Anda di halaman 1dari 15

ETIKA BISNIS

Kelompok:
Komang Yulia Pertiwi (1315251004)
Santi Dwi Desianti (1315251164)
Indah Dianingrum (1315251165)
Dinda Aziiza Hasan (1315251159)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
2014/2015
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Etika bisnis merupakan etika terapan.Etika bisnis merupakan aplikasi pemahaman kita
tentang apa yang baik dan benar untuk beragam institusi, teknologi, transaksi, aktivitas dan usaha
yang kita sebut bisnis. Pembahasan tentang etika bisnis harus dimulai dengan menyediakan
kerangka prinsip-prinsip dasar pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan istilah baik dan
benar, hanya dengan cara itu selanjutnya seseorang dapat membahas implikasi-implikasi terhadap
dunia bisnis.Etika dan Bisnis, mendeskripsikan etika bisnis secara umum dan menjelaskan
orientasi umum terhadap bisnis, dan mendeskripsikan beberapa pendekatan khusus terhadap etika
bisnis, yang secara bersama-sama menyediakan dasar untuk menganalisis masalah-masalah etis
dalam bisnis.
Perbincangan tentang "etika bisnis" di sebagian besar paradigma pemikiran pebisnis terasa
kontradiksi interminis (bertentangan dalam dirinya sendiri), mana mungkin ada bisnis yang
bersih, bukankah setiap orang yang berani memasuki wilayah bisnis berarti ia harus berani (paling
tidak) "bertangan kotor".
Apalagi ada satu pandangan bahwa masalah etika bisnis seringkali muncul berkaitan dengan
hidup matinya bisnis tertentu, yang apabila "beretika" maka bisnisnya terancam pailit. Disebagian
masyarakat yang nir normative dan hedonistik materialistk, pandangan ini tampkanya bukan
merupakan rahasia lagi karena dalam banyak hal ada konotasi yang melekat bahwa dunia bisnis
dengan berbagai lingkupnya dipenuhi dengan praktik-praktik yang tidak sejalan dengan etika itu
sendiri.
Namun kalau bisnis punya etika,maka pertanyaan yang segera timbul adalah manakah norma-
norma atau prinsip etika yang berlaku dalam kegiatan bisnis. Apakah prinsip-prinsip itu berlaku
universal, terutama mengingat kenyataan mengenai bisnis global yang tidak mengenal batas-batas
negara dewasa ini? Demikian pula, bagaimana caranya agar prinsip-prinsip tersebut bisa
operasional dalam kegiatan bisnis? Inilah beberapa pertanyaan yang ingin kami jawab dalam bab
ini. Pada akhir bab ini kami akan singgung secara sekilas apa yang dikenal sebagai stakeholder,
yang dengan itu memperlihatkan relevansi sekaligus juga operasionalisasi etika bisnis,
khususunya prinsip-prinsip etika bisnis, dalam kegiatan bisnis suatu perusahaan.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang di atas dapat ditarik beberapa rumusan masalah yaitu :
1. Apa pengertian dari hakikat bisnis?
2. Apa saja karakteristik bisnis?
3. Bagaimana Pergeseran Paradigma dari pendekatan stockholder ke pendekatan
stakeholder?
4. Bagaimana tanggung jawab moral dan sosial bisnis?
5. Bagaimana kode etik berbagai profesi?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan paper ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian dari hakikat bisnis.
2. Untuk mengetahui karakteristik bisnis
3. Untuk mengetahui Pergeseran Paradigma dari pendekatan stockholder ke pendekatan
stakeholder
4. Untuk mengetahui tanggung jawab moral dan sosial bisnis
5. Untuk mengetahui kode etik berbagai profesi.
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME, yang mana telah memberikan kami
semua kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan tugas Etika Bisnis pada pertemuan ke-2,
dimana tugas ini dapat selesai seperti waktu yang telah direncanakan. Tersusunnya tugas ini
tentunya tidak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah memberikan bantuan secara
materil dan spiritual, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dosen pengasuh mata kuliah Etika Bisnis
2. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada penulis sehingga makalah ini
dapat terselesaikan
3. Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat agar makalah ini dapat
kami selesaikan

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang membalas budi baik yang tulus
dan ihklas kepada semua pihak yang penulis sebutkan di atas. Tak ada gading yang tak retak,
untuk itu kamipun menyadari bahwa tugas yang telah kami susun dan kami kemas masih
memiliki banyak kelemahan serta kekurangan-kekurangan baik dari segi teknis maupun non-
teknis. Untuk itu penulis membuka pintu yang selebar-lebarnya kepada semua pihak agar dapat
memberikan saran dan kritik yang membangun demi penyempurnaan penulisan-penulisan
mendatang. Dan apabila di dalam makalah ini terdapat hal-hal yang dianggap tidak berkenan di
hati pembaca mohon dimaafkan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.1 Pengertian dari Hakikat Bisnis


Pengertian
Bisnis pada hakikatnya adalah organisasi yang bekerja ditengah-tengah
masyarakat atau merupakan sebuah komunitas yang berada ditengah-tengah
komunitas yang lainnya. Bisnis mempunyai peran penting dalam kehidupan manusia,
mulai dari jaman prasejarah, abad pertengahan, era merkantilisme,fisiokrat,klasik,
sampai jaman modern sekarang ini. (Rindjin, 2004:59). Bisnis merupakan realitas
yang sangat kompleks. Kompleksitas bisnis berkaitan langsung dengan kompleksitas
masyarakat. Menurut Bertens(2000:13) Bisnis sebagai kegiatan sosial pada
hakikatnya dapat dipandang dari tiga sudut yang berbeda, yaitu sudut pandang
ekonomi, moral dan hukum.
 Sudut Pandang Ekonomi
Bisnis adalah salah satu kegiatan ekonomis yang terjadi dalam kegiatan ini
adalah tukar menukar, memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan, dan
interaksi manusiawi lainnya dengan maksud memperoleh untung. Bisnis berlangsung
sebagai komunikasi sosial yang menguntungkan para pihak yang terlibat. Bisnis
selalu bertujuan memperoleh keuntungan dan perusahaan dapat disebut sebagai
organisasi yang didirikan untuk memperoleh keuntungan. Dengan cara cukup jelas,
bisnis sering dilukiskan sebagai “to provide products or services for profit.”
Keuntungan atau profit hanya muncul dalam kegiatan ekonomi yang memakai
sistem keuangan. Dalam bisnis modern, untung diekspresikan dengan uang. Pada
pertukaran barang dengan barang(barter) tidak diperoleh profit, walaupun para pihak
memperoleh manfaat. Bisnis merupakan perdagangan yang bertujuan khusus
memperoleh keuntungan financial. Profit yang dihasilkan dalam kegiatan bisnis
bukan diperoleh secara kebetulan, tetapi melalui upaya-upaya khusus.
Teori ekonomi menjelaskan bagaimana dalam system ekonomi pasar bebas
para pengusaha memanfaatkan sumber daya yang langka untuk menghasilkan barang
dan jasa yang berguna bagi masyarakat. Produsen akan berusaha meningkatkan
penjualan sedemikian rupa sehingga hasil bersih yang diperoleh akan mengimbangi
bahkan melebihi biaya produksi. Para pemilik perusahaan mengharapkan laba yang
bisa dipakai untuk ekspansi atau tujuan lainnya. Hasil maksimal akan dicapai dengan
pengeluaran minimal. Atau dengan kata lain, efisiensi merupakan kata kunci dalam
bisnis. Maksimisasi keuntungan sangat ditekankan dalam bisnis.
Dipandang dari sudut ekonomis, good business atau bisnis yang baik adalah bisnis
yang membawa banyak untung. Oleh karena itu dapatlah dimengerti apabila
pertimbangan ekonomis menjadi satu-satunya alasan dalam berbagai pengambilan
keputusan bisnis.

 Sudut pandang moral


Dengan tetap mengakui peran sentral dari sudut pandang ekonomis dalam
bisnis, perlu ditambahkan sudut pandang lain dalam bisnis, yaitu moral. Mengejar
keuntungan adalah hal yang wajar, asalkan tidak mengorbankan/merugikan pihak
lain. Kepentingan dan hak orang lain harus diperhatikan demi kepentingan bisnis itu
sendiri. Dari sudut pandang moral, bisnis yang baik bukan saja bisnis yang
menguntungkan melainkan juga bisnis yang baik secara moral. Perilaku yang baik
dalam bisnis merupakan perilaku yang sesuai dengan norma-norma moral.

 Sudut pandang hukum


Seperti halnya moral, hukum merupakan sudut pandang normatif, karena
menetapkan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Peraturan hukum merupakan
kristalisasi atau pengendapan dari keyakinan moral. Dalam praktek hukum, banyak
masalah timbul dari kegiatan bisnis. Jika perilaku bisnis itu legal, maka dari sudut
moral juga dipandang baik. Bisnis harus menaati peraturan yang berlaku. Bisnis yang
baik berarti bisnis yang patuh pada hukum. Namun, sikap bisnis belum terjamin etis,
bila hanya dibatasi pada hukum saja.
Berikut ini indikator untuk menentukan bahwa suatu bisnis baik menurut ketiga
sudut pandang tersebut adalah: Pertama dari sudut pandang ekonomis, bisnis yang
baik adalah bisnis yang banyak mendatangkan untung. Indikator keuntungan sangat
jelas, yaitu bisa diketahui dari perhitungan laba(rugi). Dari sudut pandang hukum,
indikatornya juga cukup jelas, yaitu bahwa bisnis yang baik adalah bisnis yang tidak
melanggar hukum. Dari sudut pandang moral menurut Bertens(2000:28) terdapat tiga
tolok ukur yang dapat digunakan, yaitu:
1. Hati nurani.
Suatu perbuatan dikatakan baik jika dilakukan sesuai dengan hati nurani. Tidak
semua yang dikatakan hati nurani bisa diandalkan dari segi moral. Oleh karena itu,
penilaian tidak dapat hanya dilakukan dari sudut hati nurani saja, melainkan harus
dilakukan bersamaan dengan norma-norma lain.

2. Kaidah emas.

Cara yang paling obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah
Kaidah Emas yang secara positif berbunyi “Hendaklah memperlakukan orang lain
sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan.” Atau bila dirumuskan secara negatif
akan menjadi: “Janganlah lakukan terhadap orang lain apa yang Anda sendiri tidak
ingin dilakukan orang lain terhadap Anda.”

3. Penilaian masyarakat.

Cara lain yang paling ampuh digunakan untuk menilai perilaku moral adalah
dengan menyerahkannya kepada masyarakat umum untuk dinilai. Cara ini juga
disebut audit sosial. Audit sosial menuntut adanya keterbukaan atau transparansi.
Perilaku yang kurang etis biasanya sengaja disembunyikan. Tingkah laku yang baik
secara moral, tidak akan takut dengan transparansi.

2.1.2 Karakteristik Bisnis


Baru belakangan ini bisnis dianggap sebagai sebuah profesi. Profesi
dirumuskan sebagai pekerjaan yang dilakukan untuk nafkah hidup dengan
menggunakan keahlian dan keterampilan dengan melibatkan komitmen pribadi dalam
melakukan pekerjaan tersebut(Satyanugraha, 2003:10). Bisnis modern mensyaratkan
dan menuntut para pelaku bisnis untuk menjadi orang yang profesional.Orang yang
profesional umumnya adalah orang yang dapat dipercaya oleh masyarakat untuk
melakukan pekerjaan yang menjadi profesinya. Semakin tajam persaingan, semakin
dituntut sikap profesional untuk membangun citra bisnis yang baik melalui pelayanan
kepada masyarakat. Bisnis merupakan kegiatan menjual citra kepada masyarakat
dengan cara memenuhi kebutuhan mereka secara prima, baik, dan jujur melalui
penawaran barang dan jasa yang bermutu dan harga yang wajar. Oleh karena itu,
perlu dibangun citra bisnis sebagai suatu profesi yang diperlukan dan dihargai.
Profesionalisme akhirnya menjadi keharusan dalam bisnis. Hanya saja sikap
profesional dalam bisnis terbatas pada kemampuan tekhnis menyangkut keahlian dan
keterampilan yang terkait dengan bisnis: manajemen, produksi, pemasaran, keuangan,
personalia, dan seterusnya(Keraf, 1998:46). Orang-orang yang professional selalu
berarti orang-orang yang mempunyai komitmen pribadi yang tinggi, yang serius
dalam pekerjaannya, yang bertanggungjawab atas pekerjaannya agar tidak sampai
merugikan orang lain.

Menurut Keraf (dalam Rindjin, 2004:63) suatu profesi yang diperlukan dan dihargai
mempunyai karakteristik sbb :

1. Seseorang memiliki pengetahuan, keahlian, dan keterampilan khusus yang ia peroleh


melalui pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang membentuk profesinya, yang
membedakannya dengan orang lain. Barang atau jasa yang bermutu dan dengan harga
yang kompetitif hanya dapat dihasilkan oleh profesionalisme.
2. Terdapat kaedah dan standar moral. Pada setiap profesi selalu ada peraturan yang
menentukan bagaimana profesi itu dijalankan. Peraturan yang biasa disebut kode etik
ini sekaligus menunjukkan tanggungjawab profesional dalam melakukan pekerjaan,
seperti kode etik dokter, wartawan, pengacara, akuntan dsb. Untuk menjaga
kemurnian dan ketepatan pelaksanaan kode etik ini, dibentuklah organisasi profesi.
Organisasi profesi ini berkewajiban menjaga nama baik organisasi, melakukan seleksi
anggota baru dan bila perlu memberikan sanksi kepada anggota yang melanggar kode
etik profesi.
3. Seseorang perlu memiliki ijin khusus atau lisensi untuk bisa menjalankan suatu
profesi. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi profesi tersebut dari orang-orang yang
tidak profesional.
4. Memberikan pelayanan dari masyarakat. Keuntungan harus dibayar sebagai akibat
logis dari pelayanan kepada masyarakat, bahkan keikutsertaan dalam mensejahterakan
masyarakat, adalah citra perusahaan yang baik.

2.1.3 Pergeseran Paradigma dari Pendekatan Stockholder ke Pendekatan Stakeholder


Shareholders atau stockholders paradigm merupakan sebuah paradigma
dimana Chief Executive Officer(CEO) berorientasi pada kepentingan pemegang
saham. Pihak manajemen sebagai pemegang mandat(agency) berusaha memperoleh
keuntungan sebesar-besarnya untuk menyenangkan dan meningkatkan kemakmuran
pemegang saham(principal). Seakan-akan pemegang saham merupakan pihak yang
paling berpengaruh bagi kelangsungan hidup perusahaan. Orientasi seperti ini,
mengakibatkan evaluasi yang dilakukan atas pengelolaan bisnis hanya dilihat dari
aspek financial. Prestasi manajemen hanya dilihat dari kemampuannya menghasilkan
laba. Hal ini mendorong manajemen menghalalkan berbagai cara demi mengejar
keuntungan. Tindakan demikian mengakibatkan adanya pihak-pihak lain yang
dirugikan.
Paradigma shareholders kemudian mengalami pergeseran, karena pada
kenyataannya manajemen dihadapkan pada banyak kepentingan yang pengaruhnya
perlu diperhitungkan dengan seksama. Bagaimanapun juga dalam kegiatan bisnis
akhirnya muncul kesadaran bahwa dalam usaha memperoleh laba, selain shareholders
wajib juga diperhatikan kepentingan pihak-pihak lain yang terkena dampak kegiatan
bisnis. Pihak berkepentingan(stakeholders) adalah individu atau kelompok yang dapat
dipengaruhi atau mempengaruhi tindakan, keputusan, kebijakan, praktek, dan tujuan
organisasi bisnis. Perusahaan berdiri ditengah-tengah lingkungan. Lingkungan
merupakan satu-satunya alasan mengapa bisnis itu ada.
Pendekatan stakeholders terutama memetakan hubungan-hubungan yang
terjalin dalam kegiatan bisnis pada umumnya. Pendekatan ini berusaha memberikan
kesadaran bahwa bisnis harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan
semua pihak terkait yang berkepentingan dengan suatu kegiatan bisnis dijamin,
diperhatikan, dan dihargai. Pendekatan ini bermuara pada prinsip tidak merugikan hak
dan kepentingan pihak manapun dalam kegiatan bisnis. Hal ini menuntut agar bisnis
dijalankan secara baik dan etis demi hak dan kepentingan semua pihak yang terlibat
dalam suatu kegiatan bisnis.

Pada Umumnya stakeholders dapat dibagi kedalam dua kelompok, yaitu:


1. Kelompok Primer.
Kelompok primer terdiri dari pemilik modal atau saham(shareholders), kreditur,
penyalur dan pesaing atau rekanan. Yang paling penting diperhatikan dalam suatu
kegiatan bisnis tentu saja adalah kelompok primer karena hidup matinya atau berhasil
tidaknya bisnis suatu perusahaan sangat ditentukan oleh relasi yang saling
menguntungkan yang dijalin dengan kelompok primer tersebut. Demi keberhasilan
dan kelangsungan bisnis, perusahaan tidak boleh merugikan satupun kelompok
stakeholders primer di atas. Dengan kata lain, perusahaan harus menjalin relasi bisnis
yang baik dan etis dengan kelompok tersebut:jujur, bertanggungjawab dalam
penawaran barang dan jasa, bersikap adil terhadap mereka, dan saling memahami satu
sama lain. Di sinilah kita menemukan bahwa prinsip etika menemukan tempat
penerapannya yang paling konkret dan sangat sejalan dengan kepentingan bisnis
untuk mencari keuntungan.
2. Kelompok sekunder.
Kelompok sekunder terdiri dari pemerintah setempat,pemerintah asing,kelompok
sosial,media massa,kelompok pendukung,masyarakat pada umumnya dan masyarakat
setempat.
Dalam situasi tertentu kelompok sekunder bisa sangat penting bahkan bisa
jauh lebih penting dari kelompok primer, karena itu sangat perlu diperhitungkan dan
dijaga kepentingan mereka. Misalnya kelompok sosial semacam LSM, baik dibidang
lingkungan hidup, kehutanan, maupun hak masyarakat lokal. Demikian pula
pemerintah nasional maupun asing. Juga, media massa dan masyarakat setempat.
Dalam kondisi sosial, ekonomi, politik semacam Indonesia, masyarakat setempat bisa
sangat mempengaruhi hidup matinya suatu perusahaan. Ketika suatu perusahaan
beroperasi tanpa memberikan kesejahteraan, nilai budaya, sarana dan prasarana lokal,
lapangan kerja setempat dan seterusnya, akan menimbulkan suasana sosial yang tidak
kondusif dan tidak stabil bagi kelangsungan bisnis perusahaan tersebut.
Jika ingin berhasil dan bertahan dalam bisnisnya, maka perusahaan harus
pandai menangani dan memperhatikan kepentingan kedua kelompok stakeholders
tersebut secara berimbang. Perusahaan dituntut untuk tidak hanya memperhatikan
kinerja dari aspek keuangan semata, melainkan juga dari aspek-aspek lain secara
berimbang.

2.1.4 Kode Etik serbagai Profesi

Anggota dari suatu profesi umumnya terorganisasi dalam suatu asosiasi atau
organisasi profesi yang memiliki kekuasaan untuk mengatur anggotanya dalam
menjalankan profesinya. Kode etik menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan dalam pelaksanaan suatu profesi. Kode etik berisi tuntutan keahlian,
komitmen moral, dan perilaku yang diinginkan dari orang yang melakukan profesi
tersebut. Kode etik pada umumnya disusun untuk mengungkapkan cita-cita dan jiwa
profesi yang bersangkutan dan menjadi norma moral yang berlaku bagi mereka yang
melakukan profesi tersebut.
Kode etik berbagai profesi sudah dikenal sejak lama. Sumpah Hipocrates(abad
ke-5 SM) dapat dipandang sebagai kode etik profesi tertua dalam bidang kedokteran
yang masih digunakan hingga saat ini. Dalam zaman modern sekarang ini terdapat
banyak profesi yang telah mempunyai kode etik. Salah satu fenomena terbaru adalah
mencuatnya kode etik khusus untuk perusahaan pada tahun 1970-an akibat terjadinya
berbagai skandal korupsi dikalangan pebisnis. Perkembangannya dimulai di Amerika
kemudian meluas ke Inggris dan negara-negara Eropa lainnya. Sebagian besar
perusahaan di Amerika dan Eropa telah memiliki kode etik. Di Indonesia hanya
perusahaan-perusahaan internasional yang beroperasi di Indonesia diketahui telah
memiliki kode etik perusahaan.
Kode etik perusahaan atau Patrict Murphy disebut ethic statements dibedakan
dalam tiga macam (Bertens,2000:381):
1. Value Statements (Pernyataan Nilai)
Pernyataan nilai dibuat singkat saja dan melukiskan apa yang dilihat oleh
perusahaan sebagai misinya dan mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi
perusahaan. Banyak pernyataan nilai yang menegaskan bahwa perusahaan ingin
beroperasi secara etis dan menggarisbawahi pentingnya integritas, kerja tim,
kredibilitas, dan keterbukaan dalam komunikasi.
2. Corporate Credo (Kredo Perusahaan)
Kredo perusahaan biasanya merumuskan tanggungjawab perusahaan terhadap
para stakeholder. Dibandingkan dengan pernyataan nilai, kredo perusahaan
biasanya lebih panjang dan meliputi beberapa alinea.
3. Code of Conduct/Code of Ethical Conduct (Kode Etik)
Kode etik (dalam arti sempit) menyangkut kebijakan etis perusahaan berhubungan
dengan kesulitan yang bisa timbul seperti konflik kepentingan, hubungan dengan
pesaing dan pemasok, sumbangan kepada pihak lain, dan sebagainya. Kode etik
umumnya lebih panjang dari kredo perusahaan dan bisa sampai 50-an halaman.
Perusahaan dapat memiliki salah satu, dua atau ketiga pernyataan etika tersebut.
Dalam pembahasan ini kode etik perusahaan dimaksudkan pernyataan etik perusahaan
pada umumnya, tanpa memperhatikan penggolongan yang dibuat oleh Patrick
Murphy. Mungkin saja penulis lain akan menyebutkan kode etik perusahaan dengan
istilah berbeda.

Setiap perusahaan berusaha memiliki kode etik. Manfaat kode etik bagi
perusahaan dapat disebutkan sebagai berikut(Bertens, 2000:382).

1. Kode etik dapat meningkatkan kredibilitas suatu perusahaan, karena etika telah
dijadikan sebagian corporate culture. Dengan adanya kode etik, secara intern
pegawai terikat dengan standar etis yang sama dan secara ekstern para pihak yang
berkepentingan akan memaklumi apa yang bisa diharapkan dari perusahaan
tersebut. Reputasi di bidang etika merupakan aset yang sangat berharga bagi suatu
perusahaan.
2. Kode etik dapat membantu menghilangkan kawasan abu-abu(grey area) di bidang
etika. Beberapa ambiguitas moral yang sering merongrong perusahaan misalnya,
menerima komisi atau hadiah, kesungguhan perusahaan dalam memberantas
pemakaian tenaga kerja dibawah umur, dan keterlibatan perusahaan dalam
pelestarian lingkungan hidup.
3. Kode etik dapat menjelaskan bagaimana perusahaan menilai tanggungjawab
sosialnya. Tanggungjawab sosial bukanlah keharusan bagi perusahaan. Melalui
kode etik, perusahaan dapat menunjukkan itikad baik terhadap lingkungan
sosialnya.
4. Kode etik menyediakan regulasi sendiri(self regulation) dan dalam batas tertentu
tidak perlu campur tangan pihak pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan
bisnis.

Kode etik perusahaan seringkali menunjukkan sikap optimis yang berlebihan


sehingga diragukan kemampuannya untuk memecahkan persoalan etis dalam
perusahaan. Kritik yang disampaikan terkait kode etik perusahaan adalah:

1. Kode etik sering hanya menjadi slogan belaka. Fungsinya sebatas window
dressing yang membuat pihak luar kagum, padahal belum tentu dijalankan dengan
baik.
2. Kode etik dirumuskan terlalu umum dan tetap memerlukan keputusan pimpinan
dalam berbagai persoalan etis. Jika memerlukan keputusan pimpinan, maka kode
etik sesungguhnya tidak diperlukan lagi.
3. Jarang ada penegakan kode etik dengan member sanksi untuk pelanggaran. Ada
atau tidak ada kode etik dirasakan tidak ada perbedaannya, sehingga kurang
efektif dalam mendorong munculnya perilaku etis.
Untuk mengatasi kekurangan tersebut, suatu kode etik hendaknya:
1. Dirumuskan berdasarkan kesepakatan semua pihak dalam organisasi, sehingga
dapat berfungsi dengan baik.
2. Tidak memuat hal-hal yang kurang berguna dan tidak mempunyai dampak nyata.
3. Direvisi sewaktu-waktu agar sesuai dengan perkembangan jaman. Ditegakkan
dengan seperangkat sanksi agar setiap permasalahan terselesaikan dengan baik.
BAB III
KESIMPULAN

3.1.1 Kesimpulan

Dari uraian pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu :


Bisnis pada hakikatnya adalah organisasi yang bekerja ditengah-tengah masyarakat
atau merupakan sebuah komunitas yang berada ditengah-tengah komunitas yang
lainnya. Menurut Bertens(2000:13) Bisnis sebagai kegiatan sosial pada hakikatnya
dapat dipandang dari tiga sudut yang berbeda, yaitu sudut pandang ekonomi, moral dan
hukum. Bisnis modern mensyaratkan dan menuntut para pelaku bisnis untuk menjadi
orang yang profesional.Orang yang profesional umumnya adalah orang yang dapat
dipercaya oleh masyarakat untuk melakukan pekerjaan yang menjadi profesinya.
Orang-orang yang professional selalu berarti orang-orang yang mempunyai komitmen
pribadi yang tinggi, yang serius dalam pekerjaannya, yang bertanggungjawab atas
pekerjaannya agar tidak sampai merugikan orang lain.

Shareholders atau stockholders paradigm merupakan sebuah paradigma dimana Chief


Executive Officer(CEO) berorientasi pada kepentingan pemegang saham. Pihak
manajemen sebagai pemegang mandat(agency) berusaha memperoleh keuntungan
sebesar-besarnya untuk menyenangkan dan meningkatkan kemakmuran pemegang
saham(principal). Pihak berkepentingan(stakeholders) adalah individu atau kelompok
yang dapat dipengaruhi atau mempengaruhi tindakan, keputusan, kebijakan, praktek,
dan tujuan organisasi bisnis.

Pada Umumnya stakeholders dapat dibagi kedalam dua kelompok, yaitu: Kelompok
primer dan kelompok sekunder. Kelompok primer terdiri dari pemilik modal atau
saham(shareholders), kreditur, penyalur dan pesaing atau rekanan. Sedangkan
Kelompok sekunder terdiri dari pemerintah setempat,pemerintah asing,kelompok
sosial,media massa,kelompok pendukung, masyarakat pada umumnya dan masyarakat
setempat. Kode etik menyangkut apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam
pelaksanaan suatu profesi. Kode etik berisi tuntutan keahlian, komitmen moral, dan
perilaku yang diinginkan dari orang yang melakukan profesi tersebut. Kode etik pada
umumnya disusun untuk mengungkapkan cita-cita dan jiwa profesi yang bersangkutan
dan menjadi norma moral yang berlaku bagi mereka yang melakukan profesi tersebut.
Daftar Pustaka

Sutrisna Dewi, 2011, Etika Bisnis: Konsep Dasar Implementasi & Kasus, Cetakan Pertama,
Denpasar, Udayana University Press.

Anda mungkin juga menyukai