Anda di halaman 1dari 1

Dalam syariat ........ di saat seperti tayammum dan wudhu’ jabirah dan pengusapannya.

Dan sholat
orang yang tidak mampu berdiri atau duduk, dan sholat yang tempat sujudnya basah atau
kebanjiran.

Dan tidak diragukan bahwa perintah idtiror ini terlaksana apabila sudah dikerjakan, karena Allah
Ta’ala tidak membebani seseorang kecuali atas kemampuannya. dan terdapat dalam hadis Nabi yang
masyhur bahwa digugurkan dari umatku apa yang darurat.

Syari’ muqaddas menginginkan sebagian ibadat khususnya shalat untuk ditinggalkan begitu saja,
maka diperintahkan kepada hamba utk mengganti karena darurat dengan tayammum sebagai
pengganti dari wudhu’ atau mandi. Terdapat dalam hadits dicukupkan bagimu 10 tahun, dan juga
diperintahkan utk membasuh bagi yang jabirah sebagai ganti dari mencuci/membasuh langsung
bagian anggota badan dalam wudhu’ dan mandi. Dan perintah utk sholat duduk sebagai ganti dari
tidak bisa berdiri. Seperti inilah banyak sekali yag tudak terhitung pda kondisi darurat dari mukallaf
dan tidak mampu melaksanakan perintah aslinya.

Tidak diragukan bahwa oerintah darurat ini adalah perintah yang sebenarnya, disitu ada maslahat
yang harus didapatkan seperti perintah awaliyah. Dan dinamakan “awamir tsanawiyah” sebagai
penanda untuk mengingatkan bahwa perintah tayamum ini muncul karena adanya keadaan tertentu
yang muncul pada diri mukallaf. Dan apabila mukallaf sudah melaksanakan perintah darurat ini maka
dia sudah dianggap telah menunaikan kewajibannya dan gugur taklifnya dengan amr idtirori ini.

Dan akan tetapi ada pembahasan, bagaimana kalau keadaan darurat sudah tidak ada maka mukallaf
kembali pada kondisi semula/awaliyah karena tidak ada lagi keadaan mendesak maka kembali pada
keadaan normal/semula. Dan apakah dia sudah dianggap telah melaksanakan kewajiban bersuci
pada posisi darurat? Atau belum dianggap sudah melaksanakan saat kondisi sudah normal?, bahkan
ia harus mengulangi kembali pada waktu yang tersisa apabila daruratnya sudah hilang sebelum habis
waktu melakukannya dan kita di sini berfatwa bahwa boleh untuk bersegera atau mengganti dengan
qadha’ Ketika sudah habis waktunya apabila keadaan darurat sudah hilang setelah habis waktunya?

Ini patut untuk diragukan dan dipertanyakan. Meskipun popular dikalangan fukaha mengatakan itu
sudah terlaksana dan tidak perlu diqadha’.

Alasan mereka terkait sudah terlaksananya kewajiban (itu tidak diqadha’) maka ini bukan berangkat
dari hukum akal yang badihi yang menghukuminya. Karena itu di sini memungkinkan akal bisa
menggambarkan utk tidak terlaksana tanpa bertentangan dengan akal. Maksud saya bahwa kita bisa
memungkinkan unutk menggambarkan tidak adanya mulazamah antara melaksankan perintah
darurat dengan perintah yang asli.

Penjelasan: bahwa ada kemungkinan kondisi darurat (tayammum) lebih kurang disbanding dengan
kondisi aslinya (wudhu’). Dan pendapat yang mengatakan bahwa perintah darurat mengganti yang
awal maknanya yang darurat sebagai naqis itu cukup mengganti yang sempurna (perintah awal) .....
dan tidak diragukan bahwasanya akal itu tidak melihat masalah pada perintah perbuatan pengganti
setelah adanya kondisi darurat. Untuk mndapatkan kesempurnaan dari bersuci tadi. Bahkan akal
mengharuskan untuk mengulang apabila melaksanakan perintah yang sempurna (asli) itu tidak dapat
diperoleh dengan perintah yang naqis (pengganti)...

Dan maksud dari itu dengan penjelasan ibarat: bahwa pelaksanaan dengan naqis itu pada dasarnya
itu tidak mewakili perintah yang sempurna (awal).

Dan harus utk

Anda mungkin juga menyukai