Anda di halaman 1dari 148

DONALD TRUMP DAN TATANAN POLITIK GLOBAL

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta


Pasal 4
Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan hak eksklusif yang terdiri
atas hak moral dan hak ekonomi.

KETENTUAN PIDANA
Pasal 112
Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 7 ayat (3) dan/atau Pasal 52 untuk Penggunaan Secara Komersial, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00
(tiga ratus juta rupiah).
Ahmad Sahide

DONALD TRUMP DAN


TATANAN POLITIK GLOBAL
DONALD TRUMP DAN TATANAN POLITIK GLOBAL

Penulis Ahmad Sahide


Editor Bahasa Nudia Imarotul Husna
Penyelaras Akhir Budi NH
Tata Letak Candra GS
Perupa Sampul Joko Supriyanto
Foto sampul depan ROUTERS

Cetakan Pertama, Februari 2022

UMY Press
LRI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Gedung AR Fakhrudin B Lantai 4
Jl. Brawijaya, Tamantirto, Kasihan, Bantul DI Yogyakarta 55183
Telp. 0274-387656
Fax. 0274-387646
WA. 085157715504
Email : umypress@gmail.com
instagram : UMY Press
shopee : umy press book
Anggota IKAPI, APPTI, APPTIMA

Katalog dalam terbitan


DONALD TRUMP DAN TATANAN POLITIK GLOBAL
Ahmad Sahide
Yogyakarta, UMY Press
(xii + 132 hlm; 16.5 x 24 cm)

ISBN 978-623-6299-47-0
vii

Prakata Penulis

Kehadiran Donald Trump sebagai salah satu aktor penting dalam


kancah politik global pada 2017 awal hingga 2021 awal telah memengaruhi
dinamika dan konstelasi politik global. Hal itu tidak terlepas dari gaya
kepemimpinan Trump yang berbeda dari kepemimpinan Amerika selama
ini. Trump hadir dengan membawa pandangan politik unilateralisme,
berbeda dengan Presiden-presiden Amerika sebelumnya yang mapan
dengan pandangan politik multilateralisme.
Dampaknya adalah Amerika di bawah Trump banyak menarik diri dari
fora internasional karena Trump lebih banyak memikirkan kepentingan
domestik Amerika atau yang kita kenal dengan slogan populernya America
First. Amerika menarik diri dari perjanjian nuklir Iran, Amerika absen
selama empat tahun di Asia Tenggara, dan dalam satu tahun terakhir
dari kepemimpinannya Trump menarik diri dari WHO. Untuk Indonesia
sendiri Trump akan dicatat sebagai Presiden Amerika yang tidak pernah
melakukan kunjungan kenegaraan. Padahal pemimpin-pemimpin Amerika
sebelumnya melakukan itu. Pandangan dan langkah politik Trump inilah
yang memberi ruang muncul dan meluasnya pengaruh China di kancah
politik global. Oleh karena itu, wacana yang banyak berkembang saat ini
di kancah politik global adalah rivalitas Amerika versus China di banyak
tempat dan di berbagai isu.
Buku ini mencoba melihat bagaimana tatanan politik global dengan
kehadiran Trump sebagai salah satu aktor kunci di kancah politik
viii Ahmad Sahide

global. Kehadiran Trump berpengaruh pada banyak aspek mulai dari


kemunduran demokrasi Amerika, krisisi legitimasi Amerika di kancah
dunia, terkhusus dari dunia Islam, dan kemunduran supremasi politik
global Amerika dengan kebangkitan China dan Rusia sebagai pengganggu.
Poin-poin inilah yang dijelaskan di dalam buku ini yang sekiranya bisa
memberikan gambaran bagaimana potret politik global dari 2017 hingga
2021 awal dengan kehadiran Trump sebagai Presiden Amerika Serikat,
negara superpower. Semoga buku ini bisa menjadi bahan bacaan untuk
memerkaya khasanah keilmuan dalam kajian hubungan internasional.

Ahmad Sahide
Agustus, 2021
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
ix

Daftar isi

Prakata Penulis — vii


Daftar isi — ix
Daftar Singkatan — xi

Perkembangan Demokrasi Global — 1


A. Pengertian Demokrasi — 1
B. Pentingnya Demokrasi — 4
C. Perkembangan Demokrasi Global — 8
D. Dinamika Berdemokrasi di Indonesia — 11

Pendekatan Ekonomi Politik Internasional — 15


A. Perspektif Konvensional dalam EPI — 17
B. Kesimpulan — 21

Struktur Ekonomi Global — 25


A. Sistem Bretton Woods — 26
B. Kebangkitan Rezim Ekonomi Baru (Penantang) — 28

Donald Trump, Dunia Islam, dan Legitimasi Politiknya — 33


A. Trump dan Dunia Islam — 34
B. Kontroversi dan Legitimasi Politik Trump — 40
C. Peraturan Proteksionisme — 50
D. Supremasi Politik AS — 53
E. Kesimpulan — 54

Indikator Kemerosotan Supremasi Politik Global Amerika — 57


A. Abad ke-21 dan Kemerosotan Supremasi Amerika — 59
B. Indikator Kemerosotan Amerika — 61
C. Kesimpulan — 71

Rivalitas Amerika Versus China — 75


A. Perang Dagang — 76
B. Konflik Laut China Selatan — 79
x Ahmad Sahide

C. Covid-19 — 82
D. Kasus Taiwan — 84
E. Penutup — 85

Framing Pemberitaan Media terhadap Trump di Indonesia — 89


A. Respons Media Indonesia terhadap Trump — 90
B. Framing media terhadap kebijakan Trump — 93

COVID-19 dan Mimpi China Menjadi Negara Superpower: — 99


A. Kerangka Teori — 102
B. Kota Wuhan — 105
C. Kesimpulan — 115

Pilpres 2020 dan Runtuhnya Kredibilitas Demokrasi Amerika — 119


A. Titik balik 2016 — 120
B. Piplres 2020 dan Kredibilitas Amerika — 123

Daftar Bacaan — 127


Indeks — 131
Ihwal Penulis — 135
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
xi

Daftar Singkatan

AS : Amerika Serikat
ASEAN : Association of Southeast Asian Nations
BRICS : Brazil, Russia, India, China, and South Africa
CIA : Central Inteligence of America
Covid-19 : Coronavirus Deseas 2019
DK PBB : Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
IBRD : International Bank for Reconstruction and Developmen
ILO : International Labour Organization
IMF : International Monetary Fund
KPK : Komisi Pemberantasan Korupsi
LCS : Laut China Selatan
MERS : Middle East Respiratory Syndrome
MNC : Multinational Corporations
NPT : Non-Proliferation Treaty
NATO : The North Atlantic Treaty Organization
OBOR : One Belt One Road
OKI : Organisasi Kerja Sama Islam
PD : Perang Dunia
PSBB : Pembatasan Sosial Berskala Besar
SARS : Severe Acute Respiratory Syndrome
UE : Uni Eropa
WB : World Bank
xii Ahmad Sahide

WHO : World Health Organization


WTC : World Trade Center
WTO : World Trade Organization
WIV : Wuhan Institute of Virologi
TPP : Trans-Pacific Patnership
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
1

Perkembangan
Demokrasi Global

D
emokrasi telah menjadi suatu sistem politik yang dianut oleh
sebagian besar penduduk dunia saat ini. Amerika Serikat
adalah negara yang paling aktif mengampanyekan demokrasi
ke seluruh dunia. Demokrasi diyakini sebagai sistem terbaik serta dapat
membuka ruang untuk membangun tata kelola pemerintahan yang baik pula
(good governance). Oleh karena itu, beberapa ilmuwan politik berpandangan
bahwa demokrasi adalah sistem politik terbaik dari yang ada.
Tulisan ini mencoba menguraikan perkembangan demokrasi global
kontemporer yang akan dimulai dari defenisi demokrasi itu sendiri,
pentingnya demokrasi, dan perkembangan demokrasi global.

A. Pengertian Demokrasi
Demokrasi merupakan sistem politik yang merupakan hasil dari
rekayasa manusia itu sendiri. Orang Yunanilah sebenarnya yang
menciptakan kata demokrasi, dari kata demos, yang berarti masyarakat, dan
kratein, yang berarti mengatur (Ketchum, 2004: 28). Dari sinilah kemudian
pemahaman tentang demokrasi dikembangkan menjadi pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Menurut sebagian teoritikus politik, ide filosofis demokrasi sebenarnya
sudah ada sejak zaman Yunani kuno dengan adanya negara kota (polis) di
2 Ahmad Sahide

Athena pada abad ke-4 dan ke-5 SM. Sebuah Negara kecil dengan jumlah
penduduk yang juga tidak banyak sehingga memungkinkan warga Athena
bertemu setidaknya empat puluh kali dalam setahun untuk membahas
persoalan-persoalan publik. Hal ini dapat dikatakan sebagai bagian dari
prinsip demokrasi secara langsung yang dijalankan secara partisipatoris
(Ketchum, 2004: Vii-Viii).
Pada saat itu, demokrasi bagi warga Athena belum mengenal yang
namanya partai politik yang berfungsi, sejatinya, sebagai penyalur aspirasi
rakyat banyak. Partai politik lahir dan menjadi bagian penting (pilar)
dari demokrasi seiring dengan perkembangan manusia yang sangat
pesat sehingga tidak lagi memungkinkan warga negara yang banyak itu
berkumpul dalam satu tempat untuk membahas persoalan-persoalan
publik sebagaimana yang berlangsung di Athena pada abad ke-4 dan
ke-5 SM. Di Indonesia, misalnya, yang memiliki jumlah penduduk
kurang lebih 260 juta jiwa tidak memungkinkan untuk mempraktikkan
demokrasi sebagaimana di Athena dulu. Kondisi ini mengharuskan adanya
partai politik yang mewakili warga negara untuk membicarakan dan
menyampaikan aspirasinya.
Robert Dahl kemudian mengembangkan teori demokrasi dengan
mengatakan bahwa ada delapan unsur yang semestinya dimiliki oleh suatu
negara yang menganut sistem demokrasi. Kedelapan unsur itu adalah
sebagai berikut:
1. kebebasan membentuk dan bergabung dalam organisasi (berserikat
dan berkumpul);
2. kebebasan berekspresi (mengeluarkan pendapat);
3. hak memilih dan dipilih;
4. kesempatan yang relatif terbuka untuk menduduki jabatan-jabatan
publik;
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
3

5. hak bagi pemimpin politik untuk berkompetisi dalam mendapatkan


dukungan atau memberi dukungan;
6. alternatif sumber-sumber informasi;
7. pemilu yang bebas dan adil;
8. pelembagaan pembuatan kebijakan pemerintah yang merujuk atau
tergantung pada suara rakyat lewat pemungutan suara maupun cara-
cara lain yang sejenis (Dahl, 1971: 7).
Oleh karena itu, untuk melihat suatu negara menganut sistem yang
demokratis atau tidak, cukup dengan melihat apakah kedelapan unsur
yang disebutkan oleh Dahl tersebut terpenuhi atau tidak. Hal ini sangat
penting karena beberapa negara di dunia mengklaim diri sebagai negara
yang demokratis tetapi tidak ditemukan kesemua atau sebagian unsur
yang disebutkan oleh Dahl tersebut. Negara-negara yang mengklaim diri
menerapkan demokrasi adalah Rusia dan Suriah yang menyelenggarakan
pemilihan presiden pasca peristiwa the Arab Spring 2011 lalu.1
Soeharto pada era Orde Baru juga menyebut rezimnya menerapkan
demokrasi dengan label ‘demokrasi Pancasila’ tetapi Soeharto tidak
memberikan kebebasan kepada warganya atau kelompok masyarakat
tertentu. Beberapa penulis buku yang kritis ditangkap dan diasingkan oleh
Soeharto tanpa ada proses hukum yang jelas, seperti Pramoedya Ananta Toer
(Pram). Harian Tempo (media cetak nasional) juga sempat ‘dibredel’ oleh
Orde Baru Soeharto karena pemberitaannya yang menukik tajam terhadap
rezim. Selain itu, suara-suara kritis dibungkam oleh Soeharto sehingga semua
elemen masyarakat seakan dihantui oleh Soeharto. Seperti itulah Soeharto
memimpin Indonesia dengan klaim ‘demokrasi Pancasila’, tetapi sebenarnya
tidak ada unsur-unsur demokrasi dari Dahl yang diterapkannya.

1 Pemilihan yang terkesan direkayasa oleh rezim Bashar al-Assad.


4 Ahmad Sahide

B. Pentingnya Demokrasi
Mengapa suatu negara harus menerapkan sistem yang demokratis?
Seberapa penting demokrasi itu diterapkan?
Sekalipun demokrasi telah dianut oleh sebagian besar negara di seluruh
dunia, bukan berarti demokrasi tanpa kritikan. Bahkan beberapa filsuf
berpengaruh mempunyai pandangan berbeda mengenai demokrasi.
Plato (428-328 SM) adalah salah satu pemikir tersohor yang kurang
suka dengan demokrasi, salah satu alasannya karena gurunya, Sokrates,
dihukum oleh sistem yang demokratis. Selain itu, salah satu kesimpulan
dari pemikiran politik Plato adalah bahwa pemimpin itu haruslah seorang
filsuf karena seorang filsuf mengetahui yang baik, sementara menurut Plato,
jika seseorang ingin menjadi negarawan yang baik, ia harus mengetahui
Yang Baik; ini hanya bisa dicapai dengan mengombinasikan kemampuan
intelek dan disiplin moral. Demokrasi seturut Plato tidak bisa menjamin
akan hal tersebut.
Aristoteles (384-322) punya pandangan yang sama dengan Plato,
kurang suka dengan demokrasi. Dalam pandangan Aritoteles, demokrasi
cenderung akan menghadirkan pemerintahan yang dipimpin oleh orang
bodoh/barbar (mobokrasi). Selain itu, demokrasi pada awalnya, menurut
Aristoteles, kurang diminati dan dianggap kurang bernilai tinggi mengingat
demokrasi memainkan peran yang relatif kecil pada saat itu. Demokrasi
juga, saat itu, dianggap agresif dan tidak stabil serta cenderung mengarah
pada tirani, seperti tercantum dalam buku Plato yang berjudul Republic
(Supardan, 2015: 126).
Sekalipun Plato dan Aristoteles tidak melihat demokrasi sebagai sistem
terbaik, penulis masih tetap melihat demokrasi sebagai sistem terbaik dari
sistem politik yang ada, tanpa bermaksud menafikan bahwa demokrasi
bukanlah sebuah mahakarya yang tanpa cacat. Setidaknya, lebih baik
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
5

dari monarki atau otorit arianisme. Demokrasi memang tidak menjamin


lahirnya pemimpin dari seorang filsuf yang mengerti kebajikan (pandangan
Plato), tetapi demokrasi memberi ruang kepada masyarakat untuk mencari
dan memilih pemimpin yang ideal. Selain itu, demokrasi menjadi sistem
politik yang selalu terbuka untuk dibenahi dan dikembangkan. Demokrasi
memberi ruang yang cukup besar kepada rakyat untuk berpartisipasi
dalam mengangkat dan mengawasi jalannya roda pemerintahan agar
supaya kebijakan yang diambil oleh seorang pemimpin tetap ditujukan
untuk kepentingan dan kebutuhan rakyat yang memilihnya. Dari sinilah
rakyat akan mempunyai kedaulatan penuh. Singkatnya dapat dilihat pada
bagan sederhana berikut ini:

Partisipasi

Rakyat Demokrasi Pemimpin

Kebijakan

Dari bagan sederhana ini kita melihat bahwa pemerintahan dari


rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, “government of the people, by the
people, for the people…”adalah pemerintahan yang mana rakyat berpartisipasi,
dan dari partisipasi tersebut akan melahirkan (memilih) pemimpin, dan
pemimpin yang dipilihnya tentu akan mengambil kebijakan. Kebijakan
tersebut muaranya adalah rakyat.
Partisipasi rakyat di sini mencakup banyak hal, bisa dalam bentuk
memilih atau dipilih, atau juga bisa dengan berpartisipasi mengawasi
jalannya roda pemerintahan. Di sinilah kehadiran media sosial (alternatif
6 Ahmad Sahide

sumber-sumber informasi) sangat penting dalam iklim politik yang


demokratis. Media sosial akan membantu rakyat untuk mengawasi
pemimpin yang dipilihnya agar mengambil kebijakan untuk kepentingan
rakyat banyak. Apabila pemimpin yang dipilih oleh rakyat mengambil
kebijakan yang tidak ditujukan untuk rakyat, maka rakyat dapat
mencabut kembali mandat yang telah diberikannya dalam daur ulang
demokrasi berikutnya. Oleh karena itu, pemimpin yang ingin melanjutkan
kepemimpinannya, harus mampu membuktikan kepada rakyat bahwa
dia mengambil kebijakan untuk kepentingan rakyat banyak, bukan
kepentingan golongan dan kelompok tertentu.
Maka dari itu, penekanannya di sini adalah pada partisipasi rakyat,
seberapa cerdas rakyat dalam berpartisipasi untuk mendapatkan pemimpin
yang ideal? Apakah demokrasi itu akan melahirkan pemimpin yang
cerdas dan juga filsuf (Plato) ataukah sebaliknya, melahirkan pemimpin
yang bodoh (mobokrasi) sangat tergantung pada bagaimana rakyat itu
berpartisipasi? Maka dari itu, demokrasi adalah sistem politik yang bersifat
relatif, terbuka, dan sangat kontekstual (Supardan, 2015: 126).
Intinya adalah bahwa demokrasi, dalam arti yang sesungguhnya, harus
dimaknai sebagai proses untuk mencapai kompromi sosial (as a way to social
compromy), yang bertujuan untuk menjamin tatanan kehidupan politik yang
adil (Zhen, 2006: 1). Kehidupan politik yang adil tersebut akan terbangun
dengan adanya pembagian kekuasaan (distribution of power). Montesqiu,
pakar hukum asal Perancis, menyebutnya dengan istilah Trias Politika;
yaitu pemisahan antara kekuasaan yudikatif, legislatif, dan eksekutif. Salah
satu tujuan dari pemisahan kekuasaan ini adalah agar tidak ada figur atau
lembaga tertentu yang memegang kekuasaan secara mutlak sehingga dapat
terhindar dari kesewenang-wenangan. Dengan demikian, rakyat bisa
berpartisipasi untuk mengawasi jalannya pemerintahan supaya kebijakan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
7

yang diambil ditujukan untuk kepentingan rakyat.


Pengalaman berdemokrasi Indonesia setelah era reformasi
menunjukkan bahwa sistem demokrasi kita belum berjalan dengan
baik sebagaimana yang kita harapkan bersama. Meskipun demokrasi
di Indonesia sudah masuk dalam tahap mature democracy (demokrasi yang
sudah mapan), jika menggunakan teori Snyder, mengingat Indonesia
sudah menjalankan pemilihan umum secara rutin dan berjalan lancar
lebih dari dua kali.2 Demokrasi yang telah kita jalankan bersama selama
dua puluh tahun belum banyak menghasilkan pemimpin-pemimpin
terbaik untuk rakyat. Bahkan sebagian besar kepala daerah yang terpilih
secara demokratis terkena kasus korupsi. Menurut data dari Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga 2018 terdapat 106 kepala daerah
terjerat korupsi, 77 bupati dan wali kota, dan 14 gubernur (Kompas,
14/09/2018).
Hal ini karena partisipasi rakyat sangat dipengaruhi oleh permainan
uang (money politic) sehingga proses berdemokrasi kita menjadi sangat mahal
yang membuat para kandidat atau pemimpin terpilih harus mendapatkan
dukungan finansial dari para korporasi. Di samping itu, politik uang
juga menutup ruang lahirnya pemimpin-pemimpin cerdas (filosof dalam
imajinasi Plato) di republik ini. Tidak sedikit pemimpin di republik ini,
termasuk kepala daerah, yang tidak mengerti ‘kebajikan’.
Proses berdemokrasi yang sangat mahal harganya hanya memberi
ruang bagi kaum-kaum pemilik modal untuk berkuasa di republik ini.
Dampaknya adalah kebijakan yang diambil seringkali ditujukan bukan
untuk kepentingan rakyat, akan tetapi para pemodal yang memberi

2 Jack Snyder memberikan kategori negara yang menjalankan demokrasi dengan dua istilah,
yaitu democratizing state dan mature democracy. Di mana Menurut Snyder, perlu adanya pergan-
tian kepemimpinan secara demokratis (pemilihan umum) selama dua kali dari suatu negara
yang masih dalam kategori democratizing state untuk menjadi mature democracy (Snyder, 2003).
8 Ahmad Sahide

dukungan ketika masa kampanye. Maka, yang dirugikan adalah rakyat


itu sendiri. Seandainya Plato dan Aristoteles masih hidup, maka kedua
filsuf itu mendapatkan legitimasi untuk mengritik demokrasi.
Namun demikian, mengingat demokrasi adalah sistem yang bersifat
relatif dan terbuka, maka demokrasi di Indonesia harus dikoreksi bersama
agar kelak sistem ini menjadi ruang dalam mencari manusia-manusia
terbaik untuk menjadi pemimpin di republik ini serta menutup ruang bagi
orang-orang yang tidak mengerti ‘kebajikan’ untuk menjadi pemimpin
(penguasa). Demokrasi masih dipercaya oleh mayoritas rakyat Indonesia
sebagai bentuk pemerintahan yang layak bagi bangsa dan negara ini. Dari
hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI)
menunjukkan bahwa sebanyak 78 persen responden melihat demokrasi
sebagai sistem yang paling cocok diterapkan. Hanya ada 13 persen yang
berpendapat sebaliknya (tidak cocok diterapkan). Selain itu, sebanyak
82 persen responden menilai bahwa perjalanan bangsa Indonesia telah
demokratis (Kompas, 20/07/2018).

C. Perkembangan Demokrasi Global


Amerika adalah negara yang selama ini dikenal dan diakui sebagai
negara kampiun demokrasi di kancah dunia. Dan sudah menjadi
kebenaran umum bahwa keberhasilan Amerika menjadi negara superpower
serta muncul sebagai negara yang memimpin peradaban dunia saat ini
karena negara ini menganut sistem demokrasi. Demokrasi dipandang
sebagai sistem terbaik dalam membangun bangsa dan negara.
Amerika kemudian mengajari negara-negara di dunia dengan
pahamnya bahwa untuk maju, suatu negara haruslah menganut sistem
yang demokratis. Hal itu karena demokrasi adalah sistem yang terbuka
dan memberi ruang munculnya pemimpin-pemimpin terbaik. Indonesia
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
9

termasuk salah satu negara yang banyak belajar dari negeri Paman Sam
tersebut dalam berdemokrasi.
Perlu kita ketahui bersama bahwa dalam diskursus resmi di Washington,
London, Paris, dan Brussels, peningkatan demokrasi merupakan tema yang
sering diangkat. Presiden Wilson, yang membawa Amerika pada Perang
Dunia I, pernah mengemukakan alasannya bahwa “dunia harus dijadikan
aman bagi demokrasi.” Pada bulan Desember 1940, Presiden Rooselvet
mengusulkan untuk menjelmakan Amerika ke dalam suatu “gudang besar
demokrasi.” Empat puluh dua tahun kemudian, Presiden Ronald Reagan
berpidato di Parlemen Inggris dengan mengusulkan usaha internasional
bersama “untuk menumbuhkan infrastruktur demokrasi sistem pers
bebas, partai-partai politik, universitas-universitas yang memungkinkan
masyarakat untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan mereka melalui
cara-cara damai”; dan pada tahun berikutnya pemerintahan Amerika
Serikat menciptakan “Bantuan Nasional bagi Demokrasi” (National
Endowment for Democracy/NED) (O'Donnell dkk, 1993:4-6).
Sampai saat ini, Amerika banyak mengintervensi atau bahkan
menginvasi negara-negara lain di dunia dengan dalih untuk menegakkan
demokrasi dan juga penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Hal itu karena
Amerika merasa sebagai negara kampiun demokrasi di dunia. Namun
demikian, terpilihnya Donald Trump dalam daur ulang demokrasi di
negeri Paman Sam tersebut pada tanggal 8 November 2016 menghadirkan
satu narasi berbeda. Setelah mendiami White House selama hampir dua
tahun, Trump banyak mengambil langkah dan pernyataan politik yang
cukup kontroversial. Mulai dari kedekatannya dengan Presiden Rusia,
Vladimir Putin, pernyataan politiknya yang mengakui Jerusalem sebagai
Ibu Kota Israel, hingga arah kebijakan politiknya yang inward-looking
sehingga memicu perang dagang antara Amerika versus China. Hubungan
10 Ahmad Sahide

Amerika dengan sekutunya di Eropa juga mulai retak karena sikap Trump
yang sulit diprediksi dan ditebak. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak
warga negara Amerika yang merasa malu memiliki presiden seperti Donald
Trump.
Fenomena Trump dapat dibaca bahwa sekalipun Amerika menyebut
dirinya sebagai negara kampiun demokrasi, tetapi proses demokrasinya
ternoda dengan terpilihnya sosok seperti Donald Trump sebagai seorang
presiden di negara yang paling berpengaruh di dunia. Sekali lagi, ini akan
kembali menjadi bukti di mana demokrasi akan melahirkan mobokrasi
(orang bodoh menjadi pemimpin), sebagaimana yang sudah dikritik oleh
Aristoteles. Demokrasi yang diyakini membawa kebajikan universal,
justru membawa malapetaka universal. Oleh karena itu, fenomena
berdemokrasi di Amerika tidaklah berjalan tanpa cacat. Kemenangan
Trump menghadirkan setitik noda dalam demokrasi Amerika (Sahide,
2017).
Hal yang sama terjadi di Inggris pada tahun 2016 ketika hasil
referendum yang membuat Inggris keluar dari Uni Eropa, atau juga
dikenal dengan istilah Brexit. Keluarnya Inggris dari UE karena sebagian
besar rakyat menghendaki demikian melalui referendum (voting). Dari hasil
voting tersebut menunjukkan bahwa 51,9% warga Inggris menginginkan
Inggris untuk melepaskan keanggotaannya dari Uni Eropa. Voting ini
diikuti oleh lebih dari 30 juta warga Inggris (Nanda dan Permata, 2017).
Inggris pun harus mengambil langkah itu sekalipun banyak elite yang
menyadari bahwa langkah itu lebih banyak merugikan Inggris daripada
memberikan nilai manfaat. Alam Saleh, dosen dari University of Exeter
ketika berkunjung ke Indonesia pada bulan Desember 2016 mengatakan,
“People are paying their choice. But that is democracy.” Artinya bahwa tidak
selamanya pilihan rakyat yang mayoritas itu adalah jalan yang terbaik.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
11

Hal itu terjadi di Amerika dan juga di Inggris. Di Indonesia, demokrasi


kita juga banyak melahirkan orang-orang yang tidak punya kapasitas
menjadi seorang pemimpin. Inilah kekhawatiran Aristotels sejak dulu dan
juga alasan Plato menolak demokrasi. Demokrasi kita banyak melahirkan
pemimpin-pemimpin yang terjerat kasus korupsi. Di sini penulis tidak
bermaksud mengajak pembaca untuk membenci demokrasi atau melihat
demokrasi sebagai sistem yang tidak tepat. Penulis hanya ingin mengatakan
bahwa masih ada yang salah dengan cara kita berdemokrasi di Indonesia.
Demokrasi sebagai ruang bagi rakyat untuk memilih manusia-manusia
terbaik untuk menjadi pemimpin, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Banyak melahirkan pemimpin korup.

D. Dinamika Berdemokrasi di Indonesia


Demokrasi bukanlah istilah dan konsep baru dalam kamus politik
Indonesia. Masyarakat Indonesia sudah akrab dengan kata tersebut
sejak awal kemerdekaan. Pasalnya, Soekarno memerkenalkan istilah
‘Demokrasi Terpimpin’, sementara Soeharto memerkenalkan istilah
dengan pensifatan yang berbeda, yaitu ‘Demokrasi Pancasila’, dan setelah
itu (sejak 1998) kita sering mendengar demokrasi di era reformasi. Namun
demikian, jika kita memahami demokrasi yang diteorikan oleh Robert E.
Dahl dengan delapan unsur yang tercantum di dalamnya, era yang dapat
dikatakan mengimplementasikan nilai-nilai yang demokratis adalah pada
era reformasi.
Era reformasi berawal dengan lengsernya Soeharto dari kursi
kepresidenan setelah berkuasa selama 32 tahun. Selama era itulah, Soeharto
memimpin Indonesia dengan ‘tangan besi’. Soeharto tidak memberikan
kebebasan kepada rakyatnya untuk berekspresi atau menyampaikan
pendapat dan kritiknya. Media sosial di bawah kendalinya. Beberapa media
12 Ahmad Sahide

sosial yang kritis ‘dibredel’ oleh rezim Soeharto seperti Tempo. Penyair
Wiji Thukul sampai sekarang belum ditemukan di mana jenazahnya karena
puisi-puisinya sangat kritis terhadap pemerintahan Orde Baru. Novelis
ternama, Pramoedya Ananta Toer (Pram) dipenjarakan karena novel-
novel yang dianggap dapat mengancam ‘keberlangsungan’ kekuasaan
Soeharto. Itulah secara sigkat gambaran pemerintahan Soeharto. Soeharto
menyebut pemerintahannya dengan istilah “Demokrasi Pancasila” tetapi
unsur-unsur negara yang demokratis tidak kita temukan pada eranya.
Reformasi 1998 membuka pintu bagi Indonesia untuk membangun
sistem politik yang demokratis. Elemen-elemen prasyarat demokrasi sudah
mulai diterapkan. Kebebasan pers mulai dibuka, mulai terbuka bagi siapa
saja untuk menduduki jabatan publik asalkan memenuhi kriteria dan
juga bisa mendapatkan dukungan rakyat mayoritas. Sejak lengsernya
Soeharto, Indonesia sudah melaksanakan pemilihan umum sebanyak lima
kali (1999, 2004,2009, 2014, dan 2019). Jika kita membaca perjalanan
demokrasi Indonesia setelah era reformasi dengan menggunakan teori
demokrasi Jack Snyder, maka demokrasi Indonesia dapat dikategorikan
demokrasi yang sudah matang (matured democracy). Negara yang sudah
matang demokrasinya, seturut Snyder, adalah apabila negara tersebut
sudah dua kali melaksanakan pemilihan umum dan ini menjadi satu-
satunya cara dalam proses pergantian kepemimpinan.
Oleh karenanya, demokrasi pada era reformasilah yang menghadirkan
kedelapan unsur tersebut yang mana setiap orang boleh mempunyai mimpi
untuk menjadi pejabat publik, bupati, gubernur, hingga presiden. Maka
muncullah sosok Joko Widodo sebagai orang nomor satu di Republik ini
(2014-2019. Pemimpin dari kaum pinggiran atau dari rakyat (bawah).
Fachri Ali menyebutnya dengan istilah ‘kepemimpinan pasca elite’.
Masyarakat juga saat ini telah mempunyai kebebasan menyampaikan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
13

pendapatnya sebagai bagian dari cara mengontrol roda pemerintahan. Di


samping itu, telah bermunculan media-media sosial, baik cetak maupun
digital, sebagai sumber-sumber informasi alternatif. Walakin, kemunculan
media-media sosial sebagai bagian penting dari demokrasi bagai pisau
bermata dua. Di satu sisi ia bisa menjadi pilar penting demokrasi, tetapi
pada sisi yang lain dapat memperkeruh iklim demokrasi kita. Hal ini sudah
terbukti di Indonesia dengan banyaknya berita-berita bohong atau hoaks
yang beredar di masyarakat yang kadangkala menimbulkan gejolak sosial.

Daftar Pustaka

Dahl, Robert. 1971. Polyarchy: Participation and Opposition. New


Heaven, Con: Yale University Press.
Ketchum, Richard M. 2004. Pengantar Demokrasi. Terj. Mukhtasar.
Yogyakarta: Niagara
Kompas, edisi 20 Juli 2018. Demokrasi Tetap Dipercaya. Hal. 2.
Nanda, Bima Jon dan Indah Mustika Permata. 2017. BREXIT: Pelajaran
bagi ASEAN. Jurnal Hubungan Internasional UMY. Vol. 6. No.1 (April-
September 2017).
O’Donnell, Guillermo, Philippe Schmitter, and Laurence Whitehead, eds.
1991. Transition fro Authoritarian Rule: Comparative Perspective.
Baltirome: John Hopkins University Press.
Sahide, Ahmad. 2017. Gejolak Politik Timur Tengah. Yogyakarta: The Phinisi
Press.
Supardan, Dadang. 2008. Pengantar Ilmu Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Zhen, Han dan Lihe Dong. Democracy as a Way to Social Compromise.
Sumber: Frontiers of Philosophy in China, Vol. 1, No. 1 (Jan., 2006),
pp. 1-5.
14 Ahmad Sahide
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
15

Pendekatan Ekonomi
Politik Internasional

E
konomi dan politik merupakan dua hal yang berbeda, tetapi
mempunyai keterkaitan satu sama lain yang sangat erat,
bahkan tidak dapat dipisahkan. Terlebih jika kita berbicara
dalam konteks politik global. Sudah bukan rahasia lagi bahwa banyak
negara melakukan intervensi, menginvasi, atau berperang antarsatu
negara dengan negara yang lainnya karena motif ekonomi. Begitu
pula dengan sebaliknya, pelaku bisnis, misalnya Multinational Corporation
(MNC), membutuhkan dukungan politik (kekuasaan) untuk dapat meraup
keuntungan sebanyak-banyaknya. Oleh karena itu, Ekonomi Politik
Internasional (EPI) berbicara tentang kekayaan dan kemiskinan, tentang
siapa mendapatkan apa dalam sistem politik dan ekonomi internasional
(Jackson dan Sorensen, 2005: 227).
Contoh nyata yang dapat kita lihat adalah kehadiran PT Freeport
McMoran Copperand Gold, salah satu MNC dari Amerika Serikat, di
Indonesia yang mulai beroperasi pada tahun 1973 (Rifai-Hasan, 2009: 129).
Masuknnya PT Feeport di Indonesia mengesplorasi sumber daya alam di
Papua setelah rezim Orde Baru Soeharto mengambil alih kekuasaan dari
Soekarno. Hal itu karena Indonesia pada era Orde Lama Soekarno tidak
mempunyai hubungan yang baik dengan Amerika Serikat. Soekarno secara
garis ideologi lebih dekat ke China dan Uni Soviet (Rusia saat ini) yang
16 Ahmad Sahide

menganut paham sosialisme dan komunisme. Soekarno termasuk salah satu


kepala negara di dunia yang sangat anti dengan Amerika Serikat. Salah
satu penggalan dari pidato Soekarno adalah “Inggris kita linggis, Amerika
kita setrika, dan Malaysia kita ganyang…” penggalan pidato Soekarno
pada tahun 1960-an ini menunjukkan sikap politik yang berseberangan
dengan Amerika Serikat yang tentu saja menutup pintu masuknya MNC
dari Amerika.

Oleh karena itu, jatuhnya Soekarno pada tahun 1965 tidak terlepas
dari peran Amerika Serikat. Salah satu teori dari kejatuhan Soekarno
adalah teori yang mengatakan bahwa yang sesungguhnya bergerak di
balik semuanya (kejatuhan Soekarno) adalah Central Intelligence of America
(CIA), yang sudah lama menimba hubungan baik dengan AD. Soeharto,
dari AD, sudah lama diperhatikan dan akan dijadikan anak buah
Amerika. Kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia (PKI)
menggusarkan Amerika di tengah perang dingin yang memanas. Setelah
Soeharto naik ke puncak kekuasaan di Indonesia, Soeharto kemudian
membuka pintu masuknya Penanaman Modal Asing (PMA), maka tidak
lama setelah itu PT Freeport hadir di Indonesia mengeksplorasi sumber
daya alam di Papua. Sampai saat ini.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
17

Ini membuktikan bahwa ekonomi dan politik merupakan dua hal


yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Negara membutuhkan
dukungan dari pelaku bisnis (MNC) untuk melakukan pembangunan dan
begitu pula sebaliknya, MNC membutuhkan dukungan dan akses dari
negara. Hadirnya PT Freeport di Indonesia karena Soeharto membuka
pintu untuknya yang mana pada era Soekarno tertutup karena sikap politik
Soekarno yang anti-Amerika Serikat.
Oleh karena itu, isu-isu ekonomi telah lama menjadi pusat perdebatan
ideologi dan politik. Dan selama abad kesembilan belas dan kedua puluh,
medan pertempuran utama politik adalah kontes antara dua model
ekonomi yang bersaing, yaitu kapitalisme dan (sosialisme). Keadaan ini
kemudian berakhir dengan kemenangan kapitalisme atas sosialisme yang
terutama ditandai dengan runtuhnya komunisme (Heywood, 2017: 153).
Dari pemaparan singkat di atas terlihat bahwa Kebijakan ekonomi luar
negeri yang diadopsi pemerintah baik dalam hal kebijakan perdagangan,
kebijakan exchange rate, dan kebijakan terhadap MNC berdampak pada
penggunaan sumber daya yang ada di suatu negara. Oleh karena itu,
studi Ekonomi Politik Internasional adalah studi yang mempelajari
tentang bagaimana pertarungan politik antara yang kuat dan yang lemah
membentuk kebijakan negara dalam mengalokasikan sumber daya yang
mereka punya.

A. Perspektif Konvensional dalam EPI


Dalam studi Ekonomi Politik Internasional (EPI) terdapat berbagai
macam perspektif dalam memandang fenomena-fenomena yang terkait
masalah politik dan ekonomi internasional. Beberapa perspektif yang sering
digunakan sebagai pendekatan utama dalam kaitannya dengan studi EPI
yaitu perspektif realis (merkantilis), liberalis, dan kritis (marxis).
18 Ahmad Sahide

Pandangan realis
Teori ekonomi realis berakar kuat pada, dan terkadang dianggap
sinonim dengan, ‘nasionalisme ekonomi’ atau ‘merkantilisme (Heywood,
2017: 160). Perspektif merkantilisme merupakan bagian dari fase dalam
sejarah kebijakan ekonomi, atau sebuah sistem tentang kebijakan ekonomi
yang banyak dipraktikkan oleh para negarawan Eropa dalam rangka
menjamin kesatuan politik dan kekuatan nasionalnya. Kaum merkantilis
memiliki pandangan bahwa elite-elite politik berada pada garis depan
pembangunan negara modern. Penganut paham realis atau merkantilisme
ini berpandangan bahwa aktivitas ekonomi adalah seharusnya tunduk
pada tujuan utama dalam membangun negara yang kuat. Dengan kata
lain, ekonomi adalah alat politik, suatu dasar bagi kekuasaan politik. Inilah
pokok pikiran utama dari merkantilisme (Jackson & Sorensen, 2005:
231). Jika kita menggunakan pendekatan dari kaum realis, maka negara
mempunyai hak untuk mengintervensi pasar karena pasar adalah bagi
kekuasaan atau negara.
Merkantilisme menganggap negara sebagai pelaku ekonomi yang
paling signifikan, menyoroti sejauh mana hubungan-hubungan ekonomi
ditentukan oleh kekuatan politik. Dalam pandangan ini, pasar tidak bersifat
alami tetapi berada dalam konteks sosial yang sebagian besar dibentuk
oleh penerapan kekuasaan negara. Karena sistem negara bersifat anarkis,
ekonomi global cenderung dicirikan oleh konflik ketika negara-negara
saling bersaing untuk meraih kekuasaan dan kemakmuran dalam suatu
zero-zum-game (Heywood, 2017: 160).
Oleh karena itu, paham Merkantilisme dalam EPI melihat
perekonomian internasional sebagai arena konflik antara kepentingan
nasional yang bertentangan daripada sebagai wilayah untuk membangun
kerja sama yang saling menguntungkan. Kekuatan ekonomi dan kekuatan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
19

politik sebagai tujuan yang saling melengkapi, bukan saling bersaing, dalam
lingkaran arus balik positif. Pencapaian kekuatan ekonomi mendukung
pengembangan kekuatan politik dan militer negara serta kekuatan politik
dapat meningkatkan dan memperkuat ekonomi negara.

Pandangan liberal
Teori ekonomi liberal didasarkan pada keyakinan bahwa individu,
sebagai mahluk rasional yang mementingkan-diri, atau pemaksimal utilitas,
adalah para pelaku ekonomi utama (para pemaksimal utilitas beraksi
untuk mencapai kesenangan terbesar, yang diperhitungkan dari sudut
pandang konsumsi materi). Liberalisme ekonomi ini muncul sebagai
kritik terhadap dominasi negara dalam pasar yang berlangsung pada abad
keenambelas dan ketujuhbelas di Eropa (Merkantilisme). Kaum ekonomi
liberal menolak teori dan kebijakan yang men-subordinat ekonomi pada
politik. Adam Smith (1723-90), bapak kapitalisme ekonomi, yakin bahwa
pasar cenderung meluas secara spontan demi kepuasan kebutuhan manusia
– menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh ikut campur (Jackson &
Sorensen, 2005: 234). Ekonomi berjalan paling baik jika dibiarkan bebas
oleh pemerintah (Heywood: 188)
Dalam pandangan ini, bisnis-bisnis merupakan alat penting untuk
mengorganisasikan produksi dan menghasilkan kemakmuran (Heywood,
2017: 160). Maka dari itu, keyakinan terhadap kemajuan adalah asusmsi
dasar liberal (Jackson & Sorensen, 2005: 141).
Berlandaskan asumsi dasar tersebut, pemikir ekonomi liberal
berpandangan bahwa kepentingan-kepentingan manusia rasional akan
menimbulkan interaksi yang harmonis di mana kebutuhan manusia akan
terpenuhi secara efektif dan efisien dengan syarat dalam proses tersebut
tidak ada pihak yang mengintervensi. Dengan kata lain, semua berjalan
20 Ahmad Sahide

mengikuti mekanisme pasar itu sendiri. Kaum liberal menganggap pasar


sebagai mekanisme paling tepat dalam pemenuhan kebutuhan manusia
karena di sanalah manusia bebas untuk berinteraksi (membeli dan
menjual) atas inisiatif mereka sendiri. Mekanisme pasar akan membuat
roda pemenuhan kebutuhan manusia akan terus berputar karena harga
menunjukkan nilai kebutuhan sebuah barang (Gilpin, 1987).
Kaum ekonomi liberal kemudian menolak pandangan kaum
merkantilis yang melihat negara sebagai aktor utama dan fokus sentral
ketika menghadapi permasalahan ekonomi. Kaum ekonomi liberal melihat
bahwa aktor sentral adalah individu yang bertindak sebagai konsumen
dan sebagai produsen. Pasar adalah arena terbuka tempat para individu
bersama-sama menukarkan barang dan jasa. Individu bersifat rasional,
dan ketika mereka memakai rasionalitas tersebut di pasar, semua partisipan
untung. Pertukaran ekonomi di pasar kemudian bersifat ‘positive sum game’:
yaitu setiap orang mendapatkan keuntungan lebih dari yang mereka
tanamkan (Jackson & Sorensen, 2005: 236).
Tradisi liberal dalam HI sangat erat kaitannya dengan munculnya
negara modern. Filosof liberal, dimulai dari John Locke di abad
ketujuhbelas, yang melihat potensi besar kemajuan manusia dalam civil
society dan perkonomian kapitalis modern, keduanya dapat berkembang
dalam negara-negara yang menjamin kebebasan individu. Modernitas
membentuk kehidupan yang baru dan lebih baik, bebas dari pemerintah
yang otoriter dan dengan tingkat kesejahteraan material yang jauh lebih
tinggi (Jackson & Sorensen, 2005: 140).

Pandangan kritis
Perspektif Kritis atau Marxisme berkembang dari pemikiran
filsuf ekonomi politik, Karl Marx. Salah satu teori yang mendasari kaum
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
21

Marxis adalah dialektika materialisme, di mana secara umum, inti dari


ajaran Marx adalah kritik terhadap kapitalisme. Marxisme lebih banyak
mengedepankan persoalan yang berkaitan dengan hubungan struktural
manusia dengan lembaga yang mengikatnya (Wardhani, 2016: 125). Selain
itu, Marxisme menggambarkan kapitalisme sebagai sistem eksploitasi kelas
dan menganggap kelas-kelas sosial sebagai para pelaku ekonomi utama.
Dalam pandangan Marxis, ketika kesetiaan kelas dianggap lebih kuat
daripada loyalitas kebangsaan, ekonomi politik selalu merupakan dimensi
internasional (Heywood, 2017: 160-161).
Pandangan kelompok kritis atau marxis ini menolak pandangan kaum
ekonomi liberal yang memandang perekonomian sebagai ‘positive sum game’
dengan keuntungan bagi semua. Marx menolak pandangan tersebut. Marx
mengambil pendapat zero zum dari merkantilisme dan memakainya pada
hubungan kelas selain hubungan negara. Kaum Marxis sepakat dengan
kaum merkantilis bahwa politik dan ekonomi sangat berkaitan: keduanya
menolak pandangan kaum liberal tentang bidang ekonomi yang berjalan
dengan hukumnya sendiri (Jackson & Sorensen, 2005: 238).
Dalam situasi-situasi ekonomi modern, kepentingan kelas kapitalis,
atau borjuis semakin identik dengan kepentingan perusahaan-perusahaan
transnasional atau Multinational Corporations (MNC), yang secara luas
dianggap lebih kuat daripada pemerintah nasional, ekonomi berada di
atas politik (Heywood, 2017: 161).

B. Kesimpulan
Dari pemaparan singkat di atas kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa ekonomi dan politik merupakan dua hal yang mempunyai
ikatan yang sangat erat satu sama lain karena saling memengaruhi.
Di dalam hubungan yang saling memengaruhi tersebut, ada tiga teori
22 Ahmad Sahide

atau pendekatan dalam melihat hubungan keduanya, yaitu realisme/


merkantilisme, liberalisme, dan pandangan kritis atau marxisme.
Ketiganya mempunyai pandangan yang berbeda dalam melihat
hubungan antara ekonomi dengan politik atau pasar dengan negara.
Kaum yang menganut Merkantilisme melihat negara sebagai aktor utama
dan hubungan keduanya konfliktual/zero zum game. Karena negara adalah
aktor utama, maka tujuan ekonomis dari mekanisme pasar adalah untuk
memperkuat negara.
Sebaliknya, Liberalisme mempunyai pandangan bahwa yang
menjadi aktor utama adalah individu dan perusahaan swasta. Negara
hanya sebagai ‘penonton’ dalam mekanisme pasar. Di samping itu, kaum
liberalis melihat sifat hubungan keduanya kooperatif/positif zum game,
saling menguntungkan. Dan tujuan dari mekanisme pasar bukanlah untuk
memperkuat Negara, sebagaimana pandangan Merkantilisme, akan tetapi
untuk kesejahteraan maksimum individu dan sosial.
Pandangan Marxis lebih dekat dengan pandangan Merkantilisme.
Marxisme sama dengan Merkantilisme yang menolak pasar untuk berjalan
sendiri sesuai dengan mekanismenya.
Ketiga pandangan atau pendekatan ini diharapkan dapat membantu
mahasiswa dalam membaca dan menganalisis perkembangan ekonomi
politik global kontemporer. Sekian dan terima kasih!

Daftar Pustaka

Heywood, Andrew. 2017. Politik Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Jackson, Robert dan George Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
P.A.Rifai-Hasan. 2009. Development, Power, and the Mining Industry in Papua: A
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
23

Study of Freeport Indonesia. Journal of Business Ethics, Vol. 89, Supplement


2: International Business Firms, Economic Development, and Ethics
(2009), pp. 129-143. Published by: Springer
Wardhani, Baiq L.S.W. 2016. Marxisme. Dalam “Teori Hubungan
Internasional, Perspektif-Perspektif Klasik,” Vinsensio Dugis (Ed).
Surabaya: Cakra Studi Global Strategis (CSGS).
24 Ahmad Sahide
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
25

Struktur Ekonomi Global

D
alam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ekonomi
adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi, dan
pemakaian barang-barang serta kekayaan (seperti hal
keuangan, perindustrian, dan perdagangan), pengertian yang lainnya
adalah pemanfaatan uang, tenaga, waktu, dan sebagainya yang berharga,
juga bisa diartikan sebagai tata kehidupan perekonomian (suatu negara)
(KBBI, 2008).
Oleh karena itu, jika kita membahas mengenai ekonomi global berarti
yang kita bicarakan adalah aktivitas ekonomi secara global menyangkut
distribusi barang dan jasa yang melibatkan negara dan pihak-pihak
yang terkait. Andrew Heywood memberikan istilah dengan ‘globalisasi
ekonomi’. Globalisasi ekonomi merujuk pada proses di mana semua
ekonomi nasional ditarik ke dalam ekonomi global yang saling-terkait;
ekonomi global juga bisa didefinisikan sebagai pergeseran dari dunia
ekonomi nasional yang terpisah menuju ekonomi global di mana produksi
diinternasionalisasi dan modal finansial mengalir secara bebas dan instan
melintasi negara-negara (Heywood, 2017: 174).
Globalisasi adalah meluas dan meningkatnya hubungan ekonomi,
sosial, dan budaya yang melewati batas-batas internasional. Makin
meningkatnya derajat saling keterkaitan ekonomi antara dua perekonomian
nasional, sebagai contoh dalam bentuk perdagangan atau investasi asing
yang lebih eksternal, merupakan salah satu aspek dari globalisasi ekonomi
26 Ahmad Sahide

(Jackson dan Sorensen, 2005: 266-267).


Dalam praktiknya, perkembangan-perkembangan ekonomi melahirkan
struktur yang kompleks seperti kemunculan sistem kapitalis global yang
dapat dijelaskan melalui hubungan dinamis antara struktur-struktur dan
agen-agen. Penjelasan strukturalis yang paling berpengaruh tentang
kemunculan ekonomi global adalah argumen Marxis bahwa kapitalisme
merupakan sistem ekonomi universalis. Singkatnya, globalisasi merupakan
konsekuensi yang alami dan tak terelakkan dari corak produksi kapitalis.
Menurut Marx, esensi dari kapitalisme adalah menyingkirkan setiap
halangan lokal terhadap perdagangan dan untuk menjaring seluruh
dunia sebagai pasarnya (Heywood: 175). Globalisasi ekonomi kemudian
memberikan harapan besar untuk meningkatkan standar hidup umat
manusia dengan akses yang lebih terbuka (Stiglitz: 4). Oleh karena itu,
struktur ekonomi global kontemporer sangat bercorak kapitalis karena
lahir dari globalisasi ekonomi. Ia tidak terlepas dari kritik, terutama dari
kaum Merkantilis dan Marxis.

A. Sistem Bretton Woods


Sebagaimana yang telah disinggung di atas bahwa rezim atau struktur
ekonomi global kontemporer sangat bercorak kapitalis yang tidak dapat
dipisahkan dari terbentuknya sistem Breeton Woods.
Sistem Bretton Woods terbentuk ketika Amerika Serikat (AS), Inggris
dan 22 negara lainnya bertemu pada bulan Agustus 1944 dalam konferensi
Moneter dan Finansial Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di kota kecil
Bretton Woods, New Hampshire, yang bertujuan merumuskan arsitektur
kelembagaan bagi sistem finansial dan moneter internasional pasca-perang.
Hasil nyata dari pertemuan di Bretton Woods adalah pembentukan tiga
badan baru, yaitu;
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
27

1. Dana Moneter Internasional/International Monetary Fund (IMF) yang


mulai beroperasi pada Maret 1947.
2. Bank Internasional bagi Rekonstruksi Pembangunan/International Bank
for Reconstruction and Development (IBRD), yang lebih dikenal sebagai Bank
Dunia (World Bank). Bank ini mulai beroperasi pada Juni 1946.
3. Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan/General Agreement
on Tariffs and Trade (GATT) yang kemudian diganti oleh Organisasi
Perdagangan Dunia/World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995.
Namun demikian, meskipun GATT biasa dianggap sebagai bagian
dari sistem Bretton Woods, lembaga ini sebenarnya dibentuk oleh
Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Lapangan-Pekerjaan dan
mulai beroperasi pada Januari 1948 (Heywood: 831-833).
Inti dari pemikiran di balik Bretton Woods tersebut mencerminkan
landasan keyakinan pada teori-teori ekonomi liberal, terutama kebaikan
dari ekonomi internasional yang terbuka dan kompetitif. Namun, fakta
bahwa tatanan-tatanan kelembagaan tersebut dibentuk untuk ‘mengawasi
ekonomi internasional dan menjamin stabilitas mencerminkan keraguan
yang mendalam terhadap ekonomi politik klasik dan khususnya doktrin
tentang laissez-faire (Heywood: 834). Laissez-faire berarti bahwa negara
hanya akan menyiapkan fondasi minimalnya yang dibutuhkan bagi
pasar agar berfungsi secara tepat. Versi ekonomi liberalism ini berupaya
meminimalisasi campur tangan negara, yang dapat disebut “ekonomi
liberalisme klasik” (Jackson dan Sorensen: 236).
Dasar dari pemikiran laissez-faire adalah bahwa ekonomi akan berjalan
paling baik ketika dibiarkan bebas oleh pemerintah, dan ini diyakini berlaku
pada level nasional maupun internasional. Oleh karena itu, semuanya
harus diserahkan agar berjalan sesuai dengan mekanisme pasar. Pada sisi
28 Ahmad Sahide

yang lain, Bretton Woods dibentuk oleh kekhawatiran bahwa ekonomi


internasional yang tidak diatur bersifat tidak stabil dan rentan dengan
konflik, yaitu kecenderungan yang diperlihatkan paling dramatis oleh
depresi besar itu sendiri (Heywood: 836).
Ekonomi global dengan sistem Bretton Woods ini mengalami masa
kejayaannya pada tahun 1950-1960an, namun memasuki dekade tahun
1970-an, ekonomi dengan sistem ini mengalami krisis sehingga mendorong
terbentuknya Kelompok Tujuh (G-7). G-7 muncul dari serangkaian
pertemuan informal para menteri keuangan dari negara-negara industri
terkemuka (AS, Perancis, Jerman, Inggris, Jepang, Italia, dan Kanada)
yang dimulai pada 1973. Proses ini berlangsung dengan latar belakang
runtuhnya sistem Bretton Woods dan krisis minyak 1973. Belakangan Rusia
bergabung dalam kelompok ekonomi ini sehingga menjadi Kelompok
Delapan (G-8). Peran utama dari G-7/8 adalah untuk menjamin koordinasi
keseluruhan dari sistem pemerintahan ekonomi global. Namun dalam
perjalanannya, kelompok ini berjalan kurang efektif (Heywood: 836).

B. Kebangkitan Rezim Ekonomi Baru (Penantang)


Rezim ekonomi global yang bercorak kapitalis ini menjanjikan
kehidupan semua orang lebih baik. Namun faktanya tidaklah demikian.
Globalisasi ekonomi melahirkan kesenjangan sosial sehingga ia adalah
bagian dari masalah (Stiglitz: 4). Salah satu alasannya, menurut Stiiglitz,
adalah karena IMF, misalnya, sebagai salah satu lembaga ekonomi
internasional pada hakikatnya merespons ‘kepentingan-kepentingan dan
ideologi masyarakat finansial Barat’. Tidak heran jika IMF kemudian
menjadi sasaran kritik yang luas tentang pemerintahan ekonomi global
bahwa ia telah menjadi alat dari kepentingan-kepentingan ekonomi di
negara-negara Utara, seperti Transnational Corporations (TNCs) dan para
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
29

konglomerat perbankan internasional, khususnya yang terkait dengan AS,


yang berarti bahwa ia secara sistematis melawan kepentingan-kepentingan
dunia berkembang (Heywood: 842).
Kritik Stiglitz bahwa rezim ekonomi global ini hanya melayani
kepentingan negara-negara maju, Amerika dan Eropa misalnya, terbukti
bahwa dari daftar orang terkaya di dunia didominasi oleh warga negara
Amerika Serikat. Daftar sepuluh orang terkaya di dunia yang dirilis pada
tahun 2017 menunjukkan dominasi warga negara Amerika. Dari sepuluh
daftar orang terkaya tersebut, delapan diantaranya berkewarganegaraan
Amerika, satu dari Spanyol, dan satunya lagi dari Meksiko.
Daftar orang terkaya di dunia, Forbes 2017 (Kompas, 22/03/17)
Kekayaan
No. Nama Perusahaan Negara
(Dolar AS)
01 Bill Gates Microsoft AS 86
02 Warrant Buffett Berkshire Hathaway AS 75,6
03 Jeff Bezos Amazon AS 72,8
04 Amancio Ortega Zara Spanyol 71,3
05 Mark Zuckerberg Facebook AS 56
06 Carlos Slim Helu Telecoms Meksiko 54,5
07 Larry Ellison Oracle AS 52,2
08 Charles Koch Koch Industries AS 48,3
09 David Koch Koch Industries AS 48,3
10 Michael Bloomberg Bloomberg News AS 47,5

Hegemoni dari rezim ekonomi global yang dilihat sebagai lembaga


yang melayani kepentingan negara-negara Barat inilah sehingga muncul
kekuatan ekonomi baru sebagai penantangnya, yaitu BRIC. Istilah
BRIC dipopulerkan pada 2001 dalam laporan oleh Goldman Sachs,
sebuah bank investasi, untuk menyoroti meningkatnya pengaruh dari
empat kekuatan ekonomi baru yang berkembang pesat, yaitu Brazil,
30 Ahmad Sahide

Rusia, India dan China. Prediksi awal tentang kekuatan perkembangan


ekonomi BRIC mengemukakan bahwa mereka akan melampaui kekuatan
gabungan dari negara-negara G-7 pada pertengahan abad kedua puluh
satu, meskipun telah berulang-ulang terjadi dan dapat terjadi lebih cepat.
Selain menyoroti pergeseran keseimbangan kekuasaan ekonomi global
yang mana kebanyakan pertumbuhan dalam output dunia sekarang berasal
dari negara-negara berkembang dan transisi, ‘kebangkitan dari yang lain’
(Zakaria, 2009) memiliki dimensi politik yang lebih besar.
Prediksi dari kebangkitan yang lain ini sebagai salah satu kekuatan
ekonomi global dapat kita lihat dengan terjadinya perang dagang yang
melibatkan Amerika dan China sebagai negara aktor utama. Perang dagang
ini bermula ketika Donald Trump, Presiden Amerika saat ini, mengesahkan
peraturan soal pengenaan bea masuk (ke AS) pada tanggal 8 Maret 2018.
Dengan peraturan tersebut, tarif bea masuk 25 persen untuk baja dan 10
persen untuk aluminium (Kompas, 10/03/2018). Langkah proteksionisme
Trump ini tentu saja bertentangan dengan paham liberalisme ekonomi,
bagian dari sistem Bretton Woods, yang selama ini dianut oleh Amerika
dan sekutunya.
Langkah proteksionisme oleh Donald Trump tersebut mendapatkan
respons negatif dan balasan dari berbagai negara, terutama China sehingga
terjadilah perang dagang antara AS versus China yang dapat mengganggu
perekonomian global. Perang dagang yang melibatkan AS versus China
ini tidak terlepas dari kebangkitan ekonomi China sebagai salah satu
negara dengan kekuatan ekonomi global yang mampu menyaingi kekuatan
ekonomi AS. Selain itu, harus dicatat bahwa China adalah bagian dari
BRIC. Sekian!
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
31

Daftar Pustaka

Heywood, Andrew. 2017. Politik Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Jackson, Robert dan George Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kamus Bahasa Indonesia, 2008. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional
Kompas, edisi 22 Maret 2017
Kompas, edisi 10 Maret 2018
Zakaria, F. (2009) The Post American World. New York: W.W.Norton
& Co.
32 Ahmad Sahide
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
33

Donald Trump, Dunia Islam,


dan Legitimasi Politiknya

H
asil daur ulang demokrasi Amerika Serikat (AS) yang
berlangsung pada 8 November 2016 cukup mengejutkan
dunia internasional. Hal itu tidak terlepas dari munculnya
Donald trump, sosok kontroversial dan kandidat dari Partai Republik,
sebagai pemenang. Trump berhasil mengalahkan kandidat populer dan
berpengalaman dalam dunia birokrasi, Hillary Clinton. Hillary kemudian
gagal menorehkan sejarah sebagai presiden perempuan pertama dari
negara kampiun demokrasi tersebut.
Keluarnya Trump sebagai pemenang pemilihan Presiden AS ini
menimbulkan kekhawatiran dunia internasional, terutama dunia Islam.
Hal itu karena Trump, sejak masa kampanye, seringkali melontarkan
pernyataan politik yang akan membatasi imigran dari dunia Islam masuk
Amerika (Sahide, 2018: 38). Hal ini dibuktikan tidak lama setelah resmi
dilantik menjadi Presiden AS, ia mengeluarkan Executive Order 13769.
Bagi yang mengikuti proses pemilihan presiden di AS pada 2016,
respons dunia internasional sangat negatif begitu Trump dapat dipastikan
memenangi pilpres Amerika yang telah berhasil mengeumpulkan electoral
vote yang melebihi 270 suara. Respons negatif itu terlihat dengan langsung
anjloknya harga saham Eropa tidak lama setelah Trump memeroleh suara
electoral vote yang melebihi 270 suara. Nilai tukar dollar Amerika juga jatuh
34 Ahmad Sahide

walaupun kemenangan ini sebenarnya juga tidak disangka oleh Trump


dan timnya (Donald Trump and his tiny band of campaign warriors were ready to
lose with fire and fury. They were not ready to win) (Wolff, 2018: 21).
Di Amerika, aksi massa terus berlangsung pada awal terpilihnya
Trump sebagai Presiden AS ke-45. Hal ini tentu jarang terjadi dalam iklim
berdemokrasi di AS yang menganut paham demokrasi bahwa suara rakyat
adalah suara Tuhan. Adanya aksi massa sebagai bentuk protes dari hasil
pemilihan yang demokratis itu menunjukkan adanya penolakan terhadap
‘suara Tuhan’. Hal ini tentu menjadi catatan tersendiri akan adanya
cacat atau juga bagian dari kemunduran dari demokrasi AS yang oleh
dunia dikenal sebagai negara kampiun demokrasi. Amerika adalah negara
yang selama ini aktif mengajari dunia internasional tentang kehidupan
yang demokratis. Demokrasi diyakini sebagai momentum bagi partisipasi
rakyat untuk memilih pemimpin terbaik dan ruang bagi masyarakat untuk
berdaulat. Oleh karena itu, tidak heran jika muncul pertanyaan, apakah
Trump adalah figur terbaik untuk memimpin negara sebesar Amerika
bahkan dunia? Munculnya tanggapan negatif dari dunia internasional
ketika Trump dinyatakan memenangi pemilihan Presiden AS dan juga
demonstrasi penolakan yang berlangsung hingga pada awal terpilihnya
menjadi catatan adanya noda hitam dalam demokrasi Amerika.

A. Trump dan Dunia Islam


Munculnya Trump sebagai sosok kuat dan mengerikan, dalam bahasa
William Liddle, kembali meruncingkan benturan peradaban atau clash
of civilization, istilah populer yang pernah dipopulerkan oleh Samuel P.
Huntington pada dekade tahun 1990-an. Kebijakan Muslim Ban melalui
Executive Order 13769 yang memerketat masuknya imigran Muslim ke
Amerika yang dicurigai sebagai komunitas yang berpotensi melahirkan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
35

terorisme telah meruncingkan hubungan antara Barat, terutama Amerika,


versus dunia Islam. Itulah mengapa dunia menyambut kemenangan
Trump dengan segala kecemasan, berbeda dengan Obama 2008 silam.
Sejak awal, ketegangan politik diprediksi akan muncul, yaitu
ketegangan hubungan antara Barat (AS) dengan Timur (dunia Islam)
sebagaimana rencananya melarang masuk orang Muslim di wilayah AS
untuk mewaspadai terorisme. Hal ini langsung dibuktikan oleh Trump
tidak lama setelah mendiami White House dengan melarang tujuh warga
negara untuk masuk ke AS. Kebijakan Muslim Ban ini ditetapkan secara
sepihak oleh Trump atas inisiasinya sendiri sebagai lembaga eksekutif.
Dalam pidatonya, Trump mengungkapkan bahwa kebijakan Muslim Ban
bertujuan untuk melindungi AS dari tindakan terorisme yang dilakukan
oleh kelompok ekstrimis Islam dan juga untuk menjaga stabilitas keamanan
AS (Eroukhmanoff, 2018). Ketujuh warga negara yang dilarang masuk
AS itu di antaranya adalah Iran, Irak, Libya, Somalia, Sudan, Suriah, dan
Yaman. Hal ini direspons oleh Mahkamah Federal AS dengan memblokir
keputusan Presiden Trump tentang larangan masuk AS bagi warga ketujuh
negara tersebut (Kompas, 5/02/2017).
Pernyataan dan langkah politik Trump yang kurang bersabahat dengan
dunia Islam tersebut telah menyebabkan hubungan antara Barat dan
dunia Islam kembali memanas sebagaimana ketegangan hubungan Barat
dan dunia Islam yang pernah terjadi pada era George Walker Bush yang
dianggap melakukan konspirasi dengan isu World Trade Center (WTC) untuk
menyerang negara-negara Islam, Iraq salah satu contohnya yang kini tak
kunjung mencapai stabilitas politiknya. Trump kembali menyulutkan bara
api kebencian antara Barat dan dunia Islam dengan kebijakan-kebijakan
kontroversialnya.
36 Ahmad Sahide

Pada penghujung tahun 2017, tepatnya 6 Desember, Trump kembali


mengguncangkan tatanan politik global, terutama dunia Islam, dengan
pernyataan resminya yang mengakui Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel.
Inisiatif tersebut kemudian diikuti dengan perintah dari Presiden Trump
yang ditujukan kepada Kementerian Luar Negeri AS untuk mempersiapkan
pemindahan Kedutaan Besar (Kedubes) AS untuk Israel dari Tel Aviv
ke Jerusalem. Padahal Jerusalem melalui resolusi Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) 181 tahun 1947 ditetapkan sebagai kota di bawah wewenang
internasional. Ketetapan yang memungkinkan kaum Muslim, Nasrani,
dan Yahudi melakukan ibadah keagamaannya. Hal itu karena Jerusalem
adalah satu kota tiga iman (Karen Amstrong). Dalam pernyataannya
Trump menyampaikan bahwa:
“…After more than two decades of waivers, we are no closer to a lasting peace
agreement between Israel and the Palestinians. It would be folly to assume that
repeating the exact same formula would now produce a different or better result.
Therefore, I have determined that it is time to officially recognize Jerusalem as the
capital of Israel. …But today we finally acknowledge the obvious. That Jerusalem
is Israel’s capital. This is nothing more or less than a recognition of reality. It is also
the right thing to do. It’s something that has to be done (New York Times, 2017).
Pernyataan Trump tersebut disambut beragam dari banyak pemimpin
dunia, Perdana Menteri Israel tentu saja senang dengan hal ini dengan
mengatakan bahwa, “Sebuah keputusan yang berani dan adil.” Namun
tidak sedikit yang mengecam Trump dengan sikapnya itu. Presiden
Indonesia, Joko Widodo, juga turut merespons dengan pernyataannya
bahwa, “Pengakuan sepihak tersebut telah melanggar berbagai resolusi
dewan keamanan PBB dan Majelis Umum PBB,” Presiden Perancis
mengatakan bahwa ini sangat “disesalkan.” Secara umum, pandangan
pemimpin-pemimpin politik dunia melihat bahwa pernyataan Trump
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
37

tersebut mengganggu proses perdamaian antara Israel-Palestina (Kompas,


9/12/2017).
Dunia internasional langsung merespons pernyataan Trump tersebut.
Semua sekutu Washington di Timur Tengah memperingatkan dampak
berbahaya dari keputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu
kota Israel. Sementara itu, para pemimpin Palestina mengatakan dengan
merelokasi kedutaan, AS telah menciptakan hasutan dan ketidakstabilan
di kawasan tersebut, serta secara tidak langsung AS membatalkan
perannya sebagai mediator perdamaian konflik antara Israel dan Palestina.
Negosiator senior Palestina, Saeb Erekat, sepakat dengan pendapat Ron
Dermer. Saeb Erekat mengatakan bahwa relokasi kedutaan ke Yerusalem
akan menghancurkan proses perdamaian secara keseluruhan (Beaumont,
2016).
Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara
merespons dengan melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi luar biasa
di Istanbul, Turki. Hasil dari KTT luar biasa ini adalah di mana negara-
negara anggota OKI sepakat untuk tidak ikut dengan Trump mengakui
Jerusalem. Negara-negara anggota Uni Eropa juga mengecam apa yang
dilakukan oleh Amerika di bawah Trump. Presiden Perancis, Emmanuel
Macron, mengatakan bahwa ini sangat “disesalkan.” Secara umum,
pandangan pemimpin-pemimpin politik dunia melihat bahwa pernyataan
Trump tersebut mengganggu proses perdamaian antara Israel-Palestina.
Kamis, 21 Desember 2017, Majelis Umum PBB menggelar voting
yang menyerukan agar Amerika menarik pernyataannya yang mengakui
Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Kita ketahui bahwa hasil dari Sidang
Majelis Umum PBB tersebut adalah 128 negara menyetujui resolusi
tersebut, 9 negara menolak, dan 35 negara abstain, sementara 21 negara
anggota tidak menggunakan hak suaranya. Hasil sidang Majelis Umum
38 Ahmad Sahide

PBB ini menggambarkan bahwa langkah politik Donald Trump sangat


tidak populis di kancah politik internasional. Bahkan negara-negara Uni
Eropa, sekutunya, juga tidak sejalan dengan AS di bawah Trump.
Oleh karena itu, Amerika di bawah kepemimpinan Trump mengalami
krisis legitimasi politik dan perlahan-lahan akan kehilangan supremasi
politiknya di kancah politik global kontemporer. Beberapa bulan sebelum
pidato Trump mengenai Jerusalem, Angela Merkel, Kanselir German,
pernah mengatakan bahwa UE harus mulai berpikir untuk tidak tergantung
dengan Amerika. Sinyal politik yang mesti dibaca dengan baik oleh Trump
dan para penentu kebijakan di Washington DC akan kelangsungan
supremasi politik Amerika. Jika salah membaca, ini bisa menjadi awal
keruntuhan supremasi politik Amerika di kancah politik internasional.
China dan Rusia telah melakukan berbagai hal untuk menggeser supremasi
politik global Amerika.
Namun demikian, kita tidak bisa menafikan bahwa bukanlah perkara
yang mudah untuk mengisolasi Amerika dalam kancah politik global saat
ini sebab Amerika memiliki segalanya. Amerika kuat dari segi ekonomi,
kuat persenjataan militernya, kuat jaringan politik globalnya, dan unggul
dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, ketika
Angela Merkel, salah satu pemimpin berpengaruh di Eropa, sudah mulai
berpikir untuk tidak tergantung dengan Amerika, maka sudah saatnya
pula bagi negara-negara dunia Islam, OKI, untuk berpikir mengurangi
tingkat ketergantungannya terhadap AS. Selagi sebagian besar negara-
negara di dunia ini masih mempunyai tingkat ketergantungan yang
sangat besar kepada Amerika, maka selama itu pula Amerika tidak akan
mendengarkan aspirasi dunia internasional, terutama dalam kasus Israel-
Palestina. Maka bagi Trump, meski hasil voting Majelis Umum PBB yang
mayoritas menolak pengakuannya atas Jerusalem sebagai ibu kota Israel,
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
39

Trump tidak memedulikannya. Mungkin bagi Trump, biarkan saja dunia


‘menggonggong,’ AS di bawah kepemimpinannya tetap berlalu (mengakui
Jerusalem).
Oleh karena itu, perjuangan diplomatik dari dunia Islam ke depan
adalah perjuangan untuk mengurangi tingkat ketergantungan terhadap
Amerika Serikat. Apa yang pernah dikatakan oleh Angela Merkel perlu
disambut dengan langkah-langkah diplomatik oleh negara-negara
yang bergabung dalam OKI. Meski ini juga bukanlah perjuangan yang
mudah karena dunia Islam juga harus memulai dengan membangun ilmu
pengetahuan dan teknologi, membangun ekonomi yang kuat, membentengi
diri dengan persenjataan yang kuat pula. Itulah yang dilakukan oleh AS
selama ini untuk menjadi negara superpower.
Setidaknya, sikap politik Trump tersebut berdampak pada dua hal.
Pertama, Trump merusak segala upaya damai Israel-Palestina yang selama
ini dilakukan oleh berbagai pihak. Kehadiran Trump yang sangat jelas
keberpihakannya kepada Israel tidak membuahkan negosiasi politik
yang baik karena tidak adanya netralitas. Kedua, konflik Israel-Palestina
bukan hanya perhatian dunia Arab, tetapi dunia Islam secara global.
Tentu saja Trump dilihat telah melukai kembali dunia Islam. Terlebih
sejak awal kampanyenya untuk menjadi orang nomor satu di Amerika
telah melontarkan pernyataan-pernyataan yang mendiskreditkan dunia
Islam. Kurang dari setahun setelah resmi dilantik, Trump memberikan
pengakuan kepada Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel, sebelumnya Trump
melarang tujuh warga negara untuk masuk AS.
Oleh karena itu, langkah politik yang telah diambil oleh Trump selama
empat tahun mendiami Gedung Putih kembali meruncingkan ketegangan
hubungan antara Barat, terutama AS, dengan dunia Islam. Hubungan yang
saling mencurigai dan membenci yang dibuktikan dengan meningkatnya
40 Ahmad Sahide

islamophobia dan rasisme di Amerika pada era Trump kembali muncul.


Ini juga akan berdampak dengan meningkatnya radikalisme dan terorisme
di dunia Islam karena sikap Trump yang menyudutkan dunia Islam. Itulah
dampak tatanan politik global, terutama dengan dunia Islam, dari hasil
daur ulang demokrasi Amerika Serikat di tahun 2016 lalu. Seandainya
Hillary yang terpilih pada pilpres AS tahun lalu, tentu saja tatanan politik
global tidak akan mengalami gejolak seperti saat ini.

B. Kontroversi dan Legitimasi Politik Trump


Donald Trump telah menjadi orang terkuat di dunia dalam kurun
waktu 2017-2021 awal mengingat ia memimpin negara adi daya, superpower.
Tidak heran, sejak kemunculannya dalam konvensi partai Republik,
sosoknya telah menjadi perhatian dunia internasional. Tentu saja untuk
menimbang dan mengantisipasi apa yang nanti akan dilakukan Trump,
Presiden ke-45 Amerika Serikat (AS) ini.
Trump sejak awal kemunculannya adalah tokoh yang sangat
kontroversial. Hal itu telah melekat dalam dirinya. Bahkan setelah
dirinya dilantik menjadi Presiden AS dan kemudian mendiami White
House (Gedung Putih). Trump tak henti-hentinya memberikan pernyataan
kontroversial dan menghebohkan dunia internasional. Seolah kontroversi
adalah daya pikat darinya dan keberhasilannya mendiami White House.
Bukan hanya itu, Trump juga dilihat membawa gaya kepemimpinan di
White House yang berbeda, bahkan ada yang menyebutnya tidak normal
(Klassen, 2021). Setelah Trump dinyatakan memenangi pilpres Amerika
2016 dan tinggal menunggu pelantikan dirinya, 20 Januari 2017, Trump
mengeluarkan pernyataan yang meragukan hasil temuan Central Inteligence
of America (CIA) yang menduga Vladimir Putin, Presiden Rusia, ikut terlibat
membantu kemenangan dirinya. Itulah Donald Trump, Presiden Amerika
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
41

yang membangun politik kebohongan (Rizvi et al., 2020). Sosok kuat yang
mengerikan dunia, demikian William Liddle, Professor Emeritus Ohio
State University, menggambarkan sosoknya (Kompas, 15/10/2016).

Membaca Hubungan Trump-Putin; Amerika-Rusia


Tidak lama setelah Trump dinyatakan memenangi daur ulang
demokrasi Amerika 2016, terkuak ke media sosial mengenai salah
satu rahasia penting di balik kemenangan Trump, tokoh kontroversial
itu. Ternyata ada campur tangan Rusia, terutama Presiden Vladimir
Putin, yang turut membantu Trump dalam mengalahkan kandidat yang
diunggulkan dunia internasional, Hillary Clinton. Putin membantu Trump
dalam menjatuhkan popularitas Hillary Clinton dengan menginstruksikan
menyebarkan berita-berita yang merusak reputasi Hillary Clinton. Trump
dan Putin memang dikenal mempunyai hubungan yang cukup dekat.
Kedua tokoh ini adalah rekanan bisnis. Hingga akhir kepemimpinnya,
keterlibatan Rusia di balik kemenangan Trump terus menjadi kerikil yang
mengganggu kepemimpinan Trump, termasuk mengganggu legitimasi
politiknya, baik di dalam negeri maupun dengan negara-negara sekutu
Amerika di Eropa.
Tidak dapat dimungkiri bahwa terjadi perebutan pengaruh dan
ideologi antara Amerika, China, dan Rusia dalam kancah politik
internasional dewasa ini. Rusia, salah satu kekuatan politik Uni Soviet
dulu, tentu menyimpan dendam sejarah ketika kekuatan politiknya berhasil
dihancurkan oleh Amerika Serikat yang sekaligus menandai berakhirnya
era Perang Dingin pada awal tahun 1990-an yang melibatkan Amerika dan
Uni Soviet sebagai aktor dominan. Uni Soviet terpecah menjadi beberapa
negara sehingga tidak lagi punya kekuatan politik dalam menghadapi
Amerika Serikat. Amerika kemudian keluar sebagai negara superpower.
42 Ahmad Sahide

Francis Fukuyama lalu menulis buku yang berjudul The End of History and
the Last Man, terbit pada tahun 1992.
Di Indonesia, buku ini telah beredar serta dikonsumsi secara luas dan
termasuk salah satu buku bacaan penting dalam kajian ilmu sosial dan
politik. Buku ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan judul Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Inti dari buku
Fukuyama tersebut adalah bahwa setelah keruntuhan Uni Soviet, tersisa
Rusia hari ini, tidak ada lagi ideologi politik global yang mampu menyaingi
ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal yang diusung oleh Amerika
Serikat (Fukuyama, 2001). Perang Dingin berakhir yang ditandai dengan
kemenangan bagi pihak Amerika dengan kapitalismenya, serta kekalahan
di pihak Uni Soviet dengan ideologi sosialismenya. Supremasi politik global
inilah yang selalu dipertahankan oleh Amerika hingga saat ini dengan
dalih memerangi terorisme dan isu-isu lainnya.
Setelah berlalu tiga dekade, muncul pertanyaan benarkah tesis
Fukuyama di atas bahwa tidak ada lagi ideologi yang mampu menandingi
ideologi kapitalisme dan demokrasi liberal yang diusung oleh Amerika
dalam kancah politik global? Fakta sejarah bahwa Amerika hari ini masih
menjadi negara superpower tidak dapat dibantahkan, tetapi jika dikatakan
bahwa sosialisme yang dulu diusung oleh Uni Soviet telah berakhir dan
tidak lagi punya kekuatan di hadapan kapitalisme global sepertinya perlu
direvisi.
Buktinya, Rusia kini sedang memasuki fase kebangkitan di bawah
kepemimpinan Vladimir Putin. Rusia juga secara terbuka berani
mengambil sikap yang berhadap-hadapan dengan AS dalam berbagai
kasus dan isu-isu global. Dalam kasus Iran, misalnya, baik itu pada era
George Walker Bush maupun pada era Barack Obama yang berakhir
20 Januari 2017, Rusia, bekerja sama dengan China, selalu berada pada
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
43

barisan paling di depan dalam memberikan dukungan politik kepada


Iran dan juga memveto sanksi yang dijatuhkan oleh PBB untuk Iran yang
diprakarsai oleh Amerika.
Dalam kasus Suriah yang masih terus bergejolak hingga saat ini, dampak
dari The Arab Spring 2011 lalu, Rusia kembali mengambil langkah politik
yang berhadapan secara langsung dengan Amerika Serikat. Dalam kasus
Suriah, Amerika berada di balik kelompok oposisi untuk menggulingkan
rezim Bashar al-Assad, sementara Rusia bersama dengan China, juga ada
Iran, berada di belakang rezim Assad. Amerika dan Rusia pun kerap kali
saling menuding dalam penyelesaian kasus Suriah. Pertarungan Rusia
versus Amerika di Timur Tengah, terutama dalam kasus Suriah, tentu
tidak terlepas dari faktor sejarah, ideologi, politik, dan ekonomi.
Hubungan Amerika-Rusia pun kerap diwarnai dengan rivalitas serta
ketegangan. Terlebih setelah Rusia memberikan suaka politik kepada
Edward Snowden, mantan anggota NSA, untuk tinggal di Rusia. Rusia pun
dianggap semakin tidak bersahabat dengan Amerika. Sebaliknya, Amerika
juga kerap kali mengecam Rusia dalam kasus pencaplokan Crimea. Hal
ini dianggap melanggar norma hukum internasional.
Hubungan AS-Rusia yang diwarnai dengan rivalitas dan ketegangan
itulah yang memantik Hillary Clinton, Capres dari Partai Demokrat pada
2016, mengeluarkan pernyataan politik yang memertanyakan legitimasi
politik Putin ketika tepilih kembali menjadi Presiden pada tahun 2012
silam. Pernyataan Hillary itu mengusik bagi Putin dan mendapatkan
momentum politik dalam pemilihan Presiden Negeri Paman Sam 8
November 2016. Dendam politik Putin kepada Hillary dilampiaskannya
dengan membantu kemenangan Trump, yang memang secara personal
mempunyai hubungan yang cukup dekat dengannya. Menjelang
pergantian tahun dan pergantian kepemimpinan, dari 2016 ke 2017,
44 Ahmad Sahide

ketegangan hubungan Amerika dan Rusia kembali memanas setelah


Amerika di bawah Obama mengusir diplomat Rusia dari Washington
DC. Semua berawal dari terkuaknya ke publik akan adanya peran Putin
di balik kemenangan Donald Trump. Amerika Serikat sebagai negara
adidaya dunia merasa dilecehkan supremasinya oleh langkah politik yang
diambil oleh Putin karena berani ikut campur dengan urusan politik dalam
negeri negara kampiun demokrasi tersebut.

Trump dan Supremasi Amerika


Sinyal kedekatan Trump dengan Putin dan arah kebijakan politiknya
mulai kian jelas ketika menunjuk Rex W Tillerson, CEO Exxon Mobil,
untuk menduduki posisi menteri luar negeri dalam kabinetnya nanti. Rex
W Tillerson dikenal mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan
Putin (McNamara, 2017: 8., dan Kompas, 27/12/2016). Hal ini dapat
dibaca bahwa Trump tidak akan melihat Putin dan Rusia sebagai musuh
ideologis dalam kancah politik global. Trump tidak menempatkan Putin
dan Rusia sebagai tokoh dan negara yang akan menggeser supremasi
politik Amerika dalam percaturan politik global.
Pada aspek inilah Trump menghadapi persoalan. Trump nampaknya
tidak melihat bahwa Amerika dan Rusia kini kembali pada era ‘neo-Perang
Dingin’, itulah mengapa Trump sepanjang empat tahun kepemimpinannya
terus mendapatkan resistensi internal terkait dengan isu Rusia. Doktrin
kuat dalam kultur politik Amerika adalah bagaimana memertahankan
hegemoni dan supremasi politiknya di kancah internasional. Apa
yang dilakukan Rusia dengan melakukan peretasan untuk membantu
kemenangan Trump dilihat oleh Amerika sebagai sinyal bahwa Rusia mulai
berani mengusik supremasi politik global Amerika. Sekalipun peretasan
itu menguntungkan Trump menuju Gedung Putih, tetapi secara institusi
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
45

hal tersebut merupakan langkah yang tidak ‘menghormati’ Amerika


sebagai negara adidaya. Wibawa Amerika sebagai negara superpower
telah dilecehkan oleh Rusia di bawah Putin, demi kepentingan empat
tahun Trump.
Oleh karena itu, arah kebijakan Trump yang dekat dengan Rusia
berpotensi menjadi kebijakan politik yang tidak merepresentasikan
Amerika dan rakyatnya. Trump terbukti menemukan kesulitan dalam
menggiring Amerika dan rakyatnya untuk ‘bersahabat’ dengan Rusia.
Terlebih Demokrat terus menyerang Trump dengan isu tersebut. Hal
itu karena kepentingan utama bagi Amerika adalah memertahankan
supremasi politiknya dalam kancah politik global.
Terkait dengan ini, Scott McClellan sudah menuliskannya dalam
bukunya yang berjudul What Happened, Inside the Bush White House and
Washington’s Culture of Deception. Intinya adalah bahwa ada arus kekuatan
politik di Gedung Putih (White House) yang tidak mampu dilawan oleh
presiden sekalipun. Bush dan Obama menghadapi itu. Nampaknya,
Trump juga akan menghadapi itu dan sinyalnya adalah ketika Amerika
mengusir Duta Besar Rusia dari Washington menjelang pergantian
tahun sekalipun Trump hanya menunggu tanggal 20 Januari 2017 lalu
untuk dilantik secara resmi sebagai orang nomor satu di negara Paman
Sam tersebut. Ini menjadi sinyal penting bahwa arus kekuatan politik di
Gedung Putih tidak tunduk atau tidak sejalan dengan garis politik yang
dibangun oleh Trump nantinya yang bersahabat dengan Rusia di bawah
kepemimpinan Putin.
Singkatnya, kedekatan hubungan antara Trump dengan Putin
tidak dapat dipandang sebagai representasi hubungan antara Amerika
sebagai suatu Negara dengan Rusia. Trump dan Putin boleh mempunyai
hubungan personal yang baik, tetapi Amerika dan Rusia tetaplah sebagai
46 Ahmad Sahide

dua negara besar yang sedang memasuki arena rivalitas.

Krisis Legitimasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “legitimasi’ dimaknai,
salah satunya, sebagai pernyataan yang diakui keabsahannya; pengesahan.
Krisis legitimasi politik berarti suatu pemerintahan tidak mendapatkan
pengakuan publik secara luas. Jurgen Habermas mengatakan bahwa krisis
legitimasi muncul ketika loyalitas dan kepatuhan massa tidak dapat dirawat
dengan baik oleh seorang pemimpin. Namun demikian, krisis legitimasi
belum tentu menjadi krisis sistem, melainkan “krisis identitas”, yaitu
ancaman langsung terhadap integrasi social karena tiadanya pengakuan
dan kepatuhan tersebut (McCarthy, 2006: 479).
Krisis legitimasi inilah yang membayangi empat tahun Amerika di
bawah kepemimpinan Trump. Krisis legitimasi itu dapat dilihat, salah
satunya, ketika tim Trump tidak mampu menghadirkan musisi “Kelas A”
pada malam menjelang pelantikannya. Hal berbeda dari Barack Obama
yang mampu menghadirkan bintang ‘raksasa’ (Kompas, 21/01/2017). Di
samping itu, jumlah warga Amerika yang menghadiri pelantikan Obama
juga dua kali lebih banyak dari jumlah warga yang menghadiri pelantikan
Trump. Sedikitnya jumlah warga yang menghadiri pelantikan itu juga
menjadi sinyal rendahnya legitimasi politik yang dimiliki Trump. Indikator
lainnya yang dapat kita lihat adalah adanya demonstrasi penolakan
di mana-mana di dalam negeri pada hari pelantikan Trump (Kompas,
21/01/2017). Bahkan Mahkamah Federal negara Paman Sam tersebut
memblokir keputusan Presiden Trump tentang larangan masuk Amerika
bagi warga tujuh negara (Kompas, 5/02/2017).
Inilah konsekuensi politik yang harus diterima Trump dengan
kepemimpinan kontroversialnya. Terlihat bahwa Trump tidak sejalan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
47

dengan jalan yang dikehendaki oleh sebagian besar rakyat Amerika.


Terlebih dengan pilihan politiknya bersahabat dengan Presiden Rusia,
Vladimir Putin. Negara yang mempunyai sejarah rivalitas dengan
Amerika. Hubungan Trump-Putin menjadi hubungan politik kedua
pemimpin yang tidak merepresentasikan warga dan negaranya. Tentu
saja semua itu berpengaruh terhadap legitimasi politik atau kepatuhan
politik yang dimilikinya. Hal ini dapat kita lihat dari hasil survei oleh
Levada Center pada 2013 di mana 64% orang Amerika memandang
Rusia sebagai musuh dan salah satu yang menjadi ancaman Amerika, di
samping Iran, Suriah, dan Korea Utara. Sebaliknya, 69% orang Rusia
yang memandang Amerika semakin agresif dan yang paling mengancam
Moskow (Muhammad, 2019).
Trump seharusnya berupaya merawat legitimasi politik yang
dimilikinya karena jika ia kehilangan hal tersebut ia akan kehilangan power
sebagai orang nomor satu di negara Paman Sam tersebut. Bukankah dalam
teori politik dikatakan bahwa orang yang mempunyai kekuasaan adalah
orang yang mampu menguasai pikiran dan tindakan orang lain? Dalam
sistem politik yang demokratis, hal itu dapat diraih dengan legitimasi
politik yang tinggi. Pada 2017, lembaga survei Gallup menyatakan bahwa
tingkat kepuasan publik Amerika terhadap Donald Trump sepanjang
2017 hanya 39%. Hal tersebut membuat Trump menjadi presiden dengan
tingkat kepuasan publik terendah dalam sejarah Amerika (Kompas.com,
17/01/2018).
Habermas mengatakan bahwa tanpa legitimasi politik yang terjadi
adalah disintegrasi sosial. Akan terjadi ketidakpatuhan sosial dan bisa jadi
memunculkan perlawanan-perlawanan atau bahkan pemberontakan.
Demonstrasi yang menentang kebijakan Trump dari berbagai elemen
masyarakat menjadi sinyal awal munculnya perlawanan tersebut dan juga
48 Ahmad Sahide

perlawanan yang dilakukan oleh Mahkamah Federal. Inilah ancaman


politik dari sikap kontroversial Trump. Kontroversi yang mengarah pada
krisis legitimasi dan kemudian menjadi ancaman integrasi sosial, ancaman
stabilitas politik. Inilah yang dihadapi oleh AS saat ini di bawah Trump,
di negara kampiun demokrasi di dunia.
Sejak resmi menjadi Presiden AS untuk mendiami White House (Gedung
Putih) 20 Januari 2017, Trump kerap kali mengeluarkan pernyataan politik
yang cukup kontroversial dan di luar mainstream gaya politik pemimpin AS
pada umumnya. Trump adalah Presiden AS yang cukup aktif memberikan
pernyataan-pernyataan politik melalui akun twitternya. Berbeda dari
pemimpin dunia pada umumnya yang jarang menghabiskan waktu
melalui media sosial karena kesibukannya. Trump selalu saja punya waktu
untuk ‘berciut’ melalui media sosial yang mana dari ciutannya tersebut
menghebohkan jagat politik internasional.
Oleh karena itu, tidak salah kemudian jika banyak yang melihat
bahwa terpilihnya Trump sebagai Presiden AS merupakan hasil dari
sebuah proses demokratisasi yang cacat atau sebuah kemunduran dari
iklim demokrasi AS. Demokrasi tidak menjadi ajang untuk mencari
figur-figur terbaik sebagai pemimpin, melainkan memberi jalan bagi
figur seperti Trump untuk menjadi orang nomor satu di negeri Paman
Sam tersebut dan bahkan dunia internasional. Maka dari itu, selama
empat tahun mendiami White House, dunia internasional telah disuguhi
banyak berita kontroversial dari sosok Donald Trump. Dimulai dari
pernyataannya yang meragukan hasil temuan Central Inteligence of America
(CIA) yang menduga Vladimir Putin, Presiden Rusia, ikut terlibat
membantu kemenangan dirinya, keputusannya yang melarang tujuh
warga negara masuk AS karena dianggapnya berpotensi menjadi teroris
sehingga menghadirkan perseteruan antara dirinya dengan Mahakamah
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
49

Federal AS yang memblokir keputusan tersebut. Kemudian kebijakan


proteksionismenya yang memicu perang dagang antara AS dan China
hingga pengakuan politiknya yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota
Israel. Dan di penghujung 2020, Trump menjadi aktor utama di balik
normalisasi hubungan beberapa negara Arab dengan Israel. Hal ini
kembali menimbulkan kecaman dari dunia internasional.

Proteksionisme Trump dan Masa Depan Supremasi Politik AS


Donald Trump akan selalu dikenang Presiden Amerika Serikat (AS)
yang cara berpikirnya keluar dari mainstream cara berpikir pemimpin AS
pada umumnya. Itulah yang membuatnya sebagai presiden yang menang
dengan isu populisme tetapi tidak mempunyai legitimasi politik yang kuat,
baik itu di tataran domestik maupun dunia internasional.
Ini juga yang berada di luar mainstream atau garis politik AS sebagai
negara superpower di dunia. Rusia, yang dulu dikenal Uni Soviet, adalah
negara pewaris ideologi sosialisme yang merupakan lawan dari ideologi
kapitalisme global yang dipimpin oleh Amerika Serikat hingga berakhirnya
Perang Dingin. Meskipun sosialisme Uni Soviet runtuh pada awal tahun
1990an yang dilihat oleh Francis Fukuyama sebagai akhir dari sejarah
perang ideologi global (The End of History and the last Man). Fukuyama
berpandangan bahwa setelah runtuhnya Uni Soviet maka tidak ada lagi
ideologi yang mampu menyaingi ideologi kapitalisme global yang dipimpin
oleh AS. Boleh jadi Fukuyama tidak melihat Rusia akan kembali bangkit
dan menjadi bayang-bayang dari supremasi politik Amerika.
Tesis dari Fukuyama nampaknya tidak terlalu tepat karena Rusia,
terutama di bawah kendali Putin, kembali menjelma sebagai negara
kuat yang siap menggantikan supremasi politik yang dikendalikan oleh
Amerika. Dalam beberapa kasus dan isu, Rusia berani mengambil sikap
50 Ahmad Sahide

politik yang berseberangan dengan AS. Hal itu bisa kita lihat dalam perang
yang masih berlangsung di Suriah sejak bergejolaknya The Arab Spring 2011
lalu hingga saat ini. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa Rusia sebagai
pemimpin negara sosialis masih dilihat sebagai representasi lawan ideologis
kapitalisme yang dipimpin AS. Dan langkah politik yang diambil oleh Putin
menunjukkan bahwa Rusia sedang memamerkan kepercayaan dirinya di
kancah politik global sebagai salah satu negara superpower. Putin sejak tampil
ke puncak kepemimpinan di Rusia sangat fokus dalam mengonsolidasikan
politik Rusia untuk merebut kembali kekuatan politiknya yang hilang
(Leichtova, 2014).
Tetapi Trump justru menikmati kerja sama dengan Putin. Dalam
wawancara dengan CNN, Trump mengatakan “Putin dan Obama tidak
saling menyukai sehingga sulit bernegosiasi, namun saya mungkin akan
sangat cocok dengannya. Dan saya rasa tidak akan ada masalah seperti
yang ada sekarang” (Sahrasad, 2017: 8). Pada hari terpilihnya sebagai
Presiden AS, Trump menunjukkan sikap respeknya kepada pemimpin
Rusia, Putin (McNamara, 2017: 5).
Inilah langkah politik Trump yang di luar mainstream politik Presiden
Amerika pada umumnya. Di samping itu, politik proteksionisme yang
diusung oleh Trump juga berada di luar garis politik yang umumnya
diambil oleh pemimpin yang mendiami White House (Gedung Putih),
penganut paham liberalisme ekonomi yang membiarkan pasar berjalan
mengikuti mekanismenya sendiri. Trump kelihatannya tidak menganut
paham tersebut.

C. Peraturan Proteksionisme
Kemenangan Trump pada pilpres 2016 adalah bukti kebangkitan
populisme dengan semboyan ‘America First’ untuk melawan para elite
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
51

dan kemapanan di negeri itu (Sahrasad, 2017: 3). Sejak awal Trump
menunjukkan arah kebijakannya ke inward-looking yang diisyaratkan
dengan keinginannya untuk meninjau semua perjanjian perdagangan,
kesepakatan Trans-Pacific Patnership (TPP), menarik modal AS di luar negeri
dan mengenakan penalti perusahaan AS yang memberi pekerjaan kepada
bangsa lain. Ini tentu menjadi berita kurang baik sekaligus mencemaskan
bagi ekonomi dunia, terutama di tengah melambatnya pertumbuhan
perdagangan global yang diperkirakan pada saat itu (2016) hanya sekitar
1,7% (Sahrasad, 2017: 4).
Kebijakan inward-looking terbukti ketika Trump akhirnya mengesahkan
peraturan soal pengenaan bea masuk (ke AS) pada hari Kamis waktu
setempat, 08 Maret 2018. Dengan peraturan tersebut, tarif bea masuk 25
persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium (Kompas, 10/03/2018).
Tentu saja, politik proteksionisme Trump ini bertentangan dengan paham
liberalisme ekonomi yang selama ini dianut oleh Amerika dan sekutunya.
Amerika Serikatlah bersama dengan Inggris dan 22 negara lainnya
yang memprakarsai lahirnya ‘sistem Bretton Woods’ pada Agustus 1944
yang melahirkan tiga lembaga dengan corak ekonomi liberal. Tiga lembaga
itu adalah International Monetary Fund (IMF),) International Bank for Reconstruction
and Developmen (IBRD yang kemudian dikenal dengan World Bank (Bank
Dunia), dan World Trade Organization/WTO (Heywood, 2017: 831-833).
Sistem Bretton Woods inilah yang selama ini menjadi rezim ekonomi
politik global di mana Amerika adalah negara paling dominan di dalamnya.
Amerika selama sekian abad menikmati kemakmuran dan mampu meraih
supremasi politik globalnya karena dilayani oleh sistem tersebut, salah satu
dari kritik Joseph Stiglitz.
Keyakinan dari paham ekonomi liberal adalah bahwa ekonomi
akan berjalan dengan baik ketika dibiarkan bebas oleh pemerintah.
52 Ahmad Sahide

Hal ini diyakini berlaku pada level internasional maupun nasional.


Paham ekonomi liberal tidak melihat pasar sebagai subordinate atau alat
dari negara (Heywood: 834). Selama sekian dekade lamanya Amerika
mendoktrinkan paham ini kepada negara-negara dunia ketiga untuk
diterapkan. Amerika tentu saja mendapatkan banyak keuntungan finansial
dari diterapkannya paham tersebut sebagaimana dikatakan oleh Stiglitz
bahwa IMF sebenarnya merespons ‘kepentingan-kepentingan’ dan ideologi
masyarakat finansial barat (Heywood: 842).
Tidak heran nominasi sepuluh orang-orang terkaya di dunia selalu
didominasi oleh warga negara Amerika Serikat karena IMF hadir untuk
melayani kepentingan finansialnya. Namun kini dengan kebangkitan
China, Trump mulai meragukan sistem tersebut. Trump melihat bahwa
liberalisme ekonomi mengancam pasar domestik di AS sehingga ia harus
mengambil langkah yang bercorak Keynesian (negara mengintervensi
pasar). Trump melihat bahwa liberalisme ekonomi yang selama ini dianut
oleh AS dan sekutunya banyak merugikan AS karena memungkinkan
baja dan aluminium produksi AS tidak mampu terserap di pasar domestik
dengan masuknya baja dan aluminium produsi dari negara lain. Pada
sisi yang lain, ini juga menjadi indikasi ketidakmampuan pasar domestik
AS dalam bersaing dengan pasar dari luar di mana liberalisme ekonomi
menuntut daya saing yang tinggi. Maka perlu bagi Trump untuk melindungi
pasar domestiknya sehingga keluarlah peraturan bea masuk tersebut.
Pemerintahan Trump ingin paling sedikit 80 persen baja dan aluminium
produksi AS terserap di pasar dalam negeri (Kompas, 10/03/2018).
Peraturan yang dikeluarkan Trump tersebut menuai kecaman dan
respons negatif dari berbagai negara, termasuk dari sekutunya Uni Eropa.
Uni Eropa bersiap untuk menggugat AS ke WTO karena hal ini dianggap
bertentangan dengan aturan dalam WTO di mana AS sendiri yang menjadi
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
53

salah satu prakarsa dari lahirnya perjanjian Breeton Woods (lahirnya IMF,
WB, dan WTO). Jika AS tidak memedulikan respons dari negara-negara
Uni Eropa, maka kebijakannya tersebut akan dibalas dengan Uni Eropa
sehingga yang terjadi adalah perang dagang global dan ini tentu sangat
berbahaya dalam ekonomi politik global (Kompas, 10/03/2018).

D. Supremasi Politik AS
Proteksionisme yang diambil oleh Trump tersebut membuat para
sekutunya gerah dan tidak nyaman. Hal ini tentu saja menjadi ancaman
bagi AS dalam memertahankan supremasi politiknya. Sudah sejak lama
Kanselir German, Angela Merkel, mengutarakan bahwa UE harus berlajar
untuk tidak tergantung dengan AS. Pernyataan Merkel tersebut ketika
merespons pernyataan Trump bahwa AS terlalu banyak menghabiskan
uang untuk menjaga keamanan negara-negara sekutu, termasuk UE.
Oleh karena itu, AS di bawah Trump berpikiran bahwa UE harus mampu
menjaga dan membiayai keamanannya sendiri tanpa harus tergantung
dengan Amerika.
Kini, Trump kembali mengusik sekutunya, Uni Eropa, dengan
peraturan bea masuk untuk produk baja dan aluminium yang direspons
dengan negative oleh UE. Oleh karena itu, langkah politik yang diambil
oleh Trump tersebut menguntungkan pasar domestik AS tetapi itu akan
menjadi ancaman untuk memertahankan supremasi politiknya dalam
kancah politik global. Apakah Trump akan menjadi awal dari berakhirnya
supremasi politik AS di dunia internasional? Waktu yang akan menjawab.
Yang pasti, beberapa negara sekutu AS mulai gerah dengan Trump dan
memaksanya berpikir untuk tidak tergantung dengan AS. Jika hal itu
terjadi, maka perlahan-lahan supremasi politik AS akan berakhir. China
dan Rusia telah bangkit dan bersiap untuk merebut ‘mahkota’ tersebut
54 Ahmad Sahide

yang selama ini berada dalam genggaman AS.


Bahkan China berani mengambil sikap secara terang-terangan dalam
merespons kebijakan proteksionisme Trump. Sehingga perang dagang
yang terjadi akibat dari proteksionisme Trump akan memperhadapkan
antara dua negara super power di dunia, Amerika versus China. Inilah
yang menjadi kekhawatiran global jika perang dagang kedua negara ini
tidak dapat diselesaikan. Dampaknya adalah pada perekonomian global.

E. Kesimpulan
Trump adalah Presiden Amerika yang terpilih melalui proses yang
demokratis. Oleh karena itu, sekalipun sosoknya kontroversial, rakyat AS
dan dunia harus menerima dia sebagai Presiden AS yang sah sekalipun
dengan berbagai resiko dan konsekuensi yang harus diterima. Namun
demikian, hadirnya Donald Trump sebagai aktor penting dan utama
dalam panggung politik global setidaknya menyebabkan dua hal. Pertama,
Trump merusak dan memeruncing kembali hubungan AS dengan dunia
Islam yang sebelumnya dibangun oleh Obama. Kebijakan-kebijakan dan
pernyataan politik Trump kerak kali membuat dunia Islam merasa tidak
nyaman, termasuk dengan kebijakan Muslim Ban dan mengakui Jerusalem
sebagai ibu kota Israel.
Kedua, sosok kontroversial dan di luar mainstream gaya kepemimpinan
AS pada umumnya membuat para sekutu AS gerah dengan Trump
sehingga ada wacana untuk mengurangi tingkat ketergantungan dengan
AS termasuk dengan hubungan baiknya dengan Vladimir Putin serta
kebijakan proteksionismenya. Hal ini tentu menjadi ancaman bagi
supremasi politik AS dalam kancah politik global. Pada sisi yang lain, China
dan Rusia sedang bangkit dan siap untuk menggantikan posisi Amerika.
Oleh karena itu, rakyat AS harus membayar mahal hasil pilihannya dalam
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
55

daur ulang demokrasi 2016 silam. Di satu sisi, Trump memang populer
tetapi tidak mempunyai legitimasi politik yang kuat, baik di dalam negeri
maupun di dunia internasional.

Daftar Pustaka

Beaumont, P. (2016). Moving US embassy to Jerusalem could provoke


violent “chaos”, experts warn. The Guardian. https://www.
theguardian.com/us-news/2016/dec/21/us-israel-embassy-
jerusalem-peace-process
Eroukhmanoff, C. (2018). ‘It’s not a Muslim ban!’ Indirect speech acts and the
securitisation of Islam in the United States post-9/11. Global Discourse, 8(1),
5–25. https://doi.org/10.1080/23269995.2018.1439873.
Fukuyama, Francis. 2001. Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal.
Yogyakarta: Qalam.
Heywood, Andrew. 2017. Politik Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Klassen, T. (2021, January 21). Biden presidency marks a return to
normalcy after chaotic Trump years. The Conversation. http://
theconversation.com/biden-presidency-marks-a-return-to-normalcy-
after-chaotic-trump-years-153441.
Leichtova, M. 2014. Misunderstanding Russia: Russian Foreign Policy and the
West. Farnham, MD: Ashgate.
McCarthy, Thomas. 2006. Teori Kritis Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kreasi
Wacana.
McNamara, Eoin Michael. 2017. Between Trump’s America and Putin’s Russia:
Nordic-Baltic Security Relations amid Transatlantic Drift. Source: Irish Studies
in International Affairs,(2017), pp. 1-26. Published by: Royal Irish
Academy.
Muhammad, Ali, Mutia Hariati H., Ahmad Sahide. 2019. Kebangkitan
Kembali Great Power (Politik Luar Negeri Rusia Era Presiden Vladimir
56 Ahmad Sahide

Putin). Magister Ilmu Hubungan Internasional UMY.


The New York Times. (2017). Full Video and Transcript: Trump’s Speech
Recognizing Jerusalem as the Capital of Israel. The New York Times.
https://www.nytimes.com/2017/12/06/world/middleeast/trump-
israel-speech-transcript.html
Rizvi, F., Peters, M. A., Zembylas, M., Tukdeo, S., Mason, M., de Souza,
L. M. T. M., Chengbing, W., Soudien, C., Lingard, B., Tarc, P., Tarc,
A., Hughes, C., Bamberger, A., Zipin, L., & Rud, A. G. (2020). The
long read: On the global relevance of the US elections. Educational
Philosophy and Theory, 1–20. https://doi.org/10.1080/00131857.
2020.1824784
Sahide, Ahmad. 2018. Donald Trump; Islamic World and Globally Political Order
of Indonesian Perspective. Istanbul: Academicsiera.
Sahrasad, Herdi dan Al Chaidar. 2015. Islam, Fundamentalists & Democracy:
A Perspective from Indonesia. Jurnal Ushuluddin, Vol. 2. No. 4. 2015.
Wolff, Michael. 2018. Fire and Fury Inside the Trump White House. United
State: Little, Brown.
Kompas, Edisi 15 Oktober 2016.
Kompas, Edisi 27 Desember 2016.
Kompas, Edisi 21 Januari 2017.
Kompas, Edisi 5 Februari 2017.
Kompas, Edisi 9 Desember 2017.
Kompas, Edisi 10 Maret 2018.
Kompas.com. Tingkat Kepuasan Publik AS ke Trump Terendah dalam
Sejarah. Edisi 17 Januari 2018. https://internasional.kompas.com/
read/2018/01/17/18242671/tingkat-kepuasan-publik-as-ke-trump-
terendah-dalam-sejarah.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
57

Indikator Kemerosotan
Supremasi Politik Global
Amerika

P
erang Dunia II (PD II) berakhir dengan kemenangan di pihak
sekutu yang dipimpin oleh Amerika Serikat (AS). Ini pulalah
yang menjadi awal dari munculnya AS sebagai pemimpin
politik global dalam berbagai aspek; politik, ekonomi, pendidikan, dan
budaya. Dari aspek politik, PD II berakhir dengan terbentuknya struktur
politik internasional, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang mana
terdiri dari lima negara yang memiliki hak veto atau menjadi anggota
tetap Dewan Keamanan (DK) PBB. Kelima negara itu adalah Amerika
Serikat, Inggris, Perancis, Rusia, dan China. Dari kelima negara anggota
tetap DK PBB itu, Amerika adalah negara paling kuat dan berpengaruh.
Ditambah lagi markas PBB ada di Washington DC, Amerika Serikat.
Sementara itu, dari aspek ekonominya dapat kita lihat dengan
munculnya Amerika sebagai pemimpin dari negara-negara yang menganut
paham ekonomi liberal di bawah naungan ideologi kapitalisme global
yang dianut oleh sebagian besar negara di dunia ini. Pada Agustus 1944,
Amerika, Inggris, dan 22 negara lainnya bertemu dalam Konferensi
Moneter dan Finansial PBB di kota kecil Bretton Woods untuk merumuskan
arsitektur kelembagaan bagi sistem finansial dan moneter internasional
58 Ahmad Sahide

pasca-perang. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah ‘sistem Bretton


Woods’ dengan tiga lembaga ekonomi internasional yang dihasilkannya,
yaitu International Monetary Fund (IMF), World Bank (WB), dan International
Bank for Reconstruction and Development (IBRD) yang kemudian berganti nama
menjadi World Trade Organization (WTO) (Andrew Heywood, 2017). Inilah
yang menjadi rezim ekonomi global kontemporer di mana AS sebagai
pemimpinnya. Di samping itu, Amerika adalah negara dengan kekuatan
ekonomi nomor satu di dunia dengan menguasai perekonomian global
sekitar 20,4 trilliun dolar AS, di bawahnya ada China dengan penguasaan
kurang lebih 14 trilliun dolar AS, di urutan ketiga ada Jepang dengan 5,1
trilliun dolar AS (The world’s biggest economies in 2018, n.d.).
Dari aspek pendidikan, data pada tahun 2019 menunjukkan bahwa tiga
kampus terbaik di dunia berada di Amerika Serikat, yaitu Massachusetts
Institute of Technology (MIT), Stanford University, dan Harvard University
(QS World University Rankings 2019, 2019). Oleh karena AS memimpin secara
politik, ekonomi, dan pendidikan, maka sudah pasti aspek kebudayaan
juga akan didominasi oleh AS. Tidak heran jika globalisasi hari ini banyak
dimaknai sebagai ‘Amerikanisasi’. Ini menunjukkan kuatnya dominasi
Amerika dalam aspek kebudayaan. Maka, kita tidak dapat mengelak
jika Amerika adalah negara yang memimpin peradaban dunia saat ini
sekaligus pemegang dari supremasi politik global. Karena dalam segala
aspek, Amerika memimpin dan unggul. Tidak lama setelah PD II berakhir,
kembali terjadi Perang Dingin yang melibatkan Amerika Serikat sebagai
pemimpin dari Blok Barat yang kapitalis versus Uni Soviet yang sosialis.
Namun demikian, Uni Soviet luluh lantak pada awal tahun 1990-an
sehingga berakhirlah Perang Dingin dengan kemenangan di pihak Barat
yang dipimpin oleh Amerika.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
59

Francis Fukuyama kemudian menulis buku dengan judul The End


of History and the Last Man (Francis Fukuyama, 1992). Yang hendak
disampaikan oleh Obama dalam bukunya ini adalah bahwa runtuhnya Uni
Soviet, yang kini tersisa Rusia, menandakan bahwa pertarungan ideologi
global telah berakhir dan tidak akan ada lagi ideologi global yang mampu
menyaingi ideologi kapitalisme global yang dipimpin oleh Amerika.
Amerika kembali tidak memiliki penantang dalam menghegemoni dunia
dan semakin leluasa memaksakan kehendaknya ke berbagai negara.
Sehingga abad ke-20 sering digambarkan sebagai ‘Abad Amerika’ atau
‘Imperium Amerika’ (Andrew Heywood, 2017). Amerika sangat mudah
menggulingkan pemimpin-pemimpin di berbagai negara di dunia yang
tidak pro-Amerika. Indonesia adalah contohnya, jatuhnya Soekarno dan
naiknya Soeharto pada revolusi 1965/6 tidak terlepas dari keterlibatan
Amerika Serikat melalui Central Inteligence of America (CIA)

A. Abad ke-21 dan Kemerosotan Supremasi Amerika


Dalam buku yang ditulis oleh Noam Chomsky dengan judul Who Rules
the World sudah mengulas mengenai kemerosotan pengaruh Amerika
Serikat di kancah dunia. Amerika memang masih menjadi negara yang
terkuat di dunia, tetapi dominasinya sudah mulai tergerus dan dalam
banyak kasus Amerika tidak lagi mampu memaksakan kehendaknya
kepada banyak negara di dunia. Bahkah sudah muncul beberapa negara
yang berani menunjukkan ketidakpatuhannya terhadap Amerika. Pada
2011, jurnal kelembagaan yang paling bergengsi, Foreign Affairs terbit
dengan judul cover: “Is America Over?” (Noam Chomsky, 2016).
Pada 2014, Amitav Acharya, seorang professor hubungan internasional
dari American University, menulis buku dengan nada yang sama, terkait
dengan kemunduran supremasi politik global Amerika. Buku yang
60 Ahmad Sahide

ditulis oleh Acharya berjudul The End of American World Order. Beberapa
indikator yang dilihat oleh Acharya untuk sampai pada kesimpulan
akan berakhirnya supremasi politik global Amerika di antaranya adalah
munculnya kekuatan-kekuatan baru dan juga keraguan akan hegemoni
liberalisme global (Acharya, 2018). Kita tahu bahwa kapitalisme yang
menjadi ideologi dominan sejak berakhirnya Perang Dunia II tidak luput
dari krisis yang menguncangkan negara-negara di dunia, dimulai dari
krisis ekonomi Meksiko pada 1994-5, krisis finansial di Asia pada 1997-8,
krisis ekonomi Argentina pada 1999-2002, krisis Dot-com pada 2000, krisis
perbankan Uruguay pada 2002, krisis finansial global pada 2007-9, dan
krisis eurozone 2010-13 (Andrew Heywood, 2017). Peristiwa-peristiwa
inilah yang menghadirkan suatu pertanyaan akan legitimasi dari sistem
kapitalisme dan liberalisme global.
Andrew Heywood dalam bukunya yang berjudul Politik Global juga
sudah menuliskan terkait dengan gambaran masa depan politik global
di mana salah satu yang diprediksi oleh Heywood adalah bergesernya
kekuasaan hegemonik Amerika ke China. Abad ke-20 adalah ‘abad
Amerika’, sementara abad ke-21 akan menjadi ‘abad China’. China,
tulis Heywood, akan menjadi kekuatan hegemon global jenis baru dan
Amerika harus merelakan perpindahan hegemoni tersebut dan juga ini
akan membebaskan Amerika dan beban kepemimpinan global (Andrew
Heywood, 2017)
Di Indonesia, Prof. Dr. Bambang Cipto, M.A., guru besar ilmu
hubungan internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
menulis buku yang juga menarik kita baca dalam kaitan ini, yaitu Strategi
China Merebut Status Super Power (Bambang Cipto, 2018b). Jika Amitav
Acharya dalam bukunya di atas menyinggung China sebagai salah satu
kekuatan baru, maka Prof. Dr. Bambang Cipto meneruskannya dengan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
61

menulis buku terkait dengan kebijakan-kebijakan politik yang diambil oleh


pemerintah China untuk menjadi negara super power, menggeser supremasi
Amerika di kancah politik global.
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa kemunduran supremasi
politik global Amerika sudah menjadi wacana global dari para ilmuwan
politik, mulai dari Amerika, Eropa, Asia, dan secara khusus di Indonesia.

B. Indikator Kemerosotan Amerika


Sejarah membuktikan bahwa tidak ada suatu negara atau bangsa di
dunia yang akan memimpin peradaban dunia sepanjang masa. China
pernah berada pada puncak peradaban dunia, dunia Islam juga sama,
kemudian Eropa, dan hari ini Amerika berada pada puncak peradaban
dunia dan memegang kendali politik global. Namun demikian, hukum
alam akan berlaku. Amerika tidak akan selamanya berada pada puncak
peradaban itu. Noam Chomsky sudah menuliskan bahwa tanda-tanda
kemerosotan Amerika sudah mulai terlihat pada tahun 1970-an karena
dunia industri merekonstruksi diri sendiri dan dekolonisasi terus menempuh
jalan yang pedih. Pada tahun 1970 kepemilikian AS dalam kekayaan turun
hingga 25%. Dunia industri menjadi tripolar dengan pusat utama berada
di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia (Noam Chomsky, 2016).
Setelah memasuki abad ke-21, tanda-tanda kemerosotan itu semakin
tampak terlihat. pada bagian ini akan mengulas indikator-indikator
kemunduran supremasi politik global Amerika, yaitu; kebangkitan China
dan rezim ekonomi tandingan yang digagasnya bersama dengan negara-
negara new emerging foreces seperti Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan,
yang secara luas dikenal dengan BRICS. Indikator berikutnya adalah
kebangkitan great power Rusia yang menantang serta mengganggu hegemoni
Amerika, baik itu di DK PBB maupun dalam beberapa kasus dan isu.
62 Ahmad Sahide

Indikator berikutnya adalah adanya wacana dari negara-negara Uni Eropa


untuk tidak tergantung dengan Amerika (lagi). Indikator terakhir adalah
terjadinya Perang Dagang antara Amerika versus China sejak 2018 dan
masih berlangsung sampai saat ini.

Kebangkitan China dan BRICS


China adalah negara dengan populasi penduduk terbesar di dunia,
kurang lebih 1,4 miliar sehingga China menjadi salah satu negara yang
punya potensi besar menjadi negara super power di dunia. Dan dalam dua
puluh tahun terakhir, ekonomi China tumbuh sangat pesat melampaui
negara-negara di dunia, termasuk Amerika. Bahkan pada tahun
2007, ekonomi China tumbuh 14,2%. Di bawah China, negara yang
menunjukkan pertumbuhan ekonomi pesat adalah India. Pada tahun
yang sama (2007), ekonomi India tumbuh 9,8%, meskipun anjlok ke angka
3,9% pada tahun 2008, tetapi dua tahun kemudian mampu bangkit dan
mengalahkan China pada tahun 2010. Pada tahun itu, ekonomi China
tumbuh 10,4% dan India tumbuh menjadi 10,6%. Namun demikian,
selanjutnya China menjadi negara yang paling besar pertumbuhan
ekonominya di dunia (Paul, 2016)I discuss the antecedents, characteristics,
and consequence of China’s rise in the world economy with reference to
the “four W” framework (What, When, Where, and Why. Tidak heran
jika kemudian kehadiran China di kancah politik global menjadi salah satu
negara yang mengancam supremasi politik global Amerika.
Pertumbuhan pesat ekonomi China dan India ini membuatnya
mengambil inisiatif untuk membangun ekonomi tandingan dan mengajak
beberapa negara ‘penantang’ hegemoni Amerika untuk bergabung di
dalamnya. Negara-negara tersebut adalah Brazil, Rusia, China, dan
India, belakangan South Africa (Afrika Selatan) bergabung sehingga
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
63

disingkat dengan BRICS. Istilah ini dipopulerkan oleh Goldman Sachs


pada 2001 yang menyoroti meningkatnya pengaruh dari empat kekuatan
ekonomi baru di dunia yang waktu itu diprediksi akan melampaui
kekuatan ekonomi negara-negara yang bergabung dalam Group Seven (G-
7). Salah satu tujuan utama dari BRICS adalah untuk mengurangi tingkat
ketergantungan negara-negara dunia ketiga terhadap Amerika dan juga
untuk mengimbangi dominasi Amerika dengan rezim ekonomi politik yang
dibangunnya di bawah Sistem Bretton Woods (Andrew Heywood, 2017).
Pada 2015 China secara resmi mengumumkan rencana aksi One Belt
One Road (OBOR). Proyek ekonomi prestisius ini didukung kekuatan
dana tidak kurang dari 40 miliar dolar Amerika sehingga menarik minat
lebih dari 60 negara di dunia. Bahkan beberapa negara Uni Eropa ikut
bergabung, seperti Italia. Di samping itu, China melakukan investasi
di luar negeri sebagai bentuk partisipasinya pada perekonomian global
tetapi ini juga sekaligus sebagai bagian dari strategi untuk menguasai
perekonomian global (Bambang Cipto, 2018b; Ahmad Sahide, 2019a).
Dengan bergabungnya lebih dari 60 negara di dunia dalam proyek besar
ini, maka dapat dipastikan bahwa ke depan, negara-negara tersebut akan
lebih patuh terhadap China daripada Amerika. Di samping itu, Amerika
memang masih menjadi kekuatan ekonomi nomor satu di dunia, tetapi
diprediksi bahwa pada 2030 China akan menggeser posisi Amerika sebagai
negara dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia (Bambang Cipto,
2018b).

Kebangkitan Great Power Rusia


Uni Soviet adalah salah satu kekuatan politik global yang mampu
melawan hegemoni politik dan Amerika pasca-Perang Dunia II sehingga
perebutan pengaruh dari Uni Soviet dan Amerika menyebabkan terjadinya
64 Ahmad Sahide

Perang Dingin yang berlangsung hingga awal tahun 1990-an. Namun


demikian, Amerika mampu mengakhiri perlawanan Uni Soviet sehingga
negara ini terpecah ke banyak negara. Rusia adalah pewaris resmi dari Uni
Soviet pasca keruntuhannya, maka hubungan atau politik luar negeri Rusia
terhadap Amerika tidak bisa terlepas dari sejarah persaingan perebutan
pengaruh dari keduanya yang berlangsung pada era Perang Dingin.
Rusia tetap saja menyimpan dendam sejarah terhadap Amerika yang
mengalahkannya pada akhir dari era Perang Dingin (Ali Muhammad,
Mutia Hariati H., Ahmad Sahide, 2019).
Sejarah perebutan pengaruh pada era Perang Dingin dan juga
kekalahan Uni Soviet membuat Rusia kini menempatkan Amerika sebagai
‘musuh ideologis’. Pandangan ini tidak hanya terjadi pada level elite, tetapi
juga pada tataran masyarakat bawah. Secara umum, masyarakat Rusia
melihat Amerika sebagai negara kuat yang arogan dan mengabaikan
kepentingan-kepentingan nasional Rusia. Oleh karena itu, hubungan
diplomatik Rusia-Amerika tetap menjadi penting sekaligus sebagai strategi
politik Moskow dalam menunjukkan kepada dunia akan kekuatan dan
pengaruh politiknya di kancah politik global. Rusia, dalam hubungan
bilateralnya dengan Amerika, tidak mau menempatkan dirinya sebagai
pengikut dan Amerika sebagai pemimpin. Inilah misi tersembunyi Rusia
di bawah kepemimpinan Boris Yeltsin. Pada era kepemimpinan Vladimir
Putin, sejak 2000, politik luar negeri Rusia, dalam menghadapi hegemoni
Amerika, adalah membangkitkan kembali kekuatan politik global Rusia
yang hilang sejak runtuhnya Uni Soviet untuk mengimbangi dominasi
Amerika (Jeffrey Mankoff, 2009).
Di bawah rezim Vladimir Putin, langkah politik yang diambil oleh
Rusia semakin menunjukkan dan memamerkan kepercayaan dirinya
di kancah politik global sebagai salah satu negara super power. Hal ini
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
65

dapat kita lihat dalam kasus Edward Snowden, mantan anggota Central
Intelligence Agency (CIA) Amerika dan dalam kasus konflik Suriah yang masih
berlangsung hingga hari ini (Ali Muhammad, Mutia Hariati H., Ahmad
Sahide, 2019).
Edward Snowden, pria kelahiran 21 Juni 1983, membocorkan
dokumen dan rahasia penting Amerika Serikat pada 6 Juni 2013. Snowden
terbang ke Hong Kong untuk melakukan wawancara terhadap media
massa The Washington Post dan The Guardian melalui wartawan Glenn
Greenwald dan Laura Poitras pada 6 Juni 2013. Melalui wawancara ini
Snowden membocorkan rahasia bagaimana Amerika melakukan spionase
terhadap negara lain, bahkan negara sekutu, dan juga terhadap rakyat
Amerika Serikat sendiri (Kim, 2018). Keberanian Snowden membocorkan
rahasia penting AS ini membuatnya sebagai buronan Amerika. Setelah
dinyatakan sebagai buronan, Snowden kemudian mencari suaka politik ke
beberapa negara, seperti Perancis, Jerman, Irlandia, Ekuador, Tiongkok,
Kuba, Brazil, India, Norwegia, Polandia, serta Rusia (Ibrahim & Iskandar,
2017)
Negara-negara yang dimintai suaka politik oleh Snowden tersebut
tidak berani mengabulkannya karena ‘takut’ dengan Amerika. Hanya
Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang berani mengambil langkah berbeda.
Putin memberikan suaka politik kepada Snowden. Presiden Amerika
Serikat Barrack Obama meminta kepada pihak Rusia untuk melakukan
ekstradisi Snowden kembali ke Amerika Serikat. Namun, permintaan
Obama ini tidak dikabulkan oleh Putin dengan alasan kemanusiaan. Putin
beralasan bahwa Snowden tidak memiliki dokumen dan passport untuk
meninggalkan Rusia (Ibrahim & Iskandar, 2017)
Inilah salah satu pertunjukan politik oleh Putin kepada dunia yang
tidak gentar dengan Amerika menunjukkan kepercayaan dirinya sebagai
66 Ahmad Sahide

salah satu negara super power. Amerika memang masih menjadi negara
dengan kekuatan militer nomor satu di dunia dan Rusia berada pada
urutan kedua, namun itu tidak lagi membuat Rusia patuh dan tunduk
terhadap Amerika. Pertunjukan politik Putin ini juga membuktikan tesis
dari Chomsky yang disinggung di atas bahwa Amerika semakin tidak bisa
memaksakan kehendaknya ke banyak negara di dunia. Telah muncul
beberapa negara yang berani berseberangan dengan Amerika. Ini menjadi
bukti bahwa supremasi politik global Amerika semakin tergerus.
Pertunjukan politik Putin berlanjut ketika berani mengintervensi
daur ulang demokrasi di negeri Paman Sam tersebut pada 2016 silam.
Kemenangan Donald Trump pada 8 November 2016 mengejutkan dunia
internasional. Trump yang tidak diunggulkan oleh lembaga survei kredibel,
seperti Reuters/Ipsos, mampu mengalahkan Hillary Clinton, kandidat
dari Partai Demokrat, yang dari berbagai jajak pendapat sebelum hari H
pemungutan suara selalu unggul dari Trump. Bahkan satu hari sebelum
pemilihan berlangsung, Reuters/Ipsos dalam surveinya menyebutkan
bahwa Hillary unggul 5 persen dari Trump, atau 44 persen berbanding 39
persen (Ahmad Sahide, 2017). Namun demikian, hasil suara rakyat pada
saat hari pemungutan suara berbanding terbalik dengan prediksi beberapa
lembaga survei kredibel yang dibangun di atas fondasi metodologi ilmiah
yang selama bertahun-tahun dapat dipertanggungjawabkan validitas dan
hasilnya.
Belakangan, terkuak ke media sosial mengenai salah satu rahasia penting
di balik kemenangan Trump, tokoh kontroversial itu. Ternyata ada peran
Rusia, terutama Presiden Vladimir Putin, yang membantu Trump dalam
mengalahkan kandidat yang diunggulkan dunia internasional. Putin
membantu Trump dalam menjatuhkan popularitas Hillary Clinton dengan
menginstruksikan menyebarkan berita-berita yang merusak reputasi Hillary
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
67

Clinton (Ali Muhammad, Mutia Hariati H., Ahmad Sahide, 2019). Inilah
yang mewarnai perjalanan politik Trump selama menduduki White House.
Partai Demokrat dan sebagian besar rakyat Amerika sulit menerima adanya
intervensi Rusia di balik kemenangan Trump karena ini adalah ‘aib’ politik
bagi Amerika sebagai negara adidaya yang berani ‘diganggu’ oleh Putin.
Sebagai negara super power, Amerikalah yang terbiasa mengintervensi dan
menentukan hasil daur ulang demokrasi di suatu negara, tapi dalam kasus
Trump terjadi sebaliknya. Rusia yang mengintervensi dan memengaruhi
hasil daur ulang demokrasi 2016 silam. Barack Obama merespons terkuaknya
berita intervensi Putin ini dengan mengusir diplomat Rusia dari Amerika
menjelang kepemimpinannya berakhir.
Bentuk perlawanan Rusia di bawah Putin terhadap Amerika juga
terlihat dalam berbagai isu dan konflik di Timur Tengah. Hal ini dapat
kita lihat dalam kasus Iran dan Suriah. Hubungan Amerika dengan Iran
retak setelah Revolusi Islam Iran 1979. Amerika pun selalu menekan dan
memojokkan Iran di kancah politik internasional. Salah satu isu yang kerap
diangkat oleh Amerika dalam menekan Iran adalah isu nuklir Iran. Pada
akhir tahun 2006, Iran mendapatkan sanksi dari Dewan Keamanan (DK)
PBB dengan dikeluarkannya Resolusi DK PBB 1737. Kemudian pada
bulan Maret 2007 DK PBB kembali menjatuhkan sanksi terhadap Iran
dengan Resolusi DK PBB 1747. Amerika adalah negara pelopor utama
dua resolusi tersebut. Namun sanksi ini selalu diveto oleh Rusia bersama
dengan China (Ahmad Sahide, 2017). Oleh karena itu, dalam kancah
politik Timur Tengah dewasa ini, ada dua negara super power yang bersaing
dalam hal pengaruh, yaitu Amerika versus Rusia. Inilah bagian dari
kebangkitan Rusia dalam mengganggu supremasi politik global Amerika.
Dalam konflik Suriah sama, terjadi perebutan pengaruh antara Amerika
versus Rusia. Terjadinya perang yang berkepanjangan di Suriah pasca-The
68 Ahmad Sahide

Arab Spring karena dua negara super power tersebut hadir dalam perebutan
pengaruh dan ideologinya. Dalam konflik Suriah, Amerika mendukung
oposisi untuk menggulingkan rezim Bashar al-Assad, sementara Rusia
mendukung penuh rezim Bashar al-Assad dalam menghadapi gempuran
oposisi (Ahmad Sahide, 2019b). Oleh karena itu, dalam berbagai isu
kita melihat bahwa Rusia tidak lagi takut mengambil langkah berbeda
dan berseberangan dengan Amerika. Maka dari itu, Rusia berada di
samping China, salah satu negara yang mengancam supremasi politik
global Amerika saat ini. Selain itu, Rusia dan China selalu bekerja sama
dalam melawan hegemoni Amerika. Rusia fokus memperkuat dari segi
kekuatan militer, sementara China sedang membangun kekuatan dan
rezim ekonomi global.

Uni Eropa dan Amerika


Uni Eropa (UE) adalah integrasi secara ekonomi (moneter) dan politik
dari 28 negara-negara Eropa. Cikal bakal dari Uni Eropa adalah organisasi
yang bernama Masyarakat Batubara dan Baja Eropa (MBB) yang berdiri
pada 1951. Sebelum terjadinya fenomena British Exit (Brexit) 2016 lalu,
UE dikenal sebagai sebuah organisasi kerja sama regional yang paling
maju di dunia. UE, bersama dengan AS, menjadi kekuatan militer dan
ekonomi terbesar di dunia. UE dan Amerika mendominasi perdagangan
global dan memainkan peran utama dalam hubungan politik internasional
(Ali Muhammad, 2017).
Namun demikian, meskipun UE menjadi salah satu kekuatan ekonomi
dan politik global, UE tetap berada pada posisi ‘sub-ordinat’ di hadapan
AS. Dua negara dari Uni Eropa menjadi anggota tetap DK PBB, yaitu
Inggris dan Perancis, selalu menjadi koalisi politik Amerika dalam
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh DK PBB. UE menjadi ‘koalisi
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
69

permanen’ Amerika dalam melanggengkan hegemoni ekonomi dan politik


globalnya. Amerika menempatkan dirinya sebagai pelindung bagi negara-
negara Uni Eropa, sebaliknya negara-negara Uni Eropa merasa aman
dengan adanya AS. Juga negara-negara UE, dipimpin oleh AS, menganut
pandangan ekonomi liberal yang digagas oleh Adam Smith (1723-90),
bapak kapitalisme ekonomi, yang meyakini bahwa pasar, laissez-faire,
cenderung meluas secara spontan demi kepuasan kebutuhan manusia –
menegaskan bahwa pemerintah tidak boleh ikut campur. Ekonomi berjalan
paling baik jika dibiarkan bebas oleh pemerintah (Robert Jackson dan
George Sorensen, 2005).
Gejolak mulai muncul ketika Trump terpilih sebagai Presiden AS
2016 lalu. Sejak awal, Donald Trump sudah berkampanye dengan slogan
‘America First’ untuk melawan para elite dan kemapanan di negeri itu
(Herdi Sahrasad, 2017). Slogan ini menunjukkan bahwa Trump tidak
menganut paham ekonomi pasar bebas yang digagas oleh Adam Smith
yang membiarkan semua berjalan sesuai dengan mekanisme pasar.
Trump menganut pandangan ekonomi J.M. Keynes yang membenarkan
adanya intervensi negara terhadap pasar. Trump meninggalkan keyakinan
terhadap laissez-faire. Inilah yang kemudian membawa Trump pada
kebijakan proteksionismenya sehingga memicu Perang Dagang antara
Amerika versus China sejak 2018. Ini juga yang menyebabkan kebingungan
di antara negara-negara UE yang menganut pandangan ekonomi Adam
Smith dikarenakan negara pemimpin dari ‘gerbong’ ini pindah ke ‘gerbong
ekonomi’ Keynesian.
Di samping itu, Trump pernah melontarkan bahwa AS terlalu banyak
menghabiskan uang untuk menjaga keamanan negara-negara sekutu,
termasuk UE. Oleh karena itu, AS di bawah Trump berpikiran bahwa
UE harus mampu menjaga dan membiayai keamanannya sendiri tanpa
70 Ahmad Sahide

harus tergantung dengan Amerika. Inilah yang memicu Angela Merkel,


kanselir German, mengutarakan bahwa UE harus berlajar untuk tidak
tergantung dengan AS. Menurut Merkel, sudah waktunya bagi Eropa
mengurus nasibnya sendiri dan China telah menjadi rekanan yang penting
dan srategis (Bambang Cipto, 2018a). Inilah yang menjadi alarm bahwa ke
depan Amerika tidak lagi bisa memaksakan kehendaknya terhadap negara-
negara anggota Uni Eropa. Terlebih lagi, banyak negara-negara anggota
UE yang merasa kesal dengan Amerika di bawah Trump karena Trump
memberikan sinyal yang mendukung Inggris keluar dari UE atau Brexit.

Perang Dagang
Salah satu dampak secara global dengan terpilihnya Trump pada
2016 lalu adalah terjadinya Perang Dagang antara Amerika versus China
sejak 2018. Hal itu tidak terlepas dari pandangan ekonomi Trump yang
lebih ke Keynsian daripada ke Adam Smith. Sejak awal Trump sudah
berkampanye dengan slogan “America First” dan itu dibuktikan dengan
kebijakan inward-looking setelah mendiami White House.
Tepatnya 08 Maret 2018, Trump secara resmi mengesahkan peraturan
soal pengenaan bea masuk. Dengan peraturan tersebut, tarif bea masuk
25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium (“Kebijakan
Tarif Menuai Kecaman,” 2018). Inilah yang memicu terjadinya Perang
Dagang yang menyebabkan terjadinya gejolak ekonomi dan politik global.
Trump melihat bahwa liberalisme ekonomi mengancam pasar domestik
di AS sehingga ia harus mengambil langkah yang bercorak Keynesian
(negara mengintervensi pasar). Bagi Trump liberalisme ekonomi yang
selama ini dianut oleh AS dan sekutunya banyak merugikan AS karena
memungkinkan baja dan aluminium produksi AS tidak mampu terserap
di pasar domestik dengan masuknya baja dan aluminium produksi dari
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
71

negara lain. Salah satu negara yang dianggap oleh Trump merugikan AS
adalah China. “You know, I don’t mind trade wars when we’re losing $58 billion
a year, you want to know the truth. We’re losing so much. We’re losing so much with
Mexico and China, with China, we’re losing $500 billion a year,” pernyataan
Donald Trump di Breitbart News pada 25 Februari 2016 (Antoine Bouët
and & David Laborde, 2017).
Langkah proteksionisme oleh Donald Trump tersebut mendapatkan
respons negatif dan balasan dari berbagai negara, terutama China.
Pemerintah China merespons dengan memberlakukan kenaikan tarif
hingga 15 hingga 25 persen atas 128 produk asal Amerika Serikat pada
tanggal 2 April 2018 (Wayne M. Morrison, 2018). Perang dagang yang
melibatkan AS versus China ini tidak terlepas dari kebangkitan ekonomi
China sebagai salah satu negara dengan kekuatan ekonomi global yang
mampu menyaingi kekuatan ekonomi AS. Harus dicatat bahwa China
adalah bagian dari BRICS, rezim ekonomi baru penantang rezim ekonomi
global yang bercorak kapitalis yang kini dipimpin oleh Amerika Serikat.
Bahkan China, sebagaimana sudah disinggung di atas, diprediksi akan
menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia pada
tahun 2030. Dalam artian bahwa rezim ekonomi dan politik global
akan bergeser dari genggaman Amerika ke China. Perang Dagang yang
masih berlangsung hingga 2020 ini menunjukkan bahwa Amerika sedang
kewalahan dalam menghadapi gempuran China di pasar domestik. Ini
menjadi indikasi bahwa Amerika bukanlah negara yang tidak terkalahkan
dalam berbagai hal.

C. Kesimpulan
Dengan melihat beberapa indikator yang telah diuraikan di atas, mulai
dari kebangkitan China dan BRICS, munculnya Rusia sebagai negara
72 Ahmad Sahide

yang berani melawan dominasi AS, adanya wacana yang dilemparkan


oleh Angela Merkel, pemimpin dari negara dengan ekonomi paling kuat di
UE, untuk tidak lagi tergantung dengan AS, serta berlangsungnya Perang
Dagang sejak 2018 hingga saat ini (2020) maka kita dapat mengambil suatu
kesimpulan bahwa supremasi politik global Amerika sedang tergerus. Ini
menjadi bukti dari tesis Noam Chomsky bahwa Amerika semakin hari
semakin tidak punya kemampuan memaksakan kehendaknya ke berbagai
negara di dunia dengan munculnya negara-negara New Emerging Forces.
Oleh karena itu, sepertinya kita hanya tinggal menunggu waktu saja untuk
menyaksikan perpindahan kepemimpinan global dari genggaman Amerika
ke China atau Rusia. Rakyat Amerika harus menerima takdir sejarah dan
hukum alam bahwa tidak ada negara dan bangsa di dunia ini yang akan
berada pada puncak peradaban selamanya.

Daftar Pustaka

Acharya, A. (2018). The end of American world order. John Wiley & Sons.
Ahmad Sahide. (2017). Gejolak Politik Timur Tengah (Dinamika, Konflik, dan
Harapan). The Phinisi Press.
Ahmad Sahide. (2019a). Kebangkitan China di Kancah Politik Global.
Harian Kompas.
Ahmad Sahide. (2019b). The Arab Spring; Tantangan dan Harapan Demokratisasi.
Penerbit Buku Kompas.
Ali Muhammad. (2017). Supranasionalisme Uni Eropa (Institusi, Kebijakan, dan
Hubungan Internasional). Lembaga Penelitian, Publikasi, dan Pengabdian
Masyarakat (LP3M) UMY.
Ali Muhammad, Mutia Hariati H., Ahmad Sahide. (2019). Kebangkitan
Kembali Great Power (Politik Luar Negeri Rusia Era Presiden Vladimir Putin).
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
73

Magister Ilmu Hubungan Internasional UMY.


Andrew Heywood. (2017). Politik Global. Pustaka Pelajar.
Antoine Bouët and, & David Laborde. (2017). US Trade Wars with Emerging
Countries in the 21st Century Make America and Its Partners Lose Again.
International Food Policy Research Institute.
Bambang Cipto. (2018a). Politik Global Amerika; Dari Obama ke Trump. The
Phinisi Press.
Bambang Cipto. (2018b). Strategi China Merebut Status Super Power. Pustaka
Pelajar.
Francis Fukuyama. (1992). The End OfHistory and the Lst Man. The Free
Press, A Division of Macmillan, Inc.
Herdi Sahrasad. (2017). DONALD TRUMP, EROPA, ASIA
DAN ISLAM. THE JOURNAL OF ISLAMIC STUDIES AND
INTERNATIONAL RELATIONS, 2, 1–31.
Ibrahim, I., & Iskandar, I. (2017). Kepentingan Rusia Dalam Memberikan
Suaka Politik Kepada Edward Joseph Snowden. Jurnal Online Mahasiswa
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Riau, 4(2), 1–13.
Jeffrey Mankoff. (2009). Russian Foreign Policy, The Return of Great Power Politics.
ROWMAN & LITTLEFIELD PUBLISHERS, INC.
Kebijakan Tarif Menuai Kecaman. (2018, March 10). Kompas Cetak, 8.
Kim, H. (2018). The Resilient Foundation of Democracy: The Legal
Deconstruction of the Washington Posts’s Condemnation of Edward
Snowden. 93 Indiana Law Journal 533 (2018), 93(2). https://www.
repository.law.indiana.edu/ilj/vol93/iss2/8
Noam Chomsky. (2016). Who Rules the World? Bentang.
Paul, J. (2016). The Rise of China: What, When, Where, and Why? The
International Trade Journal, 30(3), 207–222. https://doi.org/10.1080/0
8853908.2016.1155513
74 Ahmad Sahide

QS World University Rankings 2019. (2017, February 1). Top Universities.


https://www.topuniversities.com/university-rankings/world-university-
rankings/2019
Robert Jackson dan George Sorensen. (2005). Pengantar Studi Hubungan
Internasional. Pustaka Pelajar.
The world’s biggest economies in 2018. (n.d.). World Economic Forum. Retrieved
January 4, 2020, from https://www.weforum.org/agenda/2018/04/
the-worlds-biggest-economies-in-2018/
Wayne M. Morrison. (2018). China-U.S. Trade Issues. Congressional Research
Service, Trade War.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
75

Rivalitas Amerika Versus China

P
olitik global Abad ke-21 ditandai dengan rivalitas dua negara
superpower, yaitu Amerika Serikat versus China. Semua berawal
dari kebangkitan ekonomi China dalam dua dekade terakhir
yang rata-rata pertumbuhannya di atas 10 persen. Pada sisi yang lain,
kekuatan ekonomi Amerika semakin tergerus dari tahun ke tahun sehingga
tidak lagi mempunyai kemampuan untuk mengontrol negara-negara
di dunia. China, sebagai salah satu negara yang mempunyai sejarah
kebesaran memulainya dengan membangun kekuatan ekonomi tandingan
bersama dengan Brazil, Rusia, India,dan Afrika Selatan yang dikenal luas
dengan singkatan BRICS. Memang BRICS hanya berisi lima negara
tetapi populasinya kurang lebih 40% dari populasi global. Oleh karena
itu, sejak awal kemunculannya, BRICS sudah dilihat sebagai salah satu
kekuatan tandingan atau kekuatan revisionis yang mencoba mengurangi
ketergantungan negara-negara di dunia terhadap Amerika dan rezim
ekonomi politik yang dibangunnya.
Amerika sebagai negara superpower yang merasa terancam supremasinya
dengan kehadiran China yang mempunyai ambisi menjadi negara superpower
sudah lama melihat China sebagai ancaman. Namun demikian, strategi
politik yang dilakukan oleh Amerika hanyalah berupaya membendung
laju perekonomian dan pengaruh China di kancah politik global. Sebagai
contoh, Amerika bekerja sama dengan aliansi politiknya, NATO,
memboikot produk-produk China seperti Huawei. Namun demikian,
76 Ahmad Sahide

semua ini tidak berhasil membendung laju pertumbuhan ekonomi China.


Puncaknya adalah ketika Amerika, di bawah Donald Trump mengambil
langkah frontal dengan kebijakan proteksionismenya yang memicu Perang
Dagang antara Amerika versus China. Maka, salah satu bentuk dari rivalitas
Amerika versus China di abad ini adalah Perang Dagang yang melibatkan
kedua negara superpower yang tentu saja berdampak secara global. Bentuk
rivalitas lainnya dapat dilihat dari konflik Laut China Selatan, kemudian
rivalitas dalam isu Corona Virus Desease 2019 (Covid-19). Yang terakhir
adalah rivalitas dalam kasus Taiwan. Tulisan ini menguraikan rivalitas
kedua negara dalam empat isu besar tersebut meskipun rivalitas kedua
negara sebenarnya tidak hanya dalam empat isu ini. Ada banyak isu yang
bisa kita lihat sebagai bagian dari rivalitas, namun demikian isu inilah yang
paling banyak, dalam pengamatan penulis, disorot secara luas.

A. Perang Dagang
Ketika Donald Trump memenangi pemilihan Presiden Negeri Paman
Sam tersebut pada 2016 silam, ekonomi Amerika sedang terpuruk.
Amerika tidak lagi menikmati sistem pasar bebas yang diprakarsai oleh
Amerika Serikat bersama Inggris dan 22 negara lainnya pada 1944, yang
kita kenal dengan istilah ‘sistem Bretton Woods’ (Heywood: 831-833).
Amerika justru kewalahan menghadapi gempuran produk-produk dari
luar, terutama dari China, dengan sistem ekonomi liberal pandangan
Adam Smith tersebut. Slogan kampanye Trump adalah ‘America First’.
Slogan ini menunjukkan bahwa Trump tidak menganut paham ekonomi
pasar bebas yang membiarkan semua berjalan sesuai dengan mekanisme
pasar. Trump menunjukkan pentingnya peran negara dalam melindungi
Amerika dari gempuran produk-produk yang datangnya dari luar. Trump
tidak menginginkan semua berjalan sesuai dengan mekanisme pasar karena
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
77

terbukti hal itu, di mata Trump, banyak merugikan Amerika (Bouët dan
Laborde, 2017: 3).
Maka, sejak awal Trump menunjukkan arah kebijakannya ke inward-
looking yang diisyaratkan dengan keinginan Trump untuk meninjau semua
perjanjian perdagangan, kesepakatan Trans-Pacific Patnership (TPP), menarik
modal AS di luar negeri dan mengenakan penalti perusahaan AS yang
memberi pekerjaan kepada bangsa lain. Ini tentu menjadi kabar buruk
dan mencemaskan bagi ekonomi dunia, terutama di tengah melambatnya
pertumbuhan perdagangan global yang diperkirakan hanya sekitar
1,7% pada tahun 2016 (Sahrasad, 2017: 4). Donald Trump akhirnya
mengesahkan peraturan soal pengenaan bea masuk (ke AS) pada hari
Kamis waktu setempat, 08 Maret 2018. Dengan peraturan tersebut, tarif
bea masuk 25 persen untuk baja dan 10 persen untuk aluminium (Kompas,
10/03/2018).
Perang Dagang pun tidak terhindarkan yang melibatkan kedua negara
adidaya tersebut karena China membalas Amerika dengan memberlakukan
kenaikan tarif 15 hingga 25 persen atas 128 produk asal Amerika Serikat
pada tanggal 2 April 2018 (Morrison, 2018: 1). Nilai produk-produk
pertanian tersebut di antaranya daging babi, anggur, dan apel, yang
mencapai angka 3 miliar dollar AS dalam setahun. kebijakan China dengan
kenaikan tarif tersebut merupakan kebijakan balasan terhadap keputusan
Washington yang terlebih dahulu menerapkan tarif atas produk baja dan
aluminium China sebelumnya (Kompas, 3/04/2018).
Genderang perang dagang yang ditabuh Trump ini, sampai pada
tingkat tertentu, merupakan strategi dari Trump untuk menghentikan
kemajuan ekonomi dan teknologi China yang berkembang dengan
demikian pesat. China, bersama dengan Rusia, dipandang Pentagon
(Amerika) sebagai dua negara yang menjadi penyebab utama kemunduran
78 Ahmad Sahide

Amerika (Cipto, 2018: 6-11). Perang dagang didefiniskan sebagai “A


category of intense international conflict where states interact, bargain, and retaliate
primarily over economic objectives directly related to the traded goods or service sectors of
their economies, and where the means used are restrictions on the free flow of goods and
services, ” (Bouët dan Laborde, 2017: 9).
Rivalitas Amerika versus China melalui Perang Dagang ini tidak
hanya berdampak bagi kedua negara, tetapi berdampak pada masyarakat
dan perekonomian global. Wakil Perdana Menteri China, Han Zheng
mengatakan, “Tidak ada yang diuntungkan dengan perang dagang. Hal
itu hanya akan membawa konsekuensi yang lebih serius dan berefek
negatif” (Kompas, 26/03/2018). Presiden Joko Widodo ketika membuka
pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia 2018 yang
berlangsung di Bali pada tanggal 8-14 Oktober 2018 mengatakan hal
yang sama yang menggambarkan kondisi perekonomian saat ini dengan
menggunakan metafora film serial Game of Thrones. Bahwa perang dagang
antara AS dan China hanya akan berujung pada kesia-siaan belaka. Perang
dagang tidak hanya menyengsarakan yang kalah, tetapi juga bagi pihak
pemenangnya (Prasetiantono, 2018).
Direktur Jenderal WTO Roberto Azevedo tidak ketinggalan dengan
menyatakan bahwa WTO tengah mengalami salah satu periode
terberatnya karena ada risiko bahwa perang dagang akan menyebabkan
turunnya pertumbuhan ekonomi global (Pujayanti, 2018: 9). Antoine
Bouët dan David Laborde mengatakan hal yang sama, “In relation to the
impact on total exports by both countries, a US-China trade war implies
trade destruction shared relatively equally between the United States and
China” (Bouët dan Laborde, 2017: 35).
Perang dagang yang melibatkan AS versus China ini tidak terlepas
dari kebangkitan ekonomi China sebagai salah satu negara dengan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
79

kekuatan ekonomi global yang mampu menyaingi kekuatan ekonomi AS.


Harus dicatat bahwa China adalah bagian dari BRICS, rezim ekonomi
baru penantang rezim ekonomi global yang bercorak kapitalis yang kini
dipimpin oleh Amerika Serikat. Lebih dari itu, China diprediksi akan
menjadi negara dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia pada tahun
2030 (Cipto, 2018). Dalam artian bahwa rezim ekonomi dan politik global
akan bergeser dari genggaman Amerika ke China. China sudah melangkah
ke arah sana dan salah satunya adalah dengan membuat tantangan rezim
ekonomi global; yaitu BRICS.

B. Konflik Laut China Selatan


Rivalitas Amerika versus China juga kita bisa saksikan dalam
konflik Laut China Selatan, konflik yang menjadi salah satu isu global
karena melibatkan banyak negara, termasuk Indonesia. Konflik ini juga
tidak terlepas dari kebangkitan ekonomi China sehingga mempunyai
kepercayaan diri untuk menuntut sembilan garis putus-putus, kawasan
yang menjadi jantung geopolitik dan geoekonomi bagi negara-negara di
Asia Tenggara (Leifer, 1996: 9). Di kawasan ini, terdapat cadangan minyak
dengan jumlah tujuh miliar barel dan diperkirakan 900 triliun kubik gas
alam (Kaplan, 2011). Di samping itu, nilai strategis lainnya dari kawasan
ini adalah karena sebagai salah satu jalur maritim yang memberikan
kontribusi terhadap peningkatan nilai transaksi global dengan nilai berkisar
$5 triliun setiap tahun (Brady, 2017). Karena letaknya yang strategis secara
ekonomi dan politik itulah, di samping terdapatnya kekayaan alam yang
melimpah, sehingga kawasan ini menjadi medan persaingan bagi banyak
negara di dunia, terutama negara-negara superpower, dalam hal ini China
dan Amerika Serikat.
80 Ahmad Sahide

Dasar dari klaim China yang menjadi sumber konflik di Laut China
Selatan (LCS) adalah dari pernyataan Perdana Menteri China, Zhou
Enlai, pada 1951, ketika sedang berlangsung proses negosiasi dengan
Jepang. Zhou Enlai pada saat itu mendeklarasikan Pulau Paracel dan
Spartly sebagai bagian dari kedaulatan China dan kembali dipertegas pada
1958 (Fravel, 2011: 2). Inilah yang menjadi sumber konflik di kawasan
Laut China Selatan sampai saat ini. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
merespons konflik ini dengan adanya deklarasi United Nations Convention
on the Law of the Sea (UNCLOS) pada 1982 yang ditujukan untuk China,
Jepang, Korea Selatan, dan semua negara anggota ASEAN yang terkait
bahwa pulau Paracel dan Spartly masuk dalam perairan internasional
(Simon, 2012: 996).
Konflik Laut China Selatan kembali memanas ketika China, pada
2009, secara resmi menyerahkan ke PBB batas terluar dari pulaunya
yang mana memasukkan sembilan garis putus-putus (nine dashed lines)
yang berbentuk ‘U’ sebagai bagian dari teritorial China. Tentu saja klaim
China atas semua wilayah ini, jika berdasarkan sejarah penemuan dan
penggunaannya, tidak konsisten dengan Konvensi Hukum Laut pada
1982 (Simon, 2012: 996). Oleh karena itu, jika kita melihat dari tahun
di mana China mulai berani mengklaim LCS yang tidak sejalan dengan
UNCLOS maka hal ini tidak terlepas dari kebangkitan China secara
ekonomi dan politik dengan ambisinya menjadi negara superpower. China
sudah merasa, terutama di ASEAN, bahwa tidak ada lagi negara yang
mampu menyaingi kekuatan ekonomi dan politiknya. Di samping itu,
sebagian besar negara-negara ASEAN saat ini mempunyai ketergantungan
secara ekonomi dengan China yang cukup tinggi.
Klaim yang bersifat sepihak dan memaksa dari China inilah yang
mengundang reaksi Amerika sehingga terjadilah rivalitas antara dua
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
81

negara superpower dalam konflik ini. Selain itu, China sudah melihat
adanya penurunan dari kekuatan kapasitas militer AS. China kemudian
menunjukkan ambisi politiknya mengendalikan Laut China Selatan
dengan membuat pulau buatan dan membangun pangkalan militer baru
di wilayah tersebut. China melihat nilai strategis wilayah Laut Cina Selatan
sebagai sarana untuk mencegah strategi pengepungan AS (Bendini 2014,
20-22).
Amerika dengan merespons ambisi China menguasai LCS dengan
memberikan dukungan terhadap negara-negara yang bersengketa dengan
China, seperti Jepang dalam konflik Pulau Senkaku (Jepang menyebutnya
demikian) dan juga Philipina. Amerika mengakui bahwa pulau yang
disengketakan tersebut adalah bagian dari kedua negara. Selain itu, ketika
Obama masih menjabat sebagai Presiden AS, Amerika berkomitmen
untuk mengerahkan 60 persen dari angkatan lautnya di Asia Pasifik pada
2020. Sementara bagi China, intervensi AS tersebut bagian dari upayanya
memertahankan kekuatan militernya (Huang dan Billo, 2015: 153-154).
Kehadiran dua negara inilah yang selalu menyebabkan adanya
ketegangan di kawasan tersebut dalam kurun waktu beberapa tahun
terakhir. Ketegangan terbaru pada awal Juli 2020 yang dipicu dengan
latihan militer China di dekat Kepulauan Paracel. Dua negara ASEAN,
Filipina dan Vietnam melontarkan kritik keras kepada Beijing. Washington
meresponsnya dengan menuduh China sedang melakukan militerisasi
di LCS. Washington juga menuduh China berusaha mengintimidasi
negara-negara tetangga Asia Tenggara. AS juga pada bulan Juni 2020
melakukan latihan militer sebanyak tiga kali di kawasan ini (Kompas,
4/07/2020). China membalas Washington dengan mengatakan bahwa
AS bertindak provokatif: memanas-manasi demi kepentingan sendiri
(Kompas, 6/07/2020). Shafiah Muhibat, Kepala Departemen Hubungan
82 Ahmad Sahide

Internasional pada Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menyebut
bahwa ketegangan Washington-Beijing di LCS telah menjadikan Asia
Tenggara sebagai halaman belakang perseteruan kedua negara (Kompas,
24 /7/2020).
Pada 24 Agustus 2020, China kembali menggelar latihan perang
di sekitar Paracel dan LCS. Ini kembali menuai protes dari Vietnam.
Selain itu, latihan perang ini direspons oleh Amerika dengan mengirimkan
pesawat pengintai tidak jauh dari latihan perang yang digelar oleh China.
Kehadiran pesawat pengintai Amerika ini juga direspons oleh China
dengan memperingatkan kemungkinan tentaranya menembak pesawat
pengintai AS tersebut yang tidak jauh dari lokasi latihan. China kembali
menegaskan bahwa ini adalah tindakan provokatif yang kembali dilakukan
oleh AS di LCS (Kompas, 27/08/2020).
Inilah bukti rivalitas kedua negara superpower di kawasan Laut China
Selatan. Rivalitas kedua negara di kawasan ini tidak terlepas dari magnet
kawasan yang tentu saja akan menguntungkan secara ekonomi dan politik
bagi negara yang berhasil menguasainya. Sebelum kebangkitan ekonomi
China, Amerika memang mempunyai peran strategis dan dominan di
kawasan ini. Namun demikian, kebangkitan China pasca-Perang Dingin
membuat kawasan ini tidak dapat terhindarkan dari rivalitas kedua negara.

C. Covid-19
Sejak akhir 2019, dunia dihebohkan oleh Coronavirus 2019 (Covid-19)
yang bermula dari kota Wuhan, China. Hanya dalam hitungan beberapa
bulan, virus ini kemudian menyebar ke seluruh dunia, Eropa, Amerika,
Afrika, dan termasuk Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, virus ini pertama
kali dikonfirmasi ada di Indonesia pada awal Maret 2020. Negara-negara
di dunia pun disibukkan untuk mengatasi penyebaran virus mematikan ini.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
83

Beberapa negara mengambil kebijakan lockdown, menutup aktivitas sosial


masyarakat, ada juga negara yang mengambil langkah social distancing,
termasuk Indonesia.
Amerika termasuk salah satu negara yang terkena dampak cukup besar
dari penyakit ini. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, meresponnya
dengan menyebut virus ini dengan istilah “China’s Virus.” Istilah yang
digunakan oleh Trump ini mengindikasikan bahwa Trump melihat China
sebagai negara yang paling bertanggung jawab dari virus yang mematikan
sendi-sendi kehidupan masyarakat tersebut.
Oleh karena itu, Ketika sebagian besar negara di dunia sedang berpikir
dan bekerja keras untuk mengurangi penyebaran virus yang bermula dari
Wuhan, China, serta para ilmuwan sedang menghabiskan waktunya di
laboratorium berupaya menemukan vaksin untuk ‘menjinakkan’ virus ini,
Trump justru membangun opini global bahwa virus ini adalah hasil dari
rekayasa manusia. Trump menaruh kecurigaan bahwa awal penyebaran
virus ini bukan dari pasar hewan, melainkan dari laboratorium biologis
berteknologi tinggi, yaitu dari Institute Virologi Wuhan (WIV).
Oleh karena itu, Trump mendesak World Health Organization (WHO)
untuk melakukan penyeledikan mengenai sumber dari virus ini. Namun
demikian, permintaan Trump ini tidak direspon oleh WHO. Trump
kemudian menuduh WHO sebagai bagian dari antek China. Selanjutnya,
Trump mengancam untuk menarik diri dan juga pendanaannya terhadap
organisasi kesehatan ini. Trump mengatakan,”AS menyumbang US$450
juta per tahun kepada mereka. China menyumbang US$38 juta setiap
tahun. Dan mereka adalah boneka China. Mereka China-sentris. Mereka
memberi kami saran yang sangat buruk. Mereka selalu salah dan malah
berada di samping China,” (CNNIndonesia, 20/05/2020).
84 Ahmad Sahide

Demikianlah Trump secara terang-terangan melakukan penyerangan


dan menyalahkan China, duta WTO, dalam kasus pandemi ini. Ini
kemudian direspon oleh China dengan mengatakan bahwa Trump
berupaya mencoreng nama baik China dan “mengabaikan tanggung
jawab” atas kewajiban internasionalnya terhadap WHO. Juru bicara
Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, menambahkan bahwa
Trump sedang berupaya mengalihkan isu di dalam negeri terkait masalah
pencegahan dan kontrol penyebaran virus corona yang tidak memadai di
Negeri Paman Sam (CNNIndonesia, 19/05/2020).
Inilah bentuk rivalitas Amerika versus China dalam kasus pandemi
global ini. Oleh karena itu, ada yang melihat bahwa Covid-19 ini
adalah kelanjutan dari Perang Dagang antara Amerika versus China
yang dimenangi oleh China. Ada opini yang terbangun bahwa ini
adalah ‘ulah’ Amerika untuk melumpuhkan ekonomi China yang mana
perkembangannya tidak terbendung dan menjadi ancaman bagi Amerika.

D. Kasus Taiwan
Ketegangan hubungan antara Amerika versus China juga terjadi
dalam kasus Taiwan. Bagi China, Taiwan adalah bagian dari kedaulatan
China. Namun demikian, Amerika dan Taiwan tidak berpandangan
demikian. China pun merasa selalu digerogoti kedaualatannya oleh
Amerika dalam kasus Taiwan. Pada tahun 2019, Presiden Donald Trump
menyetujui penjualan 8 miliar dolar AS jet tempur ke Taiwan, penjualan
yang cukup besar tentunya (Kompas, 12/08/2020). Kemudian tahun
ini, 10 Agustus 2020, Menteri Kesehatan Amerika Serikat, Alex Azar,
melakukan kunjungan diplomatik ke Taiwan. Inilah yang menuai protes
tegas dari China karena dianggap Amerika mengganggu kedaulatan
negeri Tirai Bambu tersebut. Oleh karena itu, ketika Azar sedang berada
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
85

di Taiwan, pesawat tempur milik Angkatan Udara China melintasi garis


tengah Selat Taiwan, yang memisahkan China dan Taiwan. Inilah bentuk
protes dari China yang tidak suka melihat relasi Amerika-Taiwan (Kompas,
11/08/2020).

E. Penutup
Andrew Heywood dalam bukunya yang berjudul Politik Global juga
sudah menuliskan terkait dengan gambaran masa depan politik global
di mana salah satu yang diprediksi oleh Heywood adalah bergesernya
kekuasaan hegemonik Amerika ke China. Abad ke-20 adalah ‘abad
Amerika’, sementara abad ke-21 akan menjadi ‘abad China’. China,
tulis Heywood, akan menjadi kekuatan hegemon global jenis baru dan
Amerika harus merelakan perpindahan hegemoni tersebut dan juga ini
akan membebaskan Amerika dan beban kepemimpinan global (Heywood,
2017).
Rivalitas Amerika versus China dalam beberapa isu yang sudah
dipaparkan di atas menjadi bukti akan hal terebut. Rivalitas terjadi
setidaknya karena dua faktor utama. Pertama, kemunduran supremasi
politik global Amerika sebagaimana dikatakan oleh Noam Chomsky (2016)
dengan judul Who Rules the World sudah mengulas mengenai kemerosotan
pengaruh Amerika Serikat di kancah dunia. Amerika memang masih
menjadi negara yang terkuat di dunia, tetapi dominasinya sudah mulai
tergerus dan dalam banyak kasus Amerika tidak lagi mampu memaksakan
kehendaknya kepada banyak negara di dunia. Kedua, tidak terlepas dari
kebangkitan ekonomi China yang sangat pesat dalam beberapa dekade
terakhir. Bahkan China diprediksi akan menjadi negara dengan kekuatan
ekonomi di dunia dalam satu atau dua dekade ke depan. Kemampuan
China melayani AS dalam Perang Dagang tentu tidak terlepas dari
86 Ahmad Sahide

kepercayaan China akan kekuatan ekonominya. Begitu pula dalam kasus


konflik Laut China Selatan yang memicu rivalitas di antara kedua negara
besar.
Amerika yang tidak ikhlas supremasinya bergeser tentu akan terus
berupaya mempertahankannya, sementara China yang punya ambisi
menjadi negara superpower akan terus melangkah untuk mencapai obsesi
politiknya tersebut. Maka rivalitas di antara keduanya pun menjadi hal
yang tidak terhindarkan. Inilah yang akan mewarnai dinamika politik
global abad ke-21.

Daftar Pustaka

Andrew Heywood. (2017). Politik Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Bambang Cipto. (2018). Strategi China Merebut Status Super Power. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Bendini, Roberto. 2014. The struggle for control of the East China Sea.
European Union, DIRECTORATE-GENERAL FOR EXTERNAL
POLICIES, POLICY DEPARTMENT.
Noam Chomsky. (2016). Who Rules the World? Bandung: Bentang
CNNIndonesia. Trump Ultimatum WHO dan Ancam Bekukan Bantuan
Anggaran. Edisi 20 Mei 2020. https://www.cnnindonesia.com/inter
nasional/20200520104712-134-505198/trump-ultimatum-who-dan-
ancam-bekukan-bantuan-anggaran/
CNNIndonesia. China Sebut AS Coba Lari dari Tanggung Jawab ke
WHO. Edisi 19 Mei 2020. https://www.cnnindonesia.com/internas
ional/20200519171933-134-505009/china-sebut-as-coba-lari-dari-
tanggung-jawab-ke-who/
Fravel, M. Taylor. 2011. China’s Strategy in the South China Sea.
Contemporary Southeast Asia. Vol. 33. No. 3, pp. 292-319.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
87

Huang, J., Billo, A. (eds). 2015. Territorial Disputes in the South China
Sea. Palgrave Macmillan.
Kaplan, D., Robert. (2011). The South China Sea Is the Future of Conflict.
Foreign Policy. https://foreignpolicy.com/2011/08/15/the-south-
china-sea-is-the-future-of-conflict/.
Kompas Cetak. China Respons Keras AS, Bukan ke ASEAN. Edisi Sabtu, 4 Juli
2020. Hlm.4.
Kompas Cetak. Tegas di Laut China Selatan. Edisi Senin, 6 Juli 2020. Hlm. 6.
Kompas Cetak. Asia Tenggara Paling Terdampak. Edisi Jumat, 24 Juli 2020.
Hlm. 4.
Kompas Cetak. China Tidak Suka Relasi AS-Taiwan. Edisi Selasa, 11 Agustus
2020. Hlm. 6.
Kompas Cetak. Kunjungan Menteri AS ke Taipei. Edisi Selasa, 12 Agustus
2020. Hlm. 6.
Kompas Cetak. Latihan Perang China Picu Protes. Edisi Kamis, 27 Agustus
2020. Hlm. 4.
Leifer, Michael. 1996. Stalemate in the South China Sea. Asia Research
Centre, London School of Economics and Political Science.
Simon, Sheldon W. 2012. Conflict and Diplomacy in the South China
Sea. Asian Survey, Vol 52. No. 6 (November/December 2012). PP.
995-1018nflict and
88 Ahmad Sahide
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
89

Framing Pemberitaan Media


terhadap Trump di Indonesia

B
arack Obama terpilih sebagai Presiden Amerika yang ke-45
pada November 2008, saat itu dunia menyambut hangat
terpilihnya presiden pertama Amerika dari kulit hitam
tersebut. Amerika kemudian menunjukkan kepada dunia bagaimana
berdemokrasi dengan terpilihnya warga keturunan minoritas menjadi
orang nomor satu di negeri Paman Sam tersebut. Harapan dunia, salah
satunya, dalam menyambut kemenangan Obama adalah bahwa dia
diharapkan mampu menjadi aktor utama penantian perdamaian konflik
Israel-Palestina. Obama memang tidak berhasil memenuhi ekspektasi
dunia akan hal ini karena kompleksitas dari konflik tersebut, namun
demikian Obama berhasil menurunkan tensi ketegangan hubungan antara
Barat, terutama Amerika, dengan dunia Islam yang sempat memanas
pada era Presiden George Walker Bush yang melakukan kampanye “war
on terrorism” setelah peristriwa 11 September 2001.
Obama kemudian, ketika berkunjung ke Indonesia, ia disambut
hangat oleh pemerintah, masyarakat, dan media di Indonesia. Tentu
salah satu faktornya adalah karena Obama pernah menghabiskan masa-
masa kecilnya di Menteng, DKI Jakarta. Namun demikian, terpilihnya
Trump pada 2016 lalu seolah merontokkan upaya yang selama delapan
tahun dibangun oleh Obama dalam memperbaiki hubungan antara Barat
90 Ahmad Sahide

dengan dunia Islam. Trump sejak awal kampanyenya sudah menunjukkan


sikap dan pandangan politik yang kurang bersahabat dengan dunia Islam.
Seperti akan membatasi imigran dari dunia Islam masuk ke Amerika
yang mana hal ini langsung dilakukan oleh Trump tidak lama setelah
dilantik dengan mengambil kebijakan melarang tujuh warga negara
dari dunia Islam masuk ke Amerika karena dianggap akan berpotensi
menjadi ancaman terorisme bagi Amerika. Tidak heran jika, respons
dunia internasional, terutama dunia Islam, sengat negatif begitu Trump
memenangi pilpres Amerika berdasarkan electoral vote yang melebihi 270
(Sahide, 2017: 189).
Kehadirannya sebagai sosok kuat yang mengerikan, menurut William
Liddle, akan meruncingkan benturan peradaban kembali atau clash of
civilization, istilah yang pernah dipopulerkan oleh Samuel P. Huntington
pada dekade tahun 1990-an. Pernyataannya yang akan memerketat
masuknya imigran Muslim ke Amerika yang dicurigai sebagai komunitas
yang berpotensi melahirkan terorisme tentu akan meruncingkan clash
of civilization tersebut. Itulah mengapa dunia menyambut kemenangan
Trump dengan segala kecemasan, berbeda dengan Obama 2008 silam.
Oleh karena itu, selama empat tahun mendiami Gedung Putih, media-
media internasional, termasuk di Indonesia, cenderung membuat framing
pemberitaan yang negatif terhadap sosok Trump.

A. Respons Media Indonesia terhadap Trump


Donald Trump, bagi masyarakat Indonesia secara luas, adalah
tokoh yang baru dikenalnya. Berbeda halnya dengan Hillary Clinton,
kandidat yang dikalahkannya. Sebelum resmi mengikuti konvensi di Partai
Republik, nama Trump hampir tidak pernah muncul dalam berbagai
pemberitaan media sosial. Berbeda halnya dengan Hillary Clinton yang
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
91

sudah sangat familiar di mata masyarakat luas. Tentu saja, nama Hillary
sudah mulai dikenal oleh masyarakat Indonesia ketika masuk ke Gedung
Putih (White House) sebagai first lady mendampingi Bill Clinton. Sejak saat
itulah, namanya sudah cukup dikenal luas. Ia juga berkali-kali melakukan
kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Dan sejak 2009 awal sampai 2013
awal, ia dipercaya oleh Obama sebagai Menteri Luar Negeri.
Oleh karena itu, ketika maju dalam putaran final pemilihan Presiden
Amerika Serikat berhadapan dengan Trump, masyarakat dan media
di Indonesia cenderung lebih berpihak ke Hillary. Donald trump di
mata masyarakat, dari berbagai pemberitaan,adalah sosok yang cukup
kontroversial dan juga sentimen terhadap dunia Islam. Indonesia adalah
negara yang mayoritas penduduknya Islam (87%) sehingga ini juga
berpengaruh dengan respon negatif masyarakat terhadap sosok Trump.
Media-media juga lebih cenderung ke sosok Hillary. Pemberitaan-
pemberitaan media di Indonesia lebih banyak mendiskreditkan Trump
dibandingkan Hillary. Kompas misalnya, sebagai salah satu media
berpengaruh dan dominan di Indonesia lebih banyak melakukan
pemberitaan yang secara tidak langsung akan mengarahkan pembaca
kepada sosok Hillary, bukan kepada Trump. Hal itu dapat dilihat dengan
beberapa tulisan (opini) di harian Kompas menjelang pemilihan presiden.
Rizal Mallarangeng, misalnya, menulis di harian Kompas, 8 Oktober
2016, dengan judul Hillary, Tokoh Sejarah di Jalan Berliku.
Dari tulisannya, pengamat politik dan pendiri Freedom Institute itu
secara tegas menunjukkan keberpihakannya kepada mantan first lady
Amerika tersebut. Rizal Mallarangeng menuliskan, “…Mungkin agak
berlebihan jika berkata bahwa Hillary adalah benteng pertahanan
terakhir melawan kegelapan.” William Liddle, Professor Emeritus Ohio
State University, juga menulis di harian Kompas pada hari Sabtu 15
92 Ahmad Sahide

Oktober 2016. William Liddle menggambarkan Trump sebagai Orang


Kuat yang Mengerikan, demikian judul artikelnnya. Dan menurut Liddle,
meskipun saat itu Hillary Clinton unggul dari beberapa survei, Trump
masih mempunyai kans untuk menang. Sejarah membuktikan bahwa
Trumplah yang keluar sebagai pemenang. I Basis Susilo, dosen Hubungan
Internasional Universitas Airlangga, menuliskan di harian Kompas, 10
November 2016, bahwa kemenangan ini adalah awal dari kemunduran
Amerika, “Trump dan Awal Kemunduran Amerika”. Kemundurannya
karena sains dan ilmu pengetahuan yang dikembangkannya keliru besar
dan kedua adalah demokrasinya tidak menghasilkan figur yang terbaik.
Penulis juga melakukan analisis framing media, yaitu Harian Kompas
terhadap sosok Trump pada pemilu 2016 silam. Penulis menemukan ada
21 berita di Harian Kompas selama dua bulan, satu bulan sebelum pemilihan
dan satu bulan setelah pemilihan di mana hasilnya adalaha mayoritas berita
dibingkai negatif terhadap sosok Trump. Ada 13 berita yang dibingkai
negatif terhadap Trump, 5 dibingkai netral, dan 3 positif. Hasilnya dapat
dilihat dari gambar berikut.
Gambar 1: Framing Harian Kompas terhadap Trump pada pemilu 2016

Sumber: Diolah dari berita-berita di Harian Kompas


DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
93

Bahkan setelah pemilihan presiden berlangsung dan Trump hanya


menunggu 20 Januari 2017 untuk dilantik sebagai presiden sah Amerika
Serikat, media-media di Indonesia cukup intens memberitakan peran
Rusia dalam membantu kemenangan Trump. Masyarakat pun cenderung
berpandangan bahwa kemenangan Trump bukanlah murni suara rakyat
Amerika. Demokrasi Amerika dibajak oleh kelompok tertentu. Hasil
pemilihan demokratis ini pun dianggap bercacat. Demikian respons media
dan masyarakat Indonesia dalam menyambut hadirnya Donald Trump
sebagai orang yang berpengaruh dan akan menjadi pemain kunci dalam
kancah politik global.

B. Framing media terhadap kebijakan Trump


Kemenangan Trump pada 2016 menimbulkan kekhawatiran dunia
internasional, terutama dunia Islam karena sejak kampanye Trump
seringkali mengeluarkan pernyataan politik yang akan membatasi imigran
dari dunia Islam masuk ke Amerika. Kemenangan Trump diprediksi akan
memicu ketegangan hubungan antara Barat (AS) dengan Timur (dunia
Islam) sebagaimana rencananya melarang masuk orang Muslim di wilayah
AS untuk mewaspadai terorisme.
Apa yang direncanakan Trump pada kampanyenya tersebut dia
buktikan dengan mengeluarkan perintah eksekutif yang melarang enam
warga negara yang mayoritas Muslim masuk ke Amerika. Keenam negara
itu adalah Sudan, Suriah, Iran, Somalia, Libya, dan Yaman. Awalnya Irak
masuk dalam daftar tersebut, tetapi kemudian perintah ini direvisi dan
Irak kemudian terhapus dari daftar tersebut (Kompas.com, 6/03/2017).
Langkah politik yang diambil oleh Trump ini memicu gejolak politik
domestik dikarenakan sehari menjelang diberlakukannya, Mahkamah
Federal AS memblokir keputusan Presiden Trump tentang larangan masuk
94 Ahmad Sahide

AS bagi warga tujuh negara (Kompas, 5/02/2017). Ini kemudian menjadi


polemik politik domestik selama berbulan-bulan.
Sementara itu, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) hanya mampu
merespons kebijakan tersebut dengan mengeluarkan kecaman dan menilai
kebijakan ini cuma menyuburkan benih anarkisme dan terorisme di tengah
upaya internasional melawan terorisme. Sementara Komisi Tinggi PBB
untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) dan Organisasi Internasional untuk
Migrasi (IOM) sekadar menyeru Pemerintah AS tetap membuka pintu
terhadap pengungsi dan korban perang (Jamaluddin, 2019).
Salah satu media berpengaruh di Indonesia, Harian Kompas, kembali
menyorot isu ini di mana framingnya kembali mayoritas negatif terhadap
Trump. Penulis menemukan ada 21 berita di Harian Kompas terkait
dengan isu ini di mana 16 berita dibingkai negatif, 4 netral, dan hanya 1
berita yang dibingkai positif. Hasilnya sebagai berikut.
Gambar 2: Framing Harian Kompas terhadap Trump dengan isu “Travel Ban”

Sumber: Diolah dari berita-berita di Harian Kompas

Pada tahun yang sama, akhir tahun 2017, Trump kembali mengambil
langkah politik yang melukai hati umat Islam sedunia dengan mengakui
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
95

Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Padahal Jeusalem melalui resolusi


Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 181 tahun 1947 ditetapkan sebagai
kota di bawah wewenang internasional. Ketetapan yang memungkinkan
kaum Muslim, Nasrani, dan Yahudi melakukan ibadah keagamaannya.
Hal itu karena Jerusalem adalah satu kota tiga iman (Karen Amstrong).
Dunia internasional langsung merespons pernyataan Trump tersebut.
Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara segera
melaksanakn Konferensi Tingkat Tinggi di Istanbul, Turki. Hasilnya,
negara-negara anggota OKI sepakat untuk tidak ikut dengan Trump
mengenai Jerusalem. Negara-negara anggota Uni Eropa juga mengecam
apa yang dilakukan oleh Amerika di bawah Trump. Presiden Perancis,
Emmanuel Macron, mengatakan bahwa ini sangat “Disesalkan.” Secara
umum, pandangan pemimpin-pemimpin politik dunia melihat bahwa
pernyataan Trump tersebut mengganggu proses perdamaian antara Israel-
Palestina.
Kamis, 21 Desember 2017, Majelis Umum PBB menggelar voting yang
menyerukan agar AS menarik pengakuannya terhadap Jerusalem sebagai
ibu kota Israel. Hasilnya, 128 negara menyetujui resolusi tersebut, 9 negara
menolak, 35 negara abstain, dan 21 negara anggota tidak menggunakan
hak suaranya. Hasil sidang Majelis Umum PBB ini menunjukkan bahwa
langkah politik Donald Trump sangat tidak populis di kancah politik
internasional. Bahkan negara-negara sekutunya di Uni Eropa juga tidak
sejalan dengan AS. Namun demikian, hasil sidang dari Majelis Umum
PBB tersebut tidak begitu berarti dalam menekan Trump untuk menarik
pernyataannya soal Jerusalem.
Langkah politik yang diambil Trump ini kembali membuatnya sebagai
Presiden AS yang kurang populis di dunia Islam. Media-media juga kurang
berpihak terhadap Trump dalam berbagai pemberitaan. Terkait dengan
96 Ahmad Sahide

kasus pengakuan Jerusalem sebagai Ibu Kota Israel, Harian Kompas


termasuk salah satu media yang cukup banyak memotretnya dan framing-
framingnya kurang lebih sama dengan framingnya dalam isu-isu di atas,
yaitu mayoritas berita dibingkai negatif terhadap sosok Trump.

Sumber: Diolah dari berita-berita di Harian Kompas

Dari gambar di atas terlihat bahwa ada 21 berita di Harian Kompas


yang menyorot pengakuan Trump terkait dengan Jerusalem di mana
19 berita dibingkai negatif, satu berita dibingkai positif, dan satu berita
dibingkai netral. Secara umum, pemberitaan media di Indonesia dengan
melihat sentimennya terhadap Trump dari ketiga isu di atas di mana
mayoritas berita dibingkai negatif, sebanyak 61%, 23% dibingkai netral,
dan 14% dibingkai positif. Tentu saja, framing berita-berita ini akan
memengaruhi citra Trump di Indonesia secara khusus.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
97

Sources: News from the Kompas was processed and coded using Nvivo12

Daftar Pustaka

Jamaluddin, Ahmad. 2019. EFEK WACANA TERORISME ATAS


PELARANGAN MASUK WARGA NEGARA ISLAM KE AMERIKA
SERIKAT. Journal of Islamic World and Politic (JIWP). Vol.3. No.1
January-June 2019.
Kompas.com. Presiden Trump Segera Tandatangani “Kebijakan Anti-imigran”
Baru. Edisi 6 Maret 2017.
Sahide, Ahmad. 2017. Gejolak Politik Timur Tengah. Yogyakarta: The
Phinisi Press.
98 Ahmad Sahide
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
99

COVID-19 dan Mimpi China


Menjadi Negara Superpower:

Panorama Konspirasi Sejarah


Kota Wuhan di China dalam seketika menjadi kota yang banyak
diperbincangkan di dunia pada akhir tahun 2019, bahkan sampai saat
ini. Wuhan mengguncangkan dunia karena di berbagai media-media
internasional kita bisa menyaksikan orang-orang yang sedang berjalan
tiba-tiba terjatuh dan kemudian meninggal. Diketahui bahwa salah satu
penyebab dari berita yang mengerikan ini adalah karena terserang dengan
penyakit baru yang berana Coronaviruses Desease (Covid), karena virus ini
baru muncul pada akhir tahun 2019, maka virus ini juga dikenal luas
dengan sebutan Covid-19.
Identifikasi virus ini bermula ketika pada 31 Desember 2019, World
Health Organization (WHO) di China menerima 29 laporan kasus baru yang
belum dapat diidentifikasi penyebabnya terkait pneumonia di kota Wuhan.
Virus Corona ini menyebar terutama melalui tetesan air liur hewan atau
cairan yang keluar dari hidung ketika orang yang terinfeksi batuk atau
bersin. Gejala yang dirasakan ketika seseorang terinfeksi virus ini seperti
demam, batuk kering, dan kecapekan yang disertai dengan adanya sesak
nafas dan sakit tenggorokan. Dalam kurun waktu kurang dari sebulan,
virus Corona telah menyebar ke seluruh China, bahkan ke seluruh dunia
(Chen, dkk, 2020).
100 Ahmad Sahide

Kurang dari sebulan penyebarannya, pemerintah China mengambil


langkah antisipatif dengan kebijakan Lockdown untuk kota Wuhan. Kota ini
pun menjadi kota mati karena tidak ada lagi warga yang tinggal di Wuhan
memadati jalan-jalan dan tempat-tempat umum. Meskipun Pemerintah
China mengambil langkah lockdown, penyebaran virus ini tidak terbendung
sehingga negara-negara lain di dunia ikut terkena dampaknya. Tentu
saja ini merupakan salah satu konsekuensi dari globalisasi yang mana
masyarakat dari satu negara ke negara lainnya sudah saling terhubung
dengan mudahnya satu sama lain. Terlebih virus ini tidak kasat mata
sehingga agak sulit untuk mencegah penyebarannya. Di samping itu,
pandemi ini menunjukkan satu hal, tidak ada negara yang siap dalam
menghadapinya, bahkan negara sekelas Amerika pun tampak kewalahan
dalam menghadapi pandemi global ini.
Jika dibandingkan dengan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada
2003 dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS), daya sebar Covid-19 luar
biasa cepat. Tercatat sampai 17 April 2020 sudah terdapat 2.165.500 juta
orang yang terkena dampak dari seluruh dunia dengan tingkat fatalitas
(kematian) sebanyak 6,73% (Mahardika, 18/04/2020).
Saat ini, sudah lebih dari 200 negara di dunia yang terpapar dengan
Covid-19, termasuk Indonesia dengan dampak yang luas biasa dalam
segala aspek; budaya, politik, agama, dan terturama ekonomi. Kita bisa
melihat bahwa kompetisi sepak bola bergengsi di Eropa, yang menjadi
salah satu aspek perputaran ekonomi besar dan cepat, terpaksa harus
ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan. Arab Saudi juga merespons
dengan kebijakan menutup pelaksaan Umroh bagi jama’ah dari berbagai
dunia bahkan pelaksanaan ibadah haji 2020 ditiadakan.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) menyebutkan bahwa pembatasan
gerak atau perintah isolasi membuat 2,7 miliar orang tidak bisa bekerja.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
101

ILO memperkirakan bahwa pada April-Juni 2020 akan terdapat sekitar 165
juta jiwa pekerja penuh waktu akan menjadi pengangguran karena tempat
kerja mereka tidak beroperasi. Sementara itu, Oxfam, Lembaga Swadaya
Masyarakat asal Inggris, memberikan gambaran bahwa kemerosotan
perekonomian karena Covid-19 akan menghasilkan 547 juta orang miskin
baru (Kompas, 12/04/2020).
Di Indonesia, pemerintahan Jokowi tidak mengambil langkah sebagai
mana beberapa negara lain dengan melakukan lockdown, melainkan
kebijakan membatasi interaksi sosial atau social distancing dan mewajibkan
memakai masker ketika keluar dari rumah kemudian Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) di daerah-daerah yang masuk dalam kategori zona
merah. Namun demikian, meskipun dengan kebijkan social distancing, ini
juga tetap mengguncang perekonomian Indonesia. Sri Mulyani Indrawati,
Menteri Keuangan Republik Indonesia, memprediksi jumlah kemiskinan
akan bertambah 3,78 juta dan pengangguran bertambah 5,2 juta jiwa
(Kompas, 19/04/2020). Covid-19 membuat banyak perusahaan harus tutup
sementara, kampus-kampus terpaksa harus melakukan perkuliahan secara
online atau daring. Selain itu, pelaksanaan ritual keagamaan yang melibatkan
kerumunan banyak orang (jama’ah) terpaksa harus ditiadakan, seperti
kebiasaan orang Islam untuk sholat berjama’ah di masjid-masjid diminta
untuk melaksanakan sendiri-sendiri di rumah. Covid-19 pun melahirkan
istilah baru, ‘dunia rehat sejenak’.
Dahsyatnya dampak yang dirasakan secara global dari Covid-19 ini juga
melahirkan suatu pertanyaan dari banyak kalangan. Apakah ini bagian dari
ambisi China untuk menjadi negara superpower mengingat awal mula dari
penyebaran virus ini dari kota Wuhan, salah satu kota dengan pusat riset
dan laboratorium China? Donald Trump pun kemudian menyebut virus
ini dengan sebutan China’s Virus. Di samping itu, Amerika Serikat sejauh
102 Ahmad Sahide

ini meyakini bahwa virus tersebut ada kaitannya dengan penelitian untuk
mengembangkan senjata biologi. Amerika juga mempunyai pandangan
bahwa kemungkinan virus ini berasal dari pusat laboratorium, bukan dari
pasar hewan di Wuhan, China (CNNIndonesia, 16/04/2020). Namun
demikian, di beberapa media internasional China justru menyerang balik
bahwa virus ini sebenarnya dibawa oleh tentara Amerika ke China. Inilah
yang melahirkan adanya kecurigaan akan konspirasi di balik Covid-19
dan banyak yang mengaitkannya bahwa ini bagian dari kelanjutan Perang
Dagang yang melibatkan Amerika Serikat versus China yang mana kita
ketahui bersama bahwa Amerika kewalahan, bahkan terlihat kalah, dari
China dalam perang yang mulai berlangsung sejak 2018 tersebut. Tulisan
ini mencoba menjawab pertanyaan tersebut.

A. Kerangka Teori
Dalam kajian ini, penulis menggunakan pandangan realisme dalam
menganalisis keterkaitan Covid-19 dengan upaya China untuk menjadi
negara superpower; merebut supremasi politik global dari tangan Amerika
Serikat.
Dalam studi Hubungan Internasional, kita tahu bahwa terjadi
perdebatan cukup keras terkait bagaimana mencapai perdamaian dunia
antara aliran pemikiran idealis/liberalis versus realis. Meskipun perdebatan
ini sebenarnya lebih mencerminkan serangan dan superioritas dari
aliran realisme terhadap idealisme/liberalisme dalam studi Hubungan
Internasional (HI). Hal ini karena pada awal munculnya studi HI sebagai
disiplin ilmu mandiri pada tahun 1919, literatur studi HI lebih didominasi
oleh karya-karya kaum idealis/liberalis seperti Norman Angell, Leonard
Woolf, dan Alfred Zimmern. Angell mengatakan bahwa sejalan dengan
bangkitnya peradaban ekonomi modern (modern economic civilization) dan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
103

merebaknya praktik kenegaraan modern (modern statecraft), maka negara-


negara makin dituntut untuk menjalin kerja sama dalam suasana saling
ketergantungan yang pada gilirannya dapat menegakkan perdamaian
internasional. Leonard Woolf mengatakan hal yang senada bahwa dalam
rangka upaya untuk mencegah peperangan, negara-negara di dunia harus
membentuk semacam “pemerintahan internasional” (international government)
yang memiliki otoritas untuk menegakkan hukum internasional dalam
rangka memelihara ketertiban dunia (Hadiwinata, 2017).
Namun situasi yang terjadi pada dekade 1930-an hingga 1940-an
tampak bertentangan dengan premis kaum idealis/liberalis, hal itu
karena setelah diguncang dengan Perang Dunia Pertama pada 1914-
1919, masyarakat dunia tidak berhasil menghentikan agresivitas German
sehingga Perang Dunia kedua pun tidak dapat terhindarkan. Situasi inilah
yang dijadikan sebagai bukti sejarah bagi kaum realis untuk menyerang
kaum idealis yang dianggapnya telah gagal memberikan gambaran akurat
tentang politik dunia pada saat itu (Hadiwinata, 2017).
Setidaknya, terdapat empat ide dan asumsi dasar kaum realis yaitu
sebagai berikut: (1) pandangan pesimis atas sifat manusia; (2) keyakinan
bahwa hubungan internasional pada dasarnya konfliktual dan bahwa
konflik internasional pada akhirnya diselesaikan melalui perang; (3)
menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan kelangsungan negara;
(4) skeptisisme dasar bahwa terdapat kemajuan dalam politik internasional
seperti yang terjadi dalam kehidupan politik domestik. Dalam pemikiran
kaum realis, manusia dicirikan sebagai mahluk yang selalu cemas akan
keselamatan dirinya dalam hubungan persaingannya dengan yang lain.
Mereka ingin selalu berada dalam kursi pengendali. Mereka tidak ingin
orang atau negara lain mengambil keuntungan darinya. Mereka terus-
menerus berusaha untuk mendapatkan ‘yang terkuat’ dalam hubungannya
104 Ahmad Sahide

dengan yang lain – termasuk hubungan internasional dengan negara yang


lain. Pandangan pesimis atas sifat manusia ini sangat jelas dalam teori HI
oleh Hans Morgenthau yang melihat pria dan wanita memiliki “keinginan
untuk berkuasa.” Hal itu sangat jelas dalam politik dan khususnya
politik internasional: “politik adalah perjuangan memeroleh kekuasaan
atas manusia, dan apa pun tujuan akhirnya, kekuasaan adalah tujuan
terpentingnya dan cara-cara memeroleh, memelihara, dan menunjukkan
kekuasaan menentukan teknik tindakan politik” (Morgenthau, 1965).
Dengan demikian, kaum realis berjalan dengan asumsi dasar bahwa
politik dunia berkembang dalam anarki internasional: yaitu sistem tanpa
adanya kekuasaan yang berlebihan dan tidak ada pemerintahan dunia.
Negara adalah aktor utama politik dunia. Hubungan internasional
khususnya merupakan hubungan negara-negara (Jackson dan Sorensen,
2005).
Di samping itu, terdapat beberapa butir pandangan yang merangkum
kritik realisme terhadap idealisme. Pertama, asumsi kaum idealis bahwa
hakikat manusia yang rasional dan kooperatif dapat membentuk “harmoni
kepentingan” (harmony of interest) yang pada gilirannya dapat menciptakan
perdamaian abadi merupakan ilusi belaka. Sebaliknya, perilaku negara
– yang dibentuk oleh sikap dasar yang agresif – cenderung dituntun
oleh upaya pencapaian kepentingan nasional yang didefinisikan sebagai
perjuangan untuk kekuasaan (struggle for power). Kedua, cita-cita untuk
membangun perdamaian dunia sebagaimana digambarkan oleh Norman
Angell merupakan utopia belaka karena dalam hubungan internasional
berlaku prinsip Darwinisme, ‘survival of the fittest’, yakni negara yang akan
terus bertahan adalah negara yang paling fit, yaitu negara dengan kekuatan
ekonomi dan militer terbesar. Ketiga, internasionalisme sebagai dasar
dari prinsip kerja sama internasional yang menjadi acuan kaum idealis
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
105

tampak absurd karena perilaku negara lebih digerakkan oleh pencapaian


kepentingan nasional daripada prinsip-prinsip moralitas internasional.
Keempat, walaupun pengaruh moralitas cukup signifikan dalam proses
politik, namun dalam politik internasional pengaruh moral dapat diabaikan
karena bertentangan dengan kaidah-kaidah praktik hubungan anternegara
yang penuh dengan intrik dan keculasan demi kelangsungan hidup. Kelima,
kajian politik internasional harus bersifat objektif, yakni menjelaskan fakta-
fakta internasional apa adanya dan bebas nilai untuk menjamin akurasi
dan validitas (Hadiwinata, 2017).
Membaca dinamika dan realitas politik internasional dewasa ini, kita
tidak dapat menyangkal bahwa pemikiran politik kaum realislah yang
mendominasi kancah politik global saat ini. Proyek besar Amerika dan
Rusia ke luar angkasa adalah bagian dari realisme politik, juga dengan
upaya Amerika untuk menekan negara-negara lain di dunia untuk tidak
mengembangkan senjata nuklir, seperti Iran dan Korea Utara, karena
paham realisme menjadi paham yang dianut oleh Amerika dan juga negara
lain di dunia. Saat ini, dunia internasional ‘tertidur sejenak’ karena dampak
dari Covid-19. Jika kita membaca lebih jauh, Covid-19 tidak menutup
kemungkinan sebagai konsekuensi dari realisme politik yang mendominasi
kancah politik global saat ini. Ini bisa menjadi bagian dari China untuk
menjadi ‘survival of the fittest’. Amerika sudah mencium indikasi itu dengan
meminta World Trade Organization (WHO) untuk melakukan penyelidikan
bahwa ini bagian dari upaya China untuk mengembangkan senjata kimia.

B. Kota Wuhan
Kota Wuhan merupakan Ibukota Provinsi Hubei dan menjadi kota
terpadat di China bagian tengah. Dari data New World Encyclopedia, diketahui
bahwa Wuhan memiliki wilayah seluas 8.494,41 kilometer persegi atau
106 Ahmad Sahide

seluas kota London di Inggris. Jika dibandingkan dengan Jakarta, luas


kota Wuhan dua belas kali lebih besar. Dengan luas itu, Wuhan masuk
ke dalam kategori kota terbesar ke-42 di dunia dan terbesar ketujuh di
China. Kota dengan jumlah penduduk 11 juta jiwa ini terbelah oleh dua
sungai besar, yaitu Sungai Yangtze dan Sungai Hanshui. Wuhan termasuk
dalam kota dengan iklim subtropis dengan curah hujan tinggi dan empat
musim yang berbeda. Dua kampus terkemuka China berada di Wuhan,
yaitu Universitas Wuhan yang pada tahun 2017 menduduki peringkat tiga
nasional dan Huazhong University of Science and Technology (Kompas,
27/01/2020).
Wuhan bukan hanya penting secara ekonomi bagi China, tetapi kota ini
telah membentuk sejarah panjang Cina modern sampai saat ini. Sebelum
wabah coronavirus yang baru melanda Wuhan pada bulan Desember 2019,
kota di China tengah ini telah tergelincir dari kesadaran masyarakat umum
di Barat. Dua generasi yang lalu, kota ini yang terletak di persimpangan
Sungai Yangtze dan Sungai Han, 965 km di hulu, di Cina tengah, dikenal
melalui Barat sebagai kota industri besar. Wuhan pernah menjadi tempat
di mana banyak kekuatan Eropa memiliki konsulat, tempat di mana
perusahaan dagang utama Barat dan Jepang, dan perusahaan tekstil
dan teknik internasional, memiliki pabrik dan kantor penjualan. Wuhan
bahkan mendapat julukan ‘Chicago dari Cina’. Pada tahun 1900, majalah
Amerika Collier menerbitkan sebuah artikel tentang kota Wuhan di Sungai
Yangtze, menyebutnya “Chicago di China.” Itu adalah pertama kalinya
kota China ini mendapat julukan Chicago (Tempo.co, 22/02/2020).
Di kota Wuhan inilah Wuhan Institute of Virologi (WIV) berada, tempat
yang menjadi rumah bagi Pusat Pembiakan dan koleksi Virus China, bank
virus terbesar di Asia dan berisi koleksi 1.500 jenis virus. WIV dikenal
sebagai laboratorium berteknologi tinggi. Institute ini berharga 300 juta
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
107

yuan atau sekitar 661,5 miliar rupiah. WIV diselesaikan pada 2015 dan
dibuka secara resmi pada tahun 2018. Amerika Serikat, terutama Donald
Trump, membangun opini internasional bahwa dari sinilah virus itu
berasal (Kompas.com, 18/04/2020).

Mimpi China Menjadi Negara Superpower


Sudah banyak hasil riset dan publikasi ilmiah yang ditulis mengenai
kecenderungan pergeseran peta politik global ke depan, terutama
kemerosotan supremasi politik global Amerika dan kebangkitan China
serta Rusia dengan ambisinya menjadi negara superpower. Noam Chomsky
sudah menuliskan dalam bukunya yang berjudul Who Rules the World (2016)
bahwa tanda-tanda kemerosotan Amerika sudah mulai terlihat pada tahun
1970-an karena dunia industri merekonstruksi diri sendiri dan dekolonisasi
terus menempuh jalan yang pedih. Pada tahun 1970 kepemilikian AS
dalam kekayaan turun hingga 25%. Dunia industri menjadi tripolar dengan
pusat utama berada di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia (Chosmky, 2016).
Pada sisi yang lain, China sedang menunjukkan kebangkitannya dan
membangun kekuatan tandingan dalam melawan hegemoni Amerika
digagasnya bersama dengan negara-negara new emerging foreces seperti
Brazil, Rusia, India, China, Afrika Selatan, yang secara luas dikenal dengan
BRICS (Heywood, 2017). China adalah negara dengan populasi penduduk
terbesar di dunia, kurang lebih 1,4 miliar sehingga China menjadi salah
satu negara yang punya potensi besar menjadi negara superpower di dunia.
Dan dalam dua puluh tahun terakhir, ekonomi China tumbuh sangat pesat
melampaui negara-negara di dunia, termasuk Amerika. Bahkan pada
tahun 2007, ekonomi China tumbuh 14,2% (Paul, 2016).
Kemudian pada 2015 China secara resmi mengumumkan rencana
aksi One Belt One Road (OBOR). Proyek ekonomi prestisius ini didukung
108 Ahmad Sahide

kekuatan dana tidak kurang dari 40 miliar dolar Amerika sehingga menarik
minat lebih dari 60 negara di dunia. Bahkan beberapa negara Uni Eropa
ikut bergabung, seperti Italia. Di samping itu, China melakukan investasi
di luar negeri sebagai bentuk partisipasinya pada perekonomian global
tetapi ini juga sekaligus sebagai bagian dari strategi untuk menguasai
perekonomian global. Amerika memang masih menjadi kekuatan ekonomi
nomor satu di dunia, tetapi diprediksi bahwa pada 2030 China akan
menggeser posisi Amerika sebagai negara dengan kekuatan ekonomi
nomor satu di dunia (Cipto, 2018).
Kekuatan ekonomi China terbukti ketika mampu melayani Amerika
dalam Perang Dagang sejak 2018 silam. Perang Dagang ini bisa kita baca
sebagai bentuk dari reaksi kekalahan Amerika dalam persaingan pada pasar
global dan juga terbukti Amerika tidak berhasil keluar sebagai pemenang
dalam perang tersebut. Dalam artian Amerika gagal mengguncang ekonomi
China melalui Perang Dagang. Kondisi ini kemudian memunculkan adanya
konspirasi bahwa Covid-19 ini adalah kelanjutan dari Perang Dagang
antara Amerika versus China yang dimenangi oleh China. Ada opini
yang terbangun bahwa ini adalah ‘ulah’ Amerika untuk melumpuhkan
ekonomi China yang mana perkembangannya tidak terbendung dan
menjadi ancaman bagi Amerika. Ini tentu diperkuat dengan sanggahan
dari China bahwa virus ini sebenarnya dibawa oleh tentara Amerika yang
berlatih di Wuhan pada Desember 2019.
Oleh karena itu, selain dengan berbicara dampak yang luar biasa dari
Covid-19 ini dunia juga diperlihatkan dengan perang psikologis antara
Amerika versus China dan itu tidak terlepas dari upaya mempertahankan
supremasi bagi Amerika dan upaya merebut supremasi politik global bagi
China. China menyadari pasti bahwa meskipun dalam dua dekade terakhir
pertumbuhan ekonominya paling tinggi di dunia, namun masih ada
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
109

Amerika di depannya. Selain itu, China masih kalah dari segi persenjataan
dari Amerika. Dari segi kekuatan militer, Amerika menempati peringkat
pertama dan China menempati peringkat ketiga.
Maka dari itu, jika pada 2030 China berhasil menjadi negara dengan
kekuatan ekonomi nomor satu di dunia, China, dengan pandangannya
yang realis, belum bisa menjadi negara superpower karena masih kalah dari
Amerika dalam hal kekuatan militer. China belum bisa menjadi negara
yang terkuat di antara negara-negara lainnya di dunia. Pandangan realis
meyakini bahwa jika ingin berdamai, maka bersiaplah untuk berperang.
China, di hadapan Amerika, belum siap untuk berperang atau merasa
belum damai karena dari segi kekuatan militer, China masih berada di
belakang Amerika. Oleh karena itu, dominannya realisme dalam kancah
politik global akan memertontonkan perlombaan negara-negara di dunia
dalam memerkuat persenjataannya. Maka, China sebenarnya sudah
melakukan struggle for power dengan menjalankan prinsip Darwinisme,
‘survival of the fittest’. Inisiatif politik China dengan membentuk kekuatan
ekonomi tandingan bersama dengan Brazil, Russia, India, China, and South
Africa (BRICS) dan kemudian melayani Amerika dalam Perang Dagang
sejak 2018 adalah bagian dari struggle for power.

Sejarah Perlombaan Senjata


Di atas telah dijelaskan bahwa dominannya aliran pemikiran politik
realis dalam kancah politik dunia membuat negara-negara besar berlomba
untuk memperkuat persenjataannya demi ‘mendapatkan kedamaian’.
Oleh karena itu, sebagai konsekuensinya, isu proliferasi senjata nuklir
merupakan salah satu dari isu yang sangat menonjol dalam globalisasi
politik dunia, terutama pasca-Perang Dunia Kedua. Senjata nuklir pada
dasarnya merupakan masalah klasik dalam hubungan internasional.
110 Ahmad Sahide

Namun, sejak dimunculkan pertama kali oleh Amerika Serikat dalam


Perang Dunia II dalam bentuk bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima
dan Nagasaki bulan Agustus 1945 senjata nuklir menjadi momok yang
menakutkan bagi komunitas internasional (Emilia Yustiningrum, 2007:
19). Kemudian negara – negara lain yang memiliki senjata tersebut turut
melakukan uji coba untuk tujuan perdamaian (Harly, 2018).
Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, dilanjutkan dengan Perang
Dingin antara Amerika Serikat vesus Uni Soviet. Karena dominannya
pandangan politik realis bagi kedua belah pihak, maka perang ini pun
tidak menghindarkan dari perlombaan persenjataan dari kedua belah
pihak. Uni Soviet meledakkan bom pertamanya pada 1949. Maka dengan
segera Amerika dan Uni Soviet terlibat dalam perlombaan persenjataan
dan militer. Senjata nuklir kemudian menjadi semakin destruktif. Kedua
belah pihak meyakini bahwa senjata nuklir dapat mencegah terjadinya
perang. Mereka percaya bahwa jika ada suatu negara menyerang negara
yang lainnya, maka negara yang diserang dapat membalasnya dan
menghancurkan negara penyerang tersebut. Menurutnya, tidak ada resiko
bagi kedua belah pihak dengan penggunaan senjata nuklir secara besar-
besaran (Spielvogel: 851).
Kemudian, untuk mencari keamanan dan kedamaian selama
berlangsungnya Perang Dingin, masing-masing pihak membentuk aliansi
militer baru. Oleh karena itu, Organisasi Perjanjian Atlantik Utara/North
Atlantic Treaty Organization (NATO) dibentuk pada bulan April 1949 ketika
Belgia, Luksemburg, Prancis, Belanda, Inggris Raya, Italia, Denmark,
Norwegia, Portugal, dan Islandia menandatangani perjanjian dengan
Amerika Serikat dan Kanada. Semua kekuatan sepakat untuk saling
membantu jika salah satu dari mereka diserang. Beberapa tahun kemudian,
Jerman Barat, Turki, dan Yunani juga bergabung. Ini kemudian direspon
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
111

oleh Uni Soviet dengan juga membangun aliansi militer bernama Warsaw
Pact/Pakta Warsawa bersama dengan Albania, Bulgaria, Cekoslowakia,
German Timur, Hongaria, Polandia, dan Rumania (Spielvogel: 851-852).
Dampak dari persaingan ini adalah pada tahun 1950-an, baik Uni
Soviet maupun Amerika Serikat telah berhasil mengembangkan bom
hidrogen yang sangat mematikan. Kemudian pada pertengahan 1950-an,
keduanya telah memiliki rudal balistik antarbenua /intercontinental ballistic
missiles (ICBMs) yang mampu mengirim bom ke mana saja (Spielvogel:
852). Hal ini disebabkan karena kepemilikan senjata nuklir mampu
memengaruhi secara simbolis yang sangat besar, terutama dari sudut
pandang prestise politik yang mana negara-negara yang masuk dalam
‘klub nuklir’ biasa dianggap sebagai negara-negara ranking pertama.
Oleh sebab itu, bukan kebetulan jika selama Perang Dingin klub nuklir
berkembang mencakup lima negara anggota tetap Dewan Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) (P-5). Tiga anggota tetap DK PBB
ikut melakukan uji coba Nuklir yaitu Inggris pada 1952, Perancis 1960,
dan China pada 1962 (Andrew Heywood, 2017).
Selama Perang Dingin ini juga dikenal dengan sebutan sebagai ‘era
nuklir pertama’. Karena dahsyatnya dampak dari senjata nuklir, berkaca
dari bom di Hiroshima dan Nagasaki, maka perhatian terbesar diberikan
pada usaha untuk mencegah penyebaran senjata nuklir keluar dari Big
Five tersebut. Hal ini dilakukan melalui perjanjian non-proliferasi nuklir/
Non-Proliferation Treaty (NPT). NPT dilakukan pertama kali pada 1 Juli 1968
dan meluas tanpa batas pada 1995. Hampir semua negara anggota PBB
menandatangani NPT, kecuali Pakistan, India, dan Israel. Sebaliknya,
Amerika dan Uni Soviet membangun kemampuan untuk menghancurkan
dunia berkali-kali lipat. Hingga 2002, gabungan kapasitas nuklir Amerika
dan Rusia (dulu Uni Soviet) mencakup 95 persen dari jumlah senjata nuklir
112 Ahmad Sahide

yang telah dibangun (Andrew Heywood, 2017).


China, jika dilihat dari segi kepemilikan senjata nuklir, sangat jauh
tertinggal dari Amerika dan Rusia. Meskipun China menempati urutan
ketiga di dunia dari segi kekuatan militer di bawah Amerika dan Rusia
tetapi kekuatan militernya sangat jauh tertinggal, terutama nuklir. Hal itu
bisa kita lihat dari tabel berikut.
Tabel 1: Daftar negara dengan kepemilikan nuklir di dunia
Peringkat Negara Jumlah Kepemilikan Nuklir
1 Rusia 6850
2. Amerika Serikat 6450
3 Perancis 300
4 China 280
5 Inggris 215
6 Pakistan 150
7 India 140
8. Israel 80
9 Korea Utara 60

Sumber: (Saputra, 2019).

Dengan melihat data dari tabel di atas, yang mana China sangat
tertinggal jauh di belakang Rusia dan Amerika dalam hal kepemilikan
nuklir, maka tentu China, dengan pandangan realisnya, merasa tidak
aman di hadapan kedua negara superpower tersebut. Selain itu, ini juga akan
menjadi batu sandungan bagi China untuk menjadi negara superpower di
dunia dua puluh atau tiga puluh tahun ke depan. Di atas sudah disinggung
bahwa untuk menjadi negara superpower, negara memerlukan dominasi
ekonomi dan militer (persenjataan). Kekuatan ekonomi akan membuat
negara lain di dunia bergantung dan tunduk, sementara dengan kekuatan
militer akan menjadi alat untuk ‘memukul’ negara yang berani melawan
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
113

atau mengambil langkah berbeda. Itulah yang dilakukan oleh Amerika saat
ini dengan statusnya sebagai negara pemegang supremasi politik global.
Dari sektor ekonomi, China sedang membangun kekuatan dan
dominasinya dengan membuat kekuatan ekonomi tandingan bersama
Brazil, Rusia, India, dan juga Afrika Selatan, yang dikenal luas dengan
BRICS. Selain itu, pada 2015, China meluncurkan proyek besarnya untuk
menggeser posisi Amerika dalam ekonomi dengan One Belt One Road Initiative
(OBOR) yang mana berhasil meyakinkan lebih dari 60 negara di dunia
untuk bergabung, termasuk beberapa negara Eropa (Cipto, 2017). Oleh
karena itu, tidak diragukan lagi jika banyak pengamat yang memrediksi
China akan menggeser posisi Amerika beberapa tahun mendatang sebagai
negara dengan kekuatan ekonomi nomor satu di dunia. Tapi itu belumlah
cukup untuk menjadi modal sebagai negara superpower, negara pemegang
supremasi politik global, karena China belum mempunyai alat untuk
memukul negara yang tidak patuh dengannya. Dari segi militer, termasuk
nuklir, China masih tertinggal jauh dari Amerika dan Rusia. Sementara
itu, jika China ingin memperkuat persenjataanya dengan mengembangkan
nuklir, ia sudah terhalang dengan perjanjian NPT. Oleh sebab itu, tidak
ada lagi jalan bagi China untuk mengejar ketertinggalannya dari Amerika
dan Rusia dalam hal kepemilikan nuklir karena terikat dengan NPT.
Inilah yang memunculkan konspirasi bahwa China sedang
mengembangkan senjata kimia dengan cara tidak melanggar ‘perjanjian’
yang mengikatnya demi meraih impian politiknya untuk menjadi negara
pemegang supremasi politik global ke depan, menggeser Amerika Serikat.
Oleh karena itu, kecurigaan Donald Trump bahwa Corona Virus bukan dari
pasar hewan, melainkan dari laboratorium biologis di Wuhan (Waton,
2020) disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, Trump dan Amerika
menganut pandangan politik realis serta juga melihat China menganut
114 Ahmad Sahide

pandangan tersebut sehingga keduanya sedang berebut untuk ‘survival of


the fittest’. Kedua, Amerika memang sudah lama melihat China sebagai
ancaman supremasi politik globalnya, mulai dari kebangkitan ekonominya,
inisiatifnya membangun kekuatan tandingan bernama BRICS, serta
dengan meluncurkan OBOR 2015 lalu. Ketiga, virus ini bermula dari
Wuhan, China, sehingga dilihat ada saling keterkaitan antara kebangkitan
ekonomi China, ambisinya untuk menjadi negara superpower, laboratorium
biologis, dan virus Corona yang mematikan. Keempat, virus ini menyebar
setelah satu tahun Institute Virologi Wuhan (WIV) secara resmi dibuka.
Pembelaan China bahwa virus ini berasal dari pasar hewan di kota Wuhan
yang kemudian berpindah ke manusia juga mencurigakan sebab pasar
tersebut sudah lama berdiri sebelum adanya WIV. Inilah yang memperkuat
tuduhan Trump dan kemudian menyudutkan China dari kasus Covid-19
ini. Dengan analisis “prisoner dillema”, Trump menduga China secara diam-
diam sedang mengembangkan senjata biologis.
Bisa dibayangkan, jika virus ini mampu dikonversi China menjadi
senjata kimia biologisnya, maka China akan mempunyai kekuatan
persenjataan yang tidak kalah berbahanya dari senjata nuklir yang banyak
dimiliki oleh Amerika dan Rusia. Maka China akan mempunyai ‘senjata
dan palu’ untuk memukul negara lain yang tidak patuh ketika kelak mampu
berada pada puncak kejayaannya sebagai pemegang supremasi politik
global, menggantikan Amerika. Di sinilah China akan berada pada situasi,
dengan pandangan realisnya, yang aman dari ancaman negara lain,
terutama Amerika Serikat. Dalam realisme, negara yang paling damai
adalah negara yang paling siap untuk berperang dan negara yang paling
siap untuk berperang adalah negara yang paling kuat persenjataannya.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
115

C. Kesimpulan
Covid-19 memang memunculkan teori konspirasi apakah ini terjadi
alami atau karena rekayasa manusia. Namun sebagaimana dikatakan
oleh Fidelis Regi Waton (2020) bahwa teori konspirasi sudah lazim dalam
panorama sejarah. Oleh karena itu, tidak heran kemudian jika Covid-19
disertai dengan konspirasi. Tentu saja sulit membuktikan bahwa virus
Corona adalah dampak dari upaya China untuk mengembangkan senjata
biologis berteknologi tinggi karena sudah pasti China melakukan proteksi
super ketat dengan proyek tersebut. Tetapi pembelaan China bahwa
ini berasal dari pasar hewan di Wuhan juga lemah dan menghadirkan
pertanyaan, kenapa baru menyebar dari hewan ke manusia setelah WIV
resmi beroperasi?
Oleh karena itu, dengan memahami bahwa politik internasional saat
ini didominasi oleh pandangan realisme, maka tentu China ingin mengejar
mimpinya untuk menjadi negara yang paling damai di dunia dengan
memiliki persenjataan terkuat; menjadi ‘survival of the fittest’. Sementara jika
China ingin mengejar ketertinggalannya dari Amerika dan Rusia dalam
hal kepemilikan nuklir, ini sangat tidak mungkin karena terhalang dengan
NPT. Oleh karena itu, China harus mencari ‘cara lain’ untuk menjadi yang
terkuat. Pengembangan senjata biologis yang mematikan bisa menjadi
solusinya. Maka dari itu, tuduhan Trump bahwa virus Corona berasal
dari laboratorium berteknologi tinggi di Wuhan bukanlah tuduhan yang
tidak berdasar. Dengan beberapa indikator di atas, yang dibaca dengan
pandangan realisme, penulis mempunyai dugaan kuat bahwa virus ini
bagian dari upaya China untuk menjadi negara superpower ke depan.
116 Ahmad Sahide

Daftar Pustaka

Cipto, Bambang. 2018. Strategi China Merebut Status Super Power. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Chen, N., Zhou, M., Xuan, D., & Qu, J. (2020, Februari 15). Emergence
of a Novel Coronavirus Disease (COVID-19) and the Importance of Diagnostic
Testing: Why Partnership between Clinical Laboratories, Public Health Agencies,
and Industry Is Essential to Control the Outbreak. The Lancet, 395(10223),
507-513. doi:https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30211-7
Hadiwinata, Bob Sugeng. 2017. Studi dan Teori Hubungan Internasional.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Harly, Y. (2018, April 10). Nuklir dan Kaitannya dengan Perdamaian Dunia.
Retrieved Maret 24, 2020, from kumparan.com: https://kumparan.
com/yulika-harly/nuklir-dan-kaitannya-dengan-perdamaian-dunia
Heywood, Andrew. 2017. Politik Global. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jackson, Robert dan George Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Noam Chomsky. (2016). Who Rules the World? Bandung: Bentang.
Paul, J. (2016). The Rise of China: What, When, Where, and Why? The
International Trade Journal, 30(3), 207–222. https://doi.org/10.1080/0
8853908.2016.1155513
Saputra, E. Y. (2019, Januari 26). 9 Negara Pemilik Senjata Nuklir, Siapa
Terbanyak? Retrieved Maret 24, 2020, from tempo.co: www.google.
com/amp/s/dunia.tempo.co/amp1169109/9-negara-pemilik-senjata-
nuklir-siapa-terbanyak?espv=1
Spielvogel, J, J. (2005). World History. United States of America: National
Geographic School Publishing
Waton, Fidelis Rega. 2020. Covid-19 dan Teori Konspirasi. Kompas Cetak.
28 April 2020.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
117

Yustiningrum, Emilia. 2007. Masalah Senjata Nuklir dan Masa Depan


Perdamaian Dunia. Jurnal Penelitian Politik. Vol. 4. No. 1 (2007).
118 Ahmad Sahide
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
119

Pilpres 2020 dan Runtuhnya


Kredibilitas Demokrasi
Amerika

P
emilihan presiden di Amerika Serikat (AS) selalu menyita
perhatian dunia internasional. Hal tersebut tidak terlepas dari
peran utama dan besar Amerika, sebagai negara superpower,
di kancah politik global. Di samping itu, AS adalah negara kampiun
demokrasi di dunia sehingga pemilihan presiden di jantung peradaban
dunia tersebut menjadi ajang bagi negara-negara di dunia, terutama
dari negara-negara berkembang, untuk belajar bagaimana berdemokrasi
dengan baik.
Pada Desember 1940, Presiden Roosevelt mengusulkan untuk
menjelmakan Amerika ke dalam suatu “gudang besar untuk demokrasi.”
Empat puluh dua tahun kemudian, Presiden Amerika Ronald Reagan
berpidato di Parlemen Inggris dan mengusulkan usaha internasional
bersama “untuk menumbuhkan infrastruktur demokrasi dengan sistem
pers bebas, partai-partai politik, dan universitas-universitas yang
memungkinkan masyarakat untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan
mereka dengan cara damai.” Pada tahun berikutnya, pemerintahan AS
menciptakan “Bantuan nasional untuk demokrasi” (National Endowment for
Democracy) (O’Donnel, dkk: 1991).
120 Ahmad Sahide

Amerika seolah menempatkan dirinya sebagai negara paling


bertanggung jawab untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem yang
diterapkan di seluruh dunia. Francis Fukuyama merespons keruntuhan Uni
Soviet pada awal tahun 1990-an dengan menulis buku untuk mendukung
proyek besar Amerika ini. Dalam bukunya dengan judul The End of History
and the Last Man, Fukuyama membangun tesis bahwa keruntuhan Uni
Soviet adalah akhir dari perang ideologi global dimana kapitalisme dan
demokrasi liberal keluar sebagai pemenang. Setelah itu, seturut tesis
Fukuyama, tidak akan ada lagi ideologi global yang akan menandingi
dominasinya.
Amerika kemudian semakin kokoh menempatkan dirinya sebagai
negara kampiun demokrasi di kancah dunia. Selain itu, kemenangan
Barack Obama, dari warga negara berketurunan kulit hitam, pada
pemilihan presiden 2008 semakin melengkapi sejarah Amerika sebagai
negara yang demokrasinya paling matang di dunia. Kemenangan Barack
Obama mampu mematahkan mitos politik negara Paman Sam tersebut
bahwa untuk menjadi orang nomor satu di negara tersebut haruslah warga
berkulit putih. Kemenangan Obama kala itu, dan dilanjutkan kemenangan
kedua pada 2012, menggambarkan bahwa masyarakat Amerika mampu
keluar dari kotak-kotak etnisitas dan golongan dalam memilih pemimpin.
Mereka melihat gagasan dan harapan perubahan, bukan warna kulit dan
golongan.

A. Titik balik 2016


Demokrasi sejatinya dimaknai sebagai ruang bagi rakyat untuk mencari
dan memilih figur-figur terbaik menjadi pemimpin. Itulah idealitas dari
demokrasi. Namun demikian, pemilihan presiden pada 2016 menjadi
awal dari munculnya setitik noda dalam demokrasi Amerika, negara yang
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
121

selama ini aktif mengajari dunia untuk berdemokrasi. Hal itu ditandai
dengan munculnya sosok seperti Donald Trump, dari calon independen,
yang memenangi konvensi Partai Republik. Donald Trump adalah tokoh
yang bukan dari internal partai dan menjadi kandidat yang sejatinya ‘tidak
dikehendaki’ oleh elite-elite Republik. Oleh karena itu, upaya-upaya telah
dilakukan oleh figur-figur berpengaruh dari Republik untuk menghentikan
laju Trump menuju Gedung Putih, termasuk dengan tidak adanya sinyal
dukungan dari mantan Presiden AS George Walker Bush. Namun
demikian, takdir sejarah politik Amerika berkata lain di mana laju Trump
tidak dapat dihentikan. Senator Texas Ted Cruz, yang didukung oleh
elite partai, akhirnya menyerah untuk menghentikan Trump. Gubernur
Ohio, John Kasich, juga mundur dalam pemilihan pendahuluan kala itu.
Kehadiran Trump di kancah politik Amerika dan dunia pun tidak
kalah hebohnya dengan munculnya Barack Obama pada 2008. Yang
membedakan adalah Obama muncul sebagai sosok fenomenal dan
menghadirkan harapan bagi Amerika dan dunia. Obama muncul kala itu
sebagai candidate of hope. Sementara Donald Trump hadir dengan sosoknya
yang kontroversial dan seolah membelah rakyat AS, dan dunia, antara
like-dislike. Trump adalah candidate of fear, kandidat yang menghadirkan
ketakutan dan kecemasan bukan hanya bagi Amerika, tetapi dunia. Bahkan
internal Partai Republik sekalipun ikut terbelah karena sosok Donald
Trump yang konstroversial itu.
Rizal Mallarangeng, salah satu pengamat politik ternama di Indonesia
menanggapi kemunculan Trump dengan artikelnya di harian Kompas,
8 Oktober 2016, dengan judul Hillary, Tokoh Sejarah di Jalan Berliku. Dari
tulisannya, pengamat politik dan pendiri Freedom Institute itu secara
tegas menunjukkan keberpihakannya kepada mantan first lady Amerika
tersebut. Rizal Mallarangeng menuliskan, “…Mungkin agak berlebihan
122 Ahmad Sahide

jika berkata bahwa Hillary adalah benteng pertahanan terakhir melawan


kegelapan.” William Liddle, Professor Emeritus Ohio State University,
juga merespons dengan menulis di harian Kompas pada 15 Oktober 2016.
Dalam tulisannya, William Liddle menggambarkan sosok Trump sebagai
Orang Kuat yang Mengerikan. Dan hasil survei pada 2016 menunjukkan bahwa
Hillary unggul dari Trump, namun pada hari pemungutan suara yang
keluar sebagai pemenang adalah Trump.
Kemenangan Trump yang kontroversial tersebut mengejutkan
dunia internasional di samping sebagai catatan negatif atau noda hitam
dari iklim demokrasi Amerika. Amerika yang dikenal sebagai negara
dengan tingkat peradaban yang maju dan tinggi justru memilih figur
seperti Donald Trump, yang pernyataannya banyak tidak berdasar, untuk
menjadi pemimpinnya. Bahkan pemimpin dunia. Dan dalam empat
tahun mendiami White House, Trump melanjutkan sikap kontrovesialnya
serta pernyataan-pernyataan politiknya yang tidak berdasar data. Trump
tercatat sebagai Presiden AS yang paling banyak melakukan kebohongan
publik, menjadikan Twitter sebagai media untuk menyebarkan “fake news”
(Grynbaum, 2019). Salah satunya adalah ketika dunia terkena dampak
Coronavirus Desease 2019 (Covid-19), Trump memberikan solusi untuk
melawannya dengan meminum inspektan. Sebuah studi Cornell University
yang dimuat di New York Times, September 2020, menyebut adanya 38
juta artikel di dunia yang menunjukkan Trump adalah sumber terbesar
munculnya disinformasi global (Assegaff, 2021).
Para ilmuwan Amerika tentu saja merasa malu dengan pernyataan-
pernyataan pemimpinnya tersebut. Bagaimana mungkin Amerika yang
dikenal sebagai pusat peradaban dunia saat ini, jantung ilmu pengetahun,
unggul dalam hal riset dan penguasaan teknologi mempunyai pemimpin
yang pernyataannya tidak berdasar hasil riset? Sudah pasti dunia
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
123

menertawai Amerika dengan hadirnya pemimpin hasil dari sebuah proses


yang demokratis seperti Donald Trump tersebut. Jika kemenangan Barack
Obama pada 2008 dapat dikatakan sebagai penyempurna dari perjalanan
demokrasi Amerika, maka kemenangan Trump adalah titik baliknya.
Trump menghadirkan setitik noda dari demokrasi Amerika. Amerika
yang selama ini mengajari, bahkan kadang memaksa, negara-negara di
dunia untuk menerapkan sistem demokrasi justru mempunyai pengalaman
yang menunjukkan bahwa demokrasinya tidaklah sempurna. Juga bisa
dikatakan sedang mengalami kemunduran.
Dua tahun kemudian, tepatnya pada 2018, the Economic Inteligence
Unit mengeluarkan daftar negara-negara demokrasi di dunia yang mana
Amerika masuk pada urutan ke-21 serta dikategorikan sebagai ‘flawed
democracy’ atau demokrasi yang cacat. Setahun sebelumnya, Pew Research
Center melakukan polling yang mana hasilnya hanya 47 persen rakyat
Amerika yang puas dengan cara kerja demokrasi, kurang dari 50 persen
dari total penduduknya. Inilah bentuk krisis dari demokrasi Amerika
(Bambang Cipto, 2019).

B. Piplres 2020 dan Kredibilitas Amerika


Donald Trump kembali maju untuk memertahankan posisinya
sebagai Presiden AS pada pemilihan yang berlangsung 3 November 2020.
Dalam daur ulang demokrasi kali ini, Trump ditantang oleh politisi senior
dari Partai Demokrat, Joe Biden yang menggandeng Kamala Harris,
perempuan berkulit hitam. Biden pernah menjabat sebagai Wakil Presiden
Amerika di bawah pemerintahan Barack Obama dari 2009-2017 awal.
Jajak pendapat sebelum hari H pemilihan sudah menunjukkan bahwa
Trump akan kalah dari Biden. Inilah yang menghadirkan keraguan dan
kecemasan, terutama bagi rakyat Amerika. Apakah Trump akan menerima
124 Ahmad Sahide

hasil dari daur ulang demokrasi jika Biden mengalahkan dirinya?


Kecemasan tersebut terbukti menjadi kenyataan. Trump tidak
menerima dirinya kalah dari Biden-Harris. Bahkan ketika proses
penghitungan suara masih berlangsung dan menunjukkan bahwa Trump
tertinggal dari Biden, Trump langsung mengumumkan bahwa dirinya
kembali memenangi pemilihan presiden. Dan setelah Trump semakin
tertinggal dari Biden akan perolehan Electoral Votes, Trump menuding
adanya kecurangan yang dilakukan oleh pihak Biden-Harris. Trump
menuding Demokrat mencuri suaranya. Karena menuding adanya
kecurangan inilah sehingga Trump mengerahkan massa untuk demonstrasi
di tempat-tempat yang dimenangi Biden (Kompas, 8/11/2020). Trump
kemudian tetap bersikukuh menolak kemenangan Biden-Harris dari
daur ulang demokrasi tersebut meski telah banyak pemimpin negara
di dunia yang memberikan ucapan selamat kepada Biden-Harris atas
kemenangannya (Kompas, 9/11/2020).
Sikap politik Trump yang tidak bersedia menerima hasil pemilihan
tersebut tidak lagi menggambarkan Amerika sebagai negara kampiun
demokrasi di dunia, negara yang demokrasinya matang. Bahkan tradisi di
mana kandidat yang kalah dan menuding pihak menang berlaku curang
(tanpa bukti) sebenarnya hanyalah tradisi politik dan berdemokrasi di
negara-negara berkembang yang demokrasinya belum matang. Tapi
kini, dengan kehadiran Trump, telah meruntuhkan tradisi kematangan
berdemokrasi Amerika. Noda berikutnya yang digoreskan Trump
untuk demokrasi Amerika adalah ketika Trump mengerahkan massa
pendukungnya mengepung Gedung Capitol pada 6 Januari 2021. Trump
tidak menunjukkan sikap sebagai seorang demokrat untuk pemimpin
negara kampiun demokrasi di dunia. Dunia internasional tentu akan
menertawai Amerika dengan hadirnya sosok Trump.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
125

Selain itu, pada saat pelantikan Joe Biden-Kamala Harris sebagai


Presiden dan Wakil Presiden Amerika, Trump mengambil langkah politik
untuk tidak menghadiri prosesi pelantikan tersebut. Apa yang dilakukan
Trump tersebut kembali merusak nilai-nilai dan tradisi demokrasi Amerika.
Padahal Barack Obama, saat meninggalkan Gedung Putih pada Januari
2017, meninggalkan pesan untuk Trump yang semestinya dipahami
dan dijalani dengan baik. Obama, dalam catatannya untuk Trump
mengatakan, “Kita hanyalah penguasa sementara dari tempat ini.” Lebih
lanjut Obama mengatakan, “Terlepas dari dorongan dan tarikan politik,
kitalah yang bertanggung jawab meninggalkan instrumen demokrasi
sekuat saat kita menemukannya” (Kompas.com., 21/01/2021). Trump
bukannya memperkuat instrumen demokrasi, tetapi justru merusaknya.
Tidak salah jika Trump dilihat sebagai Presiden AS yang membawa
kemunduran demokrasi negeri Paman Sam tersebut. Lavistky dan Daniel
Zabiet dalam bukunya yang berjudul How Democracies Die menuliskan
ada empat indikator kemunduran demokrasi di era Trump (Indicators of
Authoritarian Behavior), yaitu Rejection of (or weak commitment to) democratic rules of
the game, Denial of the legitimacy of political opponents, toleration or encouragamement
of violance, readiness to curtail civil liberties of opponents, including media (Lavistky
dan Daniel Zabiet, 2018).

Daftar Pustaka

Assegaff, Syafiq Basri. 2021. Bahaya Infodemi dan Covid-19. Kompas Cetak,
edisi 21 Juni 2021. Hal. 7.
Cipto, Bambang. 2019. Ambruknya Kredibilitas Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
126 Ahmad Sahide

Grynbaum, Michael M. 2019. After Another Year of Trump Attacks, ‘Ominous


Signs’ for the American Press. The New York Times. https://www.nytimes.
com/2019/12/30/business/media/trump-media-2019.html.
Kompas Cetak. Biden Menangi Pemilu Presiden. Edisi 8 November 2020.
Hlm. 1.
Kompas Cetak. Dunia Memasuki Fajar Baru. Edisi 9 November 2020. Hlm. 1.
Kompas.com. Donald Trump Tinggalkan Catatan untuk Joe Biden. Edisi
21 Januari 2021.
Levitsky, Steven and Daniel Ziblatt. 2018. How Democracies Die. USA:
Crown, an imprint of the Crown Publishing Group, a division of
Penguin Random House LLC, New York.
O’Donnell, Guillermo, Philippe Schmitter, and Laurence Whitehead, eds.
1991. Transition fro Authoritarian Rule: Comparative Perspective.
Baltirome: John Hopkins University Press.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
127

Daftar Bacaan

Buku
Acharya, A. (2018). The end of American world Leichtova, M. 2014. Misunderstanding Russia:
order. John Wiley & Sons. Russian Foreign Policy and the West.
Bouët, Antoine and, & David Laborde. 2017. Farnham, MD: Ashgate.
US Trade Wars with Emerging Countries Levitsky, Steven and Daniel Ziblatt. 2018. How
in the 21st Century Make America and Its Democracies Die. USA: Crown, an imprint
Partners Lose Again. International Food of the Crown Publishing Group, a division
Policy Research Institute. of Penguin Random House LLC, New York.
Cipto, Bambang. 2018. Politik Global Amerika; McCarthy, Thomas. 2006. Teori Kritis Jurgen
Dari Obama ke Trump. The Phinisi Press. Habermas. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Cipto, Bambang. 2018. Strategi China Merebut Mankoff, Jeffrey. 2009. Russian Foreign
Status Super Power. Yogyakarta:Pustaka Policy, The Return of Great Power Politics.
Pelajar. ROWMAN & LITTLEFIELD PUBLISHERS, INC.
Cipto, Bambang. 2019. Ambruknya Kredibilitas Muhammad, Ali. 2017. Supranasionalisme Uni
Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Eropa (Institusi, Kebijakan, dan Hubungan
Chomsky, Noam. 2016. Who Rules the World? Internasional). Lembaga Penelitian,
Bandung:Bentang. Publikasi, dan Pengabdian Masyarakat
(LP3M) UMY.
Dahl, Robert. 1971. Polyarchy: Participation
and Opposition. New Heaven, Con: Yale Muhammad,Ali, Mutia Hariati H., Ahmad Sahide.
University Press. 2019. Kebangkitan Kembali Great Power
(Politik Luar Negeri Rusia Era Presiden
Fukuyama, Francis. 2001. Kemenangan Vladimir Putin). Magister Ilmu Hubungan
Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Internasional UMY.
Yogyakarta: Qalam.
O’Donnell, Guillermo, Philippe Schmitter, and
Hadiwinata, Bob Sugeng. 2017. Studi dan Teori Laurence Whitehead, eds. 1991. Transition
Hubungan Internasional. Jakarta: Yayasan fro Authoritarian Rule: Comparative
Pustaka Obor Indonesia. Perspective. Baltirome: John Hopkins
Heywood, Andrew. 2017. Politik Global. University Press.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sahide, Ahmad. 2017. Gejolak Politik Timur
Jackson, Robert dan George Sorensen. 2005. Tengah. Yogyakarta: The Phinisi Press.
Pengantar Studi Hubungan Internasional. Sahide, Ahmad. 2018. Donald Trump; Islamic
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. World and Globally Political Order
Kamus Bahasa Indonesia, 2008. Jakarta: Pusat of Indonesian Perspective. Istanbul:
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Academicsiera.
Ketchum, Richard M. 2004. Pengantar Demokrasi. Sahide, Ahmad. 2019. The Arab Spring;
Terj. Mukhtasar. Yogyakarta: Niagara Tantangan dan Harapan Demokratisasi.
Penerbit Buku Kompas.
128 Ahmad Sahide

Sahrasad, Herdi dan Al Chaidar. 2015. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


Islam, Fundamentalists & Democracy: Wardhani, Baiq L.S.W. 2016. Marxisme. Dalam
A Perspective from Indonesia. Jurnal “Teori Hubungan Internasional, Perspektif-
Ushuluddin, Vol. 2. No. 4. 2015. Perspektif Klasik,” Vinsensio Dugis (Ed).
Snyder, Jack. 2003. Dari Pemungutan Suara ke Surabaya: Cakra Studi Global Strategis
Pertumpahan Darah. Terj. Martin Aleida dan (CSGS).
Parakitri T. Simbolon. Jakarta: Kepustakaan Wolff, Michael. 2018. Fire and Fury Inside the
Populer Gramedia. Trump White House. United State: Little,
Spielvogel, J, J. (2005). World History. United Brown.
States of America: National Geographic Zakaria, F. (2009) The Post American World. New
School Publishing. York: W.W.Norton & Co.
Supardan, Dadang. 2008. Pengantar Ilmu Sosial.

Jurnal
Chen, N., Zhou, M., Xuan, D., & Qu, J. (2020, Jamaluddin, Ahmad. 2019. EFEK WACANA
Februari 15). Emergence of a Novel TERORISME ATAS PELARANGAN MASUK
Coronavirus Disease (COVID-19) and the WARGA NEGARA ISLAM KE AMERIKA
Importance of Diagnostic Testing: Why SERIKAT. Journal of Islamic World and Politic
Partnership between Clinical Laboratories, (JIWP). Vol.3. No.1 January-June 2019.
Public Health Agencies, and Industry Is Kaplan, D., Robert. (2011). The South China Sea Is
Essential to Control the Outbreak. The the Future of Conflict. Foreign Policy. https://
Lancet, 395(10223), 507-513. doi:https://doi. foreignpolicy.com/2011/08/15/the-south-
org/10.1016/S0140-6736(20)30211-7. china-sea-is-the-future-of-conflict/.
Beaumont, P. (2016). Moving US embassy to Kim, H. (2018). The Resilient Foundation of
Jerusalem could provoke violent “chaos”, Democracy: The Legal Deconstruction of
experts warn. The Guardian. https://www. the Washington Posts’s Condemnation of
theguardian.com/us-news/2016/dec/21/us- Edward Snowden. 93 Indiana Law Journal
israel-embassy-jerusalem-peace-process. 533 (2018), 93(2). https://www.repository.
Bendini, Roberto. 2014. The struggle for control law.indiana.edu/ilj/vol93/iss2/8
of the East China Sea. European Union, Klassen, T. (2021, January 21). Biden presidency
DIRECTORATE-GENERAL FOR EXTERNAL marks a return to normalcy after chaotic
POLICIES, POLICY DEPARTMENT. Trump years. The Conversation. http://
Eroukhmanoff, C. (2018). ‘It’s not a Muslim ban!’ theconversation.com/biden-presidency-
Indirect speech acts and the securitisation marks-a-return-to-normalcy-after-chaotic-
of Islam in the United States post-9/11. Global trump-years-153441.
Discourse, 8(1), 5–25. https://doi.org/10.108 Leifer, Michael. 1996. Stalemate in the South
0/23269995.2018.1439873. China Sea. Asia Research Centre, London
Fravel, M. Taylor. 2011. China’s Strategy in the School of Economics and Political Science.
South China Sea.Contemporary Southeast McNamara, Eoin Michael. 2017. Between Trump’s
Asia. Vol. 33. No. 3, pp. 292-319. America and Putin’s Russia: Nordic-Baltic
Ibrahim, I., & Iskandar, I. (2017). Kepentingan Rusia Security Relations amid Transatlantic
Dalam Memberikan Suaka Politik Kepada Drift. Source: Irish Studies in International
Edward Joseph Snowden. Jurnal Online Affairs,(2017), pp. 1-26. Published by: Royal
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Irish Academy.
Politik Universitas Riau, 4(2), 1–13. Morrison, Wayne M.. 2018. China-U.S. Trade
Issues. Congressional Research Service,
Trade War.
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
129

Nanda, Bima Jon dan Indah Mustika Permata. W., Soudien, C., Lingard, B., Tarc, P., Tarc, A.,
2017. BREXIT: Pelajaran bagi ASEAN. Jurnal Hughes, C., Bamberger, A., Zipin, L., & Rud,
Hubungan Internasional UMY. Vol.6.No.1 A. G. (2020). The long read: On the global
(April-September 2017). relevance of the US elections. Educational
Paul, J. (2016). The Rise of China: What, When, Philosophy and Theory, 1–20. https://doi.or
Where, and Why? The International Trade g/10.1080/00131857.2020.1824784
Journal, 30(3), 207–222. https://doi.org/10. Simon, Sheldon W. 2012. Conflict and Diplomacy
1080/08853908.2016.1155513 in the South China Sea. Asian Survey, Vol
P.A.Rifai-Hasan. 2009. Development, Power, 52. No. 6 (November/December 2012). PP.
and the Mining Industry in Papua: A Study 995-1018.nflict
of Freeport Indonesia. Journal of Business Yustiningrum, Emilia. 2007. Masalah Senjata
Ethics, Vol. 89, Supplement 2: International Nuklir dan Masa Depan Perdamaian Dunia.
Business Firms, Economic Development, Jurnal Penelitian Politik. Vol. 4. No. 1 (2007).
and Ethics (2009), pp. 129-143. Published Zhen, Han dan Lihe Dong. Democracy as a Way
by: Springer to Social Compromise. Sumber: Frontiers
Rizvi, F., Peters, M. A., Zembylas, M., Tukdeo, S., of Philosophy in China, Vol. 1, No. 1 (Jan.,
Mason, M., de Souza, L. M. T. M., Chengbing, 2006), pp. 1-5.

Surat kabar dan media online


Ahmad Sahide. (2019). Kebangkitan China di Kompas, Edisi 27 Desember 2016.
Kancah Politik Global. Harian Kompas. Kompas, Edisi 21 Januari 2017.
Assegaff, Syafiq Basri. 2021. Bahaya Infodemi Kompas, Edisi 5 Februari 2017.
dan Covid-19. Kompas Cetak, edisi 21 Juni
2021. Hal. 7. Kompas.com. Presiden Trump Segera
Tandatangani “Kebijakan Anti-imigran”
CNNIndonesia. Trump Ultimatum WHO dan Baru. Edisi 6 Maret 2017.
Ancam Bekukan Bantuan Anggaran. Edisi 20
Mei 2020.https://www.cnnindonesia.com/in Kompas, Edisi 9 Desember 2017.
ternasional/20200520104712-134-505198/ Kompas, edisi 10 Maret 2018
trump-ultimatum-who-dan-ancam-bekukan- Kompas, edisi 22 Maret 2017
bantuan-anggaran/
Kompas.com. Tingkat Kepuasan Publik AS ke
CNNIndonesia. China Sebut AS Coba Lari dari Trump Terendah dalam Sejarah. Edisi 17
Tanggung Jawab ke WHO. Edisi 19 Mei Januari 2018. https://internasional.kompas.
2020. https://www.cnnindonesia.com/int com/read/2018/01/17/18242671/tingkat-
ernasional/20200519171933-134-505009/ kepuasan-publik-as-ke-trump-terendah-
china-sebut-as-coba-lari-dari-tanggung- dalam-sejarah.
jawab-ke-who/
Kompas, edisi 10 Maret 2018. Kebijakan Tarif
Grynbaum, Michael M. 2019. After Another Year Menuai Kecaman. Hal. 8.
of Trump Attacks, ‘Ominous Signs’ for the
Kompas, edisi 20 Juli 2018. Demokrasi Tetap
American Press. The New York Times.
Dipercaya. Hal. 2.
https://www.nytimes.com/2019/12/30/
business/media/trump-media-2019.html. Kompas Cetak. China Respons Keras AS, Bukan
ke ASEAN. Edisi Sabtu, 4 Juli 2020. Hlm.4.
Harly, Y. (2018, April 10). Nuklir dan Kaitannya
dengan Perdamaian Dunia. Retrieved Maret Kompas Cetak. Tegas di Laut China Selatan. Edisi
24, 2020, from kumparan.com: https:// Senin, 6 Juli 2020. Hlm. 6.
kumparan.com/yulika-harly/nuklir-dan- Kompas Cetak. Asia Tenggara Paling Terdampak.
kaitannya-dengan-perdamaian-dunia Edisi Jumat, 24 Juli 2020. Hlm. 4.
Kompas, Edisi 15 Oktober 2016.
130 Ahmad Sahide

Kompas Cetak. China Tidak Suka Relasi AS- israel-speech-transcript.html


Taiwan. Edisi Selasa, 11 Agustus 2020. QS World University Rankings 2019. (2017,
Hlm. 6. February 1). Top Universities. https://www.
Kompas Cetak. Kunjungan Menteri AS ke Taipei. topuniversities.com/university-rankings/
Edisi Selasa, 12 Agustus 2020. Hlm. 6. world-university-rankings/2019
Kompas Cetak. Latihan Perang China Picu Protes. Saputra, E. Y. (2019, Januari 26). 9 Negara
Edisi Kamis, 27 Agustus 2020. Hlm. 4. Pemilik Senjata Nuklir, Siapa Terbanyak?
Kompas Cetak. Biden Menangi Pemilu Presiden. Retrieved Maret 24, 2020, from tempo.
Edisi 8 November 2020. Hlm. 1. co: www.google.com/amp/s/dunia.tempo.
co/amp1169109/9-negara-pemilik-senjata-
Kompas Cetak. Dunia Memasuki Fajar Baru. Edisi nuklir-siapa-terbanyak?espv=1
9 November 2020. Hlm. 1.
The world’s biggest economies in 2018. (n.d.).
Kompas.com. Donald Trump Tinggalkan Catatan World Economic Forum. Retrieved January
untuk Joe Biden. Edisi 21 Januari 2021. 4, 2020, from https://www.weforum.org/
The New York Times. (2017). Full Video and agenda/2018/04/the-worlds-biggest-
Transcript: Trump’s Speech Recognizing economies-in-2018/
Jerusalem as the Capital of Israel. The Waton, Fidelis Rega. 2020. Covid-19 dan Teori
New York Times. https://www.nytimes. Konspirasi. Kompas Cetak. 28 April 2020.
com/2017/12/06/world/middleeast/trump-
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
131

Indeks

A 54, 57, 58, 60, 61, 62, 63, 67,


68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75,
Amerika Serikat viii, xi, 1, 9, 15,
76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83,
16, 17, 26, 29, 33, 39, 40, 41,
84, 85, 86, 87, 99, 100, 101,
42, 43, 44, 49, 52, 57, 58, 59,
102, 105, 106, 107, 108, 109,
61, 65, 71, 75, 76, 77, 79, 83,
111, 112, 113, 114, 115, 116,
84, 85, 91, 93, 101, 102, 107,
127, 128, 129, 130
110, 111, 112, 113, 114, 119
Covid-19 x, xi, 76, 82, 84, 99, 100,
Asia vii, 60, 61, 79, 81, 82, 86, 87,
101, 102, 105, 108, 114, 115,
106, 107, 128, 129
116, 122, 125, 129, 130

B
D
Barack Obama 42, 46, 67, 89, 120,
Demokrasi ix, x, 1, 4, 5, 7, 8, 9, 10,
121, 123, 125
11, 12, 13, 34, 42, 48, 55, 93,
Brexit 10, 68, 70 119, 120, 125, 127, 129
BRICS xi, 61, 62, 63, 71, 75, 79, Donald Trump vii, ix, 9, 10, 30,
107, 109, 113, 114 33, 34, 38, 40, 44, 47, 48, 49,
54, 56, 66, 69, 71, 76, 77, 83,
C 84, 90, 93, 95, 101, 107, 113,
121, 122, 123, 126, 127, 130
Central Inteligence of America xi,
40, 48, 59
E
China vii, viii, ix, x, xi, 9, 13, 15,
30, 38, 41, 42, 43, 49, 52, 53, Eropa xi, 10, 18, 19, 29, 33, 37, 38,
132 Ahmad Sahide

41, 52, 53, 61, 62, 63, 68, 69, K


70, 72, 82, 95, 100, 106, 107,
Kamala Harris 123, 125
108, 113, 127
Kapitalisme 42, 55, 127
G Konspirasi 99, 116, 130
George Walker Bush 35, 42, 89,
121 L
Group Seven (G-7) 63 Liberalisme 19, 22
Libya 35, 93
H
Hillary Clinton 33, 41, 43, 66, 90, M
92 Marxisme 20, 21, 22, 23, 128
Merkantilisme 18, 19, 22
I
Multinational Corporation 15
India xi, 30, 61, 62, 65, 75, 107,
109, 111, 112, 113
N
Indonesia vii, ix, x, 2, 3, 7, 8, 10,
11, 12, 13, 15, 16, 17, 23, 25, NATO xi, 75, 110
31, 36, 42, 46, 56, 59, 60, 61,
79, 82, 83, 89, 90, 91, 93, 94, O
96, 100, 101, 116, 121, 127, One Belt One Road (OBOR) xi,
128, 129 63, 107, 113
International Monetary Fund xi,
27, 51, 58 P
Iran vii, 35, 42, 43, 47, 67, 93, 105 PBB xi, 26, 27, 36, 37, 38, 43, 57,
61, 67, 68, 80, 94, 95, 111
J Perang Dagang ix, 62, 69, 70, 71,
Joe Biden 123, 125, 126, 130 72, 76, 77, 78, 84, 85, 102,
108, 109
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
133

Perang Dingin 41, 42, 44, 49, 58, V


64, 82, 110, 111
Vladimir Putin 9, 40, 41, 42, 47,
Proteksionisme ix, 49, 50, 53 48, 54, 55, 64, 65, 66, 72, 127

R W
Rusia viii, 3, 9, 15, 28, 30, 38, 40, Warsaw Pact 111
41, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49,
World Health Organization
50, 53, 54, 55, 57, 59, 61, 62,
(WHO) xii, 83, 99
63, 64, 65, 66, 67, 68, 71, 72,
73, 75, 77, 93, 105, 107, 111, Wuhan x, xii, 82, 83, 99, 100, 101,
112, 113, 114, 115, 127, 128 102, 105, 106, 108, 113, 114,
115
S
Soeharto 3, 11, 12, 15, 16, 17, 59
Soekarno 11, 15, 16, 17, 59
Supremasi ix, 42, 44, 49, 53, 57, 59
Suriah 3, 35, 43, 47, 50, 65, 67,
68, 93

T
Timur Tengah 13, 37, 43, 67, 72,
97, 127

U
Uni Eropa xi, 10, 37, 38, 52, 53,
62, 63, 68, 69, 70, 72, 95,
108, 127
Uni Soviet 15, 41, 42, 49, 58, 59,
63, 64, 110, 111, 120
134 Ahmad Sahide
DONALD TRUMP DAN
TATANAN POLITIK GLOBAL
135

Ihwal Penulis

AHMAD SAHIDE lahir di Bulukumba, Sulawesi-Selatan. Ia menyelesaikan


pendidikan Strata Satunya (S1) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
(UMY) dengan mengambil jurusan Ilmu Hubungan Internasional (HI)
dari tahun 2004--2008.
Pada tahun 2009, Ahmad Sahide kembali melanjutkan studinya untuk
jenjang Strata Dua (S2) di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada
(UGM) dengan mengambil minat Kajian Timur Tengah (KTT) dan selesai
pada tahun 2011. Ahmad, demikian sapaannya, meraih gelar Doktor (S3)
pada tahun 2016 di UGM dengan konsentrasi yang sama, yakni Kajian
Timur Tengah, Sekolah Pascasarjana, UGM. Saat ini, ia tercatat sebagai
dosen Magister Ilmu Hubungan Internasional (MIHI) UMY.
Selaian menjadi akademisi, Ahmad Sahide aktif dalam dunia literasi
dengan menggerakkan Komunitas Belajar Menulis (KBM). Telah banyak
karya yang lahir dari jari-jarinya, seperti buku Kebebasan dan Moralitas
(2013), Ketegangan Politik Syiah-Sunni di Timur Tengah (2013), serta Mulla Sadra,
Perempuan, dan Sastra (, 2013, bunga rampai), Kekuasaan dan Moralitas (2016),
dan Gejolak Politik Timur Tengah (2017), dan buku terakhirnya berjudul
Demokrasi dan Moral Politik (2018). Selain menulis buku kumpulan esai
dan buku ilmiah, Ahmad juga melahirkan beberapa karya sastra, seperti
novel yang berjudul Cinta Anak Karaeng, Hilang, dan Panggil Ia Gie. Ada juga
antologi cerpen yang ditulis bersama teman-teman komunitasnya, yakni
Pesan Mama tentang Kematian yang Indah. Tulisan-tulisan Ahmad Sahide
136 Ahmad Sahide

dijumpai di beberapa jurnal di Indonesia.


Ahmad Sahide mendapatkan pernghargaan sebagai Best Presenter dalam
International Conference on Social Transformation, Community and Social Development
yang berlangsung di Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia pada tanggal 7-9
November 2017. Pada bulan April 2018, Ahmad Sahide kembali mendapat
kesempatan untuk mempresentasikan papernya yang berjudul “Donald
Trump; Islamic World and Globally Political Order of Indonesian Perspective,” di
Istanbul, Turki, dalam International Conference on Law and Political
Science (ICLPS) .
Tulisan-tulisan Ahmad Sahide juga bisa dijumpai di beberapa media
cetak lainnya, baik lokal maupun nasional, seperti Kedaulatan Rakyat,
Bernas Jogja, Tribun Timur, Suara Muhammadiyah, www.edunews.id,
dan Kompas.

Anda mungkin juga menyukai