Anda di halaman 1dari 11

Mirza Mar’Ali

110110180183
Tugas Hukum Pidana Dalam Perkembangan

Keberadaan Pasal 2 RKUHP yang Dianggap Bertentangan dengan


Asas Legalitas
Sebelum kita masuk kedalam substansi yang akan ingin kita bahas dan kupas serta
menjawab judul diatas, mari sejenak kita melihat sedikit sejarah perkembangan dari RUU KUHP
itu sendiri. RUU KUHP atau Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum pidana sudah menjadi
bahan perbincangan di dalam acara seminar hukum nasional 1 di Semarang pada 1963. Di dalam
acara seminar hukum nasional itu membahas beberapa permasalaan salah satunya adalah
pembicaraan terhadap RKUHP (Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) asli
Indonesia.1 Setahun setelah pergelaran seminar hukum nasional tersebut, akhirnya pemerintah
meresponnya dengan membentuk tim perumus RKUHP asli Indonesia yang terdiri dari pakar
hukum Universitas Diponegoro, Prof. Soedarto sebagai ketua tim. Tim perumus RKUHP asli
Indonesia ini beranggotakan sejumlah pakar hukum terkemuka Indonesia antara lain, Prof.
Roeslan Saleh (Universitas Gajah Mada), Prof. Moeljanto, Prof. Satochid Kartanegara, Prof
Oemar Seno Adji (pakar hukum Universitas Indonesia yang kemudian menjadi Ketua
Mahkamah Agung), juga J.E. Sahetapy dari Universitas Airlangga. 2
Beberapa tahun kemudian anggota tim ditambah, antara lain, dengan melibatkan Prof.
Mardjono Reksodiputro, Karlinah Soebroto, Andi Hamzah ( Guru besar Hukum Pidana
Trisakti ), Muladi, Barda Nawawi, Bagir Manan (Universitas Padjadjaran). Soedarto
memimpin tim hingga ia wafat pada 1986 dan kemudian digantikan Roeslan Saleh. 3 Singkat
cerita, perumusan RKUHP ini terus molor dari tahun ke tahun. Pada 2013, barulah DPR
melakukan pembahasan secara intensif terhadap RKUHP setelah diajukan oleh Muladi selaku

1
Lestantya R. Baskoro, “Setengah Abad Lebih Melahirkan RKUHP”,
https://hukum.tempo.co/read/1057807/setengah-abad-lebih-melahirkan-rkuhp/full&view=ok, (diakses pada
07 Maret 2019, pukul 11,35 WIB).
2
Ibid.
3
Ibid.
Menteri Kehakiman pada saat itu. 4 Lalu, pada tahun 2015 tepatnya tanggal 5 Juni, presiden
Joko Widodo mengeluarkan surat presiden yang pada isinya menyatakan bahwa pemerintah
siap untuk membahas RKUHP.5 Hasil pembahasan penitia kerja RKUHP DPR-RI terakhir kali
pada tanggal 24 Februari 2017, yang sampai saat inipun masih belum disahkan.
Pada kesempatan ini, penulis bukan ingin membahas mengapa RKUHP belum
disahkan, akan tetapi disini penulis akan sedikit mengupas mengenai adanya problematika
disalah satu pasal Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia asli ini, yaitu
pasal 2 RKUHP ini. Berikut bunyi dari pasal 2 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana ini:
Pasal 2 ayat 1 RKUHP berbunyi. “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan”.
Pasal 2 ayat 2 RKUHP berbunyi, “Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berlaku sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia,
dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab dan dalam tempat hukum itu
hidup.”.
Dari bunyi kedua pasal diatas, ada salah satu bagian yang menarik perhatian yaitu
didalam pasal 2 ayat 1 RKUHP ini, dimana pasal 2 ayat 1 RKUHP ini mengaitkan kedalam pasal
1 ayat 1 RKUHP yang berbunyi “Tidak satu perbuatan pun dapat dikenai sanksi kecuali atas
kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum
perbuatan dilakukan”. Didalam pasal 1 ayat 1 KUHP ini memiliki satu asas yaitu asas legalitas.
Sebenarnya apa itu asas legalitas?. Dikutip dari pendapat Prof. Moeljatno didalam bukunya Asas-
Asas Hukum Pidana, Asas legalitas adalah asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam
perundang-undangan.6
Dari pengertian diatas kita dapat simpulkan bahwa apabila seseorang ingin dipidana
dikarenakan perbuatannya yang dianggap melanggar, maka harus ada aturan yang mengatur

4
Ibid
5
Ibid.
6
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Rineka Cipta, hlm.25, 2015.
perbuatannya itu terlebih dahulu. Hal ini ditujukan agar jelas apa-apa saja yang dilanggar
sehingga dapat dijatuhkan hukuman pidana dan menjamin adanya kepastian hukum bagi si
tersangka. Kembali kepada judul dari tulisan ini yaitu, “ Apakah Pasal 2 RKUHP Bertentangan
dengan Asas Legalitas? ” mari kita bahas, kupas serta jawab satu bersatu berdasarkan apa yang
sudah penulis sedikit jabarkan diatas.
Asas legalitas ini pertama kali ada di romawi walaupun tidak di jelaskan secara begitu
terperinci bagaimana konsep ini berjalan pada masa itu. Asas lelaglitas baru benar-benar nyata
dan lahir dari revolusi perancis terhadap raja Louis XVI yang bertindak sewenang-wenang
menjatuhkan hukuman kepada para tersangka, sehingga pada waktu itu lahir istilah hukum
adalah raja. Faktor diatas menyebabkan lahir pemikiran yang mengatakan perbuatan-perbuatan
yang dapat dikenakan pidana haruslah dibuat aturannya dahulu agar masyarakat tahu adanya
peraturan tersebut sehingga tidak akan melakukan perbuatan itu. 7 Pemikiran ini dilahirkan oleh
Mostesquieu dalam bukunya L’esprit des Lois dan JJ. Rousseau dalam bukunya Die Contract
Social. 8Von Feurbach seorang sarjana hukum dari Jerman juga salah satu yang melahirkan
asas legalitas ini. Von Feurbach membuat asas legalitas dengan bahasa latin yaitu Nullum
delictum poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih
dahulu).9
Jika kita lihat dari sisi lahirnya asas legalitas ini pada awalnya adalah untuk membatasi
kekuasaan yang begiitu absolut atau mutlak yang dimiliki oleh raja pada saat itu. Maka dari itu
untuk mencegah serta membatasi kesewenang-wenangan yang ada diciptakanlah asas legalitas
ini untuk menjamin adanya keadilan dan kepastian hukum kepada pelaku. Adanya peraturan
terlebih dahulu dapat lebih menjamin kepastian kepada pelaku yang diduga terlibat tindak
pidana.
Lalu bagaimana dengan pasal 2 ayat 1 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yang mengatakan “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut
dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan” apakah
berarti pasal ini bertentangan dengan asas legalitas?. Apakah pasal ini menyebabkan ketidak
pastian hukum? Mari kita kupas secara lebih mendalam.

7
Idem, hal. 26.
8
Ibid.
9
Idem, hal.25.
Pada dasarnya pasal 2 ayat 1 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum pidana ini
mengakomodir apabila terjadi suatu kekosongan hukum maka dapat digali melalui apa yang ada
pada masyarakat. Hal ini sangat dimungkinkan, mengapa demikian? Dikarenakan hukum yang
diciptakan oleh negara-pun pasti masih ada kekurangan diberbagai sisi, maka dari itu dengan
adanya pasal 2 ayat 1 inipun dapat ,mengakomodir hakim tetap menjatuhkan atau memberi
keputusan kepada pelaku terduga melakukan tindak pidana.
Di dalam hukum Terdapat asas Ius Curia Novit yang memiliki arti bahwa hakim
dianggap mengetahui semua hukum sehingga Pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan
mengadili perkara atau tidak memutus suatu perkara dengan alasan tidak adanya hukum yang
mengatur.10 hal inipun diatur didalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”) sebagai berikut:
Pasal 10 ayat 1, “ Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya ”.11
Pasal 10 ayat 2, “ Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha
penyelesaian perkara perdata secara perdamaian ”.12
Dari pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman ini kita dapat mengetahui bahwa, seorang hakim diwajibkan memeriksa, mengadili,
dan memutus suatu perkara dan tidak dapat menolaknya dengan alas an tidak adanya suatu
hukum atau hukum yang ada tidak jelas. Lalu dengan cara apa seorang hakim dapat mengadili
pelaku terduga tindak pidana? Apakah tiba-tiba menjatuhkan sanksi dan pidana kepada terduga
pelaku tindak pidana tersebut? Tentu saja tidak, dikarenakan ada teori-teori yang melandasi
hakim dalam memutus perkara apabila terjadi kekosongan hukum.
Ada beberapa teori yang melandaskan hakim dalam mmbuat keputusan, diantaranya:
1. Legisme
Teori ini mengatakan bahwa hakim dalam membuat keputusannya haruslah bersumber
pada ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. Hakim harus memutus

10
Sovia Hasanah, “ Arti Ius Curia Novit “,https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt58dca7c78ab7d/arti-asas-
ius-curia-novit/, (diaksess pada tanggal 07 Maret 2019, pukul 13:15).
11
Pasal 10 ayat 1, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
12
Pasal 10 ayat 2, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
perkara berdasarkan undang-undang. Teori ini juga dipakai di Indonesia karena sistem hukum
kita yang beraliran eropa continental.
2. Freie Rechtslehre
Teori ini mengatakan bahwa, hukum hanya dapat terbentuk dari praktik di pengadilan
(Rechtspraak). Terlepas dari adanya atau tidak adanya Undang-Undang hakim bebas memutus
suatu perkara berdasarkan atas rasa keadilan. Teori Freie Rechtslehre ini dapat dikatakan
merupakan kebalikan dari teori legisme.

3. Rechtsvinding
Teori ini mengatakan bahwa, didalam suatu perkara yang terjadi kekosongan hukum
dikarenakan hukum yang sulit ditafsirkan atau bahkan tidak ada hukum yang mengarutnya, maka
hakim dapat melakukan penemuan hukum. Penemuan hukum ini dapat dilakukan dengan
penafsiran hukum atau konstruksi hukum. Di dalam teori ini juga, hakim dapat menggali dan
menemukan nilai-nilai dalam masyarakat dan menerapkannya dalam putusannya.

Diatas penulis sudah menjabarkan ada tida teori yang melandaskan hakim dalam
memutus suatu perkara yaitu Legisme, Freie Rechtslehre, dan juga ada Rechtsvinding. Dari
ketiga teori yang penulis jabarkan itu, ada satu teori yang erat kaitannya dengan penerapan pasal
2 ayat 1 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Teori yang tepat dalam menjalankan
atau melaksanakan pasal 2 ayat 1 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana ini adalah
teori Rechtsvinding. Teori Rechtsvinding inipun dibenarkan didalam konstitusi kita. Seperti yang
sudah penulis jabarkan diatas, bahwa didalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
kekuasaan kehakiman pasal 10 ayat 1 bahwa hakim dilarang menolak suatu perkara serta wajib
memutus suatu perkara, wajib memeriksa, dan juga wajib mengadili.
Lalu dasar hukum apa lagi yang membenarkan tindakan hakim untuk melaksanakan atau
melakukan teori rechtsvinding ini? Dasar hukumnya juga terdapat di dalam pasal 5 ayat 1
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman yang berbunyi “Hakim
dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat”.13 Pasal ini menjadi cerminan asas hakim wajib

13
Pasal 5 ayat 1, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
menggali nilai-nilai hukum yang tumbuh dalam masyarakat. Karena pada dasarnya hukum itu
sendiri diciptakan berdasarkan masyarakat itu sendiri, atau lebih sering kita kenal dengan istilah
sumber hukum materil..
Berdasarkan ketentuan tersebut sudah cukup jelas bahwa pengadilan memiliki kedudukan
yang sangat penting dalam sistem hukum negara Kesatuan Republik Indonesia ini, karena
Pengadilan melakukan fungsi yang pada hakikatnya melengkapi ketentuan-ketentuan hukum
tertulis melalui pembentukan hukum (rechtsvorming) dan penemuan hukum (rechtsvinding).
Atau dengan perkataan lain hakim atau pengadilan di dalam sistem hukum Indonesia yang pada
pokoknya mengutamakan yang tertulis itu mempunyai fungsi membuat hukum baru (creation of
new law). Karena itu sistem hukum Indonesia, walaupun merupakan sistem hukum tertulis,
namun merupakan sistem yang terbuka (open system).
Dari penjabaran ini mungkin akan timbul beberapa pertanyaan, mengapa hakim diberikan
wewenang untuk melakukan penemuan hukum?. Undang-Undang pada hakikatny adalah produk
ciptaan manusia. Manusia memiliki kemampuan yang sangat terbatas, maka dari itu tidak
mungkin semua aspek kehidupan yang begitu banyak ada dan melekat pada manusia dapat diatur
di Undang-Undang secara menyeluruh.14 Memang benar ada teori yang mengatakan bahwa,
undang-undang berada didepan masyarakat. Namun, keterbatassan yang dimiliki manusia dapat
menjadi faktor mengapa bisa terjadi adanya kekosongan hukum yang disebabkan belum
dibuatkannya hukum tersebut. Mengapa bisa sampai belum dibuat? Karena pergerakan dan
perkembangan yang begitu pesat dimasyarakat menjadi faktor yang menyebabkan hukum tidak
selalu berada didepan.
Oleh karena itulah teori rechtsvinding ini sangat dimungkinkan untuk diterakan dalam
rangka untuk mengatasi peraturan perundang-undangan yang tidak pernah lengkap, maka dalam
pelaksanaan Undang-Undang harus selalu dibuka kemungkinan bagi hakim untuk mengadakan
penyesuaian terhadap hal-hal konkrit yang ada di masyarakat. Penemuan hukum yang dilakukan
oleh hakim juga dianggap memiliki wibawa mengapa demikian ? karena hasil penemuan hukum
oleh hakim adalah hukum yang konkrit.
Seperti yang sudah dijabarkan penulis diatas, rechtsvinding itu adalah proses
pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan

14
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, “ Penemuan Hukum Oleh Hakim
(Rechtsvinding) “, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/ umum/ 849 – penemuan – hukum – oleh – hakim -
rechtvinding.html, (diakses pada tanggal 07 Maret 2019, pukul 16:15 WIB ).
umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar untuk
mengambil keputusan. Akan tetapi dalam melaksanakan rechtsvinding ini hakim harus
melakukannya dengan memperhatikan dengan menyesuaikan undang-undang dengan fakta yang
konkrit serta dapat juga menambah undang-undang bila perlu, hal ini dikemukakan oleh Van
Apeldorn.15 Dalam konteks rechtsvinding ini, hakim dapat membuat undang-undang dalam hal
tidak adanya undang-undang. Undang-undang yang dibentuk oleh hakim bukan bermakna
undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislativeberupa lembaran negara, melainkan
bentukan undang-undag hakim hanya berlaku bagi pihak-pihak yang terlibat dipengadilan bukan
untuk masyarakat umum.16
Penulis sudah cukup banyak memaparkan dasar hukum serta landasan teori yang
berkaitan dengan tulisan ini. Mari kita kembali dengan judul dari tulisan ini, “ Apakah pasal 2
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Bertentangan dengan Asas Legalitas? “ maka
dari hasil yang penulis temukan adalah “ YA “ pasal 2 ayat 1 Rancangan Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana bertentangan dengan asas legalitas. Penulis akan menjelaskannya sebagai
berikut:
1. Hakim dalam membuat rechtsvinding atau membuat hukum berdasarkan peristiwa
yang konkrit dimasyarakat pada dasarnya sudah diatur didalam Undang Undang No.48 Tahun
2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dimana diatas penulis sudah menjabarkannya secara
komprehensif. Pasal 5 ayat 1, pasal 10 ayat 1 dari UU no 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman sudah sangat cukup menjadi pegangan bagi hakim dalam rangka melakukan
rechtsvinding apabila terjadinya kekosongan hukum tanpa adanya seruan dari pasal 2 ayat 1
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum pidana. Mengapa demikian ? Rancangan Undang –
Undang Hukum Pidana secara hirearki sederajat dengan Undang – Undang biasa dan dalam hal
ini adalah Undang – Undang no 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman jadi dalam hal
melakukan penemuan hukum Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah tidak
perlu mengaturnya lagi karena sebelumnya-pun sudah diatur didalam Undang – Undang No. 48
Tahun 2009 Tentang kekuasaan kehakiman ini.
Didalam pasal 1 ayat 1 Undang-Undang NOmor 48 Tahun 2009 Tentang kekuasan
kehakiman berbunyi, “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

15
Ibid.
16
Ibid.
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia “.17 Diperkuat lagi dengan Undang – Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 pasal 24 ayat 1 yang berbunyi, “ Kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan”.18 Dari kedua dasar hukum ini, sudah cukup untuk mengakomodasi bagi
hakim untuk melakukan rechtsvinding, apabila memang alasan dirumuskannya pasal 2 ayat 1
Rancangan Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (RKUHP) adalah demikian untuk
memudahkan hakim melakukan rechtsvinding adalah alas an yang keliru.
2. Asas legalitas didevirasi menjadi beberapa proposisi diantaranya adalah Lex
Scripta. Lex Scripta berarti bahwa asas legalitas mengandalkan hukum tertulis. Sedangkan pada
Rancangan Kitab Undang – Undang Hukum pidana Pasal 2 ayat 1 seseorang dapat dituntut
walau tidak diatur didalam Undang-Undang. Ini jelas sekali bertentangan dengan asas legalitas.
3. Ketidaan batasan mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat akan
bertabrakan dengan prinsip kepastian hukum yang harus dianut dalam peraturan perundang-
undangan pidana. Prinsip kepastian hukum juga merupakan salah satu konsep yang ada didalam
asas legalitas yaitu lex certa. Kepastian hukum juga merupakan salah satu tujuan hukum yang
sangat penting, dimana semua masyarakat utamanya Indonesia harus memiliki kepastian hukum,
tidak boleh masyarakat di hukum dengan tindakan yang sewenang-wenang.
4. Pencideraan kepastian hukum yang terdapat didalam pasa 2 ayat 1 Rancangan
Kitab Undang – Undang Hukum pidana sangat mungkin ada. Hal ini dapat dimungkinkan,
contohnya adalah apabila ada seseorang yang berasal dari luar daerah masyarakat adat, namun
dengan ketidak tahuannya ia melanggar hukum adat setempat dikarenakan adanya perbedaan
hukum adat dari asal si orang yang melanggar ini dengan tempat terjadinya pelanggaran hukum
pidana adatitu sendiri.19
5. Terkait asas kemanfaatan berhubungan dengan cara kerja lembaga negara dalam
hal ini adalah pengadilan memiliki sifat serba formalistik, kaku dan membutuhkan proses yang
lama. Sedangkan penyelesaian oleh lembaga adat, tokoh adat, atau masyarakat adat lebih

17
Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1 ayat 1.
18
Undang – Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 ayat 1.
19
Ramadan Tabiu dan Eddy O.S Hiairej, “ Pertentangan Asas Legalitas Formil dan Materil Dalam Rancangan
Undang-Undang KUHP “, Jurnal Penelitian Hukum, Vol 2:3, hal. 32, 2015.
menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang ada dalam masyarakat, penuh kekerabatan, persaudaraan,
kasus-kasus tertentu dilakukan dengan upacara adat yang penuh dengan nuansa mistis dan
religius, dan cara bekerjanya cepat dan tidak terlalu formal tentu sangat berbeda dengan lembaga
negara seperti yang disebutkan diatas.
6. Selain itu, paradigma hakim dalam menjatuhkan putusan terkait dengan
perbuatan pidana adat kedepannya bisa mengabaikan dalam menggali nilai-nilai hukum yang
hidup dalam masyarakat dan berdasarkan dengan putusan-putusan hakim terdahulu tentang
perbuatan pidana adat yang sama atau ada kemiripannya. Hal tersebut bisa terjadi karena beban
yang diemban oleh hakim sangat berat. Dan paradigma tersebut tidak sesuai lagi dengan Pasal 5
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, bahwa “hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti,
dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Ketentuan
ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat20.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas serta penjabaran secara komprehensif
penulis menyimpulkan bahwa sudah sangat jelas secara teoritis bahwa pasal 2 ayat 1 Rancangan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Asas Legalitas. Pada dasarnya, asas
legalitas memiliki tujuan-tujuan yang dapat mengakomodir kepentingin warga negara itu sendiri,
utamanya dari sisi kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Penulis sudah menjabarkan begitu
gambling dan komprehensif diatas mulai dari sejarah terbentuknya asas legalitas itu sendiri.
Namun, dalam hal ini, yang harus diperhatikan adalah bahwa keberadaan pasal 2 RKUHP
ini dalam rangka mengakomodir hukum yang berlaku di dalam masyarakat. karena pada
dasarnya, hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak adanya hukum yang
mengatur. Banyaknya hukum adat yang hidup dan hukum-hukum lainnya yang hidup di dalam
masyarakat diharapkan dapat melengkapi kekurangan yang terdapat dalam produk undang-
undang. Selain itu, dengan adanya dasar hukum di dalam pasal 2 RKUHPini menambah
kekuatan hakim dalam rangka mengambil keputusan yang diharapkan bijak dan adil, dan
konsekuensinya adalah menjadikan asas legalitas menjadi legalitas pasif.

20
Idem, hal. 33.
Daftar Pustaka

Buku dan Jurnal


Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta:Rineka Cipta, 2015.

Ramadan Tabiu dan Eddy O.S Hiairej, “ Pertentangan Asas Legalitas Formil dan Materil Dalam
Rancangan Undang-Undang KUHP “, Jurnal Penelitian Hukum, Vol 2:3, 2015.

Website

Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, “ Penemuan Hukum Oleh
Hakim (Rechtsvinding) “, http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/ umum/ 849 – penemuan
– hukum – oleh – hakim - rechtvinding.html, (diakses pada tanggal 07 Maret 2019,
pukul 16:15 WIB ).

Lestantya R. Baskoro, “Setengah Abad Lebih Melahirkan RKUHP”,


https://hukum.tempo.co/read/1057807/setengah-abad-lebih-melahirkan-
rkuhp/full&view=ok, (diakses pada 07 Maret 2019, pukul 11,35 WIB).

Sovia Hasanah, “Arti Ius Curia Novit”,


https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt58dca7c78ab7d/arti-asas-ius-curia-novit/,
(diaksess pada tanggal 07 Maret 2019, pukul 13:15).

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Anda mungkin juga menyukai