Anda di halaman 1dari 12

URGENSI TAFSIR AHKAM DALAM MENJAWAB PERSOALAN

KONTEMPORER

Oleh: Muhammad Yusuf


NIM: 1810200001

Abstrak:
Ayat Ahkam adalah ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum Islam. Pengetahuan
yang mendalam terhadap ayat-ayat hukum dalam Alquran melahirkan tafsir hukum
yang fleksibel, sesuai dengan keadaaan zaman hingga saat ini. Salah satu corak
tafsir dalam kajian ini adalah tafsir dengan corak hukum, lebih populer dengan
istilah Tafsir Ahkam. Fokus kajian pada tulisan ini lebih mengantarkan kepada
urgensi tafsir Ahkam dalam menjawab berbagai persoalan kontemporer melalui
kajian ayat-ayat ahkam yang terdapat dalam Al Qur’an.
Kata kunci: Tafsir ahkam, Alquran, Ayat-ayat Ahkam, Kontemporer

A. PENDAHULUAN
Tafsir ahkam merupakan salah satu corak dari
beragam corak penafsiran al-Qur’an. Dimana corak ini lebih memfokuskan
pada penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang berpotensi menjadi dasar hukum
fiqih. Sebagaimana ayat-ayat ahkam dimaknai sebagai ayat-ayat al-Qur’an
yang berisikan rangkaian tentang perintah dan larangan, atau masalah-masalah
fiqih lainnya.1 Yaitu Ayat-ayat yang menjelaskan hukum-hukum syariat yang
bersifat praktis dan amaliyah dan menjadi dalil atas hukum-hukumnya baik
secara nash atau secara istinbath.2
Al Qur’an bersifat shalih likulli zaman wa makan, yang berarti universal
dan relevan dalam segala ruang dan waktu.3 Ungkapan di atas menunjukkan
bahwa kajian tafsir al-Qur’an akan terus mengalami perkembangan seiring
dengan perkembangan peradaban dan budaya manusia. Perkembangan

1
Ibnu Juzai al-Kalbi, at-Tashil li ‘Ulum at-Tanzil, (Beirut: Daral-Fikr, t.th), hlm. 1/7
2
Ali bin Sulaiman Al-Ubaid, Tafasir Ayat al-Ahkam wa Manahijuha, (Riyadh: Darat-
Tadmuriyyah, 1431 H/2010 M),hlm. 1/125.
3
Quraish Shihab, Logika Agama: Kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam
(Jakarta: Lentera Hati, 2005), h. 35.
pemikiran dalam penafsiran al-Qur’an merupakan realitas sejarah yang tidak
bisa ditolak. Karena teks al-Qur’an akan selalu berhadapan dengan konteks
sosial budaya masyarakat yang bersifat dinamis. Mengutip pernyataan Ahmad
al-Syirbasi bahwa tafsir merupakan cerminan produk pemikiran dan peradaban
manusia secara umum. Oleh karena itu, tafsir akan mengalami perkembangan
dan selalu dipengaruhi oleh dinamika kehidupan dan peradaban manusia.4
Dengan demikian, agar makna al- Qur’an tetap memiliki relevansi dengan
realitas serta memberikan jawaban terhadap problema yang dihadapi umat
Islam, maka setiap penafsir dituntut untuk senantiasa mengembangkan
penafsirannya, karena setiap masa memiliki episteme sendiri.
Di dalam kandungan ayat Alquran berisi tidak hanya sya'ir-sya'ir yang
indah saja, melainkan juga terdapat kaidah-kaidah hukum yang harus dijadikan
panduan bagi umat Islam. Oleh sebab itu, kandungan Alquran yang yang
dijadikan panutan tersebut banyak dibahas melalui i1mu fiqh dan tafsir. Fiqh
sebagai cabang i1mu yang mengkaji dan menyimpulkan hukum dengan apa
yang terdapat pada nash Alquran, sedangkan tafsir adalah cabang Ilmu yang
mengkaji makna dan maksud yang dikehendaki oleh Al-Qur’an itu sendiri.
Dalam mengkaji ayat-ayat hukum para mufassir mengelompokkan kedalam
tafsir ahkam. Namun, Karena luasnya lingkup kajian tafsir ahkam maka dalam
makalah ini hanya akan sedikit membahas periode tafsir dari beberpa periode
dan mengulas beberapa ayat-ayat ahkam memberikan jawaban terhadap
persoalan-persoalan kontemporer yang berkembang dimasyarakat saat ini.
Pokok permasalahan yang akan dibahas melalui kajian ini adalah
kedudukan Tafsir ahkam dalam mengupas dan menjawab persoalan hukum
islam melalui kajian ayat-ayat ahkam dalam upaya kontekstualisasi dan studi
hukum islam dalam penafsiran kontemporer yang bersifat universal dan
relevan diera saat ini.

4
Abdul Mustaqim, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur’an Periode
Klasik Hingga Kontemporer (Yogyakarta: NUN PUSTAKA, 2003), h. 33-
91.
Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt

B. PEMBAHASAN . Formatted: Normal, Indent: Left: 0", First line: 0"


Formatted: Font: Bold
Al-Qur’an sebagai sumber hukum bertujuan memberikan pedoman
bagi umat manusia dalam usahanya mencapai kesejahteraan lahir dan batin,
dunia dan akhirat. Al-Qur’an merupakan himpunan hukum-hukum Allah
secara garis besar, yang mencakup segala aspek kehidupan umat manusia.
Didalamnya tertulis perintah yang mengandung kemaslahatan dan juga
larangan yang mengandung mafsadah.5
Terdapat sekitar 400 ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung masalah
hukum atau ayat-ayat ahkam, sehingga secara garis besarnya dalam
pelaksanaan hukum Al-Qur’an dapat disimpulkan tiga asas penting:
1. Pensyariatan Al-Qur’an tidak bersifat memberatkan.6
2. Menyedikitkan pembebanan (taklif)7
3. Berangsur-angsur dalam menetapkan syariat
Ayat-ayat ahkam yang diturunkan selama Rasulullah di Makkah
(Makiyah) barulah bersifat garis besar (ijmal), kemudian setelah hijrah,
turunlah ayat-ayat hukum yang menerangkan beberapa persoalan pokok
dengan terperinci.
Sebelum membahas ayat-ayat ahkam yang terkandung dalam Al-
Qur’an, untuk mamahami Tafsir Ahkam yang sejalan dengan sifat
relevansinya di era modern atau kontemporer akan lebih mudah dipahami
dengan sedikit menyinggung bagaimana perkembangan tafsir yang dilakukan
para mufasir dalam memandang suatu persoalan yang setiap saat selalu
berkembang, sehingga banyak bermunculan metode penafsiran yang
diantaranya fokus pada persoalan ayat-ayat ahkam saja.
Secara etimologis, tafsir berakar dari kata fassara-yufasssiru-tafsiran
yang berarti keterangan dan penjelasan (al-idhah wa at-tabyin). Kata fassara
adalah bentuk muta’addi dari kata kerja fasara-yafsiru-fasran atau fasara-

5
Nasaruddin Umar, Ulumul Qur’an, Mengungkap Makna-makna Tersembunyi Al-Qur’an,
Al-Ghazali Center, Jakarta:2008, Jilid I. H. 286
6
Abdul Jawad Khalaf, At Tasyri’ al-Islami, Judzuruhu al-Hadhariyah Wa Adwaruhu at-
Tarikhiyah, Dar al-Bayan, Kairo:2003, h.157
7
Ibid, h. 157
yafsuru-fasran yang berarti al-bayan atau kasyf al-mugatha (menyingkap yang
tertutup). Dengan demikian tafsir berarti kasyfu al-murod ‘an al-lafzh al
musykil (menyingkap maksud dari kata yang sulit).8
Secara terminologi, Tafsir sendiri memiliki makna Ilmu yang yang
membahas tentang apa yang dimaksud oleh Allah di dalam Al-Qur’an
sepanjang kemampuan manusia.9 Pengertian senada diberikan Muhammad
Badruddin al-Zarkasy (745-749 H./1344-1391 M.) yang mendefinisikan ilmu
tafsir adalah ilmu untuk memahami kitabullah (Alquran yang diturunkan
kepada Nabi-Nya Muhammad Saw serta menerangkan makna hukum dan
hikmah (yang terkandung di dalamnya).10.
Sedangkan kata ahkam secara harfiah memiliki makna menempatkan
sesuatu diatas sesuatu (itsbat a;-sya’i ‘ala sya’i) ataupun bisa dimaknai
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dapat disimpulkan bahwa ayat hukum
(ayat-al ahkam) adalah ayat-ayat al-Qur'an yang berisikan khitab (titah/doktrin)
Allah yang berkenaan dengan thalab (tuntutan untuk melakukan atau
meninggalkan sesuatu). sehingga dapat dikatakan bahwa tafsir ahkam atau
tafsir ayat al-ahkam adalah tafsir Al-Qur-an yang berorientasi pada pembahsan
ayat-ayat hukum.11
Kata tafsir dalam Alquran disebut satu kali, yaitu dalam Q.S. al-Furqan
[25): 33, sedang kata yang sering disepadankan dan disejajarkan dengan lafsir
ialah ta’wil disebut dalam Alquran sebanyak 17 kali.
Tafsir terbagi dalam tiga periode, yaitu periode tafsir klasik dimulai dari
penafsiran masa Nabi, sahabat, dan tabi’in yakni abad I H sampai abad II H.
Sedangkan periode pertengahan di mulai dengan munculnya produk atau karya
tafsir yang utuh dan sistematis pada sekitar awal abad ke III H. Selanjutnya
tafsir kontemporer dimunculkan pertama kali oleh Muhammad Abduh dan
muridnya Rasyid Ridha dan berlangsung hingga saat ini.12

8
Muhammad Husain adz-Dzahabi, at-Tafsir waa al-Mufassirun, Kairo:Dar al-Kutub al- Formatted: Font: (Default) Times New Roman
Haditsah, 1976, jilid I, h. 13-15.
9 Formatted: Font: (Default) Times New Roman
al-Zarqani, Manahil al_Irfan fi Ulum alQur'an, Beirut:Dar al-Fikr,tth., Jilid II, h.3
10
Badruddin Muhammad bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Burhan fi ulum al-Qur·an. (Bairut- Formatted: Font: (Default) Times New Roman
Libanon: Isa al-Bab al-Halabi t.th.).Jilld. I, h. 13.
11 Formatted: Font: (Default) Times New Roman
Muhammad Amin Suma, Pengantar Tafsir Ahkam, h. 118.
12
Abdul Mustaqim, op cit., h. 67. Formatted: Font: (Default) Times New Roman
Karya tafsir muncul dalam tiga periode diatas memiliki corak dan
karakteristik yang berbeda antara satu generasi dengan generasi berikutnya.
Perbedaan corak tersebut disebabkan oleh berbagai faktor. Di antaranya adalah
perbedaan setting sosial-kultural masyarakat yang menjadi latar belakang
pemikiran seorang penafsir, demikian pula fenomena yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat ikut mewarnai penafsirannya. Faktor lain yang tak
kalah penting dalam membentuk corak penafsiran al-Qur’an adalah
kecenderungan dan latar belakang keilmuan yang ditekuni oleh mufasir.
Salah satu corak yang menjadi diskursus dalam kajian mazhab tafsir
kontemporer adalah mengenai lawn al-fiqhi atau tafsir ayat-ayat hukum yang
lebih populer dengan terma tafsir ahkam. Dalam bukunya Al-Tafsir wa al-
Mufassirun, Muhammad Husain al-Dzahabi menamakannya dengan al-tafsir
al-fiqhi atau tafsir al-fuqaha.13
Pada masa kontemporer, perhatian ulama terhadap tafsir ahkam masih
cukup besar. Hal ini terlihat dari beberapa karya tafsir ahkam yang muncul
pada paruh pertama adab ke-20 yang cukup refresentatif, dan menjadi referensi
para sarjana Islam dewasa ini. Di antara tafsir ahkam kontemporer adalah tafsir
Rawai’u al Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an karya Muhammad ‘Ali
al-Shabuniy (1347 H/1928 M). Tafsir Rawai’u al-Bayan mendapat sambutan
yang luas dalam dunia Islam, baik di kalangan pelajar maupun akademisi.
Bahkan, tafsir Rawai’u al-Bayan dijadikan referensi utama atau buku wajib
(kutub al-daras) di Indonesia, terutama PTAI di Indonesia, khususnya pada
Fakultas Syari’ah dan Ushuluddin.
Secara teologis, produk – produk tafsir ahkam yang muncul pada
periode klasik berorientasi kepada pembelaan atas aliran fikih tertentu,
sementara tafsir ahkam kontemporer lebih mengakomodir pelbagai pandangan
yang ada dengan tidak memihak apa lagi membela mazhab tertentu. Model
analisis tafsir ahkam kontemporer, memadukan teori interpretasi model ‘Ulum
al-Qur’an dan Ushul al-Fiqh secara sinergis dan sistematis dengan memberikan
porsi yang sama ketika menganalisis ayat-ayat hukum. Dari aspek aksiologis,

13
Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo:Maktabah Wahbah,
2003), jilid II, h. 319-348.
karya tafsir ahkam kontemporer hikmah at-tasyri’ mendapat perhatian serius
dan dijadikan sebagai penutup dalam setiap pembahasannya, dengan
mengungkap hikmah di balik penetapan suatu hukum bertujuan menggali
makna filosofi suatu hukum secara rasional dan logis yang terdapat pada ayat
yang ditafsirkan. Pengungkapan filosofi hukum amat penting, mengingat
banyak orang yang tidak begitu memahami tujuan penetapan suatu hukum,
baik dari kalangan umat Islam sendiri, lebih-lebih non-muslim yang tidak
memahami secara utuh ajaran Islam.
Dalam Tafsir Rawai’ul Bayan terungkap Tafsir Ahkam Kontemporer
paradigma baru disusun untuk merespons dan memecahkan prolematika sosial
yang dihadapi umat Islam dewasa ini, khususnya dalam masalah hukum.
Menurut Abdullah al-Khayyath, tafsir al-Shabuniy memiliki keistimewaan dan
paling baik, khususnya dalam kajian ayat-ayat ahkam. Keistimewaan itu, lanjut
al-Khayyat, disebabkan dua hal, yaitu aspek materi dan metodologis.14
Tafsir Ahkam merupakan corak tafsir yang berdiri sendiri yang
didalamnya memuat ilmu fiqih atau hukum yang setiap saat selalu mengalami
perkembangan seiring dengan berkembangnya permasalahan hukum diera
modern saat ini. Terhadapa perkembangan persoalan-persoalan kontemporer
ini memunculkan berbagai penafsiran yang berbeda terhadap ayat-ayat hukum
itu sendiri. Contoh: Al-Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ahmad al-
Qurthubi (w.671 H), al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an.
Pada dasarnya, tujuan dari tafsir ahkam adalah dalam rangka
memproduksi hukum-hukum fiqih dari ayat-ayat al-Qur’an. Berdasarkan hal
ini, maka literatur tafsir ahkam sangat terkait erat dengan literatur lain yang
secara khusus bertujuan pula untuk memproduksi hukum fiqih.
Setidaknya ada tiga literatur lainnya yang terkait dengan tujuan dari tafsir
ahkam, yaitu literatur hadits ahkam, literatur ushul fiqih, dan literatur fiqih.
1. Antara Ayat Ahkam dan Hadits Ahkam
Hadits ahkam adalah kompilasi hadits Nabi saw yang menjadi dasar
hukum-hukum fiqih. Disusun dengan tujuan mempermudah penelusuran
hukum-hukum fiqih yang didasarkan pada hadits, sebagaimana fungsi dari

14
Tafsir Rawai’u al-Bayan, jilid I, h. 6.
ayat ahkam. Dalam sejarah penyusunan kitab-kitab hadits, terdapat
beberapa nama khusus untuk menyebut kitab tersebut sebagai kitab ahkam,
seperti kitab al-Jami’, al-Muwattha’, as-Sunan, dan al-Mushannaf. Keempat
jenis kitab tersebut merupakan kitab-kitab hadits yang merangkum berbagai
hadits dengan tema-tema khusus di antaranya terkait hukum.

Di samping itu, ada pula ulama yang menghimpun kitab hadits ahkam namun Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt
tanpa menyebutkan sanadnya (rantai periwayatan hadits), kecuali rawi yang Formatted: Normal, Left, Indent: Left: 0", First line: 0",
meriwayatkannya dalam kitab induk (kitab hadits yang menyebut rantai Line spacing: single
periwayatan hadits secara lengkap) serta rawi shahabat. Dan inilah yang
membedakannya dengan empat jenis kitab di atas. Terhitung yang terkenal seperti
kitab ‘Umdah alAhkam karya Abdul Ghaniy al Maqdisi (w. 600 H) dan Bulugh
al-Maram min Adillah al-Ahkam karya Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H).
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa antaraHadist hadits Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt

ahkam dan ayat ahkam memiliki hubungan yang erat terkait tujuan
disusunnya dua jenis literatur ini, yaitu bertujuan untuk menghimpun dalil-
dalil dari alQur’an dan sunnah sebagai dasar fiqih atau hukum-hukum
syariah yang praktis. Hanya saja yang membedakan adalah terkait dalil yang
dimaksud. Di mana ayat ahkam hanya menghimpun ayat-ayat al-Qur’an
saja, dan sebaliknya hadits ahkam hanya menghimpun hadits-hadits semata.
Dan keduanya pada dasarnya wahyu Allah swt yang menjadi pedoman
manusia dalam mendapatkan kebagian hidup di dunia dan akhirat.
2. Antara Ayat Ahkam dan Ushul Fiqih
Ushul Fiqih adalah ilmu yang memiliki fungsi utama sebagai
kaidah-kaidah dalam berinteraksi dengan sumber-sumber hukum dalam
syariah Islam seperti al-Qur’an, Sunnah, dan Ijtihad. Bahkan Ushul Fiqih
juga merupakan ilmu yang menjadi dasar epistemologi hukum Islam itu
sendiri, di mana salah satu kajian pentingnya berbicara tentang hujjiyyah
adillah atau dasar-dasar legitimasi dalil dalil syariah sebagai sumber hukum
Islam. Di samping itu, meski kaidah-kaidah Ushul Fiqih pada dasarnya
dapat digunakan secara multi disiplin ilmu syariah, hanya saja secara khusus
Ushul Fiqih menjadi pondasi dalam memproduksi fiqih itu sendiri. Di
sinilah, terdapat hubungan yang erat antara ayat ahkam dan Ushuh Fiqih.
Sebab, dalam melakukan penggalian hukum fiqih dari ayat-ayat al-Qur’an
(ayat ahkam), tidak mungkin hal itu dilakukan jika tidak menggunakan
Ushul Fiqih sebagai kaidah penggalian hukum-hukumnya.
Dari sini tampak jelas bahwa Ushul Fiqih merupakan metode dalam
penggalian hukum-hukum fiqih dari ayat ahkam. Di mana metode
penafsiran yang digunakan dalam menafsirkan ayat ahkam adalah kaidah-
kaidah Ushul Fiqih. Seperti kaidah ‘am khos, nasikh mansukh, muthlaq
muqayyad, amr nahyi, dan lainnya.
3. Antara Ayat Ahkam dan Fiqih
Ujung dari proses penafsiran ayat ahkam adalah hukum-hukum
syariah yang bersifat praktis dan aplikatif. Apakah hukum tersebut terkait
dengan perkara ibadah maupun muamalah. Dan produk hukum inilah yang
kemudian disebut dengan fiqih. Maka jika diperhatikan, hubungan antara
ayat ahkam dan fiqih adalah sebagaimana hubungan antara pohon dan buah.
Di mana pohon berfungsi sebagai dasar keberadaan buah dan buah
merupakan hasil yang dinikmati dari pohon tersebut.

Tafsir ayat-ayat ahkam telah tumbuh dan berkembang semenjak era


Rasulullah saw, karena ia merupakan bagian dari Al-Qur'an yang diturunkan
kepadanya. Corak tafsir ini termasuk bagian dari tafsir Rasululullah SAW yang
telah disampaikan kepada manusia, karena banyak sekali dari ayat-ayat yang
diturunkan kepada Rasulullah merupakan ayat-ayat "al-far'iyah" (substansial),
yang dikenal "almushtalah" dalam termonilogi fiqhi.
Maka Rasulullah saw menafsirkannya kepada sahabat-sahabatnya
dengan perkataan dan perbuatannya. beliau menjelaskan yang totalitasnya dan
menejelaskan lebih spesifik terhadap hal-hal yang bersifat absolut. Rasulullah
mendefinisikan yang substansialnya dan menjelaskan kepada sahabat apa-apa
yang rumit dari ayat-ayat ahkam yang tidak dipahami oleh sahabat.
Tafsir fiqhi atau ayat-ayat ahkam (hukum) telah tumbuh dan
berkembang semenjak era Rasulullah SAW, karena ia merupakan bagian dari
Al-Qur'an yang diturunkan Allah kepadanya. Jenis tafsir ini termasuk bagian
dari tafsir Rasulullah SAW yang telah disampaikan kepada manusia, karena
banyak sekali dari ayat-ayat yang diturunkan kepada Rasulullah merupakan
ayat-ayat "al-far'iyah" (substansial), yang dikenal "al-musthalah" dalam
terminologi fiqhi.
Sebagai contoh, misalnya saat Rasulullah mengerjakan shalat
berjamaah dengan sahabat-sahabatnya, lalu bersabda kepada mereka :
"Shalatlah sebagaimana kamu melihat saya mengerjakannya", dan saat Beliau
melaksanakan prosesi ibadah haji bersama sahabat-sahabatnya, lalu beliau
bersabda kepada mereka :"ambillah dariku manasik haji kamu", Demikian juga
dengan hukum zakat, Allah memerintahkan agar ditunaikan denga totalitas,
seperti dalam ayat :
َْ ‫ٱلزك َٰو َۚة‬
َّ ْْ‫َو َءاتُوا‬
“Dan tunaikanlah zakat” (QS. Al Baqarah [2]: 110)

َ ‫َو َءاتُواْ َحقَّهُۥْيَ ۡو َمْ َح‬


ْ ْ‫صا ِد ِهۦ‬
“Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada
fakir miskin)” (QS. Al An’am [6]: 141)

ْ ْ‫ض‬ ۡ َ‫مْمن‬
ِۖ ِ ‫ْٱۡل َ ۡر‬ ِ ‫ْومِ َّمآَْٰأ َ ۡخ َر ۡجنَاْلَ ُك‬ َ ْ‫ٰيََٰٓأَيُّ َهاْٱلَّذِينَ ْ َءا َمنُ َٰٓواْْأَن ِفقُواْمِ ن‬
َ ‫ط ِي ٰبَتِْ َماْ َك‬
َ ‫س ۡبت ُ ۡم‬
ْ
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu” (QS. Al Baqarah [2]:267)

Terhadap ayat-ayat diatas maka Rasulullah menjelaskan kepada


sahabat-sahabat tentang substansial ayat-ayat diatas, bagaimana zakat itu
ditunaikan dan kapan waktu-waktu pelaksanaannya. Demikian juga terhadap
ayat-ayat hukum lain yang merupakan syariat yang telah memiliki ketetapan
hukum didalam Al Qur’an.
Setelah Rasulullah wafat maka para sahabat tidak mungkin lagi
bertanya secara langsung tentang ayat-ayat yang masih perlu penjelasan,
sehingga kemudian para sahabat melakukan ijtihad dalam memahami
petunjuk-petunjuk lain dari ayat-ayat hukum yang belum pernah mereka
tanyakan maksud ayat tersebut atau mereka tidak pernah mengetahui kasus-
kasus yang ditemui. Setelah kaum muslimin semakin berkembang dan
kompleks yang terkadang tidak ditemukan nash dalam alqur’an dan sunnah
Rasulullah maka aturan-aturan atau kaidah-kaidah permanen untuk menata
kehidupan umat dilakukan melalui jalan ijtihad yang berdasarkan syariat
hukum yang benar dan lurus dengan memahami ayat-ayat al-Qur’an dan juga
Sunnah Rasulullah dengan meng-istinbat-kan hukum pada kasus-kasus yang
memerlukan dasar hukum tersebut dengan perasaan tawakal.
Seperti ijtihad yang dilakukan oleh Abu Bakar ra, yang mentafsirkan
“kalalah” sebagai “orang yang tidak mempunyai anak dan bapak”, merujuk
pada firman Allah SWT :
ْ ًْ‫ثْ َك ٰلَلَة‬
ُ ‫ُور‬
َ ‫لْي‬ٞ ‫ْر ُج‬
َ َ‫َوإِنْ َكان‬
“Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak” ( QS. An-Nisa [4]: 12 )
Lain halnya dengan ijitihad yang dilakukan Umar bin Khattab ra berikut
ini :
ۡ َ‫فَ َمنْت َ َمت َّ َعْبِ ۡٱلعُمۡ َرةِْإِل‬
ِْ‫ىْٱل َحج‬
“Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan ´umrah sebelum haji (di
dalam bulan haji)” (Q.S. Al Baqarah [2]:196)
Dari ayat diatas Umar ra berijtihad melarang melakukan hubungan
suami istri ketika sedang melaksanakan haji, sebagaimana dalam konteks ayat.
Namun ijithadnya ditolak Ali ra, Ibn Mas'ud ra, Abu Musa ra dan Abdullah Ibn
Umar ra.
Kasus-kasus perbedaan pendapat diantara sahabat menjadi hal yang
lazim karena hal ini bergantung pada pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an.
Terhadap perbedaan ini maka para sahabat mencari petunjuk-petunjuk yang
lebih mendekati kebenaran dan akan mengakui pendapat sahabat lain yang
lebih benar serta menggugurkan pendapatnya yang lebih lemah.
Secara umum, dalam kedudukannya Al-Qur'an sebagai sumber hukum
Islam, ayat-ayat Al-Qur'an terdiri dari :
a. Hukum Thaharoh (kebersihan)
b. Hukum Ibadah (shalat, zakat, puasa, dan haji)
c. Hukum Makanan dan penyembelihan;
d. hukum Perkawinan
e. Hukum Waris;
f. Hukum Perjanjian;
g. hukum Pidana;
h. hukum Perang;
i. hukum antar bangsa-bangsa
Dan dari 6000-an ayat Al-Qur'an ayat-ayat hukum dalam Al-Qur'an
dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu :
Pertama, hukum-hukum ibadat, yaitu segala hukum yang disyariatkan untuk
mengatur perhubungan dengan Tuhannya.ibadat ini terbagi kepada tiga perkara
yaitu:
1. Ibadah Badaniyah, sperti Shoalt dan puasa
2. ibadah maliyah, ijmaiyah, yaitu zakat dan sedekah
3. ibadah ruhiyah badaniyah, yaitu haji, jihad dan nadzar
Kedua, hukum-hukum muamalat, yaitu segala hukum yang disyariatkan untuk
menyusun dan mengatur hubungan manusia satu dengan lainnya atau
perseorangan dengan negara.15

C. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan diatas, meminjam istilah M. Quraish Shihab,
terhadap kandungan Al-Qur'an yang shalih likulli zaman wa makan, ia
mengistilahkan dengan "Membumikan Al-Qur'an". Dalam bahasa Nashr
Hamid Abu Zayd dikenal tekstualitas Al Qur;an (mafhum al-nash) atau
meminjam Sharur "al-Qira'ah al-mu'ashirah" (pembacaan dengan cara baru)
merupakan sebuah keniscayaan.16
Melalui berbagai metode dan model tafsir kontemporer yang semakin
berkembang secara sistematis dan sinergis dengan menterpretasikan Ulumul
Qur’an dan Ulumul Fiqh maka munculah paradigma baru dalam tafsir ahkam
Formatted: Font: Not Italic
kontemporer untuk merespons dan memecahkan prolematika sosial yang
Formatted: Indent: First line: 0.49"
dihadapi umat Islam dewasa ini, khususnya dalam upaya menjawab masalah
Formatted: Font: (Default) Times New Roman
Formatted: Font: (Default) Times New Roman
15
Hasani Ahmad, Urgensi Tafsir Dalam Kajian Al-Qur’an, Lampung : IAIN Raden Intan
16 Formatted: Font: (Default) Times New Roman, Italic
Hasani Ahmad, Diskursus Munasabah Al-Qur'an Dalam Tafsir Al-Misbah, Jakarta:
Amzah, 2015, h. 15-16 Formatted: Font: (Default) Times New Roman
hukum kontemporer, baik yang mencakup hukum ibadat maupun segala hal
tentang hukum muamalat.

Formatted: Font: (Default) Times New Roman, 12 pt


Formatted: Normal, Indent: Left: 0", First line: 0"

Anda mungkin juga menyukai