Anda di halaman 1dari 21

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

APLIKASI CONTINUOUSLY OPERATING REFERENCE


STATIONS (CORS)
UNTUK MENDUKUNG PROGRAM PROGRAM PERTANAHAN
Farid Hendro
Deputi Bidang Survei, Pengukuran dan Pemetaan
Badan Pertanahan Nasional

INTISARI
Perkembangan teknologi informasi telah merubah sebagian besar metode pekerjaan dari
yang semula banyak mengandalkan analog menjadi digital. Tidak terkecuali dalam
pekerjaan survey dan pemetaan yang erat kaitannya dengan penentuan posisi di muka
bumi. Perkembangan ini secara disadari atau tidak telah membawa perubahan yang
sangat signifikan. Diantaranya adalah penggunaan GNSS dalam penentuan posisi di
muka bumi. Sebagaimana kita tahu, GPS adalah pemain tunggal dalam industri ini,
tetapi dalam beberapa dekade ini telah muncul satelit satelit penentuan posisi lain
seperti Glonass (Rusia), Galileo (Uni Eropa), Compass (China) sebagai kompetitor
GPS.
Aplikasi GNSS dalam survey dan pemetaan semakin menuntut ketelitian yang tinggi
dan produktifitas yang tinggi pula. Hal ini juga berlaku pada pengukuran bidang tanah.
Apalagi pengukuran bidang yang dilakukan di daerah perkotaan yang pergerakan dan
perkembanganya dinamis. Beberapa organisasi baik pemerintah maupun swasta telah
mengembangkan berbagai sistem pendukung observasi GNSS yang bertujuan untuk
meningkatkan ketelitian dan dengan hasil pengukuran secara real time. Salah satu
sistem tersebut adalah Continuously Operating Reference Stations (CORS) yang pada
awal pengembangannya dulu adalah sebagai infrastruktur pemantau pergerakan
geodinamik.
Tulisan ini akan menyajikan kajian mengenai urgensi pemanfaatan CORS untuk
percepatan pelayanan dan sebagai alternatif pengganti fungsi Titik Dasar Teknis (TDT)
yang semakin lama semakin tidak efektif dalam penggunaannya. Lebih jauh lagi, tulisan
ini juga akan membahas mengenai aplikasi dari jaringan ini untuk mendukung program
pertanahan seperti Reforma Agraria, LARASITA, IP4T, penanganan sengketa dan
konflik pertanahan, identifikasi tanah terlantar dan lain sebagainya.
Katakunci:GNSS-CORS, LARASITA, TDT, Reforma Agraria, IP4T

1. Continuously Operating Reference Station (CORS)


Penentuan posisi relatif dengan Global Positioning System (GPS) untuk keperluan
survey dan pemetaan telah mencapai puncaknya pada beberapa tahun belakangan ini.
Hal ini seiring dengan perkembangan teknologi GPS menjadi Global Navigation
Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

Satellite System (GNSS). Applikasi ini bisa mendapatkan ketelitian tinggi dengan
tingkat produktivitas yang tinggi pula. Pada awalnya, penentuan posisi relatif dengan
GNSS hanya bisa dilakukan dengan pengamatan yang lama dengan proses post
processing. Dalam perkembangannya, penentuan posisi secara real time telah banyak
menggantikan aplikasi relatif yang sudah ada.
Pada umumnya penentuan posisi secara real time ini hanya menggunakan satu base
station yang umum disebut sebagai GNSS Real Time Kinematic (single base RTK).
Seiring dengan perkembangan teknologi komunikasi, beberapa reference stations GPS
yang pada awalnya digunakan untuk kegiatan geodinamik telah digunakan sebagai
alternatif infrastruktur untuk pengamatan secara real time yang lazim disebut
Continuously Operating Reference Station (CORS) dengan aplikasi Network RTK. Pada
prinsipnya network RTK ini sangat mirip dengan single base RTK. Bedanya adalah
dalam network RTK ini koreksi terhadap rover receiver adalah sebuah koreksi jaringan
dengan ketelitian yang lebih bagus. Selain itu, network RTK ini mempunyai kehandalan
dalam memperpanjang jarak antara base dan rover. Single base RTK mempunyai
panjang jarak antara base dan rover lebih kecil atau sama dengan 10 km dan bergantung
kepada kekuatan sinyal radio pembawa koreksi. Sedangkan untuk network RTK,
jaraknya bisa di perpanjang sampai 30-50 km. Bahkan di daerah lintang rendah dan
lintang tinggi dari equator, cakupannya bisa mencapai 100 km.

Gambar 1. Beda Network RTK dan Single base RTK GNSS yang mempunyai limitasi
jarak antara base dan rover.

Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

Gambar 2. Network RTK GNSS sebagai bagian dari fasilitas CORS


Pertama kali pengembangan CORS adalah infrastruktur ini adalah sebagai pasif station
dimana hanya berfungsi sebagai GNSS penerima dan penyimpan data. Agar digunakan
secara luas, pemanfaatan internet digunakan untuk meng-online-kan arsip data GNSS
ini. Dalam perkembangannya, setelah pasif infrastruktur mulai berubah menjadi aktif
ketika perangkat komunikasi (radio, UHF, VHF, internet dan VSAT) mulai digunakan
untuk mengirimkan koreksi dari base station ke pengguna. Infrastruktur aktif ini secara
aktif digunakan untuk mendukung paradigma baru dalam survey dan pemetaan yang
disebut

integrated

surveying

dimana

fungsi

real

time

didapat

dengan

menghubungkan dengan CORS network dengan kehandalan paket komunikasi sehingga


dapat dikombinasikan dengan pengukuran teristris menggunakan total station dan pita
ukur untuk mengatasi kesulitan memperolah titik ukur dan halangan obstruksi satelit
GPS.
Infrastruktur aktif inilah yang banyak diproyeksikan akhir-akhir ini untuk menurunkan
ketergantungan dan penggunaan terhadap TDT secara konvensional disamping
menurunkan pula biaya pemeliharaan TDT tersebut sehingga akan mengurangi beban
dan mempercepat kegiatan pelayanan pertanahan. Hal ini tentunya menjadi isu lebih
lanjut untuk penggunaan CORS network yang menggantikan TDT untuk menjamin
legal formal bagi pemegang hak atas tanah dalam pengukuran kadaster. Berikut ini
adalah beberapa komponen penting dalam pembangunan infrastruktur CORS:
Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

1.1. Perangkat Keras


GNSS receiver adalah jantung dalam aplikasi ini. Syarat utama dari receiver ini adalah
harus dual frekuensi (L1 dan L2), serta dapat mengamat data fase yang dipancarkan
oleh satelit. Syarat lain adalah seiring dengan pengoperasian sistem satelit navigasi
selain GPS (Galileo, Glonass dan Compass), maka GNSS receiver mempunyai fungsi
multi channel. Selain itu, faktor paling penting ialah ketersediaan sumber tenaga (power
supply) sebagai sumber utama semua alat elektronik yang digunakan. Secara global,
syarat tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
1. GNSS receiver dual frekuensi (L1, L2 dan bisa upgrade ke L5).
2. GNSS receiver multi channel (bisa menerima sinyal selain dari GPS).
3. Choke ring antena untuk meredam efek multipath.
4. Komputer basis data.
5. Perangkat komunikasi (radio modem, internet, telepon).
6. Power supply.
7. Uninterupable Power Supply (UPS).

Gambar 3. Perangkat Keras Pendukung CORS.

Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

1.2. Penentuan Posisi Base Station


Secara keseluruhan, base station harus ditempatkan di area terbuka bebas dari gangguan
obstruksi baik itu bangunan maupun vegetasi dengan sudut obstruksi 5 derajat. Selain
itu, area base station harus terbebas dari area interferensi sinyal, baik itu sinyal radio,
TV dan sinyal lain (UHF, VHF, FM) yang dapat menyebabkan jamming terhadap sinyal
GNSS atau mengganggu sinyal koreksi transmitter.
Pertimbangan lain dalam pemilihan base station adalah ketersediaan jalur komunikasi di
sekitarnya sehingga dapat langsung mendukung bila akan dilakukan upgrading dari
jaringan pasif menjadi jaringan aktif dengan fungsi network RTK. Pemilihan ini sangat
penting mengingat komunikasi memegang peranan penting dalam kelangsungan
network RTK.
Alasan lain dalam pemilihan tempat adalah tempat tersebut harus aman dari kegiatan
pengrusakan dan kriminal sehingga instrumen bisa dicuri. Setidaknya tempat harus
aman dan garansi keamanan 24 jam. Ada beberapa alternatif dalam pemilihan tempat
untuk base station, antara lain:
1. Base station terletak di jaringan nasional titik kontrol GNSS sebagai jaringan
yang aktif. Ini yang termudah dan tebaik dilakukan dalam hal upgrading
jaringannya.
2. Base station terletak di kantor pertanahan maupun di kantor instansi lain
pengguna data spasial.
3. Base station terletak di lokasi yang dimiliki secara bersamaan oleh beberapa
instansi pengguna data spasial.
4. Base station terletak di lokasi yang disewa dan dioperasikan oleh pihak ketiga.
Dari segi pembiayaan sangat tidak ekonomis.

1. 3. Manajemen Data dan Perangkat Komunikasi


CORS selalu akan berurusan dengan jumlah data yang tidak sedikit dan arus lalu lintas
data yang baik itu secara real time maupun post processing selalu digunakan. Sebagai
contohnya, untuk mendukung network RTK, masing-masing GNSS receiver di tiap base
Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

station harus mampu menerima data GNSS dengan sampling rate 1 detik kemudian
merubahnya dalam bentuk RINEX format dan kemudian mengarsipkannya. Secara
global, arus perjalanan data dalam aplikasi ini dapat dilihat di gambar 4.

Gambar 4. Konfigurasi Managemen Data

2. DASAR HUKUM PEMANFAATAN GPS / CORS


Dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 serta Peraturan Menteri Negara
Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 penggunaan GPS dalam
pendaftaran tanah disebut dalam beberapa pasal. Beberapa uraian berikut ini
disampaikan beberapa dasar hukum untuk legalisasi pelaksanaan pengukuran dengan
pemanfaatan GPS yang sekarang telah berkembang menjadi Global Navigation Satellite
System (GNSS). CORS adalah salah satu pengembangan dari GNSS.
- Dalam penjelasan PP No. 24 Tahun 1997, dijelaskan bahwa guna menjamin
kepastian hukum dibidang penguasaan dan pemilikan tanah faktor kepastian letak
dan batas setiap bidang tanah tidak dapat diabaikan. Dari pengalaman masa lalu
Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

cukup banyak sengketa tanah yang timbul sebagai akibat letak dan batas bidang
tanah tidak benar. Karena itu, masalah pengukuran dan pemetaan serta penyediaan
peta berskala besar untuk keperluan penyelenggaraan pendaftaran tanah merupakan
hal yang tidak boleh diabaikan dan merupakan bagian yang penting yang perlu
mendapat perhatian yang serius dan seksama, bukan hanya dalam rangka
pengumpulan data dan penguasaan tanah, tetapi juga dalam penyajian data
penguasaan/pemilikan tanah dan penyimpanan data tersebut. Perkembangan
teknologi pengukuran dan pemetaan, seperti cara penentuan titik melalui Global
Positioning System

(GPS)

dan komputerisasi pengolahan, penyajian dan

penyimpanan data pelaksanaan pengukuran dan pemetaan dapat dipakai di dalam


pendaftaran tanah. Untuk mempercepat pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang
harus didaftar, penggunaan teknologi modern seperti Global Positioning System
(GPS) dan komputerisasi pengolahan dan penyimpanan data perlu dimungkinkan
yang pengaturannya perlu diserahkan kepada Menteri.
- Selanjutnya penyelenggaraan TDT diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 Pasal 16
sebagai berikut :
a.

Ayat 1 : Untuk keperluan pembuatan peta dasar pendaftaran Badan Pertanahan


Nasional

menyelenggarakan

pema-sangan,

pengukuran,

pemetaan

dan

pemeliharaan titik-titik dasar teknik nasional di setiap Kabupaten/Kota-madya


Daerah Tingkat II.
b.

Ayat 2 : Pengukuran untuk pembuatan peta dasar pendaftaran sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) diikatkan dengan titik-titik dasar teknik nasional sebagai
kerangka dasar-nya.

c.

Ayat 3 : Jika di suatu daerah tidak ada atau belum ada titik-titik dasar teknik
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam melaksanakan pengukuran
untuk pembuatan peta dasar pendaftaran dapat digunakan titik dasar teknik lokal
yang bersifat sementara, yang kemudian diikatkan menjadi titik dasar teknik
nasional.

d.

Penjelasan ayat 1 : Penyiapan peta dasar pendaftaran diperlukan agar setiap


bidang tanah yang didaftar dijamin letaknya secara pasti, karena dapat

Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

direkonstruksi di lapangan setiap saat. Untuk maksud tersebut diperlukan titiktitik dasar teknik nasional.
e.

Penjelasan ayat 2 : Titik dasar teknik adalah titik tetap yang mempunyai
koordinat yang diperoleh dari suatu pengukuran dan perhitungan dalam suatu
sistem tertentu yang berfungsi sebagai titik kontrol ataupun titik ikat untuk
keperluan pengukuran dan rekonstruksi batas.

- Dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/KBPN nomor 3 Tahun 1997, diatur tentang
penggunaan metode satelit sebagaimana tercantum dalam:
a.

Pasal 7 disebutkan bahwa Pengukuran TDT orde 2, orde 3, dan orde 4


dilaksanakan dengan metode satelit atau metode lainnya.

b.

Pasal 12 ayat 1 disebutkan bahwa Pengukuran dan pemetaan untuk pembuatan


peta dasar pendaftaran diselenggarakan dengan cara terestrial, fotogrametrik atau
metode lainnya.

c.

Pasal 24 ayat 1 disebutkan bahwa Pengukuran bidang tanah dilaksanakan


dengan cara terestrial, fotogrametrik atau metode lainnya.

3.

ANALISA BIAYA PEMBANGUNAN CORS

3.1. Status dan Kondisi Infrastruktur TDT


Pengukuran bidang tanah seringkali menjadi salah satu faktor dalam membuat
terhambatnya proses sertifikasi bidang tanah. Hal ini biasanya disebabkan karena dalam
pengukuran bidang tersebut harus melalui proses pengikatan ke TDT terdekat.
Seringkali di lapangan jarak TDT jauh atau sukar dijangkau dari bidang tanah yang
akan diukur. Untuk kondisi Indonesia yang mempunyai lebih dari 17.000 pulau dan 85
juta bidang tanah tentu kondisi ini sangat tidak menguntungkan mengingat pelayanan
pengukuran bidang tanah harus terlebih dahulu mengadakan TDT menyebar diseluruh
wilayah Indonesia sementara persebaran TDT di Kabupaten / Kota tidak merata.

Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

Bisa dibayangkan berapa investasi dan jangka waktu yang dibutuhkan untuk memasang
TDT orde 4 dengan jarak tiap titik 100-150 meter diseluruh kawasan urban (90 juta ha)
di Indonesia ? Lebih jauh lagi, infrastruktur TDT ini sangat rawan baik mengalami
perusakan ataupun penggusuran. Kondisi dari jumlah TDT yang dipunyai BPN-RI dapat
dilihat di tabel 1. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa kebutuhan dana untuk
pemenuhan TDT di seluruh wilayah Indonesia sebesar 2,5 triliun dan dapat dipenuhi
selama 268 tahun hanya untuk orde 2 dan 3.
Permasalahan yang lain adalah, dari 85 juta bidang yang ada tersebut, BPN-RI sebagai
salah satu

instansi

yang

berwenang

dalam

pengelolaan

pertanahan sangat

berkepentingan dengan data penguasaan, penggunaan, pemanfaatan dan kepemilikan


tanah tersebut. Jika pengukuran bidang tanah masih dilakukan dengan cara pengikatan
kepada TDT yang belum lengkap keberadaannya, sampai kapan kegiatan pendataan dan
pendaftaran tanah akan selesai ? Tentu saja akan dibutuhkan waktu dan biaya yang
sangat tinggi. Sehingga efeknya adalah kelambatan informasi dan informasi yang tidak
up to date yang ada di basis data pertanahan BPN-RI.
Tabel 1. Kondisi dari jumlah TDT yang dipunyai BPN-RI yang terdokumentasi per 2009
No.
1.
2.

Orde
II
III

Target
8.990
900.000

Realisasi
6.699
14.085

Sisa
2.291
885.915

Harga Satuan
5,5 juta
2,5 juta

Dana
Kec/Thn
12,6 miliar
100
2,2 triliun
3.300

Waktu
23 thn
268 thn

Masalah yang lain adalah kegunaan TDT setelah dipasang untuk mendukung
pengukuran kadastral sangat rendah. Hanya 5% atau bahkan kurang TDT yang benarbenar digunakan untuk mendukung pengukuran kadastral. Selain itu adalah ketersediaan
dan keakurasian TDT yang telah dipasang juga dipertanyakan. Tidak jarang TDT yang
baru dipasang langsung hilang atau bergeser dari posisi aslinya.
Infrastruktur CORS inilah yang diproyeksikan untuk menurunkan ketergantungan dan
penggunaan terhadap TDT secara konvensional disamping menurunkan pula biaya
pemeliharaan TDT tersebut sehingga akan mengurangi beban dan mempercepat
kegiatan pelayanan pertanahan. Hal ini tentunya menjadi isu lebih lanjut untuk
penggunaan CORS yang menggantikan TDT untuk menjamin legal formal bagi
pemegang hak atas tanah dalam pengukuran kadaster.
Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

Untuk membandingkan biaya antara CORS dan metode konvensional lain, sebuah
simulasi perbandingan dalam pengukuran bidang dibuat berdasarkan kondisi riil
dilapangan. Hasil simulasi dapat dilihat pada tabel 2 dengan estimasi harga dibuat
dalam satuan ribuan rupiah.
Tabel 2. Perbandingan biaya ukur untuk simulasi pengukuran poligon keliling dan 20 bidang
No. Matriks Pembanding Pengukuran Klasik Harga Pengukuran Modern Harga
1. Alat Ukur
Total Station
500 GNSS Receiver/CORS
500
Theodolit
200
Mid ban
100
2. SDM
Surveyor
200 Surveyor
200
Surveyor Assistant
100
3. Hari
2
2,200 1
700
4. Penghitungan
Operator
100 Operator
5. Total Harga
2,300
700

Dari tabel simulasi dan hitungan diatas terlihat bahwa pengukuran menggunakan
metode GNSS/CORS lebih efisien 3 kali lipat dibandingkan dengan pengukuran secara
konvensional. Efisiensi ini dilihat dari segi biaya, waktu dan tenaga kerja (SDM).
3.2. Perbandingan Biaya Pembangunan CORS dan TDT
Berikut ini adalah perhitungan matematis mengenai perbandingan pembangunan CORS
dengan TDT.
Tabel 3. Biaya hitungan perbandingan pembangunan CORS dan TDT konvensional.

Berdasarkan

hitungan diatas

diperoleh efisiensi

biaya

pembangunan

CORS

dibandingkan TDT konvensional seluruh wilayah Indonesia adalah 532 Miliar, serta
efisiensi waktu 18 tahun.
Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

10

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

3.3. BREAK EVENT POINT (BEP)


Luasan yang dicakup dari pilot project ini kurang lebih sekitar 100 km persegi. Tentu
ini sangat efektif sekali dimana untuk luasan sebesar itu hanya dicakup oleh 3 base
station. Dalam pelaksanaan pilot project ini juga diperhitungkan Break Event Point
(modal kembali) berdasarkan asumsi sebagai berikut :
Jumlah penduduk Jabodetabek 12 juta jiwa
Asumsi satu keluarga terdiri dari 4 orang
Jumlah Kepala Keluarga 3 juta
Asumsi setiap KK mempunyai 1 bidang tanah, terdapat 3 juta bidang
Estimasi biaya pengukuran menggunakan 3,5 Milyar/3 juta bidang = 2.000
rupiah
Kecepatan pengukuran di Jabodetabek per tahun 1 juta bidang
Seluruh bidang tanah di Jabodetabek akan terpetakan dan modal kembali dapat
dicapai dalam jangka waktu 3 tahun
Setelah sistem CORS ini terpasang dan berfungsi dengan baik, maka perlu dihitung
biaya pemeliharaan yang di keluarkan tiap bulan dan tiap tahun.
Tabel 4. Hitungan biaya bulanan dan tahunan perawatan base station.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.

4.

Jenis Pemeliharaan
Langganan internet
Perawatan base station
Perawatan instalasi
Honor operator
Biaya bulanan
Biaya tahunan

Biaya
500.000
100.000
100.000
300.000
1.000.000
12.000.000

CORS DAN PEMANFAATANNYA UNTUK MENDUKUNG PROGRAM


PROGRAM PERTANAHAN

4. 1. Continuously Operating Reference Stations (CORS)


Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

11

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

Dalam mewujudkan dan mendukung visi Cadastre 2014 dari Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB), maka BPN-RI sebagai satu satunya institusi yang menjalankan fungsi
pendaftaran tanah harus mampu menyediakan dan memelihara serta memperbaharui
data pertanahan secara tepat, cepat dan akurat. Salah satunya adalah pengoperasian
CORS untuk mendukung pengukuran dan pemetaan kadaster di BPN-RI.
Continuously Operating Reference Stations (CORS) adalah sistem berbasis CORS yang
dimiliki dan dioperasikan secara penuh oleh BPN RI. Secara infrastruktur, cara kerja,
metodologi dan fungsi adalah sama dengan CORS. Sistem ini dikedepankan dan
diproyeksikan untuk menggantikan sistem konvensional yang ada. Antara lain alasan
yang dikedepankan adalah masalah efisiensi.
4.2. PILOT PROJECT CORS 2009
Sebagai awal melangkah menuju digitalisasi metode pengukuran, maka Deputi Bidang
Survei Pengukuran dan Pemetaan, BPN RI mengadakan sebuah pilot project berkaitan
dengan penggunaan CORS untuk pengukuran kadastral. Pilot project ini dilaksanakan di
wilayah Jabodetabek. Untuk pilot project ini sudah dibangun 3 base station di 3 Kantor
Pertanahan (Kabupaten Tangerang, Kota Bekasi dan Kota Bogor) dan server pengendali
di Deputi Bidang Survei Pengukuran dan Pemetaan.

Gambar 5. Base Station di Kantor Pertanahan Kota Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten
Tangerang.

4.3. Pemanfaatan CORS


Secara garis besar, pemanfaatan CORS dapat diuraikan sebagai berikut :
-

Legalisasi aset dan properti berupa bidang tanah.

Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

12

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

Mendukung program-program Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia


seperti reforma agraria, penertiban tanah terlantar, LARASITA, IP4T yaitu
dalam rangka percepatan penyediaan data spasial pertanahan.

Dapat mempermudah dan mempercepat transformasi peta-peta yang masih


menggunakan sistem koordinat lokal ke dalam sistem koordinat nasional (pasal
43 ayat 2 PMNA 3/1997).

Bagi lokasi yang belum tersedia peta dasar pertanahan, pengukuran bidang tanah
dengan teknologi CORS yang dilengkapi dengan software Stand Alone System
(SAS) maka bidang tanah tersebut secara langsung akan terpetakan pada nomor
lembar tertentu dalam sistem proyeksi TM-3 (tersedia peta).

Dapat menghasilkan koordinat H (ketinggian) yang dapat digunakan untuk


mendukung pelaksanaan pengukuran kadaster tiga dimensi (3D).

Mendukung program pemerintahan lainnya seperti penataan ruang, penanganan


bencana alam, monitoring transportasi umum, monitoring pergerakan lempeng
bumi, pekerjaan konstruksi (tol, bendungan, jembatan) dan lain sebagainya.

Sedangkan untuk manfaat secara nyata dan praktis di bidang pertanahan dapat diurakan
secara terperinci sebagai berikut :
4. 3. 1. CORS untuk LARASITA
Layanan Rakyat untuk Sertipikasi Tanah (LARASITA) adalah Kantor Pertanahan yang
bergerak sebagai upaya layanan kantor pertanahan dengan sistem jemput bola. Layanan
ini memanfaatkan mobil, motor dan perahu yang menyediakan jasa layanan seperti yang
ada di kantor pertanahan. Program ini adalah sebuah inovasi dalam meningkatkan
pelayanan publik di bidang pertanahan.
Untuk mendukung kelancaran program Larasita ini, beberapa hal yang dapat didukung
dari aplikasi jaringan referensi satelit pertanahan ini adalah :
1. Mobile positioning untuk menjejak dimanapun mobil Larasita bergerak.
2. Layanan pengukuran persil secara real time.
3. Mempercepat layanan gambar ukur.
Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

13

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

Gambar 6. Aplikasi untuk LARASITA


4. 3. 2. CORS dan Sistem Koordinat
Permasalahan sistem koordinat adalah masalah klasik dalam pengukuran dan pemetaan
kadastral. Permasalahan yang ditemui dilapangan adalah kesulitan untuk membuat
persil yang terintegrasi dengan koordinat sistem yang ada karena sulitnya ditemukan
TDT yang terdekat dengan persil yang diukur. Kadangkala juga sering ditemui TDT
yang sudah rusak atau hilang ataupun bergeser dari posisinya semula sehingga
keakuratannya tidak akurat lagi.
Sebagai contohnya saja, di BPN sistem koordinat yang digunakan adalah TM3. Sistem
ini resmi digunakan pada tahun 1997. Jadi secara global terdapat beberapa sistem
koordinat yang masih ada yaitu sistem koordinat lokal, sistem koordinat TM3 dan
sistem koordinat lain yang digunakan sebelum tahun 1997. Hal ini menimbulkan
permasalahan yang kompleks dalam membuat persil yang sudah terdaftar bereferensi
koordinat.
Aplikasi CORS ini dapat memberikan solusi masalah sistem koordinat ini. Jika semua
pengukuran menggunakan referensi dari jaringan maka secara otomatis koordinat yang
dihasilkan adalah koordinat dengan referensi global dan seragam karena datum yang
digunakan di Indonesia adalah Indonesian Datum 1995 (ID95) yang merupakan turunan
langsung dari WGS84, datum global yang digunakan oleh GPS.
Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

14

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

4. 3. 3. CORS dan Penyatuan Sistem


TDT idealnya harus tehubung satu sama lain diseluruh wilayah Indonesia. Tetapi
kenyataan di lapangan adalah TDT berdiri sendiri-sendiri dan tidak mempunyai
hubungan yang kontinu antar TDT apabila sudah melewati batas administratif (kota,
kabupaten dan propinsi). Hal ini sangat menyulitkan untuk dilakukan integrasi semua
TDT ke dalam satu sistem karena pasti akan ditemui persoalan perambatan kesalahan
jaringan TDT dan hasil perataan jaringan yang akan mempengaruhi posisi akhir TDT
tersebut.
Permasalahan ini tidak ditemui dalam suatu jaringan global GNSS. Dalam luasan
jaringan sebesar 400-900 km persegi semua base stations sudah terintegrasi dalam satu
sistem. Karena menggunakan referensi WGS84 maka apabila akan dilakukan
penambahan jaringan tidak akan menjadi masalah karena jaringan baru akan langsung
terintegrasi dalam satu sistem.

4. 3. 4. CORS dan Pengukuran Terintegrasi


Pengukuran terintegrasi adalah penggabungan beberapa metode pengukuran untuk
mendapatkan hasil koordinat yang sudah bereferensi salah satu sistem koordinat. Dalam
pelaksanaan pengukuran kadastral terutama di lingkungan perkotaan, pengukuran
terintegrasi sangat diperlukan. Hal ini mengingat bahwa masing-masing metode sangat
susah untuk berdiri sendiri.
Sebagai contohnya, pengukuran teristris memerlukan TDT sebagai acuan sedangkan
ketersediaan TDT tingkat kerapatannya berbeda-beda. Pengukuran GNSS yang produk
akhirnya berupa koordinat tidak selamanya bisa diandalkan dilingkungan perkotaan
dimana faktor vegetasi dan bangunan akan menghalangi sinyal GNSS.
Pengukuran terintegrasi adalah salah satu solusinya. Pengukuran GNSS dilakukan
sebagai bagian dari jaringan ini sedangkan pengukuran teristris dilakukan menyambung
hasil pengukuran GNSS untuk daerah yang vegetasinya lebat dan tutupan bangunannya
rapat.

Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

15

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

Gambar 7. Pengukuran Terintegrasi

4. 3. 5. Aplikasi untuk Pelayanan di Kantor Pertanahan


Kantor Pertanahan adalah ujung tombak dari segala kegiatan di BPN-RI. Mulai dari
pengukuran dan pemetaan persil, penatagunaan tanah dan kegiatan administrasi
pertanahan semua dilakukan disini. Pelayanan yang cepat, akurat dan memuaskan
seharusnya telah menjadi standar nasional di Kantor Pertanahan. Biasanya yang sering
dikeluhkan adalah pelayanan pada saat pengukuran persil yang memakan waktu lama.
Alasan lama waktu pengukuran yang selalu dijumpai dilapangan adalah:
1. Ketersediaan TDT yang sangat terbatas di masing-masing Kabupaten atau Kota.
2. TDT yang tidak memenuhi syarat untuk dijadikan pengikat persil.
3. Jarak TDT yang jauh dari persil yang akan diukur.
4. Pengukuran teristris yang menyebabkan hasil ukuran harus dibawa ke kantor
untuk dihitung.
5. Sumber Daya Manusia.
Masalah inilah yang selalu menjadi penghambat dalam kegiatan pengukuran persil.
CORS menawarkan suatu yang praktis dan ekonomis dalam pengukuran persil. Hanya
menggunakan beberapa base stations, jaringan ini sudah bisa meng-cover satu luasan

Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

16

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

perkotaan bahkan lebih dengan memberikan ketelitian yang sama. Secara global
keuntungan yang diperoleh adalah:
1. TDT dalam jumlah banyak di suatu kota dapat digantikan dengan hanya satu
atau beberapa base stations.
2. Hasil yang diberikan dalam ketelitian tinggi, real time dan terintegrasi dalam
satu sistem koordinat.
3. Persil yang terbuka bisa langsung diukur sedangkan untuk yang mempunyai
tutupan vegetasi dan bangunan rapat bisa digunakan pengukuran terintegrasi.
4. Hasil ukuran bisa langsung diketahui di lapangan tanpa harus dibawa ke kantor
untuk perhitungan.

4. 3. 6. Aplikasi untuk Peta Pertanahan


Masalah lain yang dihadapi dalam kegiatan pendaftaran tanah di Kantor Pertanahan
adalah tidak tersedianya satu peta pendaftaran digital yang terintegrasi dalam satu
sistem dan mewakili daerah cakupan Kantor Pertanahan tersebut. Umumnya peta yang
digunakan untuk plotting persil ataupun orientasi petugas ukur adalah peta-peta lama
jaman Belanda, peta situasi, peta desa dan kadang dalam suatu peta rincikan yang
kurang jelas asal usulnya.
Yang menjadi perhatian tentu saja peta-peta tersebut berdiri diatas sistem koordinat
yang berbeda-beda dan tidak mungkin disatukan dalam waktu dekat. Karena peta yang
dijadikan acuan tidak terintegrasi dalam satu sistem, maka masalah yang timbul adalah
kemungkinan adanya persil tanah yang tumpang tindih dalam pendaftarannya.
Dalam mendukung kegiatan pembuatan peta tunggal, jaringan referensi satelit
pertanahan dapat memberikan solusi dengan kekonsistenannya menghasilkan produk
yang sudah bereferensi dalam satu sistem koordinat. Sehingga setiap hasil yang
diperoleh dari pengukuran jaringan ini sudah langsung terintegrasi. Lebih jauh lagi,
pengukuran yang dilakukan dapat meng-update peta yang sudah ada. Misalnya untuk
peta pendaftaran yang masih berkoordinat lokal, beberapa titiknya bisa langsung
diupdate menggunakan data hasil ukuran untuk kemudian ditransformasikan petanya.
Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

17

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

Selain itu, dalam kegiatan peta tunggal untuk mengintegrasikan sekian banyak lembar
peta diperlukan banyak titik ikat yang terpercaya dan bereferensi nasional. Dengan
menggunakan infrastruktur ini, titik sekutu dapat dipilih dan digunakan sepajang masih
dapat teridentifikasi di peta dan diamat menggunakan GNSS.

4. 3. 7. Aplikasi untuk Updating Peta Pendaftaran


Peta pendaftaran baik yang sudah digital maupun yang analog ataupun peta tunggal
harus di-update setiap terjadi transaksi dan perubahan luas persil atau kepemilikannya.
Updating ini menjadi lebih mudah jika media updatenya adalah berupa hasil koordinat
yang sudah bereferensi.
Updating ini dilakukan setiap terjadi pengukuran dengan menggunakan jaringan ini dan
di-plotting di peta pendaftaran. Sehingga secara tidak sengaja,

pengukuran

menggunakan ini akan langsiung meng-update peta pendaftaran yang ada.

4. 3. 8. Aplikasi untuk Penentuan Batas Wilayah


Di era otonomi daerah ini, penentuan dan penegasan batas administratif sangat
dibutuhkan. Hal ini mengingat kewenangan di setiap daerah sangat berbeda untuk
menggunakan sumber daya alamnya. Batas administrasi yang perlu ditegaskan adalah
batas-batas mulai dari kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota, propinsi dan bahkan batas
antar negara tetangga.
Indonesia mempunyai batas darat yang berhubungan dengan tiga negara, Malaysia,
Papua New Guinea, Timor Leste. Di perbatasan ini sering terjadi konflik mengenai
penentuan batas. Pada umumnya konflik penentuan batas ini selalu bersumber kepada:
1. Perbedaan sistem proyeksi peta yang digunakan dan ellipsoid referensi.
2. Minimnya data spasial di daerah perbatasan.
3. Konflik kepentingan berkaitan dengan kandungan sumber daya alam di daerah
perbatasan.
Pada point pertama sebenarnya adalah masalah teknis yang klasik terjadi dalam
penentuan dan penegasan batas. Biasanya diantara dua negara yang berkonflik memakai
Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

18

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

sistem koordinat yang berbeda. Sebagai contoh di kasus perebutan Pulau Sipadan dan
Ligitan antara Indonesia dan Malaysia yang dimenangkan oleh Malaysia.
Pengukuran dengan jaringan ini untuk daerah perbatasan dapat membantu setidaktidaknya meredam konflik dan menyediakan data spasial yang lengkap bagi Indonesia
untuk inventarisasi perbatasan. Hal ini sangat penting sekali jika daerah perbatasan ini
dijaga dengan dilakukan pemasangan tugu permanen dan selalu di cek ulang
pengukurannya maka akan mengurangi resiko kehilangan wilayah Republik Indonesia.

5. PELAKSANAAN UJICOBA
Ujicoba dilaksanakan dengan menggunakan 3 base station permanen yang dipasang
pada Kantor Pertanahan Kota Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Tangerang. Selain itu,
ujicoba dengan beberapa temporal base station juga dilaksanakan untuk menguji
ketahanan dan kehandalan sistem dan perangkat lunak.
Berikut ini adalah uraian singkat tentang ujicoba yang dilaksanakan :
1. Tempat ujicoba
Ujicoba dilaksanakan pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bekasi dengan
memanfaatkan ketersediaan base station yang telah dibangun di 3 Kantor
Pertanahan seperti tersebut diatas.
2. Peralatan ujicoba
Peralatan yang digunakan adalah :
a. Base station di tiga Kantor Pertanahan seperti tersebut diatas.
b. GNSS rover receiver.
c. Alat komunikasi.
d. Alat transportasi.
e. Notebook.
3. Metodologi ujicoba
Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

19

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

Ujicoba dilakukan dengan 2 metode. Metode pertama dengan menggunakan


permanen base station dan metode kedua dengan menggunakan temporal base
station.

5.1. Hasil Ujicoba Pengukuran Jarak


Tabel 4 adalah tabel hasil pengukuran jarak antar TDT orde 3 menggunakan Total
Station (TS) dibandingkan dengan CORS yang dilakukan di wilayah Kantor Pertanahan
Kabupaten Bekasi
KDKN2-KDKN3 menggunakan TS
KDKN2-KDKN3 menggunakan CORS
Selisih

1173,0126
1173,0069
0,0057

KDKN1-KDKN3 menggunakan TS
KDKN1-KDKN3 menggunakan CORS
Selisih

6931,9829
6932,0301
-0,0472

KDKN1-KDKN2 menggunakan TS
KDKN1-KDKN2 menggunakan CORS
Selisih

8063,6133
8063,6629
-0,0496

Pengukuran yang dilakukan adalah pengukuran diatas TDT untuk dihitung jarak antar
TDT nya. Selisih jarak yang diperoleh antara kedua metode adalah 5 mm 4,9 cm.

5. 2. Hambatan Ujicoba
Secara umum tidak ditemui hambatan berarti dari segi penggunaan, pemanfaatan dan
pengoperasian alat. Tetapi hambatan terbesar adalah pada penggunaan teknologi
informasi dan telekomunikasi. Terutama sekali adalah ketidakstabilan dari layanan
internet yang digunakan untuk penyampaian koreksi pengukuran dari server pusat
kepada rover dan dari base station ke server pusat.
Hambatan ini sangat mengganggu sekali terutama pada saat dilakukan pengukuran
karena kadangkala pengukuran bisa mengalami penundaan karena jaringan internet
kurang stabil ataupun tidak mampu untuk melakukan streaming data.
Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

20

Seminar Nasional GNSS-CORS

Yogyakarta, 17 Juli 2010

5. 3. Kesimpulan Ujicoba
Dari beberapa ujicoba tersebut (testing jarak dan koordinat), rata rata selisih tertinggi
yang diperoleh dari pengukuran dengan CORS dan metode konvensional lainnya adalah
5 cm. Hasil ujicoba menunjukkan bahwa pengukuran dengan CORS ketelitiannya dapat
mencapai fraksi mm untuk titik, panjangan dan luasan. Hal ini mengindikasikan bahwa
penggunaan infrastruktur CORS sangat layak untuk keperluan pengukuran kadastral.
Untuk menjamin kelancaran penggunaan CORS, maka hal yang perlu diperhatikan yaitu
kehandalan dan kestabilan jaringan internet. Ujicoba ini merekomendasikan untuk
penggunaan internet yang stabil dan mempunyai dedicated IP.

6. KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa uraian diatas, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Berdasarkan peraturan, teknologi CORS tidak bertentangan dengan
peraturan yang ada dan dimungkinkan untuk dimanfaatkan dalam
pelaksanaan program-program pertanahan.
2. Berdasarkan pertimbangan teknis, CORS layak digunakan.
3. Secara administrasi pertanahan, CORS memenuhi syarat.
4. Dari aspek ekonomi, pemanfaatan teknologi CORS nilainya lebih efisien
dibandingkan dengan metode konvensional.
5. Secara teknis pengukuran dan pemetaan dengan teknologi CORS, lebih
produktif dan efektif/tepat guna dibandingkan dengan metode lainnya.
6. Dibandingkan dengan sistem konvensional, teknologi CORS manfaatnya
lebih besar.
7. Perlu integrasi komunikasi data CORS dan LARASITA yang dikelola oleh
Pusdatin.

Prosiding Seminar Nasional GNSS CORS: Pengembangan dan Aplikasinya di Indonesia

21

Anda mungkin juga menyukai