Anda di halaman 1dari 2

Muqaddimah wajib

Tahrirun niza’

Setiap orang berakal maka ia akan mengetahui kewajiban sesuatu .... maka secara hukum ia akan
mengatakan bahwa wajib utk mennunaikan mukaddimah wajib tersebut. Hanya dengan
melaksanakan muqaddimah itu utk melaksanakan yang wajib.

Apa yang dimaksud di atas itu tidak ada keraguan dan perselisihan. Perselisihan yang menjadi
keraguan di sini adalah keharusan secara akal utk mengerjakan muqaddimah yang mana kewajiban
itu tidak bisa terlaksana apakah ini menunjukkan bahwa ini juga menjadi keharusan bagi syariat.

Atau katakanlah bahwa setiap pekerjaan yang wajib bagi maula, apakah juga tuhan mewajibkan
muqaddimahnya?

Wujub tabaiyah ada 4:

a. Wujub tab’iyah bermakna Wujub bil aradh, yang bukan wujub hakiki, dinisbahkan kepada
dzil muqaddimah awwalan bi dzat kepada muqaddimah kedua dengan aradh, dan itu sama
dengan nisbah antara lafadz dengan makna, ketika dikatakan makna maujud dengan lafadz
bermakna wujud satu yang hakiki yang dinisbahkan kepada lafadz lalu dinisbahkan kepada
makna, yang pertama adalah biz-dzat dan yang kedua adalah dengan aradh.
Akan tetapi tinjauan ini dari sisi tab’iyah bukan itu yang dimaksudkan di sini. Karena maksud
wujub alghoiri di sini adalah wujub hakiki yang lain yang ditetapkan utk muqaddimah yang
bukan wujub dzin nafsi. Karena setiap muqaddimah dan dzil muqaddimah itu adalah sama2
hakiki. Dan makna tab’iyyah dalam tinjauan ini bahwa wujub hakiki itu hanya satu dan wujub
yang kedua sebagai wujub majazi. Adapun wujub bil aradh itu bukan wujub yang menambah
keharusan aqliyah utk muqaddimah shalat yang mungkin tidak masuk dalam permasalahan
amaliah.
b. Wujub tab’iyah bermakna wujub diakhirkan dalam hal keberadaannya.
Dan pandangan ini juga bukan yang dimaksudkan sebagai taba’iyah bil goiri.
c. Wujub tab’iyah bermakna wujub goiri dari wujub nafsi bagi dzil muqaddimah adalah
hubungan sebab akibat dan menghasilkan akibat dari keberadaannya, seperti munculnya
panas dari api.
Alhasil: wujub ghaoiri itu (menurut mudzaffar) itu bukan akibat dari dzil muqaddimah (wujub
nafsi) dan itu tidak berakhir pada silsilah sebab akibat. Tetapi wujub algoiri itu berakhir pada
syauq dzil muqaddimah, dan tidak ada halangan bagi amir dari perkara muaqaddimah ini.
Karena syauq itu bukan akibat sempurna terhadap suatu pekerjaan. Dan ingat2 pembahasan
ini. Karena itu bermanfaat pada pembahasan wujub muqaddimah mufawwitah (tidak akan
terjadi wajib nafsi tanpa muqaddimah).
d. Wujub tab’iyah bermakna melekat dari wajib nafsi. Tetapi ini bukan bermakna akibat dari
wujub nafsi (dzil muqaddimah), tetapi bermakna pendorong bagi wujub algoiri, yakni wajib
nafsi bahwa perintah untuk untuk melaksanakan muqaddimah itu hanya media utk tujuan
sampainya dzil muqaddimah dan terlaksananya. Seandainya bukan dzil muqaddimah itu jadi
yang diinginkan maulamaka maula juga mewajibkan muqaddimahnya.
Tujuan dari wujub almuqaddimah itu bagaimana supaya dzil muqaddimah dapat terlaksana.
Dan makna inilah yang tepat dan sesuai makna tab’iyah yang dimaksudkan sebagai wujub
algoiri. Hal ini melazimkan wujub goiri itu mengikut pada wujub dzil muqaddimah baik secara
itlaq dan persyaratan.
Berdasarkan ini maka wujub goiri itu adalah wujub haqiqi. Akan tetapi ia mengikut dan
memperantarai dzil muqaddimah. Keadaan wajibnya muqaddimah itu juga keadaan pada
muqaddimah itu sendri. Sebagaimana muqaddimah itu sebagaimana ia muqaddimah tidak
bermaksud utk dikerjakan selain utk dizlmuqaddimah demikian juga wajibnya muqaddimah
itu hanya utk perantara utk terlaksananya dzil muqaddimah. Seperti alat perantara yang
tidak dimaksudkan utk tujuan aslinya.
Dan rahasia dari ini itu jelas, bahwasanya maula apabila memerintahkan utk dzil
muqaddimah, karena maula harus mendorong terlaksananya muqaddimah itu maka dia
memerintahkan utk melaksanakan muqaddimahnya sebagai perantara sampai tujuannya.
Maka:
perintah muqaddimah ini adalah perintah yang hakiki, perintah ini tidak mengikut kepada
dzil muqaddimah berdasarkan bentuknya yang dinisbahkan dengan perintah aradh “seperti
pandangan pertama”, dia tidak diperintahkan dengan perintah berdiri sendiri utk tujuan
melaksanakan mauqaddimah itu setelah perintah seperti dzil muqaddimah “seperti
pandangan kedua”, dan perintah muqaddimah itu tidak seperti dzil muqaddimah dari sisi
efeknya sebagai akibat “seperti pandangan ketiga”.

Kekhususan2 wujub ghoiri

Setelah jelas makna tab’iyyah pada wujub goiri maka telah jelas bagi kami ciri khasnya yang
dengannya terbedakan dari wujub nafsi.

1. Wajib goiri sebagaimana dia bukan perintah ygberdiri sendiri itu tidak ada ketaatan secara
mandiri. Ketaatannya itu hanya untuk tujuan perantara terlaksananya dzil muqaddimah.
Berbeda dengan wajib nafsi. Karena wajib nafsi itu sendiri ditaati utk dirinya sendiri.
2. Setelah kita katakana: bahwa tidak ada ketaatan berdiri sendri utk wujub goiri dan
ketaatannya itu utk perantara kepada terlaksananya dzil muqaddimah maka harusnya dia
tidak memiliki pahala atas ketaatannya selain pahala yang dihasilkan dari ketaatan wujub dzil
muqaddimah. Sebagaimana adanya hukuman karena melanggarnya selain dosa atas
melanggarnya wujub dzil muqaddimah. Untuk itu kita temukan bahwa meninggalkan yang
wajib dengan meninggalkan muqaddimahnya itu tidak mendapatkan lebih dari satu
hukuman atas wajib nafsi itu sendiri. Dia tidak mendapatkan hukuman yang banyak dengan
banyaknya muqaddimah yang ditinggalkan.
Dan Adapun pahala yang terdapat dalam syariat pada sebagian muqaddimat, seperti pahala
atas orang yang berjalan kaki utk berhaji atau ziarah ke Imam Husain as, dan setiap Langkah
berziarah itu ada pahala maka ini harus dipredikasikan dengan penjabaran pahala itu sendiri
dari amalan atas muqaddimahnya dengan anggapan bahwa lebih utamanya amalan2 itu
adalah yang palih sulit pengerjaaannya, dan setiap yang yang banyak muqaddimah2
amalanya dan bertambah kesuitannya .... maka itu pahala itu dinisbahkan kepada
muqaddimah sebagai majazi yang kedua. Dengan anggapan bahwa itu sebab dalam
bertambahnya ukuran beratnya amalan itu sendiri. Maka sebab itu adalah penyebab
bertambahnya pahala. karena tidak ada pahala utk muqaddimah itu sendiri.
Karena tidak adanya pahala utk muqaddimah maka para ulama mengisykal dalam
terdapatnya pahala atas dikerjakannya pada sebagian muqaddimah2 seperti taharoh
3.

Anda mungkin juga menyukai