Anda di halaman 1dari 4

Beda Metode Ushul Fiqh, Apakah Beda Hasil?

Bilal Fahrur Rozie

Pada artikel sebelum ini kita sudah membahas tentang apa itu ilmu Ushul Fiqh. Untuk
melihatnya, bisa diklik disini .. Tentu, dalam ilmu apapun itu, pasti akan mengalami
perkambangan, penyesuaian dan penyempurnaan. Termasuk dalam ilmu ushul fiqh ini, sejak
zaman Nabi, wujud dari ushul fiqh ini sudah ada, meskipun belum terbentuk dalam satu
disiplin ilmu tertentu. Hingga masuk zaman shahabat dan Tabi’in, ilmu itu terus berkembang.
Sampai tiba di zaman Imam Syafii Rahimahullah yang telah membukukan ilmu Ushul Fiqh
ini dalam karyanya ‘Ar-Risalah’.
Dalam perkembangan ilmu ushul fiqh, para ulama ushuliyyin setidaknya memiliki 4
metode dalam merumuskan ini. Setiap metode memiliki kekhasan dan caranya sendiri dalam
menentukan suatu hukum. Keempat metode itu ialah :
1. Metode Mutakallimin
2. Metode Hanafiyyah (Fuqoha)
3. Metode Kompromistis antara Mutakallimin dan Hanafiyyah
4. Metode takhrijul furu’ alal ushul
Syekh saya, Dr. Aiman bin Abdillah Al-Husainiy menerangkan bahwa sebenarnya dua
metode terakhir itu bukan sebuah metode baru. Namun, dua metode terakhir itu adalah hasil
didikan dari metode pertama dan kedua. Beliau juga mengatakan bahwa, dua metode terakhir
itu bisa dikatakan lebih dekat kepada metode Mutakallimin. Mengapa demikian ? karena
dalam menyusun kitabnya, ulama yang memakai metode ketiga dan keempat, mengikuti apa
yang sudah dituliskan oleh ulama yang memakai metode pertama. Sehingga, dalam artikel ini,
saya tidak akan membahas dua metode terakhir secara mendalam.

Metode Mutakallimin
Mutakallimin ialah ulama yang banyak membicarakan perihal ushul akidah atau
tauhid. Trus, mengapa koq bisa mereka masuk dalam ilmu ushul fiqh? Karena memang, kitab
yang membahas ushul fiqh dengan metode seperti ini, banyak ditulis oleh ulama madzhab
Mu’tazilah, Asy-Ariyah maupun ulama kalam yang lain. Karena mereka yang paling banyak
berandil besar dalam penyusunan kitab dengan metode ini, maka nama mereka lah yang lebih
dikenal.
Metode mutakallimin ini dalam menentukan suatu kaedah ushul fiqh, lebih
menitikberatkan kepada kaedah ushul fiqh itu sendiri tanpa melihat kepada hukum furu’
fiqhiyyahnya. Artinya, ketika mereka ingin menghasilkan suatu kaedah ushul, tidak melihat
kepada bagaimana hasilnya nanti, namun menurut mereka, hendaknya menentukan kaedahnya
dulu baru kemudian menentukan hukumnya. Meskipun pada dasarnya, kaedah ushul itu
dihasilkan dari membaca dan mengamati suatu dalil. Masih bingung ? Insyallah nanti akan
kita jelaskan pada contoh di bawah.
Kelebihan yang dimiliki oleh metode ini ialah, para ulama yang menggunakan
metode ini tidak banyak terikat dengan madzhab yang dianutnya, bahkan bisa jadi kaedah
yang dihasilkannya berbeda dengan ketetapan hukum yang sudah dihasilkan dalam
madzhabnya. Karena memang menurut mereka, kaedah dulu baru hasilnya. Selain itu, ulama
yang menggunakan metode ini, selain bergantung kepada suatu dalil, mereka juga banyak
menggunakan logika. Mereka pun juga jarang mencantumkan suatu contoh dalam suatu
pembahasan. Kalau pun itu ada, hanya sebagai contoh dalam suatu permasalahan fikih yang
memang perlu diterangkan dengan contoh tersebut.
Ulama yang terkenal menggunakan metode ini ialah Al-Qadhi Abdul Jabbar dan Abul
Husain Al-Bashriy dari Muktazilah, Al-Imam Al-Juwainiy dan Al-Ghazali dari Syafi’iyyah
Asy-Ariyyah. Begitu juga Imam Fakhruddin Ar Razi dan Imam Al-Amidi dari Syafiiyyah.
Kebanyakan ulama yang menganut metode ini pada awalnya memang dari kalangan
Syafi’iyyah, sehingga sebagian ulama akhirnya menyebut metode ini dengan metode
Syafi’iyyah.

Metode Hanafiyyah
Metode Hanafiyyah ini adalah antitesa dari metode sebelumnya. Apabila metode
sebelumnya itu menentukan kaedah dulu baru hukumnya, dalam metode ini ialah menentukan
hukum dulu baru kemudian kaedah yang bisa diambil dari hukum tersebut. Ketika mereka
mendapatkan sebuah kaedah yang tidak sesuai dengan suatu hukum fikih tertentu, maka yang
dirubah ialah kaedahnya. Artinya, kaedah yang mengikuti hukum, bukan hukum yang
mengikuti kaedah.
Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhailiy 1, metode ini kebanyakan dianut oleh ulama
muta’akhir dari kalangan Hanafiyyah. Tujuan mereka ialah untuk memperkuat hujjah apa
yang sudah ditetapkan dalam madzhab mereka. Hal itu karena, banyak hukum fikih dari
madzhab Hanafiyyah yang tidak dibacking dengan suatu kaedah ushul fikh. Dengan
menggunakan metode inilah, mereka bisa memperkuat hasil ketetapan madzhab yang sudah
terlebih dahulu ditetapkan daripada kaedahnya.

1
Majalah Buhuts Ilmiyyah Al Mua’shirah, hlm. 139-154, 12-12-1427
Selain disebut dengan metode Hanafiyyah, metode ini juga disebut dengan metode
fuqoha (ahli fiqih). Hal itu karena metode ini sangat berkaitan erat dengan furu’ fiqhiyya dan
menentukan hukumnya dulu baru kaedahnya.

Contoh Penerapan Kedua Metode


Untuk memperjelas kedua metode di atas, kita akan menerapkannya dalam hukum
berikut : “Kapankah waktu yang digunakan untuk menentukan wajibnya sholat?” atau dalam
bahasa lain bisa disebut,“Sholat ini wajib dilakukan di awal waktu atau bahkan di akhir
waktu?”
Menurut ulama yang menganut metode pertama, sholat itu wajib di awal waktu.
َّ ‫‘ )أَق ِِم الص َََّلةَ ِل ُدلُوكِ ال‬Tegakkanlah sholat
Mengapa demikian? Karena Allah SWT berkalam (‫ش ْم ِس‬
ketika matahari mulai tergenlincir’ . Dalam ayat tersebut, Allah menggunakan kata ad-duluk
atau dalam bahasa Indonesia bisa diterjemahkan dengan tergelincirnya matahari. Ketika kita
sholat dhuhur, maka waktu awal untuk menjalankan sholat dhuhur itu ialah ketika matahari
mulai tergelincir. Sehingga, wajibnya menjalankan sholat itu di awal waktu dhuhur begitu
pula dalam sholat-sholat yang lain. Dari sinilah mereka mengambil kaedah bahwa sholat itu
wajib di awal waktu langsung dari dalil, tanpa melihat kepada hukumnya bagaimana.
Adapun bagi ulama Hanafiyyah, waktu wajibnya sholat itu ialah di akhir waktu.
Mengapa demikian? Karena memang menurut Abu Hanifah, sholat itu waktunya luas
(muwassa’). Dan ketika kita berada di awal waktu, Allah masih memberikan kita waktu
hingga akhir sholat itu datang. Ketika waktu akhir sholat udah datang, maka wajiblah
hukumnya untuk menjalankan sholat tersebut. Dari pernyataan Abu Hanifah itulah, ulama
yang menggunakan metode ini mengutarakan sebuah kaedah bahwa ‘sholat itu wajib di akhir
waktu’. Artinya, hukumnya dulu baru kaedah.
Jadi, apabila kita ingin menjawab pertanyaan pada judul di atas, maka jawabnya ialah
‘iya, dengan beda metode tentu membedakan hasil’. Namun menurut Dr. Wahbah Az-
Zuhailiy, perbedaan itu wajar. Namun yang terpenting ialah, kedua metode itu sudah sangat
membantu kita dalam menentukan suatu hukum dalam suatu permasalahan. Baik itu kaedah
dulu baru hukumnya, atau hukum dulu baru kaedah tidak masalah. Yang terpenting ialah,
hukum fikih dalam syariat Islam tetap bisa berkembang dan bisa menjawab semua
permasalahan dalam hukum Islam. 2

Ushul Fiqh dalam Konteks Keindonesiaan


Dalam konteks keindonesiaan, Ushul Fiqh bisa menjadi solusi dalam memecahkan
suatu permasalahan umat, baik yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah. Karena
memang tidak bisa dipungkiri bahwa Indonesia merupakan Negara Muslim terbesar di dunia.

2
Majalah Buhuts Ilmiyyah Al Mua’shirah, hlm. 139-154, 12-12-1427
Dengan besarnya jumlah, tentu masalah yang dihadapi juga semakin rumit. Namun, insyallah
itu semua bisa diselesaikan dengan ilmu Ushul Fiqh ini. Kita tentunya sangat mengapresiasi
kiprah ulama-ulama Indonesia kita yang sudah banyak memberikan solusi melalui badan
fatwa masing-masing. MUI mempunyai Majelis Fatwa sendiri, Muhammadiyah mempunyai
Majelis Tarjih sendiri, NU mempunyai Bahtsul Masa’il sendiri untuk menentukan suatu
hukum, dan masih banyak lagi ulama kita yang lain. Namun, sekarang yang perlu dipikirkan
ialah, apabila ulama-ulama kita yang lurus itu sudah tiada, kemudian akan diganti oleh
pemuda yang tanpa pembekalan ilmu yang baik dalam menentukan suatu hukum syar’I, bisa
jadi Islam di Indonesia akan banyak menyimpang dari khittah yang sudah digariskan oleh
ulama-ulama kita terdahulu. Oleh karena itu, pentingnya bagi kita untuk mempelajari ilmu ini,
sehingga dengannya kita bisa membekali dan mencerdaskan umat serta bisa membentengi
umat dari pemikiran-pemikiran yang melenceng dari syariat.
Sebagai closing statement, kayaknya saya perlu mencantumkan pernyataan salah satu
temen saya, Muhammad Zuhair,”Yang paling penting sekarang ialah belajar bagaimana
caranya belajar.” Betul juga memang kata dia, perkembangan zaman tidak bisa dibendung,
permasalahan juga akan terus ada. Kalau kita hanya berpegang pada hasil, tanpa mengetahui
bagaimana cara menghasilkannya, kemungkinan kita akan stagnan pada fase itu saja. Maka
disitulah perlunya kita belajar ilmu alat, supaya kita bisa belajar bagaimana cara
menghasilkan sesuatu, salah satunya ialah dengan ilmu Ushul Fiqh ini. [bfr]

Anda mungkin juga menyukai