Anda di halaman 1dari 4

Darimana Asal Usul Bahasa ?

Bilal Fahrur Rozie

Mungkin sempat terbesit dalam pikiran kita, darimana asal usul bahasa yang biasa kita
pakai untuk berkomunikasi setiap hari? Tentu untuk menjawab hal itu, diperlukan sebuah
penelitian yang komprehensif dan mendalam. Namun, kita disini tidak untuk memperdalam
penelitian itu. Ulama-ulama kita terdahulu ternyata sudah lama membahasnya secara filosofis
“Darimanakah asal usul bahasa itu?”.Yang perlu kita garis bawahi disini adalah asal mula bahasa
ketika ia diciptakan pada awal penciptaannya.
Sangat banyak sekali ulama yang membahas masalah ini. Terutama bagi mereka yang
berkecimpung dalam dunia Ushul Fiqh dan bahasa. Salah seorang ulama yang membahas
masalah ini adalah Ibnu Qudamah dalam karyanya Raudhatun Nadhir dan Imam Ghazali dalam
karyanya Al Mustashfa.
Ibnu Qudamah mengatakan bahwa, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini menjadi tiga
kelompok :
1. Kelompok yang mengatakan bahwa asal usul bahasa itu adalah tauqif dari Allah SWT.
Artinya, manusia hanya menerima bahasa langsung dari Allah dan Dia yang
mengajarkannya langsung kepada manusia. Bisa melalui wahyu, ilham, dsb. Sehingga dalam
hal ini, manusia tidak mempunyai sebuah usaha untuk membentuk suatu bahasa di awal
perkembangannya. Pendapat pertama ini diamini oleh banyak Ulama, diantaranya adalah
Ibnu Qudamah sendiri, Abu Hasan Al Asy’ari, Ibnu Hajib dan sebagian ulama dari madzhab
Syafi’iyyah maupun Hanabilah.
2. Kelompok kedua ini merupakan antitesa dari kelompok pertama di atas. Mereka
mengatakan bahwa bahasa itu berasal dari diri manusia sendiri. Artinya, manusia
mempunyai sebuah kemampuan untuk mengembangkan bahasa itu pada awal
perkembangannya. Bisa jadi, dengan adanya saling interaksi antar manusia, bahasa itu
terbentuk dengan sendirinya. Pendapat kedua ini diamini oleh Abu Hasyim dari kalangan
Mu’tazilah.
3. Kelompok ketiga ialah kelompok yang berada di tengah antara dua kelompok di atas.
Menurut kelompok ini, bahasa itu bisa jadi sebagiannya adalah tauqif dari Allah, dan bisa
jadi sebagiannya hasil dari usaha pengembangan manusia sendiri. Pendapat ketiga ini
diutarakan oleh Al Qadhi Abu Ya’la dari kalangan Hanabilah.
Lantas, yang jadi pertanyaan sekarang adalah ‘darimana para ulama itu berpendapat demikian’.
Ibnu Qudamah dalam kitabnya juga menyebutkan beberapa dalil aqli maupun naqli yang
digunakan oleh para ulama tersebut dalam mengutarakan pendapat mereka. Di antara dalil-dalil
tersebut adalah sebagai berikut:

Dalil kelompok pertama


Diantara dalil yang mereka jadikan pegangan dalam pendapat mereka adalah sebagai berikut:
1. Allah SWT berkalam,”Dan (Dia) ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya” [Al-
Baqarah:31]. Dalam ayat ini, terdapat dua kata ‘aam yaitu al-asmaa yang dalam bahasa Arab
berbentuk jamak dan kullaha yang menjadi penguat dari keumuman ayat tersebut. Dengan
demikian, yang diajarkan oleh Allah kepada Adam adalah segala nama makhluk yang telah
Allah ciptakan. Bahkan, dalam rangkaian ayat tersebut, Allah menantang malaikat supaya
menyebutkan semua nama makhluk tersebut. Namun, dengan segala kerendahan diri, mereka
tidak mampu menyebutkan nama-nama tersebut. Sehingga, Adam lah yang mengajarkan
kepada mereka nama-nama makhluk tersebut.
Ayat ini dan yang semisalnya, menjadi landasan utama ulama yang mengatakan bahwa asal
mula bahasa adalah murni tauqif dari Allah, manusia hanya sekedar menerimanya dari Allah
semata.
2. Dalam hadits yang berisi syafaat Nabi Muhammad kepada semua manusia disebutkan bahwa
ketika itu, umat manusia berbondong-bondong mendatangi Adam untuk meminta tolong
supaya Nabi Adam mau memintakan syafaat kepada Allah untuk mereka. Para manusia itu
mengatakan,”Engkau adalah orang yang diajarkan segala nama kepadamu.” Bentuk hujjah
dalam hadits ini sama sebagaimana ayat di atas. Hadits ini menunjukan bahwa Allah telah
mengajarkan semua nama ini kepada Adam pada awal mula dia diciptakan. Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa asal usul bahasa ini adalah murni tauqif dari Allah SWT.
3. Kalau benar bahwa asal usul bahasa pertama kali adalah hasil kreasi dan pengembangan
manusia, maka mereka tidak akan bisa saling bertukar pikiran, mengambangkan bahasa atau
saling berinteraksi sebelum adanya sebuah bahasa yang menjadi alat interaksi di antara
mereka. Lantas, dari mana alat interaksi itu ada sebelum dikembangkan oleh manusia?
Jawabannya adalah, bahasa itu telah tertanam dalam diri manusia sejak awal ia diciptakan.
Lantas, siapa yang menciptakan? Jawabannya adalah Allah SWT karena ia adalah Dzat yang
Menciptakan segala sesuatu. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa asal mula bahasa
itu adalah tauqif dari Allah SWT.
Dalil Kelompok Kedua
Adapun dalil kelompok kedua yang diutarakan oleh Abu Hasyim dari kalangan Mu’tazilah adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana bisa seorang Nabi Adam yang diajarkan oleh Allah nama-nama makhluk itu
paham apa yang disampaikan oleh Allah sebelum adanya sebuah bahasa yang bisa dipahami
oleh dua pihak. Dengan demikian, bahasa itu telah lebih ada terlebih dahulu sebelum
diajarkan oleh Allah. Sehingga, asal bahasa pertama kali adalah hasil perkembangan dan
kreasi manusia. Bukan sebuah tauqif dari Allah SWT.
Seakan, melalui dalil ini, mereka ingin membalik logika yang dipakai oleh kelompok pertama.
Namun saying, tidak ada dalil naqli yang penulis dapatkan yang menjadi landasan mereka dalam
mengutarakan pendapat mereka ini.

Dalil Kelompok Ketiga


Kelompok ketiga dalam hal ini ialah pandapat Al Qadhi Abu Ya’la yang mengatakan bahwa bisa
jadi asal usul kalimat itu sebagiannya adalah tauqif dari Allah dan sebagian lagi adalah murni dari
hasil kreasi dan pengembangan manusia. Atau, bukan hanya sebagian, bisa jadi semuanya adalah
tauqif dari Allah dan bisa jadi juga semuanya adalah murni hasil kreasi dan pengembangan
manusia. Dalil mereka adalah ‘jawazu wuqu’ihi aqlan’ semua pendapat itu masuk akal dan dapat
diterima dalam akal sehat kita. Sehingga, ketika anda mengatakan bahwa itu tauqif atau hasil dari
kreasi dan pengembangan manusia silahkan. Semuanya masuk akal dan bisa
dipertanggungjawabkan.

Lantas, pertanyaan yang perlu kita jawab selanjutnya adalah ‘Sebenarnya apa manfaat
kita mengetahui asal-usul bahasa ini?’ . Ibnu Qudamah dalam karyanya menyebutkan, bahwa
sebenarnya hal ini tidak memiliki sebuah faedah yang signifikan baik dari segi ibadah maupun
akidah. Sehingga, boleh saja anda mengambil pendapat satu, dua atau tiga, karena semuanya
hanya sebuah wacana pemikiran saja. Namun meskipun demikian, masih menurut beliau,
pendapat pertama ialah pendapat yang lebih dekat kepada kebenaran karena pendapat itu tidak
hanya berlandaskan kepada dalil aqli semata, namun juga dalil naqli sebagaimana yang telah
disebutkan di atas. Begitu juga, menurut sebagian ulama, pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah
itu seakan mengarahkan pembacannya kepada pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-
Qur’an itu adalah makhluk. Mengapa bisa demikian ? karena dengan mengatakan bahwa asal usul
bahasa itu adalah kreasi manusia, maka apa yang Nabi-Nabi sampaikan itu memang maknanya
dari Allah, namun lafalnya itu adalah dari Nabi-Nabi itu sendiri yang merupakan hasil pemikiran
makhluk. Sehingga Al-Quran itu adalah makhluk, bukan Kalam Allah SWT.
Namun bagi sebagian ulama yang lain, ada sebuah faedah yang kita ambil dari perbedaan
pendapat dalam hal ini. Yaitu, hanya menjadi sebuah riyadhatul fikr atau olahraga pemikiran
untuk mengasah otak kita menjadi lebih tajam. Bagi sebagian yang lain, selain ini menjadi
riyadhatul fikr juga mempunyai sebuah konsekwensi fiqih. Yaitu, bolehkan kita merubah suatu
istilah bahasa dalam Islam. Contohnya, ketika kita merubah kata ‘cerai’ dengan ‘cabe’ dan kata
‘cabe’ dengan ‘cerai’. Artinya, ketika ada seorang suami yang berkata ‘kamu itu cabe’ sedangkan
yang ia maksud adalah cerai, boleh atau tidak ? Bagi ulama pertama yang berpendapat bahwa itu
adalah murni tauqif artinya, tidak boleh memutarbalik bahasa seperti itu. Karena hal itu adalah
hak preprogatif Allah. Sehingga perceraian dengan mengatakan ‘kamu itu cabe’ tidak sah secara
syar’I karena keluar dari maknanya yang asli. Sedangkan bagi Abu Hasyim dari Mu’tazilah, hal
itu boleh karena semua itu kembali kepada kreasi manusia. Sehingga perceraian dengan
mengatkan ‘kamu itu cabe’ sah secara syar’I.
Begitulah perdebatan asal usul bahasa ini telah dibahas oleh ulama kita terdahulu.
Tinggal bagaimana kita menyikapinya, maka itu kembali kepada diri kita masing-masing [zabf].

Anda mungkin juga menyukai