Anda di halaman 1dari 15

LANJUTAN BAB

TAKHLIFI
WAJIB
• Wajib dan fardhu itu pengertiannya sama, tidak ada perbedaan antara
keduanya
• Fardhu ditinjau dari aspek penunaiannya dibagi menjadi dua: fardhu yang
diperluas (muwassa’), dan fardhu yang dipersempit (mudayyaq)
• Jika waktu yang diwajibkan lebih dari waktu yang diperlukan untuk
menunaikan kwajiban seperti shalat dzuhur misalnya, maka itu merupakan
fardhu yang diperluas
• Dan semua bagian dari waktu tersebut adalah waktu untuk menunaikan
kwajiban tersebut. Sebagaimana dalil wajib yang diperluas adalah
perintah shalat dzuhur.
‫ َالَّص اَل ُة َم ا َبْيَن َهَذ ْيِن‬, ‫ ” َيا ُمَحَّم ُد‬: ‫ َو َقاَل‬,‫ َأَّنُه َأَّم َالَّنِبَّي – صلى هللا عليه وسلم – ِفي َأَّو ِل َاْلَو ْقِت َو آِخ ِر ِه‬: ‫• َو اَأْلْص ُل ِفيِه َحِد يُث ِج ْبِريَل‬
‫َاْلَو ْقَتْيِن ” َر َو اُه َأْح َم ُد َو الَّنَس اِئُّي َو َالِّتْر ِمِذ ُّي‬
‫ َو َك اَن ِظ ُّل‬, ‫ ِإَذ ا َز اَلِت َالَّش ْم ُس‬: ‫ ” َو ْقُت َالُّظْهِر‬: ‫• َو َع ْن َع ْبِد ِهَّللَا ْبِن َع ْم ِرٍو – َرِض َي ُهَّللَا َع ْنُهَم ا – َأَّن َالَّنِبَّي – صلى هللا عليه وسلم – َقاَل‬
‫ َوَو ْقُت َص اَل ِة‬, ‫ َم ا َلْم َيِغ ِب َالَّش َفُق‬:‫ َوَو ْقُت َص اَل ِة َاْلَم ْغ ِرِب‬, ‫ َم ا َلْم َتْص َفَّر َالَّش ْم ُس‬: ‫ َوَو ْقُت َاْلَع ْص ِر‬, ‫ َم ا َلْم َتْح ُض ِر َاْلَع ْص ُر‬, ‫َالَّرُج ِل َك ُطوِلِه‬
‫ ِم ْن ُطُلْو ِع الَفْج ِر َم ا َلْم َتْطُلِع الَّش ْم ُس َر َو اُه ُم ْس ِلٌم‬:‫ َوَو ْقُت َص َالِة الُّص ْبِح‬, ‫ ِإَلى ِنْص ِف َالَّلْيِل‬: ‫َاْلِع َش اِء‬
• Dalil tentang waktu shalat ini adalah hadits Jibril, ia pernah mengimami Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam pada awal dan akhir waktu. Lantas ia berkata, “Wahai Muhammad, shalat itu di
antara dua waktu ini.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi) [HR. Abu Daud, no. 393 dan
Ahmad, 1:333. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih]
• Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
“Waktu shalat Zhuhur jika matahari sudah tergelincir ke barat ketika itu panjang bayangan sama
dengan tinggi seseorang, selama belum masuk shalat ‘Ashar. Waktu shalat ‘Ashar adalah selama
matahari belum menguning. Waktu shalat Maghrib adalah selama belum hilang cahaya merah
pada ufuk barat. Waktu shalat Isya adalah sampai pertengahan malam. Waktu shalat Shubuh
adalah dari terbit fajar selama belum terbit matahari.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 612]
• Ini bersifat umum mencakup semua bagian waktu yang
telah disebutkan.
• Dan praktek yang dimaksud di dalamnya bukan awal
perbuatan sholat dilakukan pada awal waktu dan
akhir shalat pada akhirnya, dan bukan pelaksanaan
shalat pada setiap waktu dari waktu-waktu yang ada
agar waktunya tersebut tidak kosong dari shalat,
juga bukan merupakan penegasan pada bagian dari
waktu tersebut ada yang dikhususkannya untuk
dilaksanakan kwajiban pada waktu tersebut, karena
tidak ada penunjukan dari lafadz atas hal tersebut.
• Maka tidak ada pengertian lain kecuali bahwa yang
dimaksud adalah setiap bagian dari waktu tersebut
dapat untuk melaksanakan kwajiban.
• Bagi mukallaf dia bisa memilih dalam menunaikan perbuatan pada bagian waktu
manapun yang ia sukai. Maka kwajiban terjadi pada orang mukallaf pada semua
bagian waktu, dan pada bagian waktu manapun yang ia gunakan untuk mengerjakan
maka gugurlah baginya kwajiban tersebut dan dia mendapatkan kebaikan dari
(pelaksanaan) kwajiban.
• Namun apabila orang mukallaf tersebut berniat untuk menunaikan kwajiban pada
awal waktu, maka jika dia mengakhirkan shalat dari awal waktu, dengan syarat
adanya niat diawal bahwa dia mau shalat di awal waktu, lalu mati sebelum
habisnya waktu dan dia belum menunaikan kwajiban shalat maka dia tidak menghadap
Allah dalam keadaan maksiyyah.
• Tapi jika seorang mukallaf dengan dugaan kuatnya dia bahwa dia akan mati,
apabila mengakhirkan waktu (shalat) dari awal waktunya maka dia maksiyyah ketika
dia mengakhirkan shalat dari awal waktu shalat meski faktanya dia tidak mati
• Itu karena kwajiban yang waktunya luas harus dengan asumsi bahwa dengan dugaan
kuat bagi si mukallaf bahwa dia dapat menunaikan sepanjang waktu yang telah
ditentukan untuk kwajiban tersebut, jika tidak demikian maka dia tidak boleh
mengakhirkannya.
• Atas dasar itu maka haji itu merupakan kwajiban yang luas bagi yang mampu, ia
boleh melaksanakan kwajiban haji tersebut pada setiap waktu setelah adanya
kemampuan, tapi jika dengan dugaan kuatnya bahwa dia akan kehilangan kemampuan
sebelum menunaikan haji maka wajib baginya untuk menunaikan haji saat itu juga,
dari waktu yang menurut dugaan dia, dia akan kehilangan kemampuan tersebut.
• ini semua apabila waktu menunaikan kwajiban tersebut berlebih (muwassa’)
• Tapi apabila waktu pelaksanaan kwajiban tersebut tidaklah berlebih (mudhayyaq)
seperti puasa, maka wajib baginya untuk menunaikan kwajiban tersebut saat itu juga dan
tidak boleh diakhirkan, jika diakhirkan maka berdosa dan wajib mengqadha’nya
• Sedangkan dari sisi pelaksanaan fardhu itu dibagi menjadi dua, fardhu ain dan fardhu
kifayah
• Perbedaan antara keduanya adalah bahwa fardhu ain tuntutannya berlaku pada setiap
individu itu sendiri
• Sedangkan fardhu kifayah tuntutannya berlaku atas seluruh kaum Muslim. Maka jika telah
ada kecukupan dalam menunaikannya maka kwajiban tersebut telah terwujud, baik yang
mengerjakan itu setiap individu atau sebagain dari mereka. Namun jika tidak dihasilkan
kemampuan dalam pelaksanaannya maka kwajiban tersebut tetap ada pada masing-masing
individu dari meraka sampai kwajiban tersebut terwujud (tertuanaikan).
• Ini kwajiban ditinjau dari sisi pelakunya. Adapun ditinjau dari sisi obyeknya
kwajiban tersebut dibagi menjadi dua, kwajiban yang terpilih atau kwajiban yang pasti.
Kwajiban terpilih artinya kwajiban-kwajiban yang di dalamnya orang mukallaf dapat
memilih diantara beberapa obyek. Maka firman-Nya Ta'ala:
"Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk
bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka
kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka
atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka
kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu
bila kamu bersumpah (dan kamu langgar)" (TQS Al Maidah(5):89).
• Orang Mukallaf dapat memilih antara memberi makan sepuluh orang miskin
atau memberikan pada mereka pakaian atau membebaskan budak, yang
diwajibkan bagi dia adalah salah satu dari pilihan tadi dan bukan
semuanya dan itu ditentukan berdasarkan perbuatan orang mukallaf.
• Adapun kwajiban yang sifatnya telah ditentukan adalah kwajiban yang
diwajibkan atas orang mukallaf untuk melaksanakannya dan tidak ada
pilihan lain, seperti shalat. Maka yang ditentukan adalah melaksanakan
shalat, tanpa adanya pilihan antara melaksanakan shalat dan melaksanakan
yang lain.
‫َم ا َال َيِتُّم الواِج ُب إَّال ِبِه َفُھَو واِج ب‬
SESUATU YANG JIKA SUATU KWAJIBAN TIDAK SEMPURNA TANPA SESUATU TERSEBUT, MAKA
SESUATU ITU MENJADI WAJIB

• Sesungguhnya sesuatu yang kewajiban tidak sempurna tanpa sesuatu itu dibagi
menjadi dua:
• Pertama, apabila kwajiban tersebut memang disyaratkan dengan sesuatu tersebut.
Seperti wajib shalat tertentu yang mensyaratkan adanya suci. Maka suci itu
menjadi wajib, karena tanpa suci tidak bisa dilaksanakan kebajiban shalat dengan
sempurna.
• Kedua, apabila kwajiban tersebut tidak disyaratkan dengan adanya sesuatu
tersebut. Maka ini dibagi menjadi dua: pertama, dalam kemampuan orang mukallaf
dan yang kedua diluar kemampuan orang mukallaf.
• Adapun yang di dalam lingkup kemampuan orang mukallaf maka hal tersebut wajibnya
berdasarkan seruan yang di dalamnya ada tuntutan wajib. Itu seperti membasuh dua
siku, pelaksanaan kwajiban mambasuh dua tangan sampai dengan siku, tidak
sempurna kecuali dengan membasuh bagian-bagian dari keduanya karena tujuan
tersebut masuk pada yang dituju, dan terealisirnya kwajiban ini tergantung
pada keberhasilan bagian dari tujuan tersebut. oleh karena itu maka membasuh
bagian dari kedua siku adalah wajib meski seruan tidak datang di dalamnya,
tetapi seruan tersebut datang dengan hal-hal dimana kwajiban tersebut tergantung
pada keberadaannya.
Adapun yang diluar kemampuan orang mukallaf maka itu bukanlah hal yang
wajib, berdasarkan firman-Nya Ta'ala:
‫ۚ اَل ُيَك ِّلُف ٱُهَّلل َنْفًسا ِإاَّل ُو ْس َعَها‬
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya"
(TQS Al Baqarah(2):286)

dan berdasarkan sabda beliau Alaihish-shalatu was-salam:


" jika aku perintahkan kalian dengan satu perkara maka tunaikan semampu
kalian" (Hadits dikeluarkan oleh Al Bukhari dan Muslim)

• Karenanya maka tidak boleh ada taklif pada hal-hal yang memang diluar
kemampuan, sebab taklif seperti itu mengharuskan penisbahan kedzaliman
pada Allah dan itu tidak boleh.
Walhasil, bahwa perintah atas sesuatu itu juga berarti perintah atas hal-hal yang
jika hal tersebut tidak ada maka sesuatu tersebut tidak sempurna, baik apakah itu
merupakan sebab, yaitu hal yang dengan adanya sesuatu tersebut mengharuskan ada, dan
jika tidak ada maka sesuatu itupun juga tidak ada, atau merupakan syarat, yaitu
sesuatu yang jika hal tersebut tidak ada maka sesuatu itu pasti tidak ada, tapi
dengan adanya hal tersebut belum tentu sesuatu itu ada.
Baik apakah sebab tersebut syar'I sifatnya, seperti adanya bentuk pernyaatan yang
berkaitan dengan memerdekakan (budak) yang sifatnya wajib, atau yang sifatnya akli,
kajian yang sifatnya produktif atas pengetahuan-pengetahuan yang wajib, atau yang
sifatnya kebiasaan
Baik apakah syarat tersebut juga syar'I sifatnya seperti wudhu atau yang sifatnya
akli, yaitu yang merupakan suatu kelaziman bagi yang diperintahkan secara akli
seperti meninggalkan yang bertentangan dengan yang diperintahkan, atau yang merupakan
kebiasaan yang biasanya anda tidak menafikannya, seperti wajibnya membasuh bagian
dari kepala ketika wudhu. Maka wajibnya sesuatu itu mewajibkan (pula) hal-hal yang
kwajiban tersebut tidak sempurna kecuali dengan hal tersebut, artinya taklif-taklif
atas sesuatu itu juga mengharuskan taklif-taklif atas hal-hal yang sesuatu tersebut
tidak sempurna kecuali dengan hal tersebut. berdasarkan inilah muncul kaidah:

‫َم ا َال َيِتُّم الواِج ُب إَّال ِبِه َفُھَو واِج ب‬


“suatu hal yang tanpa hal tersebut suatu kwajiban tidak sempurna maka adanya hal
tersebut wajib pula”
HARAM

• Haram adalah seruan pembuat syara' yang ditunjukkan oleh dalil sam'I
berupa tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengan tuntutan yang
sifatnya pasti. Haram itu adalah apabila ada celaan secara syar'I bagi
pelakunya, padan kata dari haram adalah mahdzur.

MUBAH
Mubah adalah seruan pembuat syara' yang ditunjuk oleh dalil syam'I
yang bersifat pilihan antara mengerjakan dan meninggalkan tanpa ada
pengganti. Mubah adalah begian dari hukum-hukum syara' karena mubah
merupakan seruan pembuat syara', karenanya untuk menetapkan hal yang mubah
harus berdasarkan seruan pembuat syara' dan bukan mengeliminir kesulitan
dari mengerjakan sesuatu atau meninggalkannya
• hukum-hukum yang terdapat di dalamnya hukum mubah, tidak bisa tidak harus berasal
dari syara' yang menunjukkan kemubahan atas setiap hukum itu sendiri. Mubah itu
bukanlah sesuatu yang didiamkan oleh syara' atau yang tidak diharamkan dan yang
tidak dihalalkan.
• Adapun hadits yang dikeluarkan oleh At Tirmidzi dari Salman Al Farisy, bahwa dia
menyatakan: ketika Rasulullah SAW ditanya tentang lemak, keju dan kulit yang
disamak, beliau menjawab:
" halal itu adalah apa yang dihalalkan oleh Allah dalam kitab-Nya, sedangkan yang
haram adalah apa yang diharamkan dalam kitab-Nya, sedangkan apa yang didiamkan oleh
Allah maka itu merupakan sesuatu yang dimaafkan untuk kalian“ (hadits dikeluarkan
oleh At Tirmidzi)

• Hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa apa yang didiamkan oleh Al Qur'an adalah
mubah. Sesungguhnya disana terdapat hal-hal yang diharamkan dan hal-hal yang
dihalalkan di dalam hadits, dan sungguh shahih dari nabi SAW bahwa beliau
bersabda:
"telah didatangkan padaku Al Qur'an dan seperti Al Qur'an bersama Al Qur'an"(Hadits
dikeluarkan oleh Ahmad)

Dan yang dimaksudkan dengan hal-hal yang didiamkan oleh wahyu. Begitu pula bahwa
yang dimaksud dengan apa yang didiamkan oleh wahyu itu bukan berarti mubah, kerena
sabda beliau dalam Hadits:
"halal itu adalah yang dihalalkan oleh Allah"

“Dan apa yang didiamkan berati merupakan hal dima'afkan


bagi kalian"

" Dan apa yang syara' diam atas hal tersebut maka berarti
dimaafkan" (hadits dikeluarkan oleh Al Baihaqi)

• Dan sabda beliau pada hadits yang lain:

• "dan apa yang syara' diam atas sesuatu, berarti


merupakan rukhshah bagi kalian, bukan karena dilupakan,
maka janganlah kalian membahasnya"(hadits dikeluarkan
oleh Al Baihaqy)
• Maka sesungguhnya yang dimaksud dengan diamnya syara' atas sesuatu
berarti syara' menghalalkannya, maka penghalalan atas sesuatu tersebut
merupakan dispenssasi dari Allah dan merupakan rahmat bagi manusia sebab
Allah tidak mengharamkannya, bahkan menghalalkannya. Ini berdasarkan
dalil sabda Rasulullah dalam hadits Saad Ibn Abi Waqash:

• "Sesungguhnya perbuatan kriminal yang paling serius adalah ketika ada


orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan atas manusia
kemudian diharamkan karena pertanyaannya" (hadits dikeluarkan oleh
Muslim)

• artinya orang yang bertanya tentang sesuatu yang wahyu diam, tidak
mengharamkan. Diam pada hadits ini artinya diam dari mengharamkan, dan
bukan diam dari menjelaskan hukum syara', karena Allah tidak diam dari
memberikan penjelasan hukum syara', bahkan Allah menjelaskan semua hal.
Dia Ta'ala berfirman:

• "Dan Kami turunkan kitab atas kalian sebagai penjelasan atas segala
sesuatu" (TQS An Nahl(16):89)
• atas dasar hal itu maka mubah itu bukanlah perkara-perkara yang syara' mendiamkannya,
tapi mubah itu adalah hal-hal yang syara' menjelaskan hukumnya bahwa hal tersebut
mubah.
• Maka hukum-hukum mubah sungguh telah ada dalilnya pada setiap hukum tersebut yang
menunjukkan kemubahannya.
• Mubahnya berburu jelas dalam firman Dia Ta'ala:
• "…dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu" (TQS Al
Maidah (5):2)

• sedangkan kebolehan bertebaran (di muka bumi) setelah shalat jum'at jelas sekali
dalam firman Dia Ta'ala:

• "Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan
carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung" (TQS Al
Jumuah (62):10)
• dan kebolehan jual beli jelas sekali dalam firman-Nya Ta'ala:

• "…padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (TQS Al Baqarah
(2):275)

• Sedangkan kebolehan ijarah, perwakilan dan gadai dsb jelas sekali pada dalilnya
masing-masing. Berdasarkan itu maka ibahah merupakan hukum syara' yang penetapannya
harus dengan dalil syara' yang menunjukkan hal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai