Anda di halaman 1dari 13

TAKLID DAN IJTIHAD

Pertemuan ke-5
• QS. al-A’raf[7]: 158
• QS. an-Nisa’ [4]: 174
• QS. an-Nisa’[4]: 170
• QS. al-Hajj [22]:1
• QS. an-Nisa’[4]:1
• QS. At-Taubah [9]: 123
• QS. An-Nisa’ [4]: 43
• QS. An-Nisa[4]: 94
• QS. An-Nisa’ [4]: 135
• Ayat-ayat di atas harus diimani dan diamalkan.
• Pada dasarnya Allah menyeru kepada setiap mukallaf. Sehingga mukallaf wajib
memahami seruan Allah sehingga bisa melaksanakannya. Pada asalnya mukallaf wajib
melakukan istinbath terhadap hukum Allah ( menggali hukum Allah)
• Hanya saja kemampuan pemahaman daya pikir setiap mukallaf tidaklah sama,
sehingga berbeda-beda dalam memahami ayat Al-Qur’an.
• Para mukallaf berbeda-beda juga dalam memahami berbagai macam ilmu yang
berkaitan dengan Al-Qur’an. Tingkat kecerdasannya juga berbeda-beda. Sehingga ada
saja orang yang terkendala memahami hukum Allah
• Karena kondisi mukallaf tidak semua bisa memahami hukum Allah, maka menggali
hukum Allah (Ijtihad) hukumnya fardhu kifayah bukan fardhu ‘Ain
• Maka akan ada orang yang bisa berijtihad (menggali hukum Allah sehingga berhasil
mendapatkan kesimpulan status hukum suatu perbuatan atau benda), dan ada juga
orang yang tidak bisa berijtihad.
• Orang yang tidak bisa berijtihad, maka dia akan mengikuti (taklid) pendapat orang lain
atau ulama atau mujtahid.
• Ijtihad adalah upaya pengerahan segala usaha dalam memperoleh
suatu hukum atau beberapa hukum syara yang bersifat zhanni sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki sehingga ia merasa tidak sanggup
lagi mencapai hal-hal yang lebih dari dalam usahanya.
• Taklid adalah mengikuti atau mengambil suatu hukum atau beberapa
hukum dari orang lain
• Orang yang melakukan Ijtihad = MUJTAHID
• Orang yng mengikuti atau mengambil hukum dari orang lain =
MUQOLLID
• Jadi siapa saja yang bertanya kepada mujtahid tentang hukum syara sebuah masalah maka dia
adalah muqallid.
• Baik muqollid itu bertanya untuk mengetahui dan menjalankannya atau untuk mengetahui dan
memberitahukannya kepada orang lain atau sekedar untuk mengetahui saja.
• Dianggap sebagai muqallid orang yang bertanya kepada seseorang yang bukan mujtahid namun
seseorang tsb mengetahui hukum syara dan mampu mengutarakannya kepada orang lain baik
orang yang ditanya itu orang yang alim atau orang yang awam. Mereka semua adalah muqallid
lighairihi atau pengikut kepada yang lain dalam suatu hukum syara’ tertentu. Meski muqollid itu
tidak mengetahui siapa yang melakukan istinbat hukum.
• Seorang mukallaf dituntut untuk mengambil hukum syara bukan mengikuti seseorang. Arti dari
muqallid adalah mengambil hukum syara melalui seseorang sementara dia sendiri tidak
melakukan istinbath (penggalian hukum).
• Jadi maknanya bukan mengikuti seseorang karena topik masalahnya adalah hukum syara bukan
seseorang
• Perbedaan antara mujtahid dan muqalid adalah bahwa mujtahid melakukan sendiri istinbat hukum
syara dari dalil syara sedangkan muqallid adalah orang yang mengambil hukum syara yang telah
diistinbat oleh orang lain baik muqallid tersebut mengetahui yang mengistinbath ataupun tidak. Yang
penting ia percaya bahwa hukum tersebut adalah hukum syara.
• Tidak tergolong taklid yang syar’i (mengikuti secara Syariah): Orang yang mengambil pendapat
tambahan orang lain lalu menganggapnya sebagai pendapat untuknya yang berasal dari orang
tersebut atau menganggapnya sebagai pendapat milik Si Fulan yang alim atau Si Fulan yang sang
pemikir atau milik Si Fulan yang filosof. Semua itu tidak termasuk kategori taklid syar’i karena dalil
yang digunakan adalah pendapat seseorang, padahal dalil hukum syara’ adalah Al Qur’an, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas. ini diharamkan hukumnya menurut syara’.
• Seorang muslim tidak boleh melakukannya karena Allah telah memerintahkan kita untuk mengambil
dari Rasul Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bukan dari selain beliau siapapun orangnya.
Sebagaimana ada di dalam Alquran surat al-hasyr ayat 7.
• Terdapat larangan mengambil pendapat dari manusia tentang hukum. Dalam suatu hadis berbunyi
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu setelah ilmu itu diberikan kepada kalian akan tetapi
Allah mencabutnya dengan cara mewafatkan para ulama sehingga yang tersisa adalah orang-orang
yang bodoh mereka diminta fatwanya, Kemudian mereka pun berfatwa berdasarkan pendapat
mereka. Maka mereka sesat dan menyesatkan” Dikeluarkan Al Bukhari dari Abdullah bin Umar
• Maksudnya, mereka berfatwa berdasarkan pendapat mereka yang datang dari diri mereka sendiri.
Ijtihad
• Dalilnya adalah Dalil yang menceritakan tentang muaz bin jabal yang diutus nabi menjadi hakim
di Yaman. Dalam hadits ini terjadi dialog antara Nabi dengan Muaz, nabi saw bertanya kepada
Muaz, “bagaimana engkau memutuskan hukum ?”menjawab pertanyaan ini ia menjawab secara
berurutan, “yaitu Al-Qur’an, kemudian dengan Sunnah, kemudian dengan melakukan ijtihad” .
Nabi kemudian membenarkan jawaban Muaz ini dengan mengatakan: “segala puji bagi Allah
yang telah memberi taufiq atas diri utusan nabi Allah dengan apa yang di ridhai Allah dan Nabi-
NYA. “ (HR. Abu Daud).
• Syarat-syarat Ijtihad:
1. Mencurahkan seluruh upaya hingga ia merasa tidak mampu lagi melampaui apa yang telah ia
usahakan.
2. Upaya terebut dalam rangka mencari hukum syara’ yang bersifat zhanni’
3. Pencarian hukum yang berifat zhanni tsb berasal dari nash-nash syara’
Muqollid ada 2 macam
1. Muqollid ‘Amm
Adalah Muqollid yang hanya mengikuti saja tanpa disertai ilmu tapi dia
yakin kalau itu hukum syara’

2.Muqollid Mutabi’
Adalah Muqollid yang mengetahui sebagian dari ilmu-ilmu yang
berkaitan dengan pengambilan hukum syara’.Posisi nya lebih mulia
karena memiliki ilmu
Panduan Muqollid Muttabi dalam Tarjih
(pemilihan hukum mana yang lebih kuat)

1. Pilih yang ada dalil nya dan dalil yang Terkuat


(jika yang satu dalilnya Al-qur’an dan yang satu hadits maka yang dikuatkan
atau diunggulkan yang dalil al-Qur’an. Jika yang satu hadist shohih yang lainnya
hadist tidak shohih yaitu hadist hasan atau lainnya, maka yang dikuatkan atau
diunggulkan adalah hadist shohih).
2. Pilih ulama yang paling mumpuni dalam ilmu yg di gali dan menguasai fakta
yang digali
3. Pilih ulama yang kita lebih tsiqoh (percaya)
Untuk tataran Muqollid ‘Amm panduan nya cukup sampai tsiqoh (percaya)
terhadap ulama yang menggali hukum tersebut
KHITHAB TAKLIFI
• Para Ulama' ushul fiqh mentakrifkan hukum syara' sebagai seruan pembuat syara' yang berkaitan dengan perbuatan hamba, baik
yang sifatnya iqtidha', takhyir atau al-wadh’I
• Pembuat syara' adalah Allah Ta'ala, maka yang dimaksud dengan seruan pembuat syara' adalah seruan Allah.
• Adapun penyebutan dengan seruan pembuat syara' dan tidak dengan seruan Allah karena seruan tersebut mencakup as Sunnah
dan Ijma' Shahabat, dari sisi statusnya yang menunjuk pada seruan tersebut sehingga tidak menimbulkan kerancuan bahwa
yang dimaksud dengan seruan tersebut hanya Al Qur'an saja,sebab As-Sunnahpun merupakan wahyu maka As Sunnahpun
adalah seruan pembuat syara' pula. Ijma' Shahabat, ia mengungkapkan dalil dari Sunnah, ia juga merupakan seruan pembuat
syara' pula.
• Adapun pengertian bahwa seruan pembuat syara' tersebut juga berkaitan dengan al-iqtidha', berkaitan dengan tuntutan, karena
memang pengertian kata iqtidha' adalah tuntutan
• Tuntutan itu dibagi menjadi 2:
1. tuntutan untuk mengerjakan dan
2. tuntutan untuk meninggalkan.

Ad. 1. Tuntutan untuk mengerjakan jika bersifat pasti maka itu berarti wajib atau fardhu
Jika tidak pasti berarti tuntutan tersebut adalah mandub, atau sunnah atau nafilah.

Ad.2. Sedangkan tuntutan untuk meninggalkan, jika pasti itu artinya haram atau mahdzur
jika tidak pasti itu artinya makruh

Adapun takhyir (pilihan) artinya adalah boleh atau mubah


• Sedangkan khitab al-wadh'I artinya menjadikan sesuatu sebagai sebab, atau penghalang, atau yang sejenis
dengan itu, seperti tergelincirnya matahari yang mewajibkan adanya sholat sebab tergelincirnya matahari
adalah sebab adanya (kwajiban) shalat. Sebagaimana adanya najis yang menghalangi pelaksanaan shalat.
Keduanya, tergelincirnya matahari dan halangan adanya najis, dan yang semacam itu meski merupakan
indicator (tanda penentu) atas hukum-hukum, keduanya merupakan bagian dari hukum tersebut. Karena
Allah menjadikan tergelincirnya matahari sebagai indicator (tanda) wajibnya shalat dzuhur, dan adanya najis
merupakan indicator (tanda) batalnya shalat. Khitab wadh’I membahas sebab, atau pencegah atau syarat,
sahih dan bathil , fasid dan rukhshah dan azimah
• Berdasarkan pada definisi ini maka seruan pembuat syara' itu ada dua, seruan yang sifatnya taklifi dan
seruan yang sifatnya wadh'i.

Anda mungkin juga menyukai