Anda di halaman 1dari 21

MODUL FIKIH SHALAT

WAKTU-WAKTU SHALAT & WAKTU LARANGAN

MUKADDIMAH
Dalil wajibnya shalat berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’. Termasuk syarat
sah shalat fardhu adalah sudah masuk waktu shalat. Untuk itu, tidak sah shalat dikerjakan
sebelum waktunya, dan haram hukumnya menunda shalat dari waktunya tanpa uzur syar’i,
kecuali dalam kasus jamak takdim dan jamak ta’khir seperti yang akan dijelaskan selanjutnya.
Oleh karena, shalat wajib dikerjakan karena masuknya waktu dengan kewajiban
muwassa’ (longgar waktu), hingga hanya tersisa sedikit waktu yang hanya cukup untuk bersuci
dan shalat. Saat itu, shalat wajib dikerjakan dengan kewajiban mudhayyaq (sempit waktu), di
mana jika seseorang tidak mengerjakan semua itu pada waktu yang sempit itu, maka ia berdosa.
Karenanya memahami waktu-waktu shalat dan waktu larangan untuk mengerjakan
shalat merupakan suatu kewajiban bagi setiap kaum muslimin. Inilah topik pembahasan kita.

BILANGAN SHALAT FARDHU


Shalat fardhu yang diwajibkan oleh Allah Ta’ala kepada mukallaf dalam sehari
semalam adalah lima: Zuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Shalat diwajibkan di Mekah
pada malam Isra Mi’raj.
Diterima dari Ibnu Muhairiz, bahwa seorang laki-laki dari Bani Kinanah bernama Makhdaji,
mendengar seorang laki-laki di Syria bernama Abu Muhammad mengatakan: “Shalat Witir itu
wajib.”
Kata Makhdaji: “Maka pergilah saya mendapatkan ‘Ubadah bin Shamit, lalu saya
sampaikan hal itu.” Jawab ‘Ubadah: “Bohong Abu Muhammad! Karena saya pernah
mendengar Rasulullah saw. bersabda: Artinya:
“Ada lima shalat yang diwajibkan Allah atas hamba-hambanya. Maka siapa yang
menetapinya dan tidak menyia-nyiakan suatu pun di antaranya disebabkan menganggap
enteng. Allah berjanji akan memasukkannya ke dalam surga. Dan sia pa yang tidak
melakukannya, maka tak ada janji apa-apa dan Allah, jika dikehendaki-Nya akan disiksa-
Nya, dan jika dikehendakNya akan diampuni-Nya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasa’i dan
Ibnu Majah yang dalam riwayatnya tersebut: “Dan siapa-siapa yang melakukannya tetapi
terdapat kekurangan disebabkan menganggap enteng.”)
Dan dari Thalhah bin Ubeidillah radhiyallohu ‘anhu, “Bahwa seorang badui datang
mendapatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dengan rambut yang kusut, katanya: “Ya
Rasulullah, katakanlah kepadaku shalat-shalat mana yang difardhukan Allah atasku!”
Ujar Nabi: “Shalat yang lima waktu, kecuali jika Anda ingin hendak shalat sunat.”
Katanya pula: “Katakanlah pula padaku, puasa mana yang difardhukan-Nya atasku.”

1|Mo d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


Ujar Nabi: “Puasa Ramadhan, kecuali jika Anda ingin hendak mengerjakannya puasa
sunat.” Lalu katanya lagi: “Ceriterakan padaku, zakat mana yang wajib kubayarkan.
“Maka Rasulullah pun memaparkan padanya syari’at Islam. Akhirnya orang badui itu
berkata “Demi Tuhan yang ialah memuliakan Anda. Sedikit pun saya tak hendak
melakukan amalan sunat, dan sedikit pun saya tak akan mengurangi kewajiban yang telah
difardhukan Allah atas diri saya.”
Nabi saw, pun bersabda: “Masuk surgalah ia jika ia benar!” atau “Beruntunglah ia jika
ia benar!” (HR. Bukhari dan Muslim).

SHALAT PADA WAKTUNYA


Shalat itu mempunyai waktu-waktu yang telah ditentukan dan harus dikerjakan pada
waktunya. Hal ini telah diisyaratkan dalam Al-Quran dan dijelaskan melalui hadits Rasulullah.
Allah Ta’ala berfirman:

ْ ‫ص ٰلو َة كَان‬
‫َت عَلَى الْ ُمؤْ ِمنِيْ َن ِك ٰتبًا َّم ْوقُ ْوتًا‬ َّ ‫اِ َّن ال‬
“Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang -orang
yang beriman.” (QS. An-Nisa’: 103).
Maksudnya suatu kewajiban yang dikukuhkan dan dikuatkan Al-Qur’an, suatua
kewajiban yang amat dipentingkan, suatu kepastian sebagai pastinya Kitab Suci.
Shalat fardhu hanya sah dan boleh dikerjakan pada waktu-waktu yang sudah ditetapkan
oleh Allah SWT. Bila shalat itu dikerjakan di luar waktu yang telah ditetapkan dengan sengaja,
tanpa udzur syar'i, maka hukumnya tidak sah.
Semua itu dengan pengecualian, yaitu bila ada uzur tertentu yang memang secara
syariah bisa diterima. Seperti mengerjakan shalat dengan dijama' pada waktu shalat lainnya.
Atau shalat buat orang yang terlupa atau tertidur, maka pada saat sadar dan mengetahui ada
shalat yang luput, dia wajib mengerjakannya meski sudah keluar dari waktunya.
Ada pun bila mengerjakan shalat di luar waktunya dengan sengaja dan di luar ketentuan
yang dibenarkan syariat, maka shalat itu menjadi tidak sah.

WAKTU-WAKTU SHALAT FARDHU DALAM AL-QUR’AN


Di dalam Al-Quran sesungguhnya sudah ada sekilas tentang penjelasan waktu -waktu
shalat fardhu, meski tidak terlalu jelas diskripsinya. Namun paling tidak ada tiga ayat di dalam
Al-Quran yang membicarakan waktu-waktu shalat secara global.
1. Surat Hud: 114, tercantum sebagai berikut:

ِ ‫ص ٰلوةَ طَ َرفَي ِ النَّ َه‬


ۗ ‫ار َو ُزلَفًا ِم َن الَّيْ ِل‬ َّ ‫َواَقِ ِم ال‬
“Dan laksanakanlah salat pada dua ujung siang (pagi dan petang) dan pada bagian
permulaan malam. (QS. Hud: 114)

2|Mo d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


Menurut para mufassirin, di ayat ini disebutkan waktu shalat, yaitu shalat pada dua
ujung siang itu maksudnya shalat Shubuh dan Ashar. Sedang pada bagian permulaan malam,
ialah dua shalat yang berdekatan yakni Maghrib dan ‘Isya.
2. Surat Al-Isra’: 78, tercantum sebagai berikut:

‫ق اللَّيْ ِل َوقُ ْرآ َن الْفَج ِْر إِ َّن قُ ْرآ َن الْفَج ِْر كَا َن‬ ِ ُ‫صالَ َة لِدُل‬
ِ َ‫وك الشَّ ْم ِس إِلَى غَس‬ َّ ‫أَقِ ِم ال‬
ً‫َم ْشهُودا‬
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) Shubuh. Sesungguhnya shalat Shubuh tu disaksikan (oleh malaikat).” (QS.
Al-Isra’: 78)
Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat yaitu sesudah
matahari tergelincir, yaitu waktu untuk shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan gelap malam
adalah shalat Maghrib dan Isya' dan qur'anal fajri yaitu shalat Shubuh.
Maksud disaksikan (oleh malaikat), yakni malaikat yang berjaga di waktu malam, dan
juga yang berjaga di waktu siang
3. Dan di dalam surat Thaha: 130, tercantum sebagai berikut:
ٰ
ِ ‫صبِ ْر عَلى َما يَقُ ْولُ ْو َن َوسَبِ ْح بِ َح ْم ِد َربِكَ قَبْ َل طُلُ ْو‬
‫ع الشَّ ْم ِس َوقَبْ َل غُ ُر ْوبِ َها َۚو ِم ْن‬ ْ ‫فَا‬
‫ار لَعَلَّكَ ت َْرضٰ ى‬ ِ ‫اف النَّ َه‬
َ ‫ط َر‬ ْ َ‫ئ الَّيْ ِل فَسَبِ ْح َوا‬ِ ‫ٰانَ ۤا‬
“Maka sabarlah engkau (Muhammad) atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah
dengan memuji Tuhanmu, sebelum matahari terbit, dan sebelum terbenamnya; dan
bertasbihlah (pula) pada waktu tengah malam dan di ujung siang hari, agar engkau merasa
tenang.” (Thaha: 130).
Yang dimaksud dengan tasbih sebelum matahari terbit ialah shalat Shubuh, sedang
sebelum matahari terbenam ialah shalat ‘Asar, berdasarkan apa yang tercantum dalam shahih
Bukhari dan Muslim, dari Jarir bin ‘Abdullah al-Bajli katanya:
“Pada suatu waktu kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,
maka ia melihat kepada bulan yang ketika itu sedang purnama, lalu katanya: “Kamu nanti
akan melihat Tuhanmu sebagai menyaksikan bulan ini, dan kamu tak perlu berdesak
desakan untuk melihat-Nya. Maka jika kamu sanggup untuk tidak melewatkan shalat
sebelum matahari terbit dan sebelum terbenamnya, lakukanlah! Kemudian
dibacakannyalah ayat yang tersebut di atas.”
Itulah waktu-waktu yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an. Jadi, jika ada orang yang
mengatakan bahwa di dalam Al-Quran tidak ada waktu-waktu shalat atau tidak disebut waktu-
waktunya, maka orang tersebut perlu belajar kembali tentang alQur’an, Tafsir dan Ulumul
Qur’an. Dan yang paling penting belajarnya harus langsung kepada ahlinya atau ulama.

3|Mo d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


WAKTU-WAKTU SHALAT FARDHU DALAM AL--HADITS
Mengenai dalil dari As-Sunnah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, telah
menghinggakan waktu-waktu tersebut dan menyatakan tanda-tandanya pada hadits-hadits
berikut:
1. Dari Abdullah bin ‘Umar: “Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, telah
bersabda: Artinya:
“Waktu Dhuhur ialah bila matahari telah tergelincir sampai bayang-bayang seseorang
itu sama panjang dengan badannya, yakni sebelum datang waktu ‘Ashar. Dan waktu
‘Ashar ialah sampai matahari belum lagi kuning Cahayanya waktu shalat; Maghrib
selama syafak atau awan merah belum lagi lenyap; Waktu shalat ‘Isya sampai tengah
malam kedua; Sedang waktu shalat Shubuh mulai terbit fajar sampai terbitnya
matahani. Jika matahari telah terbit, maka hentikanlah shalat. karena ia terbit di
antara kedua tanduk setan.” (HR. Muslim)
2. Dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu:
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, didatangi oleh Jibril ‘alaihis salam yang
mengatakan kepadanya: “Bangunlah dan shalatlah! Maka Nabi pun shalat Dhuhur
sewaktu tergelincir matahari.
Kemudian waktu Ashar menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat". Maka
beliau SAW melakukan shalat Ashar ketika panjang bayangan segala benda sama
dengan panjang benda itu.
Kemudian waktu Maghrib menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat".
Maka beliau SAW melakukan shalat Maghrib ketika mayahari terbenam.
Kemudian waktu Isya' menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat". Maka
beliau SAW melakukan shalat Isya' ketika syafaq (mega merah) menghilang.
Kemudian waktu Shubuh menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat".
Maka beliau SAW melakukan shalat Shubuh ketika waktu fajar menjelang. (HR.
Ahmad, Nasai dan Tirmizy)
Di dalam kitab Nailul Authar karya Al-Imam Asy-Syaukani disebutkan bahwa Al-
Bukhari mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang waktu-waktu
shalat yakni dengan tuntunan dari Jibril alaihis salam. Hadits ini berbicara tentang Jibril yang
shalat menjadi imam bagi nabi SAW.
Makna Syafak, sebagai tertera dalam kamus ialah warna merah di sebelah ufuk dari
sa’at terbenam matahari sampai kepada waktu ‘Isya atau dekatnya.

URUTAN WAKTU SHALAT


Lima waktu shalat fardhu biasanya disebutkan dengan urutan: Zhuhur, Ashar, Maghrib,
Isya’ dan Shubuh.

4|Mo d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


Dasar yang digunakan para ulama dalam membuat urutan itu adalah berdasarkan urutan
pensyariatannya. Ketika Rasulullah SAW menerima perintah shalat 5 waktu di malam mi’raj
beliau, Allah SWT belum mendiskripsikan shalat apa saja yang harus dikerjakan. Juga belum
ada penjelasan tentang nama-nama shalat serta kapan waktu yang ditetapkan untuk shalat-
shalat itu. Seusai mi’raj, beliau SAW pulang ke rumah tanpa membawa detail rincian shalat.
Barulah keesokan harinya, ketika matahari berada di atas kepala, datanglah malaikat
Jibril ‘alaihissam kepada beliau dan mulai menjelaskan shalat apa saja yang harus dikerjakan,
beserta waktu yang ditentukan. Dan shalat yang pertama kali dijelaskan dan dikerjakan adalah
mulai dari Shalat Zhuhur, sebagaimana hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu di atas.

A. WAKTU SHALAT DHUHUR


Dari kedua hadits tersebut di atas ternyatalah bahwa waktu Dhuhur dimulai dari
tergelincirnya matahari dari tengah langit dan berlangsung sampai bayangan segala sesuatu
sama panjang dengan benda aslinya.
Awal waktu zhuhur adalah saat matahari tergelincir (waktu zawal) dan akhir waktunya adalah
ketika masuk waktu ashar. Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata:

ُ ‫ت الشَّ ْم‬
‫س‬ َ ‫صلِي الظُّ ْه َر ِإذَا دَ َح‬
ِ ‫ض‬ ُّ ‫كَا َن النَّ ِب‬
َ ُ‫ي صلى هللا عليه وسلم ي‬
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur ketika matahari tergelincir.” (HR.
Muslim no. 1403)
Hadits ini menunjukkan disenanginya menyegerakan shalat zhuhur, demikian pendapat
Asy-Syafi’i rahimahullahu dan jumhur ulama. (Al-Minhaj 5/122, Al-Majmu’ 3/56)
Akhir Waktu Zhuhur. Waktu shalat zhuhur masih terus berlangsung selama belum
datang waktu shalat ashar dan bayangan seseorang sama dengan tinggi orang tersebut. Seperti
ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ َ‫ض ِر الْع‬
‫ص ُر‬ ُ ‫الر ُج ِل كَطُ ْولِ ِه َما لَ ْم يَ ْح‬ ِ َ‫َوقْتُ الظُّ ْه ِر إِذَا زَ ال‬
ُ ‫ت الشَّ ْم‬
َّ ‫ َوكَا َن ِظ ُّل‬،‫س‬
“Waktu shalat zhuhur adalah bila matahari telah tergelincir dan bayangan seseorang sama
dengan tingginya selama belum datang waktu ashar.” (HR. Muslim no. 1387)
Jadi waktu shalat Zuhur dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah
mulai agak condong ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan bahasa
Indonesia adalah 'tergelincirnya' matahari, sebagai terjemahan bebas dari kata zawalus syamsi
( ‫( زوال الشمس‬. Namun istilah ini seringkali membingungkan, karena kalau dikatakan bahwa
'matahari tergelincir', sebagian orang akan berkerut keningnya, "Apa yang dimaksud dengan
tergelincirnya matahari?".
Zawalusy-syamsi adalah waktu dimana posisi matahari ada di atas kepala kita, namun
sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di atas kepala.

5|Mo d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


Dan waktu untuk shalat zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu benda
menjadi sama dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita menancapkan tongkat yang
tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada permukaan tanah yang rata. Bayangan tongkat
itu semakin lama akan semakin panjang seiring dengan semakin bergeraknya matahari ke arah
barat. Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter, maka pada saat itulah waktu Zhuhur
berakhir dan masuklah waktu shalat Ashar.
Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat maupun sebelah
timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di tengah langit. Waktu ini
disebut dengan waktu istiwa'. Pada saat itu, belum lagi masuk waktu zhuhur. Begitu muncul
bayangan tongkat di sebelah timur karena posisi matahari bergerak ke arah barat, maka saat itu
dikatakan zawalus syamsi atau 'matahari tergelincir'. Dan saat itulah masuk waktu zhuhur.

Shalat Zuhur Sunnah Diakhirkan Jika...


Shalat Zuhur disunnahkan untuk diakhirkan dari awal waktunya ketika cuaca sangat
panas agar kekhusuan tetap ada, sebaliknya disunatkan ta’jil atau menyegerakan pada saat-saat
lain dan demikian.
Dalil untuk masalah ini adalah hadits berikut:
1. Hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

ِ ‫ فَإِ َّن ِشدَّ َة الْ َح ِر ِم ْن فَي‬،‫صالَ ِة‬


‫ْح َج َهنَّ َم‬ َّ ‫إِذَا ا ْشتَدَّ الْ َح ُّر فَأَب ِْرد ُْوا عَ ِن ال‬
“Apabila panas yang sangat maka akhirkanlah shalat zhuhur sampai waktu dingin
karena panas yang sangat merupakan semburan hawa neraka jahannam.” (HR. Al--
Bukhari no. 533 dan Muslim no. 1394)

2. Hadits Anas Bin Malik radhiyallahu ‘anhu,:

‫سلَّ َم ِإذَا ا ْشتَدَّ ال َب ْردُ َب َّك َر‬


َ ‫علَيْ ِه َو‬ ُ ‫صلَّى‬
َ ‫هللا‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫ «كَا َن النَّ ِب‬:ُ‫ َيقُول‬، ٍ‫َس بْ َن َما ِلك‬ َ ‫أن‬
َّ ‫ َو ِإذَا ا ْشتَدَّ ال َح ُّر أَب َْر َد ِبال‬،‫صالَ ِة‬
»‫صالَ ِة‬ َّ ‫ِبال‬
Anas bin Malik berkata: “Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila cuaca
sangat dingin, beliau bersegera mengerjakan shalat, namun jika cuaca sangat
panas beliau mengakhirkannya.” (HR. Bukhari)
3. Dari Abu Dzar, katanya: Artinya: “Suatu ketika kami berada bersama Nabi saw. dalam
suatu perjalanan. Maka muadzdzin pun bermaksud hendak adzan buat shalat dhuhur,
lalu ujar Nabi: “Tunggu dulu!” Kemudian ketika hendak adzan kembali, Nabi
mengatakan lagi: “Tunggu dulu!” Demikianlah sampai dua atau tiga kali, hingga
tampaklah oleh kami bayang-bayang guguk setelah matahari tergelincir. Kemudian
sabda Nabi: “Sesungguhnya panas yang amat sangat itu adalah lambaian neraka
jahanam. Maka bila hari terlalu panas, undurkanlah melakukan shalat” (HR.
Bukhari dan Muslim).

6|Mo d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


Seperti disinggung di atas bahwa untuk shalat zhuhur ada istilah ibrad, yaitu menunda
pelaksanaan shalat zhuhur sampai agak dingin. Ini dilakukan ketika hari sangat panas sebagai
suatu pengecualian/pengkhususan dari penyegeraan shalat zhuhur. Jumhur berkata, “Disenangi
ibrad dalam shalat zhuhur kecuali pada waktu yang memang dingin.” (Nailul Authar, 1/427)
Melakukan shalat Zhuhur hukumnya mustahab saat siang sedang panas-panasnya untuk
diundurkan beberapa waktu. Tujuannya agar meringankan dan bisa menambah khusyu’ (As-
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, jilid 1 hal. 95)
Hikmah dari ibrad ini adalah untuk memperoleh kekhusyukan, karena dikhawatirkan
bila shalat dalam keadaan panas yang sangat akan menyulitkan seseorang untuk khusyuk. (Al-
Majmu’ 3/64)

Batas pengunduran:
Berkata Hafidh dalam “Al Fath”: “Para ulama berbeda pendapat tentang atas
pengunduran. Ada yang mengatakan sampai bayang-bayang itu sehasta panjangnya setelah
tergelincir. Ada pula yang mengatakan seperempat dari tinggi barang. Kata yang lain
sepertiganya, dan ada pula yang mengatakan seperdua, serta masih ada lagi pendapat-pendapat
lain. Dan yang lazim menunut undang-undang ialah bahwa hal itu berbeda-beda melihat
suasana, hanya syaratnya tidak sampai kepada akhir waktu.”

B. WAKTU SHALAT ‘ASHAR


Waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur sudah habis, yaitu
semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan panjang benda itu
sendiri, yakni setelah bayangan waktu tergelincir, dan berlangsung sampai terbenamnya
matahari. Dan selesainya waktu shalat Ashar ketika matahari tenggelam di ufuk barat. Dalil
yang menujukkan hal itu.
Dalil tentang hal itu antara lain hadits Abu Hurairah r.a., Rasulullah bersabda:

ْ ‫ فَقَدْ أَد َْركَ الْ َع‬،‫س‬


‫ص َر‬ َ ‫ص ِر قَبْ َل أَ ْن تَغْ ُر‬
ُ ‫ب الشَّ ْم‬ ْ ‫َو َم ْن أَد َْركَ َر ْك َعةً ِم َن الْ َع‬
“Siapa yang masih mendapatkan satu raka’at ‘Ashar sebelum matahari terbenam, berarti
Ia telah mendapatkan shalat ‘Ashar.” (HR. Jama’ah serta Baihaqi dengan susunan perkataan
sebagai benikut: “Barang siapa telah melakukan satu raka’at shalat ‘Ashar sebelum
matahari terbenam, kemudian melanjutkannya sisa shalatnya setelah ia terbenam, maka
berarti waktu ‘Asharnya belum lagi luput.’)

Waktu Ikhtiar (Longgar) Dan Waktu Dimakruhkan:


Waktu fadhilah dan ikhtiar (utama dan biasa) berakhir dengan menguningnya cahaya
matahari. Atas pengertian inilah ditafsirkan hadits-hadits Jabir dan Abdullah yang berlalu.

7|Mo d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


Adapun menangguhkan shalat setelah saat menguning tersebut maka walaupun
diperbolehkan tapi hukumnya makruh jika tak ada ‘uzur.
Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat Ashar tatkala sinar
matahari sudah mulai menguning yang menandakan sebentar lagi akan terbenam. Sebab ada
hadits nabi yang menyebutkan bahwa shalat di waktu itu adalah shalatnya orang munafiq .
Dan Anas r.a.: Artinya: ‘Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Itu adalah shalat
orang munafik. ia duduk menunggu-nunggu matahati, hingga bila telah berada di antara
dua tanduk setan, maka dipatuknya empat kali. Hanya sedikit ia mengingat Allah. (HR.
Jama’ah kecuali Bukhari dan lbnu Majah).
Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah berakhir sebelum
matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning di ufuk barat sebelum
terbenam.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan
waktu shalat Ashar sebelum matahari menguning". (HR. Muslim)
Berkata Nawawi dalam “Syarah Muslim”: “Menurut sahabat kita, waktu ‘Ashar itu ada
lima macam: (1) Waktu fadhilah atau utama; (2) Waktu ikhtiar atau biasa; (3) Waktu jawaz
yakni diperbolehkan tanpa makruh; (4) Waktu diperbolehkan tapi makruh; dan (5) Waktu
‘uzur.
Adapun waktu fadhilah ialah pada awal waktunya. Dan waktu ikhtiar berlangsung
sampai bayang-bayang sesuatu itu dua kali panjangnya. Waktu jawaz dari saat ini sampai
kuningnya matahari dan waktu makruh dari saat kuning hingga terbenamnya, sedang waktu
uzur ialah waktu Dhuhur bagi orang yang diberi kesempatan untuk menjama’ shalat ‘Ashar
dengan Dhuhur, disebabkan dalam perjalanan atau karena hujan.
Melakukan shalat ‘Ashar pada waktu yang kelima ini disebut ada’i yakni mengerjakan
pada waktunya, dan jika telah luput kesemuanya disebabkan terbenamnya matahari, maka
disebut qadha.

Sunah Disegerakan Pada Hari Yang Mendung


Pentingnya menyegerakannya pada hari mendung. Buraida al-Aslami menuturkan:
“Kami pernah bersama Rasulullah dalam sebuah peperangan. Lalu beliau bersabda:
‘“Segerakanlah melakukan shalat Ashar di hari mendung, karena orang yang terlambat
mengerjakan shalat Ashar benar-benara telah menghapus pahala amalnya” (HR. Ahmad,
dan Ibnu Majah, [serta Bukhari dalam Kitab Shalat]).
Berkata Ibnul Qayyim: “Meninggalkan itu ada dua rupa: Pertama, meninggalkan
secara keseluruhan tanpa melakukannya sama sekali. Maka ini menggugurkan semua amalan;
Kedua, meninggalkannya secara sebagian-sebagian pada hari tertentu. Maka ini menggugurkan
amalan pada hari tersebut.”
8|Mo d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at
Shalat Ashar adalah Shalat Wushta
Shalat ‘Ashar merupakan shalat Wustha artinya Pertengahan. Berfirman Allah
Ta’ala:

‫ّلِل ٰقَنِتِي َن‬ ۟ ‫صلَ ٰو ِة ٱلْ ُو ْسطَ ٰى َوقُو ُم‬


ِ َّ ِ ‫وا‬ ِ ‫صلَ ٰ َو‬
َّ ‫ت َوٱل‬ ۟ ُ‫ٰ َحفِظ‬
َّ ‫وا عَلَى ٱل‬
“Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Dan beribadatlah
kepada Allah dengan mentaati perintah-perintahNya.” (QS. Al-Baqarah: 238)
Shalat Ashar adalah shalat wustha menurut sebagian besar ulama. Ada banyak riwayat
hadits shahih yang secara jelas menyatakan bahwa shalat Asahar adakah Shalat Wustha atau
shalat pertengahan.
1. Dasarnya adalah hadits Aisyah radhiyallahu 'anha.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW membaca ayat: "Peliharalah
shalat-shalatmu dan shalat Wustha". Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR. Abu
Daud dan Tirmizy dan dishahihkannya) Dari Ibnu Mas'ud dan Samurah radhiyallahu
‘anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Shalat Wustha adalah shalat
Ashar". (HR. Tirmizy)
2. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallohu ‘anhu: Artinya: “Bahwa Nabi saw. bersabda pada
waktu perang Ahzab: “Allah akan memenuhi kubur dan rumah-rumah mereka
dengan api neraka, sebagaimana mereka menghalang -halangi kita dari shalat
Wustha sampai matahari terbenam.” (HR. Bukhari dan Muslim. Sedang pada riwayat
Muslim, Ahmad dan Abu Daud berbunyi sebagai berikut: “Mereka halangi kita shalat
Wustha, yakni ‘Ashar”).
3. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallohu ‘anhu, katanya: Artinya: “Orang-orang Musyrik telah
menahan Rasulullah saw. dari melakukan shalat ‘Ashar sampai matahari menjadi
merah dan kuning. Maka bersabdalah Rasulullah saw.: “Mereka halangi kita dari
shalat Wustha yakni shalat ‘Ashar. Semoga Allah akan memenuhi rongga perut dan
kuburan mereka dengan api neraka!” — Atau mengisi rongga perut dan kuburan
mereka dengan api neraka! — (HR. Ahmad, Muslim dan Ibnu Majah).

C. WAKTU SHALAT MAGHRIB


Sudah menjadi ijma' (kesepakatan) para ulama bahwa waktu shalat Maghrib dimulai
sejak terbenamnya matahari. Terbenamnya matahari adalah sejak hilangnya semua bulatan
matahari di telan bumi dan berakhir hingga hilangnya syafaq (mega merah). Dalilnya adalah
sabda Rasulullah SAW:

9|Mo d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


Dari Abdullah bin Umar: “Bahwa Nabi saw. telah bersabda: “Waktu shalat Maghrib
sampai hilangnya shafaq (mega)." (HR. Muslim)
Dan diriwayatkan pula dari Abu Musa: “Bahwa seseorang menanyakan kepada Nabi
saw. tentang waktu- waktu shalat, maka disebutnyalah hadits tersebut. Di sana juga disebutkan:
“Maka disuruhnya orang itu shalat, lalu shalat Maghriblah ia ketika matahari telah terbenam.
Dan pada hari berikutnya, katanya: “Kemudian diundurkan oleh Nabi sampai dekat hilangnya
syafak serta sabdanya: “Waktunya terdapat di antara kedua waktu ini!”
Berkata Nawawi dalam Syarah Muslim: “Para Penyelidik di kalangan sahabat-sahabat
kita berpendapat bahwa mengatakan diperbolehkannya mengundurkan shalat Maghrib selama
syafak belum lenyap, adalah lebih kuat, hingga ia dapat dilakukan pada sembarang waktu di
antaranya, dan tidak berdosa menangguhkannya dan awal waktu.”
Pendapat ini merupakan pendapat yang sah atau benar dan tak mungkin dite rima lain
dan padanya. Adapun hadits Jibril sebagai imam, bahwa ia shalat Maghnib pada suatu waktu
selama dua hari yakni ketika matahari terbenam, maka ia hanya menunjukkan disunatkannya
ta’jil atau menyegerakan Maghrib.
Beberapa hadits telah diterima menegaskan hal itu:
1. Dan Saib bin Yazid: “Bahwa Rasulullah telah bersabda: “Senantiasalah umatku
berada dalam kesucian, selama mereka melakukan shalat Maghrib sebelum
terbitnya bintang-bintang.” (HR. Ahmad dan Thabrani).
2. Dalam Musnad diterima dari Abu Aiyub al Anshari: “Bahwa Rasulullah saw. telah
bersabda: “Lakukanlah shalat Maghrib sewaktu berbukanya orang puasa, dan
bersegeralah sebelum terbitnya bintang gemintang!”
3. Dalam Shahih Muslim dan Rafi’ bin Khudeij katanya: “Kami shalat Maghrib bersama
Rasulullah saw., dan masing-masing kami berpaling sedang ia masih dapat melihat
tempat jatuhnya anak panahnya.
4. Juga dalam buku tersebut dari Salma bin Akwa’: “Bahwa Rasulullah saw. biasa
melakukan shalat Maghrib bila matahari telah terbenam dan tersembunyi di balik tabir.”
Istilah 'syafaq' menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi'iyah adalah
mega yang berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di uf uk barat. Sedangkan Abu
Hanifah berpendapat bahwa 'syafaq' adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat dan
masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Dalil beliau adalah:
Dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan akhir
waktu Maghrib adalah hingga langit menjadi hitam". (HR. Tirmizy)1

1
Menurut kitab Nashbur-rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih

10 | M o d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


D. WAKTU ISYA
Waktu shalat lsya bermula di waktu lenyapnya syafak merah dan berlangsung hingga
seperdua malam. Telah bersabda Rasulullah saw.: Kalau saja aku tak khawatir akan
memeberatkan umatku, pasti akan aku perintahkan mereka menunda shalat Isya hingga
sepertiga malam atau separuhnya.” (HR. Ahmad, lbnu Majah dan Turmudzi dan dia
menshahihkannya). Ini waktu longgar. Sedangkan waktu boleh dan daruruat terebntang hingga
terbitnya fajar.
Jadi, waktu shalat Isya’ dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib, dan terus
berlangsung sepanjang malam hingga dini hari tatkala fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah
ketetapan dari nash yang menyebutkan bahwa setiap waktu shalat itu memanjang dari
berakhirnya waktu shalat sebelumnya hingga masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali shalat
shubuh.

Sunnah Menunda Shalat Isya Dari Awal Waktunya


Yang lebih utama ialah mengundurkan shalat ‘Isya sampai waktu ikhtiar yakni sejak
masuk waktu hingga 1/3 malam atau tengah malam, atas dasar hadits berikut ini.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata bahwa Rasulullah SAW menunda shalat Isya'
hingga lewat tengah malam, kemudian beliau keluar dan melakukan shalat. Lantas
beliau bersabda, "Sekaranglah waktu yang sesungguhnya, seandainya aku tidak
memberatkan umatku." (HR. Muslim)
Yang dimaksud dengan umumnya di sini ialah banyak dari waktu malam, tidak
sebagian besar berdasarkan sabdanya: “Sekarang inilah waktunya!” Berkata Nawawi: “Tak
mungkin yang dimaksud dengan ucapan ini lewat tengah malam, karena tak seorang ulamapun
yang menyatakan bahwa menta’khirkan lewat seperdua malam itu lebih utama"
Dari Abu Sa’id katanya: “Kami tunggu Rasulullah saw. pada suatu malam buat
melakukan shalat ‘Isya, hingga berlalu kira-kira sebagian malam.” Ulasnya pula: “Maka Nabi
pun datanglah dan shalat bersama kami, sabdanya: “Ambillah tempat dudukmu masing-masing
walau orang-orang telah menempati ketiduran mereka. Dan kamu berarti dalam shalat
semenjak saat menunggunya. Kalau bukanlah karena kedhaifan orang yang lemah, halangan
dari orang yang sakit, serta keperluan dan orang yang berkepentingan, tentulah akan saya
undurkan shalat ini hingga sebagian dari waktu malam” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah,
Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah, sedang isnadnya sah).
Dan dulu telah disebutkan hadits Abu Hurairah dan hadits Abu Sa’id yang keduanya
semakna dengan hadits Aisyah ini. Semua menyatakan disunatkan dan lebih utamanya ta’khir

11 | M o d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


shalat ‘lsya, dan bahwa Nabi saw. pun menghentikan mengerjakannya terus-terusan ialah
karena memberatkan bagi umat.
Dan dalam hal ini Nabi saw. selalu memperhatikan keadaan makmum-makmum, maka
kadang-kadang disegerakan, dan kadang-kadang dita’khirkannya.
Dari Jabir, katanya: “Nabi saw. melakukan shalat Dhuhur itu ketika hari amat panas
setelah tergelincir matahari, shalat ‘Ashar ketika matahari sedang bersih, shalat Maghrib ketika
matahari terbenam, shalat ‘Isya kadang-kadang diundurkan dan kadang-kadang
dimajukannya. Bila telah dilihatnya orang-orang telah berkumpul maka
disegerakannya, dan kalau dilihatnya mereka terlambat maka diundurkany a. Sedang
shalat Shubuh, mereka — atau Nabi saw. — melakukannya pada saat gelap di akhir malam.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Demikian adalah waktu ikhtiar. Mengenai waktu jawaz dan darurat maka berlangsung
hingga waktu fajar berdasarkan hadits Abu Qatadah: “Telah bersabda Rasulullah saw.:
“Ketahuilah, bahwa tidur itu tidaklah berarti lalai. Yang dikatakan lalai ialah orang yang
masih belum shalat hingga datang waktu shalat lain.” (HR. Muslim)
Dan hadits yang lalu mengenai waktu-waktu shalat menunjukkan bahwa waktu masing-
masing shalat itu berlangsung sampai masuknya waktu shalat lain kecuali shalat Fajar karena
ia tidak berlangsung hingga waktu Dhuhur. Para ulama telah ijma’ bahwa waktunya berakhir
dengan terbitnya matahari.

Tidur sebelumnya dan bercakap-cakap sesudahnya.


Dimakruhkan tidur sebelum shalat ‘Isya dan bercakap-cakap sesudahnya, karena hadits
Abu Barzah al-Aslami: “Bahwa Nabi saw. menyatakan sunat menta’khirkan ‘Isya yang biasa
mereka sebut ‘Atmah, dan menyatakan makruh tidur sebelumnva dan bercakap -cakap
sesudahnya.” (HR. Jama’ah).
Dan diterima dari Ibnu Mas’ud: “Rasulullah saw. menjawab kami bercakap-cakap
setelah shalat ‘Isya.’ (HR. Ibnu Majah, katanya: “Menjawab maksudnya ialah mencela dan
melarang).
Alasan dimakruhkannya tidur sebelumnya dan bercakap-cakap sesudahnya, ialah
karena orang yang tidur bisa luput shalat sunatnya atau shalat jama’ah sebagaimana mengobrol
setelahnya menyebabkan bertanggang yang menghabiskan waktu dan menyia -nyiakan
kesempatan. Tetapi jika tidur itu ada yang membangunkan, atau bercakap -cakap guna
memperbincangkan sesuatu hal yang berfaedah, maka tidaklah dimakruhkan.
Dari Ibnu Umar, katanya: “Adalah Rasulullah saw. juga bercakap-cakap pada malam
itu di rumah Abu Bakar membicarakan salah satu urusan kaum Muslimin, dan ketika itu saya
ikut bersamanya.” (HR. Ahmad dan Turmudzi yang menyatakannya sebagai hadits hasan).
Dan dari Ibnu Abbas, katanya: “Saya bermalam di rumah Maimunah pada malam
Rasulullah saw. bergilir di sana, untuk mempelajari tata-cara shalatnya di waktu malam. Maka

12 | M o d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


saya lihat Nabi saw. bercakap-cakap dengan keluarganya sebentar, kemudian baru pergi tidur.”
(HR. Muslim).

E. WAKTU SHALAT SHUBUH


Seringkali orang terkecoh dengan dua istilah, yaitu shalat Fajr dan shalat Shubuh.
Padahal sesunguhnya keduanya adalah satu. Shalat Fajr itu adalah shalat Shubuh dan shalat
Shubuh adalah shalat Fajr.
Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana disebutkan dalam hadits
berikut ini.

Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan
waktu shalat shubuh dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari".
(HR. Muslim)
Jumhur ulama sepakat awal waktu Shubuh ditandai oleh terbitnya fajar shadiq. Baik
dalam pandangan fuqaha klasik maupun kontemporer. Terbitnya fajar shadiq terjadi pada
waktu gholas, yakni waktu gelap di akhir malam yang bercampur cahaya fajar. Saat waktu
gholas maka seseorang belum bisa mengenali wajah orang lain di sampingnya. Hal ini
diterangkan dalam Bughyatul Mustarsyidin, Sayyid Abdurrahman, juz 1 shaf 33.
Jumhur ulama juga sepakat waktu Shubuh dimulai sejak terbitnya fajar shadiq dan
berakhir pada saat terbitnya matahari. Kecuali Imam Qosim dan sebagian ashab Syafi’i yang
berpendapat berakhirnya waktu Shubuh pada saat ishfar. Waktu ishfar adalah waktu terang
buram, yakni saat langit telah kekuning-kuningan sehingga jalan-jalan dan lingkungan mulai
terlihat.

Ada 2 Macam Fajar


Di dalam hadits disebutkan tentang kedua fajar ini:

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda, "Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan
makan (saat puasa) dan menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat
(shalat Shubuh) dan menghalalkan makan (misal sahur)". (HR. Ibnu Khuzaemah dan
Al-Hakim)
Hadits lain yang diriwayatkan Hakim dan al-Baihaqi melengkapi hadits di atas yang
menyebut bahwa Rasulullah Saw membagi fajar ke dalam dua bentuk, yaitu: (1) fajar yang

13 | M o d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


keberadaannya mirip ekor serigala merupakan waktu diperbolehkannya makan dan tidak boleh
salat (subuh); dan (2) fajar yang datang menyebar di ufuk sebelah timur yang keberadaannya
diperbolehkan salat tapi tidak boleh makan (saat puasa).
Berdasarkan kedua hadis di atas kemudian para ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
(1) fajar kadzib dan (2) fajar shadiq.
a. Fajar Kadzib
Fajar kadzib adalah fajar yang 'bohong' sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat
dini hari menjelang pagi, ada cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke atas di
tengah di langit. Bentuknya seperti ekor sirhan (srigala), kemudian langit menjadi gelap
kembali.
Fajar kadzib berupa cahaya putih yang muncul secara vertikal (dari bawah ke atas atau
timur ke barat). Cahaya ini tidak muncul secara merata di ufuk timur, artinya ada sisi ufuk yang
gelap dan ada yang terkena cahaya. Setelah itu, alam kembali menjadi gelap karena fajar telah
menghilang. Fenomena ini dikenal dengan fajar kadzib.
Menurut Sriyatin Shodiq, pakar Falak Muhammadiyah, fajar kadzib sebenarnya bukan
fajar karena memang tidak nampak cahaya terang dan langit malam masih gelap, cahaya seperti
ini disebut cahaya zodiak.
Alasannya, fajar kadzib jika dilihat tampak menjulur ke atas seperti ekor serigala, yang
arahnya sesuai dengan arah ekliptika dari arah timur ke barat dan bentuknya vertikal atau atas-
bawah. Fajar kadzib ini muncul beberapa saat sebelum fajar shadiq ketika malam masih gelap.
b. Fajar Shadiq
Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang benar-benar fajar.
Bentuknya berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur. Munculnya
beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan masuknya waktu shalat Shubuh.
Bedanya dengan fajar yang kadzib, fajar shadiq ini diikuti dengan cahaya yang semakin
terang, dan semakin terang hingga terbitlah matahari.
Definisi fajar shadiq dijelaskan cukup lengkap dalam beberapa hadits Nabi. Dalam hal
ini pendapat para ulama tentang identitas fajar shadiq terbagi menjadi tiga:
1) Pendapat pertama bersandar pada Ibnu Abbas RA dan lain–lain, yaitu fajar shadiq
adalah cahaya yang sudah cukup terang di ufuk timur dan cukup terang sehingga sudah
menerangi puncak-puncak pegunungan atau perbukitan.
2) Sedangkan pendapat kedua berasal dari Imam Ghazali dan lain -lain, di mana fajar
shadiq adalah pancaran cahaya putih kemerah-merahan terang di ufuk timur yang
menyebar secara horizontal (paralel) terhadap ufuk dan mudah dikenali mata.
3) Dan pendapat yang ketiga berasal dari al-Zamakhsyari, Fakhruddin ar-Razi dan lain–
lain, yakni fajar shadiq adalah cahaya selain fajar kadzib yang sudah muncul di ufuk
timur meskipun masih kecil (samar).
Jika diurutkan, maka terangnya cahaya fajar shadiq dalam pendapat pertama adalah
cukup terang, dalam pendapat kedua adalah terang dan dalam pendapat ketiga ad alah samar.

14 | M o d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


Imam Ghazali menyebutkan fajar shadiq mulai terbit pada 2 manzilah sebelum
terbitnya Matahari (thulu’us syams). Ulama yang lain berpendapat terbitnya fajar shadiq bila
dikira-kirakan terjadi 1 jam 30 menit sebelum terbitnya matahari. Rentang waktu yang setara
dengan membaca Al-Qur’an 3 juz secara perlahan atau setara 1/8 malam.

Sementara Fajar shadiq adalah berhamburannya cahaya matahari oleh partikel-partikel


di udara yang melingkupi bumi yang nampak terang. Inilah waktu peralihan dari gelap malam
(hitam) menuju munculnya cahaya (putih). Dalam bahasa Al-Quran fenomena itu diibaratkan
dengan ungkapan “terang bagimu benang putih (khait al-abyad) dari benang hitam (khait
al-aswad)”.
Identitas fajar shadiq sebagai pancaran cahaya tipis putih kecil (samar) di ufuk timur
menjadi definisi operasional yang melandasi pengamatan-pengamatan cahaya fajar dalam ilmu
falak.
Jadi fajar shadiq itu cahaya fajar yang melintang di sepanjang ufuk sebelah timur
sebagai pertanda akhir malam atau menjelang matahari terbit. Jika fajar kadzib bentuknya
vertikal, maka fajar shadiq bentuknya horizontal. Semakin matahari mendekati ufuk, semakin
terang fajar shadiq.
Jadi dalam ilmu astronomi batasan fajar shadiq yang digunakan adalah jarak matahari
di bawah ufuk. Saat fajar shadiq atau cahaya yang membentang di horizon muncul, saat itulah
waktu salat subuh telah tiba.

Waktu terbaik melakukan shalat Shubuh:


Para ulama berbeda pendapat tentang waktu terbaik untuk menunaikan shalat Shubuh.
Sebagian ulama khususnya dari mazhab Syafi’i dan Maliki berpendapat menyegerakan shalat
Shubuh pada waktu gholas. Demikian pula Syaikh Wahbah az–Zuhaili dan Imam Thantawi.
Sementara sebagian lainnya, seperti para ulama mazhab Hanafi dan Imam ath –Thabari lebih
mengutamakan pada waktu ishfar.

15 | M o d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


Sunnah menyegerakannya:
Disunnahkan menyegerakan shalat Shubuh dengan melakukannya pada awal
waktunya, berdasarkan hadits Abu Mas’ud al-Anshari: “Bahwa Rasulullah saw. melakukan
shalat Shubuh di sa’at kelam pada akhir malam, kemudian pada kali yan g lain dilakukannya
ketika hari telah mulai terang. Setelah itu shalat tetap dilakukannya pada waktu gelap tersebut
sampai ia wafat, dan tidak pernah lagi di waktu hari telah mulai terang.” (HR. Abu Daud, dan
Baihaqi dan sanadnya shahih).
Dan dari Aisyah, katanya: “Mereka, perempuan-perempuan mukminat itu ikut
melakukan shalat Fajar bersama Nabi saw. dengan menyelubungi badan mereka dengan kain,
dan setelah selesai shalat, mereka pulang ke rumah masing-masing tanpa dikenal oleh
seorangpun disebabkan hari gelap.” (HR. Jama’ah).
Adapun hadits Rafi’ bin Khudeij, bahwa Nabi saw. bersabda: “Berpagiharilah
melakukan shalat Shubuh karena pahalanya bagimu lebih besar,” dan menurut suatu
riwayat: “Berterang-benderanglah melakukan shalat Fajar, karena pahalanya lebih besar.”
(HR. Yang Berlima dan disahkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Hibban)
Maka yang dimaksud dengan berterang-benderang itu ialah ketika hendak pulang dan
menyelesaikannya dan bukan ketika hendak masuk memulainya. Jadi artinya ialah:
Panjangkanlah bacaan dalam shalat, hingga kamu selesai dan pergi pulang ketika hari mulai
terang, sebagai dilakukan oleh Rasulullah saw., biasa ia membaca dan 60 -100 ayat, atau
mungkin juga yang dimaksud menyelidiki kepastian terbitnya fajar, hingga ia tidak
melakukannya berdasarkan hanya dugaan atau berat-sangka belaka.

Mendapatkan satu rakaat pada waktunya:


Barang siapa mendapatkan satu raka’at sebelum habis waktu, berarti Ia telah
mendapatkan shalat keseluruhannya, berdasarkan hadits Abu Hurairah: Artinya: “Bahwa Nabi
saw. telah bersabda: “Barang siapa mendapatkan satu raka’at dari suatu shalat, berarti ia
mendapatkan keseluruhan shalat itu.” (HR. Jama’ah).
Ketentuan ini mencakup semua shalat. Dan menurut riwayat Bukhari; ‘Bila salah
seorang di antaramu mendapatkan suatu sujud dari shalat ‘Ashar sebelum matahari terbenam,
hendaklah ia menyelesaikan shalatnya, dan jika ia mendapatkan satu sujud dari shalat Shubuh
sebelum matahari terbit, hendaklah ia menyempurnakan pula shalatnya”
Yang dimaksud satu sujud di sini ialah raka’at. Dan menurut lahir hadits, siapa-siapa
yang mendapatkan satu raka’at dari shalat Shubuh atau ‘Ashar, tidaklah dimakruhkan baginya
shalat sewaktu matahari terbit atau sa’at ia terbenam, walau kedua waktu tersebut merupakan
waktu-waktu makruh.
Begitu juga shalat dianggap ada’i jika mendapatkan satu raka’at penuh, walau tidak
dibolehkan menyengajar ta’khir sampai waktu tersebut.

16 | M o d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


Tertidur atau lupa melakukan shalat.
Barang siapa yang tertidur atau lupa melakukan shalat, maka waktunya ialah ketika ia
sadar dan ingat padanya, berdasarkan hadits Abu Qatadah: “Mereka menceriterakan kepada
Nabi saw. perihal mereka sewaktu tertidur hingga luput waktu shalat. Maka sabdanya:
“Tidaklah tertidur itu dianggap lalai. Yang dikatakan lalai ialah di saat bangun; maka
bila salah seorang di antaramu lupa mengerjakan suatu shalat atau tertidur, hendaklah
ia melakukanya di saat ia ingat, dan tak ada kafarat atau denda atasnya selain
demikian.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan diterima dari ‘Imron bin Hushein, katanya: “Kami bepergian bersama Rasulullah
saw. Dan Tatkala hari telah jauh malam, kami berhenti buat beristirahat, dan tidak terbangun
sampai akhirnya dibangunkan oleh panas matahari. Maka kami masing-masing buru-buru
bangkit untuk bersuci. Tapi Nabi saw. menyuruh kami agar tenang. kemudian kami berangkat
dan melanjutkan penjalanan, hingga ketika matahari telah tinggi, maka Nabi pun berwudhuk,
lalu menyuruh Bilal dan iapun adzan. Kemudian Nabi shalat sunat Fajar dua raka’at, lalu qamat
dan kami pun shalatlah. Tanya mereka: “Ya Rasulullah, apakah shalat ini akan diulang besok
pada waktunya? “Jawab Nabi: “Kiramu, jika Tuhanmu Allah Ta’ala melarangmu menerima
riba, apakah ia berkenan menerimanya darimu?” (HR. Ahmad dan lain-lain).

WAKTU-WAKTU YANG DILARANG PADANYA MELAKUKAN SHALAT


Telah datang larangan melakukan shalat: (1) Sesudah shalat Shubuh sampai terbit
matahari, ketika terbitnya sampai naik kira-kira sepenggalahan; (2) Ketika istiwa’ artinya tepat
di tengah langit sampai tergelincir; Dan (3) Sesudah shalat ‘Ashar sampai ia terbenam.
Diterima dari Abu Sa’id: “Bahwa Nabi saw. telah bersabda: “Tidak boleh shalat
setelah shalat ‘Ashar sampai terbenam matahari, begitu pun tidak boleh setelah shalat Fajar
sampai terbit matahari.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan diterima dari ‘Amar bin ‘Abash, katanya: “Saya bertanya: “Ya Rasulullah,
ceriterakanlah kepadaku tentang shalat!’
Ujar Nabi: “Lakukanlah shalat Shubuh, kemudian hentikan shalat sampai matahani
terbit dan terangkat naik, karena ia terbit di antara dua tanduk setan, di saat mana
orang-orang kafir bersujud kepadanya. Kemudian shalatlah pula, karena shalat itu
disaksikan dan dihadiri, sampai naungan itu tepat menimpa panah maka hentikanlah
karena ketika itu neraka sedang dinyalakan apinya; dan jika ia telah tergelincir, maka
shalatlah pula, karena shalat itu disaksikan dan dihadiri sampai Anda, melakukan shalat
‘Ashar, lalu berhentilah pula shalat sampai matahari terbenam, karena ia terbenam di
antara dua tanduk setan, di saat mana orang -orang kafir sujud kepadanya!” (HR.
Ahmad dan Muslim).
Makna “Terbit di antara dua tanduk setan” maksudnya menurut Nawawi, pada waktu-
waktu tersebut setan mendekatkan kepalanya kepada matahari, agar orang-orang yang sujud
menyembah matahari, tampak seperti sujud menyembah kepadanya. Ketika itu dapatlah
olehnya dan oleh para pengikutnya pengaruh lahir dan kesempatan buat mengacau shalat

17 | M o d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


Muslimin. Itulah sebabnya dimakruhkan shalat pada waktu tersebut demi untuk
menghindarkan akibatnya, sebagai juga dimakruhkan pada tempat-tempat yang didiami oleh
setan-setan. “Disaksikan dan dihadiri” maksudnya oleh pada malaikat.
Dan dari ‘Ukbah bin ‘Amir, katanya: “Ada tiga saat ketika yang padanya kami dilarang
oleh Nabi saw. melakukan shalat dan menguburkan mayat: (1) ketika matahari terbit dengan
benderang sampai ia terangkat naik; (2) ketika ia tepat berada di tengah langit; dan (3) ketika
ia condong hendak terbenam sampai terbenam.” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari).

Pendapat fukaha mengenai shalat setelah shalat Shubuh dan Ashar.


Jumhur atau golongan terbesar dan ulama berpendapat dibolehkannya mengqadha
shalat- shalat yang luput setelab shalat Shubuh dan ‘Ashar, berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
“Siapa yang lupa mengerjakan shalat, hendaklah dilakukannya bila telah ingat!” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Adapun shalat sunat, maka dianggap makruh oleh sebagian di antara sahabat, yaitu
oleh:
- Ali, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit Abu Hunairah dan Ibnu Umar. Sebaliknya Umar
melakukan shalat dua raka’at setelah ‘Ashar di hadapan para sahabat, tanpa seorang
pun yang menyangkal. Juga Khalid bin Walid melakukan demikian.
- Dan di antara tabi’in yang memandangnya makruh ialah Hasan, Sa’id bin Musaiyab,
dan di antara Imam-imam madzhab ialah Abu Hanifah dan Malik.
Dalam pada itu Syafi’i berpendapat dibolehkannya shalat yang ada’i sebab karenanya,
seperti Tahiyat mesjid dan shalat sunat. Wudhuk pada kedua waktu ini, berpedoman kepada
shalat Rasulullah saw. yaitu sunat Dhuhur sesudah shalat ‘Ashar.
Golongan Hanbali berpendapat diharamkannya shalat sunat pada kedua waktu ini
walau mempunyai sebab tertentu, kecuali sunat Thawaf, berdasarkan hadits Jubeir bin
Math’am:
“Bahwa Nabi saw. telah bersabda: “Hai keluarga Abdu manaf! Janganlah kamu
larang siapapun melakukan thawaf atau shalat di rumah ini di sa at manapun
dikehendakinva, baik malam ataupun siang.” (HR. Ash-habus-Sunan, dan disahkan
oleh Ibnu Khuzaimah dan Turmudzi).
Pendapat mereka mengenai shalat ketika terbit dan terbenam matahari serta pada waktu istiwa’:
a) Golongan Hanafi berpendapat bahwa tidak sah shalat apa juga pada waktu-waktu ini,
baik shalat fardhu maupun sunat, qadha’ atau adai’.
Mereka kecualikan shalat ‘Ashar hari itu dan shalat jenazah jika ada yang meninggal
pada salah satu di antara waktu-waktu in, maka jenazahnya boleh dishalatkan tanpa
makruh, begitu juga sujud Tilawah bila ayat-ayatnya dibaca pada waktu-waktu tersebut.
Di samping itu Abu Yusuf mengecualikan pula shalat sunat pada hari Jum’at di waktu
istiwa’ atau tengah hari tepat.

18 | M o d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


b) Golongan Syafi’i memandang makruh shalat sunat yang tak ada sebab karenanya pada
waktu-waktu ini. Adapun semua shalat fardhu, shalat sunat yang ada sebab karenanya,
dan shalat sunat waktu istiwa’ pada hari Jum’at, serta shalat sunat di kota haram
Mekkah, maka semua ini hukumnya boleh dan tidak dimakruhkan.
c) Dan golongan Malik benpendapat diharamkannya shalat-shalat sunat di waktu terbit
dan terbenamnya matahari walau mempunyai sebab, begitupun shalat yang
dinadzarkan, sujud Tilawah serta shalat jenazah kecuali jika dikhawatirkan berobahnya
mayat, maka diperbolehkan.
Mengenai fardhu-fardhu ‘am, baik adai’ maupun qadha’ mereka perbolehkan pada
kedua waktu ini, sebagai juga mereka perbolehkan shalat secara mutlak, baik fardhu
atau sunat di waktu istiwa’.
Berkata Al-Baji dalam Syarah Muwattha’: “Dan dalam Mabsuth yang diterima dari
Ibnu Wahab terdapat: “Malik pernah ditanya tentang shalat di tengah hari maka
ujarnya: Saya dapati manusia biasa shalat pada hari Jum’at di waktu tengah hari, sedang
dalam sebagian hadits dijumpai larangan mengenai itu. Maka saya takkan melarang
pekerjaan yang saya dapati biasa dilakukan oleh umum, dan tidak menyukainya
disebabkan adanya larangan mengerjakannya.”
d) Adapun golongan Hanbali, maka mereka mempunyai pendirian tidak sahny a shalat
sunat manapun juga pada ketiga waktu ini, biar yang ada sebab maupun yang tidak,
baik di Mekah atau di tempat lain, pada Hari Jum’at atau hari lainnya, kecuali sha lat
Tahiyat Mesjid pada hari Jum’at yang mereka perbolehkan tanpa dimakruhkan, di
waktu istiwa’ dan sementara khotbah.
Mengenai shalat jenazah, bagi mereka hukumnya haram pada waktu-waktu tersebut,
kecuali bila dikhawatirkan berobahnya mayat, maka diperbolehkan dan tidaklah
dimakruhkan.
Mereka perbolehkan pula mengqadha’ shalat-shalat yang luput, shalat nathan dan sunat
Thawaf pada ketiga waktu mi, walau ia merupakan shalat sunat.

Shalat Sunat Tathawwu’ Setelah Terbit Fajar Dan Sebelum Shalat Shubuh.
Diterima dari Yasar bekas hamba sahaya Ibnu ‘Umar, katanya: “Saya terlihat oleh Ibnu
Umar sedang melakukan shalat setelah terbit fajar, maka katanya: “Pernah Rasulullah saw.
keluar mendapatkan kami dan waktu itu kami sedang shalat seperti pada saat ini, lalu sabdanya:
“Hendaklah yang hadir di antara tuan-tuan menyampaikan kepada yang tidak hadir, bahwa
tak shalat setelah Shubuh kecuali hanya dua raka’at!” (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Dan walaupun hadits ini dha’if, tetapi ia mempunyai pelbagai sumber yang saling
menguatkan hingga dapat dipakai jadi alasan atas makruhnya shalat sunat setelah terbit fajar
lebih dari dua raka’at Fajar. Demikian dikemukakan oleh Syaukani.

19 | M o d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


Sementara itu Hasan dan Syafi’i serta Ibnu Hazmin membolehkan shalat sunat secara
mutlak tanpa makruh, sedang Malik membatasinya bagi orang yang luput shalat Tengah
Malamnya disebabkan oleh sesuatu halangan.
Disebutkannya bahwa ia menerima berita bahwa Abdullah bin Abbas, Qasim bin
Muhammad dan Abdulllah bin ‘Amir bin Rabi’ah, melakukan shalat Witir setelah fajar. Begitu
pun Abdullah bin Mas’ud pernah berkata: “Saya tidak peduli biar shalat Shubuh telah hendak
dilakukan orang, bila saya sedang shalat Witir!” Dan dari Yahya bin Sa’id, katanya: “Ubadah
bin Shamit pernah jadi imam bagi suatu golongan. Maka pada suatu waktu ia keluar untuk
melakukan shalat Shubuh dan muadzdzin pun mulai qamat. ‘Ubadah pun menghentikannya
sampai ia shalat Witir, kemudian barulah ia shalat Shubuh bersama mereka.”
Dan dari Sa’id bin Jubeir bahwa suatu ketika Ibnu Abbas tidur kemudian terbangun dan
mengatakan kepada khadamnya: “Coba lihat sedang apa orang-orang itu!” Ketika itu ia telah
dapat melihat lagi. Khadam pun pergi dan ketika ia kembali, katanya: Orang-orang itu telah
kembali dan melakukan shalat Shubuh.” Maka Ibnu Abbas pun bangkit, lalu shalat Witir
kemudian baru shalat Shubuh.

Shalat Sunat Sewaktu Qamat


Bila qamat telah dimulai, maka dimakruhkan mengerjakan shalat tathawwu’ atau sunat.
Diterima dari Abu Hurairah: “Bahwa Nabi saw bersabda: “Bila qamat telah dimulai,
maka tak ada lagi shalat kecuali yang wajib. “— Pada suatu riwayat: kecuali shalat yang
dibacakan qamatnya itu — (HR. Ahmad dan Muslim serta Ash-habus-Sunan).
Dan dari Abdullah bin Sarjis. Katanya: ‘Seorang laki-laki masuk ke dalam mesjid,
sedang ketika itu Rasulullah saw tengah mengerjakan shalat shubuh. Orang itu pun shalat dua
raka’at di pinggir mesjid, lalu masuk dan shalat bersama Rasulullah saw. Maka ketika
Rasulullah saw. selesai memberi salam, sabdanya: “Hai Anu, shalat mana sebenarnya yang
kau utamakan, apakah shalat yang kau kerjakan sendirian, ataukah shalat yang bersama
kami?” (H.r. Muslim, Abu Daud dan Nasa’i).
Dan dengan sangkalan Rasulullah saw. tanpa menyuruh orang itu mengulang shalatnya
kembali, menjadi bukti bahwa shalatnya tetap sah walau dimakruhkan.
Dan dari Ibnu Abbas r.a., katanya: ‘Suatu ketika saya shalat, kebetulan muadzdin mulai
qamat. Maka saya ditarik oleh Nabi Allah saw. seraya sabdanya: “Apakah kau hendak shalat
Shubuh empat raka’at?” (HR. Baihaqi, Thabrani, Abu Daud. Thayalisi, Abu Ya’la, dan
Hakim Yang mengatakan: ‘Hadits ini adalah atas syarat Bukhari dan Muslim).
Dan dari Abu Musa al Asyari r.a.: ‘Bahwa Rasulullah? saw. melihat seorang laki-laki
yang shalat Sunat Shubuh: ketika muadzdzin telah mulai adzan. Maka Nabi pun memegang
pundaknya serta sabdanya: ‘‘Kenapa tidak dilakukan sebelum ini! (HR. Thabrani dan
menurut ‘Iraqi isnadnya cukup baik).

20 | M o d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at


Akhirnya, semoga Allah SWT sentiasa membimbing kita semuanya dengan hidayah
dan taufiq sehingga kita semuanya dapat melaksanakan shalat secara istiqomah kapanpun dan
dimanapun berada. Amiin ya Rabbal ‘alamin.

Referensi:
Al-Quranul Kariim
Ahmad Syarwat, Lc., Seri Fiqih Kehidupan (3): Shalat, Jakarta: DU Publishing, 2011.
Sayyid Abdurrahman, Bughyatul Mustarsyidin, juz 1 shaf 33.
Sulaiman bin Ahmad bin Yahya Al-Faifi, Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah, judul terjemah:
Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq, terjemah oleh Abdul Majid, Lc, Umar Mujtahid,
Arif Mahmudi, Jakarta: Beirut Publishing, 2018.
Kutub At-Tis’ah: Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan At-Tirmidzi,
Sunan An-Nasai, Sunan Thabrani, Sunan Ibnu Majah, Musnad Imam Ahmad, Al-
Muwattha Imam Malik.

21 | M o d ul Pe mbi naan EMAS – Mate ri Fi ki h Shal at

Anda mungkin juga menyukai