Anda di halaman 1dari 4

Kaedah amaliah tsanawiyah (baraah) meliputi ragu terhdp wajib dan tidak wajib, wajib atau haram,

karena nash di atas itu mutlak (jangan ikuti apa yang tidak kamu ketahui). Keraguan terhadap wajib
atau tidak disebut syubhah wujubiah, dan ragu atas haram atau tidak disebut syubhah tahrimiyah.

Begitupula kaedah tsanawiyah juga meliputi keraguan apapun sebabnya, tetap kita berpegang pada
baraah syari’ah Ketika ragu atas adanya kewajiban atau keharaman, baik keraguan itu disebabkan
dari belum adanya kejelasan dari penetapan hukum atau tidak mengetahui apakah objeknya sudah
terpenuhi atau tidak, (ini semua meliputi ushul baraah).

Dan contoh yang pertama: kita meragukan dalam wajibnya shalat ID atau tidak disebut dengan
syubhah hukmiyah.

Dan contoh kedua: kita ragu terhadap apakah kita sudah wajib haji atau tidak yakni mampu atau
tidak, setelah mengetahui syaari’ muqaddas menetapkan wajibnya berhaji bagi yang mampu ini
disebut syubhah mauduiyah.

Dan jika engkau hendak berkata: mukallif ragu tentang hukum dan ragu atas mauduiyah maka
Kedua-keduanya berlaku albaraah syar’an.

Kaedah berlakunya ilmu ijmali

Pendahuluan
Hal: 147

Dan ilmu itu adalah hujjah akal pada semua kondisi, baik ilmu ijmali maupun tafsili.

Pandangan ushuli yang masyhur (berlaku) itu bukan hanya pengetahuan jadi hujjah, bahkan tidak
mungkin kita pisahkan kehujjahan ilmu tadi dan juga as Syari’ menyuruh kita meninggalkan
keduanya secara bersamaan. Sebagaimana halnya Assyari’ tidak bisa memisahkan kehujjahan dari
ilmu tafsili. Yng dibahas pda pembahasan alQatha’ dari sumber syari’.

Dan Adapun setiap dari dua sisi ilmu ijmali yakni wajibnya shalat dzhuhur dan wajibnya shalat jumat,
maka ini adalah kewajiban yang diragukan dan tidak diketahui.
Kadang2 ketika kita melihat permasalah di atas, mungkin orang menyangka bahwa ini bisa berlaku
kaedah tsanawiyah (bara’ah), karena kalau kita melihat kedua sisinya kita ragu dari keduanya yang
mana yang dilaksanakan, pendapat yang berlaku dalam ilmu ushul bahwa tidak memungkinkan
kaedah amali tsanawiyah itu digunakan dalam ilmu ijmali. Dalilnya bahwa jika diberlakukan kaedah
tsanawiyah maka tidak wajib dikerjakan shalat dhuhur dan jumat, dan ini akan terbebas dari
kewajiban, artinya boleh meninggalkan kedua-duanya, dan ini bertentangan dengan hujjiah al Qathi’
bahwa ada kewajiban dari salah satu dua sisi tersebut, karena hujjiah qat’i mewajibkan kita untuk
melaksanakan salah satu dari keduanya. Walau syari’ almuqaddas membolehkan untuk albaraah dari
kedua sisi tersebut, itu menunjukkan bahwa syari’ muqaddas membolehkan utk tidak melaksanakan
apa yang tidak diketahui, berarti dibolehkan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan
keyakinan kita dan ini adalah mustahil sebagaimana yang telah dijelaskan.

Bagaimana kalau kaedah memberlakukan salah satunya saja, misalnya hanya shalat dhuhur sja,
meskipun ini tdk meninggalkan kedua-duanya tetapi tidak mungkin juga, (karena butuh alasan
memilih dari salah satunya) yakni tarjihi minal mutarajjih. Antara dua sisi itu yang menggunakan
kaedah albaraah bagaimana bisa memilihnya atau mendahulukan atas yang lain, itu tidak akan
memiliki pembenaran baik akal atau syariat, karena hubungan kaedah

Kapan ilmu ijmali menjaid tafsili

Apabila engkau menemukan dua gelas air, dan salah satu dari keduanya najis, maka bisa saja
keduanya najis atau salah satunya najis, dan akan tetapi kita mengetahui bahwa keduanya itu tidak
suci, maka disini kita punya ilmu ijmali bahwa salah satunya najis tanpa diketahui yang mana. Dan
setelh itu berhasil mengetahui yang mana najis dari keduanya, maka ilmu ijmali ini akan dengan
sendirinya akan hilang, karena sudah memiliki ilmu tafsili.

Karena setelh diketahui salah satunya najis maka kita tidak lagi mengetahui dgn ilmu ijmali tapi dgn
ilmu tafsili, bagaimana dengan gelas yang lain? Apakah najis juga atau tidak? dalam kasus ini utk
membuktikan ilmu ijmali menggunakan ini atau ini, tapi di sini tidk lagi berlaku, karena gelas satunya
sudah dibuktikan, sedangkan yang lain tidak diketahui najis atau tidak. Dan ini disebut dengan
perubahan ilmu ijmali menjadi tafsili. Sementara gelas yang lain adalah syak albadawi. Karena
kenajisan gelas yg satu sudah diketahui secara terperinci, kemudian sisi yang lain menjadi sesuatu
yang diragukan dengan syak alibtida’I setelah hilangnya ilmu ijmali, dan gelas yang satu berlaku
sedangkan gelas yang lain berlaku ashalatul baraah (kaedah amali tsanawiyah).

Kondisi ragu (syak ibtida’I atau syak disebabkan ilmu ijmali):

Terkadang dalam keraguan ini tidak diketahui,

Apabila dalam syariat ada beberapa amalan2, dan amalan itu ada setelah adanya amalan terlebih
dahulu yang punya komponen, seperti shalat, dan kita mengetahui bahwa shalat itu meliputi 9
bagian-bagian dan kita ragu ada bagian ke 10 apakah termasuk bagian shalat atau tidak, dan tidak
ditemukan dalil yang menetapkan bagian ke 10 itu adalah bagian dari shalat dan tidak ada juga yang
menafikan. Maka kondisi ini seorang faqih harus menetapkan sikap praktis apakah mukallaf itu harus
ikhtiyat (kaedah awwaliyah) yakni mengerjakan yang ke-10, supaya betul-betul melaksanakan apa
yang diwajibkan. Atau harus mengerjakan yang 9 saja yang sudah dipastikan termasuk bagian shalat.
Dan tidak mengerjakan bagian ke 10 karena tidak diketahui,.
Ada dua jawaban dari ahli ushul: ini merupakan bentuk penjelasan bagian sikap kita,

Salah satu pendapat bahwa wajib untuk ikhtiyat (mengerjakan yang ke-10) sebagai bentuk
penerapan dari bentuk kaedah al amaliyah awwaliyah, karena keraguan dari ke 10 ini diiringi dari
ilmu mukallaf ttg ijmali dan mengetahui bahwa shalat wajib dan memiliki rukun2. Dan di sini
mukallaf tdk mengetahui apakah terdiri dari 9 bagian atau 10. Dan dari 9 tadi ditambah 1.

Pendapat yang lain menerapkan pada bagian yang ke-10 dengan kaedah amaiah tsanawiyah
(baraah) karena menganggap yg ke-10 tadi adalah syak ibtida’i bukan ilmu ijmali. Karena ilmu ijmali
yang disangka oleh yang pertama sehingga menggunakan ihtiyat, dan ilmu ijmali itu sudah munhal
(berubah ke tafsili) karena yang ke-9 adalah rukun, dan yang diragukan adalah hanya ke-10
(sementara ijmali adalah dua sisi yang diragukan), apakah itu bagian ke-10 ada atau tidak,
dimasukkan atau tidak, yang jelas semua 9 bagian itu sudah jelas abgian dari shalat. Maka adanya
ilmu tafsili ini menyebabkan berubahnya ilmu ijmali. Di sini juga tidak bisa lagi menggunakan kata
yang menggambarkan ilmu ijmali yakni kata imma wa imma. Kita tidak bisa mengatakan bahwa
apakah yang diwajibkan itu 9 atau 10 rukun. Karena sudah diketahui bahwa yang ke-9 itu sudah
rukun. Sedangkan yang diragukan adalah bagian ke-10. Sehingga keraguan terhadap yang ke-10
menjadi syak ibtida’i. maka di sini berlaku ashalatul baraah.

Yang benar adalah yang berpandangan ashalatul baraah, karena bagian yang diragukan adalah ke-
10, yakni apakah masuk wajib (rukun) atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai