, Bob Sugeng. 2017. Studi dan Teori Hubungan Internasional.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Harly, Y. (2018, April 10). Nuklir dan Kaitannya dengan Perdamaian Dunia.
Retrieved Maret 24, 2020, from kumparan.com: https://kumparan.
com/yulika-harly/nuklir-dan-kaitannya-dengan-perdamaian-dunia
Heywood, Andrew. 2017. Politik Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jackson, Robert dan George Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Noam Chomsky. (2016). Who Rules the World? Bandung: Bentang.
Paul, J. (2016). The Rise of China: What, When, Where, and Why? The
International Trade Journal, 30(3), 207–222. https://doi.org/10.1080/0
8853908.2016.1155513
Saputra, E. Y. (2019, Januari 26). 9 Negara Pemilik Senjata Nuklir, Siapa
Terbanyak? Retrieved Maret 24, 2020, from tempo.co: www.google.
com/amp/s/dunia.tempo.co/amp1169109/9-negara-pemilik-senjata-
nuklir-siapa-terbanyak?espv=1
Spielvogel, J, J. (2005). World History. United States of America: National
Geographic School Publishing
Waton, Fidelis Rega. 2020. Covid-19 dan Teori Konspirasi. Kompas Cetak.
28 April 2020.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
117
P
emilihan presiden di Amerika Serikat (AS) selalu menyita
perhatian dunia internasional. Hal tersebut tidak terlepas dari
peran utama dan besar Amerika, sebagai negara superpower,
di kancah politik global. Di samping itu, AS adalah negara kampiun
demokrasi di dunia sehingga pemilihan presiden di jantung peradaban
dunia tersebut menjadi ajang bagi negara-negara di dunia, terutama
dari negara-negara berkembang, untuk belajar bagaimana berdemokrasi
dengan baik.
Pada Desember 1940, Presiden Roosevelt mengusulkan untuk
menjelmakan Amerika ke dalam suatu “gudang besar untuk demokrasi.”
Empat puluh dua tahun kemudian, Presiden Amerika Ronald Reagan
berpidato di Parlemen Inggris dan mengusulkan usaha internasional
bersama “untuk menumbuhkan infrastruktur demokrasi dengan sistem
pers bebas, partai-partai politik, dan universitas-universitas yang
memungkinkan masyarakat untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan
mereka dengan cara damai.” Pada tahun berikutnya, pemerintahan AS
menciptakan “Bantuan nasional untuk demokrasi” (National Endowment for
Democracy) (O’Donnel, dkk: 1991).
120 Ahmad Sahide
selama ini aktif mengajari dunia untuk berdemokrasi. Hal itu ditandai
dengan munculnya sosok seperti Donald Trump, dari calon independen,
yang memenangi konvensi Partai Republik. Donald Trump adalah tokoh
yang bukan dari internal partai dan menjadi kandidat yang sejatinya ‘tidak
dikehendaki’ oleh elite-elite Republik. Oleh karena itu, upaya-upaya telah
dilakukan oleh figur-figur berpengaruh dari Republik untuk menghentikan
laju Trump menuju Gedung Putih, termasuk dengan tidak adanya sinyal
dukungan dari mantan Presiden AS George Walker Bush. Namun
demikian, takdir sejarah politik Amerika berkata lain di mana laju Trump
tidak dapat dihentikan. Senator Texas Ted Cruz, yang didukung oleh
elite partai, akhirnya menyerah untuk menghentikan Trump. Gubernur
Ohio, John Kasich, juga mundur dalam pemilihan pendahuluan kala itu.
Kehadiran Trump di kancah politik Amerika dan dunia pun tidak
kalah hebohnya dengan munculnya Barack Obama pada 2008. Yang
membedakan adalah Obama muncul sebagai sosok fenomenal dan
menghadirkan harapan bagi Amerika dan dunia. Obama muncul kala itu
sebagai candidate of hope. Sementara Donald Trump hadir dengan sosoknya
yang kontroversial dan seolah membelah rakyat AS, dan dunia, antara
like-dislike. Trump adalah candidate of fear, kandidat yang menghadirkan
ketakutan dan kecemasan bukan hanya bagi Amerika, tetapi dunia. Bahkan
internal Partai Republik sekalipun ikut terbelah karena sosok Donald
Trump yang konstroversial itu.
Rizal Mallarangeng, salah satu pengamat politik ternama di Indonesia
menanggapi kemunculan Trump dengan artikelnya di harian Kompas,
8 Oktober 2016, dengan judul Hillary, Tokoh Sejarah di Jalan Berliku. Dari
tulisannya, pengamat politik dan pendiri Freedom Institute itu secara
tegas menunjukkan keberpihakannya kepada mantan first lady Amerika
tersebut. Rizal Mallarangeng menuliskan, “…Mungkin agak berlebihan
122 Ahmad Sahide
Daftar Pustaka
Assegaff, Syafiq Basri. 2021. Bahaya Infodemi dan Covid-19. Kompas Cetak,
edisi 21 Juni 2021. Hal. 7.
Cipto, Bambang. 2019. Ambruknya Kredibilitas Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
126 Ahmad Sahide
Daftar Bacaan
Buku
Acharya, A. (2018). The end of American world Leichtova, M. 2014. Misunderstanding Russia:
order. John Wiley & Sons. Russian Foreign Policy and the West.
Bouët, Antoine and, & David Laborde. 2017. Farnham, MD: Ashgate.
US Trade Wars with Emerging Countries Levitsky, Steven and Daniel Ziblatt. 2018. How
in the 21st Century Make America and Its Democracies Die. USA: Crown, an imprint
Partners Lose Again. International Food of the Crown Publishing Group, a division
Policy Research Institute. of Penguin Random House LLC, New York.
Cipto, Bambang. 2018. Politik Global Amerika; McCarthy, Thomas. 2006. Teori Kritis Jurgen
Dari Obama ke Trump. The Phinisi Press. Habermas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Cipto, Bambang. 2018. Strategi China Merebut Mankoff, Jeffrey. 2009. Russian Foreign
Status Super Power. Yogyakarta:Pustaka Policy, The Return of Great Power Politics.
Pelajar. ROWMAN & LITTLEFIELD PUBLISHERS, INC.
Cipto, Bambang. 2019. Ambruknya Kredibilitas Muhammad, Ali. 2017. Supranasionalisme Uni
Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Eropa (Institusi, Kebijakan, dan Hubungan
Chomsky, Noam. 2016. Who Rules the World? Internasional). Lembaga Penelitian,
Bandung:Bentang. Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat
(LP3M) UMY.
Dahl, Robert. 1971. Polyarchy: Participation
and Opposition. New Heaven, Con: Yale Muhammad,Ali, Mutia Hariati H., Ahmad Sahide.
University Press. 2019. Kebangkitan Kembali Great Power
(Politik Luar Negeri Rusia Era Presiden
Fukuyama, Francis. 2001. Kemenangan Vladimir Putin). Magister Ilmu Hubungan
Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Internasional UMY.
Yogyakarta: Qalam.
O’Donnell, Guillermo, Philippe Schmitter, and
Hadiwinata, Bob Sugeng. 2017. Studi dan Teori Laurence Whitehead, eds. 1991. Transition
Hubungan Internasional. Jakarta: Yayasan fro Authoritarian Rule: Comparative
Pustaka Obor Indonesia. Perspective. Baltirome: John Hopkins
Heywood, Andrew. 2017. Politik Global. University Press.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sahide, Ahmad. 2017. Gejolak Politik Timur
Jackson, Robert dan George Sorensen. 2005. Tengah. Yogyakarta: The Phinisi Press.
Pengantar Studi Hubungan Internasional. Sahide, Ahmad. 2018. Donald Trump; Islamic
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. World and Globally Political Order
Kamus Bahasa Indonesia, 2008. Jakarta: Pusat of Indonesian Perspective. Istanbul:
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Academicsiera.
Ketchum, Richard M. 2004. Pengantar Demokrasi. Sahide, Ahmad. 2019. The Arab Spring;
Terj. Mukhtasar. Yogyakarta: Niagara Tantangan dan Harapan Demokratisasi.
Penerbit Buku Kompas.
128 Ahmad Sahide
Jurnal
Chen, N., Zhou, M., Xuan, D., & Qu, J. (2020, Jamaluddin, Ahmad. 2019. EFEK WACANA
Februari 15). Emergence of a Novel TERORISME ATAS PELARANGAN MASUK
Coronavirus Disease (COVID-19) and the WARGA NEGARA ISLAM KE AMERIKA
Importance of Diagnostic Testing: Why SERIKAT. Journal of Islamic World and Politic
Partnership between Clinical Laboratories, (JIWP). Vol.3. No.1 January-June 2019.
Public Health Agencies, and Industry Is Kaplan, D., Robert. (2011). The South China Sea Is
Essential to Control the Outbreak. The the Future of Conflict. Foreign Policy. https://
Lancet, 395(10223), 507-513. doi:https://doi. foreignpolicy.com/2011/08/15/the-south-
org/10.1016/S0140-6736(20)30211-7. china-sea-is-the-future-of-conflict/.
Beaumont, P. (2016). Moving US embassy to Kim, H. (2018). The Resilient Foundation of
Jerusalem could provoke violent “chaos”, Democracy: The Legal Deconstruction of
experts warn. The Guardian. https://www. the Washington Posts’s Condemnation of
theguardian.com/us-news/2016/dec/21/us- Edward Snowden. 93 Indiana Law Journal
israel-embassy-jerusalem-peace-process. 533 (2018), 93(2). https://www.repository.
Bendini, Roberto. 2014. The struggle for control law.indiana.edu/ilj/vol93/iss2/8
of the East China Sea. European Union, Klassen, T. (2021, January 21). Biden presidency
DIRECTORATE-GENERAL FOR EXTERNAL marks a return to normalcy after chaotic
POLICIES, POLICY DEPARTMENT. Trump years. The Conversation. http://
Eroukhmanoff, C. (2018). ‘It’s not a Muslim ban!’ theconversation.com/biden-presidency-
Indirect speech acts and the securitisation marks-a-return-to-normalcy-after-chaotic-
of Islam in the United States post-9/11. Global trump-years-153441.
Discourse, 8(1), 5–25. https://doi.org/10.108 Leifer, Michael. 1996. Stalemate in the South
0/23269995.2018.1439873. China Sea. Asia Research Centre, London
Fravel, M. Taylor. 2011. China’s Strategy in the School of Economics and Political Science.
South China Sea.Contemporary Southeast McNamara, Eoin Michael. 2017. Between Trump’s
Asia. Vol. 33. No. 3, pp. 292-319. America and Putin’s Russia: Nordic-Baltic
Ibrahim, I., & Iskandar, I. (2017). Kepentingan Rusia Security Relations amid Transatlantic
Dalam Memberikan Suaka Politik Kepada Drift. Source: Irish Studies in International
Edward Joseph Snowden. Jurnal Online Affairs,(2017), pp. 1-26. Published by: Royal
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Irish Academy.
Politik Universitas Riau, 4(2), 1–13. Morrison, Wayne M.. 2018. China-U.S. Trade
Issues. Congressional Research Service,
Trade War.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
129
Nanda, Bima Jon dan Indah Mustika Permata. W., Soudien, C., Lingard, B., Tarc, P., Tarc, A.,
2017. BREXIT: Pelajaran bagi ASEAN. Jurnal Hughes, C., Bamberger, A., Zipin, L., & Rud,
Hubungan Internasional UMY. Vol.6.No.1 A. G. (2020). The long read: On the global
(April-September 2017). relevance of the US elections. Educational
Paul, J. (2016). The Rise of China: What, When, Philosophy and Theory, 1–20. https://doi.or
Where, and Why? The International Trade g/10.1080/00131857.2020.1824784
Journal, 30(3), 207–222. https://doi.org/10. Simon, Sheldon W. 2012. Conflict and Diplomacy
1080/08853908.2016.1155513 in the South China Sea. Asian Survey, Vol
P.A.Rifai-Hasan. 2009. Development, Power, 52. No. 6 (November/December 2012). PP.
and the Mining Industry in Papua: A Study 995-1018.nflict
of Freeport Indonesia. Journal of Business Yustiningrum, Emilia. 2007. Masalah Senjata
Ethics, Vol. 89, Supplement 2: International Nuklir dan Masa Depan Perdamaian Dunia.
Business Firms, Economic Development, Jurnal Penelitian Politik. Vol. 4. No. 1 (2007).
and Ethics (2009), pp. 129-143. Published Zhen, Han dan Lihe Dong. Democracy as a Way
by: Springer to Social Compromise. Sumber: Frontiers
Rizvi, F., Peters, M. A., Zembylas, M., Tukdeo, S., of Philosophy in China, Vol. 1, No. 1 (Jan.,
Mason, M., de Souza, L. M. T. M., Chengbing, 2006), pp. 1-5.
Indeks
B
D
Barack Obama 42, 46, 67, 89, 120,
Demokrasi ix, x, 1, 4, 5, 7, 8, 9, 10,
121, 123, 125
11, 12, 13, 34, 42, 48, 55, 93,
Brexit 10, 68, 70 119, 120, 125, 127, 129
BRICS xi, 61, 62, 63, 71, 75, 79, Donald Trump vii, ix, 9, 10, 30,
107, 109, 113, 114 33, 34, 38, 40, 44, 47, 48, 49,
54, 56, 66, 69, 71, 76, 77, 83,
C 84, 90, 93, 95, 101, 107, 113,
121, 122, 123, 126, 127, 130
Central Inteligence of America xi,
40, 48, 59
E
China vii, viii, ix, x, xi, 9, 13, 15,
30, 38, 41, 42, 43, 49, 52, 53, Eropa xi, 10, 18, 19, 29, 33, 37, 38,
132 Ahmad Sahide
R W
Rusia viii, 3, 9, 15, 28, 30, 38, 40, Warsaw Pact 111
41, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49,
World Health Organization
50, 53, 54, 55, 57, 59, 61, 62,
(WHO) xii, 83, 99
63, 64, 65, 66, 67, 68, 71, 72,
73, 75, 77, 93, 105, 107, 111, Wuhan x, xii, 82, 83, 99, 100, 101,
112, 113, 114, 115, 127, 128 102, 105, 106, 108, 113, 114,
115
S
Soeharto 3, 11, 12, 15, 16, 17, 59
Soekarno 11, 15, 16, 17, 59
Supremasi ix, 42, 44, 49, 53, 57, 59
Suriah 3, 35, 43, 47, 50, 65, 67,
68, 93
T
Timur Tengah 13, 37, 43, 67, 72,
97, 127
U
Uni Eropa xi, 10, 37, 38, 52, 53,
62, 63, 68, 69, 70, 72, 95,
108, 127
Uni Soviet 15, 41, 42, 49, 58, 59,
63, 64, 110, 111, 120
134 Ahmad Sahide
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
135
Ihwal Penulis