Anda di halaman 1dari 5

Kebebasan dalam Persperktif Islam

Oleh : Bilal Fahrur Rozie

Ketika hidup di zaman modern saat ini, tidak sedikit orang yang ketika melakukan
sesuatu, berlindung di bawah baju kebebasan. Ketika ia minum minuman keras misalnya,
dalihnya Cuma kebebasan. ‘Ini khan hak saya, anda tidak berhak mencampuri kebebasan saya,’
mungkin seperti itu dalih mereka.
Memang Islam memberikan kebebasan penuh kepada seorang hamba atas segala yang ia
lakukan. Namun, kebebasan dalam Islam ini bukanlah kebebasan yang kebablasan. Lantas seperti
apakah kebebasan yang dikonsepkan dalam Islam tersebut ? Mari kita simak pemaparan dari Dr.
Abdul Aziz bin Ahmad Al-Humaidiy dalam kitabnya ‘Mafahimul Hurriyah fil Islam’.
Dr. Abdul Aziz bin Ahmad dalam kitabnya, setidaknya membagi pengertian ‘Kebebasan’
(hurriyah) menjadi tiga bagian. Pertama, konsep kebebasan menurut para filsuf. Kedua, konsep
kebebasan menurut Ahli Tasawuf dan terakhir ialah kebebasan menurut konsep Islam.

Konsep Kebebasan Menurut Para Filsuf


Dr. Abdul Aziz dalam kitabnya setidaknya memaparkan dua tokoh aliran filsafat yang
memaparkan makna asli dari konsep kebebasan tersebut.
Pertama ialah pemaparan dari Karl Jaspers seorang filsuf eksistensialis asal Jerman yang
mengatakan bahwa makna asli kebebasan itu tidak akan ditemukan karena ia mempunyai makna
yang terus berkembang. Jaspers juga menyatakan bahwa kebebasan yang sudah berhasil berjalan
di Eropa selama ini, meskipun memang sudah berhasil mengentaskan Eropa dari perbudakan,
namun ia sekarang berubah menjadi sebuah perbudakan yang baru dalam bentuk perbudakan
hawa nafsu. Sehingg orang yang dulunya merasa tertindas karena perbudakan tersebut, sekarang
berubah menjadi sosok yang seakan bebas, namun pada dasarnya bebas nya ia itu dikontrol oleh
hawa nafsu yang menguasai hatinya.
Sedangkan menurut tokoh filsafat kenamaan asal Yunani, Plato, kebebasan itu bisa
terwujud apabila setiap individu mau tunduk terhadap suatu aturan masyarakat untuk bersama-
sama mewujudkan sebuah “masyarakat yang maju dan modern”. Dari kalangan pemikir Islam,
yang ikut terpengaruh dengan pemikiran Plato ialah Al Farabi, sedangkan pemikir modern yang
sepakat dengan apa yang disampaikan Plato ialah H. Treitsckke.
Adapun menurut aliran Filsafat Sinisisme, segala sesuatu yang hidup itu adalah tawanan
dan budak kehidupan yang tidak akan bisa bebas kecuali dengan kematian. Masih menurut
mereka, kehidupan itu tidak mempunyai makna sama sekali sebagaimana kematian itu tidak
mempunyai makna kecuali hanya sebagai pembebas seorang manusia dari perbudakan yang
membelenggunya. Oleh karena itu, aliran filsafat seperti ini disebut dengan aliran Sinisisme yang
berakar dari kata Sinis. Artinya, semua yang ada di kehidupan dunia ini dipandang sebagai suatu
hal yang negatif dan setiap yang hidup harus terbebas dengan sifat negative tersebut dengan cara
berpindah ke alam lain melalui kematian.
Pemikiran filsuf aliran Sinisisme ini diserap oleh Ibnu Sina, ketika ia membicarakan
perihal ruh. Menurutnya, ruh manusia asalnya dari alam metafisika yang luas, kemudian ia
‘dipenjara’ dalam jasad manusia yang sempit ini. Ia tidak akan bisa bebas kecuali apabila mau
kembali lagi kepada alamnya yang semula. Konsekwensi dari apa yang diyakini oleh Ibnu Sina
ini ialah, ia mengingkari pembangkitan jasad manusia dan ruhnya sekaligus. Menurutnya, yang
dibangkitkan besok di hari kiamat hanyalah ruh manusia saja tanpa jasadnya. Masih menurut Ibnu
Sina, manusia itu tidak akan bisa merasakan kebebasan selama masih ada jasad yang
membelenggunya. Sedangkan ‘bebas’ itu apabila ia sudah bisa terbebas dari jasadnya sendiri
hingga ia bisa sampai pada derajat ruh-ruh yang lain yang kembali kepada asalnya yang pertama.1
Filsuf lain yang sepakat dengan pernyataan seperti ini ialah Pitagoras. Hal ini sebagaimana yang
ia katakan ketika melihat seseorang yang berbadan gendut,” Mengapa engkau terlalu sibuk untuk
mengurusi badanmu, padahal hakekatnya kamu sedang membangun penjara dirimu sendiri”.
Pemikiran yang diajukan oleh para Filsuf Sinisisme, Ibnu Sina dan Pitagoras inilah yang
menjadi salah satu landasan sebagian Ahli Tasawuf dalam menjalani tarekat mereka.

Konsep Kebebasan Menurut Ahli Tasawuf


Para ahli Tasawuf dalam memaknai konsep bebebasan ini setidaknya terbagi menjadi dua
golongan.
Pertama ialah ahli Tasawuf yang mengatakan bahwa makna ‘kebebasan’ itu sejalan
lurus dengan sifat kependetaan (rohbaniyyah) yang banyak dipraktekkan dalam Kristen. Dalam
Kristen, seorang pendeta itu harus meninggalkan segala hal yang bersifat dunia. Sehingga bagi
seorang pendeta, menikah adalah tabu, berbisnis adalah tabu, dan segala hal yang bersifat duniawi
ialah tabu untuk dilakukan. Sehingga ia terpasung pada hal-hal yang berbau akhirat saja. Hal ini
lah yang dibawa oleh para ahli tasawuf dalam mengkonsepkan kebebasan menurut mereka.
Ahli Tasawuf yang mengkonsepkan hal ini menarik makna zuhud yang ada dalam syariat
menjadi sebuah sifat untuk menjauhi segala hal yang bersifat keduniawian, seperti meninggalkan
syahwat, urusan dunia, bahkan sampai meninggalkan segala hal yang bersifat ‘perkembangan’. Ia

1
Al-Adlhawiyyah fil Ma’ad : 80
tidak memikirkan bagaimana cara memakmurkan bumi ini dalam rangka menjadi khalifah yang
telah ditunjuk oleh Allah di muka bumi. Artinya, untuk menjadi diri yang bebas ia diharuskan
beruzlah dari semua kehidupan dunia ini. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Abul
Qosim Al Qushairiy, bahwa “kebebasan” ialah tidak menjadikan seorang hamba berada di bawah
perbudakan hamba yang lain dan tidak berada di bawah kekuasaan sebuah makhluk. Salah satu
tanda keberhasilannya dalam ‘membebaskan dirinya’ ialah dengan memutus hatinya dari segala
hal yang berkaitan dengan dunia.” 2
Apabila konsep “kebebasan” memang sebagaimana yang mereka katakan, maka
sangatlah sulit bagi seseorang untuk mencapai martabat tersebut. Tidak semua orang mampu
mencapai martabat yang mereka katakana padahal agama Islam ini mudah untuk dilakukan dan
dijalani. Yang menarik disini ialah, menurut Dr. Abdul Aziz bin Ahmad Al Humaidiy,
‘kebebasan’ versi Ahli Tasawuf yang lebih mirip dengan sifat kependetaan dalam kalangan
Kristen ini bertentangan dengan apa yang Rasulullah SAW sabdakan. Rasulullah
bersabda,”Sesungguhnya aku tidak diperintah untuk menjalankan sifat Rahbaniyyah.” H.R Ad-
Daruquthniy. Sehingga pengertian seperti ini menrurut beliau tidak dapat diterima.
Kedua ialah konsep ‘kebebasan’ yang diajukan oleh Al-Hallaj. Menurut Al-Hallaj, bebas
ialah apabila seseorang bisa terbebas dari penjara dirinya sendiri sehingga dapat bersatu dalam
Dzat Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti/Wahdatul Wujud). Hal itu sebagaimana yang
tergambar jelas pada salah satu bait syairnya berikut :
Bunuhlah aku wahai Penguatku Karena dalam matiku ada kehidupanku
Matiku adalah hidupku Hidupku adalah matiku
Aku tidak mempunyai diriku Karena adanya Dzat yang Maha Mulia
Keberadaanku dalam sifatku Merupakan sebuah hal buruk dari yang
buruk
Aku membiarkan hidupku Dalam diri yang paling Mulia3
Tentu konsep Manunggaling Kawula Gusti atau Wahdatul Wujud yang diajukan oleh Al-
Hallaj ini tidak sesuai dengan ajaran Islam. Allah itu adalah Khaliq, pencipta kita semua.
Bagaimana diri makhluk termasuk manusia yang sangat hina ini bisa menyatu dalam diri khaliq?

2
Ar-Risalah fi Hali Ahli At-Thariqah, fashl Huriyyah 2/371
3
Diwan Al-Hallaj, no. 10
Konsep Kebebasan Menurut Islam
Dr. Abdul Aziz bin Ahmad Al-Humaidiy menyatakan dalam kitabnya bahwa untuk
mencapai makna ‘kebebasan’ menurut Al-Qur’an dan Sunnah dapat dipahami melalui empat hal
berikut :
1. Manusia itu pada hakekatnya ialah seorang makhluk sosial yang lemah. Ia tidak akan mampu
untuk hidup sendiri tanpa bantuan yang lain. Sifat sosial yang membutuhkan kepada sesuatu
yang lain ini adalah sifat yang tidak dapat terpisah dari dirinya sama sekali.
Manusia pasti akan membutuhkan makan, minum, udara, tempat tinggal, hujan, dsb untuk
keberlangsungan hidupnya. Allah dalam hal ini berkalam,”Wahai Manusia, kalian semua
butuh (fuqara) kepada Allah. Sedangkan Allah ialah yang Maha Kaya dan Terpuji.”
[Fathir:15] dalam ayat lain, Allah juga berkalam,”Allah ialah Dzat yang Maha Kaya,
sedangkan kalian ialah fakir (membutuhkan kepada yang lain).” [Muhammad:38]
Dari segi ini, semua manusia, baik yang beriman kepada Allah maupun yang tidak beriman,
sebenarnya ialah budak yang selalu membutuhkan kepada Dzat yang Memeliharanya yaitu
Allah SWT. Baik dia itu mau ataupun enggan, ia pasti dan akan selalu butuh kepada Allah.
Bagi manusia yang menyadari bahwa ia adalah makhluk yang butuh kepada Allah dan
kemudian ia mengakui bahwa Allah ialah Tuhannya untuk kemudian disembah, Al-Qur’an
menyebut bahwa manusia yang seperti itu ialah manusia yang mau tunduk kepada Allah
dengan taat (thouan). Adapun manusia yang sebenarnya ia itu butuh kepada Allah, karena
kalau ingin hidup di dunia, ia harus menghirup udara dan makan, sedangkan semua itu ialah
Allah yang menyediakan dan menyiapkan, namun ia tetap enggan tunduk secara sukarela, Al-
Qur’an menyebutnya bahwa ia adalah orang yang tunduk kepada Allah secara terpaksa
(karha). Allah berkalam,”Apakah kalian menginginkan selain agama Allah, padahal kepada-
Nya lah berserah diri semua makhluk yang ada di langit dan bumi, baik dalam keadaan
tunduk maupun terpaksa. Dan kepada-Nya lah mereka akan dikembalikan.” [Ali Imran:83]
2. Karena semua makhluk itu butuh kepada Allah, maka Dia lah yang memberikan rizqi kepada
mereka, sebagaimana Dia menciptakan mereka. Sebagaimana kalam Allah Ta’ala “Dialah
yang menciptakan bagi kalian apa yang ada di atas bumi ini semuanya.” [Al-Baqarah:29]
3. Apabila dua asas di atas dapat dipahami dengan baik, maka manusia secara umum bisa dibagi
menjadi dua golongan :
 Manusia yang memilih untuk menyembah Allah, Dzat yang telah mencipatakan dan
memberikan banyak rizqi kepadanya.
 Manusia yang menolak untuk beribadah kepada Allah, sehingga ia pasti akan berada di
bawah penghambaan kepada sesuatu yang sangat hina. Bisa jadi ia akan berada di bawah
penghambaan syahwatnya sendiri, setan, jin maupun tuhan-tuhan palsu lainnya. Bahkan
manusia yang seharusnya berdudukan mulia diatara makhluk Allah yang lain, mau
diperbudak oleh batu, gunung, laut, sapi maupun benda-benda yang lain dan
menyembahnya. Sehingga ia menjadi manusia yang paling hina.
4. Dari 3 hal yang sudah dipaparkan diatas, dapat kita pahami makna ‘kebebasan’ yang
sebenarnya dalam Islam. ‘Kebebasan’ dalam Islam yang hakiki ialah apabila ia mampu
terbebas dari penghambaan kepada selain Allah dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada
Allah semata. Untuk memahami konsep ini, dapat digambarkan dalam tabel berikut:
Menyembah - - - - √
Cheng Xin
Huang Tian
Menyembah - - - √ -
Dewa
Menyembah - - √ - -
Budha
Menyembah - √ - - -
Yesus
Membutuhkan √ √ √ √ √
Allah SWT
untuk
keberlangsungan
hidup
Islam Kristen Hindu Budha Konghuchu

Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa semua makhluk baik itu beragama Islam maupun
tidak, mereka semuanya membutuhkan Allah SWT untuk keberlangsungan hidup mereka. Bagi
orang Islam, mereka mau tunduk kepada Allah secara sukarela. Namun bagi orang yang tidak
mengakui agama Islam, sebenarnya ia juga tunduk di bawah kekuasaan Allah, namun ia tidak
merasa. Artinya semua itu tunduk dibawah kekuasaan Allah. Kalau ia mau tunduk di bawah
kekuasaan selain Allah, paka poin ketundukannya akan bertambah. Kristen, Hindu, Budha,
Konghucu maupun agama lain setidaknya tunduk kepada dua hal. Pertama, tunduk kepada Allah
secara terpaksa dan tunduk kepada tuhan mereka secara sukarela. Artinya, ia menghambakan
dirinya dua kali lipat daripada seorang Muslim yang hanya menghambakan diri kepada Allah
saja. Artinya, kebebasan orang yang mengakui ketuhanan selain Allah itu dibelenggu dua kali,
berbeda dengan seorang Muslim. Maka disinilah dapat disimpulkan bahwa ‘kebebasan’ yang
hakiki ialah dengan sepenuhnya menyerahkan diri kepada Allah semata, sebagaimana yang
disampaikan oleh Dr. Abdul Aziz bin Ahmad dalam kitabnya terssebut. [bfr]

Anda mungkin juga menyukai