Anda di halaman 1dari 32

Demokrasi atau Kleptokrasi?

| 1
Judul : DEMOKRASI ATAU KLEPTOKRASI?

Penulis : Arief B. Iskandar

Desain & layout : Tim Follback Dakwah 2019


DEMOKRASI
ATAU KLEPTOKRASI?

H arian Kompas (14/6/2011) pernah


menampilkan salah satu headline
berjudul, “Negara Menuju ke Arah
Kleptokrasi.”
Tentu tepat ungkapan di atas. Sebab,
dengan mencermati realitas kekinian, saat ini
kasus-kasus korupsi di berbagai level begitu
marak. Korupsi bukan hanya dilakukan oleh
para pejabat negara di tingkat pusat hingga
daerah, tetapi bahkan dipraktikkan secara
sempurna oleh para wakil rakyat—yang tentu
merupakan pilar demokrasi—di pusat hingga
daerah.

Demokrasi atau Kleptokrasi? | 3


Sebetulnya demokrasi bukan sekadar
sedang mengarah menuju kleptokrasi. Dalam
pengantar untuk buku Ilusi Negara Demokrasi
(2009), saya telah menegaskan bahwa demokrasi
justru identik dengan kleptokrasi itu sendiri.
Pasalnya, kleptokrasi sesungguhnya tidak
sekadar ditunjukkan oleh perilaku korup para
pejabat atau wakil rakyat, sebagaimana yang kita
saksikan secara telanjang hari ini.
Kleptokrasi justru melekat dalam sistem
demokrasi yang memang selalu didominasi oleh
kekuatan para pemilik modal yang kemudian
selalu sukses ‘mencuri’ kedaulatan rakyat atas
nama demokrasi. Itulah yang terjadi di Amerika
Serikat sendiri sebagai negara kampiun
demokrasi. Ralph Nader, pada tahun 1972
menerbitkan buku Who Really Runs Congress?
Buku ini menceritakan betapa kuatnya para
pemilik modal mempengaruhi dan membiayai
lobi-lobi Kongres.

4 | Arief B. Iskandar
Kenyataan ini diperkuat oleh The Powergame
(1986) karya Hedrick Smith yang menegaskan
bahwa unsur terpenting dalam kehidupan
politik Amerika adalah: (1) uang, (2) duit, dan
(3) fulus. Akibatnya, kedaulatan rakyat
sesungguhnya hanya jargon kosong belaka.
Sebab, yang berdaulat pada akhirnya selalu para
pemilik modal. Maka dari itu, benarlah apa yang
diteriakkan oleh Huey Newton, pemimpin
Black Panther, pada tahun 1960-an, “Power to the
people, for those who can afford it” (Kekuasaan
diperuntukkan bagi siapa saja yang mampu
membayar untuk itu).
Tulisan berikut sedikit banyak ingin
membuktikan proposisi di atas.

Sekilas Demokrasi
Demokrasi saat ini telah menjadi ‘agama
global’. Mungkin tak ada satu negeri pun di
belahan bumi ini yang tidak mengenal
demokrasi. Namun, demokrasi melahirkan

Demokrasi atau Kleptokrasi? | 5


aneka tafsir terhadap dirinya. Akibatnya, dalam
praktiknya, demokrasi tidaklah seragam di
berbagai negara, termasuk di Amerika dan
Eropa. Karena itu, sampai saat ini perdebatan
seputar negara mana yang dianggap paling
demokratis menjadi tampak absurd.
Pasalnya, standar yang digunakan untuk
mengukur demokratis-tidaknya sebuah negara
sering tidak ‘standar’. Tidak aneh, jika seorang
tokoh Muslim dari partai Islam di negeri ini
pernah menyatakan, bahwa Indonesia sesung-
guhnya lebih demokratis daripada Amerika.
Alasannya sangat sederhana: Indonesia pernah
memiliki presiden perempuan, sedangkan Ame-
rika belum pernah memilikinya hingga hari ini.
Lebih dari itu, Indonesia pernah didaulat
sebagai ‘jawara demokrasi’ hanya karena
dianggap sukses menyelenggarakan Pemilu
2004 secara damai. Keberhasilan Indonesia
menyelenggarakan Pileg dan Pilpres sepanjang
tahun 2004 lalu dipuji oleh majalah terkemuka
The Economist edisi 10 Juli 2004, yang dalam cover

6 | Arief B. Iskandar
story-nya membuat judul, “Indonesia’s Shining
Muslim Democrazy” (Demokrasi Muslim Bersinar
di Indonesia).
Hal senada juga dinyatakan oleh Mantan
Presiden AS Jimmy Carter, “Sebuah tonggak
sejarah bagi kita, Pemilu ini (Pemilu 2004, pen.) juga
merupakan langkah penting bagi demokrasi di seluruh
dunia. Rakyat Indonesia sedang memberikan contoh
dramatik tentang perubahan politik yang damai, dan
dengan kukuh menafikan klaim bahwa masyarakat
Islam bersifat antidemokratik.” (International Herald
Tribune, 15/7/2004).
Namun demikian, tetap saja Amerika—juga
Eropa—dianggap sebagai ‘kampiun demokrasi’.
Bahkan praktik demokrasi di kedua kawasan itu
menjadi rujukan bagi praktik serupa di berbagai
belahan dunia lainnya. Karena itu pula, terkait
dengan penyelenggaraan pemerintahaan yang
demokratis, para pejabat atau wakil rakyat di
negeri ini kerap melakukan studi banding ke
Amerika atau negara-negara Eropa.

Demokrasi atau Kleptokrasi? | 7


Makna Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa Latin: demos
(rakyat) dan kratos (pemerintahan). Demokrasi
selalu diasosiasikan sebagai suatu bentuk
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat. Demokrasi dinilai sebagai sebuah sistem
politik dan pemerintahan terbaik saat ini.
Penilaian ini terutama muncul saat dihadapkan
pada penderitaan masyarakat di bawah sistem
pemerintahan yang berdasarkan Fasisme,
Totaliterianisme, Komunisme dan paham-
paham anti-demokrasi lainnya pada beberapa
dekade yang lalu.
Konon, demokrasi berakar dari peradaban
bangsa Yunani Kuno pada 500 SM.
Chleisthenes, tokoh pada masa itu, dianggap
banyak memberikan kontribusi dalam
pengembangan demokrasi. Gagasan demokrasi
yang berkembang di Yunani sempat hilang di
Barat, saat Romawi Barat takluk di tangan suku
Jerman. Magna Charta yang lahir pada 1215

8 | Arief B. Iskandar
dianggap sebagai jalan pembuka munculnya
kembali demokrasi di Barat.
Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika
Eropa bangkit pada Abad Pencerahan. Pada
masa itu, muncullah sejumlah pemikir yang
mendukung berkembangnya demokrasi seperti
John Locke dari Inggris (1632-1704) dan
Montesquieu dari Prancis (1689-1755). Pada
masa itu pula, lahir pemikiran-pemikiran besar
tentang relasi antara penguasa dan rakyat, atau
negara dan masyarakat.
Ide demokrasi terus mengalir hingga ke
Timur Tengah pada pertengahan abad ke-19.
Gagasan demokrasi itu dibawa ke negara-negara
berpenduduk Muslim oleh para pemikir Islam
yang mempelajari budaya Barat. Salah satunya
adalah Muhammad Abduh (1848-1905), yang
menekankan pentingnya umat Islam untuk
mengadopsi hukum-hukum Barat secara
selektif.

Demokrasi atau Kleptokrasi? | 9


Cacat Bawaan Demokrasi
Secara teoretis, inti atau substansi
demokrasi, sebagaimana telah dimaklumi,
adalah kedaulatan rakyat. Justru di sinilah akar
persoalan sekaligus yang menjadi cacat bawaan
demokrasi. Pasalnya, rakyat sendiri adalah
individu yang tak lepas dari tarikan hawa nafsu
dan godaan setan yang terkutuk. Karena itu
dalam demokrasi, menyerahkan timbangan
baik-buruk atau halal-haram kepada rakyat jelas
sebuah kesalahan fatal.
Selain itu, dengan kedaulatan rakyat sebagai
inti, demokrasi mengklaim bahwa segala
keputusan hukum selalu didasarkan pada
prinsip suara mayoritas rakyat. Namun, dalam
praktiknya, karena pada faktanya
parlemen/DPR sering dikuasai oleh segelintir
elit politik, para pemilik modal, atau kedua-
duanya, suara mayoritas yang dihasilkan
hanyalah mencerminkan suara mereka yang
sesungguhnya minoritas, tidak mencerminkan

10 | Arief B. Iskandar
suara mayoritas rakyat. Artinya, di sini yang
terjadi sebetulnya adalah tirani minoritas.
Parlemen di AS, misalnya, sering
didominasi oleh mereka yang bermodal kuat,
baik karena mereka pengusaha atau karena
mereka disokong oleh pengusaha. Di Indonesia
pun tak jauh beda. Wajar jika kemudian banyak
UU, keputusan hukum atau peraturan yang lahir
dari parlemen/DPR lebih mewakili kepentingan
mereka yang sesungguhnya minoritas itu; dan
sebaliknya sering merugikan mayoritas rakyat.
Di Indonesia, lahirnya UU Migas, UU
Listrik, UU SDA, UU Penanaman Modal, UU
BHP, dll jelas lebih berpihak kepada para
pemilik modal dan merugikan mayoritas rakyat.
Walhasil, sadar atau tidak, idealitas demokrasi
sering dikalahkan oleh aktualitasnya.
Karena itu Aristoteles menyebut pember-
lakuan demokrasi sebagai suatu kemerosotan.
Alasannya adalah ketidakmungkinan orang
banyak untuk memerintah. Bahkan Plato,

Demokrasi atau Kleptokrasi? | 11


pemikir Yunani yang juga diagung-agungkan
oleh Barat, melancarkan kritik terhadap
demokrasi. Katanya, kebanyakan orang adalah
bodoh, atau jahat, atau kedua-duanya, dan
cenderung berpihak kepada diri sendiri.
Jika orang banyak ini dituruti maka
muncullah kekuasaan yang bertumpu pada
ketiranian dan teror. Karena itu pula diyakini,
hanya segelintir orang yang diuntungkan dari
sistem pemerintahan yang demokratis ini.
Pada zaman Yunani Kuno sendiri, periode
demokratis dalam sejarahnya tercatat hanya
sebagai kasus-kasus istimewa. Politik Yunani
pada masa beberapa abad Sebelum Masehi
justru didominasi oleh periode kediktatoran
tirani dan oligarki. Benih demokrasi malah
hancur ketika Negara Sparta yang otoriter
mengalahkan Athena dalam perang Ploponesia
(Amien Rais, “Demokrasi dengan Proses Politik,”
LP3ES, 1986).

12 | Arief B. Iskandar
Demokrasi ‘Kulit’
Memang, Indonesia pernah dipuja-puji
sebagai ‘jawara demokrasi’. Bukan hanya Jimmy
Carter yang memberikan apresiasi positif
terhadap demokrasi di Indonesia. Sukses kerja
demokrasi di negeri berpenduduk mayoritas
Muslim ini—meskipun baru seumur jagung—
juga dianggap meyakinkan oleh sejumlah
akademisi politik ternama seperti Liddle dan
Hefner. Mereka menyatakan bahwa Indonesia
memiliki modal kuat untuk menjadi sebuah
negara demokrasi.
Namun demikian, sengaja atau tidak,
menurut Ismail Yusanto (2009), para ahli Barat
sering melupakan bahwa semua itu sesungguh-
nya hanya dinisbatkan pada kategori-kategori
demokrasi yang sangat artifisial, jauh dari
subtansi demokrasi itu sendiri. Pemilu damai,
transparansi, kebebasan, persamaan, dll hanya-
lah kategori-kategori yang sangat teknikal dan
prosedural.

Demokrasi atau Kleptokrasi? | 13


Bahkan Freedom House’s Annual Survey of
Political Rights and Civil Liberties (dalam Lawrence
E. Harrison, 2000), saat membuat indeks
negara-negara demokrasi, sekadar merujuk pada
satu kategori saja: faktor kebebasan. Indeks
berskala satu (lebih banyak kebebasan) sampai
tujuh (lebih sedikit kebebasan) itu berisikan dua
hal.
Pertama: berkaitan dengan hak-hak politik:
apakah para pimpinan pemerintahan dan
anggota parlemen dipilih melalui pemilihan
yang bebas dan bersih; apakah warga negara
berhak berkompetisi dalam membentuk partai-
partai politik dan organisasi lainnya; apakah ada
suara yang berarti dari kelompok oposisi atau
kesempatan lebih realistik bagi kelompok
oposisi meningkatkan dukungannya.
Kedua: kebebasan sipil; termasuk kebebasan
dan independensi media, kebebasan berbicara,
lembaga peradilan, kesamaan di bawah hukum,
lembaga yudikatif yang tidak diskriminatif,
perlindungan dari teror politik, dan lain-lain.

14 | Arief B. Iskandar
Setiap tahun lembaga ini meneliti tingkat
kebebasan sipil (civil liberties) dan akomodasi
hak-hak politik (political rights) di 192 negara.
Hasilnya disimpulkan dalam tiga kategori:
“bebas”, “semi-bebas” (partly free) dan “tidak-
bebas”. Makin bebas suatu negara, diasumsikan
demokrasi semakin terjamin.
Dalam kategori yang lebih rinci, Robert
Dahl, ahli kawakan demokrasi, dalam karyanya,
Polyarchy (1971: 1-3), menyebut delapan syarat
institusional bagi bangunan sebuah negara de-
mokrasi: (1) kebebasan untuk membentuk dan
mengikuti organisasi; (2) kebebasan berekspresi;
(3) hak memberikan suara; (4) eligibilitas untuk
menduduki jabatan publik; (5) hak para pe-
mimpin politik untuk berkompetisi secara sehat
merebut dukungan dan suara; (6) tersedianya
sumber-sumber informasi alternatif; (7) pemilu
yang bebas dan adil; dan (8) institusi-institusi
untuk menjadikan kebijakan pemerintah ber-
gantung pada suara-suara (pemilih, rakyat) dan
ekspresi pilihan (politik) lainnya.

Demokrasi atau Kleptokrasi? | 15


Jelas, kategori-kategori ini jauh dari subtansi
demokrasi itu sendiri, baik dalam tataran teori
maupun praktik. Dengan kata lain, kategori-
kategori tersebut baru mencerminkan demo-
krasi ‘kulit’, bukan ‘isi’ demokrasi itu sendiri.

Subtansi Demokrasi
Secara teoretik, berdasarkan kesepakatan
umum, demokrasi adalah pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; seba-
gaimana dinyatakan oleh mantan Presiden AS
Abraham Lincoln. Karena itu gagasan dasar
demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Inilah
sebetulnya inti sekaligus subtansi demokrasi
secara teoretik.
Dalam ungkapan lain, menurut International
Commision of Jurists dalam konferensinya di
Bangkok, perumusan yang paling umum
mengenai sistem politik yang demokratis adalah
suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik diseleng-

16 | Arief B. Iskandar
garakan oleh warga negara melalui wakil-wakil
yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggung
jawab kepada mereka melalui suatu proses
pemilihan yang bebas (Budiardjo, 2008).
Namun demikian, itu baru dalam tataran
teori. Dalam tataran praktiknya tidaklah demi-
kian. Dalam negara demokrasi, yang sering ber-
laku adalah hukum besi oligarki: sekelompok
penguasa saling bekerja-sama untuk menentu-
kan kebijakan politik sosial dan ekonomi negara
tanpa harus menanyakan bagaimana aspirasi
rakyat yang sebenarnya.
Di sisi lain, demokrasi yang dekat dengan
semboyan “kebebasan, persamaan dan persau-
daraan” dalam praktiknya juga selalu menyisa-
kan ironi. Revolusi Prancis merupakan contoh
terbaik dari ironi demokrasi ini. Di Prancis,
demokrasi berubah menjadi alat bagi segelintir
orang untuk memperdaya rakyat. Awalnya,
banyak rakyat miskin di Prancis kala itu
mendukung revolusi tersebut karena terkagum-
kagum pada semboyan: “Liberte, Egalite, Franite”.

Demokrasi atau Kleptokrasi? | 17


Mereka berharap, Prancis akan menjadi pelopor
bagi kehidupan negara paling demokratis.
Namun, sejarah membuktikan angan-angan
tersebut tak pernah terwujud. Kemerdekaan
(liberte) yang dimaksud ternyata hanya berlaku
bagi kaum borjuis untuk memonopoli pasar,
yang pada akhirnya menggulung habis semua
potensi pengusaha lemah. Demikian pula
persamaan (elagite) dan persaudaraan (fraternite).
Sebab itu, Revolusi Prancis sesungguhnya
hanyalah revolusi kaum borjuis (bangsawan),
bukan revolusi bagi keseluruhan rakyat demi
demokrasi. Faktanya, kehidupan rakyat kecil
sebelum dan setelah revolusi tidak berubah.
Semua ini terjadi karena pada akhirnya segelintir
orang itulah yang berdaulat, bukan rakyat.
Amerika Serikat—yang membangga-bang-
gakan diri sebagai negara paling demokratis di
dunia dan pejuang HAM yang hebat—ternyata
juga menyimpan borok demokrasi. Senator AS
Paul Findley lewat bukunya, Mereka yang Berani

18 | Arief B. Iskandar
Bicara dan Diplomasi Munafik Ala Yahudi,
membongkar dominasi Lobi Yahudi (AIPAC)
dalam tubuh Kongres AS. Tidak seorang pun
calon presiden AS yang bisa duduk di kursi
kepresidenan tanpa direstui oleh Lobi Yahudi
tersebut, tegasnya.
Lebih dari itu, sejarah telah membuktikan
bahwa demokrasi yang diklaim Amerika hanya
dijadikan alat untuk mengintervensi sekaligus
menundukkan negara lain. Inilah sesungguhnya
yang secara kasatmata dipraktikkan Amerika
atas Dunia Islam, khususnya di Irak dan
Afghanistan. Kita masih ingat, salah satu alasan
utama Amerika untuk menyerang dan men-
duduki kedua negara itu adalah demi sebuah
‘alasan luhur’: demokratisasi. Ironis, demi
sebuah ‘agenda luhur’ demokratisasi, Amerika
justru menggunakan cara-cara yang sangat tidak
demokratis.
Anehnya, meski kebobrokan demokrasi
demikian nyata, selalu ada pembelaan yang
terkesan defensif dari para pengusungnya.

Demokrasi atau Kleptokrasi? | 19


Sudah terlalu sering kita mendengar, bahwa
demokrasi memang bukan sistem ideal untuk
mengatur negara, tetapi di antara banyak sistem
yang ada, demokrasilah yang paling mungkin
untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan
warga negara. Hanya pada demokrasilah di-
mungkinkan terjadinya koreksi politik secara
sistematik. Itulah yang tampak pada berbagai
tulisan para pengusung demokrasi yang tetap
masih menaruh harapan pada demokrasi.
Komarudin Hidayat, misalnya, pernah
menulis, salah satu cacat bawaan demokrasi
adalah bahwa Pemilu demokratis tidak selalu
melahirkan presiden yang ideal. Namun
menurut dia, sebagai sebuah sistem dan etika
politik, demokrasi telah teruji sebagai pilihan
terbaik karena lebih menjanjikan bagi kelang-
sungan dan stabilitas hidup bernegara secara
beradab. Kitanya saja yang sering tidak sabar
dengan sebuah proses dan prosedur demokrasi,
apalagi saat calon pemimpin yang diunggulkan

20 | Arief B. Iskandar
massa dinilai kurang bermutu (Kompas,
2/1/2004).

Adakah Negara Demokrasi?


Dengan realitas yang terkesan kontradiktif
antara teori demokrasi dan praktiknya selama
ini, tentu penting bagi setiap orang untuk
bertanya: Adakah tipikal negara yang benar-
benar demokratis? Dengan kata lain, adakah
negara demokrasi itu?
Bagi seorang Muslim, pertanyaan tersebut
penting untuk dijawab. Pasalnya, demokrasi saat
ini bukan hanya milik negara-negara Barat
sebagai penggagas sekaligus pengusung utama-
nya. Demokrasi kini telah menjadi bagian dari
dinamika kehidupan politik kaum Muslim di
seluruh dunia. Bahkan sebagian kalangan Mus-
lim bukan hanya bangga menjadi bagian dari
demokrasi.
Dalam kadar tertentu mereka siap
memperjuangkan tegaknya demokrasi dan bah-

Demokrasi atau Kleptokrasi? | 21


kan rela mati demi demokrasi. Ironisnya, pada
saat yang sama mereka menolak hal-hal yang
berbau formalisasi syariah, termasuk tentu saja
wacana tentang negara syariah.
Jadi, bagaimana sebetulnya wujud negara
demokrasi yang selama ini telah dianggap
sebagai ’harga mati’ dalam sistem politik
modern dewasa ini; apakah memang negara
demokrasi betul-betul negara yang paling ideal?
Jika ya, mana di dunia ini tipikal sekaligus pionir
negara demokrasi? Ataukah negara demokrasi
hanya ada dalam alam teori, tidak pernah benar-
benar membumi?
Faktanya, sulit—jika bukan mustahil—bagi
kita untuk menemukan tipikal negara yang
benar-benar demokratis. Dengan menelaah
praktik berdemokrasi di berbagai negara, akan
ditemukan fakta umum dan merata di negeri-
negeri pengusung demokrasi, baik di Barat
maupun di Timur, bahwa demokrasi sering
bertentangan dengan dirinya sendiri; bahwa

22 | Arief B. Iskandar
‘demokrasi praktik’ sering bertentangan dengan
‘demokrasi teori’.
Contoh yang paling mendasar, kedaulatan
rakyat sebagai ‘ruh’ demokrasi dalam praktiknya
selalu dibajak oleh segelintir para pemilik modal
atau oleh elit penguasa yang didukung oleh para
pemodal. Uniknya, hal ini merupakan gejala
atau fenomena umum di negara-negara peng-
anut demokrasi, tanpa kecuali. Kenyataan ini
tentu tidak bisa dikatakan sebagai sebuah ano-
mali demokrasi, karena terjadi di Amerika dan
Eropa sebagai kampiun demokrasi, ataupun di
Indonesia yang baru-baru ini didaulat sebagai
‘jawara demokrasi’.
Selain itu, para pengusung demokrasi sering
mengklaim bahwa demokrasi menjamin kemak-
muran, kesejahteraan dan keadilan; memberikan
garansi kebebasan dan persamaan; serta mena-
warkan kemajuan dan keadaban. Faktanya,
semua itu dusta belaka. Kemakmuran, kesejah-
teraan dan keadilan yang dijamin demokrasi

Demokrasi atau Kleptokrasi? | 23


hanya berlaku bagi segelintir orang yang punya
kuasa dan elit para pemilik modal.
Kebanyakan rakyat justru hidup di bawah
jurang kemiskinan. Kebebasan dan persamaan
yang digaransi demokrasi juga sering tidak
berlaku, khususnya di negeri-negeri yang mino-
ritasnya Muslim, termasuk di Amerika dan
Eropa. Bahkan di Indonesia yang mayoritas
Muslim, perlakukan diskriminatif terhadap umat
Islam masih sering terjadi. Demikian pula
terkait dengan kemajuan dan keadaban; dua hal
ini sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan
demokrasi.
Di negeri-negeri Muslim khususnya, demo-
krasi justru melahirkan keterpurukan di berba-
gai bidang: ekonomi, pendidikan, sosial, hu-
kum/peadilan, dll. Di Amerika dan Eropa
sendiri, demokrasi melahirkan ketidakberadab-
an, bahkan dalam kadar tertentu melahirkan
perilaku-perilaku hewaniah ketimbang mencer-
minkan nilai-nilai insaniah.

24 | Arief B. Iskandar
Khusus terkait dengan Dunia Islam, Ame-
rika dan Eropa bukan hanya bertindak tidak
beradab, bahkan mereka melakukan tindakan
biadab seperti membantai ratusan ribu kaum
Muslim di Irak dan Afganistan, justru atas nama
‘niat mulia’: demokratisasi! Amerika dan Eropa
juga membuktikan dirinya sebagai negara paling
tidak demokratis dengan menjadi penyokong
utama perampasan atas tanah Palestina se-
kaligus pembantaian ratusan ribu penduduknya
oleh Israel sejak pendudukannya.
Semua fakta di atas seolah meneguhkan
pernyataan-pernyataan jujur dari mereka yang
secara jernih melihat demokrasi. Chandra
Muzzafar, Direktur Just World Trust (LSM di
Penang Malaysia), misalnya, dalam buku Hak-
Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru
memandang ide-ide demokratis adalah berasal
dari Barat dan bersifat kolonis. Dalam bukunya
itu, kurang lebih ia menulis, demokrasi hanyalah
alat yang amat mencolok untuk melanggengkan

Demokrasi atau Kleptokrasi? | 25


kepentingan-kepentingan ideologis dan ekono-
mi Barat yang sempit.
Tokoh Barat sendiri, seperti mantan
Perdana Menteri Inggris di era Perang Dunai II,
Winston Churchil—meski dia mengklaim
demokrasi yang terbaik—mengeluarkan dekla-
rasi yang berbunyi, “Democracy is worst possible
form of government (Demokrasi adalah kemungkinan
terburuk dari sebuah bentuk pemerintahan).”
Benjamin Constan juga berkata, “Demokrasi
membawa kita menuju jalan yang menakutkan, yaitu
kediktatoran parlemen.”
Jauh sebelum itu, di Yunani (Yunani kuno),
tempat demokrasi itu berasal, tokoh pemikir
dan filosof seperti Plato dan Aristoteles ber-
pandangan bahwa demokrasi merupakan sistem
yang berbahaya dan tidak praktis. Aristoteles
bahkan menambahkan, “Pemerintahan yang
didasarkan pada pilihan orang banyak dapat mudah
dipengaruhi oleh para demagog dan akhirnya akan
merosot menjadi kediktatoran.”

26 | Arief B. Iskandar
Pernyataan-pernyataan di atas sesungguh-
nya hanyalah kesimpulan belaka dari realitas
demokrasi di seluruh dunia. Baik Amerika yang
dianggap sebagai kampiun sekaligus pendekar
demokrasi maupun Indonesia yang pernah
didaulat sebagai jawara demokrasi, dalam prak-
tiknya tak lebih merupakan negara ‘kleptokrasi’;
negara yang dikuasai ‘para maling’.
Pasalnya, di negara-negara demokrasi, yang
selalu memiliki kuasa adalah segelintir orang
yang ‘bermental maling’. Merekalah yang telah
‘mencuri’ atau ‘merampas’ kedaulatan rakyat
dan mengubahnya menjadi kedaulatan elit wakil
rakyat, elit politik dan elit para pemilik modal.
Walhasil, secara faktual, demokrasi ideal
hanya ada dalam khayal, tidak pernah mem-
bumi, dan bahwa cita-cita mendirikan negara
demokrasi memang hanya sebuah ilusi![]

Arief B. Iskandar adalah Penulis Buku Tetralogi Dasar


Islam (2010) dan Editor Buku Ilusi Negara Demokrasi (2009),
keduanya diterbitkan oleh Al-Azhar Press.

Demokrasi atau Kleptokrasi? | 27


28 | Arief B. Iskandar

Anda mungkin juga menyukai