Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS PERAN ASEAN DALAM KONFLIK LAUT CHINA

SELATAN

Kelompok 5

Mata Kuliah : Kerjasama Pertahanan ASEAN

Anggota Kelompok :

- Widelia Febrina Wiliyanti (07041281823111)


- Theodora Crista Mulia Sinaga (07041281823102)
- Ira Rahmahfira (07041281823117)
- Rachela Audrey Monica (07041281823116)
- Christine Octaviana Sirait (07041381823103)
- Salsabila Mifta Salama (07041281823118)
- Angel Oktaria Br Purba (07041281823127)
- Lurian Putri Qamara (07041281823126)
- Aldarizta Naluryati (07041281823112)
- Ruth Sonia Octasha Pangaribuan (07041281823110)
- Dinda Trie Azzura (07041281823109)
- M. Yovi Wijaya (07041281823122)
- Nur Rachmawati (07041281823124)

Abstrak

Konflik Laut China Selatan merupakan sebuah masalah sengketa wilayah yang
mengakibatkan ketidakstabilan keamanan di wilayah sekitarnya. Sampai saat ini, konflik Laut
China Selatan ini belum terselesaikan. Masalah Laut China Selatan telah lama menjadi isu
lintas batas negara yang melibatkan beberapa negara kawasan Asia Tenggara. Konflik
tumpang tindih klaim ini melibatkan 6 negara yakni, Taiwan, China, Vietnam, Filipina,
Malaysia, dan Brunei Darussalam. Masalah sengketa wilayah ini harus segera diselesaikan
untuk mencegah masalah lainnya yang mungkin terjadi di masa depan. Setiap Negara yang
terlibat dalam konflik Laut China Selatan memiliki kepentingan nasionalnya masing-masing
baik dari segi politik, ekonomi, maupun keamanan nasional mereka. Laut China Selatan
diperebutkan oleh negara-negara tersebut karena memiliki sumber daya alam yang melimpah
dan merupakan jalur perdagangan internasional yang sangat strategis. Selain itu, Laut China
Selatan ini kaya akan minyak bumi dan juga gas alam. Tetapi untuk menjaga stabilitas
kawasan wilayah tersebut, peningkatan keamanan dan pertahanan harus dilakukan bersama
oleh negara-negara yang berada dalam kawasan Asia Tenggara. Karena menyangkut masing-
masing kepentingan dan keuntungan negara yang terlibat dibutuhkan suatu kesepakatan atau
kerjasama yang harus dilakukan bersama.

Penelitian ini menggunakan teori Neo-realisme yang menjelaskan bahwa perilaku


negara atau cara suatu negara dalam bersikap dalam sistem internasional, adalah negara itu
sendiri. Sehingga setiap negara yang terlibat ingin memenuhi kepentingan dan tujuannya
masing-masing. National interest yang dimiliki masing-masing negara inilah yang
mengakibatkan sulitnya terbentuk suatu kesepakatan untuk menyelesaikan masalah sengketa
di kawasan Laut China Selatan ini. Oleh karena itu, ASEAN sebagai organisasi regional di
kawasan Asia Tenggara yang memiliki peran dan wewenang yang signifikan yang dapat
membantu negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk menyelesaikan konflik Laut China
Selatan ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dinamika masalah di Laut China
Selatan melalui Peran ASEAN sebagai organisasi regional yang mewadahi negara-negara di
kawasan Asia Tenggara dalam mengelola konflik Laut China Selatan.

Kata kunci : Laut China Selatan, Sengketa, Neo Realisme, National Interest

1. LATAR BELAKANG

Association of Southeast Asian Nations atau ASEAN, didirikan pada tanggal 8 Agustus
1967 di Bangkok, Thailand, dengan penandatanganan ASEAN Declaration (Bangkok
Declaration) oleh Founding Fathers of ASEAN, yaitu Indonesia, Malaysia, Philippines,
Singapore dan Thailand. Brunei Darussalam kemudian bergabung pada 7 Januari 1984,
Vietnam pada 28 Juli 1995, Laos dan Myanmar pada 23 Juli 1997, dan Kamboja pada 30
April 1999, yang kini menjadi sepuluh Negara Anggota ASEAN. ASEAN memiliki motto
yakni “One Vision, One Identity, One Community”. Dalam hubungannya satu sama lain,
Negara Anggota ASEAN telah mengadopsi prinsip-prinsip dasar berikut, sebagaimana
tertuang dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) 1976:

1. Saling menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, keutuhan wilayah, dan


identitas nasional semua bangsa;
2. Hak setiap Negara untuk memimpin eksistensi nasionalnya bebas dari campur tangan
eksternal, subversi atau paksaan;
3. Tidak ikut campur tangan dalam urusan internal satu sama lain;
4. Penyelesaian perbedaan atau perselisihan dengan cara damai;
5. Penolakan ancaman atau penggunaan kekerasan; dan
6. Kerja sama yang efektif di antara mereka sendiri.
Visi ASEAN 2020, yang diadopsi oleh Pemimpin ASEAN pada HUT ke-30 ASEAN,
menyepakati visi bersama ASEAN sebagai konser negara-negara Asia Tenggara, berwawasan
ke luar, hidup dalam perdamaian, stabilitas dan kemakmuran, terikat dalam kemitraan dalam
pembangunan yang dinamis dan dalam komunitas masyarakat yang peduli. Sebagaimana
tertuang dalam Deklarasi ASEAN, maksud dan tujuan ASEAN adalah untuk memajukan
perdamaian dan stabilitas kawasan melalui penghormatan terhadap keadilan dan supremasi
hukum dalam hubungan antar negara di kawasan dan kepatuhan pada prinsip-prinsip Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Setiap tahun, 10 anggota ASEAN bangga dapat mengumpulkan
kekuatan besar dengan kepentingan di Asia Tenggara, menawarkan panggung untuk
persaingan diplomatik dan dinamika geopolitik untuk dimainkan. Agenda yang paling
diperdebatkan adalah sengketa Laut China Selatan, yang telah menjadi titik nyala untuk
meningkatnya ketegangan antara Amerika Serikat dan China di wilayah tersebut.

Laut China Selatan merupakan kawasan strategis, yang memiliki sumber daya alam
(SDM) yang melimpah. Kawasan ini meliputi daratan dan perarirn dari gugusan pulau
Spratly dan Paracels yang terbentang dari Selat Malaka dan Selat Taiwan.(Roza, Nainggolan,
& Muhamad, 2013) Konflik saling klaim atas beberapa pulau di kawasan Laut China Selatan
telah terjadi sejak tahun 1970-an dan terus berulang hingga sekarang. Selain itu diketahui
bahwa disana terdapat cadangan minyak bumi, gas alam, dan mineral yang cukup besar, hal
ini juga yang membuat kawasan ini semakin hangat diperebutkan oleh Negara-negara sekitar
seperti China, Vietnam, Brunei Darusssalam, Malaysia, Filipina, Taiwan. Vietnam telah
melakukan beberapa kali pertemuan dengan China untuk membicarakan mengenai perbedaan
mengenai Laut China Selatan.(Sudira, 2012) Filipina telah melakukan beberapa kali laporan
atas kapal-kapal China yang melewati perairan sengketa di Laut China Selatan dan juga
adanya pemasangan instalasi baru di wilayah ini.(Roza et al., 2013) Ketegangan yang terjadi
terhadap beberapa negara anggota ASEAN dan China ini pun tak luput dari adanya
kepentingan masing-masing Negara terhadap kawasan tersebut. China yang terus menerus
mengklaim bahwa kawasan ini merupakan daerah kekuasaannya. Hal ini tentunya didasari
atas National Interest yang dimiliki China atas kawasan itu. Begitu pula dengan Negara-
negara lainnya yang terlibat dalam sengketa ini, baik itu dalam bidang ekonomi, politik,
transportasi, pengaruh, maupun keamanan. Fenomena inilah yang menjadi dasar bagi penulis
untuk meneliti mengenai kepentingan masing-masing Negara yang terlibat dalam sengketa
ini, terutama pada Negara-negara anggota ASEAN.

2. LANDASAN TEORI DAN KONSEP


2.1 NEO-REALISME

Neo-realisme adalah sebuah konsep dalam kajian Hubungan Internasional yang percaya
bahwa faktor utama yang akan menjadi penentu perilaku negara atau cara suatu negara dalam
bersikap dalam sistem internasional, adalah negara itu sendiri (Waltz, 1979).

Neo-realisme juga bahwa cara suatu negara dalam mendapatkan keamanan akan
dilakukan melalui dominasi ataupun hegemoni. Hal ini karena tujuan negara-negara pada
umumnya adalah untuk bertahan (survival) ditengah keanarkisan sistem internasional itu
sendiri, sehingga mereka akan saling bersaing untuk mengungguli satu sama lain. Inilah juga
yang kemudian memunculkan konsep balance of power dalam neo-realisme, yang menjadi
pertanda bahwa terdapat stabilitas dalam sistem internasional. Karena neo-realis menganggap
bahwa balance of power adalah sebuah law of nature (Ihsan, 2016).

Kasus Laut China Selatan, merupakan sebuah kasus yang dapat dikaji melalui konsep
neo-realisme. Sebagaimana yang bisa kita lihat, sistem internasional yang dipandang sebagai
sesuatu yang anarki oleh neorealis, akan dipenuhi dengan kompetisi dan perjuangan ataun
sikap masing-masing negara untuk bertahan (survival). Selain itu, neo-realisme juga
memandang bahwa salah satu yang menjadi alasan mengapa sistem internasional sifatnya
anarki, adalah karena tidak ada pemerintahan atau semacam otoritas tertinggi yang bisa
mengatur dan menaungi negara-negara untuk bertindak. Sehingga mereka memilih untuk
bersikap sesuai kepentingan dan cara bertahan (survival) masing-masing. Tidak adanya
otoritas tertinggi dalam sistem, menjadikan sistem tersebut tidak stabil. Inilah juga yang pada
akhirnya akan memunculkan persaingan antar negara, sebagaimana yang terjadi dalam kasus
Laut China Selatan, dimana tiap negara yang terlibat akan saling mempertahan diri dan
bersaing karena tidak adanya otoritas tertinggi.

Neo-realisme juga menyatakan bahwa dalam sistem internasional, konflik adalah suatu
hal yang tidak dapat dihindari karena negara-negara memang telah melakukan balance of
power. Begitu juga dalam kasus Laut China Selatan, yang akan membuat negara-negara
terlibat untuk saling bersaing dalam penyeimbangan kekuatan nantinya, untuk menangkis
ancaman yang datang dari negara-negara lainnya yang terlibat.
2.2 NATIONAL INTEREST

Kepentingan nasional merupakan sebuah "goals" atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai
atau didapatkan berkaitan dengan kebutuhan negara ataupun berkaitan dengan hal-hal yang
menjadi cita-cita bangsa. Kepentingan nasional berperan penting dalam membentuk perilaku
suatu negara. Selain itu kepentingan nasional juga seringkali dijadikan sebagai pembenaran
dari setiap kebijakan-kebijakan yang dijalankan oleh Negara (May, 2002). Kepentingan
Nasional adalah objek dasar serta penentu utama yang kemudian mengarahkan para pembuat
kebijakan dalam membuat kebijakan luar negerinya.

Kepentingan nasional suatu negara biasanya merupakan konsepsi yang sangat umum
yang berasal dari elemen-elemen yang membentuk kebutuhan-kebutuhan vital suatu negara.
Yang di dalamnya termasuk perlindungan diri, kemerdekaan, integritas teritorial, keamanan
militer, dan kesejahteraan ekonomi. Meskipun dalam prosesnya pembuat keputusan harus
berurusan dengan banyak variabel dalam lingkungan internasional, konsep kepentingan
nasional biasanya tetap menjadi faktor yang paling konstan dan berfungsi sebagai pedoman
bagi pengambil keputusan dalam proses kebijakan. Selain itu dikemukakan oleh G.R.
Berridge yang menjelaskan di bukunya yang berjudul Diplomacy, Second Edition: Theory
and Practice bahwa pada dasarnya dalam melihat kepentingan nasional yang dimiliki oleh
suatu negara, dapat dibagi ke dalam beberapa aspek, yakni aspek ideologi, politik, dan juga
ekonomi (Berridge, 2002).

Dari penjabaran diatas serta ketiga aspek tersebut, dapat diketahui kepentingan yang
dimiliki oleh negara-negara kawasan Asia Tenggara terhadap Laut China Selatan. Yang mana
negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini tergabung ke dalam ASEAN sebagai sebuah
organisasi regional, negara-negara tersebut pada dasarnya memiliki kepentingan nasionalnya
masing-masing. Namun demikian keikutsertaan mereka dalam menyelaraskan kepentingan
serta memperbaiki harmoni atau stabilitas kawasan Asia Tenggara termasuk mempertahankan
kawasan Laut China Selatan sebagai cara untuk memastikan kepentingan nasional mereka
dapat terwujud.

3. PEMBAHASAN
3.1 SEJARAH LAUT CHINA SELATAN

Sejarah Laut China Selatan sudah di mulai pada abad ke-21. Pada masa itu Amerika
Serikat, Tiongkok dan juga berbagai negara-negara anggota ASEAN terlibat secara tidak
langsung. Di dalam Laut China selatan (LTS) sendiri terdapat kawasan perairan dari
berbagai dua gugusan kepulauan yaitu Spartly dan Paracel serta bantaran sungai Macclesfield
dan karang Scarborough dimana dimulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan. Di
dalamnya terdapat banyak sekali kekayaan alam seperti sumber daya mineral, ada juga
minyak bumi dan juga gas alam. Republik Rakyat China (RRC) sudah memperkirakan
Terdapatnya cadangan minyak Sekitar 213 miliar barel di dalam Lautan China Selatan dan
juga terdapat 900 triliun kaki kubik gas alam menurut lembaga informasi energi Amerika
atau EIA (Energy Information Administration). Sehingga negara-negara seperti Taiwan,
Vietnam, Republik Rakyat China (RRC), Filipina, Brunei Darussalam terlibat dalam
berupaya saling mengklaim wilayah kepulauan tersebut (Martin, 2013). Pada awal
munculnya sengketa yang sudah di awali oleh Republik Rakyat China (RRC) atas
mengklaim kepulauan Spartly dan Paracel di tahun 1992 dan 1974. Hal tersebut yang memicu
Republik Rakyat China sendiri untuk pertama kalinya memasukkan kepulauan-kepulauan
tersebut dan juga dalam tahun yang sama RRC sendiri mempertahankan keberadaan
militernya di kepulauan itu. Oleh karena adanya klaim yang sudah dilakukan oleh RRC,
maka munculnya respon oleh negara yang perbatasannya melintasi Laut China Selatan seperti
negara-negara anggota ASEAN. (Evelyn, 2005 ). Adanya keterangan dari pemerintah RRC
tersebut, kemudian dibantah oleh pemerintahan Vietnam karena menurut mereka pemerintah
RRC tidak pernah mengklaim Kepulauan Spartly dan juga Paracel hingga dasawarsa pada
tahun 1940. Pemerintah Vietnam sendiri mengatakan bahwa kepulauan-kepulauan tersebut
sudah masuk ke dalam wilayah mereka pada abad ke-17 dan tidak termasuk ke dalam
wilayah RRC. Pemerintah Vietnam sudah memiliki dokumen-dokumen sebagai bukti bahwa
kepulauan tersebut memang masuk ke dalam wilayah mereka. Kemudian, Negara Filipina
juga mengklaim kedaulatan mereka secara letak geografis bahwa kepulauan Spartly
merupakan klaim Filipina dalam sebagian besar wilayah tersebut. Adapun Negara Malaysia
dan juga Negara Brunei yang telah mengklaim kedaulatan mereka di dalam sebagian
kawasan-kawasan di LCS. Menurut Negara Brunei dan juga Malaysia, LSC sendiri masih
merupakan kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). (Martin, 2013)

3.2 KEPENTINGAN NEGARA-NEGARA KAWASAN ASIA TENGGARA


TERHADAP LAUT CHINA SELATAN
a. Vietnam dan Laut China Selatan

Setiap negara yang berada di kawasan Laut China Selatan pastilah memiliki
kepentingan yang ingin dicapai mereka masing-masing, sama halnya dengan negara Vietnam
yang memiliki kepentingan tersendiri dalam memperebutkan Laut China Selatan. Laut China
Selatan merupakan salah satu wilayah perairan yang memiliki kekayaan sumber daya dan
terletak di tempat yang strategis, dalam hal ini Vietnam juga menjadi salah satu negara yang
aktif dalam memperebutkan peraian ini. Vietnam memiliki kepentingan tersendiri untuk
memenuhi kepentingan nasional negaranya dalam memperebutkan Laut China Selatan seperti
sebagai berikut, Vietnam sebagai negara pertama yang menduduki kepulauan di Laut China
Selatan, yaitu pulau Parcel pada tahun 1950an setelah kependudukan Jepang di wilayah
tersebut, hal ini pula berdasarkan keputusan Konvensi Jenewa di Indochina pada tahun 1954.
Pada tahun 1957 hal ini menimbulkan negara China mengecam Vietnam atas perbuatan
tersebut, karena pulau Parcel merupakan integritas wilayah negara China (Jaya, 2015). Selain
itu juga, Laut China Selatan memiliki kekayaan alam yang berlimpah seperti minyak dan juga
gas yang nantinya jika dimiliki oleh negara Vietnam dapat meningkatkan segi ekonomi
Vietnam. Dalam upaya untuk mencapai kepentingan negaranya tersebut, serta juga untuk
mendapatkan dukungan atas kepentingannya Vietnam membawa permasalahan tersebut ke
dalam agenda forum ASEAN (Jaya, 2015).

b. Filipina dan Laut China Selatan

Sengketa terhadap Laut China Selatan juga ikut melibatkan Filipina sebagai salah satu
negara yang mengklaim sebagian besar kawasan ini. Seperti beberapa negara yang
mengklaim kawasan Laut China Selatan dengan skala dan bagian yang berbeda-beda, hal ini
pun juga dilakukan oleh Filipina. Klaim Filipina terhadap Laut China Selatan ini saling
tumpang tindih dengan negara yang lain. Filipina mulai mengeksplor kawasan Laut China
Selatan khususnya di Reed Bank yang merupakan bagian dari kepulauan Spratly pada tahun
1970. Pada tahun 1976 saat mengeksplorasi kawasan tersebut akhirnya Filipina pun
menemukan sumber gas alam dan membuat China protes untuk segera menghentikan Manila
dari kegiatannya. Belum lagi pada 11 Juni 1978 presiden Ferdinant Marcos mengeluarkan
Dekrit yang menyatakan Kepulauan Sratly yang mereka kenal sebagai kelompok Kepulauan
Kalayaan sebagai teritorial Filipina hingga membuat keadaan semakin memanas. (Maksum,
2017)

Dari berbagai konflik yang terjadi tentu saja ada alasan Filipina untuk
mempertahankan wilayah yang di klaim oleh beberapa banyak negara. Mengutip dari website
VOA kepentingan yang paling utama ialah terletak pada aspek ekonomi. Bagian ekonomi
yang utama dari Laut China Selatan terhadap Filipina ialah pada sektor perikanan dimana
menurut Center for Naval Analyses menyatakan bahwa Filipina adalah salah satu negara
dengan industri perikanan terbesar di dunia dan terletak pada urutan ke-12. Selain itu seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Filipina adalah negara yang mengawali aktivitas di
Reed Bank yaitu di kepulauan Spartly yang kemudian menemukan gas alam telah melakukan
eksploirasi minyak dan gas disepanjang Red Bank sejak tahun 1970-an, meskipun aktivitas
survei belum sepenuhnya tetapi Manila telah menggali gas dari perairan antara Reed Bank
dan Pahlawan Island. Kepentingan-kepentingan yang lain yang terdapat di kepulauan Spartly
seperti terdapatnya pusat administrasi kotamadya Kalayan, adanya pangkalan militer dan
landasan pacu pesawat untuk militer maupun masyarakat sipil dan telah ditinggali oleh
kurang lebih 300 orang warga Filipina termasuk bagian-bagian fasilitas sipil seperti sekolah,
pusat kesehatan, bahkan telah tersedianya penyulingan air serta jalur pertanian. Hal-hal itulah
yang menjadi alasan kepentingan bagi Filipina terhadap Laut China Selatan.

c. Malaysia dan Laut China Selatan

Sebagian besar kepentingan Malaysia didasari oleh tindakan untuk mempertahankan


akses terhadap sumber daya dan keamanan ekonomi domestik karena berkat pengeboran
lepas pantai, Malaysia dikenal dengan sebagai ekportir gas alam cair terbesar kedua di dunia
(Suharman, 2019). Selain itu, Malaysia memiliki kepentingan untuk mempertahankan
kebebasan bergerak di jalur utama perdagangan wilayah maritim Asia Tenggara yaitu Selat
Malaka. Dan juga, disebutkan oleh Ketua Institute of Strategic and International Studies
(ISIS), Malaysia Tan Sri Rastam Mohd Isa dalam kegiatan 'Simposium 50 tahun ASEAN:
Sentralitas dan Kesatuan ASEAN' yang menyebutkan bahwa Malaysia juga memiliki
kepentingan untuk menjaga hubungan yang stabil di antara seluruh di kawasan termasuk
kawasan Asia Tenggara (Nugraha, 2017). Meskipun demikian, hal yang lebih mendasar
terhadap klaim Malaysia yang berasal dari konsepsi normatif tentang negara-bangsa dan
prinsip-prinsip kedaulatan serta aspek geografis dan integritas territorial.

Dalam upaya menegaskan klaim Malaysia terhadap wilayah maritim yang


diperebutkan, pergerakan kapal-kapal perang kecil dan personel militer serta bendera
Malaysia untuk menegaskan posisinya dari negara penuntut lainnya dilakukan secara diam-
diam. Secara publik, Malaysia tidak memusuhi China seperti yang ditunjukkan oleh negara
Asia Tenggara lainnya.

Sikap Malaysia yang cenderung terlihat “lunak” disebabkan oleh adanya manfaat
ekonomi yang diperoleh dari hubungan bilateral dengan China. Selama enam tahun berturut-
turut ekonomi domestik Malaysia mengalami peningkatan signifikan atas kerja sama
perdagangan dengan China. Malaysia cenderung menggunakan pilihan rasional sebagai
landasan kebijakan keamanan di Laut China Selatan. Kebijakan luar negeri Malaysia
diarahkan untuk menghindari konflik yang konfrontatif sekaligus bentuk diplomasi “diam-
diam”. Oleh karena itu, Malaysia dapat dipandang sebagai aktor rasionalis dan pragmatis
yang dimotivasi untuk memperoleh insentif ekonomi yang lebih besar dari China. Kebijakan
luar negeri Malaysia cenderung mengarah pada keberlanjutan atas kemakmuran ekonomi dan
pembangunan domestik dibandingkan dengan fokus terhadap keamanan kawasan.

d. Brunei Darussalam dan Laut China Selatan

Perebutan klaim wilayah dilatarbelakangi oleh faktor yang mana wilayah Laut China
Selatan ini memiliki potensi yang cukup strategis yakni merupakan jalur perdagangan
internasional yang menghubungkan antara samudera Hindia dan Pasifik dan juga dalam
kawasan ini terdapat cadangan minyak dan gas alam yang melimpah serta memiliki perikanan
yang sangat banyak. Dalam hal ini negara-negara yang bersangkutan saling mengklaim atas
wilayahnya, seperti halnya negara Brunei Darussalam menyatakan klaimnya dengan
melakukan eksplorasi minyak diwilayah Laut China Selatan. hal tersebut dilakukan Brunei
Darussalam atas dasar sejarah yang dimana memperoleh kemerdekaannya dari negara Inggris
di tahun 1985, yang menyatakan bahwa memiliki peninggalan dari penjajah negara inggris
yang tercantum dalam undang-undang 1958 U.K Order In Council. Dalam undang-undang
tersebut menyebutkan bahwa Brunei Darussalam berhak atas kepemilikan kawasan di Luoisa
Reef yang mana kita ketahui kawasan tersebut termasuk dari bagian kepulauan Spartly.
Klaim tersebut tentunya membuat negara pengklaim lainnya menolak klaim dari Brunei
Darussalam karena mereka juga sama-sama mengklaim kepulauan Spartly di Laut China
Selatan. (Maksum, Regionalisme dan Kompleksitas Laut China Selatan, 2017)

Namun Brunei Darussalam dalam menyikapi klaimnya sendiri tidak terlalu intensif
atas klaim wilayah tersebut, pasalnya kondisi perekonomian Brunei Darassalam mengalami
penurunan atau tidak stabil hingga mengalami resesi ekonomi akibat dari harga minyak dan
gas sangat rendah. Hal itu membuat negara China mengambil inisiatif untuk melakukan
upaya kerjasama secara bilateral dengan kesultanan Brunei Darussalam dengan menawarkan
bantuan ekonomi untuk membantu kondisi perekonomian Brunei Darussalam, sehingga hal
tersebut membuat ketergantungan tersendiri bagi ekonomi Brunei Darussalam. Kesultanan
Brunei Darussalam yakin bahwa dengan adanya kerjasama tersebut tentunya dapat membantu
memulihkan kembali perekonomian negaranya tanpa mempengaruhi haknya atas klaim
wilayah maritim di Laut China Selatan. Brunei Darussalam dalam mengajukan klaimnya
menggunakan soft power yang mana lebih melakukan kerjasama ekonomi berdasarkan politik
dari kedua negara yaitu dengan China. Namun pada akhirnya secara tidak langsung tentunya
dapat berpengaruh atas melemahnya sikap politik luar Brunei Darussalam atas klaim wilayah
di laut China Selatan. (Suharman, 2019)

4. PERAN ASEAN TERHADAP KONFLIK

Permasalahan Laut China Selatan ini sudah menjadi permasalahan yang menjadi suatu
permasalahan yang menyita banyak perhatian bagi negara-negara yang ada di dunia terutama
negara-negara yang berdekatan langsung dengan Laut China Selatan. Baik dari ASEAN
maupun AS sudah menjadi bagian dalam penyelesaian permasalahan ini. Tetapi negara-
negara yang tetap berusaha untuk mengklaim Laut China Selatan ini tetap tidak menemukan
titik tengah dalam penyelesaian masalah ini. Dengan adanya banyak sumber daya yang
menjadikan permasalahan LCS ini mejadi semakin banyak di perebutkan. Dimana di daerah
ini juga merupakan jalur dagang yang menjadi jalan lintas antar beberapa negara sehingga
banyak dari negara yang saling memperebutkannya. ASEAN sendiri menjadi salah satu
organisasi yang menjadi salah satu penengah di dalam permasalahan ini. Dimana LCS
menjadi jalur penting bagi jalur perdagangan bagi negara negara untuk masalah perdagangan.
Dalam permasalahan yang menjadi bagian dari ASEAN sendiri adalah dimana 4 negara yang
sedang merebut daerah kekuasaan di daerah LCS ini merupakan dari anggota ASEAN dan
ada negara yang membuat semua daerah Spratly menjadi hak miliki dari negaranya. Sehingga
dari hal ini ASEAN tidak bisa di jadikan sebagai penengah bagi permasalahan ini karena
akan menjadi masalah di belakang harai bagi negara yang menjadi anggota ASEAN. Dan
dimana ada beberapa pihak juga mengatakan bahwa untuk mengatasi permasalahan ini
seharusnya ASEAN bisa bersikap adil untuk menengahi permasalahan ini, dan dapat juga
mengatasi permasalahan terhadap keikutsertaan AS, Jepang dan China yang sangat dominan
dalam permasalahan ini. Dimana dari ASEAN dan China sendiri untuk mengatasi
permasalahan LCS adalah dengan membentuk Declaration of Conduct of Parties in the
South China Sea (DOC) yang dimana pada awalnya hal ini di bentuk untuk menjadi sesuatu
hal yang mengatur hubungan antara China dan ASEAN pada tahun 2002 tetapi hal ini tidak
bertahan lama karena DOC ini sendiri tidak membuat kepercayaan antar negara untuk
menjamin permasalahan ini. Tetapi setelah beberapa lama telah adanya kesepakatan maka di
temukan beberapa kesepakatan norma-norma untuk mengatasi permasalahan LCS. Dimana
hal ini tertuang pada DOC dan di jabarkan di dalam dokumen tersebut untuk penjelasannya.
Dan semua pihak yang ikut dalam permasalahan ini setuju terhadap permasalahan LCS ini
sudah setuju terhadap norma yang sudah di tetapkan. Para pihak yang ikut dalam
permasalahan sengketa ini sudah setuju juga untuk mengikuti peraturan yang ada dalam
UNCLOS dan juga Hukum Internasional yang sudah berlaku. ASEAN juga dikatakana
sebagai salah satu pihak yang ikut untuk menyelesaikan dalam permasalahan LSC ini dan
juga ASEAN juga telah berhasil untuk membuat pertemuan dalam pembentukan COC yang
telah di setujui oleh China. ASEAN sendiri melakukan penyelesaian konflik ini adalah
dengan melakukan pendekatan secara langsung dalam hal untuk menghindari konflik yang
akan terjadi dengan mempertimbangkan SDA yang ada.

5. KESIMPULAN

Konflik Laut China Selatan yang sampai saat ini belum mencapai suatu kesepakatan
merupakan masalah yang sudah terjadi sejak lama. Konflik ini melibatkan 6 negara, yakni
Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia, Taiwan, dan Tiongkok. Kawasan Laut
China Selatan ini dinyatakan memiliki banyak sumber daya alam yang melimpah, bukan
hanya itu kawasan ini juga menjadi jalur perdagangan yang sangat strategis. Dalam konflik
ini dapat dilihat bila masing-masing negara memiliki kepentingan, baik kepentingan
ekonomi, politik maupun kepentingan nasionalnya. Oleh karena itulah, masing-masing
negara ingin mengklaim kawasan Laut China Selatan tersebut. Di sini kami membahas
mengenai kepentingan-kepentingan negara kawasan Asia Tenggara yang terlibat dalam
konflik Laut China Selatan. Vietnam, sebagai negara pertama yang menduduki kepulauan di
Laut China Selatan mengklaim kawasan tersebut dikarenakan memiliki kekayaan alam yang
berlimpah seperti minyak dan juga gas yang nantinya jika dimiliki oleh negara Vietnam dapat
meningkatkan segi ekonomi Vietnam. Filipina, ingin mengklaim kembali wilayah milik
mereka dengan menyatakan bahwa Kepulauan Spartly yang mereka kenal sebagai kelompok
Kepulauan Kalayaan sebagai teritorial Filipina. Brunei Darussalam menyatakan klaimnya
dengan melakukan eksplorasi minyak diwilayah Laut China Selatan atas dasar sejarah yang
mereka dapatkan sejak tahun 1985. Malaysia ingin mempertahankan akses terhadap sumber
daya dan keamanan ekonomi domestik karena berkat pengeboran lepas pantai, Malaysia
dikenal dengan sebagai eksportir gas alam cair terbesar kedua di dunia. Terdapat beberapa
negara kawasan Asia Tenggara dalam konflik ini yang melibatkan ASEAN sebagai wadah
untuk memberikan jalan tengah bagi konflik Laut China Selatan ini. ASEAN sendiri
melakukan penyelesaian konflik ini adalah dengan melakukan pendekatan secara langsung
dalam hal untuk menghindari konflik yang akan terjadi dengan mempertimbangkan sumber
daya alam yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Association of Southeast Asian Nations. Overview. https://asean.org/asean/about-asean/overview/


Berridge, G. R. (2002). Diplomacy, Second Edition: Theory and Practice. Macmillan: Palgrave.
Dian Septiari. 12 September 2020. ASEAN calls for self-restraint in South China Sea dispute. The
Jakarta Post. https://www.thejakartapost.com/seasia/2020/09/11/asean-calls-for-self-restraint-
in-south-china-sea-dispute.html
Evelyn, G. (2005 ). meeting the China Challenge . The U.S in Southeast Asian Regional Security
Strategies , 31.
Ihsan, R. (2016). ANALISIS REALISME NEOKLASIK TERHADAP HUBUNGAN INDONESIA
– TIONGKOK . Transnasional Vol.11 No.1 .
Jaya, I. G. (2015). Kepentingan Vietnam dalam Konflik Laut China Selatan. Jurnal Hubungan
Internasional, Vol. 1, No. 03, Januari , 5.
Jaya, I. G. (2015). Kepentingan Vietnam dalam Konflik Laut China Selatan. Jurnal Hubungan
Internasional, Vol. 1, No. 03, Januari , 7.
Maksum, A. (2017). Regionalisme dan Kompleksitas Laut China Selatan. Jurnal Sospol, Vol. 3 No.
1 , 11-12.
Maksum, A. (2017). Regionalisme dan Kompleksitas Laut China Selatan. jurnal SOSPOL Vol. 3 No.
1 , 8-10.
Martin, S. (2013). sangketa laut china selatan dan implikasinya terhadap kawasan. jakarta pusat:
P3DI Setjen DPR republik Indonesia dan Azza Grafika.
May, R. T. ( 2002). Studi strategis dalam transformasi sistem internasional pasca perang dingin.
Bandung : Refika Aditama.
Nugraha, F. (2017, Juli 14). Tiga Kepentingan Malaysia di Laut China Selatan. Retrieved 2 11,
2021, from medcom.id: https://www.medcom.id/internasional/asia/3NO03jWb-tiga-
kepentingan-malaysia-di-laut-china-selatan
Putri, S. A. (2018). ASEAN Security Community dan Solusi. Peran ASEAN Security Community
dalam Persengketaan , 34-36.
Roza, R., Nainggolan, P. P., & Muhamad, S. V. (2013). Konflik laut china selatan dan implikasinya
terhadap kawasan. Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI).
Sudira, I. N. (2012). Konflik Laut China Selatan dan Politik Luar Negeri Indonesia ke Amerika dan
Eropa. 143–161.
Sorongan, T. P. (2021, Februari 10). Takut di 'Dor' China, Filipina Keluarkan Jurus Baru di
LCS. Retrieved from CNBC Indonesia:
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210210161548-4-222508/takut-di-dor-china-
filipina-keluarkan-jurus-baru-di-lcs
Suharman, Y. (2019). Dilema Keamanan dan Respons Kolektif ASEAN Terhadap Sengkat Laut
China Selatan. Intermestic : Journal of International Studies , 3 (2), 132.
Suharman, Y. (2019). DILEMA KEAMANAN DAN RESPONS KOLEKTIF ASEAN TERHADAP
SENGKETA LAUT CHINA SELATAN. Journal of International Studies , 135-137.
Waltz, K. (1979). Theory Of International Politics. Reading: Addison-Wesley.

Anda mungkin juga menyukai