| 1
Judul : DEMOKRASI ATAU KLEPTOKRASI?
4 | Arief B. Iskandar
Kenyataan ini diperkuat oleh The Powergame
(1986) karya Hedrick Smith yang menegaskan
bahwa unsur terpenting dalam kehidupan
politik Amerika adalah: (1) uang, (2) duit, dan
(3) fulus. Akibatnya, kedaulatan rakyat
sesungguhnya hanya jargon kosong belaka.
Sebab, yang berdaulat pada akhirnya selalu para
pemilik modal. Maka dari itu, benarlah apa yang
diteriakkan oleh Huey Newton, pemimpin
Black Panther, pada tahun 1960-an, “Power to the
people, for those who can afford it” (Kekuasaan
diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu
membayar untuk itu).
Tulisan berikut sedikit banyak ingin
membuktikan proposisi di atas.
Sekilas Demokrasi
Demokrasi saat ini telah menjadi ‘agama
global’. Mungkin tak ada satu negeri pun di
belahan bumi ini yang tidak mengenal
demokrasi. Namun, demokrasi melahirkan
6 | Arief B. Iskandar
story-nya membuat judul, “Indonesia’s Shining
Muslim Democrazy” (Demokrasi Muslim Bersinar
di Indonesia).
Hal senada juga dinyatakan oleh Mantan
Presiden AS Jimmy Carter, “Sebuah tonggak
sejarah bagi kita, Pemilu ini (Pemilu 2004, pen.) juga
merupakan langkah penting bagi demokrasi di seluruh
dunia. Rakyat Indonesia sedang memberikan contoh
dramatik tentang perubahan politik yang damai, dan
dengan kukuh menafikan klaim bahwa masyarakat
Islam bersifat antidemokratik.” (International Herald
Tribune, 15/7/2004).
Namun demikian, tetap saja Amerika—juga
Eropa—dianggap sebagai ‘kampiun demokrasi’.
Bahkan praktik demokrasi di kedua kawasan itu
menjadi rujukan bagi praktik serupa di berbagai
belahan dunia lainnya. Karena itu pula, terkait
dengan penyelenggaraan pemerintahaan yang
demokratis, para pejabat atau wakil rakyat di
negeri ini kerap melakukan studi banding ke
Amerika atau negara-negara Eropa.
8 | Arief B. Iskandar
dianggap sebagai jalan pembuka munculnya
kembali demokrasi di Barat.
Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika
Eropa bangkit pada Abad Pencerahan. Pada
masa itu, muncullah sejumlah pemikir yang
mendukung berkembangnya demokrasi seperti
John Locke dari Inggris (1632-1704) dan
Montesquieu dari Prancis (1689-1755). Pada
masa itu pula, lahir pemikiran-pemikiran besar
tentang relasi antara penguasa dan rakyat, atau
negara dan masyarakat.
Ide demokrasi terus mengalir hingga ke
Timur Tengah pada pertengahan abad ke-19.
Gagasan demokrasi itu dibawa ke negara-negara
berpenduduk Muslim oleh para pemikir Islam
yang mempelajari budaya Barat. Salah satunya
adalah Muhammad Abduh (1848-1905), yang
menekankan pentingnya umat Islam untuk
mengadopsi hukum-hukum Barat secara
selektif.
10 | Arief B. Iskandar
suara mayoritas rakyat. Artinya, di sini yang
terjadi sebetulnya adalah tirani minoritas.
Parlemen di AS, misalnya, sering
didominasi oleh mereka yang bermodal kuat,
baik karena mereka pengusaha atau karena
mereka disokong oleh pengusaha. Di Indonesia
pun tak jauh beda. Wajar jika kemudian banyak
UU, keputusan hukum atau peraturan yang lahir
dari parlemen/DPR lebih mewakili kepentingan
mereka yang sesungguhnya minoritas itu; dan
sebaliknya sering merugikan mayoritas rakyat.
Di Indonesia, lahirnya UU Migas, UU
Listrik, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU
BHP, dll jelas lebih berpihak kepada para
pemilik modal dan merugikan mayoritas rakyat.
Walhasil, sadar atau tidak, idealitas demokrasi
sering dikalahkan oleh aktualitasnya.
Karena itu Aristoteles menyebut pember-
lakuan demokrasi sebagai suatu kemerosotan.
Alasannya adalah ketidakmungkinan orang
banyak untuk memerintah. Bahkan Plato,
12 | Arief B. Iskandar
Demokrasi ‘Kulit’
Memang, Indonesia pernah dipuja-puji
sebagai ‘jawara demokrasi’. Bukan hanya Jimmy
Carter yang memberikan apresiasi positif
terhadap demokrasi di Indonesia. Sukses kerja
demokrasi di negeri berpenduduk mayoritas
Muslim ini—meskipun baru seumur jagung—
juga dianggap meyakinkan oleh sejumlah
akademisi politik ternama seperti Liddle dan
Hefner. Mereka menyatakan bahwa Indonesia
memiliki modal kuat untuk menjadi sebuah
negara demokrasi.
Namun demikian, sengaja atau tidak,
menurut Ismail Yusanto (2009), para ahli Barat
sering melupakan bahwa semua itu sesungguh-
nya hanya dinisbatkan pada kategori-kategori
demokrasi yang sangat artifisial, jauh dari
subtansi demokrasi itu sendiri. Pemilu damai,
transparansi, kebebasan, persamaan, dll hanya-
lah kategori-kategori yang sangat teknikal dan
prosedural.
14 | Arief B. Iskandar
Setiap tahun lembaga ini meneliti tingkat
kebebasan sipil (civil liberties) dan akomodasi
hak-hak politik (political rights) di 192 negara.
Hasilnya disimpulkan dalam tiga kategori:
“bebas”, “semi-bebas” (partly free) dan “tidak-
bebas”. Makin bebas suatu negara, diasumsikan
demokrasi semakin terjamin.
Dalam kategori yang lebih rinci, Robert
Dahl, ahli kawakan demokrasi, dalam karyanya,
Polyarchy (1971: 1-3), menyebut delapan syarat
institusional bagi bangunan sebuah negara de-
mokrasi: (1) kebebasan untuk membentuk dan
mengikuti organisasi; (2) kebebasan berekspresi;
(3) hak memberikan suara; (4) eligibilitas untuk
menduduki jabatan publik; (5) hak para pe-
mimpin politik untuk berkompetisi secara sehat
merebut dukungan dan suara; (6) tersedianya
sumber-sumber informasi alternatif; (7) pemilu
yang bebas dan adil; dan (8) institusi-institusi
untuk menjadikan kebijakan pemerintah ber-
gantung pada suara-suara (pemilih, rakyat) dan
ekspresi pilihan (politik) lainnya.
Subtansi Demokrasi
Secara teoretik, berdasarkan kesepakatan
umum, demokrasi adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; seba-
gaimana dinyatakan oleh mantan Presiden AS
Abraham Lincoln. Karena itu gagasan dasar
demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Inilah
sebetulnya inti sekaligus subtansi demokrasi
secara teoretik.
Dalam ungkapan lain, menurut International
Commision of Jurists dalam konferensinya di
Bangkok, perumusan yang paling umum
mengenai sistem politik yang demokratis adalah
suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik diseleng-
16 | Arief B. Iskandar
garakan oleh warga negara melalui wakil-wakil
yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung
jawab kepada mereka melalui suatu proses
pemilihan yang bebas (Budiardjo, 2008).
Namun demikian, itu baru dalam tataran
teori. Dalam tataran praktiknya tidaklah demi-
kian. Dalam negara demokrasi, yang sering ber-
laku adalah hukum besi oligarki: sekelompok
penguasa saling bekerja-sama untuk menentu-
kan kebijakan politik sosial dan ekonomi negara
tanpa harus menanyakan bagaimana aspirasi
rakyat yang sebenarnya.
Di sisi lain, demokrasi yang dekat dengan
semboyan “kebebasan, persamaan dan persau-
daraan” dalam praktiknya juga selalu menyisa-
kan ironi. Revolusi Prancis merupakan contoh
terbaik dari ironi demokrasi ini. Di Prancis,
demokrasi berubah menjadi alat bagi segelintir
orang untuk memperdaya rakyat. Awalnya,
banyak rakyat miskin di Prancis kala itu
mendukung revolusi tersebut karena terkagum-
kagum pada semboyan: “Liberte, Egalite, Franite”.
18 | Arief B. Iskandar
Bicara dan Diplomasi Munafik Ala Yahudi,
membongkar dominasi Lobi Yahudi (AIPAC)
dalam tubuh Kongres AS. Tidak seorang pun
calon presiden AS yang bisa duduk di kursi
kepresidenan tanpa direstui oleh Lobi Yahudi
tersebut, tegasnya.
Lebih dari itu, sejarah telah membuktikan
bahwa demokrasi yang diklaim Amerika hanya
dijadikan alat untuk mengintervensi sekaligus
menundukkan negara lain. Inilah sesungguhnya
yang secara kasatmata dipraktikkan Amerika
atas Dunia Islam, khususnya di Irak dan
Afghanistan. Kita masih ingat, salah satu alasan
utama Amerika untuk menyerang dan men-
duduki kedua negara itu adalah demi sebuah
‘alasan luhur’: demokratisasi. Ironis, demi
sebuah ‘agenda luhur’ demokratisasi, Amerika
justru menggunakan cara-cara yang sangat tidak
demokratis.
Anehnya, meski kebobrokan demokrasi
demikian nyata, selalu ada pembelaan yang
terkesan defensif dari para pengusungnya.
20 | Arief B. Iskandar
massa dinilai kurang bermutu (Kompas,
2/1/2004).
22 | Arief B. Iskandar
‘demokrasi praktik’ sering bertentangan dengan
‘demokrasi teori’.
Contoh yang paling mendasar, kedaulatan
rakyat sebagai ‘ruh’ demokrasi dalam praktiknya
selalu dibajak oleh segelintir para pemilik modal
atau oleh elit penguasa yang didukung oleh para
pemodal. Uniknya, hal ini merupakan gejala
atau fenomena umum di negara-negara peng-
anut demokrasi, tanpa kecuali. Kenyataan ini
tentu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah ano-
mali demokrasi, karena terjadi di Amerika dan
Eropa sebagai kampiun demokrasi, ataupun di
Indonesia yang baru-baru ini didaulat sebagai
‘jawara demokrasi’.
Selain itu, para pengusung demokrasi sering
mengklaim bahwa demokrasi menjamin kemak-
muran, kesejahteraan dan keadilan; memberikan
garansi kebebasan dan persamaan; serta mena-
warkan kemajuan dan keadaban. Faktanya,
semua itu dusta belaka. Kemakmuran, kesejah-
teraan dan keadilan yang dijamin demokrasi
24 | Arief B. Iskandar
Khusus terkait dengan Dunia Islam, Ame-
rika dan Eropa bukan hanya bertindak tidak
beradab, bahkan mereka melakukan tindakan
biadab seperti membantai ratusan ribu kaum
Muslim di Irak dan Afganistan, justru atas nama
‘niat mulia’: demokratisasi! Amerika dan Eropa
juga membuktikan dirinya sebagai negara paling
tidak demokratis dengan menjadi penyokong
utama perampasan atas tanah Palestina se-
kaligus pembantaian ratusan ribu penduduknya
oleh Israel sejak pendudukannya.
Semua fakta di atas seolah meneguhkan
pernyataan-pernyataan jujur dari mereka yang
secara jernih melihat demokrasi. Chandra
Muzzafar, Direktur Just World Trust (LSM di
Penang Malaysia), misalnya, dalam buku Hak-
Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru
memandang ide-ide demokratis adalah berasal
dari Barat dan bersifat kolonis. Dalam bukunya
itu, kurang lebih ia menulis, demokrasi hanyalah
alat yang amat mencolok untuk melanggengkan
26 | Arief B. Iskandar
Pernyataan-pernyataan di atas sesungguh-
nya hanyalah kesimpulan belaka dari realitas
demokrasi di seluruh dunia. Baik Amerika yang
dianggap sebagai kampiun sekaligus pendekar
demokrasi maupun Indonesia yang pernah
didaulat sebagai jawara demokrasi, dalam prak-
tiknya tak lebih merupakan negara ‘kleptokrasi’;
negara yang dikuasai ‘para maling’.
Pasalnya, di negara-negara demokrasi, yang
selalu memiliki kuasa adalah segelintir orang
yang ‘bermental maling’. Merekalah yang telah
‘mencuri’ atau ‘merampas’ kedaulatan rakyat
dan mengubahnya menjadi kedaulatan elit wakil
rakyat, elit politik dan elit para pemilik modal.
Walhasil, secara faktual, demokrasi ideal
hanya ada dalam khayal, tidak pernah mem-
bumi, dan bahwa cita-cita mendirikan negara
demokrasi memang hanya sebuah ilusi![]