Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Ahkam Dan Mahkum Bih


Disusun untuk memenuhi salah satu tugas pada mata kuliah Ilmu Fiqih

Dosen Pembimbing : Sofian S.P.D.I ,M.P.D.I

Disusun oleh :

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (STAI)


BAITUL ARQOM AL ISLAMI
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah swt, karena atas limpahan rahmatnya
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu tanpa ada halangan yang berarti
dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada bapak (Sofian S.Pd.i,M.Pd) sebagai
dosen pengampu mata kuliah (ilmu fiqh) yang telah membantu memberikan arahan dan
pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan saya. Maka dari itu penyusun sangat mengharapkan kritik dan saran
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa yang ditulis dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membutuhkan.

Bandung, 19 Oktober 2022


DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………................……………....…. i
Daftar Isi………………………………………………………………............... ii
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………….... 1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………… 1
1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………………. 2
BAB II
Pembahasan
2.1 Pengertian Identitas Nasional………………………………………………….. 3
2.2 Faktor Pembentuk Identitas Nasional………………………………………….. 4
2.3 Sifat Identitas Nasional………………………………………………………… 6
2.4 Hubungan Antara Identitas Nasional Dengan Karakter Bangsa………………..
7
2.5 Proses Berbangsa dan Bernegara Sebagai Identitas Nasional………………....10
2.6 Pengertian Politik Identitas……………………………………………….……23
BAB III
Kesimpulan dan Saran
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………..28
3.2 Saran………………………………………………………………………....29
DAFTAR PUSTAK
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Fiqih merupakan sebuah cabang ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah,logis dan memiliki obyek dan
kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf yang lebih merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga bukan
seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan ritual-ritual.Pembekalan materi yang baik dalam lingkup
sekolah, akan membentuk pribadi yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki budi pekerti yang luhur.
Sehingga memudahkan peserta didik dalam mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi di
zaman modern sekarang semakin banyak masalah-masalah muncul yang membutuhkan kajian fiqih dan
syari’at. Oleh karena itu, peserta didik membutuhkan dasar ilmu dan hukum Islam untuk menanggapi
permasalahan di masyarakat sekitar.

Tujuan pembelajaran Fiqih adalah untuk membekali peserta didik agar dapat mengetahui dan
memahami pokok-pokok hukum Islam secara terperinci dan menyeluruh, baik berupa dalil naqli dan dalil aqli
melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar. Fiqih merupakan sebuah cabang
ilmu, yang tentunya bersifat ilmiyah,logis dan memiliki obyek dan kaidah tertentu. Fiqih tidak seperti tasawuf
yang lebih merupakan gerakan hati dan perasaan. Juga bukan seperti tarekat yang merupakan pelaksanaan
ritual-ritual.

Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah
diatur oleh Alloh.Dia-lah sang pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang
berkait dengan hukum taklifi (seperti:wajib,sunnah,haram,makruh,mubah,maupun yang terkait)
dengan hukum wad’I (seperti:sebab,syarat,halangan,sah,batal,fazid,azimah dan rukhsoh).untuk
menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih,karena didalam
peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram.atau lebih mudahnya adalah
perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih,sedangkan
seseorang yang di kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf).

 Ushul fiqh merupakan ilmu yang secara garis besar mengkaji cara-cara menginstinbath
(menggali hukum). Walaupun ushul fiqh muncul setelah fiqh, tetapi secara teknis, terlebih dahulu
para ulama menggunakan ushul fiqh untuk menghasilkan fiqh. Dengan demikian, sebelum
seseorang mengkaji materi fiqh, hendaknya ia telah megkaji ushul fiqh terlebih dahulu, sehingga
dapat mengetahui alasan-alasan ulama menetapkan suatu hukum fiqh, dan tujuan mempelajari
ushul fiqh ini tercapai, yaitu terhindar dari sifat taqlid atau sifat ikut-ikutan karena buta terhadap
dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Bisa digambarkan jika seseorang yang mengkaji fiqh tanpa usul fiqh
adalah seperti orang yang membaca teks berbahasa arab tanpa mengetahui kaidah-kaidah nahwu
sharaf dalam bahasa Arab. Maka dari itu ilmu ushul fiqh ini sangat penting dan erat hubungannya
dengan fiqh.  Seperti yang kita ketahui bahwa didalam kajian ushul fiqh terdapat sumber-sumber
hukum islam yang mencakup sumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, maupun Al-Ra’yu (ijtihad). Serta
didalam Hukum syara’ terdapat berbagai aspek yaitu Hakim, Mahkum fiih, dan Mahkum ‘Alaih.
BAB II

PEMBAHASAN MATERI

A. Pengertian AL-Ahkam

Menurut para ahli Ushul Fiqih (Ushuliyyun), yang dimaksud dengan hukum syar’i ialah Khithab
pencipta syari’at yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan orang mukallaf, yang mengandung
suatu tuntutan, atau pilihan yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau pengahalang bagi
adanya sesuatu yang lain.

Hukum syar’i dikategorikan menjadi dua jenis yaitu:

1. Hukum taklifi 

Hukum taklifi adalah khithab syar’i yang mengandung tuntutan untuk dikerjakan oleh para
mukallaf atau untuk ditinggalkannya atau yang mengandung pilihan antara dikerjakan dan
ditinggalkannya.

Hukum taklifi ada lima macam, yaitu : 

a. Wajib, Yaitu suatu perbuatan apabila perbuatan itu dikerjakan oleh seseorang maka akan
mendapat pahala, dan apabila perbuatan itu ditinggalkan akan mendapat siksa.

b. Mandub atau sunnat, Yaitu perbuatan yang apabilan perbuatan itu dikerjakan, maka orang yang
mengerjakannya mendapat pahala dan apabila ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya
tidak mendapat siksa.

c. Haram, Yaitu perbuatan yang apabila ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya akan
mendapat pahala, dan apabila perbuatan itu dikerjakan mendapat siksa.
d. Makruh, Yaitu perbuatan yang apabila perbuatan itu ditinggalkan, maka orang yang
meninggalkannya akan mendapat pahala dan apabila dikerjakan, maka orang yang mengerjakannya
tidak mendapat siksa.

e. Mubah, Yaitu suatu perbuatan yang bila dikerjakan, orang yang mengerjakan tidak mendapat
pahala, dan bila ditinggalkan tidak mendapat siksa.

2. Hukum wadh’i

Hukum wadh’i ialah khithab syara’ yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu
itu adalah sebagai sebab, syarat atau penghalang sesuatu.

a. Sebab yaitu sesuatu yang dijadikan pokok pangkal bagi adanya musabbab (hukum). 

Artinya dengan adanya sebab terwujudlah musabbab (hukum) dan dengan tiadanya sebab,
tidak terwujudlah suatu musabbab (hukum). Oleh karena itu, sebabnya haruslah jelas lagi tertentu
dan dialah yang dijadikan oleh Syari’ sebagai ‘illat atas suatu hukum.

b. Syarat Yaitu sesuatu yang tergantung kepada adanya masyrut dan dengan tidak
adanya, maka tidak ada masyrut. 

Dengan arti bahwa syarat itu tidak masuk hakikat masyrut. Oleh karena itu, tidak mesti
dengan adanya syarat itu ada masyrut.

c. Mani’ (Penghalang). 

Yaitu sesuatu yang karena adanya tidak ada hukum atau membatalkan sebab hokum

B. Pengertian Mahkum Fiih

Menurut Usuliyyin,yang dimaksud dengan Mahkum fih adalah obyek hukum,yaitu perbuatan
seorang mukalllaf yang terkait dengan perintah syari’(Alloh dan Rosul-Nya), baik yang bersifat
tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; tuntutan memilih suatu pekerjaan. Para ulama pun
sepakat bahwa seluruh perintah syari’ itu ada objeknya yaitu perbuatan mukallaf dan terhadap
perbuatan mukallaf tersebut ditetapkannya suatu hukum:
Contoh:

1.Firman Alloh dalam surat al baqoroh:43

‫( و اقيمو االصالة) البقرة‬

Artinya:”Dirikanlah Sholat”

Ayat ini menunjukkan perbuatan seorang mukallaf,yakni tuntutan mengerjakan sholat,atau kewajiban
mendirikan sholat.

2.Firman Alloh dalam surat al an’am:151

‫( والتقتلواالنفس االتي حر م اهللا اال باالحق) االنعا م‬

Artinya:”Jangan kamu membunuh jiwa yang telah di haramkan oleh Alloh melainkan dengan
sesuatu (sebab)yang benar”

Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan mukallaf,yaitu larangan
melakukan pembunuhan tanpa hak itu hukumnya haram.

3.Firman Alloh dalam surat Al-maidah:5-6

6-5 ‫اذاقمتم الى الصالة فا غسلوا وجو هكو و ايد يكم الى المرا فق الما ئد ه‬

Artinya:”Apabila kamu hendak melakukan sholat,maka basuhlah mukamu dan tangan mu sampai
siku siku”

Dari Ayat diatas dapat diketahui bahwa wudlu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf,yaitu
salah satu syarat sahnya sholat.

Dengan beberapa contoh diatas,dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf.

Syarat –syarat mahkum fih

a.         Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang akan di lakukan.sehingga tujuan dapat tangkap
dengan jelas dan dapat dilaksanakan.Maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk
melaksanakan sebelum dia tahu persis.
Contoh:Dalam Al qur’an perintah Sholat yaitu dalam ayat “Dirikan Sholat” perintah tersebut masih
global,Maka Rosululloh menjelaskannya sekaligus memberi contoh sabagaimana
sabdanya”sholatlah sebagaimana aku sholat”begitu pula perintah perintah syara’ yang lain seperti
zakat, puasa dan sebagainya.tuntutan untuk melaksanakannya di anggap tidak sah sebelum di ketahui
syarat, rukun, waktu dan sebagainya.

b.         .Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui  bahwa tuntutan itu
dari Alloh SWT.Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan
perintah  Alloh semata.berarti tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum
adanya suatu peraturan yang jelas.hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan sesuai
tuntutan syara’.

c.         Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan,berkait dengan hal ini
terdapat dengan beberapa syatat yaitu:

1.         tidak syah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan.

2.         tidak syah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang di taklifkan untuk dan atas nama
orang lain.

3.         tidak sah suatu tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah
manusia.

4.         tercapaianya syarat taklif tersebut, seperti iman dalam masalah ibadah,suci dalam masalah
sholat.

Al masyaqqoh (halangan)

Perlu diketahui bahwa salah satu syarat tuntutan harus bisa dilakukan, tidak terlepas dari itu
dalam melaksanakannya pasti ada ada suatu kesulitan. untuk itu akan kami jelaskan yang dimaksud
adalah masyaqqoh (halangan)  serta pembagiannya

Masyaqqoh itu ada dua macam yaitu:

1. Masyaqqoh mu’tadah

Yaitu kesulitan yang mampu diatasi oleh manusia tanpa menimbulkan bahaya bagi dirinya
kesulitan seperti ini tidak bisa di jadikan alasan untuk tidak mengerjakan taklif, karena setiap
perbuatan itu tidak mungkin terlepas dari kesulitan. contohnya: Diwajibkannya adanya sholat ini
bukan bermaksud agar badan capek atau bagaimana, akan tetapi untuk melatih dirinya diantaranya
bisa mencegah perbuatan keji dan mungkar

2          Masyaqqoh goiru mu’tadah

Yaitu suatu kesulitan/kesusahan yang diluar kekuasaan manusia dalam mengatasinya dan
akan merusak jiwanya bila di paksakan. Alloh tidak menuntut manusia untuk melakukan perbuatan
yang menyebabkan kesusahan, seperti puasa yang terus menerus sehingga mewajibkan selalu bangun
malam untuk sahur.

‫ير يد هللا بكم اليسر و ال ير يد بكم العسر البقره‬

Artinya: Alloh menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu (al
baqoroh 185)

Macam macam mahkum bih

Dilihat dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu maka mahkum fih di bagi menjadi empat
macam:

1. Semata mata hak Alloh,yaitu sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan.dalam hak


ini seseorang tidak di benarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang
mengganggu hak ini.hak ini semata mata hak Alloh, dalam hal ini ada delapan macam:

a.  Ibadah mahdhoh (murni) seperti iman dan rukun iman yang lima
b.  Ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan,seperti:zakat
fitrah,karena si syaratkan niat dalam zakat fitrah
c.  Bantuan/santunan yang mengandung ma’na ibadah seperti: zakat yang dikeluarkan dari
bumi
d.  Biaya/santunan yang mengandung makna hukuman,seperti: khoroj (pajak bumi) yang di
anggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e.   Hukuman secara sempurna dalam berbagai tindak pidana sperti hukuman orang yang
berbuat zina
f.    Hukuman yang tidak sempurna seperti seseorang tidak diberi hak waris,karena
membunuh pemilik harta tersebut.
g.   Hukuman yang mengandung makna ibadah seperti:kafarat orang yang melakukan
senggama disiang hari pada bulan ramadhan
h   Hak hak yang harus di bayarkan,seperti: kewajiban mengeluarkan seperlima harta
tependam dan harta rampasan.

2.  Hak hamba yang berkait dengan kepentingan pribadi seseorang seperti ganti rugi harta seseorang
yang di rusak.
3.  Kompromi antara hak Alloh dengan hak hamba,tetapi  hak alloh didalamnya lebih
dominan,seperti hukuman untuk tindak pidana.

4.  Kompromi antara hak Alloh dan hak hamba,tetapi hak hamba lebih dominan,seperti masalah
qishos.

C. Mahkum ‘Alaih

a. Pengertian mahkum alaih

Menurut ushuliyyin yang di maksud mahkum alaih secara bahasa adalah seseorang yang
perbuatannya dikenai khitob Alloh SWT yaitu yang di sebut mukallaf.dalam arti bahasa yaitu yang di
bebani hukum, sedangkan dalam istilah ushul fiqih mukallaf sering di sebut subjek hukum.

b. Dasar Taklif

Orang yang dikenai taklif adalah mereka yang sudah di anggap mampu untuk mengerjakan
tindakan hukum atau dalam kata lain seseorang bisa di bebani hukum apabila ia berakal dan dapat
memahami secara baik taklif. Maka orang yang belum  berakal di anggap tidak bisa memahami taklif
dari syari’(Allod dan Rosulnya) sebagai sabda nabi:

‫ا ئى‬oo‫ر فع القلم عن ثال ث عن النا ئم حتى يستيقظ و عن الصبي حتى يحتلم و عن المجنون حتى يفق(رواه البخا رى والتر مذى والنس‬
)‫وابن ما جه والدارقطنى عن عا ئثه وابى طا لب‬

Artinya: Di anggat pembebanan hukum dari 3(jenis orang) orang tidur sampai ia bangun,anak kecil
sampai baligh,dan orang gila sampai sembuh.(HR.Bukhori.Tirmdzi,nasai.ibnu majah dan darut
Quthni dari Aisyah dan Aly ibnu Abi Thalib)
c. Syarat syarat taklif

Syarat taklif ada 2 yaitu:

1. Orang itu telah mampu memahami khitob syar’i(tuntutan syara’) yang terkandung dalam Al qur’an
dan sunnah baik langsung maupun melalui orang lain. Kemampuan untuk memahami taklif ini
melalui akal manusia, akan tetapi sesuatu yang abstrak dan sulit di ukur, indikasi yang kongkrit
dalam menentukan seseorang berakal atau belum, indikasi kongkrit itu adalah balighnya seseorang
yaitu dengan di tandai dengan keluarnya haid pertama kali bagi wanita dan keluarnya mani bagi pria
melalui mimpi yang pertama kali atau sempurnanya umur lima belas tahun.

2. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum,atau dalam ushul fiqh di sebut Ahliyyah,
maka seseorang yang belum mampu bertindak hukum atau belum balighnya seseorang tidak
dikenakan tuntutan syara’.begitu pula orang gila, karena kecakapan bertindak hukumnya hilang.

Pengertian Ahliyyah

Secara harfiyyah ahliyyah adalah kecakapan menangani sesuatu urusan.

Adapun Ahliyyah secara terminologi adalah suatu sifat yang di miliki seseorang yang dijadikan
ukuran oleh syari’untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai tuntutan syara’

Pembagian ahliyyah

1. Ahliyyah ada’

Yaitu kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk
mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif.ukuran
untuk menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah ada’adalah aqil baligh dan cerdas

2. Ahliyyah Al-wajib

Yaitu sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak- hak yang menjadi haknya, tetapi belum
mampu untuk di bebani seluruh kewajiban.

Para usuliyyin membagi ahliyyah al wujub ada 2 bagian:

1.  Ahliyyah al wujub an-naqishoh.


Yaitu anak yang masih berada dalam kandungan ibunya (janin), janin inilah sudah dianggap
mempunyai ahliyyah wujub akan tetapi belum sempurna.

2.  Ahliyyah al wujub al kamilah

Yaitu kecakapan menerima hak bagi seseorang anak yang telah lahir ke dunia sampai
dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila.

Halangan ahliyyah

Dalam pembahasan awal bahwa seseorang dalam bertindak hukum di lihat dari segi akal,tetapi
yang namanya akal kadang berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak
hukum, seseorang kecakapannya bisa berubah karena di sebabkan oleh hal hal berikut:

1. Awaridh samawiyyah yaitu halangan yang datangnya dari Alloh bukan di sebabkan oleh
manusia seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa

2. Al awaridh al muktasabah yaitu halangan yang disebabkan oleh perbuatan manusia seperti
mabuk, terpaksa, bersalah, dibawah pengampunan dan bodoh.

D. Pengertian Al-Hakim

Kata “Hakima” secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Dalam istilah fiqh,
hakim merupakan orang yang memutuskan hukum dipengadilan yang sama maknanya dengan qadhi.
Dalam kajian ushul fiqh, hakim juga berarti pihak penentu dan pembuat hukum syariat secara hakiki.
Ulama ushul sepakat bahwa yang menjadi pembuat hukum hakiki dari hukum syariat adalah Allah,
sebagaimana firman-Nya:

Artinya:“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia
pemberi keputusan yang paling baik”.(QS. Al-An’am: 57)
Dan menurut mereka juga, bahwa yang menetapkan hukum (Al-hakim) itu ialah Allah SWT.
Sedangkan yang memberitahukan hukum-hukum Allah ialah para rasulNya. Beliau-beliau inilah
yang menyampaikan hukum-hukum Tuhan kepada ummat manusia. Tidak ada perselisihan pendapat
ulama syara’ itulah yang menjadi hakim sesudah Rosul dibangkit dan sesudah sampai seruannya
kepada yang dituju. Yang diperselisihkan ialah tentang siapakah yang menjadi hakim terhadap
perbuatan mukallaf sebelum rasul dibangkit.

Dalam hal ini, terdapat pendapat dari dua golongan. Pertama, Golongan Mu’tazillah
berpendapat, bahwa sebelum rasul dibangkit, akal manusia itulah yang menjadi hakim, karena akal
manusia dapat mengetahui baik atau buruknya sesuatu perbuatan karena hakikatnya atau karena
sifatnya. Oleh kerena itu mukallaf wajib mengerjakan apa yang dipandang baik oleh akal dan
meninggalkan apa yang dipandang buruk oleh akal. Kedua, Golongan Asy’ariyah berpendapat,
bahwa sebelum datang syara’ tidak diberi sesuatu hukum kepada perbuatan-perbuatan mukallaf.
Golongan Mu’tazilah dan Asy’ariyah sependapat bahwa akal dapat mengetahui mana yang baik dan
mana yang buruk, yakni yang bersesuaian tabi’at: dipandang baik oleh akal yang tidak bersesuaian
dengan tabi’at dipandang buruk oleh akal.

Titik perselisihan antara golongan Mu’tazilah dengan golongan Asy’ariyah ialah tentang
apakah perbuatan itu menjadi tempat adanya pahala atau siksa, tergantung pada perbuatan, walaupun
syara’ belum menerangkannya, sedang golongan jumhur berpendapat, bahwa tidak disiksa dan tidak
diberi pahala manusia sebelum datang syara’, kendati akal bisa mengetahui baik buruknya sesuatu
perbuatan.
III. SIMPULAN

Semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara` dinamakan dengan Mahkum
Fiih. Akan tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat dijadikan objek hukum.
Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf mengalami kesulitan-kesulitan (masyaqqah).
Ada yang mampu diatasi manusia seperti : sholat, puasa dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa
berat, tapi masih bisa dilakukan oleh mukallaf.

Ada kesulitan yang tidak wajar yang munusia tidak sanggup melakukannya seperti puasa
terus menerus dan mewajibkan untuk bangun malam, atau suatu pekerjaan sangat berat seperti
perang fi- sabilillah, karena hal ini memerlukan pengorbanan jiwa, harta dan sebagainya. Mukallaf
yang telah mampu  mengetahui khitob syar’i(tuntutan syara’) maka sudah di kenakan taklif. Semoga
bermanfaat. wallohu a’lam bissowab.
DAFTAR PUSTAKA

1. Https://sinar5news.cm/mengenal al-ahkam dan al-hakim


2. Https://elmisbah.wordpress.com/mahkum-fiih dan mahkumi’alaih/
3. Ishak abdulhak, Fikih ibadah(Bandung, Remaja Rosdakarya, 2010), hal.64

Anda mungkin juga menyukai