Anda di halaman 1dari 3

Perbedaan Qadhi dan Mufti

Bilal Fahrur Rozie

Setiap kali kita membaca literatur fikih Islam, telinga kita tidak asing dengan istilah
Qadhi (‫ )القضي‬atau Mufti (‫)المفتي‬. Sejak zaman awal diturunkannya syariat Islam, peradilan Islam
yang sering disebut dengan Mahkamah ini sudah menjalankan perannya. Pada saat itu, Rasulullah
saw sendirilah yang menjadi Qadhi maupun Mufti. Beliau juga pun yang menjadi lajnah tanfidzi
dari segala peraturan (baca : Syariat) yang sudah ada. Segala permasalahan umat saat itu,
diselesaikan sendiri oleh Rasulullah SAW yang mungkin untuk zaman kita saat ini bisa disebut
dengan dewan Eksekutif dan Yudikatif sekaligus.
Mungkin untuk peranan Rasulullah SAW dalam menjalankan sistem peradilan ini
insyallah akan kita bahas pada artikel yang lain. Untuk saat ini, kita akan fokus hanya membahas
perbedaan antara Qadhi dan Mufti tersebut.
َ َ‫)ق‬
Istilah Qadhi dan Mufti dalam bahasa Arab merupakan isim fa’il dari kata qadha (‫ضي‬
dan aftaa (‫)أ َ ْفت َي‬. Apabila kita merujuk kepada arti dalam bahasa Indonesia, kata qadha itu berarti
memutuskan. Sehingga isim fail nya (qadhi) berarti orang yang memutuskan. Adapun arti kata
aftaa dalam bahasa Indonesia ialah memfatwakan atau menyampaikan suatu hukum. Sehingga
isim fail nya (mufti) itu berarti orang yang menyampaikan suatu hukum.
Dari sini dapat kita lihat beberapa kesamaan yang ada dalam dua kata tersebut. Kesamaan
itu antara lain sebagai berikut :
1. Baik Qadhi maupun Mufti sama-sama menyampaikan hukum pada suatu perkara tertentu.
2. Baik Qadhi maupun Mufti dalam menjalankan tugasnya sama-sama berlandaskan kepada
penelitian, dan ijtihad.
Lantas, apa yang membedakan keduanya?
Dr. Ibrahim bin Muhammad As Sahliy dalam kitabnya Tarikhul Qadha menjelaskan
bahwa setidaknya ada enam perbedaan mendasar antara Qadhi dan Mufti. Perbedaan itu antara
lain :
1. Qadhi memiliki kekuasaan untuk memaksakan pelaksanaan suatu hukum. Sedangkan Mufti,
ia tidak memiliki kekuasaan untuk memaksakan terlaksananya hukum tersebut. Sebagai
contoh, apabila ada seorang pencuri yang sudah diputuskan oleh Qadhi bahwa ia harus
dipotong tangannya, maka hukum potong tangan itu harus dan wajib dilakukan, karena hal itu
merupakan keputusan Qadhi dalam suatu mahkamah. Adapun Mufti, apabila ia ditanya oleh
seseorang ‘Apa hukum seseorang yang mencuri dan mencapai nishab?’ . Kemudian, Mufti itu
menjawab bahwa hukuman bagi pencuri yang sudah mencapai nishab adalah potong tangan,
maka ia tidak mempunyai sebuah kekuatan untuk mewajibkan dewan yudikatif untuk
melaksanakan potongan tangan tersebut. Hal itu karena, ia hanya diberi kekuasaan untuk
menyampaikan hukum saja tanpa bisa memaksakan untuk dilaksanakan.
2. Fatwa yang muncul dari seorang Mufti itu berlaku umum, baik untuk orang yang meminta
fatwa maupun untuk semua muslimin. Adapun keputusan Qadhi, maka ia hanya berlaku bagi
orang yang bersangkutan dengan masalah tersebut saja. Seperti yang dicontohkan di atas.
Apabila seorang Mufti sudah menyampaikan fatwa bahwa pencuri yang sudah sampai nishab
maka ia berhak untuk dipotong tangannya, maka hukum itu berlaku bagi orang yang meminta
fatwa tersebut maupun kepada semua muslimin. Berbeda ketika seorang Qadhi sudah
memutuskan kepada seorang pencuri yang tertangkap basah mencuri suatu barang lebih dari
nishab, maka hukuman itu hanya berlaku untuk dirinya saja, bukan untuk pencuri lain yang
belum tertangkap.
3. Fatwa mencangkup semua bidang agama, baik itu ibadah, muamalah, jinayat dll. Adapun
Qadhi lingkupnya lebih kecil. Ia tidak bisa memutuskan suatu hal yang berkaitan dengan
ibadah, semisal memutuskan sah atau batalnya suatu sholat dsb. Lingkupnya hanya dalam hal
perselisihan dan hukum jinayat dalam Islam.
4. Seorang mufti itu menyampaikan suatu hukum hanya berdasarkan pertanyaan orang yang
meminta fatwa tersebut. Sedangkan Qadhi, ia tidak boleh memutuskan suatu hukum hanya
berdasarkan apa yang disampaikan oleh terdakwa maupun penuntut. Ia harus menelisik lebih
jauh kepada bukti, saksi, tempat kejadian, waktu, dsb.
5. Seorang Qadhi harus mempunyai beberapa kriteria yang membantunya untuk memutuskan
suatu hukum perkara. Semisal, harus mempunyai pengetahuan yang luas, mengikuti
perkembangan zaman, dll. Hal itu karena seorang Qadhi ketika memutuskan suatu perkara,
bisa jadi terdakwa dalam masalah tersebut menyembunyikan sesuatu sehingga diharapkan
dengan itu ia bisa selamat dari dakwaannya. Oleh karena itu, seorang Qadhi harus bisa
menyadari itu semua supaya bisa memutuskan suatu hukum dengan adil. Adapun Mufti,
maka tidak terlalu banyak membutuhkan suatu kriteria khusus. Hal itu karena tugasnya hanya
menyampaikan hukum yang sesuai dengan peraturan yang ada.
6. Seorang Qadhi harus memenuhi beberapa syarat menurut jumhur Ulama. Diantaranya ialah,
ia harus seorang laki-laki, merdeka, tidak ada cacat. Adapun Mufti, maka syarat-syarat
tersebut tidak berlaku baginya. Sehingga boleh bagi perempuan, budak maupun orang-orang
yang tidak memenuhi syarat sebagai Qadhi untuk menjadi Mufti, selama ia menguasai ilmu
yang berkaitan dengan apa yang difatwakannya. Hal itu karena tugasnya hanya
menyampaikan suatu hukum saja.
Dalam konteks keindonesiaan, untuk mempermudah pemahaman, Qadhi itu bisa
disamakan dengan Hakim pada suatu Pengadilan. Sedangkan Mufti bisa disamakan dengan MUI.
Jadi, ketika seorang Hakim sudah memutuskan suatu perkara, maka keputusan itu sudah final dan
harus dilaksanakan oleh dewan Yudikatif. Adapun kalau MUI memfatwakan suatu hukum,
semisal haramnya mengucapkan selamat Natal, maka ia tidak bisa memaksakan kepada Muslimin
Indonesia untuk menjalankan fatwa yang sudah keluar. Tugasnya hanya menyampaikan hukum
mengucapkan selamat Natal saja. Bagi yang melanggar fatwa tersebut, MUI tidak mempunyai
wewenang untuk menghukum orang tersebut, karena memang ia tidak memiliki wewenang dalam
hal itu.
Dengan demikian, kedudukan Qadhi itu lebih tinggi dan lebih berat
pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat. Maka, sangatlah aneh apabila banyak
yang memperebutkan kursi Qadhi atau Hakim tersebut. Apalagi kedudukan Hakim hanya
digunakan untuk melegitimasi apa yang salah dan menyalahkan apa yang benar. Hati-hati saja,
pengadilan Allah itu pasti ada. [bfr]

Anda mungkin juga menyukai