Mungkin sempat terbesit dalam pikiran kita, darimana asal usul bahasa yang biasa kita
pakai untuk berkomunikasi setiap hari? Tentu untuk menjawab hal itu, diperlukan sebuah
penelitian yang komprehensif dan mendalam. Namun, kita disini tidak untuk memperdalam
penelitian itu. Ulama-ulama kita terdahulu ternyata sudah lama membahasnya secara filosofis
“Darimanakah asal usul bahasa itu?”.Yang perlu kita garis bawahi disini adalah asal mula bahasa
ketika ia diciptakan pada awal penciptaannya.
Sangat banyak sekali ulama yang membahas masalah ini. Terutama bagi mereka yang
berkecimpung dalam dunia Ushul Fiqh dan bahasa. Salah seorang ulama yang membahas
masalah ini adalah Ibnu Qudamah dalam karyanya Raudhatun Nadhir dan Imam Ghazali dalam
karyanya Al Mustashfa.
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga
kelompok :
1. Kelompok yang mengatakan bahwa asal usul bahasa itu adalah tauqif dari Allah SWT.
Artinya, manusia hanya menerima bahasa langsung dari Allah dan Dia yang
mengajarkannya langsung kepada manusia. Bisa melalui wahyu, ilham, dsb. Sehingga dalam
hal ini, manusia tidak mempunyai sebuah usaha untuk membentuk suatu bahasa di awal
perkembangannya. Pendapat pertama ini diamini oleh banyak Ulama, diantaranya adalah
Ibnu Qudamah sendiri, Abu Hasan Al Asy’ari, Ibnu Hajib dan sebagian ulama dari madzhab
Syafi’iyyah maupun Hanabilah.
2. Kelompok kedua ini merupakan antitesa dari kelompok pertama di atas. Mereka
mengatakan bahwa bahasa itu berasal dari diri manusia sendiri. Artinya, manusia
mempunyai sebuah kemampuan untuk mengembangkan bahasa itu pada awal
perkembangannya. Bisa jadi, dengan adanya saling interaksi antar manusia, bahasa itu
terbentuk dengan sendirinya. Pendapat kedua ini diamini oleh Abu Hasyim dari kalangan
Mu’tazilah.
3. Kelompok ketiga ialah kelompok yang berada di tengah antara dua kelompok di atas.
Menurut kelompok ini, bahasa itu bisa jadi sebagiannya adalah tauqif dari Allah, dan bisa
jadi sebagiannya hasil dari usaha pengembangan manusia sendiri. Pendapat ketiga ini
diutarakan oleh Al Qadhi Abu Ya’la dari kalangan Hanabilah.
Lantas, yang jadi pertanyaan sekarang adalah ‘darimana para ulama itu berpendapat demikian’.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya juga menyebutkan beberapa dalil aqli maupun naqli yang
digunakan oleh para ulama tersebut dalam mengutarakan pendapat mereka. Di antara dalil-dalil
tersebut adalah sebagai berikut:
Lantas, pertanyaan yang perlu kita jawab selanjutnya adalah ‘Sebenarnya apa manfaat
kita mengetahui asal-usul bahasa ini?’ . Ibnu Qudamah dalam karyanya menyebutkan, bahwa
sebenarnya hal ini tidak memiliki sebuah faedah yang signifikan baik dari segi ibadah maupun
akidah. Sehingga, boleh saja anda mengambil pendapat satu, dua atau tiga, karena semuanya
hanya sebuah wacana pemikiran saja. Namun meskipun demikian, masih menurut beliau,
pendapat pertama ialah pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran karena pendapat itu tidak
hanya berlandaskan kepada dalil aqli semata, namun juga dalil naqli sebagaimana yang telah
disebutkan di atas. Begitu juga, menurut sebagian ulama, pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah
itu seakan mengarahkan pembacannya kepada pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-
Qur’an itu adalah makhluk. Mengapa bisa demikian ? karena dengan mengatakan bahwa asal usul
bahasa itu adalah kreasi manusia, maka apa yang Nabi-Nabi sampaikan itu memang maknanya
dari Allah, namun lafalnya itu adalah dari Nabi-Nabi itu sendiri yang merupakan hasil pemikiran
makhluk. Sehingga Al-Quran itu adalah makhluk, bukan Kalam Allah SWT.
Namun bagi sebagian ulama yang lain, ada sebuah faedah yang kita ambil dari perbedaan
pendapat dalam hal ini. Yaitu, hanya menjadi sebuah riyadhatul fikr atau olahraga pemikiran
untuk mengasah otak kita menjadi lebih tajam. Bagi sebagian yang lain, selain ini menjadi
riyadhatul fikr juga mempunyai sebuah konsekwensi fiqih. Yaitu, bolehkan kita merubah suatu
istilah bahasa dalam Islam. Contohnya, ketika kita merubah kata ‘cerai’ dengan ‘cabe’ dan kata
‘cabe’ dengan ‘cerai’. Artinya, ketika ada seorang suami yang berkata ‘kamu itu cabe’ sedangkan
yang ia maksud adalah cerai, boleh atau tidak ? Bagi ulama pertama yang berpendapat bahwa itu
adalah murni tauqif artinya, tidak boleh memutarbalik bahasa seperti itu. Karena hal itu adalah
hak preprogatif Allah. Sehingga perceraian dengan mengatakan ‘kamu itu cabe’ tidak sah secara
syar’I karena keluar dari maknanya yang asli. Sedangkan bagi Abu Hasyim dari Mu’tazilah, hal
itu boleh karena semua itu kembali kepada kreasi manusia. Sehingga perceraian dengan
mengatkan ‘kamu itu cabe’ sah secara syar’I.
Begitulah perdebatan asal usul bahasa ini telah dibahas oleh ulama kita terdahulu.
Tinggal bagaimana kita menyikapinya, maka itu kembali kepada diri kita masing-masing [zabf].