Disusun oleh:
Yahya Habibillah Samaky
042490123
MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS TERBUKA YOGYAKARTA
2020
PENDAHULUAN
Permasalahan ketahanan nasional paling rumit yang dihadapi Indonesia sejak dahulu
sampai sekarang adalah klaim Laut Cina Selatan yang dilakukan oleh Tiongkok sejak tahun
1947. Tiongkok secara sepihak mengklaim hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan dengan
menerbitkan peta yang memberi tanda sembilan garis putus-putus di seputar wilayah perairan
tersebut (Swee-Hock, et. al., 2005). Berbagai macam upaya secara terus menerus dilakukan
oleh Indonesia untuk mengurangi dan menyelesaikan ancaman Tiongkok di Laut Cina Selatan,
khususnya di Kepulauan Natuna. Banyak negara lain di kawasan ASEAN pun menjalin
hubungan bilateral dan multilateral dengan Indonesia untuk menghadapi bahaya klaim Laut
Cina Selatan oleh Tiongkok ini.
Terdapat beberapa hal yang ditenggarai merupakan penyebab masih berlangsungnya
konflik di kawasan tersebut. Roza, et. al. (2013: 11) menyebutkan; Pertama, beberapa peneliti
mengklaim bahwasanya kawasan Laut Cina Selatan memiliki kekayaan sumber daya alam
(SDA). Pada tahun 1968 ditemukan cadangan minyak bumi yang menaikkan nilai Laut Cina
Selatan. Cadangan minyak potensial di kepulauan Spratly dan Paracel diperkirakan mencapai
105 milyar barrel dan diseluruh Laut Cina Selatan sebanyak 213 Milyar barrel. Kedua, letak
yang strategis selalu menjadi primadona bagi negara lain untuk memiliknya. Letak Laut Cina
Selatan yang menghubungkan dua Samudra telah menjadi jalur perlintasan favorit kapal-kapal
internasional. Menghubungkan perniagaan dari Eropa, Timur tengah, Australia menuju Jepang,
Korea, Tiongkok dan negara lainnya yang melewati Selat malaka. Ketiga, dalam sepuluh tahun
terkahir pertumbuhan ekonomi di beberapa negara Asia berkembang dengan pesat, terutama
Tiongkok, India dan negara-negara Asia Tenggara, sedangkan ekonomi Eropa dan Amerika
Serikat mengalami penurunan. Untuk mengamankan kepentingan keamanan energi (energy
security)-nya Tiongkok berupaya menguasai kawasan Laut Cina Selatan.
Indonesia yang bertujuan untuk mencapai resolusi konflik Laut Cina Selatan telah
menggunakan unsur sea power dan kekuatan militer sebagai bentuk pertahanan. Namun bentuk
pertahanan bidang militer tersebut seringkali mendapat berbagai persepsi dari masyarakat
Indonesia, baik persepsi positif bahkan anggapan yang meremehkan ketahanan militer negara
sendiri. Sugihartono, et. al. (2007: 8) mengartikan persepsi sebagai proses menerjemahkan atau
menginterpretasi stimulus yang masuk dalam alat indera. Dalam artikel ini, akan dieksplorasi
persepsi-persepsi masyarakat tentang strategi pertahanan militer Indonesia dalam menjaga
kawasan Kepulauan Natuna dari ancaman Tiongkok.
KAJIAN PUSTAKA
Strategi Pertahanan Militer
1. Ketahanan Nasional
Menurut Wan Usman (2003), apabila berbicara tentang ketahanan nasional berarti kita
berbicara mengenai kesejahteraan, pertahanan dan keamanan negara serta bangsa. Sedangkan,
Departemen Pertahanan (dalam Wahyono, 2004) menjelaskan bahwa ketahanan nasional
mengupayakan keuletan, ketangguhan dan kemampuan bangsa serta negara dengan
membangun sistem yang komprehensif, sistematik dan integral. Seluruh kehidupan bangsa
negara ditata dalam sebuah sistem nasional, yang merupakan satu rangkaian sistem empat
fungsi pokok penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yaitu
sistem politik, sistem ekonomi, sistem sosial budaya dan sistem pertahanan keamanan yang
saling terkait.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa ketahanan nasional
merupakan integrasi seluruh aspek kehidupan nasional yang mengandung ketangguhan dalam
menghadapi dan mengatasi segala tantangan, ancaman, hambatan serta gangguan baik yang
datang dari luar maupun dari dalam, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan
kelangsungan hidup bangsa dan negara.
2. Strategi Pertahanan Militer Indonesia
Strategi pertahanan nasional menurut Lemhanas RI (dalam Lasiyo, et. al., 2020) berkaitan
dengan pertanyaan tentang apa sebab dan bagaimana Indonesia bisa terus bertahan dan
berkembang walaupun menghadapi banyak ancaman dan bahaya. Pemerintah Indonesia telah
mengumumkan cara menghadapi ancaman dan bahaya melalui strategi pertahanan militer baru
yang berfokus pada; pertama, memaksimalkan peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ABRI) dan Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP) dalam melaksanakan
pengamanan, penataan dan pengelolaan wilayah perbatasan negara dan pulau-pulau kecil
terluar/terdepan secara terpadu, lalu kedua, melakukan upaya diplomasi dengan
mengedepankan penyelesaian masalah perbatasan secara damai bersama negara-negara
tetangga. Walaupun demikian, Indonesia tetap menempatkan pesawat F-16 di Lanud. Roesmin
Nurjadin, Provinsi Riau. Apabila jika sewaktu-waktu terdapat ancaman, pesawat F-16 dapat
segera didatangkan ke Kepulauan Natuna (Sanditya, et. al., 2019: 12-13).
Akmal (2015: 7) turut menambahkan beberapa strategi pertahanan militer yang dilakukan
oleh TNI Indonesia, terutama untuk menjaga keamanan wilayah di perbatasan terkait konflik
laut cina selatan dengan menambah jumlah pasukan dan juga armada tempur. Berikut adalah
data kekuatan TNI di Kepulauan Natuna: (1) Membangun Pangkalan Sukhoi Su-27, (2)
Siagakan 4 Helikopter AH-64E Apache, (3) Menambah 1 Batalion Infantri dari Kodam Bukit
Barisan, (4) Patroli Skuadron Jet Pekanbaru, dan (5) Menambah Puluhan Kapal dari Armabar
TNI AL.
Paramasatya (2019: 253) menjelaskan strategi pertahanan militer Indonesia menerapkan
konsep berlapis dengan mengendepankan kekuatan TNI, khususnya TNI-AL. Tindakan militer
untuk menghadang serangan atau agresi negara lain dalam rangka preventif dilaksanakan
dengan mengerahkan kekuatan TNI sejauh mungkin sebelum musuh memasuki wilayah Zona
Ekonomi Eksklusif atau ZEE Indonesia. Pertahanan militer untuk menghadapi agresi musuh
yang telah masuk wilayah Indonesia dilaksanakan dalam susunan pertahanan mendalam
dengan mengerahkan kekuatan TNI untuk mencegat dan menghancurkan kekuatan militer
lawan dari luar batas ZEE hingga masuk ke pantai dan daratan wilayah Indonesia. Dengan
demikian, dapat diartikan bahwa TNI-AL adalah lapis pertama dan berada pada posisi terluar
di dalam pertahanan Indonesia.
PEMBAHASAN
Hasil eksplorasi melalui sosial media (Facebook & Instagram) tentang persepsi yang
berkembang di masyarakat mengenai strategi pertahanan militer Indonesia dalam menjaga
kawasan Kepulauan Natuna dari ancaman Tiongkok menuai beragam reaksi.
Tabel 1. Persepsi Pertahanan Militer oleh Masyarakat di Facebook
Berdasarkan hasil analisis tabel 1, persepsi masyarakat atas strategi pertahanan militer
kita masih kurang untuk menjaga Natuna dari ancaman Tiongkok. Mereka ingin segera
dibenahi kekuatan ketahanan nasional utamanya di bidang militer dengan penambahan Alat
Utama Sistem Senjata Tentara Nasional Indonesia (Alutsista TNI). Harapan dari masyarakat
adalah dari semakin lengkapnya alutsista kita, apabila terpaksa terjadi perang untuk
mempertahankan kedaulatan wilayah maka Indonesia sudah siap. Selain itu,
mempertimbangkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia maka masyarakat
berharap supaya TNI-AL lebih diperkuat lagi.
Persepsi dan harapan dari masyarakat tersebut sesuai dengan strategi pertahanan militer
yang telah diterapkan oleh TNI, terutama untuk menjaga keamanan wilayah di perbatasan
terkait konflik Laut Cina Selatan dengan menambah jumlah pasukan dan juga armada tempur.
TNI-AL telah menambah alutsista dengan: (1) Membangun Pangkalan Sukhoi Su-27, (2)
Siagakan 4 Helikopter AH-64E Apache, (3) Menambah 1 Batalion Infantri dari Kodam Bukit
Barisan, (4) Patroli Skuadron Jet Pekanbaru, dan (5) Menambah Puluhan Kapal dari Armabar
TNI AL (Akmal, 2015: 7).
PENUTUP
Kesimpulan
Hasil analisa persepsi masyarakat atas strategi pertahanan militer dalam menjaga Natuna
dari ancaman Tiongkok menunjukkan beberapa rakyat di Indonesia menyatakan masih
rendahnya alutsista yang ditempatkan pada daerah terluar/perbatasan. Namun, pada sisi lain,
terdapat juga masyarakat dengan tingkat kepuasan tinggi atas strategi bidang militer kita di
Natuna. Walaupun demikian, mereka ini sangat berharap bahwa Indonesia dapat
mengimplementasikan strategi ketahanan nasional secara menyeluruh, dari aspek ideologi,
aspek politik, aspek ekonomi, aspek sosial budaya, hingga ke aspek hankam.
Patut dibanggakan bahwa seluruh masyarakat dalam cara yang berbeda-beda bersatu
memperlihatkan kepedulian atas ketahanan nasional kita dari ancaman negara lain. Masyarakat
sadar apabila stabilitas dikawasan Kepulauan Natuna terganggu maka akan berdampak
terhadap keamanan, dan terganggunya kepentingan Indonesia sebagai negara yang berbatasan
langsung dengan Laut Cina Selatan. Perlu dikembangkan lagi langkah-langkah kongkret dalam
bentuk strategi-strategi dan kebijakan untuk mempertahankan kepentingan Indonesia di laut
Cina Selatan, serta menjaga stabilitas ketahanan nasional tetap terjaga.
Saran
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia sebaiknya mengadakan forum diskusi
dengan kelompok masyarakat yang berpersepsi bahwa strategi pertahanan militer kita sudah
cukup tangguh tetapi sangat diperlukan untuk memperkuat di aspek lain. Apa yang terjadi
sekarang ini di mana Indonesia bekerjasama dengan Tiongkok dalam hal transaksi “Rupiah-
Yuan” wajib diwaspadai oleh semua pihak, mungkin itu merupakan startegi Tiongkok pada
suatu hari untuk mendapatkan Natuna. Lalu, Indonesia butuh segera meningkatkan ketahanan
dari sisi internal supaya tidak ada lagi negara lain yang berani mengancam kedaulatan kita.
Daftar Pustaka
Akmal. (2015). Strategi Indonesia Menjaga Keamanan Wilayah Perbatasan Terkait Konflik
Laut Cina Selatan Pada Tahun 2009-2014. Jom Fisip. Vol. 2(2). Hal: 1-12.
Benny, L. (2017). Pengembangan Cadangan Gas Bumi East Natuna di Wilayah Zona Ekonomi
Ekslusif (ZEE) Perairan Natuna dapat Meningkatkan Ketahanan Nasional. Jurnal Kajian
Lemhannas RI. Vol. 30(6). Hal: 15-22.
Davis, J.W. (2000). Threats and Promises: The Pursuit of International Influence. Baltimore
MD: Johns Hopkins University Press.
Lasiyo, et. al. (2020). Pendidikan Kewarganegaraan. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Paramasatya, S. (2019). Naval Diplomacy: Upaya Defensif Indonesia dalam Konflik Laut
Tiongkok Selatan di Era Joko Widodo. Jurnal Hubungan Internasional. Vol. 12(2). Hal:
245-264.
Ristian, et. al., “Tiongkok’s Rift with Indonesia in the Natunas: Harbinger of Worse to Come?”,
The Diplomat, 25 Maret 2016, (http://thediplomat.com/2016/03/Tiongkoks-rift-
withindonesia-in-the-natunas-harbinger-of-worse-to-come/, diakses pada 24 Oktober
2020).
Roza, et. al. (2013). Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya terhadap Kawasan. Jakarta:
Setjen DPR Republik Indonesia & Azza Grafika.
Sanditya, et. al. (2019). Diplomasi Pertahanan Indonesia Terhadap Pelanggaran Wilayah oleh
China di Perairan Kepulauan Natuna Melalui Pelaksanaan Latihan Puncak Angkasa
Yudha TNI AU Tahun 2016. Jurnal Diplomasi Pertahanan. Vol. 5(3). Hal: 59-78.
Sugihartono, et. al. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press.
Swee-Hock, et. al. (2005). ASEAN-China Relations: Realities and Prospects. Singapura:
ISEAS Publishing.
Tampi, B. (2017). Konflik Kepulauan Natuna Antara Indonesia dengan China (Suatu Kajian
Yuridis). Jurnal Hukum Unsrat. Vol. 23(10). Hal: 1-16.
Wahyono. (2004). Kebijakan Nasional untuk Mewujudkan Konsepsi Wawasan Nusantara dan
Ketahanan Nasional. Jakarta: Surya Indah.
Wan, U. (2003). Daya Tahan Bangsa. Jakarta: Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional
Universitas Indonesia.