MUKADDIMAH
Dalil wajibnya shalat berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’. Termasuk syarat
sah shalat fardhu adalah sudah masuk waktu shalat. Untuk itu, tidak sah shalat dikerjakan
sebelum waktunya, dan haram hukumnya menunda shalat dari waktunya tanpa uzur syar’i,
kecuali dalam kasus jamak takdim dan jamak ta’khir seperti yang akan dijelaskan selanjutnya.
Oleh karena, shalat wajib dikerjakan karena masuknya waktu dengan kewajiban
muwassa’ (longgar waktu), hingga hanya tersisa sedikit waktu yang hanya cukup untuk bersuci
dan shalat. Saat itu, shalat wajib dikerjakan dengan kewajiban mudhayyaq (sempit waktu), di
mana jika seseorang tidak mengerjakan semua itu pada waktu yang sempit itu, maka ia berdosa.
Karenanya memahami waktu-waktu shalat dan waktu larangan untuk mengerjakan
shalat merupakan suatu kewajiban bagi setiap kaum muslimin. Inilah topik pembahasan kita.
ْ ص ٰلو َة كَان
َت عَلَى الْ ُمؤْ ِمنِيْ َن ِك ٰتبًا َّم ْوقُ ْوتًا َّ اِ َّن ال
“Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang -orang
yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103).
Maksudnya suatu kewajiban yang dikukuhkan dan dikuatkan Al-Qur’an, suatua
kewajiban yang amat dipentingkan, suatu kepastian sebagai pastinya Kitab Suci.
Shalat fardhu hanya sah dan boleh dikerjakan pada waktu-waktu yang sudah ditetapkan
oleh Allah SWT. Bila shalat itu dikerjakan di luar waktu yang telah ditetapkan dengan sengaja,
tanpa udzur syar'i, maka hukumnya tidak sah.
Semua itu dengan pengecualian, yaitu bila ada uzur tertentu yang memang secara
syariah bisa diterima. Seperti mengerjakan shalat dengan dijama' pada waktu shalat lainnya.
Atau shalat buat orang yang terlupa atau tertidur, maka pada saat sadar dan mengetahui ada
shalat yang luput, dia wajib mengerjakannya meski sudah keluar dari waktunya.
Ada pun bila mengerjakan shalat di luar waktunya dengan sengaja dan di luar ketentuan
yang dibenarkan syariat, maka shalat itu menjadi tidak sah.
ق اللَّيْ ِل َوقُ ْرآ َن الْفَج ِْر إِ َّن قُ ْرآ َن الْفَج ِْر كَا َن ِ ُصالَ َة لِدُل
ِ َوك الشَّ ْم ِس إِلَى غَس َّ أَقِ ِم ال
ًَم ْشهُودا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh tu disaksikan (oleh malaikat).” (QS.
Al-Isra’: 78)
Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat yaitu sesudah
matahari tergelincir, yaitu waktu untuk shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan gelap malam
adalah shalat Maghrib dan Isya' dan qur'anal fajri yaitu shalat Shubuh.
Maksud disaksikan (oleh malaikat), yakni malaikat yang berjaga di waktu malam, dan
juga yang berjaga di waktu siang
3. Dan di dalam surat Thaha: 130, tercantum sebagai berikut:
ٰ
ِ صبِ ْر عَلى َما يَقُ ْولُ ْو َن َوسَبِ ْح بِ َح ْم ِد َربِكَ قَبْ َل طُلُ ْو
ع الشَّ ْم ِس َوقَبْ َل غُ ُر ْوبِ َها َۚو ِم ْن ْ فَا
ار لَعَلَّكَ ت َْرضٰ ى ِ اف النَّ َه
َ ط َر ْ َئ الَّيْ ِل فَسَبِ ْح َواِ ٰانَ ۤا
“Maka sabarlah engkau (Muhammad) atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit, dan sebelum terbenamnya; dan
bertasbihlah (pula) pada waktu tengah malam dan di ujung siang hari, agar engkau merasa
tenang.” (Thaha: 130).
Yang dimaksud dengan tasbih sebelum matahari terbit ialah shalat Shubuh, sedang
sebelum matahari terbenam ialah shalat ‘Asar, berdasarkan apa yang tercantum dalam shahih
Bukhari dan Muslim, dari Jarir bin ‘Abdullah al-Bajli katanya:
“Pada suatu waktu kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
maka ia melihat kepada bulan yang ketika itu sedang purnama, lalu katanya: “Kamu nanti
akan melihat Tuhanmu sebagai menyaksikan bulan ini, dan kamu tak perlu berdesak
desakan untuk melihat-Nya. Maka jika kamu sanggup untuk tidak melewatkan shalat
sebelum matahari terbit dan sebelum terbenamnya, lakukanlah! Kemudian
dibacakannyalah ayat yang tersebut di atas.”
Itulah waktu-waktu yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an. Jadi, jika ada orang yang
mengatakan bahwa di dalam Al-Quran tidak ada waktu-waktu shalat atau tidak disebut waktu-
waktunya, maka orang tersebut perlu belajar kembali tentang alQur’an, Tafsir dan Ulumul
Qur’an. Dan yang paling penting belajarnya harus langsung kepada ahlinya atau ulama.
ُ ت الشَّ ْم
س َ صلِي الظُّ ْه َر ِإذَا دَ َح
ِ ض ُّ كَا َن النَّ ِب
َ ُي صلى هللا عليه وسلم ي
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur ketika matahari tergelincir.” (HR.
Muslim no. 1403)
Hadits ini menunjukkan disenanginya menyegerakan shalat zhuhur, demikian pendapat
Asy-Syafi’i rahimahullahu dan jumhur ulama. (Al-Minhaj 5/122, Al-Majmu’ 3/56)
Akhir Waktu Zhuhur. Waktu shalat zhuhur masih terus berlangsung selama belum
datang waktu shalat ashar dan bayangan seseorang sama dengan tinggi orang tersebut. Seperti
ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ْ َض ِر الْع
ص ُر ُ الر ُج ِل كَطُ ْولِ ِه َما لَ ْم يَ ْح ِ ََوقْتُ الظُّ ْه ِر إِذَا زَ ال
ُ ت الشَّ ْم
َّ َوكَا َن ِظ ُّل،س
“Waktu shalat zhuhur adalah bila matahari telah tergelincir dan bayangan seseorang sama
dengan tingginya selama belum datang waktu ashar.” (HR. Muslim no. 1387)
Jadi waktu shalat Zuhur dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah
mulai agak condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan bahasa
Indonesia adalah 'tergelincirnya' matahari, sebagai terjemahan bebas dari kata zawalus syamsi
( ( زوال الشمس. Namun istilah ini seringkali membingungkan, karena kalau dikatakan bahwa
'matahari tergelincir', sebagian orang akan berkerut keningnya, "Apa yang dimaksud dengan
tergelincirnya matahari?".
Zawalusy-syamsi adalah waktu dimana posisi matahari ada di atas kepala kita, namun
sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di atas kepala.
Batas pengunduran:
Berkata Hafidh dalam “Al Fath”: “Para ulama berbeda pendapat tentang atas
pengunduran. Ada yang mengatakan sampai bayang-bayang itu sehasta panjangnya setelah
tergelincir. Ada pula yang mengatakan seperempat dari tinggi barang. Kata yang lain
sepertiganya, dan ada pula yang mengatakan seperdua, serta masih ada lagi pendapat-pendapat
lain. Dan yang lazim menunut undang-undang ialah bahwa hal itu berbeda-beda melihat
suasana, hanya syaratnya tidak sampai kepada akhir waktu.”
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan
waktu shalat Ashar sebelum matahari menguning". (HR. Muslim)
Berkata Nawawi dalam “Syarah Muslim”: “Menurut sahabat kita, waktu ‘Ashar itu ada
lima macam: (1) Waktu fadhilah atau utama; (2) Waktu ikhtiar atau biasa; (3) Waktu jawaz
yakni diperbolehkan tanpa makruh; (4) Waktu diperbolehkan tapi makruh; dan (5) Waktu
‘uzur.
Adapun waktu fadhilah ialah pada awal waktunya. Dan waktu ikhtiar berlangsung
sampai bayang-bayang sesuatu itu dua kali panjangnya. Waktu jawaz dari saat ini sampai
kuningnya matahari dan waktu makruh dari saat kuning hingga terbenamnya, sedang waktu
uzur ialah waktu Dhuhur bagi orang yang diberi kesempatan untuk menjama’ shalat ‘Ashar
dengan Dhuhur, disebabkan dalam perjalanan atau karena hujan.
Melakukan shalat ‘Ashar pada waktu yang kelima ini disebut ada’i yakni mengerjakan
pada waktunya, dan jika telah luput kesemuanya disebabkan terbenamnya matahari, maka
disebut qadha.
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW membaca ayat: "Peliharalah
shalat-shalatmu dan shalat Wustha". Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR. Abu
Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya) Dari Ibnu Mas'ud dan Samurah radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Shalat Wustha adalah shalat
Ashar". (HR. Tirmizy)
2. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallohu ‘anhu: Artinya: “Bahwa Nabi saw. bersabda pada
waktu perang Ahzab: “Allah akan memenuhi kubur dan rumah-rumah mereka
dengan api neraka, sebagaimana mereka menghalang -halangi kita dari shalat
Wustha sampai matahari terbenam.” (HR. Bukhari dan Muslim. Sedang pada riwayat
Muslim, Ahmad dan Abu Daud berbunyi sebagai berikut: “Mereka halangi kita shalat
Wustha, yakni ‘Ashar”).
3. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallohu ‘anhu, katanya: Artinya: “Orang-orang Musyrik telah
menahan Rasulullah saw. dari melakukan shalat ‘Ashar sampai matahari menjadi
merah dan kuning. Maka bersabdalah Rasulullah saw.: “Mereka halangi kita dari
shalat Wustha yakni shalat ‘Ashar. Semoga Allah akan memenuhi rongga perut dan
kuburan mereka dengan api neraka!” — Atau mengisi rongga perut dan kuburan
mereka dengan api neraka! — (HR. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah).
1
Menurut kitab Nashbur-rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah SAW menunda shalat Isya'
hingga lewat tengah malam, kemudian beliau keluar dan melakukan shalat. Lantas
beliau bersabda, "Sekaranglah waktu yang sesungguhnya, seandainya aku tidak
memberatkan umatku." (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan umumnya di sini ialah banyak dari waktu malam, tidak
sebagian besar berdasarkan sabdanya: “Sekarang inilah waktunya!” Berkata Nawawi: “Tak
mungkin yang dimaksud dengan ucapan ini lewat tengah malam, karena tak seorang ulamapun
yang menyatakan bahwa menta’khirkan lewat seperdua malam itu lebih utama"
Dari Abu Sa’id katanya: “Kami tunggu Rasulullah saw. pada suatu malam buat
melakukan shalat ‘Isya, hingga berlalu kira-kira sebagian malam.” Ulasnya pula: “Maka Nabi
pun datanglah dan shalat bersama kami, sabdanya: “Ambillah tempat dudukmu masing-masing
walau orang-orang telah menempati ketiduran mereka. Dan kamu berarti dalam shalat
semenjak saat menunggunya. Kalau bukanlah karena kedhaifan orang yang lemah, halangan
dari orang yang sakit, serta keperluan dan orang yang berkepentingan, tentulah akan saya
undurkan shalat ini hingga sebagian dari waktu malam” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah,
Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah, sedang isnadnya sah).
Dan dulu telah disebutkan hadits Abu Hurairah dan hadits Abu Sa’id yang keduanya
semakna dengan hadits Aisyah ini. Semua menyatakan disunatkan dan lebih utamanya ta’khir
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan
waktu shalat shubuh dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari".
(HR. Muslim)
Jumhur ulama sepakat awal waktu Shubuh ditandai oleh terbitnya fajar shadiq. Baik
dalam pandangan fuqaha klasik maupun kontemporer. Terbitnya fajar shadiq terjadi pada
waktu gholas, yakni waktu gelap di akhir malam yang bercampur cahaya fajar. Saat waktu
gholas maka seseorang belum bisa mengenali wajah orang lain di sampingnya. Hal ini
diterangkan dalam Bughyatul Mustarsyidin, Sayyid Abdurrahman, juz 1 shaf 33.
Jumhur ulama juga sepakat waktu Shubuh dimulai sejak terbitnya fajar shadiq dan
berakhir pada saat terbitnya matahari. Kecuali Imam Qosim dan sebagian ashab Syafi’i yang
berpendapat berakhirnya waktu Shubuh pada saat ishfar. Waktu ishfar adalah waktu terang
buram, yakni saat langit telah kekuning-kuningan sehingga jalan-jalan dan lingkungan mulai
terlihat.
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, "Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan
makan (saat puasa) dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat
(shalat Shubuh) dan menghalalkan makan (misal sahur)". (HR. Ibnu Khuzaemah dan
Al-Hakim)
Hadits lain yang diriwayatkan Hakim dan al-Baihaqi melengkapi hadits di atas yang
menyebut bahwa Rasulullah Saw membagi fajar ke dalam dua bentuk, yaitu: (1) fajar yang
Shalat Sunat Tathawwu’ Setelah Terbit Fajar Dan Sebelum Shalat Shubuh.
Diterima dari Yasar bekas hamba sahaya Ibnu ‘Umar, katanya: “Saya terlihat oleh Ibnu
Umar sedang melakukan shalat setelah terbit fajar, maka katanya: “Pernah Rasulullah saw.
keluar mendapatkan kami dan waktu itu kami sedang shalat seperti pada saat ini, lalu sabdanya:
“Hendaklah yang hadir di antara tuan-tuan menyampaikan kepada yang tidak hadir, bahwa
tak shalat setelah Shubuh kecuali hanya dua raka’at!” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Dan walaupun hadits ini dha’if, tetapi ia mempunyai pelbagai sumber yang saling
menguatkan hingga dapat dipakai jadi alasan atas makruhnya shalat sunat setelah terbit fajar
lebih dari dua raka’at Fajar. Demikian dikemukakan oleh Syaukani.
Referensi:
Al-Quranul Kariim
Ahmad Syarwat, Lc., Seri Fiqih Kehidupan (3): Shalat, Jakarta: DU Publishing, 2011.
Sayyid Abdurrahman, Bughyatul Mustarsyidin, juz 1 shaf 33.
Sulaiman bin Ahmad bin Yahya Al-Faifi, Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah, judul terjemah:
Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, terjemah oleh Abdul Majid, Lc, Umar Mujtahid,
Arif Mahmudi, Jakarta: Beirut Publishing, 2018.
Kutub At-Tis’ah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi,
Sunan An-Nasai, Sunan Thabrani, Sunan Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad, Al-
Muwattha Imam Malik.