Anda di halaman 1dari 10

Ahmad Marsal P.W.

21/480112/HK/22965
HI Lanjutan B

VIETNAM
A. Pendahuluan
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pulau terbanyak di dunia dan berada di
benua Asia, khususnya dalam regional Asia Tenggara. Sebagai salah satu negara dengan
kepulauan terbanyak, tentu juga memungkinkan adanya perbatasan langsung dengan negara
tetangga, seperti Vietnam. Perbatasan laut antara Indonesia dan Vietnam merupakan aspek
yang sangat penting dalam kerangka hubungan bilateral kedua negara di Asia Tenggara.
Perbatasan ini menyangkut perairan Laut Cina Selatan yang merupakan kawasan strategis
yang kaya akan sumber daya alam dan berdampak besar terhadap perdagangan dan keamanan
maritim di kawasan tersebut. Penentuan batas maritim melibatkan sejumlah pertimbangan
penting terkait kedaulatan, hak nelayan, eksplorasi sumber daya alam, dan kepentingan
keamanan nasional.
Indonesia dan Vietnam merupakan dua negara berdaulat yang memiliki garis pantai cukup
panjang di Laut Timur. Oleh karena itu, penting untuk menetapkan batas laut yang jelas,
berdasarkan prinsip-prinsip hukum internasional. Proses negosiasi perbatasan maritim
melibatkan partisipasi kedua negara dan diatur oleh hukum internasional, termasuk Konvensi
PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS)1.
Pada dasarnya penetapan batas maritim antara Indonesia dan Vietnam mempertimbangkan
beberapa faktor seperti jarak garis pantai kedua negara, garis pangkal, kebebasan navigasi dan
aspek lain yang diatur dalam peraturan UNCLOS. UNCLOS memberikan kerangka hukum
internasional yang paling sesuai untuk menentukan batas maritim internasional dan
memastikan bahwa kedua negara dapat mengelola sumber daya kelautan secara berkelanjutan.
Pentingnya penetapan batas maritim tidak hanya terkait dengan eksploitasi sumber daya alam
tetapi juga masalah maritim dan kepentingan keamanan maritim. Ada jalur pelayaran penting
di kawasan ini yang harus tetap aman dan terbuka untuk semua negara. Oleh karena itu,
perundingan perbatasan laut harus mencakup perspektif tersebut dan menciptakan
kesepakatan yang memenuhi kepentingan kedua negara.
Selain itu, perbatasan maritim yang jelas juga dapat berkontribusi terhadap stabilitas regional
dan kerja sama bilateral antara Indonesia dan Vietnam. Mereka dapat membangun kemitraan
1
https://www.forbes.com/sites/jillgoldenziel/2022/12/27/indonesia-vietnam-boundary-settlement-can-help-us-
counter-china/?sh=1eb3f3565b48
untuk mengelola sumber daya maritim secara efektif, mendorong perdagangan maritim, dan
bersama-sama mengatasi tantangan keamanan maritim di Laut Cina Selatan.
Oleh karena itu, penentuan batas maritim antara Indonesia dan Vietnam merupakan proses
yang penting dan kompleks yang melibatkan berbagai aspek hukum internasional, ekonomi,
keamanan dan geopolitik. Hal ini memerlukan kerja sama yang baik antara kedua negara
untuk mencapai solusi yang adil dan abadi yang menguntungkan kedua belah pihak serta
menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan.

B. Persoalan Perbatasan Maritim


Indonesia dan Vietnam sudah lama berselisih soal Laut Natuna Utara yang terletak di Laut
Cina Selatan. Perselisihan tersebut terkait dengan tumpang tindih klaim zona ekonomi
eksklusif (ZEE) yang telah diperebutkan selama bertahun-tahun. ZEE adalah suatu wilayah
yang berada di luar dan berbatasan dengan laut teritorial yang tunduk pada rezim hukum
khusus berdasarkan hukum maritim internasional. ZEE menjadi isu penting karena berkaitan
dengan berbagai kepentingan, termasuk sejauh mana nelayan Indonesia bisa menangkap ikan.
Perselisihan tersebut berujung pada bentrokan terkait isu illegal, unreported and unregulated
(IUU) fishing yang berujung pada penangkapan dan pertikaian diplomatik antara kedua
negara2.
Namun, pada tanggal 22 Desember 2022, Indonesia dan Vietnam menandatangani perjanjian
batas ZEE masing-masing, yang menandai langkah penting menuju penyelesaian sengketa
tersebut3. Perjanjian tersebut merupakan hasil perundingan selama 12 tahun dan terjadi 19
tahun setelah kedua negara mengadopsi penggambaran batas landas kontinen di antara
mereka4. Rincian pasti mengenai perjanjian dan penggambarannya masih dirahasiakan, namun
kedua negara telah sepakat untuk mulai menyusun peraturan untuk menghindari konflik di
ZEE5. Perjanjian tersebut penting karena menambah kekuatan klaim Indonesia dan Vietnam
atas sumber daya laut di Laut Cina Selatan.
Pertemuan maritim yang terus berlanjut di Laut Natuna Utara dapat mengikis kepercayaan
dan mengadu domba opini publik kedua negara, sehingga menghambat proses negosiasi[1].
2
https://www.eastasiaforum.org/2021/04/30/managing-the-vietnam-indonesia-north-natuna-sea-dispute/
3
https://www.defensenews.com/smr/defending-the-pacific/2023/02/13/how-a-new-vietnam-indonesia-deal-will-
affect-south-china-sea-disputes/
4
ibid
5
ibid
Untuk menangani perselisihan mereka dengan lebih baik, Hanoi dan Jakarta harus mengambil
langkah-langkah membangun kepercayaan sesuai dengan Pasal 74(3) Konvensi PBB tentang
Hukum Laut6. Pasal tersebut menyatakan bahwa negara-negara pantai ‘melakukan segala
upaya untuk mencapai pengaturan sementara [menunggu perjanjian delimitasi maritim]’ 7.
Ringkasnya, sengketa Indonesia dan Vietnam terkait Laut Natuna Utara terkait dengan
tumpang tindih klaim ZEE yang telah diperebutkan selama bertahun-tahun. Perselisihan
tersebut berujung pada bentrokan terkait isu illegal, unreported and unregulated (IUU) fishing
yang berujung pada penangkapan dan pertikaian diplomatik antara kedua negara. Namun pada
22 Desember 2022, Indonesia dan Vietnam menandatangani perjanjian batas ZEE masing-
masing, yang menandai langkah penting menuju penyelesaian sengketa tersebut.

C. Penyelesaian
Penyelesaian konflik di Natuna antara Indonesia dan Vietnam adalah suatu proses yang
memerlukan pendekatan yang cermat dan diplomatis. Konflik ini muncul karena perselisihan
atas klaim wilayah maritim dan hak akses ke sumber daya alam, terutama ikan dan minyak
dan gas alam, di sekitar Kepulauan Natuna. Untuk menyelesaikan konflik ini, kedua negara
harus mengedepankan dialog dan diplomasi sebagai jalur utama. Komunikasi yang terbuka
dan terus-menerus perlu menjadi landasan dalam mencari solusi. Forum bilateral atau
multilateral, seperti ASEAN, dapat menjadi wadah yang baik untuk memfasilitasi percakapan
yang produktif. Prinsip-prinsip hukum internasional, khususnya Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), harus menjadi pedoman dalam penentuan
batas perbatasan laut dan hak-hak nelayan. Hal ini penting agar solusi yang dihasilkan
memiliki dasar hukum yang kuat. Kerja sama maritim juga sangat dibutuhkan. Indonesia dan
Vietnam dapat saling mendukung dalam pengelolaan sumber daya laut di wilayah Natuna,
termasuk pengelolaan perikanan yang berkelanjutan, pemantauan kegiatan maritim, dan
pengeboran minyak dan gas alam. Hal ini dapat menguntungkan kedua negara. Peningkatan
penegakan hukum di Natuna perlu menjadi fokus. Ini mencakup pengawasan yang ketat
terhadap aktivitas ilegal, seperti penangkapan ikan ilegal, dan penegakan hukum yang tegas

6
https://asia.nikkei.com/Politics/International-relations/South-China-Sea/Indonesia-and-Vietnam-agree-on-EEZ-
boundaries-in-South-China-Sea
7
ibid
terhadap pelanggaran8. Selain itu, transparansi dan keterbukaan dalam berbagi informasi
tentang aktivitas di wilayah tersebut dapat mengurangi ketegangan. Mediasi atau melibatkan
mediator independen mungkin diperlukan dalam beberapa kasus untuk membantu
merundingkan solusi. Selain itu, kerja sama dan komitmen bersama dalam kerangka ASEAN
dapat membantu dalam mencari solusi yang mempromosikan perdamaian dan stabilitas di
Laut Tiongkok Selatan. Penyelesaian konflik di Natuna adalah tantangan yang rumit, namun
dengan pendekatan yang bijak, kerja sama, dan penghormatan terhadap hukum internasional,
kedua negara dapat mencapai kesepakatan yang bermanfaat bagi kedua belah pihak serta
mendukung perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut.

AUSTRALIA

A. Pendahuluan

Perbatasan maritim antara Indonesia dan Australia merupakan aspek penting dalam
hubungan bilateral kedua negara di kawasan Asia-Pasifik. Perbatasan ini mencakup wilayah
perairan yang luas di Laut Timor dan Laut Arafura dan mempunyai implikasi signifikan
terhadap berbagai aspek seperti keselamatan maritim, perekonomian, dan kerja sama
regional. Indonesia dan Australia merupakan dua negara berdaulat yang memiliki sejarah
panjang dalam menjalin hubungan diplomatik 9. Batas lautnya harus ditetapkan dan diatur
untuk menjamin hak kedaulatan, hak nelayan, serta kepentingan ekonomi dan keamanan
masing-masing negara. Proses penentuan batas maritim ini melibatkan negosiasi antara
kedua negara dan seringkali penerapan hukum internasional, khususnya Konvensi PBB
tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang memberikan pedoman dan kerangka kerja untuk
menentukan batas maritim antar negara yang berbagi perairan maritime. Perbatasan maritim
antara Indonesia dan Australia memiliki kompleksitas tersendiri. Faktor-faktor seperti jarak
pantai kedua negara, hak lintas bebas, dan klaim zona ekonomi eksklusif (ZEE) harus
diperhitungkan. UNCLOS, yang memberikan definisi tentang bagaimana batas-batas
maritim harus diukur dan diatur, memainkan peran penting dalam menentukan batas-batas
tersebut. Menetapkan batas laut yang jelas penting untuk memfasilitasi pemanfaatan sumber
8
ibid
9
https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/3197833/indonesian-tribe-sue-australia-over-oil-rich-islands-
it-draws-line-sand
daya alam secara berkelanjutan, melindungi hak-hak nelayan dan meningkatkan
perdagangan dan keamanan maritim di wilayah ini. Kesepakatan yang dicapai akan
mencerminkan hubungan baik kedua negara dan memberikan landasan bagi kerja sama lebih
lanjut di berbagai aspek.

B. Persoalan Perbatasan Maritim

Terjadi perselisihan antara Indonesia dan Australia mengenai kepemilikan Pulau Pasir yang
merupakan bagian dari Kepulauan Ashmore dan Cartier di Laut Timor 10. Sengketa tersebut
terkait dengan tumpang tindih klaim zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan kepemilikan
cadangan minyak dan gas di wilayah tersebut. Perselisihan tersebut telah menimbulkan
ketegangan antara kedua negara, namun tidak ada bukti adanya konflik militer atau pasukan
yang dikerahkan ke wilayah tersebut. Perselisihan ini telah berlangsung selama bertahun-
tahun, dan pada bulan Oktober 2022, seorang nelayan Indonesia mengumumkan niatnya
untuk mengajukan gugatan terhadap Australia atas kepemilikannya atas Pulau Pasir 11.
Pemegang Amanat Hak Adat Masyarakat Adat Laut Timor, Ferdi Tanoni, juga
memperingatkan adanya potensi tuntutan hukum atas kepemilikan Australia atas Pulau
Pasir. Masalah ini telah memicu reaksi dari masyarakat Indonesia, dan ada seruan agar
Australia meninggalkan gugusan pulau tersebut. Namun, pada tanggal 22 Desember 2022,
Indonesia dan Australia menandatangani perjanjian batas zona ekonomi eksklusif (ZEE)
masing-masing, yang menandai langkah penting menuju penyelesaian sengketa tersebut 12.
Rincian pasti mengenai perjanjian dan penggambarannya masih dirahasiakan, namun kedua
negara telah sepakat untuk mulai menyusun peraturan untuk menghindari konflik di ZEE.
Perjanjian ini penting karena menambah kekuatan klaim Indonesia dan Australia atas
sumber daya kelautan di Laut Timor. Ringkasnya, terjadi perselisihan antara Indonesia dan
Australia mengenai kepemilikan Pulau Pasir yang merupakan bagian dari Kepulauan
Ashmore dan Cartier di Laut Timor. Sengketa tersebut terkait dengan tumpang tindih klaim
zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan kepemilikan cadangan minyak dan gas di wilayah

10
https://factcheck.afp.com/doc.afp.com.32ZA7PG

11
https://www.change.org/p/tony-abbott-australia-not-legally-entitled-over-ashmore-reef-gugusan-pulau-pasir
12
https://en.tempo.co/read/1649033/indonesia-tourism-minister-comments-on-pasir-island-and-australias-claim
tersebut13. Namun pada 22 Desember 2022, Indonesia dan Australia menandatangani
perjanjian batas ZEE masing-masing, yang menandai langkah penting menuju penyelesaian
sengketa tersebut.

C. Penyelesaian

Penyelesaian konflik yang melibatkan Pulau Pasir antara Indonesia dan Australia adalah
suatu tantangan yang memerlukan pendekatan bijak dan kerja sama diplomatik. Pulau Pasir,
yang terletak di wilayah perbatasan kedua negara, telah menjadi sumber perselisihan yang
perlu diatasi secara efektif. Pertama-tama, penting untuk mencapai pemahaman bersama
melalui dialog aktif antara kedua negara. Komunikasi terbuka adalah kunci untuk
memahami sudut pandang masing-masing pihak dan mencari solusi yang dapat diterima
oleh semua pihak. Penerapan hukum internasional, khususnya ketentuan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), adalah langkah penting
dalam menentukan status hukum Pulau Pasir. Kedua negara perlu bekerja sama untuk
memastikan bahwa kejelasan hukum internasional diikuti dan dihormati. Jika negosiasi
langsung tidak menghasilkan kesepakatan, mediasi atau arbitrase oleh pihak ketiga yang
netral adalah opsi yang dapat dipertimbangkan. Hal ini dapat membantu mencapai keputusan
yang adil berdasarkan hukum internasional. Kerja sama maritim juga dapat menjadi solusi
yang menguntungkan. Indonesia dan Australia dapat mencari cara untuk meningkatkan kerja
sama dalam pengelolaan sumber daya laut di wilayah sekitar Pulau Pasir. Ini mencakup
pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dan pemantauan kegiatan maritim. Transparansi
dan keterbukaan dalam berbagi informasi tentang aktivitas di wilayah Pulau Pasir adalah
langkah penting untuk mengurangi ketidakpercayaan dan ketegangan antara kedua negara 14.
Selain itu, kerja sama regional, melalui ASEAN dan forum kerja sama lainnya, juga dapat
membantu memfasilitasi dialog dan kerja sama antara Indonesia dan Australia. Ini
memungkinkan kedua negara untuk berbagi pengalaman dan mencari solusi yang lebih luas
dalam kerangka regional. Penyelesaian konflik Pulau Pasir adalah kunci untuk memastikan
perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut. Indonesia dan Australia perlu bersedia untuk

13
https://resmilitaris.net/menu-script/index.php/resmilitaris/article/download/2995/2411/4176
14
https://www.change.org/p/scott-morrison-australia-not-legally-entitled-over-gugusan-pulau-pasir-ashmore-reef
bekerja sama dalam semangat kerja sama regional dan menghormati prinsip-prinsip hukum
internasional untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan.

FILIPINA

A. Pendahuluan

Perbatasan laut antara Indonesia dan Filipina adalah salah satu aspek yang sangat penting
dalam hubungan bilateral kedua negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Perbatasan
ini mencakup wilayah perairan di Laut Sulu dan Laut Celebes, dan memiliki implikasi yang
signifikan dalam berbagai aspek, termasuk ekonomi, keamanan maritim, dan kerja sama
regional. Indonesia dan Filipina adalah dua negara berdaulat dengan sejarah panjang dalam
menjalin hubungan diplomatik15. Penetapan perbatasan laut mereka harus
mempertimbangkan dan mengatur hak-hak kedaulatan masing-masing negara, hak-hak
nelayan, eksplorasi sumber daya alam, dan kepentingan keamanan nasional. Proses
penentuan perbatasan laut ini melibatkan negosiasi antara kedua negara, dengan panduan
prinsip-prinsip hukum internasional, terutama Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
tentang Hukum Laut (UNCLOS). UNCLOS memberikan kerangka kerja hukum
internasional yang relevan dalam menentukan perbatasan laut internasional. Pentingnya
penetapan perbatasan laut yang jelas adalah untuk memfasilitasi eksploitasi sumber daya
alam yang berkelanjutan, melindungi hak nelayan, dan mempromosikan perdagangan
maritim. Kesepakatan yang dicapai akan mencerminkan hubungan baik antara kedua negara
dan memberikan dasar untuk kerja sama lebih lanjut dalam berbagai aspek, termasuk
keamanan maritim dan lingkungan. Perbatasan laut antara Indonesia dan Filipina juga dapat
memengaruhi dinamika di kawasan Asia Tenggara yang lebih luas. Oleh karena itu,
menetapkan penyelesaian yang damai dan adil adalah dalam kepentingan seluruh kawasan
tersebut, yang terus berupaya memelihara perdamaian dan stabilitas dalam kerangka kerja
kerja sama regional.

B. Persoalan Perbatasan Maritim

15
https://www.dw.com/id/indonesia-dan-filipina-akhiri-kisruh-perbatasan/a-17655530
Saat ini tidak ada konflik antara Indonesia dan Filipina di Mindanao. Namun, terdapat
perselisihan berkepanjangan antara kedua negara mengenai perbatasan di laut Sulawesi dan
Mindanao, yang diselesaikan pada tahun 201416. Perselisihan tersebut telah berlangsung
selama hampir 20 tahun, dan kedua negara menandatangani perjanjian yang mengatur zona
ekonomi eksklusif (ZEE) di laut Sulawesi dan Laut Mindanao. Perjanjian tersebut
ditandatangani oleh Presiden Benigno Aquino III dari Filipina dan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono dari Indonesia. Perjanjian tersebut dipandang sebagai langkah signifikan menuju
perdamaian dan kerja sama antara kedua negara. Konflik di Mindanao terkait dengan
pemberontakan Moro, yaitu pemberontakan yang sudah berlangsung lama melawan
pemerintah Filipina oleh kelompok separatis Muslim di Filipina selatan. Konflik telah
berlangsung selama beberapa dekade dan mengakibatkan ribuan orang tewas dan
mengungsi. Konflik ini berakar pada sejarah Filipina, khususnya aneksasi Filipina oleh
Amerika Serikat pada tahun 189917. Pemberontakan Moro telah menjadi tantangan yang
signifikan bagi pemerintah Filipina, dan telah ada upaya untuk menyelesaikan konflik
tersebut melalui negosiasi perdamaian. Kesimpulannya, saat ini tidak ada konflik antara
Indonesia dan Filipina di Mindanao. Namun, terdapat perselisihan berkepanjangan antara
kedua negara mengenai perbatasan di laut Sulawesi dan Mindanao, yang diselesaikan pada
tahun 201418. Konflik di Mindanao terkait dengan pemberontakan Moro, yaitu
pemberontakan yang sudah berlangsung lama melawan Filipina. pemerintahan oleh separatis
Muslim di Filipina selatan.

C. Penyelesaian

Penyelesaian Konflik di Mindanao, Filipina, telah menjadi tantangan berat yang telah
berlangsung selama beberapa dekade. Konflik ini melibatkan berbagai kelompok, termasuk
kelompok bersenjata, kelompok separatis, dan pemerintah Filipina. Penyelesaian konflik ini
adalah suatu proses yang memerlukan upaya komprehensif dan berkelanjutan. Langkah
pertama menuju perdamaian adalah dialog dan negosiasi yang inklusif antara semua pihak

16
https://international.sindonews.com/berita/865315/40/filipina-dan-ri-akhiri-sengketa-laut-sulawesi-mindanao

17
https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Moro

18
https://ejournal.undip.ac.id/index.php/ip/article/download/20178/13869
yang terlibat. Ini mencakup kelompok separatis seperti Moro Islamic Liberation Front
(MILF) dan Moro National Liberation Front (MNLF) 19. Proses ini harus memberikan suara
kepada semua komunitas di Mindanao, memungkinkan mereka untuk menyampaikan
aspirasi dan kekhawatiran mereka. Pemberian otonomi kepada daerah-daerah di Mindanao
adalah langkah yang penting untuk meredakan konflik. Moro Autonomous Region in
Muslim Mindanao (BARMM) adalah contoh positif dalam hal ini. Implementasi
kesepakatan yang dicapai melalui negosiasi adalah tahap berikutnya, dan ini memerlukan
pengawasan ketat untuk memastikan ketaatan dari semua pihak. Selain aspek politik, konflik
di Mindanao juga terkait dengan masalah sosial-ekonomi. Upaya untuk mengentaskan
kemiskinan, meningkatkan akses ke pendidikan, pekerjaan, dan layanan sosial sangat
penting. Ini dapat membantu meredakan ketegangan di antara komunitas yang terdampak
oleh konflik. Keterlibatan komunitas internasional dan pengawasan dari pihak ketiga yang
netral adalah langkah yang penting untuk memastikan pelaksanaan kesepakatan perdamaian.
Integrasi kelompok bersenjata ke dalam proses perdamaian juga adalah bagian integral dari
penyelesaian konflik. Proses ini harus mencakup rehabilitasi anggota kelompok bersenjata
dan pemulihan sosial. Investasi dalam rekonstruksi dan pembangunan di wilayah yang
terkena dampak konflik adalah langkah penting untuk memulihkan kondisi sosial dan
ekonomi. Pendidikan dan program-program yang mempromosikan perdamaian, toleransi,
dan rekonsiliasi di kalangan masyarakat adalah bagian dari usaha untuk mengubah sikap dan
keyakinan yang mendukung konflik. Perlindungan hak asasi manusia juga harus menjadi
prioritas. Prinsip-prinsip HAM harus dihormati dalam upaya penyelesaian konflik 20.
Terakhir, dukungan dari komunitas internasional dalam hal keuangan dan diplomasi sangat
penting untuk mendukung proses perdamaian di Mindanao. Penyelesaian konflik di
Mindanao adalah proses yang panjang dan rumit. Namun, dengan komitmen dan kerja sama
dari semua pihak yang terlibat, perdamaian dan stabilitas di wilayah ini adalah tujuan yang
dapat dicapai. Semua upaya ini penting untuk mengakhiri penderitaan yang telah terlalu
lama berlangsung dan membangun masa depan yang lebih baik bagi penduduk Mindanao.

19
https://www.dw.com/id/filipina-perang-klan-membuat-pemuda-muslim-mindanao-trauma/a-64873165
20
https://journal.unpas.ac.id/index.php/transborders/article/download/1517/936/7683

Anda mungkin juga menyukai