Anda di halaman 1dari 4

Sejarah Perkembangan Peradilan Zaman Jahiliyyah

Oleh : Bilal Fahrur Rozie

Sebagaimana yang sudah pernah saya singgung di artikel sebelum ini bahwa sejarah
peradilan Islam ini berkembang bersamaan dengan perkembangan manusia. Sehingga memang
sejak awal manusia diciptakan, peradilan ini sudah ada. Meskipun ia belum resmi berbentuk
sebuah lembaga khusus, namun peradilan ini sudah berjalan. Hal itu karena, banyak sekali
kejadian yang menuntut manusia untuk menerapkan peradilan dalam menyelesaikan berbagai
masalah. Peradilan paling awal dan palilng otentik adalah sebuah kejadian yang disebutkan dalam
1
Al-Qur’an ketika dua anak Adam, yaitu Qobil dan Habil berselisih atas suatu hal, hingga
akhirnya diputuskan untuk bersama-sama mengorbankan sebuah hewan kurban. Siapa saja yang
hewannya terbakar dan terangkat ke langit, maka hal itu menunjukan bahwa hewan kurbannya lah
yang diterima.2 Namun, dalam peradilan Qobil dan Habil tersebut, Allah lah yang langsung
memutuskan siapa yang benar di antara mereka.
Semakin berjalannya waktu, semakin bertambah pula kejadian yang menuntuk manusia
untuk mengembangkan peradilan. Hingga tiba masa Jahiliyyah. Masa dimana ketika penduduk
Arab masih berada pada kungkungan kebodohan hingga sampai Rasulullah SAW diangkat
menjadi Nabi.
Ketika kita bercerita tentang masa Jahiliyyah orang-orang Arab, maka akan terbayang
pada otak kita bahwa mereka ialah orang yang bar-bar, melakukan segala hal berdasarkan hawa
nafsu belaka. Siapa yang kuat, maka ialah yang menang. Memang begitulah adanya. Sehingga
pada zaman itu, tidak ada sebuah peradilan yang tetap dalam menyelesaikan persoalan di antara
mereka. Siapa yang mempunyai kekutan, maka bisa dipastikan ia bisa menang dalam persoalan
tersebut. Sebagai contoh, ketika mereka membagi harta warisan, maka orang tua,anak kecil atau
wanita yang berhak menjadi ahli waris, tidak akan mendapatkan harta warisan sama sekali. Harta
warisan berhak diambil oleh orang terkuat dari keluarga tersebut, dan biasanya anak laki-laki
terbesar dari keluarga itulah yang paling banyak mengambil bagian. Bahkan, ibu mereka sendiri
bisa dijadikan harta warisan dan dapat diwarisi oleh anaknya. Begitu pula dalam hal diyat
(tebusan) orang yang terbunuh. Apabila yang terbunuh dari kalangan keluarga yang kurang
terpandang, maka otomatis ia tidak akan mendapatkan tebusan sebanyak keluarga yang

1
Surat Al-Ma’idah : 27-31
2
Umdatut Tafsir, Syekh Ahmad Syakir, jld. 1, hlm. 662
terpandang. Berbeda ketika yang terbunuh dari kalangan keluarga yang terpandang, maka
tebusannya sangatlah besar, atau bahkan sangat mustahil bagi si pembunuh untuk membayar
tebusan tersebut. Contoh lain ialah, kepala suku Arab akan mendapatkan beberapa hak
keistimewaan yang sangat banyak berbeda dengan anak sukunya. Hak itu antara lain, ia berhak
mendapatkan nasyithah (harta yang didapatkan oleh pejuang perang sebelum mereka sampai
tempat peperangan), shafaya (harta yang dipilih oleh kepada suku sebelum membagi harta
ghanimah), mirba’ (seperempat dari harta rampasan perang) dan sebidang tanah yang hanya
3
boleh dikelola oleh kepala suku. Yang paling menarik disini ialah, ketika mereka
mendefinisikan ‘keadilan’ dan ‘kedhaliman’. Menurut mereka keadilan ialah “Ketika aku
menginginkan kambing tetanggaku, maka aku berhak untuk mengambilnya” dan dhalim
ialah “Ketika ada tetanggaku yang mengingkinkan kambingku, maka aku berhak
menolaknya.” Dan rasa-rasanya, definisi keadilan dan dhalim yang mereka anut, mulai banyak
dianut pula oleh para penguasa negeri ini. 
Ketika ketidakadilan dalam masyarakat Jahiliyyah tatkala itu mulai meraja lela,
muncullah beberapa inisiatif dari kalangan kepala suku untuk merancang sebuah peradilan untuk
menyelesaikan masalah yang semakin banyak mereka hadapi. Di antara peradilan dijalankan oleh
penduduk Arab zaman Jahiliyyah ialah :
1. Hukum adat istiadat.
Ketika ada sebuah perselisihan, maka kepala sukulah yang pertama kali berhak untuk
menyelesaikan masalah tersebut berdasarkan adat istiadat yang telah berlaku. Namun tentu
saja ketika yang berlaku ialah adat istiadat, tidak ada sebuah peraturan yang pasti dalam
menentukan suatu hukum. Sehingga bisa jadi ketimpangan dalam suatu keputusan tetap
terjadi.
2. Mengajukan peradilan kepada dukun.
Pada zaman itu, dukun atau biasa disebut dengan ‘orang pintar’ (arrafin) cukup mendapatkan
kedudukan yang istimewa. Sehingga ketika mempunyai suatu masalah, mereka datang
kepada dukun tersebut untuk meminta pendapat dalam memutuskan suatu perkara. Di antara
yang dilakukan oleh dukun tersebut ialah dengan cara undian (iqtisam bil azlam). Artinya,
ketika memutuskan suatu perkara, mereka mengundi terlebih dahulu dalam suatu wadah.
Siapa nama yang keluar dari undian tersebut, maka ialah yang benar. Tentu, ini sangat jauh
dari kata ‘adil’. Undian ini hanya berdasarkan keberuntungan, tanpa ada penelitian dan
pembuktian terlebih dahulu.

3
Tarikhul Qadha, Dr. Ibrahim bin Muhammad As-Suhailiy, hlm. 15
3. Mengajukan suatu perkara kepada seseorang yang dianggap mumpuni dalam hal itu.
Praktek seperti ini merupakan sebuah praktik peradilan yang lebih maju di antara dua bentuk
peradilan yang telah disebutkan di atas. Dalam praktek peradilan seperti ini, apabila ada suatu
perselisihan, maka mereka akan datang kepada seseorang yang menurut mereka ialah sosok
paling tepat dalam memutuskan perselisihan tersebut. Hal ini sebagaimana terekam dalam
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Syuraih. Abu Syuraih ialah salah seorang shahabat
yang diganti namanya oleh Nabi karena di dalam namanya, terdapat nama Allah yang tidak
boleh digunakan oleh manusia. Nama Abu Syuraih sebelum diganti ialah Abul Hakam (Yang
mempunyai hikmah). Ketika itu Abu Syuraih ditanya oleh Rasulullah SAW,”Mengapa
engkau disebut Abul Hakam ?” Maka jawab Abu Syuraih ialah,”Sesungguhnya kaumku
apabila berselisih dalam suatu hal, pasti akan mendatangiku dan memintaku untuk
memutuskan dalam hal itu. Apabila aku putuskan, pasti dua kelompok yang berselisih itu
akan ridha dengan keputusanku, oleh karena itu aku disebut Abul Hakam (Yang mempunyai
hikmah).” 4
Dalam hadits tersebut terekam jelas bagaimana praktik peradilan yang pernah dijalankan oleh
masyarakt Jahiliyyah. Abu Syuraih lah yang ketika itu banyak diandalkan untuk
menyelesakan suatu perkara ketika ada sebuah perselisihan.
4. Hilful Fudhul
Hilful Fudhul ialah sebuah perjanjian yang disepakati oleh para pembesar dan kepala suku
untuk bersama menjunjung tinggi keadilan serta keamanan. Rasulullah SAW ikut serta pula
dalam mensukseskan hilful fudhul ini. Namun ketika itu, beliau masih muda serta belum
diangkan menjadi Nabi.
Hilful Fuhdul ini bermula ketika semakin banyak kabilah dan suku Arab pada saat itu.
Dengan semakin banyaknya kabilah, semakin banyak pula kepala suku yang kadang saling
merasa paling hebat, sehingga tak jarang terjadi berbagai gesekan meskipun dalam hal kecil
sekalipun. Sebagaimana yang terjadi pada seseorang dari Bani Zubaid di Yaman. Ketika itu,
ia berangkat dari Yaman menuju Makah untuk umroh dan berdagang. Sesampainya di
Makah, Al-Ash bin Wa’il salah seorang pembesar Bani Sahm membeli dagangannya.
Namun, Al-Ash bin Wa’il tidak mau membayar dagangan tersebut, dan ketika diminta
kembali barangnya oleh pedagangnya, ia menolak. Seketika itu juga, pedagang dari Bani
Zubaid ini berdiri di atas sebuah batu dan membacakan sebuah syair yang berisi
kegelisahannya karena ada salah seorang pembesar Bani Sahm yang tidak mau membayar

4
Mu’jam Ash-Shahabah, Abul Baqi bin Qani, Jld. 3, hlm. 201
dagangannya. Begitu pula yang dialami oleh Qois bin Syaibah dari Bani Salimah. Ketika ia
menjual barang dagangannya kepada Ubay bin Khalaf, ia menolak untuk membayarnya.
Setelah kejadian itu, berkumpullah beberapa pembesar Quraish untuk bersama memutuskan
sebuah perjanjian yang berisi tentang kebaikan-kebaikan yang harus dijalankan oleh orang
Quraish. Perjanjian itu kemudian hari disebut dengan Hilful Fudhul. Di antara pembesar
Quraish ketika itu yang ikut dalam hilful fudhul ialah Abu Sufyan, dan Abbas bin Abdul
Muthalib, Di antara hasil akhir dari kesepatakan tersebut ialah mengembalikan segala
kedhaliman yang ada kepada yang berhak dan apabila ada seseorang yang mendhalimi orang
lain maka mereka harus berkerja sama untuk saling mencegahnya.
Begitulah perjalanan peradilan di zaman Jahiliyyah. Pada awalnya memang sangat
kentara dominasi hawa nafsu nya. Namun, semakin mendekati diutusnya Nabi Muhammad,
semakin nampak keadilan terutama ketika disepakatinya Hilful Fudhul tersebut. [bfr]

Anda mungkin juga menyukai