Anda di halaman 1dari 2

Wewenang dalam Hukum Administrasi Negara

Salma Salsabila – 160710101435

Istilah wewenang seringkali digunakan dalam Hukum Administrasi Negara. Istilah


tersebut dimaknai sebagai batasan kekuasaan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu, secara
umum, wewenang dalam Hukum Administrasi Negara adalah kekuasaan untuk menggunakan
sumberdaya guna mencapai tujuan organisasi. Berkaitan dengan penggunaan istilah
wewenang, Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa istilah wewenang dan bevoegdheid
merupakan dua hal yang berbeda, istilah wewenang hanya digunakan dalam konsep hukum
publik sedangkan istilah bevoegdheid tidak hanya digunakan dalam konsep hukum publik
melainkan juga dalam konsep hukum privat.

Wewenang atau yang dalam bahasa Belanda disebut sebagai bevoegheid adalah suatu
kekuasaan resmi dan kekuasaaan pejabat untuk menyuruh pidak lain agar bertindak dan taat
kepada pihak yang berwenang itu. Dalam Black. S Law Dictionary mendefinisikan
wewenang sebagai kekuasaan hukum, hak untuk memerintah, hak kekuasaan pejabat publik
untuk mematuhi aturan hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik.

Dalam hukum administrasi negara, pelaksanaan wewenang ini didasari oleh asas
legalitas yang menyatakan bahwa setiap tindakan pemerintah atau warga negara haruslah
tunduk atau didasarkan pada undang-undang. Dengan kata lain, tidak satupun perbuatan
administrasi negara yang tidak didasari oleh undang-undang. Prajudi Atmosudirdjo
berpendapat bahwa legalitas merupakan syarat yang menyatakan bahwa tidak satupun
perbuatan atau keputusan administrasi negara yang dapat dilakukan tanpa dasar undang-
undang tertulis, apabila suatu tindakan dijalankan dengan dalih keadaan darurat, maka
pengambil tindakan harus membuktikan kedaruratan yang dimaksud seperti apa, jika
kedaruratan tidak bisa dibuktikan maka perbuatan tersebut dapat digugat ke pengadilan.

Secara teoritik, berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang


Administrasi Pemerintahan menyatakan ada tiga cara untuk mendapatkan wewenang. Cara-
cara tersebut meliputi :

1. Atribusi
Atribusi adalah pemberian kewenangan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan
oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau Undang-
Undang. Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014, kewenangan atribusi
diperoleh apabila :
a. Diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan/atau Undang-Undang
b. Merupakan wewenang baru atau sebelumnya tidak ada
c. Atribusi diberikan kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan.

Tanggung jawab kewenangan atribusi ada pada badan dan/atau pejabat pemerintahan
yang bersangkutan. Kewenangan ini tidak dapat dialihkan atau didelegasikan, kecuali
diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Taun 1945 dan/atau
undang-undang.
2. Delegasi
Delegasi adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan
yang lebih tinggi kepada badan dan/atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah. Dengan
adanya pelimpahan wewenang maka tanggung jawab sepenuhnya juga beralih kepada
penerima delegasi. Pemberian delegasi dapat dicabut oleh badan atau pejabat yang
memberi delegasi tersebut. Hal ini dikarenakan adanya asas contrarius actus atau ketika
suatu badan atau pejabat menerbitkan keputusan maka badan atau pejabat itu pula yang
mencabut atau membatalkannya. Hal tersebut juga sejalan dalam Pasal 13 ayat (6)
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang
menyatakan bahwa badan atau pejabat pemerintahan yang memberikan pendelegasian
kewenangan dapat menarik kembali wewenang yang telah didelegasikan.

3. Mandat
Mandat adalah pelimpahan kewenangan dari badan dan/atau pejabat pemerintahan
yang lebih tinggi kepada badan dan atau pejabat pemerintahan yang lebih rendah.
Perbedaannya dengan delegasi, beban tanggung jawab dan tanggung gugat wewenang
yang dimandatkan tetap ada pada badan atau pejabat pemerintahan yang memberi mandat
tersebut, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa penerima
mandat harus menyebutkan atas nama badan dan/atau pejabat pemerintahan yang
memberikan mandat sehingga dalam hal ini pemberi mandat hanya bertindak untuk dan
atas nama pemberi mandat, sedangkan keputusan akhir yang akan diambil tetap ada pada
pemberi mandat.

Anda mungkin juga menyukai